Si Bangau Merah Jilid 10


Penanggalan Imlek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap tanggal lima belas dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan seterang-terangnya.

Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-lampu gantung beraneka bentuk dan warna menambah indah suasana, seolah-olah menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman itu sedang mekar semerbak, menambah keindahan malam itu.

Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tidak pernah meninggalkan bibirnya, membuat dia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.

Pesta berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga tidak ada selir lainnya yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya.

Untuk membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka dapat hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para pangeran.

Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh lebih orang pengawal yang merupakan pasukan istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.

Biar pun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada mengamati keadaan di sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para prajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para prajurit itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri turun tangan melakukan perondaan di dalam taman itu, seakan-akan hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di dalam taman.

Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walau pun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak.

Ketika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga amat girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun!

Dan di dekat kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran akan tetapi juga girang.

Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan menjadi seorang di antara mereka yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli. Mereka terus membayangi Ang-I Moli selama bertahun-tahun, namun akhirnya mereka kehilangan jejak iblis betina itu.

Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta!
Dan pada suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis!

Akhirnya, Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh delapan orang tosu lainnya. Namun, secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!

Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling mencinta dan saling menghormat. Dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan lebih banyak menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya, juga sudah mengunjungi rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun menemukan jodohnya, walau pun sudah agak terlambat. Apa lagi yang dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!

Demikianlah, pada saat mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada Siang Hong-houw bahwa ada seorang wanita yang bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat dia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.

Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bisa bertemu dengan sahabat lamanya yang mendatangkan kenangan lama sebelum dia menjadi selir Kaisar, sehingga dia menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun supaya tinggal di istana sebagai tamunya, tamu kehormatan dan agar dapat turut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas.

Gangga Dewi yang berpengalaman itu dapat melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu menderita tekanan batin walau pun hidup di dalam gemerlapnya kemewahan dan kemuliaan, maka ia merasa amat kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung biar pun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.

Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana, tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri oleh para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw.

Suma Ciang Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.

Sementara itu Ang-I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Dia pun memakai riasan penyamaran supaya jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyarankan kepada Siang Hong-houw agar Ang-I Moli bisa diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang-I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ sebagai tamu! Tentu saja Ang-I Moli menjadi bingung. Apakah artinya itu? Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ?

Beberapa kali Ang-I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian mendadak dan tidak tersangka-sangka sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi. Bagaimana pun juga, rencana semula harus dilanjutkan!

Ang-I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak dapat mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya.

Hal ini bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andai kata suami isteri itu belum tahu bahwa dia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pendekar itu akan mengenalnya.

Akan tetapi, di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenali kepala pelayan setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan mengamati gerak-gerik Ang-I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu juga sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam istana.

Sejak tadi, nampak Ang-I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada sesuatu hal yang mencurigakan. Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.

Permaisuri itu memberi isyarat pada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci arak yang bentuknya asing dan indah, yang terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, kemudian berkata,

“Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan tahun umurnya. Selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan sehat dan semangat tinggi.”

Para pangeran bersorak gembira, sedangkan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi menyentuh lengan suaminya. “Anggur Uighur yang sudah puluhan tahun umurnya memang amat hebat.”

Ang-I Moli menghampiri Siang Hong-houw, kemudian dia berkata dengan penuh hormat dan halus, “Perkenankan hamba sendiri yang mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para tamu yang mulia.”

Oleh karena sejak pertama kali Ang-I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga menyenangkan hati Siang Hong-houw, maka dia pun mengangguk dan menyerahkan guci anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu.

Ang-I Moli dengan sikapnya yang menarik dan lembut, segera menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, mulai dari yang paling tua sampai yang paling muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri.

Semua hal itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu sempat menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang lain.

Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.

Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-masing dengan wajah amat gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

“Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!”

Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian dan tarian mereka.

Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. “Harap Paduka semua jangan minum anggur itu karena semua cawan sudah diracuni, kecuali cawan para puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan siapa yang minum anggur itu akan tewas!”

Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan otomatis semua orang meletakkan cawan masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri.

Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.

“Perempuan rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau berbohong dan akan kubuktikan.”

Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya ialah seorang wanita Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.

“Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Apa engkau masih berani mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, sudah diberi racun?!” bentak Pangeran Kian Ban Kok.

Akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika! Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik.

Melihat keadaan yang kacau ini, Ang-I Moli terkejut bukan main. Ia lantas tahu bahwa rahasianya diketahui wanita anggota rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung.

Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang-I Moli bahwa menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah mempergunakan kekerasan membunuhi para pangeran! Maka, tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggota pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke depannya dan wanita itu berseru, “Ang-I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!”

Wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan berteriak, “Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat lindungi para pangeran! Ada komplotan pombunuh!”

Pada saat itu pula, Ang-I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, telah menyerangnya dengan tusukan pedang. Tapi Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.

Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua orang prajurit pengawal yang memegang pedang terhunus sudah berloncatan untuk menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggota Thian-li-pang yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.

“Paman Suma Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!” teriak pula Sin Hong.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya amat bingung, akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang. Apa lagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu menyambar lengan isterinya.

“Mari kita lindungi mereka!”

Suami isteri ini berloncatan melindungi para pangeran yang terlihat sangat bingung dan ketakutan. Ketika ada prajurit-prajurit pengawal dengan senjata di tangan menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.

Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali pada waktu tadi ia melihat betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tak tahu tentang rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini telah jatuh korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah.

Apa lagi saat para prajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan dia sudah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu!

Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak demikian nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.

Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab karena dialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!

Melihat munculnya seorang wanita beserta seorang pria dari rombongan pemusik yang menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga sudah berloncatan melindungi para pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak.

“Mari cepat menyingkir ke dalam!” katanya.

Ia bersama para pangeran dan puteri meninggalkan tempat yang kini menjadi medan pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami isteri itu kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.

Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, bukan semua anggota Thian-li-pang. Anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan oleh Ouw Cun Ki menjadi prajurit pasukan pengawal hanya ada dua puluh orang lebih. Selebihnya adalah prajurit pengawal asli.

Oleh karena itu, ketika para prajurit asli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka ternyata adalah seorang pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja sikap mereka segera membalik dan turut menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biar pun rata-rata pandai ilmu silat, dikeroyok banyak sekali lawan.

Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkannya, Ouw Cun Ki melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi, nampaklah bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri tepat di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.

“Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!” kata Sin Hong.
“Penjilat busuk, anjing penjajah Mancu!” teriak Ouw Cun Ki. Dia sudah mempergunakan pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.

Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat dan sudah bersekongkol dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun diam-diam menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.

“Jahanam, orang macam engkau ini yang mengotorkan perjuangan!” bentaknya sambil mengelak dan membalas dengan tendangan yang biar pun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung.

Ouw Cun Ki putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting.

Akan tetapi, kali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Maka, walau pun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.

Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang-I Moli berlangsung seru. Kepandaian kedua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara Sin Hong dan Ouw Cun Ki.

Ang-I Moli kini telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng Tok-hiat (Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini Ang-I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong.

Melihat betapa lihainya Kao Hong Li, Ang-I Moli yang menggunakan pedang di tangan kanan itu, lalu menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.

Ketika pertama kali Ang-I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya. Maka, ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Biar pun tidak sejahat Toat-beng Tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh kedua orang wanita itu terdorong ke belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang-I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!

Sebelum kedua orang wanita ini kembali saling terjang, mendadak nampak bayangan berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang-I Moli.

“Iblis betina Ang-I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kau sembunyikan Yo Han? Hayo cepat beri tahu atau terpaksa aku akan menyiksamu untuk mengaku!” bentakan Gangga Dewi ini selain sangat mengejutkan hati Ang-I Moli, juga membuat Kao Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi dia lihat duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan sekarang wanita ini mengenal Ang-I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!

Ang-I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan dia tahu akan kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah menyamar.

“Mampuslah!” bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk.

Gangga Dewi memiliki ginkang yang hebat dan dia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu dapat dielakkannya dengan amat mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampaklah gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi telah membalas pula dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sabµk itu meluncur kaku bagaikan berubah menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang-I Moli.

Ang-I Moli menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang diandalkannya, yaitu Toat-beng Tok-hiat. Serangkum uap putih yang berbau busuk menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.

“Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!” Kao Hong Li membentak.

Hong Li menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang-I Moli yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.

Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa adanya Kao Hong Li, yaitu keponakan suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk suteranya dan berseru.

“Kao Hong Li, aku adalah isteri pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan.”

Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!

“Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?” katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang-I Moli yang sudah membalas serangannya.
“Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!”

Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang-I Moli yang menjadi sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia kewalahan dan terus mundur.

“Singgg...!”

Dengan nekat Ang-I Moli membacokkan pedang ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat.

Ang-I Moli terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika dia sedang bersitegang dan menarik-narik pedangnya supaya terlepas, Hong Li sudah meloncat ke depan. Sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang-I Moli roboh terkulai dengan lemas.

Hong Li menginjak perut Ang-I Moli. Melihat ini, Gangga Dewi berseru, “Jangan bunuh dulu!”

Hong Li memandang wanita Bhutan itu sambil tersenyum. “Bibi, tentu aku tidak ingin membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, dia harus lebih dahulu mengatakan di mana dia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan di mana engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.”

“Aku tidak tahu, aku tak pernah melihat puterimu,” jawab Ang-I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak merasa gentar. Selama dia masih hidup, ia tidak akan pernah putus asa dan menyerah.
“Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan di rumah penginapan itu telah hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan kawan-kawanmu yang sudah manculiknya? Hayo katakan, di mana dia!”
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak,” jawab Ang-I Moli acuh.
“Iblis busuk, engkau benar-benar patut dihajar!” Hong Li yang sangat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.
“Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberi tahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang-I Moli, engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengejarmu dan mencarimu, tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?”

Ang-I Moli tersenyum mengejek. “Yo Han sudah menjadi murid pimpinan Thian-li-pang dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah di Thian-li-pang.”

Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang-I Moli kiranya tidak ada perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.

“Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han,” kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran.

Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan orang Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.

Kaisar Kian Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi anugerah pangkat tinggi itu ternyata ialah mata-mata pemberontak Thian-li-pang yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk menghukum berat kepada para pemberontak itu, yaitu hukuman buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya.

Meski tiada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan sakit keras.

Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega lagi untuk menegur atau bertanya. Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkan pertolongan para tabib tidak mampu mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang.

Hampir saja semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar. Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal bukan main.

Ia memang amat mendendam terhadap pemerintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya, maka ialah yang berdosa besar.

Perasaan bersalah ini mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw lalu jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.

Setelah merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong Li, dibantu Suma Ciang Bun serta Gangga Dewi, mencoba mencari keterangan tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun di antara mereka tahu mengenai dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharap balas jasa sama sekali.

Mereka berempat keluar dari istana kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.

“Menurut pengakuan Ang-I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!” kata Gangga Dewi.
“Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain mempunyai anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati dalam melakukan penyelidikan.”
“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Paman Suma Ciang Bun,” berkata Tan Sin Hong. “Pasukan pemerintah pun sulit sekali membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak orang gagah yang membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan menentang pemerintah Mancu.”
“Bagi kami, yang paling penting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat,” kata Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.
“Hemm, memang amat mencurigakan,” kata Suma Ciang Bun. “Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu lagi.”

Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan lagi. Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasanya di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing.

Ketika Sian Li melihat para pengemis meminta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.

Keterangan itu sebenarnya tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

“Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan tiap orang asing patut dicurigai,” kata Gangga Dewi. Mereka kemudian minta pada tukang masak untuk menggambarkan keadaan pengemis itu.
“Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Dia memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling.” Demikian keterangan yang mereka peroleh.

Empat orang pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai. Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya mengenai pengemis seperti yang digambarkan tukang masak tadi.....

Sin Hong sendiri yang akhirnya mendapatkan keterangan, setelah para pengemis lain hanya mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu. Salah seorang di antara mereka menerangkan bahwa pengemis tua bongkok itu datang dari selatan dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan sering berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lain. Bahkan Phoa-pangcu, yaitu ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.

“Kau tahu siapa dia?” Sin Hong bertanya.
“Dia hanya mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam),” jawab pengemis itu.
“Dan engkau melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berpakaian serba merah?” Sin Hong mendesak.

Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apa lagi ketika ia bertemu kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, ketiga orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.

“Sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak itu kepada Adik Suma Ceng Liong,” berkata Suma Ciang Bun. “Dengan demikian maka dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Sedangkan kami sendiri akan melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li.”

Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li.

Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang-I Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.....

********************
Ke manakah perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghilangkan kekesalannya.

Gadis kecil ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata sudah mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman.

Dia adalah seorang di antara anak buah Ang-I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada Ang-I Moli saja dia pergi meninggalkan mereka ibu dan anak. Dan kini, selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.

Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat. Jika dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan juga tidak mengurangi kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas rasa penasaran dan dendamnya tadi, sekaligus bersenang-senang.

Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan.

Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw telah menubruk dan menyergapnya bagai seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang tak lagi mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang sudah tidak mampu bergerak.

“Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk ke dalam kuil kosong itu.

Dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam bagi para gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.

Mendadak nampak sinar yang biar pun hanya kecil, akan tetapi karena munculnya tiba-tiba dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan mengejutkan, juga sangat menyilaukan mata. Hek-bin-houw terkejut dan menoleh.

Kiranya sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel. Sekarang lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.

"Ha-ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia dimaki anjing!
"Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti? Ayo cepat menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut golok dari pinggangnya dengan sikap mengancam.

Kakek jembel itu terkekeh, lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.

"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat, engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing muka hitam."

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini.

"Jahanam busuk, rupanya engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu. Akan tetapi, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu lalu menggerakkan tongkat bututnya yang berwarna hitam untuk menangkis.
"Trakkkk...!"

Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung dalam tongkat hitam itu pada waktu menangkisnya tadi.

Akan tetapi, dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaiannya sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah terhadap orang lain, Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat menandinginya.

"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia pun menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.
"Manusia tidak tahu diri!"

Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan.

Hek-bin-houw berteriak nyaring dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw lantas terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!

"Heh-heh-heh-heh, ada saja jalan bagi orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu.

Dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, tapi sama sekali tidak kelihatan takut.

"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas saja anjing hitam itu menculikmu. Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak dengan amat cepat, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li.

Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi dia segera dapat berdiri tegak dan dengan sikap tegas dia berkata,

"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."
"Ehh? Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apakah engkau lebih suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak bernyawa lagi.
"Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah dan Ibuku!"
"Tapi, engkau telah kutolong!"
"Aku tidak pernah minta pertolonganmu."
"Huh, engkau manis tetapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"
"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan.

Melihat gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Ia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sinkang yang mendatangkan kecepatan dan kekuatan.

"Hayo ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar.

Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam kegelapan malam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis bongkok itu telah keluar dari kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.

Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian untuk memaksakan keinginannya dan tak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat walau pun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) di mana ia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka perkumpulan itu sering ditinggalkan olehnya dan dia serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.

Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentang dan menyerangnya. Akan tetapi, pada saat melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.

Saking lelahnya, pada waktu dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biar pun tubuhnya tak tampak bergerak, ia dapat bersuara dan berulang-ulang minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya.

Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong.

Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan. Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga supaya suaranya terdengar lantang.

"Kakek jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, lalu nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.

Melihat ini, Sian Li berkata lagi.
"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"
"Heh-heh-heh, aku tidak takut kepada ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.
"Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!" kata pula Sian Li.

Sian Li melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.

Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertakan belaka.

"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangau Putih! Sedangkan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.
"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.
"Siapa membual? Ibuku itu bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"

Sekarang Hek-pang Sin-kai tak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa anak ini tak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.

"Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!" katanya gembira dan bangga. Kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi sekali!

Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat serta tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, sudah dirampas orang!

Pada saat dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebaskan totokan atas diri gadis cilik itu.

"Anak yang baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping.

Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di pinggir jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.

Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu. "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"

Nenek itu tersenyum dan sungguh amat mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang seluruh rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini pada waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat.

Memang dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang dahulu terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, di samping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik seperguruan) dan sudah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) serta Kim-kong Sin-im (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas).

Di samping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sinkang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!

"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"

"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku ini menamatkan riwayat hidupmu.”

Senyum itu masih belum hilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, namun sangat rapi dan bersih itu.

"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."
"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya.

Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja ia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunakan tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong. Dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya.

Tongkat hitam itu seperti seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkatnya membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut.

"Hemm, kejam sungguh!" Nenek Bu Ci Sian berseru lirih.

Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya terus mengancam dirinya sehingga dengan terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.

Segera nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pang Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi dirinya dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.

Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya!

Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung sebab selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.

Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walau pun dahulu di waktu mudanya dia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah menjadi isteri suheng-nya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan.

Walau pun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan dapat merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, sekarang ia hanya mempergunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya!

Maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai kemudian meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba ia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu digunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran.

Tongkat meluncur dengan kecepatan bagai anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.

"Hemmm...!"

Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat itu, dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar sehingga tongkat itu berputaran menempel pada suling.

"Hyaaattt...!"

Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang tadi sudah terputar-putar melekat pada suling itu sekarang tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang telah melarikan diri! Tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang!

Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut jika dikejar dan dibunuh, ia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya.

Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.

"Nek, kenapa tidak kau bunuh saja kakek jembel jahat itu?"

Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dengan alisnya berkerut. "Kenapa harus dibunuh?" tanyanya.

"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau sudah membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."

Nenek Bu Ci Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia pun tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.

"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?”

Sian Li memandang tajam, “Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"

“Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"
"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."
"Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakuan itu.
"Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"
"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"

Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan sangat berhati-hati. ”Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya.”

"Tentu saja. Nenek Kam Bi Eng amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu di sana.”
"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."
"Aihhh, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" berkata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut.

Nenek itu girang sekali, lalu mengangkat bangun anak itu dan memeluknya. "Engkau bahkan sudah mengenal namaku?"

"Tentu saja. Sejak aku kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjulukan Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku bisa melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."
"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu?"

Sian Li menceritakan tentang pengalamannya dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan di antara Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia telah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.

"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu kini tengah menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"

"Sebetulnya, aku bersama Ayah dan Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."

"Aih, begitukah? Bagus sekali jika begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."
"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan..."
"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu, kemudian mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"
"Aku tidak takut, Nek."
"Ini bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus kembali mendatangi bahaya dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, marilah kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberi tahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."

Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimana pun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka berdua ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.

"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.

Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang ia khawatirkan, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia adalah seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.

"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.

Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"

"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu beramai-ramai kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" berkata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.
"Engkau benar. Usianya memang sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu..."
"Ibuuuu...!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu, kenapa...? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Ia bertanya di antara ratap tangisnya.

Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Akan tetapi, Ibu, mengapa kami tidak diberi tahu mengenai kematian Ayah?"

Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. ”Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan supaya begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini adalah pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."

"Tapi... tapi mengapa...?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.
"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu-minggu atau berhari-hari membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku saat terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri oleh para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."

Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"

"Panjang ceritanya," kata nenek itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."

Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.

Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya sangat besar karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."

"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.

Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"

"Tentu saja tidak. Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka," kata isterinya penuh semangat.
"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."
"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."
"Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan dia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.

Suami isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam, lalu berteriak, "Sian Lun...! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!”

Dari arah belakang terdengar jawaban. "Teecu datang, Subo!”

Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini walau pun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.

"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."

Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"

"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, maka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."
"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun.”

Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.

"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek dan Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Susiok (Paman Guru)..."

Suma Ceng Liong tertawa. "Memang harusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, maka berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."

Wajah Sian Li berseri-seri. "Aihh, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku jauh lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dari padaku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan dari pada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang lalu tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.

"Sumoi...," katanya lirih.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian. Akhirnya nenek ini setuju bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.

Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!

Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walau pun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka.

Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang. Mereka ke sini untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.

Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk turut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.

"Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Sekarang ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kelak kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."

Biar pun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalkan ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Dia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.

Ada pun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, pada setiap tahun baru mereka pasti akan datang berkunjung.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-11
LihatTutupKomentar