Pendekar Bodoh Jilid 04
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’
Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.
Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.
Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.
Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.
Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.
Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”
Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.
Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.
Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”
Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang,
“Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.
Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,
“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”
Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.
Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.
“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”
Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.
Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,
“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.
Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!
Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri....
“Orang yang berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak. Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu.
Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.
Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.
Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.
Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.
Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?
Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali berkata.
Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”
Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas berbisik.
Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!
Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.
Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!
Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan.
Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.
Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”
“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh… membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sute-nya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.
Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.
Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu.
Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.
Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.
Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!
Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.
Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!
Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.
Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.
“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!
Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!
Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.
Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.
Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.
Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau rusak. Jika ia tidak menyayangi hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.
Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor satu di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri dari pada serangan dua lawannya, yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar, sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari pada kedua serangan maut itu.
Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan ketika menjalankan pukulan mereka tadi.
Dengan hati terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua sudah rebah terlentang ada pun hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.
Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah terlentang Bu Pun Su lantas mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, kaki itu bergerak ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya kemudian dibelokkan oleh ayunan ini.
Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga sekarang luncuran dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan dengan kepalanya dia kembali menerima hiolouw itu! Hebat.....
“Aduh, hebat! Aduh... hebat!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.
Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan sesudah tiba di tempat hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali dia lalu meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.
“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut dan dia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas.
Akan tetapi tasbeh pada tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!
“Ehh, ehhh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas berbesar hati. Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran sehingga dia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Ehh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu sendiri!”
Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun tidak akan ada gunanya bagi manusia. Tapi sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan masih berguna bagi manusia yang masih hidup, karena dia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”
Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat dia temukan.
Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila dan berkata kepada Cin Hai,
“He, gundul tolol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”
Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia segera melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri-seri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!
Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia terus disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata!
Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tidak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu meski pun dara itu adalah seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu, diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati dari pada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”
“Bu Pun Su, awas kau, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat.
Akan tetapi, seperti ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu serta Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai.
Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu sudah mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapa pun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya!
Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tidak dapat dia elakkan, maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu semakin marah dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu sia-sia. Benarkah mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun? Ahh, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya, tak berani turun tangan tanpa diperintah.
Cin Hai berpikir, kalau suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring dia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
“Seorang budiman hanya mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan seorang gagah, hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko, apakah mereka berdua termasuk anak-anak ataukah orang tolol?”
Karena suasana di sana sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang kala beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja kedua iblis itu dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun hanya menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang ‘memperebutkan benda’ adalah tepat sekali.
Cin Hai memang belum tahu mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa Tengkorak. Tetapi dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga.
Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari dua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras dari pada tadi,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”
Biar pun Cin Hai sudah berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.
Akan tetapi pada waktu itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak semakin hebat!
Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila mana nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekat dan membelanya, biar pun untuk itu ia akan mendapat marah sekali pun!
Cin Hai kemudian berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik,
“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”
Walau pun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang dia menggunakan lweekang-nya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, dia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang amat ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini!
Dan sangat untung baginya karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian sudah terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya oleh karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biar pun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!
Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Mendadak kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang tolol ini! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”
Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
”Siancai… siancai…!” Bu Pun menyebut.
Orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit.
Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,
“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua itu, maka dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”
“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!”
Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari Suci-mu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu hanya membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”
“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,
“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu sehingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!
“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!
“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian kakek ini berdiri dan berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika Suci-mu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau lebih dulu perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sian-li Kiam-hoat!”
Ang I Niocu tidak berani membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu dia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat sehingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
“Coba kau serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh pemandangan yang amat indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka bagai sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!
Cin Hai tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, sesudah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan ternyata kakek yang lihai itu sudah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil merobohkan dirinya dengan mudah!
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan akibat perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau dia waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat yang terbuka karena gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.
“Kalau tidak salah, Suci-mu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu, ditatap oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.
“Nah, anak bodoh! Mulai saat ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali aku mengambil murid maka dia harus belajar dengan baik-baik supaya tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut pada segala perintahku, bukan?”
Cin Hai segera berlutut di depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah Suhu.”
“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”
Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”
Cin Hai memang memiliki watak pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga apa bila dia merasa bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,
“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu dengan Ang I Niocu itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa tidak boleh? Teecu hanya sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu seorang yang sudah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar padanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan bahwa kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”
Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah bahwa kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang terdengar indah itu ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan menjadikan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”
Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban dari pada kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai mengerutkan keningnya. Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah nampak dewasa dan tinggi tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Pada waktu itu usianya sudah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria wanita dia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hoat dan Sian-li Kun-hoat. Dari Im Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat. Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang, tapi apa bila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Apa bila engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”
Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!
Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun Su dapat menirukan semua gerakan itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, sesudah dapat mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk dapat mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga!
Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya mempunyai tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar mau pun halus.
Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa, karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia.
Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari Tuhan’ menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh, ada pun mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang bodohnya’!
“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada saat menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apa bila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apa bila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan ‘Pendekar Bodoh’ harap kau pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di dalam Goa Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini dia tahu akan maksud suhu-nya yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah ‘cinta’ yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di antara mereka tak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya pada suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,
“Goa ini dahulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, sesudah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan tentara sejumlah lima belas laksa orang dan memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu Shan.
Kaisar sendiri kemudian mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu Shan. Semenjak itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia dicari-cari oleh An Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya dia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan goa ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, dia kemudian mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman purba, lalu dengan kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Di dalam pelariannya itu Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu Shan mencari-cari menteri yang setia itu.
Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam goa, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin selamat serta tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur di bawah hiolouw itu.
Kemudian hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin sehingga usaha mereka gagal!
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu Shan. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya akan menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau pun baik hanyalah terjadi karena akibat dari pada perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!”
Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir ini: Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Bila terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang sudah mengkhianati bangsa sendiri. Apa bila sekiranya masih ada jalan lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Goa Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni sehingga Cin Hai tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an buat menemui ie-ienya.
Walau pun dia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thio-nya, yaitu Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhu-nya hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-05