Kisah Pendekar Bongkok Jilid 08


Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.

Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.

Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih kecil.

Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam bidang agama.

Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu.

Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.

Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.

Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.

Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.

Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku bangsa.

Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.

Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.

Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan.

Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.

Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.

Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!

Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!

Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!

Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!

Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!

Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!

“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”

Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!

Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!

Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!

Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.

Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!

Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.

“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.

Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”

“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”

Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.

Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.

“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”

Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.

Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”

Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!

“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”

Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.

Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!

Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”

Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh mereka menggigil.

“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”

Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.

Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”

Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!

Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah! 

Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Image result for PENDEKAR BONGKOK
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.

Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.

Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!

“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”

Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.

Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.

Biar pun nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu.....
Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, dia pun menyuruh mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.

Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sianjin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersemedhi sambil menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Ia pun telah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol.

Malam pun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu suasana remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu.

Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.

Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu. Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.

Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu birahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya’.

Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.

“Kalian takut?”

Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.

“Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.

Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan tetapi mereka pun merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sianjin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sianjin tersenyum.

“Heh-heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.

Nafsu birahi sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.

Bong Sianjin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’ yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.

Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia kemudian menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.

“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”

Melihat betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Akan tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.

Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam siluman, setan dan hantu.

Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.

“Takkk!”

Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!

Dukun Bong terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!

“Kau... kau... bukan siluman...!” serunya.

Akan tetapi, pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.

Siluman merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.

Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.

Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan.

Gumo Cali memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.

Daun pintu itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.

Gegerlah seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak mereka pun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya. Hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.

Apakah orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!

Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang tadi malam terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong telah terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, suasana dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.

Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.

Tanpa dia sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingen Tangla sebelah utara Tibet.

Menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan dapat memulai dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.

Ketika Sie Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang langsung mengepungnya dengan senjata di tangan.

“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”

Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!

“Heiii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya.

Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.

“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.

Akan tetapi, ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah sebangsa siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.

Melihat kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia sudah maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.

Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!

Melihat serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apa lagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.

Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke atas dan membentak dengan suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”

“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!
“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”

Mendengar ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.

“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”

Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!

“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan membunuh orang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.

Melihat sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.

Timbul harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, dia pun segera berteriak memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.

Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”

“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.

Biar pun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.

“Hemmm, kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”

Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi dia pun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”

Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah. Dia lalu melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.

“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini!”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”
“Taihiap, marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.

Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.

“Siapa yang mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana patutnya.
“Itu adalah Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.

Mendengar sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”

“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang anak gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...”

Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikatkan di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah terjadi tadi malam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.

Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sianjin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.

“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malu-malu menangis di depan Sie Liong.

Pemuda ini mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”

“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”

Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap diculiknya.”

“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang sombong. Aku segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya terulang kembali. Mudah-mudahan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”

Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya.

Diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu di dalam kamar tanpa disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.

Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.

Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.

Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan.

Dari atas genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.

“Bukit apa yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ahh, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap, bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...”

Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja.”

“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, dan sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap sebagai sarapan pagi.”

Sie Liong merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.

Belum juga tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Ia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak pucat.

“Taihiap... taihiap... dia... dia datang...”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...”
“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”

Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski dia berani membayar berapa banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.

Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak setujuannya.

“Cara itu tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia... dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”

Sie Liong menggelengkan kepalanya.

“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”

Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...”
“Tenangkan saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”

Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya sendiri supaya aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”

Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”

Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi tahu kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap supaya penduduk suka membantunya.

Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah terhadap siluman merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang’ ke atas genteng…..

********************
Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar dari rumah mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, hendak menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.

Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain.

Pada waktu pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendengar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang pernah didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.

Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan kemudian dia pun menjadi takut.

Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.

Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget.

Ketika malam semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah, dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.

Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu. Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, dia pun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.

Dalam persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau diperlukan, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.

Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya suara jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap.

Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.

Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding. Matanya berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar.

Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.

“Krekkk...!”

Terdengar sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.

Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.

Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.

“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”

Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah terulur mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan walau pun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun telah mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan oleh lawan.

Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.

“Dukkk!”

Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.

“Ihhh!”

Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya dan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.

“Plakkk!”
“Ehhh...!”

Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.

“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.

Sengaja Sie Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka memegang senjata.

Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar sambil memegang payungnya.

Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera menangkis dengan payungnya.

Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka dia pun sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.

“Trangg!”

Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas sekali.

“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.

Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!

“Kiranya siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya.

Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.

“Mampuslah!”

Tangan kiri wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat!

Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.

Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi masih berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.

Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!

Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul.

Mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

“Hidup Sie Taihiap...!”

Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.

Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Jika saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”

Orang-orang lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.

Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar bagi mereka untuk membayangkan ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?

Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie Liong, si Pendekar Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.

Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena bila penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.....

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman.

Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat. Menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.

Maka, begitu Sie Liong melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam. Dugaan Sie Liong memang tepat sekali.

Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, di dalam sebuah hutan, terdapat sebuah bangunan kayu yang nampak masih baru dan cukup besar. Bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan ini, dari dalam rumah itu kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan para wanita, disusul hardikan yang menghentikan suara isak tangis itu.

Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Para gadis itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu.

Karena mereka selalu dihardik dan diancam bila menangis, maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib.
Selama mereka ditawan itu, mereka tak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu, bahkan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.

Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, dia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu. Meski hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok itu, tapi dia tidak berani mengambil resiko untuk terus melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.

Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, dia disambut teguran tidak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.

Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda. Pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih dengan dasar warna hitam. Biar pun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).

Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar. Wajahnya penuh dengan kelicikan sedangkan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.

Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Tiga laki-laki ini memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan berlagak laksana jagoan.

Orang ke lima adalah siluman merah sendiri, kini dia sudah menanggalkan topengnya. Apa bila Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!

Usianya tak akan lebih dari dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!

Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati sangat puas dia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di pinggir telaga Co-sa sebagai seorang yang kaya raya.

Akan tetapi setibanya di rumah subo-nya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subo-nya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai Yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).

“Pek Lan, Thai Yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai Yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”

Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemmm, dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaianku. Engkau cobalah dia, Thai Yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai Yang Suhu!”

Wajah serta sikap pria berjubah pendeta itu sudah sangat menarik perhatian Pek Lan, karena itu mendengar kata-kata subo-nya, ia pun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai Yang Suhu. “Paman, silakan!”

Thai Yang Suhu tertawa bergelak, dan ternyata gigi-giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau adalah seorang keponakan yang mengagumkan,” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, pinceng ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”

Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sinkang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.

Thai Yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.

Akan tetapi, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, lalu ia pun membalas dengan serangan bertubi-tubi. Ia mengerahkan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!

“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai Yang Suhu.

Biar pun mulutnya tertawa, akan tetapi dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan tangkisan dan elakan. Walau pun yang sedang menyerangnya hanyalah seorang wanita muda, akan tetapi serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.

Gadis itu pun tidak mau memberi hati. Ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu diam-diam harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak saja pendeta itu lenyap dari pandangan mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi Pek Lan kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.

“Pek Lan, pinceng di sini!”

Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subo-nya itu. Dia segera membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai Yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat-cepat menarik tangannya sambil mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.

“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.

Asap hitam menghilang dan Thai Yang Suhu kelihatan kembali.

“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”

Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak berani...”

Thai Yang Suhu tertawa dan dia kembali berubah menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.

“Thai Yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihatlah, dia pandai sekali ilmu sihir! Kini dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku akan wakilkan padamu.”

Pek Lan mangerutkan alisnya. Dia merasa menyesal mengapa subo-nya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh dia yang mewakilinya. Jika subo-nya yang memerintahkan, tentu saja dia tak dapat menolak lagi.

“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan menurut pinceng hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun di mana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”

Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.

“Akan tetapi, mengapa mesti aku...?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai Yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”

Guru itu mendesak sedemikian rupa sehingga tak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.

“Paman Thai Yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?”
“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh itu kepadaku.”

Mendengar permintaan ini, kedua mata Thai Yang Suhu lantas terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu kemudian menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan dia pun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang sungguh cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apa lagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, dan masih keponakanku sendiri pula yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi. Pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir padamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”

Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai Yang Suhu!”

“Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai Yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai oleh banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”

Mendengar ucapan subo-nya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya lalu berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subo-nya. Akan tetapi, apa bila benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu, ia pun tidak berkeberatan!

Demikianlah, sejak saat itu Pek Lan membantu Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dengan ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu, mulai menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai Yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu.

Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan ia pun secara suka rela menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan ia pun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu sangat perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.

“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal hanya karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan sangat memalukan!” Demikian berkali-kali Thai Yang Suhu menegur pembantunya, yang juga merangkap kekasihnya itu.

Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut. “Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang sangat lihai. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami bahkan belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?”

Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya pula. “Hemm, tentunya si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama ia berada di sana dan menghasut para penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk bisa memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, ehh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”

“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sin-to (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.

Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai Yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sin-to segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu ia berkata dengan suara lantang, “Sam Sin-to, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biarkan aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”

Tibet Sam Sin-to tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!”

“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat supaya jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,” kata Thai Yang Suhu.

Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.

“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Thai Yang Suhu.

Anak buah ini adalah juga seorang anggota Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik. Dia pun memiliki ginkang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.

Setelah memberi hormat, anak buah itu kemudian bercerita. “Tak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Losuhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tidak ada seorang pun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”

“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai Yang Suhu tak sabar.
“Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi sekarang penduduk melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.”
“Hemm, aku tidak takut! Mari sekarang juga kita berangkat mencari si bongkok itu di rumah penginapan!” kata Pek Lan gemas.
“Tidak,” bantah Thai Yang Suhu. “Sudah kukatakan bahwa semua harus menggunakan rencana serta siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita akan usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha, justru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sin-to yang akan menghadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau yang menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”

Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinya pun merasa tenang. Kalau Thai Yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu.

Malam itu Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai Yang Suhu. Pertama untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, dan ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan membantunya.

Untuk memberi tanda darah pada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw yang cekatan dan pandai menyamar…..

********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-09
LihatTutupKomentar