Si Bangau Merah Jilid 09


Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.

Meski pun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.

Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.

Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.

Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Belum lama ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.

Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.

Kao Cin Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Cuwi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu domba."

Semua orang mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.

Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.

"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."

Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.

"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan terhadap mereka."

Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.

Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi sangat kecewa.

"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."

"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong."

"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemmm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.

Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.

"Apakah kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi, kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"

Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu.

"Siancai...!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh Kaisar Kian Liong."

"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."

"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.

Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.....
********************
Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.

Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.

Tan Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak.

Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum ‘mengisi’ tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.

Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.

Ketika dia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"
"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.

Orang itu sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.
Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu akan bermalam di kota ini.

Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ahh, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar memang sudah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."
"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Hotel itu bernama ‘Thai Li-koan’ (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."
"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga prajurit pengawal."

"Tapi, yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.
"Memang ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."

Hong Li yang amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.

Melihat mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada mereka.

Setelah mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa.

Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Walau pun malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.
Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk...!" Hong Li membentak marah.

Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.
"Plak-plak-dukk...!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.

Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia mencabut golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.

Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.
"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik..., baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah Ang-I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"

Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."
"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"
"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.
"Ayah, Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.

Tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."
"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.
"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.
"Tidak boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."
"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Walau pun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apa lagi jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."
"Baik, Ayah," kata Sian Li.
"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian Li mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.

Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.

Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima.

Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu.

Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.

Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh.

Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang tentunya membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Kiranya Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.

Saat Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.

Demikianlah, karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah ‘membuat jasa’ dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena sudah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.

Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.

Ang-I Moli bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"
"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?”

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"

"Aihh, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang-I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Sebab itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menunggu kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

“Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting.” Hong Li lalu menceritakan dengan suara lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.
“Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!” serunya khawatir. “Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?”
“Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li,” kata Sin Hong dengan sikap serius.
“Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali.”

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

“Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar.”
“Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?”
“Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang,” kata Sin Hong.
“Andai kata urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk menjengukmu, Sian Li,” kata Hong Li.
“Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali.”

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka meninggalkan tempat itu.....

********************
Tentu saja para prajurit yang menjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar mereka melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam sudah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu atasan mereka yang sedang tidur?

Liu Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, dan yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan sering kali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat.

Karena hal inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal istana.

Akan tetapi, mereka kini berhadapan dengan lima orang prajurit penjaga yang berkeras tidak dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.

“Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun, sebaiknya supaya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang untuk mengganggunya,” kata kepala jaga.
“Hemm, kalian tidak mengenal kami,” bentak Hong Li yang berwatak keras. “Kalau Liu Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat-cepat keluar menyambut!”

Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. “Harap saudara sekalian memaafkan isteriku. Tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga.”

Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepala jaga itu sambil memandang kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu, bertanya, “Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami sama sekali tidak mengenal Jiwi, dan apa keperluannya? Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?”

“Hemm, kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!” kata Hong Li dan sebelum suaminya mencegah, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara lima orang penjaga itu.

Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis, bahkan balas memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan mereka terkulai roboh satu demi satu tanpa mampu bangkit kembali!

“Nah, kalian lihatlah. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tata cara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja pada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Hong Li bergerak membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu.

Kini lima orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi mendengar nama Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, biar pun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimana pun juga takkan berani dia melakukannya!

Tak lama kemudian kepala jaga itu kembali. Dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.

Pada saat Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa, rambutnya juga nampak kusut.

Mereka saling memberi hormat, dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri-seri.

“Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami sudah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata Sin Hong dengan sikap hormat.
“Ah, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka untuk duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.

Sin Hong kemudian menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan percakapan di antara para tokoh dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.

Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga sangat terkejut. “Aku sudah meragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan satu pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu bangkit berdiri.

“Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao Hong Li.

Panglima itu mengerutkan alisnya, kemudian menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran. “Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”
“Tai-ciangkun, mereka kini berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun pasti akan terlambat,” kata Hong Li.

“Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.
“Andai kata Ciangkun tidak terlambat dan dapat menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka semua? Tak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”

Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia pun mengangguk-angguk. “Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak secara tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Maaf, Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Namun diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat.”

“Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, akan ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang-I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?” kata Sin Hong.

Panglima itu mengangguk-angguk “Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!”

Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman itu pada waktu pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan dapat tertangkap semua.....

“Akan tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri tadi, Ang-I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami untuk melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang-I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami dalam menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat.”

Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apa lagi mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, tetapi terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.

“Baiklah, Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, maka kami akan menjemputnya lebih dahulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”

“Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian sejak tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi.”

Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang jauhnya belasan li dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu lalu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan ketika melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para prajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.

Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali di kota Heng-tai. Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walau pun masih ada prajurit pengawal yang menjaga. Agaknya rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana.

Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan dapat melihat kesibukan di antara para prajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.

Ketika Sin Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu kamar itu tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apa lagi ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka.

Mereka cepat-cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram pundaknya.

“Hayo katakan di mana anak perempuan kami!”

Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. “Saya... saya tidak tahu..., apa... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?”

“Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini, tetapi sekarang ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mau mengaku atau berbohong, kami akan membunuhmu!” Sin Hong yang biasanya tenang dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai gelisah sekali.

“Sungguh mati Taihiap dan Lihiap, sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami sama sekali tidak sempat mengurus hal-hal lainnya. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi... tidak nampak Siocia keluar kamar. Sungguh mati saya tidak tahu...”

Suami isteri itu saling pandang.

“Sudahlah,” akhirnya Sin Hong berkata. “Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masih belum terlambat bagi kami untuk menghukummu!”
“Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap... nanti kalau saya melihat atau mendengar tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...”

Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu, kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.

“Heran, ke mana Sian Li pergi?” Sin Hong berkata lirih.
“Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku di mana anak kita!” kata Hong Li.

Akan tetapi Sin Hong memegang lengannya. “Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian mereka. Kalau jelas Sian Li berada dengan mereka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain.”

Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. “Kalau Ang-I Moli yang melakukan penculikan terhadap Sian Li, kali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!”

“Yang penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak kita itu dalam keadaan selamat,” kata Sin Hong.
“Tidak ada kemungkinan lainnya,” berkata Hong Li. “Lenyapnya anak kita itu pasti ada hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini. Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang harus bertanggung jawab.”
“Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang-I Moli, kemudian memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita.”

Setelah mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu, juga mereka berdua tidak melihat adanya Ang-I Moli beserta para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, terpaksa, meski dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.

Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu telah lenyap dari kamar rumah penginapan. “Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu.”

Dan seketika itu juga panglima Liu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.

Ada pun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun kemudian diselundupkan ke dalam istana. Mereka menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan pengawal istana bagian luar.

Dengan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira pasukan pengawal yang menjadi sahabat panglima itu, Sin Hong serta Hong Li dapat bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Tetapi, sepasang suami isteri ini hanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dan dihadiri oleh semua pangeran.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-10
LihatTutupKomentar