Kisah Pendekar Bongkok Jilid 03
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.
Orang ke dua juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa Cinjin.
Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.
Mereka bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.
Tidak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai...! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.
Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya terasa nyeri.
Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum lenyap sama sekali.
“Ketika itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh…” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama hendak menculiknya?”
“Ini pun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar mau pun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai...! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri.
Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya.
Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini.
Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.....
“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu.
Bagaimana pun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya. Apa lagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini sebab dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba muncul angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Sie Liong hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan.
Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain.
Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering bagai tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang lengkap dan amat terkenal, yang belakangan mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lantas menggeser duduk mereka. Sekarang mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu dengan sikap yang tenang sekali.
Sie Liong membuka matanya lebar-lebar. Hatinya merasa tegang, akan tetapi dia pun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu telah duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya tadi memberi isyarat melalui gerakan tangan dan tubuh.
Mereka berlima tidak berani memandang rendah pada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati sekali.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Bila Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap siagaan untuk berkelahi.
Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
“Sam Lojin, sekali lagi kami menegaskan bahwa pimpinan kami, yaitu yang mulia Dalai Lama, memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.
“Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”
“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berbicara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biar pun kata-katanya halus dan sopan, akan tetapi mengandung ejekan.
“Maafkan kami. Kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai...! Terserah pada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.
Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah. Kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti sudah pulas dalam semedhi.
Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa amat mendongkol kepada lima orang pendeta Lama itu. Biar pun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.
Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang membuat hatinya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, kemudian menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu.
Dia melihat betapa tubuh kelima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan masih dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu terus naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru.
Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari semedhi!
Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri kemudian dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang sangat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kecoa-kecoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itu pun mampu mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu bila dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andai kata kalian pandai terbang sekali pun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena walau pun dia mendongkol dan tidak suka terhadap lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, namun orang lain yang hanya ‘meminjam’ mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demikian terkejut, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh mereka pun meluncur turun.
Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit. Mata mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah-olah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang. Ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai itu, kemarahan mereka pun memuncak dan untuk sementara mereka tidak mempedulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin, melainkan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai sudah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”
“Siancai...” Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju dan menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai.
Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangannya di dada dan berkata dengan penuh hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami jika kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”
Kini Thian Hwat Tosu kembali menghadapi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi losuhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkan saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi losuhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kami pun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, tapi mengkhawatirkan bila terjadi kesalah pahaman. Oleh karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan dia pun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maksudkan. Kami pun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa telah memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri urusan kami yang tak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga terkandung pandangannya yang congkak.
“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”
“Omitohud...! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kami pun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai demikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”
Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suaranya yang keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapa pun juga akan kami hadapi!”
“Omitohud...!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah serentak berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,
“Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suheng-nya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju bersama, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suheng-nya sekali pun.
Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apa lagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).
Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang luar biasa kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sute-nya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang. Di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan amat rapi.
“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang berniat untuk memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya telah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.
Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek. Dengan berjajar mereka pun melangkah maju menghadapi lima belas orang itu.
Setelah mereka saling berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka pun sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka sudah berlatih sampai matang.
Melihat ini, lima orang pandeta Lama itu pun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri. Mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat pula mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu, yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, kalau melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi.
Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin. Begitu pimpinan mereka memberi aba-aba, maka lima belas orang itu langsung bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!
Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan bagai kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal amat hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat pula oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!
Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing.
Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya dia sembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.
Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian kemudian diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Serangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai terhadap lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima sama sekali tak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis.
Terdengar bunyi nyaring berdenting-denting, kemudian disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pendeta Lama. Karena memang tenaga sinkang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu langsung terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!
Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang beberapa kali, akan tetapi selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang, bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.
Kesempatan ini digunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya dan golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat.
Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama juga memutar sepasang pedangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang.
Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya sehingga senjata istimewa ini segera menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya sehingga terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini ternyata memiliki tenaga raksasa.
Biar pun cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dapat pula dihindari oleh lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak bahwa pertempuran ini tidak seimbang sama sekali.
Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini lantas mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa mereka pun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang disertai terdengarnya suara bentakan nyaring.
“Tahan senjata!”
Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka mereka pun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan sekarang mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu ilmu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud...! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Baru mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, dan kini bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute, harap tenangkan hatimu!” Thian Hwat Tosu menegur sute-nya, kemudian ketua Kun-lun-pai ini melangkah ke depan dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. “Siancai... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami yang tadi lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan pada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak terus berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi lagi.”
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, di samping janji.
“Omitohud... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau ternyata kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau di antara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, engkau temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum lalu melangkah maju mendampingi suheng-nya, yaitu Thay Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah semenjak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
“Ha-ha-ha!” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat bahwa wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meledakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan tetapi, sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, sekarang sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dengan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan para orang gagah yang tak pernah mencampuri mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Kun-lun-pai. Jika sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Oleh karena itulah kami bertiga minta supaya Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.”
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dengan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama.
Jika sekarang pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya kelima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!
Dan sebaliknya andai kata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri!
Bermusuhan dengan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dengan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama sangat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dengan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
“Siancai...!” berkata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang bijaksana sekali. Kami akan menjadi orang-orang yang tak mengenal budi bila tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah.
Meski pun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suheng-nya. Dia pun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, dan membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu benteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi jauh lebih ringan, tak perlu menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kami pun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, dengan menyadarkan ketua Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kami pun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dengan kami, sebagai tamu undangan untuk kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, “Siancai...! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”
Wajah Thay Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sesungguhnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti seekor katak besar!
“Hmm, apakah yang memaksa kalian menolak undangan kami yang telah kami lakukan dengan merendahkan diri?” tanyanya dengan suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan Dalai Lama, sehingga andai kata beliau yang mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimana pun juga, kami bukanlah anggotanya mau pun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undangan itu.”
“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. “Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!”
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
“Siancai... memang sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”
“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama.
Dia sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biar pun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai menggunakan segala macam senjata, namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apa lagi membawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian saja pun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.
Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, mau pun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tak pernah berkelahi, tak pernah menggunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Selama ini bahkan mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada ‘sumbernya’, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.
Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walau pun andai kata ada nafsu itu pun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itu pun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi yang mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sinkang mereka amat kuat dan di samping itu, mereka pun pandai ilmu sihir.
Thay Ku Lama mempunyai pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut. Pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat dan mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.
Ada pun orang ke dua, Thay Si Lama, di samping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki ginkang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.
Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain permainan senjata rantai bajanya berbahaya sekali, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biar pun kurus kering, akan tetapi tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya.
Dan yang lebih dari pada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya jika dibuat perbandingan, tingkat kepandaian mereka masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andai kata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorang pun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi, kini mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok. Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan.
Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang sangat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini semenjak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.
Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk bisa mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih serta lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, dia pun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak.
Akan tetapi satu hal yang dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih, walau pun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau ketiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Meski tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, akan tetapi dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak.
Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, sangatlah hebat. Menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu, dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari salah seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang berkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia pun terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri, karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan dia pun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling akibat tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!
Dia membelalakkan matanya agar bisa memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.
Ketika menengadah, Sie Liong melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Rambutnya riap-riapan berwarna putih, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali.
Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka dia pun lalu duduk saja bersila, tidak mempedulikan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh...!” Kakek itu terkekeh geli.
Tongkat bututnya lalu bergerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong. Lalu nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih.
“Engkau tinggal saja di dalam ruangan ini. Siapa pun tak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya ia baru bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan dia pun tidak menjawab, hanya membuka mata menonton pertempuran yang masih berjalan terus.
Agaknya kakek gembel itu pun sekarang tidak mempedulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba saja Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah. Akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong pun basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludah pun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan walau pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan dia pun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali pula kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar pun dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apa lagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang telah terjadi perubahan pada pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga dalam menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang menggunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.
Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang sudah kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih itu terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!
Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan mendadak seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang ‘melanggar’ lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itu pun tordorong keluar!
Pada saat para anggota Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu terus berlompatan. Agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!
Tidak demikian dengan para pendeta Lama. Pada suatu ketika, ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama.
Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksasa itu memasuki lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itu pun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia pun terdorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong.
Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.....
“Trakkk!”
Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek gembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia mempunyai tenaga gajah yang sukar dilawan.
Pada saat itu pula, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek gembel. Kakek gembel itu terkekeh keras sehingga kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek gembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga dia tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!”
Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan dia pun terbelalak keheranan.
Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Mengapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina.
Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi sangat marah. Biar pun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, sekarang dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek gembel.
“Waduh, jebol perut ini...!” teriak kakek gembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus!
Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!”
Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Pada waktu Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek gembel itu, melainkan menembus baju gembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang sekarang menghadapi tiga orang kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya sedang meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek gembel!
“Si-sute dan Ngo-sute, hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama.
Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol. Akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang gembel yang amat sakti, maka mereka pun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan yang halus.
“Siancai...! Tidak malukah kalian sebagai lima orang pendeta yang mestinya menjauhi kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?”
Lima orang pendeta Lama itu terkejut. Suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khikang yang terasa menggetarkan jantung, maka mereka pun berloncatan mundur untuk memandang siapa yang muncul itu.
Kiranya dia adalah seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun. Rambutnya putih semua, riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih. Tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar. Pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
“Supek...!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek yang baru datang itu.
“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!” Kakek gembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan!
Himalaya San Lojin juga memberi hormat kepada kakek gembel itu.
“Terima kasih atas bantuan susiok!”
“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, dan ternyata ada Lama Jubah Merah yang berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh-heh!”
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Siansu, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek gembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apa lagi muncul paman guru dan uwa gurunya!
Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu!
“Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
“Siancai...!” Pek In Tosu yang terluka pundaknya, mengeluarkan sedikit darah, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kau putar balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang datang menyerang, lalu membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apa pun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang ke sini untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”
“Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama.
“Kami harus menangkap dan membawa Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”
“Siancai...!” Pek-sim Siansu berkata, suaranya tetap halus sekali.
Namun kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.
“Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun yang akan diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentulah dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal sekali!”
Mendengar ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami adalah utusan Dalai Lama, akan tetapi sudah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan amat membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.
Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Siansu. Akan tetapi kalau Pek Sim Siansu hidup sebagai orang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran. Memang ada kelainan pada diri Koay Tojin. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting!
Padahal dalam ilmu kepandaian silat mau pun kekuatan sihir, ia tak kalah dibandingkan dengan suheng-nya itu. Mungkin justru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu.
Hidupnya berkeliaran seperti gembel dan kadang-kadang dia melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita terlebih dulu. Akan tetapi dia pun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, malah dia lebih dikenal sebagai seorang sinting.
“Sute, engkau pun sampai kini masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”
“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Tetapi sekarang, coba dengar, dia berceramah menguliahi aku supaya aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”
Biar pun gembel tua itu nampak ugal-ugalan, tetapi diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka dia pun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu jahat bukan main, dan lebih jahat lagi karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andai kata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”
“Siancai... Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Siansu kepada Himalaya Sam Lojin.
Pek In Tosu lalu menceritakan mengenai Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama. Kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.
“Kebetulan supek sudah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In Tosu kepada supeknya.
Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Siansu lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena pada waktu mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Siansu, berusia hanya tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim Siansu memang mempunyai berbagai macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek In Tosu, dan kini menderita luka pukulan beracun, dia pun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya.
Pek-sim Siansu mengerutkan alisnya dan berkata. “Ahh, biar pun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati, tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto akan sembuhkan dia.”
“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.
Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.
“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek gembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”
“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.
“Heh-heh-heh, engkau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biarlah engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”
Pek-sim Siansu menarik napas panjang. “Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu hal yang baik sekali walau pun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”
“Namaku Sie Liong, locianpwe.”
“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dengarlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh bila kita berkelahi dengan orang lain hanya karena kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi sudah melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan lima orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikit pun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan untuk membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya bila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkau pun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian tadi. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itu pun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab-sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biar pun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti bumi dan langit.”
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam telah mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Siansu. Walau pun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sute-nya masih hahah-heheh, Pek-sim Siansu lalu tersenyum.
“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”
Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira. “Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih...” Dan tiba-tiba kakek itu pun menangis terisak-isak seperti anak kecil!
Tentu saja Sie Liong terkejut sekali melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedang Pek-sim Siansu memandang sute-nya sambil tersenyum.
“Lanjutkan, sute.”
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan lagi. “Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng barani mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”
“Siancai...! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”
“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!”
“Siancai..., munafik lebih keji dari pada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat makhluk-makhluk hidup yang bergerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”
“Nah-nah-nah...!” Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suheng-nya. “Kalau begitu suheng juga membunuh!”
“Memang, hal itu pinto akui, sute. Akan tetapi, biar pun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit. Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biar pun semua itu mengandung makhluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andai kata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan supaya tidak termasuk dan termakan. Semua makhluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biar pun membunuh makhluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walau pun sayuran itu pun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan harus dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama makhluk hidup hanya karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau pun karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”
“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...”
“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk semakin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan bisa merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dan dalam.”
“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Siansu tertawa.
“Ha-ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pinto pun ingin pula menyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!”
Pek-sim Siansu juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda.
Pek-sim Siansu demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar matanya dan senyumnya penuh kasih sayang. Akan tetapi sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja. Hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu sudah saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gembira. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka.
Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu. Akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan Sam Lojin dia pun tidak mampu mengikutinya dengan baik.
Dia hanya merasa heran kenapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini. Akan tetapi dia pun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang amat berwibawa itu. Dia merasa heran, mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua yang disebut sute-nya.
“Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru, kemudian tongkatnya bergerak.
Anehnya, gerakan itu lambat saja, bahkan seperti main-main. Akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Siansu, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana pun lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
“Bagus sekali!” seru Pek-sim Siansu memuji, bukan sekedar untuk menyenangkan hati sute-nya, melainkan memuji karena kagum.
Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sute-nya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan mau pun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justru akan memperkuat getaran tongkat sute-nya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga.
Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sute-nya. Dua batang tongkat butut lalu bertemu. Akan tetapi Pek-sim Siansu tidak menangkis, melainkan menggunakan sinkang sehingga membuat tongkatnya menempel pada tongkat sute-nya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sute-nya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sute-nya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
“Hemmm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” bertanya sang suheng.
“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”
“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”
“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi.
Kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Siansu, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut tanpa jeda. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!
Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah akibat terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek gembel gila itu.
“Siancai...! Sungguh dahsyat...!” kata Pek-sim Siansu.
Kakek ini pun menggerakkan tongkat bututnya. Ke mana pun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Siansu sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.
Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, bagai dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur dan menghentikan serangannya.
“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau mempunyai ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?”
“Siancai..., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”
“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!”
Koay Tojin pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suheng-nya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana, bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak terduga-duga andai kata yang dipukul mengelak.
Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Siansu justru tidak mengelak, melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini, dan tahu pula bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak, malah menangkis supaya jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya sambil diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Siansu. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu.
Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!” Mendadak dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya.
Tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada dua kakinya yang terjepit.
Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah yang cukup banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
“Siancai... siancai... siancai...!” Pek-sim Siansu memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya. “Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”
Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tadi tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...” kata Pek-sim Siansu lirih.
Tiga orang kakek itu melihat dan... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut bukan main.
Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara kedua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Siansu hancur. Hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Siansu, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
“Siancai... Bukan main hebatnya susiok...” berkata Pek In Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali...!”
Pek-sim Siansu dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimana pun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak pada yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Siansu tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapa pun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kita pun bisa saja memilih seorang murid yang baik, supaya kelak dia dapat menahan kejahatan yang datang dari mana pun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe... harap suka tolong saya...”
Pek In Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Siansu mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”
Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kakinya terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti sedang kebanjiran darah dan mulai merasa pening. Juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tiada rasanya lagi, mukanya pun terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, dia pun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Siansu mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya, tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukan pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung muntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”
Mendengar penjelasan ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ahh, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Siansu mengangguk-angguk dan dia pun kembali duduk bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?” Pek In Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu.
Pek-sim Siansu tersenyum. Diam-diam dia memuji pandangan murid keponakannya yang tajam dan telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi..., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apa lagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Siansu. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apa lagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimana pun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa dulu mendiang suhu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya,” kata Pek In Tosu.
“Memang nampaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau sudah berapa usiamu? Orang-orang setua kita ini tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukan pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan semua ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka. Selanjutnya dia tak mendengar apa-apa lagi, karena sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar…..
********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-04