Si Tangan Sakti Jilid 03
Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah mau pun buruan para pendekar, bila sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.
Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa. Bahkan di beberapa tempat terdapat pula lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalam rawa itu. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, maka jangan harap akan dapat selamat jika tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar.
Pada saat malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seakan-akan laksaan iblis berpesta pora di sana. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan)!
Akan tetapi, jika ada orang yang mempunyai kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah ini, maka dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.
Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya.
Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat mulai dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja, setiap hari tentu dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amat cerah. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang berhembus dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan suara seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar, yang cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau, menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.
Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki. Ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu.
Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok. Dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekali pun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di sana. Terlalu besar bahayanya!
Karena itulah, maka ketiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka menemui jalan buntu, akan tetapi ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga merasa penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas terbabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!
"Hemm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi pun kita sudah lewat di sini."
"Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.
"Jelaslah bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga berupa semacam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
"Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani membuat jebakan di dalam hutan ini untuk menghina kita?" orang ke dua bertanya penasaran.
Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
"Kalian tenang dan bersabarlah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. "Kita sendiri yang bersalah, kita terlalu tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah kini sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini."
Ketiga orang itu berhenti melangkah, nampak seperti kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka ialah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit, kerasnya tulang serta lihainya ilmu silat.
"Hemm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.
"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon."
Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
"Ahhh, bukan main...! Betapa megahnya sarang mereka...! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!"
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah merasa tertarik, dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Nampaknya tak jauh lagi dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
"Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.
Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.
"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya.
Ia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apa lagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
"Tolooonggg...! Twako.... Ji-ko, tolong...!" Dia berkaok bagaikan seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali.
Melihat hal ini, si muka hitam terkejut. Segera dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan itu, memegangi dengan kedua tangannya kemudian ia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tanpa dapat dielakkannya lagi, dia pun turut terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
"Tolong...! Twako (Kakak Tertua) tolong...!"
Sekarang si muka hitam juga ikut berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Ada pun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Ketika melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
"Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya mendongkol.
Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu tersadar. Mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka pun tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam. Mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.
Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu pada sebatang pohon yang besar, lalu melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang pada dahan kayu, dibantu si kumis tipis. Biar pun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan," sang kakak mengomel.
"Aihh, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri bila dikenang kembali!" kata si gendut.
"Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain," kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena kini mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tidak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.
Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali buntu, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak menggunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada. Jalan buntu!
"Jahanam! Kita bertiga diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering sehingga tubuhnya terasa kaku dan gatal-gatal.
"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" berkata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.
Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel sambil menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu.
Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tidak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar. "Kalian jangan sembarang bicara! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!"
Dia memandang ke arah seberang sana, lalu memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khikang dan berteriak lantang.
"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!"
Suara itu terdengar lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khikang, dan gemanya terdengar membalik dari sekeliling tempat itu.
"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan," tiba-tiba terdengar suara lembut.
Mereka bertiga kaget sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, hanya tahu-tahu sudah di situ, tersenyum manis.
Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?"
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah. "Aku adalah manusia biasa. Aku salah seorang di antara prajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."
"Bukan main!" kata si muka hitam yang sejak tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. "Apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita bagaikan engkau ini, Nona?"
Gadis itu menggelengkan kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku."
"Nanti dulu!" si gendut berteriak. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!"
"Aku juga!" kata si muka hitam.
Mereka berdua tadi bertanya apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini. Kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang berkilauan. "Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya sangat jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana."
Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh ketiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, mendadak saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih. Di dekat situ terdapat pula sebuah air terjun kecil yang bersih pula airnya.
Seperti berebut saja, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus oleh kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka di dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor. Kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis itu duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang dapat dia peroleh dari gadis itu.
Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, sedang mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.
"Aku tidak boleh banyak bicara. Nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas," demikian katanya mengakhiri keterangannya.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dulunya dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang banyak orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah kedua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
Gadis itu kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberi tahu, bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya sehingga kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang untuk menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi."
Si tinggi kurus menghela napas panjang. "Sudahlah, bagaimana pun juga kamilah yang bersalah sebab tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?"
"Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."
Dua orang yang membersihkan diri sekarang sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini sudah mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka menggunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walau pun masih tidak mungkin diloncati orang meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
"Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.
"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya."
"Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.
"Menyeberangi jurang ini," kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang sambil terbelalak. "Akan tetapi, siapakah yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.
"Tidak meloncati, melainkan menyeberang."
"Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya...," kata pula si muka hitam.
"Tunggu dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya mulai tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis berpakaian putih itu lalu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.
Tidak lama kemudian, dari seberang sana terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncullah seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.
"Singgg... wirrrrr...!"
Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali, hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru kini mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan yang kuat tetapi mengait kendur sehingga dari seberang sana, dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
"Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini," kata gadis pakaian putih.
"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.
Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, tetapi belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tidak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan bahwa nyawa akan melayang ketika badan terbanting hancur di dasar jurang!
Gadis itu tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang ke sana dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai."
Setelah berkata demikian, ia kemudian melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. "Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang."
Setelah berkata demikian, lalu ia pun mulai melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.
"Jangan membikin malu saja," kata si tinggi kurus.
Dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti pula oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang telah menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan tinggi, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apa lagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.....
Setelah mereka semua tiba di seberang jurang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walau pun wajahnya tersenyum dan berusaha memperlihatkan ketenangan dan kegagahan, tapi jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang, walau pun tadi ia pun sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, karena membayangkan akibatnya kalau-kalau sampai terjatuh.
Setelah tiba di seberang, dengan sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang situ dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi makin gembira. Jika Pao-beng-pai memiliki prajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!
"Nona, bila tak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Sekarang si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. "Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami," ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.
"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pemimpin kami," kata si baju putih.
Mereka melanjutkan perjalanan. Si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan paling belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.
Ketiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!
Kalau tadi dari atas pohon mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu kini mereka muncul, bagaikan semut saja nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para prajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sangat berdisiplin.
Saat Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu. Mereka berkelompok mulai di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendopo bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak laksana arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti prajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya.
Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang prajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi untuk menanti pula di sana seperti para tamu yang lain."
Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jeri dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.
Kiranya, dalam sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, sekarang sudah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte dapat mengenali beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung sebagai golongan hitam atau golongan sesat.
Mereka melihat adanya orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang. Apa lagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menanti tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah.
Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang sudah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.
Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini adalah perkumpulan yang tadinya telah mati akibat dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu).
Telah muncul seorang yang gagah perkasa. Dialah yang mengumpulkan kembali bekas para anak buah Pao-beng-pai, menggunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-beng-pai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat dari pada dulu.
Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, tetapi karena dia kaya raya dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggota Pao-beng-pai percaya saja.
Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya, namun menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Telah banyak jagoan yang tadinya menentangnya, sebab tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.
Siangkoan Kok memiliki seorang isteri yang selain cantik juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si dan kini berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan para tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut ‘pangcu’ (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya ‘toanio’ (nyonya besar).
Masih ada lagi seorang tokoh di dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita, akan tetapi tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng.
Ayah ibunya menyebutnya Eng Eng, tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Siocia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun tetapi dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.
Lima tahun yang lalu, keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.
Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggota itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggota pria yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi dari pada yang abu-abu.
Ada pun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggota pria. Para anggota wanita ini memiliki dua tingkat pula. Yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, di antara mereka hanya terdapat empat orang sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.
Para anggota yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga puluh tahun usianya. Mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, tetapi mereka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.
Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggota Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggota wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan anak.
Bisa dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggota itu adalah orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja sangat menyiksa. Tetapi karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggota Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.
Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggota, dan larangan melahirkan bagi anggota wanita. Akibatnya, untuk penyaluran kebutuhan birahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang-kadang amat jahat.
Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di antara para anggota pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan.
Juga para anggota wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggota pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.
Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.
Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka bersikap tidak peduli. Selama para anggota tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah sudah.
Selain itu, Siangkoan Kok yang meski pun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, lalu memaksa mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Siapa pun yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk diharuskan membayar semacam ‘upeti’ setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai juga menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, sehingga dari semua penghasilan itu keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat.
Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mungkin orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya terlalu muluk. Tetapi, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu.
Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tak rela tanah air dan bangsa ini dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.
Dan pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, mereka disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah bagai istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka bisa melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.
Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai golongan yang anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung.
Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Jika golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk memperoleh keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.
Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walau pun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh dari pada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.
Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu sudah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal.
Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran-heran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini sangat menyenangkan para tamu. Tadi tanpa merasa sungkan mereka dijamu hidangan secara royal, karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggota Pao-beng-pai.
Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah. Bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa taatnya para anggota Pao-beng-pai.
Biasanya, para anggota wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka supaya melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan sesudah puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebat!
Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya pun mantap dan gagah seperti seekor singa.
Sebatang pedang tergantung di pinggang serta pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal, meski tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung kemudian diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria harus menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang umurnya empat puluh lima tahun, akan tetapi masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya.
Dia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang selalu disebut Toanio oleh para anggotanya. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah dari pada pakaian ibunya.
Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang langsung merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.
Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, sedang tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini benar-benar membuat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
Di belakang ayah, ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggota wanita dari Pao-beng-pai. Mereka dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya. Tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggotanya disebut Siocia atau Nona.
Para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, dan sesudah tepuk tangan itu reda barulah Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.
Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khikang.
"Cuwi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk kembali dan diharap supaya masing-masing memperkenalkan diri. Sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana."
Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri.
Satu per satu kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, tuan rumah dapat mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.
Lebih dari delapan puluh orang telah memperkenalkan diri masing-masing, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh.
Saat melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, diharap suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!"
Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat pula wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, juga dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid dari Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar.
Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang ini sudah saling pandang. Dari pandang mata saja mereka sudah maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.
Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampak ragu-ragu, karena mereka pun bersandar pada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga.
Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal sekali. Jika sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka untuk memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan hal itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka sudah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang sama sekali belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.
Mendadak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Agaknya mereka mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
"Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memprotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Oleh karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan kami menuntut supaya pihak tuan rumah terlebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!"
Agaknya ucapan gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil keempat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah.
Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Tapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.
Dengan sinar matanya yang tajam, gadis berpakaian putih itu memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.
"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya telah setuju dengan usul saudara yang baru saja berbicara. Baiklah, jika begitu kami akan memberi penjelasan. Semenjak kedatangan para Cuwi, ketua kami telah menyambut Cuwi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cuwi dijemput dan diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin..."
"Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendirilah yang menghidangkan!" bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!"
"Wahh!" Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah akibat darah sudah naik ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum mengenalkan diri menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami!"
Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Dan melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.
Suasana menjadi tegang. Namun, karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja gemar melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu kini ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.
Gadis berbaju putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Namun ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.
Melihat tanda ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!"
Si muka bulat yang sekarang menjadi perhatian para tamu merasa bangga dan dengan membusungkan dada dia berkata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"
Tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu sudah berhadapan dengan tiga orang penantang. Gadis yang tadi berbicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.
"Tak mudah untuk mengadu ilmu dengan ketua kami, harus bisa mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Siocia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum mengejek. "Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami pun sudah maju menyambut tantangan. Nah, kami persilakan apa bila Sam-wi hendak bertanding.”
Tentu saja tiga orang tokoh dari Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan, karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.
"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah pada orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, "Kami bertiga sudah siap."
"Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu.
Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat saat mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga.
Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka jelas kalah kuat. Maka mereka menggunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka, dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka lantas berkelebatan menjadi bayangan putih yang sulit sekali diserang oleh tiga orang pria itu, seperti tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi tamu di situ diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka supaya mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu sehingga dengan sendirinya dapat pula mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran sekali karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh ketiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Hanya dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu lantas terdesak dan mereka lebih banyak mengelak serta menangkis dari pada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka. Muka mereka nampak merah.
Kiranya, di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang sudah dapat direnggutnya lepas dari kepala lawan. Di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biar pun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikat kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.
"Maafkan kami," kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu menghadap pihak tuan rumah sambil berkata, "Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan, dan saya Liu Pin sebagai ketuanya. Kami mengaku kalah."
Dia dan dua orang sute-nya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apa lagi melawan pimpinannya!
Mereka yang telah mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai sekarang tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai. Juga masih ada lagi tiga orang lelaki muda yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.
Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cuwi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?"
Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.
Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"
Kebetulan ada dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya mereka tak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja.
Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak bila tak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu sekarang baru tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok. Bersama isteri dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga inilah merupakan pimpinan Pao-beng-pai. Sedangkan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu.
Setelah para wakil dari empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
"Pangcu kami menganggap bahwa Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga."
"Siancai, siancai...!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat.
Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri yang disulam dengan benang emas berbentuk sebuah pat-kwa (segi delapan).
Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, dan nampak kokoh kuat. Di punggungnya tergantung pedang. Matanya lebar, hidungnya pun besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.
"Pat-kwa-pai kami juga memiliki peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan silat." Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang telah berdiri menanti.
Sekarang semua orang melihat betapa ketua itu mempunyai gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, tetapi wajahnya cerah. Dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.
"Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, jika kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sangat sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seakan-akan sudah mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai," katanya.
"Ahh, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. Sahabat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding," ucapan itu seperti suatu teguran.
"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai," bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu marilah kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang datang?"
"Kami datang berempat."
"Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."
Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sute-nya. Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Ketiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampaklah betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah sekali. Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tak akan mengelak, takkan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian berhasil memukulku, berarti aku kalah."
Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apa lagi empat orang itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.
Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu pasti akan celaka oleh kesombongannya sendiri.
"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apa lagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Keempat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda serta menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika salah seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Sekarang ia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan.
Dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang pengeroyok lainnya juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar.
Ketua Pao-beng-pai ini tidak mengelak, sesuai dengan janjinya tadi. Akan tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.
"Duk-duk-duk-plakkk!" Empat orang itu terpental ke belakang!
Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini mempunyai tenaga sinkang yang hebat bukan main. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan.
Akan tetapi, karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti yang sudah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka juga mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun!
Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus sudah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apa lagi memukulnya. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk mempercepat serangan. Dia hanya memiliki dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar sangat cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali.
Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu. Akan tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan lantas membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok.
Si gendut lalu memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri, tak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas. Di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula.
Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.
"Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kini kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
"Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin," kata ketua Pao-beng-pai itu. Dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.
"Siancai..., tenaga sinkang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat bukan main. Kami semua merasa kagum!" Tiba-tiba terdengarlah suara yang diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung.
Semua orang memandang. Dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun. Tubuhnya pendek kurus tetapi masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "Totiang (Pak Pendeta) tentunya wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak Totiang?"
"Siancai...! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai tadi, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bila bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?"
Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya.
Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Sekarang ia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sute-nya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.....
Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik. Agaknya Siangkoan Eng meminta perkenan kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thiancu.
"Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"
Mendengar pertanyaan itu, Kui Thiancu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw yang masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!
"Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, supaya melihat apakah Pao-beng-pai cukup pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami."
"Andai kata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponakannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!"
Siangkoan Eng kemudian bangkit dan dengan tenangnya melangkah menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, bagaimana akan dapat menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya?
Kui Thiancu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia telah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan tahun saja.
Apa lagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.
Kui Thiancu tersenyum pahit karena merasa sangat direndahkan dengan kemunculan seorang bocah untuk menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan ilmu sihir.
Ia lalu mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya. Sepasang matanya bagai menembus mata gadis itu, sedang mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.
"Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Bila tergores sedikit saja, kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani! Menangislah...!"
Kui Thiancu merasa diremehkan, maka kini dia hendak membalas dan membikin malu keluarga ketua Pao-beng-pai dengan ilmu sihirnya.
Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh, "Totiang, bagai mana sih caranya menangis itu? Aku tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh."
Tentu saja Kui Thiancu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh.
"Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh belum tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang menangis..."
Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.
"Huauuu-uuuuu... huuuuu-uuuhhh..."
Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak amat tua itu, yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, sekarang seperti anak kecil menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek.
Mendengar suara tawa orang-orang di situ, Kui Thiancu baru menyadari keadaannya. Diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang lalu menangis, tanpa disadarinya sendiri bahwa ia telah melakukan perbuatan yang lucu dan memalukan.
Tentu saja Kui Thiancu marah sekali, akan tetapi ia bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biar pun dia mendapat malu di depan banyak orang, namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah.
Dia menyadari bahwa dia sudah membuat kesalahan besar, keliru menafsirkan orang dan terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.
"Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona."
Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.
Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek. Tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu.
Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada, lalu berkata, "Totiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!"
Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thiancu sehingga membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati.
Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan akan dapat melemahkan orang, membuat orang menjadi kurang waspada. Maka bagi seorang ahli silat, marah pada waktu bertanding merupakan pantangan besar karena hanya akan merugikan diri sendiri.
Kui Thiancu yang sudah amat marah itu tidak mau lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih tua, apa lagi memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu bila harus menyerang lebih dahulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah amat marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.
"Nona, jaga baik-baik seranganku ini!" bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.
Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sementara kakinya membuat langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil menangkis, dia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan.
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja Kui Thiancu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat sekali. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri.
Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia semakin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tidak mampu ditembus oleh gulungan sinar pedangnya. Sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.
Ketika kembali dia membacokkan pedangnya dengan pengerahan tenaga, bulu kebutan itu menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular. Dan pada saat yang sama pula, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!
Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thiancu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.
Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu berkata, "Totiang, terimalah kembali pedangmu!"
Dia menggerakkan hud-tim di tangan kiri, dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lian-pai itu berubah pucat, akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main.
Kalau puterinya saja sehebat itu, apa lagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, ialah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.
"Nona memang hebat, pinto mengaku kalah," lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat. "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw."
Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang. "Terima kasih, Totiang dan silakan duduk."
Setelah tokoh Pek-lian-kauw itu duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.
"Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!" Sikapnya kaku dan agak takabur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.
Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi dia mewakil ayahnya menandingi Kui Thiancu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan dia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, biar laki-laki muda itu murid perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu.
Dia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.
"Sahabat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada salah seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!"
Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu tahu-tahu telah berdiri di depan pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau mengenalkan diri sebelum menguji kepandaian.
"Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"
Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai. Namun di sini dia dipandang rendah sekali, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali!
Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap yang angkuh, "Baik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!"
Melihat lagak orang yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, dia tersenyum dan memberi hormat,
"Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu."
Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, "Lihat seranganku!"
Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat sekali. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.
Akan tetapi, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, serta merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya. Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, dia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang, lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan dia pun telah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!
Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu sudah maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan!
Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, biar pun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat.
Maka ia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, bahkan mendesak pun tak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran.
Ia segera mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu pula membalas dengan tak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.
"Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!”
Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimana pun juga, dia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu-malu untuk mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya, walau pun sebenarnya dia belum kalah.
"Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena sesungguhnya engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!" katanya lembut.
"Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama Kong-thong-pai. Tadi aku sudah berjanji, dan ternyata setelah lewat dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkannya, berarti aku kalah. Pangcu, terimalah hormatku!" katanya sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatan pemuda wakil Kong-thong-pai itu. "Silakan duduk, saudara Koan Tek!"
Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Sekarang perhatian semua tamu ditujukan kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap begitu angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu kepada pihak tuan rumah!.....
Selanjutnya baca
SI TANGAN SAKTI : JILID-04