Pendekar Bodoh Jilid 05


Beberapa pekan kemudian tibalah dia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika dia sedang berjalan di dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba dia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka dia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.

Cin Hai segera bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang di antara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!

Biar pun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!

Kwee In Liang sedang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga, sehingga lagi-lagi Cin Hai merasa sangat heran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!

Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan hebatnya. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat, gesit dan hebat, bahkan dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.

Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan.

Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang walau pun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Dia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.

Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barang kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!

Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk hingga berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu.

Sekali saja ia mengentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya sehingga perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!

Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hoat (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!

“Keparat she Boan, jangan kau ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.

Pada waktu mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang mengintai di balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!

Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal itu, timbullah kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.

Untung tadi ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju merah itu segera mendahului dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.

“Ha-ha-ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!

Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua sudah cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah, tanpa dapat dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!

Dia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.

Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa sudah terbebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kakinya karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.

Perwira itu merasa kaget sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya itu, dan dia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.

Tetapi aneh, di sana tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!

“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”

Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,

“Boan-enghiong, kenapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tidak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”

Sesudah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,

“Baiknya dia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”

Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”

Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!

“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.

Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”

Akan tetapi biar pun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.

“Sudahlah, Ayah. Agaknya dia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”

Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”

”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.

Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang sehingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.

“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”

Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat mereka sampai di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi.
Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.

Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia seakan-akan merasa sudah kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”

Kwee In Liang memandang tajam. Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”

Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul lagi!”

Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya sehingga dia tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.

“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa-apa. Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di Tiang-an, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kini kami telah menjadi orang-orang biasa yang hidup sebagai petani!”

Berita ini betul-betul tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang malah menegur puterinya.
“Lin Lin, hal itu tak perlu kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke mana?”

Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri sehingga dia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”
“Ehh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.

Karena tiada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami? Oh, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami akan mengadakan sedikit perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”
“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang sehingga terpaksa orang tua ini berkata,
“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita jangan mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”

Maka berpisahlah mereka, tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”

Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya. Sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.
Akan tetapi Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu.
Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi.

Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa lagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!

Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan melihat-lihat saja dulu. Kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi apa bila sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus turun tangan!

Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat dia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!

Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian dia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi dia tidak berhasil!

Dia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok-gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.

Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada waktu baginya.

Maka, dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya…..

********************
Setelah menerima perintah dari Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat.

Sebenarnya Ang I Niocu ingin lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu. Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan suci-nya. Ia maklum bahwa susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, dia segera menyusul ke barat, mencari suci-nya.

Daerah barat sangat luas sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekali pun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali.

Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.

Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang menderita, membela kaum tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.

Setelah dia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan tentang nama suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan pada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.

Pertempuran ini terjadi pada saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw Piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu. Juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu.

Akan tetapi Oei-houw Piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.

Ong Hu Lin ialah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan dia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya, dia lalu mencari nafkah dengan mengawal barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Related image
Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba dia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang.

Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda hormatku.”

Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,

“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kau sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kau tutup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”

Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggota perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.

Pada saat itu mendadak muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam.

Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan bulu tengkuk sebab tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut ketiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat dan ganas.

Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.

Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.

Ong Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”

“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.

Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”

“Bukankah kau Ong Hu Lin piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita itu yang ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan tiga orang Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku berpeluk tangan membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari ini?”

Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”

Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”

Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya tetap tersenyum!

“Lihiap, harap kau jangan kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw Piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa pun yang kau minta, Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.

Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok itu.

Sebaliknya, Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah goa di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Goa ini dia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.

Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah memiliki seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek-bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yakni puteri tunggal dari Pek Moko!

Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supek-nya, yaitu Hek Moko yang lihai!

Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut!

Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang walau pun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!

Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini sudah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.

Maka pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.

Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.

“Kau...?!” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau beritahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau... kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi-hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?”

Biar pun suara isterinya terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa tempat Giok-gan Kui-bo.

Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan pengalaman.

Sesudah malam tergantikan pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi goa di mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tak ada yang tahu bila mana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.

Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan suci-nya dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah goa di gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!

Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di depan goanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.

Kim Lian memperhatikan wanita cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.

“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha-ha-ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”

Sesudah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu. Akan tetapi alangkah herannya saat tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan…
“Plakk!” pipinya kena tampar!

Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi menamparnya!

“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.
“Hi-hi-hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”

Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat dia melupakan kemarahannya.

“Hi-hi-hi! Kau sudah berani main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”

Giok-gan Kui-bo melirik keluar goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.

“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha-ha-ha! Ia terlalu cinta padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi-hi-hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”
“Eh, ehh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!

Apa bila Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya dalam mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian setiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli mempunyai ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.

Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sangat menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari goa itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Dia cepat menyelinap ke samping goa dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, dia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.

“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”

Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia pun keluar dari tempat persembunyiannya.

“Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara kereng.

Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”

“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas katakan saja di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah sehingga Ong Hu Lin merasa ketakutan. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku...“
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”

Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan goa yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam goa. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.

Pada saat itu pula, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri Pek-bin Moli sedang melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli terkejut dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.

“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suci-ku kalau dia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar sehingga kau tidak perlu menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.
“Aku Sumoi-nya.”

Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi-hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar, “sekarang kau putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”

Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!”

Wanita gila ini segera berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Sesudah bertemu di luar, dia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.

Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walau pun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.

“Suci, sudah dua tahun ini aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”

Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa kalau berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa suci-nya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.

“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu kau anggap saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”

Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya segera berubah pucat.

“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan keputusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Sudah berkali-kali kau melanggar pantangan sebagai orang gagah dan banyak melakukan perbuatan hina. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau sudah mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”

Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku sudah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatang kara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidup dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”

Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak lagi mempunyai kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”

“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat dari pada batu!” Kim Lian memandang sumoi-nya dengan mata basah.

Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk ulu hati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ahh, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.

“Im Giok, aku memang sudah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa sejak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di goa ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”

Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk suci-nya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa sangat gembira mendengar akan keinsyafan suci-nya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.

“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoi-nya yang halus.
“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”

Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, kemudian dengan tiba-tiba dia mencabut pedang yang tergantung pada punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya!

Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Sesudah kedua kakak beradik seperguruan itu bercakap-cakap saling melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu pergi meninggalkan Kim Lan.

Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya sebab ia ingin segera sampai di Goa Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!

Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Goa Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Dia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.

Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”

Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya. Ketika ia menceritakan keputusan suci-nya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.

Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Baik juga keputusannya itu. Betapa pun dosa seseorang, asalkan dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang bijaksana.”

Kemudian, sesudah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Im Giok, jika aku tidak salah duga, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dahulu agaknya kini sudah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Suci-mu itu, karena sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau memiliki iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup menyendiri? Kau tidak punya jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang tidak akan kawin selama hidupnya!”

Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar-debar, karena kata-kata itu memang tepat dan seolah-olah susiok-couw-nya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.

“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok sekali untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”

Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang sedang dimaksudkan oleh susiok-nya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.

“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa hidupku dengan menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”

Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”
“Ha-ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”

Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.....
“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”

Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.
“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”
“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”
“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta...?”
“Aha, anak muda jaman sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna dari pada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa hatimu telah tertarik oleh Cin Hai. Betulkah?”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Im Giok, kau sudah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang terhadap Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”

Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.

“Im Giok, kelak kau akan teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak akan melarang. Aku tidak akan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”

Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.

“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.

Setelah keluar dari goa itu diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia tidak diberi tahu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.

Ang I Niocu sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Goa Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tidak dapat menahan rindu hatinya lagi.

Sesudah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah sebuah hal yang tak terduga-duga!

Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang yang hebat.

Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu sudah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang cakap dan tegap!

“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.
“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.

Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu.

Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika tadinya ia merasa ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam telinganya sehingga dia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Dia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,

“Hai-ji... Hai-ji…”

Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.

“Hai-ji, suah selama tiga tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang suling dari pinggangnya kemudian mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.
“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.
”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai mana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”

Dengan girang sekali Ang I Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya. Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini tidak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.

Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah mampu mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian akan tetapi pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.

Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena dia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.

Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa cinta!

Cin Hai juga gembira. Namun sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.

“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari sedemikian sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kau perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”
“Sebenarnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku tak akan sanggup melakukannya.”

Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.

“Biarlah, kau tidak perlu kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”
“Terima kasih, Niocu, kau memang baik sekali.”
“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”
“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.

Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”

Cin Hai merasa gembira sekali mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap dengan girang sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka sudah mengambil keputusan untuk datang ke Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.

Pada bulan itu juga, tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In Liang yang ke enam puluh. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud.

Puterinya Lin Lin, sejak kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak orang gagah yang sudah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.

Kenapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang sangat setia dan gagah. Dia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh sebab ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.

Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lantas mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras rakyat.

“Kalau Ayah tidak segera mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.

Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak yang tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa bosan dan capai untuk memegang pangkat.

Oleh karena ini, dia segera mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun berhenti dengan hormat lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.

Pada hari itu rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.

Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an.

Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.

Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruangan depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat.

Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.

Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an. Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi.

Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia menaruh hati dendam sehingga beberapa hari yang lalu dia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.

Karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.

Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh.

Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini bisa dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya. Memang, baik Biauw Suthai mau pun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.

Perjamuan berjalan dalam suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang mengucapkan selamat pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.

Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduknya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,

“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang kau beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang tua ini untuk dapat menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.

Di tempat itu juga hadir banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.

Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya terbuka jalan baginya untuk mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil berkata,

“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini? Tapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya bisa menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kau penuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat ijin dari Gurumu!”

Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta perkenan dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.

Sesudah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa Kun-hoat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.

Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu menengok ke luar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan seketika dia menjadi pucat.

Yang datang adalah Boan Sip serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.

“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.

Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh menjadi sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,

“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”

Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri di tengah ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,

“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”

Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa beberapa hari yang lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,

“Ie-ie…!”

Lin Lin cepat menengok. Ia melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita.

Loan Nio yang belum diberi tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang menghampirinya. Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian dia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.

“Ie-ie, ini adalah Nona Kiang Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”

Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,
“Ehhh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di goa dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan gembira.

Sementara itu Lin Lin juga berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat dan menghaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.

Sementara itu, melihat kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.

“Eh, ehh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,
“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”

Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.

“Orang she Boan! Agaknya kau sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.
“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Apa bila datang hendak mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”
“Ha-ha-ha-ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu kepandaian, tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali banyak orang menjadi saksi, apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat, apa kau kira kami takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”

Bayangan itu ternyata adalah Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang Boan Sip telah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan sekali.

Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena dia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.

Ketika melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong beserta ketiga orang adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.

Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk bisa menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!”

Kwee Tiong merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka bersama adiknya dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.

Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Cerdik sekali!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”

“Orang she Boan, bila sikapmu tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan tak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya engkau seorang saja yang mempunyai kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”

Memang biar pun Pek I Toanio berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan kata-kata selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi dia tidak takut.

“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga kemarahan Boan Sip makin meluap.
“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.

Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua sudah bertempur dengan seru.

Sementara itu, sejak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa dia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.

Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.

“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan manis.

Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”

Juga Kwee Sin, Kwee Siang serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.

“Ahh, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.

Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”

Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras sehingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.

Cin Hai hanya memandang sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa ia tidak melihat Kwee An? Ia kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,

“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”
“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”

Pada saat Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tidak senang sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, namun sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.

Di dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga sepasang matanya seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!

Pada saat melihat jalannya pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya masih diperhebat dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya, sehingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena dicengkeram!

Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu?

Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang.

Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah hanya kebetulan saja?

Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak muda itu lagi.

Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya.

Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian tinggi, dia yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari orang-orang yang sudah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah gerakannya dan kini dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya menyambar-nyambar ke arah kaki lawan!

Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!

Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad.

Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan dia membabat dengan pedangnya dari samping. Karena serangannya ini hampir menempel pada lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai.

Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!

Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.

Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.

Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,
“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”
Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!”
Mendengar ini, semua orang tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!

Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang telah membuka punggungnya pada saat dia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman?

Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.

Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong.

Sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.

Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalau engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”

Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha-ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.

Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan.

Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang dia rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda serta memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampaknya saja hebat mengerikan karena goloknya menyambar-nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.

Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai berlari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali,

“Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

Mendapat serangan kacau balau itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya.

Dia kemudian menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.

Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila ini benar-benar membingungkan dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari pada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya.

“Bukk!” terdengar suara karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani membela keempat pemuda Kwee, walau pun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.....
Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong beserta adik-adiknya, “Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan babi hutan yang mengamuk ini!”

Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang sangat lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!

Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu mampu menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus.

Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu. Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip!

“Plokk!”

Terdengar suara dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

Kejadian ini terlihat jelas oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang ‘hok-khi’ (beruntung) maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

Pada waktu itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang menimbulkan tertawa geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dengan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira sehingga sambil tertawa terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang!

Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!

Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya karena bekas bacokan golok.

“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara mengejek.

Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang tidak bersenjata ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Lagi pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini lebih mudah menggunakah tangan kosong. Karena itu dia segera membanting golok dan perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara berkerontangan, kemudian sambil mendelikkan mata ia memaki,

“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang lehermu!”
“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!

Juga Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.

Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.

“Uhh… uhhh…” mulut Cin Hai mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.

Demikianlah, keduanya saling membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri sehingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

Yang merasa sangat gembira adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu!

Pada saat itu mereka merasa seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,

“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”

Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi... tarik...!”

Akan tetapi apa bila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”

Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga. Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.

Tiba-tiba saja Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.

Orang-orang tertawa geli dan bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.

Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetot tubuhnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai sehingga dia menguatirkan keselamatan pemuda ini.

Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu banyak menghabiskan tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga!

Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

Lin Lin dan Ang I Niocu kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya, yaitu di bagian para tamu wanita. Pada saat Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.
“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”
“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.
“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di dalam Goa Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”

Biauw Suthai tertawa senang. “Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau gagah berani!”

Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.

Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Dia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,

“Kwee-ciangkun...”

“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena datangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”

“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!”

Terdengar orang-orang tertawa keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.

“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu. Akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.

Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”

Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.

Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia kini sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.

“Tuan rumah sudah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”

Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama?
Lihat pakaian dan pedang.
Dan cari sendiri siapa namaku!

Perwira itu lalu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!

“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik maka aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat. Pertempuran ini tidak dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak akan mau melayaninya!”

Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan agar lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”

Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.

“Hei, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

Bukan main hebatnya hinaan ini sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan telah berdiri di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,

“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”
“An-ji...!” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng.

Akan tetapi karena pada waktu itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!

Cin Hai dengan jelas bisa melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan sudah mempunyai ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini sehingga mereka menjadi girang.

Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”

Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya.

Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.

Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampurkan obat-obat kuat dan digosok-gosokkan pada seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan mempunyai tenaga luar biasa!

Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-06
LihatTutupKomentar