Kisah Pendekar Bongkok Jilid 02


Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).

Beberapa bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang diri dalam kesunyian.

Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.

Tembok Besar
memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?

Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.

Orang itu sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.

Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.

Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.

Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.

Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.

Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun tersenyum penuh bahagia.

Alangkah bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala keindahan itu! 

Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan semua itu!

Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan, iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan.....

Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya. “Aihh, perjalanan masih amat jauh, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.”

Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!

Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan goa pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.

Para penduduk perkampungan sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan. Karena kakek itu dikabarkan sangat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia pun disebut sebagai Pek-sim Siansu.

Sebutan ‘pek-sim’ ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai orang yang berhati putih, seorang yang sangat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Siansu (Guru Suci Berhati Putih).

Kakek ini telah mengalami suatu kejadian aneh. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai tengah malam dia bersemedhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapa pun, ia pergi begitu saja meninggalkan goa pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet!

Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dirinya supaya melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Siansu, peristiwa mendapat ilham atau isyarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi.

Manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang dengan nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu, maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!

Kekuatan alam ini merupakan kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam sudah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan serta batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isyarat-isyarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan penglihatan, dalam sadar mau pun dalam tidur.

Dan Pek-sim Siansu sudah mencapai tingkat seperti itu. Maka, tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Image result for PENDEKAR BONGKOK
Mari kita tengok apa yang tengah terjadi di daerah perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tidak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biar pun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san ini pun telah terkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.

Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang yang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.

Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Penyebabnya hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!

Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar supaya dapat hidup tenteram dan damai, menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, di antara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!

Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!

Banyak di antara para pertapa yang benar-benar telah menjauhkan diri dari permusuhan. Maka mereka itu mengalah, lalu diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka ‘mengungsi’ ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.

Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Siansu juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, amat jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.

Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang mengamuk serta menyerang para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya. Mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu lalu mengamuk ke sana!

Menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!

Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-pai. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biar pun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak.

Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui bahwa Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Apa bila kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuh para pertapa yang tak berdosa, maka berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya dan bahkan mendatangkan kekacauan.

Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama Jubah Merah dari Tibet itu kemudian mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak pada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.

Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang sangat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncang Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.

Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hwat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi.

Di perguruan Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkatan. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.

Thian Hwat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorang pun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.

“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walau pun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.

“Siancai-siancai-siancai...!” Thian Hwat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama Jubah Merah itu, bukan?”

“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”

“Aihh, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili Dalai Lama di Tibet untuk memberi hukuman kepada mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apa pun, bagaimana kita dapat mencampuri? Apa bila kita ikut bertindak, mungkin malah dapat menimbulkan salah paham yang lebih besar, sute.”

“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat seperti itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar supaya mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu justru memberi contoh yang buruk sekali kepada para murid?”

“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya yang terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”

“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersemedhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu lalu meninggalkan suheng-nya untuk bersemedhi di dalam kamarnya sendiri.

Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia lebih kurang dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.

Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biar pun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru mencapai tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama.

Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walau pun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat bila mereka melanggar peraturan perguruan.

Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempah-rempah dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.

Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri, dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.

“Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kami bunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.

“Siancai...! Puluhan tahun yang lalu, pada waktu pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.

Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan menyelinap dengan hati-hati di antara pepohonan mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah. Pakaian tosu itu robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya.

Dua orang Lama itu berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Ada pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.

“Tidak berdosa? Omitohud... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, semenjak puluhan tahun yang lalu telah mempunyai rencana jahat di Himalaya, yaitu berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama serta merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.

“Sudahlah, untuk apa lagi bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau adalah seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?!” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.

“Siancai... memang pinto disebut Pek In Tosu. Kami tiga orang kakek dari Himalaya telah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apa lagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai...! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa?! Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.

Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran mereka pun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke perguruan itu sudah diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka menjadi marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apa lagi mereka pun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang.

Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.

“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.

Sementara itu, kedua orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu kedua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam bagaikan mata harimau, dan suaranya terdengar parau serta penuh teguran.

“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani ikut mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat bahwa kalian masih kanak-kanak, biar pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”

“Kami bukan orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat begitu saja membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami telah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia tampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apa lagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat dia pun nampak gagah.

Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng itu berkata, “Ha-ha-ha, semenjak kapankah Thian Hwat Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”

Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”

“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian menggunakan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai...! Ji-wi kongcu harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu bisa membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun.

Sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!

Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa.

Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”

Ini merupakan tantangan! Tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apa lagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina perkumpulan mereka pula.

“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar supaya tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”

Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua orang Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi?

Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru!

Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berdua pun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua orang pendeta Lama itu.

Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.

“Krekkk! Krekkk!”

Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu. Sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju. Dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan mereka pun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya bisa memandang dengan mata melotot.

Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak engkau habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju. Tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.

“Siancai..., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”

Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat. Nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.

“Dukkk!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.

“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai...! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga telah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”

“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku Lama.

Pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok. Kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara.

“Kok-kok-kok!”

Dan kedua tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan. Seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia sudah siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.

Agaknya, untuk menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang bermuka codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya supaya dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.

Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang sekarang diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang mengandalkan sinkang dan khikang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Perut gendut yang menggembung itulah yang menjadi sumbernya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh.

Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut, “Siancai... pinto terpaksa melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan...!”

Dan kakek ini pun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong. Tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada seperti menyembah dan dia pun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.

Bunyi kokok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat, dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itu pun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan.

Pek In Tosu melihat ini semua. Akan tetapi dia masih tetap tenang saja, bukan tenang memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apa pun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.

Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan. Bunyi kokok itu semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu, angin keras yang membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!

Bukan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja sudah mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan, dan asap hitam itu pun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.

Tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu sakti Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulan lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.

“Plakk! Plakk!”

Dua pasang tangan itu saling bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.

Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah datang menyerangnya. Lama muka bopeng ini juga lihai bukan main, dan begitu menyerang dia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).

Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mukjizat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!

“Siancay…!” Pek In Tosu memuji dan berseru, dilanjutkan dengan pembacaan mantera dan dia pun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang.

Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mukjizat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat Thay Si Lama semakin terdesak, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kokok lagi dan dia pun membantu sute-nya, mengeroyok Pek In Tosu!

Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sinkang-nya yang setingkat lebih kuat, disertai keringanan tubuhnya yang memudahkan ia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak.

Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia. Apa lagi selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, sebab itu tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka sering kali berkelahi, maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.

Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai...!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!

Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun dan cepat menahan gerakan mereka. Mereka merasa amat heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersemedhi, kedua telapak kakinya telentang di atas paha. Itulah cara duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat.

Mereka mengira bahwa kakek itu telah kelelahan dan pasrah untuk mati, maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok dan menyerang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya itu duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu!

Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala. Kalau saja pukulan itu tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika! Akan tetapi, Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis.

“Dukkk!”

Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan pasrah menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat!

Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental!

Thay Si Lama menjadi penasaran dan dia pun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!

Dua orang pendeta Lama itu menjadi makin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah sangat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka merupakan tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia!

Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil bila kini menghadapi seorang pertapa tua renta saja mereka sampai tak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!

Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian mau pun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah pula hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka.

Keduanya saling pandang, memberi isyarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba mereka pun menghentikan serangan mereka dan hanya berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja para dewa.

Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir. Nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, tetapi juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!

Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kokok seperti kalau dia sedang mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit.

Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khikang dan sihir. Suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka pun menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, tindakan mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka sendiri.

Mula-mula tubuh Pek In Tosu gemetar. Kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa ia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu!

Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil semedhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apa pun dari luar.

Akan tetapi, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar walau pun dia berusaha keras mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu memiliki kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran!

Getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuh Pek In Tosu gemetar. Dia pun lalu melawan, mengerahkan khikang sehingga dari kepalanya keluar uap putih yang semakin lama semakin menebal. Namun, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang.

Mula-mula goyangan itu hanya perlahan-lahan. Tetapi makin lama goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!

Sekarang keadaan kakek tua renta itu gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu ialah sejenis ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Jika Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara lainnya yang memecahkan kesunyian. Tadinya yang terdengar hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu!

Suara ini pun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya. Tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?

Tidak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu sedang memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan ‘paduan suara’ antara mereka.

Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah. Mereka lalu cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena jika mereka bisa membuat irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.

Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu semakin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala!

Akan tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena ketukan bambu itu sekarang berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama. Bahkan kini ketukannya menjadi lebih keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat. Kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, lalu berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.

Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka. Kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balaunya sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali.

Pek In Tosu seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia sudah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan.

Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-gelengkan kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka menjadi kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!

Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, bahkan sebagian menutupi dahi dan mukanya.

Wajah itu tidak buruk, malah bentuknya tampan. Matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, akan tetapi wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong!

Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan juga menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!

Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apa lagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah.

Tiba-tiba dia mendengar suara enci-nya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan membentak! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara tadi keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar enci-nya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.

“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan dia memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang sungguh keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Ehh? Apa yang kau katakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan Sie Liong yang mendengar ucapan enci-nya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt...! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”

Terdengar enci-nya menangis. “Setelah... setelah apa yang kulakukan untukmu semua... setelah kuserahkan badanku, cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku dapat diselamatkan..., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia telah menjadi bongkok, cacat, dan engkau... masih juga membencinya?”

“Kau jelas keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa aku pun suka padanya, hanya aku..., benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu... dia seolah-olah menjadi penghalang kebahagiaan kita... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...”

Hening sejenak, lalu terdengar enci-nya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”

“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?!” enci-nya setengah menjerit. “Maksud... maksudmu...?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia dapat menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu sangat baik baginya? Menjadi seorang hwesio merupakan kedudukan yang terhormat, mulia dan bahkan disegani orang.”
“Ahhh... tetapi... tetapi...”
“Tidak ada tetapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau juga menghendaki supaya kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”

Setelah hening sampai lama, lalu terdengar enci-nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku boleh mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...”

Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, ingin menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.

Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia takkan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat enci-nya cekcok dengan suami enci-nya. Bagaimana pun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.

Bukankah enci-nya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihu-nya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihu-nya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut?

Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia kemudian mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi sebuah buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.

Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.

Sie Liong.

Biar pun baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!

Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah utara kota itu. Dia sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.....

Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan baru melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tak ada seorang pun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.

Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran, tentu saja ke utara! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong pada malam hari itu, membawa sebuah buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbang pun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.

Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!

Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia pun pulang dengan wajah lesu.

Hatinya tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!

Seperti sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.

Demikianlah, Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.

Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk, dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.

Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!

Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu binatang-binatang sebangsa kera besar.

Tubuh dan pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.

“Aihh, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.

Wajah Sie Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”

“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.

Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.

Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.

“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”

Betapa pun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”

“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.

Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”

Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”

Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.

“Bukkk!”

Tendangan itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.

Saat dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada. Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.

Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.

Ahh, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!

Hidup di dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.

Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!

Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya.

Dia merasa aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.

Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.

Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.

Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!

Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.

Sie Liong merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.

Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.

Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.

Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.

Akan tetapi, pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.

“Siapa itu?” Gadis itu menegur.

Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.

“Hayo katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”

Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.

“Aku... aku bukan maling...” katanya lirih.

Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!

“Eiiiiihhh...!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.
“Setaaan...! Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.

Sie Liong kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang!

“Sungguh sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Tidak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.

“Mana dia? Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas suaranya agak gemetar.
“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu lalu merangkul ibunya.

Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.

“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.

Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.

“Maaf, paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang mengharapkan pertolongan kalian.”

Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!

“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.

“Iiihhh...!” Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!

Kini pria setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.

“Ambilkan satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
“Baik, ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.

Ayah, ibu beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.

“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”

Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.

“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku Liong, she Sie.”

Ketika itu, pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.

Dengan perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.

Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”

Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.

“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”

Sie Liong mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.

Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali.

Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.

“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”

Empat orang itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang kasar.

“Jika engkau sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata sang ayah.

“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.

Sie Liong memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.

Pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.

Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat kepada mereka.

“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”

Pada malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.

Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.

Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.

Agaknya, dia perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.

Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh.

Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.

Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Maka, tanpa disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.

Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!

Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.

“Tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!

Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah ketahuan dan telah menjadi kacau balau!

Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itu pun tidak ada gunanya lagi.

“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet.

Tiba-tiba tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!

Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!

“Siancai...! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.

“Desss...!”

Thay Ku Lama terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting dan terbanting keras!

Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.

“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”

Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.

“Siancai...! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In Tosu.

Tosu ini segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.

Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.

“Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan para Lama itu.”

Dua orang itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.

“Thian Yang Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.

Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.

Perlahan-lahan ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!

Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak.

Ketika Sie Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!

“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.

Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”

Pek In Tosu menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”

Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.

“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”

“Siancai...! Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”

Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In Tosu.

“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”

Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..

********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-03
LihatTutupKomentar