Dewi Sungai Kuning Jilid 01


Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di seluruh daratan Tiongkok. Sungai ini panjangnya tak kurang dari lima ribu li dan semenjak muncul dari mata airnya yang berada di pedalaman Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun, sungai ini menjelajahi daerah Tiongkok, memanjang dari barat ke timur, dan melalui tidak kurang dari delapan propinsi di Tiongkok yang luas!

Huang-ho mulai mengalir dari puncak sebuah bukit di Kun-lun-san, dan dari Propinsi Cing-hai dia melalui tembok besar di daerah Sining, terus menjelajahi propinsi-propinsi Kansu, Ningsia, dan Suijan melalui Pegunungan Ala-san yang indah permai, kemudian membelok ke selatan dan menjadi tapal batas Propinsi Siansi dan Shensi, melalui Propinsi Honan, kemudian masuk di Propinsi Shantung, terus terjun ke laut di Teluk Lancou.

Banyak kota-kota besar yang dilaluinya, di antaranya yang terpenting adalah kota Lancou, Ningsia, Paotow, dan Kaifeng. Tidak terhitung banyaknya kota-kota kecil yang dilaluinya, juga ribuan kampung dan desa-desa.

Hampir semua orang Tiongkok mengenal dan pernah mendengar Sungai Huang-ho, atau Sungai Kuning ini. Ia disebut Sungai Kuning karena airnya berwarna kuning, membawa air tanah lumpur berwarna kuning yang merupakan pupuk yang baik sekali bagi para petani. Sungai Huang-ho terkenal ganas dan sakti, merupakan berkah pada waktu tenang, tetapi merupakan bencana besar di waktu banjir.

Selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, semenjak sungai sakti ini lahir, entah sudah berapa laksa jiwa ditewaskannya dan entah sudah berapa banyak hasil sawah dan ladang dihancurkan! Tapi di samping itu, Sungai Huang-ho juga telah banyak dan besar jasanya terhadap kaum pdetani dengan para nelayan yang mengeduk hasil dari airnya berupa ikan dan lain-lain.

Pada waktu cerita ini terjadi, Tiongkok masih merupakan negara besar yang miskin, yakni dalam arti kata keseluruhan, baik negaranya mau pun sebagian besar rakyatnya. Memang ada pula yang hidupnya makmur dan kaya raya, bahkan berlebih-lebihan, yakni para tuan tanah di kampung dan desa, para pedagang besar di kota-kota, dan para pembesar dan orang berpangkat, terutama mereka yang berada di dekat kaisar yang merupakan pusat kemewahan. Tapi apa artinya beberapa gelintir manusia yang hidup mewah dan makmur ini kalau sebagian besar rakyatnya miskin dan papa, banyak sekali yang begitu sengsara sehingga boleh dikata pagi makan malam tidak, dan belum tentu setahun sekali bertukar baju?

Sungai Kuning menjadi saksi akan segala kejanggalan hidup di negerinya. Ia telah melihat betapa orang-orang lemah teraniaya dan betapa si kuat menindas si lemah berdasarkan hukum rimba, betapa si kaya memeras tenaga si miskin berdasarkan hukum perbudakan dan betapa yang dinamakan keadilan itu hanyalah akibat dari pengaruh berkilatnya emas dan perak.

Sungai Huang-ho juga pernah menyaksikan betapa ribuan jiwa orang-orang gagah yang berjiwa patriot gugur dan tewas dalam tugas suci membela rakyat jelata yang berarti pula membela kebenaran, membela keadilan, dan menjunjung peri-kemanusiaan. Orang-orang gagah yang berjuang tanpa mengharapkan hadiah, tanpa mengharapkan balas jasa, yang berjuang dengan mulut diam tetapi semangat bernyala-nyala, para pembela bangsa yang gagah perkasa, yang meneteskan darahnya bagi kepentingan rakyat hingga darah mereka terbawa hanyut oleh arus Sungai Kuning, kemudian darah patriot itu melanjutkan usaha perjuangan yang telah tewas dengan jalan menjadi pupuk bagi sawah ladang pak tani!

Karena keadaan yang begitu sukar sehingga untuk mencari pengisi perut supaya jangan mati kelaparan saja sedemikian sulitnya, maka di sana sini muncullah orang-orang yang beriman lemah namun bertubuh kuat, melebur diri menjadi penjahat-penjahat, perampok, maling dan tukang pukul bayaran. Banyak pula bermunculan bajak-bajak sungai yang siap membajak perahu-perahu yang lewat di daerah mereka.

Di antara para bajak sungai, yang paling terkenal dan ditakuti lawan disegani kawan ialah seorang bajak tunggal yang disebut orang Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho! Sedari muda sumber hidupnya memang berasal dari sepanjang Sungai Huang-ho ini, yaitu dengan sebilah pedangnya dan dia belum pernah terkalahkan.

Sejak bajak air yang gagah perkasa ini muncul, maka terjadi perubahan besar dalam lalu lintas Sungai Huang-ho, karena Huang-ho Sui-mo mengeluarkan larangan kepada semua bajak di sepanjang sungai Huang-ho supaya jangan sekali-kali mengganggu para nelayan dan petani!

Tentu saja, mula-mula tidak ada bajak yang sudi menurut aturan yang diadakan ini, tetapi mereka yang tidak menurut ini satu persatu lalu dilenyapkan dari permukaan sungai oleh Huang-ho Sui-mo! Semenjak itu tiada seorang pun kepala bajak yang berani membantah lagi sehingga para nelayan serta rakyat kecil menghela napas lega dan dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan aman.

Tapi Sungai Huang-ho merupakan pantangan bagi pembesar atau orang-orang hartawan yang hendak lewat. Mereka ini baru berani lewat kalau membawa pengawal yang banyak dan kuat.

Pada masa cerita ini terjadi, Huang-ho Sui-mo sudah sepuluh tahun lebih mengundurkan diri dari pekerjaan membajak. Tapi biar pun demikian, ia dengan perahunya yang kecil dan setengah tua itu masih nampak hilir mudik dan celakalah mereka yang berani melanggar aturan yang telah ia tetapkan!

Karena bajak air ini telah mengundurkan diri karena sudah tua, maka sebutan Huang-ho Sui-mo atau Setan Air dari Huang-ho lambat laun telah menghilang. Bajak tunggal ini pun lalu mengubah julukannya karena sekarang dia mulai meyakinkan ilmu batin dan menjadi pemeluk Agama To yang banyak dianut oleh orang-orang di sepanjang Sungai Huang-ho.

Kini bajak sungai yang gagah perkasa ini disebut orang Thian Bong Sianjin, karena biar pun sudah tua, orang pandai ini masih sering kali mengulurkan tangan menolong sesama hidup sehingga ia sangat dihormati dan dikagumi. Namanya sendiri memang Thian Bong, maka untuk menyatakan penghargaan, orang-orang yang berhutang budi kepadanya lalu menambahkan julukan Sianjin atau manusia dewa kepadanya!

Pada suatu hari di dalam hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah, di mana air Sungai Huang-ho mengalir berlenggak-lenggok dan menimbulkan tikungan-tikungan yang sangat indah, di atas permukaan air yang luas itu tampak sebuah biduk kecil yang kedua ujungnya runcing meluncur dengan cepatnya.

Keadaan pagi hari itu sangatlah indahnya sehingga siapa saja yang berada di tempat itu pastilah akan merasa bahagia dan riang. Sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah daun pohon, memancar di atas air sungai yang mengeluarkan embun mengepul ke atas. Warna campuran antara kelabu, hijau daun, dan kuning emas itu merupakan paduan warna yang indah dan menciptakan tamasya alam yang menakjubkan.

Biduk yang meluncur cepat itu dinaiki dua orang. Seorang kakek berpakaian putih dengan jubah pertapaan dan seorang anak perempuan berpakaian putih pula.

Usia kakek itu tentu lebih dari lima puluh tahun, rambutnya penuh uban dan panjang pula, diikat di atas kepala dengan ikat rambut sutera kuning. Di punggungnya nampak gagang pedang menambah kegagahannya. Muka kakek itu licin, tidak ditumbuhi kumis mau pun jenggot sehingga ia tampak segar dan sehat.

Anak perempuan itu berusia kurang lebih dua belas tahun, wajahnya segar dan mungil, sepasang matanya tajam gembira dan ia bernyanyi-nyanyi kecil sambil mendayung. Kalau diperhatikan, maka orang akan merasa terkejut dan heran sekali mengapa biduk kecil itu dapat melaju demikian cepat, padahal yang mendayung hanya seorang anak perempuan yang masih kecil!

Siapakah kakek yang gagah dan anak perempuan mungil itu? Dia bukan lain Thian Bong Sianjin sendiri! Dan anak perempuan itu ialah cucu pungutnya, sekaligus juga merupakan muridnya sejak dua belas tahun yang lampau, ketika air Sungai Huang-ho membanjir dan mengamuk ganas hingga menenggelamkan banyak kampung dan mengorbankan banyak jiwa manusia.

Seperti biasa Thian Bong Sianjin mempergunakan kepandaiannya menolong mereka yang terkena bencana. Di antara sekian banyak orang yang ditolongnya, terdapat seorang anak perempuan yang masih bayi dan berusia paling banyak tiga hari!

Thian Bong Sianjin tidak dapat menemukan orang tua anak ini, maka dia menjadi bingung sekali melihat bayi yang masih merah ini berada dalam pelukannya. Wajah bayi itu benar-benar membuat dia terharu dan menarik perhatian serta membangkitkan belas kasihan di dalam dadanya.

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk memungut anak itu menjadi cucunya! Dengan pertolongan orang-orang kampung, dapat juga dia memelihara anak perempuan itu. Dan anak itu diberinya nama Thian Hwa.

Semenjak kecil Thian Hwa hidup berdua dengan kakeknya dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakeknya yang gagah perkasa ini. Thian Bong Sianjin bukan saja ahli ilmu silat, tetapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja dia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tetapi juga kuat sekali bertahan dalam air bagaikan seekor ikan! Thian Hwa si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air, sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama kakeknya.

“Thian Hwa, kali ini kau harus menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu. Sanggupkah kau?” kata Thian Bong Sianjin kepada cucunya.

Thian Hwa tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih. “Mengapa tidak sanggup, Kongkong? Ketika kita lewat dahulu itu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Lagi pula, seandainya aku masih belum dapat, aku tak percaya kalau kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaianmu akan basah kuyup!”

Thian Bong Sianjin tertawa geli mendengar kata-kata cucunya yang cerdik itu.

“Jika sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, sama sekali aku tidak mau membantumu. Jika tahu aku akan membantumu, tentu kau tak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!”

Kakek dan cucunya itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu bergemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau.

Tikungan yang disebutkan oleh Thian Bong Sianjin itu memang sangat berbahaya. Ketika tiba di tempat ini, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berbentuk aneh mirip binatang-binatang buas. Dan semua ini masih ditambah lagi pusaran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang mendadak menikung sehingga terjadi aliran bertentangan.

Para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu telah mengenal sekali tempat ini sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. Dan kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang-tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu.

Bagi yang tidak tahu, tampaknya air itu bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tak kentara. Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan ketika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri. Apa lagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu, tidak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi. Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu.

Oleh karena ini maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bila mana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka lantas menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.

Maka di situ bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim.

Ketika biduk yang didayung Thian Hwa telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Thian Hwa perdengarkan seruan girang. Bibirnya yang kecil merah itu tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan terus ditujukan ke air di depan biduknya, ada pun sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu. Thian Bong Sianjin benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang cucunya dengan tersenyum senang.

Karena aliran air amat cepat, Thian Hwa tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk sambil mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah. Biduknya maju kencang bagai anak panah yang baru saja lepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu berkibar melambai di belakangnya.


Kini biduk mulai memasuki daerah bebatuan, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air. Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air hingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila.

Akan tetapi semakin berbahaya keadaannya maka semakin gembiralah Thian Hwa. Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan dan sebentar membelok ke kiri.

Kini tak mungkin lagi untuk ‘menumpang’ pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran hingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu. Karena itu Thian Hwa harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu, dan hal ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian serta ketelitian yang luar biasa. Tetapi sungguh mengherankan betapa anak gadis yang berusia paling banyak dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya!

Di suatu tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Thian Hwa kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu dan tak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati oleh biduknya! Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu dia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh kakeknya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini.

Dia lalu mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan dia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi.

Thian Hwa segera bangun berdiri, lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu sehingga dia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda!

Sesudah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, dia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang telah mulai dilatihnya.

“Naik!” pekiknya dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu!
“Bagus!” kakeknya memuji.

Akan tetapi ia masih tetap berpeluk tangan! Ia tidak menyangka bahwa cucunya demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu!

Thian Hwa belum puas dengan hasil pertama dan pujian kakeknya ini, karena ia maklum bahwa di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi. Dan bahaya yang ke dua adalah tikungan itu sendiri.

Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang kuat bukan main dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat keras untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan! Biduk Thian Hwa bagaikan disambitkan ke arah batu karang itu.

Tapi dengan berseru keras gadis ini cepat menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak dapat melaju lagi. Dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat.

Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kirinya untuk menolak batu karang itu, sedangkan dayung di tangan kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu. Maka lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu!

Kini mata Thian Bong Sianjin memancarkan cahaya gembira karena gerakan cucunya tadi memang amat sempurna yang ia sendiri juga akan melakukannya. Tapi pada saat itu pula ia berseru, “Awasss...!”

Dan tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sekejap saja biduk itu terputar-putar kencang tanpa dapat dikuasai oleh sepasang dayung Thian Hwa lagi! Memang tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat dia tidak berdaya. Ketika dia melirik ke arah kakeknya, ternyata orang tua itu masih tetap berpeluk tangan dengan tenang sambil tubuhnya ikut berputar-putar bersama biduk.

Thian Hwa menggigit bibir. Dengan mengeraskan hati dia tetap tidak hendak minta tolong kepada kakeknya! Ia lalu melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja!

Tubuhnya langsung terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, namun dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kakinya perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak mempergunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup!

Thian Hwa berdiri di dalam perahunya yang sekarang terbawa aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga. Dia menghadapi kakeknya lalu berkata, “Kongkong, aku dapat melewati Tikungan Maut!”

“Memang kau tadi sudah melakukan pekerjaan dengan baik sekali, Thian Hwa, aku amat girang melihat hasilmu. Tetapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!”

Thian Hwa menghela napas. “Memang aku tadi kurang cepat, Kongkong!” Ia memandang pakaiannya yang basah kuyup itu.

Thian Bong Sianjin mengambil bungkusan pakaian lantas melemparkan kepada cucunya. “Nih, lekas tukar pakaian kering.”

Kakek itu lalu menggantikan cucunya mendayung dan Thian Hwa tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang kakek itu. Sesudah kedua dayung itu berada di dalam tangan Thian Bong Sianjin, maka tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka sudah maju beberapa belas li jauhnya! Di sebuah tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Thian Bong Sianjin tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.

“Kita berlatih di sini, Thian Hwa,” katanya. Lalu dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu. Papan-papan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu.

Thian Bong Sianjin melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air, kemudian dia meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi. Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika dipakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Thian Bong Sianjin menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang!

Thian Hwa juga meniru perbuatan kakeknya. Ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya. Kemudian Thian Bong Sianjin dan cucunya menggerak-gerakkan tubuh ke bawah bagaikan orang hendak meloncat lantas berdiri, dan gerakan ini ternyata mendatangkan tenaga dorongan yang keras sehingga papan di bawah kakinya meluncur cepat ke depan. Demikianlah, keduanya bermain-main di atas air sehingga tubuh mereka tampaknya seakan-akan sedang berlari-lari cepat di atas daratan saja!

Thian Bong Sianjin melatih cucunya untuk meluncur di atas satu kaki saja, lalu bergerak maju mundur sedemikian lincah dan mudahnya seolah-olah sedang berlagak di atas tanah keras saja. Inilah ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa. Dengan latihan semacam ini maka ginkang gadis cilik itu cepat sekali majunya, dan dengan mempunyai kepandaian semacam itu, walau pun harus menyeberangi sungai yang bagaimana pun lebarnya, asal ada dua buah papan, mudah baginya!

Kemudian kakek dan cucunya itu berlatih silat di permukaan air. Latihan itu membutuhkan tenaga kaki yang luar biasa sehingga dapat melatih kuda-kuda dan gerak kaki yang tetap. Setelah puas berlatih, Thian Bong Sianjin segera mengajak cucunya mengunjungi sebuah perkampungan bajak sungai yang dipimpin oleh Ui Hauw yang dijuluki Ular Air.

Ui Hauw adalah seorang pemimpin bajak yang tunduk dan taat sekali akan peraturan yang diadakan oleh Thian Bong Sianjin. Bahkan setelah Thian Bong Sianjin mengundurkan diri, boleh dikatakan Ui Hauw menjadi penggantinya. Maka tidak heran kalau di antara kedua orang ini terdapat hubungan erat dan Ui Hauw menganggap Thian Bong Sianjin sebagai orang tua yang sangat dihormati.

Pernah dia memohon agar diterima menjadi murid, tetapi ditolak oleh Thian Bong Sianjin, hanya diberi pelajaran beberapa pukulan ilmu silat tinggi! Biar pun hanya menerima sedikit pelajaran, tetapi Ui Hauw telah menganggap orang tua itu sebagai guru dan menyebutnya ‘suhu’.

Sejak mengundurkan diri, boleh dibilang segala keperluan Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa dicukupi oleh Ui Hauw ini, maka sering kali Thian Bong Sianjin mengajak cucunya berkunjung ke tempat Ui Hauw.

Ketika mereka tiba di perkampungan di pantai sungai itu, kebetulan sekali di situ sedang diadakan sedikit pesta untuk menyenangkan dan merayakan ulang tahun putera Ui Hauw genap berusia empat belas tahun. Ui Hauw hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Ui Yan Bun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan dan cerdik sekali.

Pada waktu Thian Bong Sianjin dan cucunya tiba, semua anak-anak tengah berkumpul di situ dan mereka sedang mengadakan pemilihan jago dengan mengadakan pertandingan! Melihat ini Thian Hwa segera berlari ke tempat itu dan turut menonton. Sedangkan Thian Bong Sianjin disambut oleh Ui Hauw yang mempersilakan duduk ke dalam rumah.

Di antara anak-anak yang ikut memasuki pertandingan pemilihan jago itu ternyata tinggal dua orang lagi sebagai pemenang, yakni Ui Yan Bun dan seorang anak yang usianya kira-kira lebih tua dua tahun dari padanya. Kini kedua pemenang itu saling berhadapan untuk mengukur tenaga dan kepandaian.

Ternyata mereka memiliki ilmu silat yang cukup baik karena kedua-duanya adalah murid dari Ui Hauw sendiri. Namun segera kelihatan bahwa betapa pun juga, Ui Yan Bun masih menang tangkas dan cepat sehingga meski pun kalah tenaga namun dia dapat mendesak lawannya. Kemudian, dengan gerak tipu ‘Mendorong Pohon Siong Tua’, dia pun berhasil merobohkan lawannya itu dan menerima tepuk sorak dan pujian dari kawan-kawannya.

Thian Hwa belum pernah bertemu muka dengan Yan Bun, sebab sesungguhnya Yan Bun baru beberapa hari saja tiba di kampung ayahnya. Anak ini oleh ayahnya dikirim kepada pehpeh-nya untuk belajar silat, karena memang kakak Ui Hauw yang bernama Ui Tiong memiliki kepandaian silat yang lebih lihai dari pada Ui Hauw sendiri. Beberapa bulan sekali Yan Bun pulang ke kampung orang tuanya.

Memang Ui Hauw memiliki pendapat yang aneh. Dia sendiri adalah seorang kepala bajak sungai yang mempunyai cara hidup kasar, tapi terhadap puteranya ia mempunyai cita-cita yang tinggi. Ia ingin melihat puteranya menjadi seorang gagah yang terhormat dan jangan sampai menjadi seorang bajak seperti dia.

Oleh karena inilah maka dia mengirim Yan Bun kepada kakaknya yang tinggal di kota dan membuka warung obat, agar selain belajar silat anak ini juga dapat mempelajari ilmu surat dan kebudayaan! Mungkin karena berpendirian demikian, maka biar pun menjadi bajak, Ui Hauw adalah seorang bajak yang tidak kejam dan melakukan pekerjaan dengan pilih-pilih dan taat akan peraturan Thian Bong Sianjin.

Demikianlah, maka ketika datang ke situ Thian Hwa ikut menonton pertandingan itu, dan ia belum mengenal Yan Bun. Melihat betapa Yan Bun dipuji-puji sebagai jago yang paling pandai, tiba-tiba dia menjadi iri dan penasaran. Tanpa terasa lagi dia meloncat ke tengah kalangan dan berkata,

“Siapa bilang anak ini yang paling pandai? Masih ada aku di sini!” dan gadis cilik itu berdiri menantang sambil bertolak pinggang!

Hampir semua anak yang berada di situ kenal kepada Thian Hwa dan tahu akan kelihaian cucu dari Thian Bong Sianjin ini, maka banyak mulut lalu berseru, “Thian Hwa memang lihai, dia tak terlawan oleh siapa juga!”

Bahkan ada yang berani berkata, “Yan Bun tak mungkin bisa menangkan Thian Hwa!”

Mendengar kata-kata ini Yan Bun mengarahkan sepasang matanya yang tajam kepada gadis cilik itu. Dia marah sekali karena merasa dirinya yang telah menjadi pemenang dan baru saja dipuji-puji, sekarang tiba-tiba dipandang rendah oleh seorang gadis. Tetapi, biar pun masih kanak-kanak, Yan Bun telah memiliki jiwa jantan yang tidak mau merendahkan kaum wanita. Walau pun hatinya sedang marah tapi dia tidak memperlihatkannya kepada Thian Hwa. Dia hanya maju dan berkata,

“Jika kau hendak memberi pelajaran padaku yang bodoh, silakan kau maju.” Kemudian ia memasang kuda-kuda yang kokoh kuat sambil menanti serangan lawan, tidak mau sekali-kali mendahului menyerang.

Thian Hwa pun melengak. Tidak diduganya sama sekali bahwa anak laki-laki itu ternyata begini sopan dan sangat pandai membawa diri, jauh berbeda dengan anak-anak lain yang biasanya suka berlaku sombong dan memandang rendah kepada anak perempuan. Juga kuda-kuda yang dipasangnya cukup sempurna dan kuat sehingga diam-diam Thian Hwa merasa kagum dan hatinya menjadi suka kepada Yan Bun.

Thian Hwa tersenyum dan berkata, “Marilah kita coba sebentar.”

Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya sudah mempunyai dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin.



Anak-anak yang menonton pertandingan ini bersorak gembira sehingga menarik perhatian Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin. Kedua orang tua ini keluar untuk melihat dan keduanya tersenyum melihat betapa Yan Bun dan Thian Hwa bersilat mengadu kepandaian.

“Ah, gerakan anak itu baik sekali!” Thian Bong Sianjin memuji ketika melihat gerakan silat Yan Bun. “Bukankah itu adalah anakmu Yan Bun?” Karena hubungan mereka yang erat, Thian Bong Sianjin segera mengenal anak laki-laki kawannya.

Ui Hauw senang sekali mendengar pujian Thian Bong Sianjin. “Ah, dia masih bodoh dan banyak mengharap pimpinan Suhu.”

Thian Bong Sianjin mengangguk-angguk. “Anak baik, dia mempunyai bakat yang bersih.”

Pada saat itu Thian Hwa mengeluarkan ilmu silat Kauw-jiu Kwan Im atau Dewi Kwan Im Tangan Sembilan yang belum lama dia pelajari. Tipu silat ini adalah gubahan Thian Bong Sianjin sendiri yang sengaja menggubah ilmu silat ini untuk disesuaikan dengan cucunya, karena dia menganggap lebih tepat dari pada ilmu silat lain yang kasar.

Memang Kauw-jiu Kwan Im memiliki gerakan-gerakan lemas yang memerlukan kelincahan dan kecepatan. Maka pada waktu memainkan ilmu silat yang sukar ini, Thian Hwa harus mengerahkan ginkang-nya hingga tubuhnya melesat cepat dan berputar-putar di sekeliling lawannya, membuat Yan Bun merasa bingung karena tiba-tiba dia melihat betapa gadis itu seakan-akan berubah menjadi tiga orang! Namun dia telah mempunyai ilmu silat yang lumayan juga sehingga dia masih dapat mempertahankan diri dari desakan Thian Hwa.

“Yan Bun, berhenti!” teriak Ui Hauw.

Kedua anak itu mendengar teriakan ini dan segera meloncat mundur.

“Yan Bun, jangan kurang ajar, lihat siapa yang datang ini?”

Yan Bun memandang dan ia masih ingat pada kakek yang dulu sering mengajar ayahnya bersilat, maka dia lalu maju berlutut sambil memanggil, “Sukong!”

Thian Bong Sianjin segera mengangkat bangun anak ini sambil tertawa. “Yan Bun, kau telah banyak maju!”

Ui Hauw berkata kepada anaknya. “Tahukah kau siapa yang kau ajak bertanding tadi? Ia adalah cucu dari Sukong-mu! Mana kau bisa melawannya?”

Thian Hwa telah sering berkunjung ke tempat itu dan kenal baik kepada Ui Hauw tadi, ia segera berkata, “Aah, Ui-pehpeh selalu memuji-muji saja!”

Thian Bong Sianjin gembira sekali melihat kemajuan ilmu silat Yan Bun, maka dia segera bertanya kepada Ui Hauw. “Tidak tahu apakah dia juga mempelajari ilmu dalam air?”

“Sedikit-sedikit dia pernah teecu latih sendiri,” jawab Ui Hauw. “Apa lagi rumah Pehpeh-nya dekat dengan sebuah telaga yang cukup dalam sehingga dia sering berlatih renang di sana.”

Kakek tua itu makin gembira, lalu dia berkata kepada cucunya.

“Thian Hwa, coba kau ajak Yan Bun berlomba berenang menyeberang sungai itu.”

Thian Hwa merasa gembira sekali karena ia menduga bahwa biar pun dalam ilmu silat ia hanya menang sedikit, namun dalam hal ilmu dalam air ia tidak usah takut kalah! Maka ia segera menghampiri Yan Bun dan berkata,

“Mari, Ui-twako, kita mencoba kepandaian renang kita.”

Yan Bun memandang gadis cilik itu dengan heran. Dia tadi sangat kagum karena ternyata ilmu silat anak gadis itu tidak lebih rendah dari padanya, bahkan kalau dia boleh berkata terus terang, dia harus mengakui keunggulan Thian Hwa! Sekarang ternyata gadis cilik ini pandai pula berenang, karena kalau tidak pandai, tidak mungkin dia berani menantangnya dengan sikap demikian gembira.

Dia merasa semakin takluk kepada Thian Bong Sianjin dan diam-diam mengiri terhadap keberuntungan Thian Hwa yang sudah terpilih menjadi murid kakek berilmu tinggi itu.

Kini keduanya telah tiba di pinggir sungai dengan diikuti oleh semua anak-anak dan orang-orang kampung. Para anggota bajak merasa tertarik sehingga mereka juga ikut menonton, tidak ketinggalan pula Thian Bong Sianjin dan Ui Hauw sendiri.

Thian Hwa lalu berlari bersembunyi untuk berganti pakaian. Ketika ia datang lagi, ia sudah mengenakan pakaian yang serba ringkas dengan mulut celana yang dapat diikatkan pada pergelangan kakinya dan lengan baju yang pendek sampai ke siku. Dengan pakaian ini ia dapat bergerak lebih leluasa di dalam air. Semua orang memandang dengan kagum.

Kemudian, setelah Yan Bun juga siap sedia, keduanya lantas terjun berbareng ke air dan berenang dengan cepat menyeberang! Air di bagian itu tenang saja, tapi amat dalam dan sangat lebar sehingga untuk menyeberang sekali saja akan terasa lelah sekali bagi orang-orang yang tidak terlatih baik, jangan kata bagi mereka yang tidak pandai berenang!

Tapi kedua anak itu ternyata benar-benar pandai karena mereka berenang dengan cepat. Sepasang kaki dan tangan mereka berpusing-pusing bagaikan kitiran hingga membuat air sungai berbuih keputih-putihan di dekat tangan dan kaki!

Perlombaan renang itu mendatangkan kegembiraan besar. Semua anak bersorak-sorak menjagoi pilihan mereka masing-masing, sebagian besar anak laki-laki menjagoi Yan Bun sedangkan anak-anak perempuan tentu saja memilih Thian Hwa.

Dan ternyata mereka berdua sampai di pantai seberang sana dengan waktu yang hampir bersamaan. Segera mereka berbalik dan kini mereka berenang sambil menyelam.

Semua anak yang menonton pertunjukan ini menahan napas karena kedua jagoan mereka kini lenyap dari permukaan air! Sampai lama sekali tidak nampak keduanya muncul dari bawah air, seakan-akan mereka sengaja bertahan dan tidak mau muncul lebih dahulu!

Sesudah lewat sekian lamanya, barulah tampak Yan Bun muncul ke permukaan air sambil terengah-engah karena dia terlampau lama menahan napas! Anak-anak perempuan yang menjagoi Thian Hwa bersorak riuh karena munculnya Yan Bun ini mereka anggap sebagai kemenangan bagi Thian Hwa yang ternyata lebih kuat bertahan di bawah permukaan air! Namun biar pun sampai lama ditunggu, belum juga Thian Hwa tampak muncul!

Yan Bun merasa heran sekali, karena mungkinkah gadis itu mampu bertahan selama itu di dalam air? Ahh, tidak mungkin! Andai kata lweekang gadis itu sudah sangat tinggi dan kuat, rasanya tidak mungkin dia dapat menahan napas selama itu. Tapi, karena dalam hal bertahan diri di dalam air dia merasa dikalahkan, Yan Bun lalu mengeluarkan kepandaian berenangnya yang paling cepat untuk mendahului tiba di tepi. Dan benar saja, dia berhasil mencapai tepi lebih dahulu dengan disambut sorakan ramai.

Tetapi kini orang-orang gelisah karena Thian Hwa belum juga tampak muncul! Bahkan Ui Hauw sendiri menjadi gelisah dan tak tahan lagi untuk tidak bertanya kepada Thian Bong Sianjin. “Suhu, apakah benar-benar Thian Hwa dapat bertahan sedemikian lamanya?”

Ui Hauw Si Ular Air bertanya seperti itu karena dia sendiri tidak sanggup untuk berdiam di dalam air sedemikian lamanya!

Thian Bong Sianjin yang semenjak tadi hanya tersenyum-senyum saja, ketika mendengar kata-kata Si Ular Air ini tertawa terkekeh-kekeh, lalu menuding ke arah air sambil berkata, “Ha, kau juga kena dikelabui? Lihatlah batang jerami itu! Pernahkah melihat batang jerami bisa berenang?”

Ui Hauw cepat memandang dan dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian batang jerami yang menonjol di permukaan air dan semenjak tadi bergerak ke arah tepi, telah tiba di tepi dan tampaklah kini kepala Thian Hwa yang segera muncul. Wajah gadis itu berseri-seri dan pada mulutnya tergigit sebatang jerami panjang.

Jadi gadis yang sangat cerdik ini ternyata sudah mengalahkan Yan Bun dalam bertahan di bawah air dengan mempergunakan akal, yakni ia menggigit batang jerami yang berlubang lalu dengan telentang dia dapat berenang di bawah air seenaknya karena dapat bernapas melalui batang jerami yang berlubang itu!

Semua orang tertawa dan memuji gadis itu, terutama Ui Hauw merasa amat kagum dan gembira sekali.

“Suhu, bukankah cucumu cocok sekali kalau kelak menjadi jodoh putera teecu?” katanya perlahan.

Thian Bong Sianjin hanya tertawa saja, tapi tidak menjawab sesuatu, karena pada saat itu dia belum memikirkan tentang hal itu.

Karena sayang dan suka kepada Yan Bun, sejak saat itu Thian Bong Sianjin sering sekali datang ke kampung Ui Hauw untuk memberi pelajaran silat kepada Yan Bun, sehingga boleh dibilang semenjak saat itu murid Thian Bong Sianjin menjadi dua orang, yakni Thian Hwa sendiri dan Yan Bun. Kakek tua itu tidak pilih kasih dan ia memberi pelajaran kepada Yan Bun dengan sungguh-sungguh, bahkan pelajaran yang diterima oleh Yan Bun jauh lebih banyak dari pada yang pernah dia berikan kepada Ui Hauw.

Yan Bun memang berotak terang, karena itu dia dapat menguasai semua pelajaran yang diberikan itu dengan baik sehingga mendapat kemajuan pesat sekali. Malah kini dia dapat ikut bersilat di atas air dengan mempergunakan papan terompah air bermain-main dengan Thian Hwa.

Makin lama hubungan kedua anak itu menjadi makin erat, karena Thian Hwa suka kepada Yan Bun yang bersikap lemah-lembut, sopan-santun dan pandai pula berkelakar. Di pihak lain, sudah semenjak pertemuan pertama Yan Bun kagum sekali kepada Thian Hwa yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak ada nomor duanya di dunia ini!

Melihat hubungan kedua anak itu yang begitu baiknya, berkali-kali Ui Hauw mengutarakan pikirannya untuk menjodohkan keduanya, akan tetapi selalu Thian Bong Sianjin tidak mau menyatakan persetujuannya, sungguh pun dia juga tidak menyatakan ketidak-sukaannya akan usul ini. Hanya satu kali pernah dia berkata kepada Ui Hauw,

“Aku tidak berpendirian kukuh tentang hal itu. Biarlah kelak hal itu diputuskan sendiri oleh Thian Hwa. Anak itu berdiri sendiri di dunia ini, maka segala hal yang menyangkut dirinya, biarlah dia sendiri mengambil keputusan. Aku orang tua yang hanya sebentar lagi berada di dunia ini cukup mengamat-amati saja.”

Mendengar keterangan yang bersifat pernyataan isi hati kakek ini, Ui Hauw maklum. Dia tahu bahwa Thian Hwa bukanlah cucu gurunya sendiri, dan dia tahu pula bahwa kakek tua itu berhati mulia dan penuh belas kasih sehingga untuk kebahagiaan orang lain, dia sendiri rela berkorban. Apa lagi untuk menjaga kebahagiaan Thian Hwa yang dikasihi, dia tentu tidak pedulikan perasaan hatinya sendiri dan menyerahkan saja kepada anak itu supaya tidak sampai salah pilih.

Sudah beberapa kali Thian Hwa bertanya kepada kakeknya tentang ayah ibunya, karena setelah besar gadis ini mengerti bahwa selain kakeknya, ia tentu mempunyai seorang ibu dan ayah. Akan tetapi setiap kali ditanya kakeknya selalu memberi jawaban menyimpang sehingga Thian Hwa menjadi penasaran. Pernah gadis itu berkata,

“Kongkong, kalau memang ayah ibuku sudah meninggal dunia, katakan saja. Tetapi kalau mereka masih hidup, bawalah aku bertemu dengan mereka.”

Semenjak kecil gadis ini tidak pernah menangis, namun ketika mengajukan pertanyaan ini dari kedua matanya mengalir air mata membasahi pipinya. Tetapi dia dapat menetapkan hatinya yang keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.

Ketika ditanya dan mendengar sesalan cucunya ini, Thian Bong Sianjin menghela napas panjang. Memang semenjak dulu dia sudah maklum bahwa pada suatu saat pasti datang pertanyaan ini dan kalau sudah tiba waktunya, tidak mungkin lagi dia dapat membohongi anak itu.

Memang kakek ini belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Thian Hwa, akan tetapi pada malam dia menolong dan menyelamatkan Thian Hwa, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang berlutut padanya sambil menangis sedih dan berkata, “Inkong, peliharalah anakku baik-baik...”

Thian Bong Sianjin masih ingat betul bahwa wanita muda itu wajahnya cantik dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat hitam. Namun selama ini hal itu disimpannya sebagai rahasia sendiri dan tidak pernah menuturkannya kepada orang lain.

Maka, sesudah usia Thian Hwa meningkat sehingga sukar untuk dibohongi lagi, terpaksa dia menjawab, “Thian Hwa, memang kau masih mempunyai ayah dan ibu!”

Mendengar ucapan ini, gadis itu berdiri dan merangkul kakeknya untuk menyembunyikan matanya yang sudah basah di pundak kakeknya itu. Dan terbayanglah lagi wajah wanita muda di depan mata Thian Bong Sianjin. Dia masih ingat betul bahwa wanita itu memakai pakaian yang mewah seperti orang berpangkat.

“Di mana mereka, Kongkong? Di mana?” Thian Hwa bertanya sambil tersenyum dengan wajah yang berseri-seri.

“Sabarlah, Thian Hwa. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka itu! Ketahuilah, memang aku... aku bukan kakekmu yang sejati. Kau kutemukan di... dan... dan aku pun tidak tahu siapa orang tuamu.”

Wajah yang berseri-seri itu mendadak menjadi muram bagaikan api bernyala disumbu lilin yang tiba-tiba tertiup padam. “Kalau begitu... Kongkong... mari kita cari mereka...”

Thian Bong Sianjin lalu memeluk muridnya yang baru berusia tiga belas tahun itu. “Thian Hwa, kau sabarlah. Apa kau kira aku tidak suka jika melihat kau berjumpa dengan kedua orang tuamu? Aku mendidik kau menjadi orang pandai juga dengan maksud supaya kelak kau dapat mencari mereka! Tetapi nanti, kalau kau sudah dewasa dan sudah mempunyai kepandaian tinggi. Sekarang kau belajarlah dengan tekun dan rajin, kelak tentu akan tiba masanya aku melepaskan kau pergi untuk mencari orang tuamu.”

Tubuh Thian Hwa menggigil dalam pelukan kakeknya, tanda bahwa anak ini menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan isak tangisnya. Thian Bong Sianjin menghela napas. Sungguh hebat luar biasa sekali anak ini, pikirnya dengan kagum.

Selanjutnya baca
DEWI SUNGAI KUNING : JILID-02
LihatTutupKomentar