Pendekar Super Sakti Jilid 18
“...engkau tidak adil...! Hu-huu-huuuu... tidak adil... tidak adil...! Hi-hiii-hiiiii... hu-huuuuu!” Lulu berlari cepat sekali sambil menangis dan merintih-rintih di sepanjang jalan, kedua tangannya menggosok-gosok kedua mata seperti anak kecil menangis, beberapa kali ia terhuyung karena kakinya tersandung batu atau akar pohon.
Lulu terkejut, seperti sadar dari mimpi. Dia menahan kakinya dan berdiri memandang melalui air matanya. Nirahai sudah berdiri di depannya. Wajah yang cantik jelita dan biasanya bersikap ramah penuh kasih kepadanya itu kini kelihatan marah, kedua tangan bertolak pinggang.
Akan tetapi dalam kesedihannya, Lulu tidak melihat perubahan ini. Begitu bertemu suci-nya, ia lalu menubruk, merangkul dan menangis di pundak Nirahai.
“Aduh, suci... hu-huuuuu...!”
“Hemmm, tenanglah dan jangan seperti bocah cengeng! Bicaralah!” kata Nirahai yang masih bersikap marah.
“Suci... dia... dia...” Lulu menangis lagi, terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya tadi sehingga sukar untuk bicara.
Nirahai memegang kedua pundak Lulu dan mendorongnya mundur. “Sumoi, hentikan tangismu! Apa yang telah kudengar dari laporan pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!”
Lulu mengusap air matanya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai. “Suci, dia... dia adalah Han-koko yang kucari-cari!”
Nirahai mengangguk. “Aku sudah mendengar. Jadi panglima pemberontak berkaki buntung itulah Han Han yang selama ini kau cari-cari? Di mana dia sekarang?”
“Kaki... kau... mau apakan dia...?”
“Mau apakan dia? Dia adalah panglima musuh! Harus ditawan atau dibunuh!”
“Suci...!”
“Sumoi, tidak tahukah engkau bahwa tadi engkau telah melakukan perbuatan yang khianat? Engkau membantu musuh!”
“Tapi dia kakakku!” Lulu membantah penasaran.
“Tapi dia panglima musuh!” Nirahai membentak, lebih penasaran lagi.
Lulu menjadi lemah kembali dan meratap, “Suci... suci... ingatlah, dia kakakku! Bagai mana aku dapat memusuhinya?”
Nirahai menarik napas panjang. “Hemmm, sudahlah! Biar pun kakak, tapi hanya kakak angkat. Andai kata kakak kandung sekali pun, kalau membantu musuh harus ditentang. Lulu, dalam masa perang, urusan pribadi harus dikeduakan, yang diutamakan adalah urusan negara! Aku tidak membenci kakakmu yang belum pernah kujumpai, bahkan aku tidak pernah membenci para pemberontak secara pribadi, akan tetapi aku akan membunuh mereka sebagai musuh negara. Sudah, biarlah untuk sekali ini, aku tidak akan mengejar panglima buntung dari Se-cuan itu. Mari kita kembali ke pesanggrahan kita.”
Lulu menggeleng kepala. “Tidak, suci. Setelah aku melihat kenyataan bahwa Han-koko berada di pihak musuh, aku tidak mau perang lagi. Aku akan pergi.”
“Ke mana?” Nirahai menyembunyikan kemarahannya. “Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu pemberontak?”
Lulu menggeleng kepala dengan sedih. “Tidak, aku mau pergi menjauhi semua ini, mau menjauhi perang yang menghancurkan hidupku. Aku tidak sudi lagi terlibat...”
“Sumoi! Engkau harus kembali bersama aku! Ini merupakan perintah!”
Baru sekali ini selama menjadi sumoi Nirahai, suci-nya itu mengeluarkan suara keras dan memperlihatkan sikap marah. Hal ini mengingatkan Lulu akan sikap Han Han tadi dan sakitlah hatinya. Ia pun memandang suci-nya dengan sinar mata penuh penasaran dan tentangan, lalu bertanya dengan suara tegas.
“Perintah siapa kepada siapa?”
“Perintah seorang pemimpin kepada bawahannya! Perintah seorang wakil kaisar kepada warga negaranya! Perintah seorang suci kepada sumoi-nya!”
Lulu menggeleng kepala. “Tidak, suci. apa pun yang terjadi, aku tidak mau kembali ke markas, tidak mau ikut perang. Aku hendak pergi ke mana aku suka!”
“Lulu! Membangkang berarti memberontak dan kau bisa dihukum!”
“Terserah!”
“Sumoi, engkau hendak melawan suci-mu? Engkau berani melawan aku?”
“Suci, ketika aku ikut bersamamu, tidak ada perjanjian jual beli kebebasanku. Kalau sekarang engkau hendak memaksa, hendak mengganggu kebebasanku, terpaksa aku melawanmu. Melawan engkau sebagai orang yang hendak memaksaku, bukan sekali-kali melawan bangsa atau negara! Aku tidak peduli akan urusan bangsa dan negara, tidak peduli akan perang, aku muak! Biarkan mereka yang suka perang itu maju sendiri mempertaruhkan nyawa. Bagiku, terima kasih! Aku tidak mau kembali dan kalau suci hendak memaksa, apa boleh buat, aku melawan sebisaku!”
Nirahai menghela napas, wajahnya terlihat penuh kecewa dan sesal. Dia amat mencinta Lulu yang dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak ingin menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang sekali menentukan sikap akan dibela sampai mati. Betapa pun juga tak mungkin ia melepaskan sumoi-nya ini. Kalau sampai sumoi-nya ini kemudian membantu pemberontak, hal itu merupakan mala petaka yang lebih hebat lagi. Bayangkan saja. Sumoi-nya, seorang gadis Mancu pula, membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus mencegah hal yang terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoi-nya mati di depan kakinya untuk kemudian ia tangisi dan kabungi dari pada melihat sumoi-nya menjadi pengkhianat!
“Sumoi, sekali lagi, marilah kau ikut aku kembali dan kita bicarakan semua urusan dengan baik. Jangan menuruti perasaan yang sedang terganggu. Perlukah urusan begini saja sampai mematahkan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kita?” Suara Nirahai yang lemah lembut ini membuat Lulu kembali terisak.
“Suci... suci... kau kasihanilah aku, biarkan aku pergi...,” ia meratap.
“Sumoi!” Nirahai membentak lagi. “Engkau seorang gadis yang perkasa! Engkau adalah sumoi-ku! Engkau adalah murid Subo Maya! Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo ikut aku kembali!”
Lulu menggeleng kepala, “Tidak mau, suci.”
“Hemmm, baik. Kita lihat saja siapa di antara kita yang lebih kuat. Akan tetapi ingat, sekali ini kita bukan sedang berlatih!” Nirahai berkata mengejek dan menubruk ke depan mengirim totokan ke arah leher Lulu disusul cengkeraman ke arah pundak.
Lulu cepat mengelak dari totokan dan menangkis cengkeraman, bahkan langsung ia membalas dengan pukulan dari ilmu silatnya yang ampuh dan yang ia latih dari Puteri atau Nenek Maya, yaitu Toat-beng Sian-kun. Pukulan yang mengarah dada dan perut Nirahai dengan kedua tangan terbuka ini kelihatannya ringan saja. Akan tetapi tentu saja Nirahai mengenal pukulan sakti. Cepat ia mengelak dan balas menyerang. Makin lama makin cepat gerakan mereka sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebat, kadang-kadang menjadi satu!
Betapa pun lihainya Lulu, tentu saja dia tidak dapat menandingi kehebatan Nirahai yang memiliki banyak ilmu silat tinggi yang luar biasa. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus, Lulu mulai terdesak hebat dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya yang ia dapat dari latihan di Pulau Es saja yang membuat ia dapat bertahan dari serangan Nirahai yang bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke sana-sini dan terus mundur.
“Lu-moi, jangan takut! Aku datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah Sin Kiat yang langsung menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan murid Im-yang Seng-cu yang berjuluk Hoa-san Gi-hap ini cepat dan dahsyat sekali, pedangnya mengeluarkan suara berdesing dan berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.
“Hemmm... pemberontak cilik bosan hidup!” Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Sin Kiat menjadi gelap ketika ada sinar hitam lebar menutupi tubuh lawannya kemudian dari tengah bayangan hitam itu meluncur sinar putih yang menusuk ke arah lambungnya.
“Cringggg...!”
Sin Kiat terkejut sekali. Ternyata bayangan hitam itu adalah sebatang payung yang tiba-tiba sudah berada di tangan Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian ujung payung yang runcing seperti pedang menusuknya. Tangkisannya membuat tangannya tergetar, tanda bahwa puteri Mancu itu memiliki sinkang amat kuat.
Sin Kiat memutar pedangnya dan bergerak cepat, namun semua serangannya kena dihalau oleh tangkisan kuat, dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak oleh serangan balasan ujung payung yang menyembunyikan gerakan lengan dan pundak lawan.
“Plak... cring...! Aaaihhh!”
Sin Kiat terpaksa loncat ke belakang. Hampir saja lututnya kena disambar ujung payung yang gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian ia berkata.
“Hemm... kalau tidak salah dugaanku, tentu engkaulah Puteri Nirahai yang terkenal licik itu, pengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!” katanya sambil melintangkan pedang di depan dada. Kemudian ia menoleh ke arah Lulu dengan wajah berseri, “Lu-moi, engkau pergilah. Han Han mencarimu. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini!”
“Wah, melihat gerakan pedangmu, engkau tentu Hoa-san Gi-hiap seperti yang pernah diceritakan Lulu kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau menjadi murid Im-yang Seng-cu, akan tetapi engkau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melawanku!” Nirahai berseru dan kembali payung pedangnya mengirim serangan hebat.
Sin Kiat tidak berani berlaku lengah. Cepat ia menangkis sambil meloncat ke samping, kemudian mengirim serangan balasan yang dapat dielakkan secara mudah oleh Nirahai dengan sikap mengejek.
“Wan-twako, jangan...! Jangan campuri, biar aku sendiri hadapi suci!”
Wan Sin Kiat terkejut bukan main dan untuk kedua kalinya ia meloncat mundur. “Apa?! Suci-mu...?”
Nirahai tersenyum dan memandang wajah tampan itu dengan tajam. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini pun salah seorang panglima Se-cuan, maka dia menganggap pemuda ini musuhnya.
“Benar, Wan Sin Kiat, ataukah Wan-ciangkun? Engkau seorang panglima pemberontak, bukan? Lulu adalah sumoi-ku, akan tetapi mencampuri urusan kami atau tidak, setelah engkau berada di daerah ini, engkau harus menyerah menjadi tawananku atau terpaksa aku akan membunuhmu sebagai tokoh pemberontak!”
“Lu-moi...! Eh, bagaimana ini...?”
Sin Kiat bingung sekali, akan tetapi Nirahai telah menyerangnya kembali dengan hebat.
“Tranggg... cringgggg...!”
Dua kali Sin Kiat menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus menerjang maju dan mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
“Trikkkkk!”
Nirahai mencelat mundur. Lulu telah mencabut pedang dan menangkis gagang payung itu untuk menolong Sin Kiat.
“Suci, tidak boleh kau bunuh dia. Mari kita lanjutkan pertandingan kita.”
“Sumoi, kau makin tersesat! Sekarang kau membantu pemberontak di depanku, ya?”
Nirahai menyerang dengan hebat dan kembali kedua orang gadis yang sama cantik jelita dan sama lincah itu saling serang, kini menggunakan senjata. Melihat ini, serta merta Sin Kiat membantu dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran hebat berlangsung di dalam hutan yang sunyi itu. Kelebatan sinar pedang menyliaukan mata dan gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam Sin Kiat menjadi amat heran, heran dan kagum. Kini ia mendapat kenyataan betapa Lulu telah memperoleh kemajuan pesat, bahkan dari gerakan-gerakan gadis yang dicintanya itu ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Lulu kini telah jauh melampaui tingkatnya sendiri!
Akan tetapi, dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Puteri Nirahai yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok dua sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh ujung gagang payung yang luar biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja tokoh-tokoh besar seperti orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tewas di tangan gadis puteri Kaisar Mancu ini!
Oleh karena dibantu Sin Kiat, kini tidaklah begitu mudah lagi bagi Nirahai untuk dapat mengalahkan Lulu, sungguh pun ia masih terus mendesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh di atas kedua orang pengeroyoknya. Setelah lewat seratus jurus, Nirahai mulai penasaran dan marah. Kalau tadinya ia ingin merobohkan Lulu tanpa membunuhnya, bahkan kalau mungkin tidak melukainya, kini ia tidak peduli lagi dan kalau perlu hendak membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan lengking nyaring sekali dan tampaklah sinar emas berkilau.
Lulu dan Sin Kiat terkejut sekali. Mata mereka menjadi silau dan mendadak permainan pedang mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari sebatang suling emas yang kini dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka Suling Emas yang ampuhnya menggila!
“Trang-cringgg...!” Lulu dan Sin Kiat terhuyung, kedua tangan mereka tergetar hebat.
“Lu-moi, pergilah... Cepat pergi... selamatkan dirimu...!” Sin Kiat berkata sambil memutar pedangnya dengan cepat, membentuk gulungan sinar pedang seperti perisai baja.
“Tidak, Wan-twako! Engkau saja pergilah, jangan menyia-nyiakan nyawa untuk aku. Biar kuhadapi urusanku sendiri!” Lulu berkata sambil memutar pedangnya.
“Trang-tranggg...!”
Kini kedua orang muda itu tidak hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan bergulingan. Nirahai tertawa dan terus menerjang maju.
“Moi-moi... pergilah selamatkan dirimu...!” Sin Kiat mendesak.
“Twako, kenapa sih engkau hendak mengorbankan diri untukku?” Lulu bertanya dengan rasa penasaran.
“Moi-moi, kau tahu. Aku cinta padamu, aku rela berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han Han... di Se-cuan...!” kata Sin Kiat sambil menangkis.
“Trakkk!” Pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan suling emas! Tendangan kaki Nirahai menyerempet pahanya dan pemuda itu terguling.
“Wan-twako...!” Lulu berteriak dan ia memutar pedangnya menghalangi Nirahai yang mengirim serangan terakhir kepada pemuda itu.
“Cringgg...!”
“Sumoi, dia mencintamu, apakah engkau juga mencintanya?”
Lulu tak menjawab, mukanya merah dan ia menyerang dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis oleh Nirahai. Sin Kiat sudah meloncat bangun lagi. Ia terkejut melihat betapa Puteri Nirahai kini menangkis pedang dan memutar-mutar suling emas sehingga Lulu ikut pula terputar-putar, kemudian pedang itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari tangan Lulu!
“Hi-hik, kau menyerahlah, sumoi!” Nirahai berkata.
Lulu makin marah. Ia menubruk maju, tetapi sebuah dorongan membuat ia terjengkang.
“Moi-moi...!” Sin Kiat menghampiri Lulu lega hatinya mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak terluka. “Cepat kau lari... biar aku saja yang mati...!”
Tanpa menanti jawaban Lulu, Sin Kiat mengeluarkan bentakan keras dan ia sudah menubruk dengan nekat ke arah Nirahai! Melihat kenekatan pemuda ini, Nirahai terkejut sekali dan hampir saja pundaknya kena dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa puteri yang lihai ini melempar diri ke belakang dan bergulingan, lalu ia meloncat dan memandang pemuda itu dengan mata marah.
“Hemmm, kau mau bunuh diri, ya? Nah, mampuslah!”
Sinar kuning emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting. Hanya kena dorongan hawa pukulan senjata ampuh itu saja ia sudah jatuh terpelanting. Nirahai melangkah maju, mengayun payungnya.
“Biarlah aku mati bersamamu, twako!” Lulu menubruk maju dari belakang, menyerang Nirahai.
“Hemmm... kau mencintanya juga, bukan?”
Nirahai membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin Kiat, akan tetapi ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan sulingnya menotok ke arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan Nirahai, terlalu cepat bagi dua orang muda yang nekat itu.
“Krekkk!” Tubuh Sin Kiat terkulai, tulang pundaknya patah.
“Cusss!” Tubuh Lulu lemas karena jalan darahnya terkena totokan suling emas secara tepat sekali.
Nirahai tersenyum. Gadis ini menyimpan suling dan payung, menyambar tubuh Lulu dan dipanggulnya, kemudian memandang Sin Kiat yang duduk sambil memegangi pundak kirinya yang patah.
“Wan Sin Kiat, karena melihat kau dan Lulu saling mencinta, aku mengampuni dan tak akan membunuhmu. Akan tetapi pada pertemuan kedua, jikalau engkau masih menjadi pemberontak, tentu mengakibatkan kematianmu di tanganku.” Sambil berkata demikian, Nirahai membalikkan tubuh, tidak mempedulikan pemuda yang memandangnya dengan mata mendelik itu.
“Nirahai! Aku bersumpah, kalau engkau mengganggu Lulu, kelak aku akan mencarimu dan akan membunuhmu!”
Nirahai menoleh, tersenyum mengejek lalu tubuhnya berkelebat pergi dari tempat itu bersama Lulu yang terkulai lemas di atas pundaknya. Sin Kiat mengerutkan keningnya, masih terheran-heran mengapa Lulu menjadi sumoi puteri itu, dan heran pula mengapa keduanya saling serang mati-matian. Ia menggeleng-geleng kepala, menghela napas panjang penuh sesal mengapa dia tidak mampu melindungi Lulu dari tangan puteri yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam masih terngiang di telinganya suara Lulu ketika membantunya tadi. “Biar aku mati bersamamu, twako!”
Betapa merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang mencinta? Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Susah payah ia mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan, melainkan Lulu! Ke manakah perginya Han Han? Tentu tidak jauh dari tempat ini karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya hanya Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga hari tiga malam berkeliaran di dalam hutan-hutan sambil mengobati sendiri pundaknya yang patah tulangnya, akhirnya pada suatu pagi Sin Kiat melihat sesosok tubuh yang duduk bagaikan arca di bawah pohon, di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Dan orang itu bukan lain adalah Han Han!
“Han Han...!” Sin Kiat berteriak girang.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan siulian dan matanya terpejam. Tongkat butut melintang di depan lututnya. Luka di pahanya sudah mengering, dan luka di dalam dadanya pun sudah sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja bersemedhi, seolah-olah sudah berubah menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk sadar kembali.
Han Han mengalami pukulan batin yang amat hebat secara bertubi-tubi sehingga membuat dia seolah-olah sudah bosan hidup. Pertama-tama urusan dengan Kim Cu sudah merupakan tekanan batin yang berat, disusul lagi dengan kematian Lu Soan Li yang juga menjadi korban cinta kasihnya kepadanya. Pertemuannya dengan Tan Hian Ceng yang mencintanya membuat hatinya makin terhimpit dan satu-satunya harapan hatinya untuk dapat keluar dari himpitan dan mendapatkan hiburan batin adalah pertemuannya kembali dengan Lulu.
Akan tetapi, begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia malah menerima hantaman batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan bahwa Lulu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Mancu! Lebih celaka lagi, dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan hampir celaka di tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu, membuat Lulu sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung di hati adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat menghibur hatinya yang sakit!
“Han Han, mengapa engkau menjadi begini? Apa yang sudah terjadi denganmu? Sadarlah, aku telah berjumpa dengan Lulu!”
Han Han membuka matanya, memandang Sin Kiat dan bertanya dengan suara lesu, “Di manakah dia? Mana Lulu?”
“Han Han, celaka sekali! Aku bertemu dengan Lulu, akan tetapi dia dan aku tidak dapat melawan Puteri Nirahai. Aku dirobohkan dan terluka, sedangkan Lulu, dia dilarikan Nirahai. Anehnya Lulu menyebutnya suci, dan...” Akan tetapi Sin Kiat melongo ketika tiba-tiba tubuh Han Han mencelat dan lenyap dari tempat itu!
“Han Han...!” Sin Kiat berteriak, akan tetapi tubuh Han Han sudah berloncatan jauh sekali. Sin Kiat menggeleng-geleng kepala mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat mengejar pemuda buntung itu, terpaksa ia pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati berat Sin Kiat lalu kembali ke Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi dan meletakkan jabatan untuk pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
********************
Begitu mendengar dari Sin Kiat bahwa adiknya ditawan Puteri Nirahai, kemarahan Han Han memuncak. Tanpa pamit ia meninggalkan Sin Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi menuju ke kota raja untuk mengejar dan menolong adiknya.
Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda berkaki buntung yang berjalan terpincang-pincang memasuki kota raja itu mengandung perasaan marah dan sakit hati yang akan menggegerkan kota raja! Han Han berjalan perlahan memasuki kota raja....
“Tak-tok-tak-tok...!” tongkat yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi ketika mengetuk jalan berbatu yang keras.
Beberapa orang menoleh dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang menjadi heran melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh menyeramkan, yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han tidak tahu ke mana adiknya dibawa oleh Puteri Nirahai, akan tetapi ia teringat betapa dahulu adiknya itu diculik oleh Ouwyang Seng, maka ia dapat menduga bahwa antara Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran Ouwyang tentu ada hubungan erat. Karena itu dengan perasaan marah memenuhi dada, dengan hati panas oleh dendam, ia lalu menujukan langkahnya yang terpincang-pincang itu ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok!
Lima orang penjaga pintu gerbang di luar pekarangan gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok cepat menghadang dan memandang heran ketika melihat pemuda buntung itu seenaknya saja memasuki pintu gerbang.
“Haiii! Berhenti! Tidak boleh mengemis di sini!” Seorang di antara mereka membentak, kemudian menodongkan tombaknya ke depan dada Han Han. “Pergi!”
Han Han tidak marah mendengar makian ini. Baginya, dikatakan pengemis bukan merupakan makian atau penghinaan. “Minggirlah, aku hendak mencari Ouwyang Seng!”
Lima orang penjaga itu tercengang. Mendengar seorang pemuda kaki buntung yang mereka anggap pengemis itu menyebut nama Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan bahwa tentu pengemis buntung ini miring otaknya.
“Eh, orang gila. Pergilah kalau tidak mau kami pukul!” bentak penjaga ke dua.
“Kalian minggirlah, jangan halangi aku!” Han Han berkata dengan suara dingin. Tanpa mempedulikan mereka, dia berjalan terus memasuki pekarangan gedung besar.
Lima orang penjaga itu menjadi marah dan berkelebatlah tombak-tombak mereka ke arah Han Han.
“Trang-trang-krek-krek-krekkk!”
Lima batang tombak patah-patah dan beterbangan disusul tubuh lima orang penjaga itu yang terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin! Han Han tidak mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju gedung.
Teriakan-teriakan para penjaga ini menarik perhatian para penjaga di gedung dan mereka ini, dua belas orang banyaknya, datang berlari-lari. Mereka terkejut melihat para penjaga pintu gerbang roboh semua dan melihat pemuda buntung itu berloncatan ke ruangan depan. Cepat mereka mengurung, akan tetapi Han Han yang tidak sabar telah meloncat tinggi ke atas kepala mereka, kedua tangan didorong ke bawah dan dua belas orang itu roboh terbanting tunggang-langgang.
“Ouwyang Seng! Keluarlah! Kalau tidak, kuhancurkan tempat ini!” Han Han berteriak-teriak dan sekali sambar ia mengangkat singa-singaan batu yang belum tentu dapat terangkat oleh sepuluh orang biasa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan melontarkan singa-singaan batu itu ke dalam.
“Braaaaakkkkk!” pecahlah pintu ruangan depan itu.
Han Han meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang ketika berteriak, “Ouwyang Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku Lulu! Kalau tidak, akan kuhancurkan kota raja!”
Tiba-tiba dari sebelah dalam menyambar senjata rahasia yang berupa gelang-gelang kecil. Cepat dan kuat sekali sambaran ini, akan tetapi dengan tenang Han Han menggerakkan tubuh meloncat tinggi sehingga sambaran senjata-senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya. Di udara, tubuh Han Han berjungkir balik dan ia sudah meloncat keluar karena kalau ada lawan tangguh menghadapinya, lebih baik ia berada di luar gedung.
Benar saja dugaannya, dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda yang memegang sebatang golok telah berdiri di depannya. Pemuda itu bukan lain adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan melihat Han Han, ia pun terkejut dan marah.
“Keparat! Kiranya engkau setan buntung!” Lai Kwan memaki dan goloknya sudah menyambar, menjadi sinar putih yang menyilaukan dan mengeluarkan suara berdesing ketika golok itu membelah angin.
“Singggg...!”
Lai Kwan terkejut karena tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat ia memutar tubuh dan mengelebatkan goloknya ke belakang, akan tetapi Han Han yang sudah berada di sebelah belakangnya mudah saja mengelak sambil berkata.
“Gu Lai Kwan, aku menjadi setan buntung karena engkau! Sekarang bukan maksudku datang untuk membalas dendam, sebab aku tidak mendendam kepadamu. Akan tetapi suruhlah Nirahai dan Ouwyang Seng keluar membawa adikku Lulu, kalau tidak... hemmm... siapa pun yang menghalangiku akan kubunuh, termasuk engkau!”
“Buntung sombong!” Lai Kwan malah menyerang lagi.
Melihat betapa pemuda bekas suheng-nya ini nekat, Han Han yang memang sedang berduka dan marah sekali menjadi gemas, akan tetapi ia masih tidak bergerak, hanya mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil mengerahkan tenaga memutar tongkat itu.
“Trakkk! Aihhhhhh...!”
Lai Kwan terkejut bukan main. Betapa pun ia mempertahankan diri sambil mengerahkan tenaga, tetap saja ia terpelanting dan cepat ia bergulingan karena takut kalau-kalau Han Han menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak dan tenang. Melihat ini, sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
“Suhu...! Sian-kouw...! Harap bantu...!”
Setelah berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi sambil mengerahkan semua tenaganya. Akan tetapi sekali ini ia berhati-hati, maklum bahwa lawannya yang buntung ini biar pun dahulu hanyalah seorang sute-nya, namun sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
“Syuuuttt... syuuuuttttt... singggggg!” Sinar berkilauan dari golok Lai Kwan menyambar ganas bertubi-tubi.
“Wuuuttttt!”
Tubuh Han Han sudah melayang lagi keluar dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai Kwan mengejar dan Han Han berhenti di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi tidak memberi kesempatan kepadanya, sudah membacok lagi dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung ini tidak begitu mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil siap menghadapi lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul mendengar teriakan Lai Kwan.
Dan pada saat itu, terdengar suara lengkingan dahsyat dibarengi suara ringkik kuda dan muncullah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dari pintu samping, langsung ia memukul ke arah Han Han dengan ilmu pukulan dahsyat Swat-im Sin-ciang! Juga tampak berkelebatnya bayangan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Nenek lihai itu melayang turun dari atas dengan jari tangan mencengkeram ke arah kepala Han Han menggunakan ilmu sakti Toat-beng Tok-ciang! Dan berbareng di saat itu juga, Lai Kwan sudah membabat ke arah kaki Han Han!
“Desss!”
Pukulan Ma-bin Lo-mo telah ditangkis oleh Han Han dengan telapak tangan kanannya. Sambaran golok Lai Kwan didiamkannya saja karena dalam gugupnya Lai Kwan menyerang ke bawah untuk membabat kaki Han Han, lupa bahwa kaki kiri Han Han telah tidak ada lagi sehingga goloknya menyerang angin kosong!
Han Han lebih memperhatikan cengkeraman si nenek ke arah kepalanya. Ia tidak mengelak, melainkan memapaki tubuh nenek yang menyerang dari atas itu dengan tongkatnya. Gerakan pertamanya menotok telapak tangan kiri nenek itu dan ketika Toat-beng Ciu-sian-li terkejut menarik kembali tangannya, Han Han melanjutkan serangan tongkatnya dengan totokan pada pinggang nenek itu.
“Aiiihhhhh!” Toat-beng Ciu-sian-li memutar tubuh di udara, berjungkir balik dan dari kedua tangannya menyambar dua buah gelang, yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Han Han telah memutar tongkat menangkis bacokan susulan Lai Kwan dari belakang, dan kembali tangan kanannya menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo. Melihat datangnya sambaran dua buah senjata rahasia ini, teringatlah ia akan Kim Cu yang dahulu hampir tewas akibat senjata rahasia ini, maka ia menjadi gemas sekali. Kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar ke depan dan... dua gumpal ujung rambutnya berhasil melibat dua buah gelang yang menyambar, kemudian secara kontan dan keras gelang-gelang itu ia kembalikan ke arah pemiliknya, menyambar dahi dan tenggorokan Ciu-sian-li yang menjadi terkejut.
Dewi Mabuk ini cepat mengelak sambil terus menubruk maju mengirim pukulan sakti dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya kembali mengarah ubun-ubun kepala Han Han dengan cengkeraman maut. Juga Ma-bin Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut menyaksikan gerakan Han Han yang mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini telah membarengi menyerang dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang sekuatnya. Bukan main hebatnya serangan yang dilakukan secara berbareng oleh Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya merupakan datuk-datuk golongan hitam yang sudah mencapai tingkat di puncak, tentu saja amat sukar bagi lawan yang dikeroyok dua orang ini untuk dapat menyelamatkan diri dari serangan mereka yang dilakukan berbareng.
Namun betapa kaget dan heran hati kedua orang tokoh hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh Han Han lenyap dari tengah-tengah antara mereka, telah menghindarkan diri dengan sebuah loncatan yang luar biasa sekali, secepat kilat menyambar sehingga mereka berdua hampir tak dapat mengikuti dengan pandang mata mereka! Akan tetapi, Lai Kwan yang berada di luar gelanggang dapat melihat gerakan Han Han yang menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, gerakan kilat yang membuat tubuhnya seperti mencelat dan keluar dari kepungan dua orang datuk hitam itu.
Gu Lai Kwan adalah murid Toat-beng Ciu-sian-li yang paling setia dan paling disayang oleh nenek itu dan oleh Ma-bin Lo-mo. Pemuda ini amat benci kepada Han Han karena sesungguhnya pemuda ini mencinta Kim Cu. Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu sebagai akibat gadis itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam kebencian kepada Han Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari kepungan kedua orang gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan menggunakan goloknya menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
“Mampuslah engkau, manusia buntung keparat!” bentaknya, goloknya menyambar seperti naga mengamuk.
Han Han dapat melihat sinar maut terpancar dari pandang mata Gu Lai Kwan, maka ia pun membentak, “Begitu kejamkah hatimu?”
Biar pun tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan serangan golok yang ganas, namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan ilmunya yang mukjizat yang ia pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil meloncat, ia melihat menyambarnya golok. Han Han lalu menggerakkan tongkatnya, dengan tenaga sinkang yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan sepenuhnya mengandung daya melekat! Betapa pun Lai Kwan berusaha menarik kembali goloknya, sia-sia saja karena goloknya telah melekat pada tongkat seperti berakar di situ!
Pada saat Lai Kwan menarik golok, tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong. Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke arah Gu Lai Kwan sendiri. Gu Lai Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia berusaha menggulingkan tubuhnya, namun golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu sudah membacok lehernya. Teriakan mengerikan seperti leher tercekik keluar dari mulut Lai Kwan dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu rebah menelungkup, kepalanya miring secara aneh, golok masih di tangan dan tanah di bawah lehernya perlahan-lahan menjadi basah dan merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri, lehernya hampir putus!
Peristiwa ini terjadi cepat sekali, hanya beberapa detik selagi tubuh Han Han masih mengapung di udara. Kini Han Han mencelat ke depan, tidak mempedulikan lagi kepada Gu Lai Kwan yang seolah-olah telah melakukan ‘bunuh diri’ dengan golok sendiri itu.
“Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, mundurlah! Aku tidak ingin bermusuhan denganmu atau dengan siapa pun juga!” bentak Han Han dan suaranya mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya sehingga dua orang datuk hitam itu sampai tercengang dan sejenak mereka itu memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Akhirnya Toat-beng Ciu-sian-li memaki. “Bocah setan, murid murtad! Begini sikapmu terhadap bekas guru?”
Han Han mengerutkan keningnya. “Aku bukan muridmu lagi, Nenek yang bewatak ganas. Aku datang untuk mencari adikku, dan siapa pun dia yang menghalangi aku mencari adikku, akan kuhancurkan!”
Teringat akan Lulu, kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. “Di mana Puteri Nirahai?! Hayo keluarlah dan serahkan Lulu kepadaku!”
Teriakannya ini amat nyaring sehingga bergema sampai jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li bergidik. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini telah menjadi ahli waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, akan tetapi melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi makin lihai dan gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang, benar-benar membuat mereka berdua menjadi ngeri!
Betapa pun juga, tentu saja dua orang yang menjadi tokoh dunia hitam itu tidak merasa takut dan mendengar tantangan Han Han terhadap Puteri Nirahai, mereka marah dan cepat menerjang lagi dengan hebatnya. Nenek itu selain menggerakkan kedua tangannya yang mengandung tenaga sakti Toat-beng Tok-ciang, juga menggerakkan rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya sebagai senjata yang ampuh dan aneh. Tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis seperti keganasan seorang kuntilanak dalam dongeng dunia setan. Ada pun Ma-bin Lo-mo yang sudah mengerti bahwa lawannya biar pun buntung dan masih amat muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, juga telah menerjang maju dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang sekuat tenaga.
Han Han tidak ingin berkelahi dan tidak ingin pula bermusuh dengan mereka. Akan tetapi karena mereka berdua menghalangi usahanya mencari Lulu, ia menjadi marah dan cepat mainkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya mencelat ke sana ke mari dengan gerakan yang tak terduga-duga dan cepat bukan main. Kepala Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo menjadi pening karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat pemuda buntung itu dan setiap serangan mereka selalu mengenai tempat kosong. Dengan penasaran kedua orang itu menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
“Wuuuttt!” Pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung hawa dingin menyambar dari kiri.
“Singgg... syuuttt!” Serangan tangan ampuh beracun dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran rantai gelang di telinganya tidak kalah ampuh dan berbahayanya.
Dua serangan ini menyambar dari kanan kiri ketika kaki buntung Han Han baru saja turun menyentuh tanah. Akan tetapi tiba-tiba saja Han Han kembali mencelat ke atas dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya, mengatasi kecepatan serangan kedua lawannya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menukik dari atas dan tongkatnya melakukan dua kali totokan ke arah ubun-ubun kepala dua orang pengeroyoknya.
“Hayaaa...!” Ma-bin Lo-mo berseru kaget dan cepat menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke atas tanah sambil berteriak.
“Aiiihhhhh...!” Toat-beng Ciu-sian-li juga mengelak, melempar tubuh bagian atas ke belakang lalu berjungkir balik sampai lima kali sehingga rambutnya menjadi awut-awutan dan saling belit dengan kedua rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya.
Pada saat itu, serombongan pasukan pengawal datang berlari dan mengurung Han Han. Jumlah mereka lebih tiga puluh orang, semua bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian silat dan bertubuh kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok hanyalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan muridnya yang terkasih, Gu Lai Kwan, ada pun tokoh-tokoh lain telah ikut membantu penyerbuan ke Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua pasukan pengawal dikerahkan.
Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri bersembunyi sambil mengintai. Ia menjadi gelisah bukan main. Betapa pun juga, pembesar ini masih mengharapkan kemenangan karena di situ terdapat dua orang tokoh sakti dan di lubuk hatinya ia tidak percaya apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan mampu melawan Ciu-sian-li serta Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan pengawal.
Akan tetapi Han Han sudah marah sekali. Pemuda ini mengamuk secara menggiriskan hati. Tubuhnya berkelebat, lebih banyak di udara dari pada di darat, karena setiap kali ujung tongkat atau ujung kaki tunggalnya menyentuh sesuatu, baik tanah, pundak atau kepala lawan, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, seperti capung bermain di atas bunga-bunga di permukaan air, cepatnya seperti kilat sehingga setiap kali tubuhnya menukik ke bawah tentulah roboh dua tiga orang pengawal secara berbareng, menjadi korban ujung tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li menjadi marah dan penasaran sekali, juga mereka berdua merasa malu mengapa mereka tidak mampu merobohkan pemuda buntung itu, padahal dibantu puluhan orang pengawal. Ma-bin Lo-mo meringkik keras dan kedua tangannya mendorong ke arah Han Han ketika pemuda itu turun ke atas tanah.
“Wuuusssss!” Angin yang mengandung hawa dingin sekali menyambar.
Han Han sudah menangkap seorang pengawal dan melemparkan ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh pengawal itu terbanting kaku, darahnya membeku, mukanya biru! Dan seorang pengawal lain roboh pula karena oleh Han Han dipergunakan untuk menangkis pukulan beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh yang menghitam terkena hantaman pukulan Toat-beng Tok-ciang!
Ketika para pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han Han sudah mencelat ke atas lagi, meloncat sambil menyambar dua orang pengawal, kemudian ketika tubuhnya membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan kilat.
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda buntung yang lihai itu menyusul dengan serangan, maka apa boleh buat mereka menangkis keras sehingga dua orang pengawal itu terbanting roboh dengan tulang-tulang iga remuk. Benar saja seperti yang mereka duga, tubuh Han Han menyambar seperti seekor burung garuda, dan saking cepatnya hanya tampak bayangan berkelebat. Dua orang datuk hitam ini cepat meloncat untuk mengelak, namun masih kurang cepat sehingga pukulan tangan Han Han yang amat panas karena mengandung inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang itu telah mampir di dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung tongkatnya telah menotok pundak Toat-beng Ciu-sian-li.
“Hyaaaaahhhhh...!”
“Haiiikkkkk...!”
Ma-bin Lo-mo terjengkang dan bergulingan, mukanya menjadi pucat sekali dan dadanya sesak, terasa panas seperti dibakar. Ada pun nenek sakti itu juga terbanting ke belakang, cepat duduk bersila untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terkena totokan yang hebat. Kalau saja Han Han tidak ingat bahwa kedua orang itu pernah menjadi gurunya, biar pun pada saat itu ada puluhan orang pengawal yang menerjangnya, tentu ia akan mudah saja melanjutkan serangan membunuh kedua orang datuk hitam itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin membunuh mereka dan dia hanya menggerakkan tangan dan tongkatnya, melempar-lemparkan para pengawal seperti orang melempar-lemparkan rumput saja.
Gegerlah para pengawal dan mereka mundur-mundur dengan muka ketakutan. Pemuda buntung itu terlalu kuat bagi mereka, seperti sekumpulan nyamuk melawan api saja. Melanjutkan pengeroyokan sama artinya dengan membunuh diri bagi mereka. Ada pun Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah menderita luka tidak berani melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka mereka, maka mereka berdua pun sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di antara sisa para pengawal yang hanya berani mengurung dari jauh sambil bersiap-siap untuk melarikan diri apa bila Han Han mengejar. Namun pemuda itu tidak mengejar, hanya berdiri tegak, bersandar pada tongkatnya, menengadah dan mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga.
“Puteri Nirahai! Kembalikan adikku...!”
Setelah beberapa kali berteriak tanpa ada jawaban, Han Han lalu meloncat ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biar pun hati mereka dicekam rasa gentar dan ngeri, namun para pengawal tentu saja segera menghadang dan berusaha mencegah pemuda buntung itu memasuki gedung. Han Han mengeluarkan seruan keras dan begitu tongkatnya berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan kiri seperti disambar kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi ketika pemuda itu berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil berteriak-teriak para pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han sudah marah sekali. Dia mengamuk seperti gila, menggeledah seluruh kamar gedung itu, mencari Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Setiap orang pengawal yang berusaha menerjangnya dirobohkan dengan sekali gebrakan saja. Namun hasil penggeledahannya sia-sia. Tidak tampak batang hidung Ouwyang Seng yang dicarinya. Ketika ada lima orang perwira pengawal dengan nekat menerjangnya, ia melompat ke atas dan dari atas sinar tongkatnya bergulung-gulung, empat orang perwira roboh dan seorang lagi ia jambak rambutnya dan ia seret ke sudut ruangan. Dengan ujung tongkat ditodongkan di leher perwira itu ia membentak.
“Di mana Ouwyang Seng? Hayo jawab!”
Wajah perwira itu pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia dipaksa jatuh berlutut. Dengan napas sengal-sengal ia menjawab, “Ham... hamba... tidak tahu. Sudah lama tidak berada di sini...”
“Mana Ouwyang Cin Kok?”
“Tadi... ketika ribut-ribut... beliau lari... mungkin ke istana...”
“Dan di mana kakek dan nenek tadi? Mana Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li?”
“Lari... mereka lari... ke istana...”
Han Han menjadi sebal dan marah, tubuhnya bergerak dan perwira itu sudah ia lemparkan ke sudut. Tubuh perwira itu menabrak dinding dan tak dapat bangun lagi karena pingsan saking takutnya. Han Han meloncat keluar dan kini ia melesat amat cepatnya meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah diobrak-abriknya itu, menuju ke istana!
Kemarahan membuat manusia menjadi mata gelap dan lupa diri, lupa akan bahaya dan demikian pula dengan Han Han. Dia sedang marah sekali. Penderitaan batin yang ia alami bertubi-tubi ditambah kemarahannya mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han Han menjadi nekat dan tidak memakai perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang, betapa pun saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke istana kaisar!
Tentu saja penjagaan di istana tidak dapat dibandingkan dengan penjagaan para pengawal di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pasukan pengawal yang dipusatkan menjaga istana amat besar jumlahnya, dan di situ pun banyak terdapat pengawal yang berilmu tinggi di samping keadaan istana sendiri yang merupakan semacam benteng yang amat kuat! Maka, begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia sudah dikurung oleh puluhan bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung ketat, dan ia sudah dikeroyok secara hebat!
“Tangkap pemberontak!”
“Bunuh pemberontak!”
Para pengawal berteriak-teriak biar pun dalam beberapa gebrakan saja Han Han telah merobohkan tujuh orang pengeroyok, namun mereka tetap maju menerjang sehingga Han Han terpaksa memutar tongkat melindungi dirinya sambil berteriak.
“Aku bukan pemberontak! Aku hanya ingin bertemu dengan Puteri Nirahai dan minta supaya adikku dibebaskan!”
Tentu saja teriakannya sia-sia karena para pengawal sudah mendengar betapa hebatnya pemuda buntung ini mengacau gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Kini pemuda itu akan mencelakakan keluarga kaisar, ditambah pula Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri dengan dikawal oleh Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi ke istana, karena itu di situ pun diadakan penjagaan yang ketat.
Biar pun para pengawal tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap ada yang roboh tentu tempatnya digantikan yang lain, namun dengan ilmunya yang mukjizat, yaitu gerakan kilat Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat menembus pintu gerbang dan memasuki halaman istana. Betapa pun juga, dia tidak pernah dapat membebaskan diri dari kepungan yang makin lama makin ketat. Setelah dia memasuki pekarangan istana yang luas, pintu gerbang itu ditutup oleh para pengawal sehingga Han Han kini kehilangan jalan keluar!
“Bebaskan Lulu...! Lepaskan adikku!” Han Han berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor harimau terjebak.
Betapa pun juga, pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk menyebar kematian di antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban mereka menjaga keamanan istana. Oleh karena itu dia hanya merobohkan mereka tanpa membunuh dan hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan pengawal itu bukan tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan dan tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir seperti serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
Kalau hanya pasukan pengawal yang mengepungnya, biar ditambah sampai seribu orang, kiranya akan mudah baginya untuk menyelamatkan diri dan keluar dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras, aba-aba dari komandan penjaga yang menyuruh semua pasukan mundur dan mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang tadinya mengeroyok secara mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan tampaklah oleh Han Han munculnya orang-orang sakti yang sekarang menghadapinya. Mereka itu bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima orang tokoh sakti yang memiliki ilmu kepandaian hebat!
Han Han maklum bahwa lima orang lawan ini merupakan lawan yang amat berat, terutama sekali dua orang hwesio Tibet yang merupakan wakil dari Pangeran Kiu yang mengkhianati perjuangan Bu Sam Kwi dan para orang gagah dengan mengadakan persekutuan gelap dengan pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin dan berkata.
“Ji-wi Losuhu, aku tidak mau mencampuri urusan kalian, tidak mau melibatkan diri dengan segala kepalsuan orang-orang yang mencari kedudukan melalui perang, fitnah, pengkhianatan dan lain-lain kekotoran lagi. Aku datang hanya untuk menuntut agar adikku Lulu yang ditawan Puteri Nirahai dibebaskan. Biarlah Puteri Nirahai sendiri keluar menemuiku! Aku datang bukan untuk mengacau, bukan untuk mencari musuh, melainkan semata-mata untuk menolong adikku. Bebaskan adikku, dan aku bersama adikku akan mengangkat kaki dari sini dan selamanya tidak akan mencampuri urusan perang yang terkutuk!”
“Murid murtad! Engkau masih harus menerima hukuman dariku!” Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.
“Han Han, engkau bekas murid yang selain menyeleweng juga telah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang mengurung tempat itu.
“Ha-ha-ha, engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!” kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali, namun ia tetap membungkam.
“Omitohud...! Suma-taihiap biar pun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi? Menyerahlah, Suma-taihiap!” kata Thian Tok Lama.
“Benar ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu.” Thai Li Lama membujuk.
Namun semua ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu sama sekali tidak mendatangkan kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.
“Sudah kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan pemerintah mau pun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta kebebaskan adikku!”
“Hiye-heh-heh! Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan, kau mau apa?”
“Akan kurebut dengan paksa dan kuusahakan sampai aku mati.”
“Pemuda buntung sombong!” Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda buntung itu.
“Omitohud, betapa tabahnya!” Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum sekali. “Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal?”
Han Han menoleh ke sekelilingnya. Ia melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah bayangan manusia ataukah bukan.
“Thian Tok Lama, bagiku persoalannya bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekali pun aku tidak takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah akan menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!” Ucapan terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima orang tokoh beser itu menjadi merah.
Memang harus diakui bahwa peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat memalukan. Biasanya setiap orang di antara mereka berlima yang telah memiliki kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga mereka bersikap angkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan bergerak, apa lagi hendak mengeroyok lawan.
Dan sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda dan patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut dan kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacat dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar merupakan peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar mereka!
“Omitohud, orang muda yang sombong. Kau kira pinceng tidak berani menghadapimu seorang diri?” Thai Li Lama menjadi tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han.
Empat orang tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad lebih.
Han Han mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia telah mengerahkan sinkang di tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat ini.
Akan tetapi aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak menyerang, melainkan berdiri tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar suaranya, halus seperti membujuk.
“Suma-taihiap, kau turutilah permintaanku, tundukkan kepalamu...”
Han Han merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia malah menengadah, memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan dari pada apa yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!
“Omitohud, agaknya taihiap hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kau pandang mataku kalau berani!”
Andai kata ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli ‘kalau berani’, tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguh pun di dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga mukjizat yang seolah-olah memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya. Akan tetapi kata ‘kalau berani’ membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak berani? Ia segera memandang ke depan, menentang pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu!
Semua orang menahan seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung api!
Thai Li Lama berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism). Tetapi Han Han yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang mata berapi-api.
Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mukjizat dalam diri pemuda buntung ini. Suatu kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak mala petaka menimpa keluarganya dan daya kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan yang mukjizat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat memancar ke luar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!
Kini Han Han yang maklum apa yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak getaran halus yang keluar dari sinar mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya sendiri hendak ‘mengadu kekuatan pandang mata’ dengan hwesio Tibet itu. Maka terjadilah ‘pertandingan’ yang luar biasa, lebih hebat dari pada pertandingan adu kekuatan sinkang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya bergelombang, terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona seperti kemasukan pengaruh mukjizat.
Kedua pandang sinar mata itu masih saling dorong, saling banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api. Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali!
Biasanya, betapa pun pandai silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya tentu akan mudah ia tundukkan. Thai Li Lama menjadi kaget dan penasaran melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak mampu menundukkan pemuda buntung ini, bahkan seolah-olah sinar matanya melekat pada sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan ia menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan gerengan seperti suara seekor beruang dan membentak.
“Suma Han, lihat baik-baik siapa aku? Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga berlengan delapan! Lekas kau berlutut dan menyerah!”
Dari kepala pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan kaki gemetar. Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut?
Pendeta Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi makhluk yang luar biasa. Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru. Kepala naga yang mengerikan itu bukan hanya sebuah, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi, melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga lengannya berjumlah delapan!
Bagi Han Han, karena penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja, perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.
“Hemmm, Thai Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang sudah tua, kenapa bersikap seperti anak kecil? Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat!”
Semua pasukan yang mendengar ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang berapi-api! Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han, sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han sudah siap sedia. Ia melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang! Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling. Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya pucat!
Melihat keadaan sute-nya, Thian Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara berkokok seperti ayam biang, dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu. Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han. Pada saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.
Namun semua pukulan sakti yang membawa maut itu luput. Pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik turun dengan tongkatnya yang diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar dan menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya! Lima orang tokoh besar yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya itu cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua tangan penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun. Karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, kedua orang pendeta Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi menyerang dengan pukulan-pukulan sakti mereka.
Han Han mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian setinggi itu benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan! Terpaksa pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang yang berada di tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.....
Pada saat itu senja telah datang dan keadaan cuaca mulai gelap. Di atas wuwungan istana, jauh tinggi di puncaknya, terdapat dua orang yang menonton pertandingan itu penuh takjub. Mereka ini bukan lain adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri Maya. Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan kekacauan di depan istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya seorang pemuda buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat banyak, hati Maya menjadi tertarik, maka ia memegang tangan muridnya diajak meloncat naik ke atas wuwungan dan menonton.
Bagi Puteri Maya, benar-benar merupakan pantangan besar dan amat memalukan kalau harus ikut-ikutan mengeroyok seorang lawan yang masih begitu muda, buntung kakinya dan sudah dikeroyok begitu banyak orang. Juga Puteri Nirahai merasa segan untuk turun tangan karena hal ini akan merendahkan derajatnya sebagai seorang puteri kaisar, terutama sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi.
Begitu mendengar teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya Lulu, Nirahai dapat menduga bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu. Ia merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu buntung sebelah kakinya, padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya itu buntung! Dan dia terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak-terjang pemuda buntung itu, kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu I-hun-to-hoat dari Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah tampan dilingkari rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang sinar mata yang begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.
“Iiihhhhh...! Kedua tangannya mengandung pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang digunakan secara berbareng! Memecah sinkang menjadi berlawanan ini dari mana dia mempelajarinya? Siapa bocah setan itu...?” terdengar Nenek Maya mengomel dan matanya memandang terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han Han menggunakan kedua tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.
“Subo, dia itulah yang selalu diceritakan Lulu-sumoi. Ia kakak angkatnya yang bernama Han Han,” jawab Nirahai tanpa mengalihkan pandang mata dari medan pertandingan di bawah.
Meski mendengar ucapan muridnya itu, tetapi Nenek Maya agaknya tidak mengacuhkan karena dia mengalami kekagetan demi kekagetan ketika menyaksikan pertempuran itu. Mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran, “Lihat pukulannya itu...! Tendangan dengan satu kaki...! Aihhh, bukankah itu jurus-jurus simpanan yang hanya dikenal kami bertiga di Pulau Es? Dan itu heiiiiii...! Itu gerakan tongkatnya... bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut! Dan loncatan-loncatan itu... hemmm... seperti telah mengenalnya akan tetapi demikian aneh! Bukan main! Siapa bocah ini?”
“Subo, dia Han Han dan seperti subo ketahui, dengan Lulu dia telah berhasil mewarisi kitab-kitab di Pulau Es.”
“Aihhh...! Benar! Tapi loncatan-loncatan itu! Ilmu silat iblis manakah itu? Benar-benar hebat dan mengerikan!” Ternyata Nenek Maya ini merasa terkejut dan kagum sekali karena sebagai seorang ahli dia sampai tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan kilat itu. Memang itu adalah Ilmu Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh sumoi-nya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam pertapaannya! Tentu saja dia tidak mengenalnya sungguh pun ia merasa kenal akan dasar-dasarnya.
Memang, untuk menghadapi pengeroyokan lima orang sakti itu, terpaksa Han Han mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan seperti pedang dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, dan tangan kanannya melakukan serangan bergantian dengan hawa sinkang Im dan Yang. Juga ia mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab kitab yang telah ia pelajari dari Pulau Es, disesualkan untuk menghadapi hujan serangan kelima orang lawannya!
Benar-benar hebat pemuda ini dan barulah terbukti kesaktiannya yang jarang dapat ditemui tandingnya, karena setelah bertempur selama ratusan jurus, mengandalkan kelincahan ilmu gerak kilat, ia sama sekali tidak terdesak, bahkan berhasil membuat pengepungan lima orang sakti itu kocar-kacir. Tentu saja lima orang pengeroyoknya menjadi penasaran sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li karena pemuda itu bekas murid mereka, dan tentu saja Gak Liat, sebab bocah itu dahulu bekas kacungnya!
Cuaca semakin gelap. Para pemimpin pasukan pengawal yang melihat betapa pemuda buntung itu masih juga belum dapat ditundukkan oleh lima orang sakti itu menjadi khawatir kalau pemuda itu akan berhasil menyerbu ke istana. Maka mereka lalu mulai mengeluarkan aba-aba dan pengurungan pasukan dipersempit dan diperketat, siap untuk menerjang pemuda itu seperti air bah mengamuk.
Han Han melihat ancaman ini. Tidak mungkin baginya untuk menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang, sedangkan pengeroyokan lima orang sakti itu saja sudah amat melelahkannya. “Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap Puteri Nirahai atau mencari di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan adikku dan mengajaknya lari dari situ,” pikirnya.
Ia mulai mencari kesempatan untuk lolos dan menerjang ke dalam istana. Akan tetapi lima orang pengeroyoknya makin lama makin penasaran dan marah sekali. Dari depan, sepasang pendeta Lama sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan sinkang yang lihai, sedangkan dari kanan kiri Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menerjang pula.
Han Han menggunakan tangan kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua orang Lama. Hebat bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama itu terhuyung ke belakang. Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek Toat-beng Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai gelang!
Han Han mengeluarkan suara melengking, tubuhnya cepat melesat ke belakang, tinggi dan berjungkir balik. Tangan kanannya cepat menyambar dan ia berhasil menangkap ujung rantai gelang nenek itu yang menyambarnya. Dengan sepenuh tenaga disentakkannya kuat-kuat hingga tubuh nenek itu melayang ke atas. Nenek itu menjerit, kalau bukan dia tentu daun telinganya akan putus. Han Han melontarkan tubuh nenek itu dengan melepaskan rantai gelang ke arah Kang-thouw-kwi yang memukulnya tadi! Kini tubuh nenek itu melayang dan akan bertemu dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang ampuh!
Melihat ini Ma-bin Lo-mo berseru kaget. Cepat-cepat ia pun mengerahkan tenaganya mendorong ke depan untuk menyambut pukulan Gak Liat dalam usahanya menolong nenek itu.
“Desssss...!”
Ma-bin Lo-mo terjengkang sedangkan Gak Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan sedikit darah keluar dari mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas tanah, amat kerasnya sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah pantatnya yang tiada dagingnya lagi terbanting peyok!
Ketika lima orang sakti yang dalam gebrakan hebat ini terdesak dan sudah menguasai diri dan hendak menerjang, tiba-tiba tubuh Han Han melesat ke atas, melampaui kepala para anak buah pasukan yang mengurung dan telah melayang ke atas genteng istana. Ramailah pasukan itu lari mengejar, ada pula yang memasang obor karena cuaca sudah mulai remang-remang.
“Kejar ke atas...!”
“Awas, kepung istana agar dia tidak lari!”
“Heiii, lekas jaga sebelah dalam istana, hadang semua jalan!”
“Paling perlu lindungi kamar-kamar Sri Baginda dan keluarganya!”
Ramailah pasukan pengawal itu berteriak-teriak dan bergerak kacau-balau seperti serombongan semut diganggu sarangnya. Ada pun lima orang sakti itu, biar sudah amat jauh tertinggal, segera meloncat pula naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Cara Han Han meloncat amat luar biasa karena dia menggunakan ilmu gerak kilatnya, tubuhnya mencelat-celat ke atas sampai ke wuwungan. Tiba-tiba ia berhenti di atas wuwungan memandang terbelalak kepada seorang nenek dan seorang gadis cantik jelita yang berdiri tenang di situ. Melihat gadis itu dalam cuaca yang remang-remang, Han Han memekik girang.
“Lulu...!” Tubuhnya mencelat dan ia telah berada di depan gadis itu, terus dirangkulnya sambil mengeluh karena kelelahan, “Lulu adikku... ah, Lulu... syukur kau selamat... kau ampunkanlah aku, Lulu...!”
Saking girang hatinya, seperti dahulu, ia mencium pipi adiknya itu, tidak tahu betapa gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali. Dapat dibayangkan betapa malu dan jengah rasa hati gadis ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai sendiri yang disangka Lulu oleh Han Han. Memang ada persamaan pada wajah kedua orang gadis itu dan juga bentuk tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apa bila Han Han yang dalam keadaan lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca remang-remang itu.
Han Han berada dalam kegirangan luar biasa melihat ‘adiknya’ selamat, maka ketika merangkul dan menciumnya, kegirangan membuat ia kehilangan kewaspadaannya dan tiba-tiba ia mengeluh, tubuhnya menjadi lemas karena jalan darah di punggungnya telah tertotok secara hebat bukan main. Totokan biasa saja kiranya tidak akan mempengaruhi tubuhnya yang dialiri sinkang amat kuat, akan tetapi sekali ini yang menotoknya adalah Nenek Maya sendiri! Maka ia terguling dan tahu-tahu telah dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya.
Pada saat itu lima orang sakti telah menyusul ke atas wuwungan. Nenek Maya yang mengempit tubuh Han Han tersenyum mengejek dan berkata, “Dia sudah kutangkap, kalian mau apa?”
Lima orang sakti itu telah mendengar bahwa di istana terdapat guru Puteri Nirahai yang amat lihai, akan tetapi karena belum pernah melihat nenek ini yang kehadirannya dirahasiakan, Toat-beng Ciu-sian-li yang berwatak angkuh segera menegur, “Engkau siapakah?”
Nirahai khawatir kalau-kalau gurunya yang memiliki watak aneh luar biasa itu menjadi marah, maka ia cepat maju dan berkata halus. “Harap Ngo-wi Locianpwe suka mundur dan beristirahat karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya dan akan kami periksa sendiri.”
Mendengar ini Toat-beng Ciu-sian-li terkejut dan memandang tajam penuh perhatian kepada Nenek Maya. Ia merasa sudah pernah melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat lagi kapan dan di mana. Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang agaknya dengan amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima kewalahan itu adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua tahu akan kelihaian puteri cantik itu. Jika muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya!
Nenek Maya sudah membalikkan tubuhnya dan tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah meloncat turun mengempit tubuh Han Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana kembali melalui pintu belakang. Lima orang tokoh itu pun cepat turun dan kini pasukan pengawal sibuk merawat teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka terhadap Han Han tadi.
Malam itu suasana di sekeliling istana sunyi sepi, akan tetapi di dalam kesunyian ini penjagaan para pengawal diperkuat karena para komandan pengawal merasa khawatir kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu tinggi seperti di pemuda buntung yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai di dalam istana.
Setelah tertotok lemas dan dibawa oleh nenek sakti itu ke dalam istana, barulah Han Han dapat melihat wajah Puteri Nirahai di bawah sinar lampu yang terang. Ia terkejut setengah mati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis yang disangkanya Lulu, yang dirangkul dan dicium pipinya tadi ternyata sama sekali bukanlah Lulu, melainkan seorang gadis yang mirip Lulu dan cantik jelita sekali.
Kekagetan Han Han bertambah ketika ia melirik dan mengamati wajah nenek yang mengempitnya. Ia mengenal betul wajah ini yang biar pun sudah tua namun masih membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka yang mirip benar dengan puteri jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan... mirip dengan patung wanita di Pulau Es. Han Han terbelalak, kini ia kembali memandang Nirahai. Bukan main! Sekarang terasa benar olehnya kemiripan wajah gadis jelita ini dengan patung Puteri Maya di Pulau Es! Han Han melongo, terpesona, dan biar pun tubuhnya dikempit, pandang matanya seperti lekat pada wajah Puteri Nirahai.
Puteri Maya membawa tubuh Han Han memasuki ruangan dalam yang luas di depan kamarnya, kemudian sekali tangannya bergerak, Han Han telah dibebaskan totokannya dan tubuhnya telah dilempar ke atas lantai. Kemudian nenek sakti itu duduk di atas kursi, menyambar guci arak dan minum arak dari sebuah cawan perak, ada pun Puteri Nirahai masih berdiri. Gadis ini memandang wajah Han Han penuh perhatian, memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam kesangsian dan pertanyaan, apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang bernama Han Han?
Han Han meloncat bangun dan terhuyung karena tubuhnya masih terasa lemas, bukan oleh bekas totokan yang telah dibebaskan, karena sinkang-nya membuat ia dapat menguasai kembali jalan darahnya, melainkan karena lelahnya setelah melakukan pertempuran yang berat tadi. Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan tongkat butut Han Han yang tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han, melayang seperti luncuran anak panah menuju ke dada pemuda buntung itu.
Han Han cepat menyambarnya dan nenek itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid atau ahli waris Istana Pulau Es! Dengan tongkat di tangannya, Han Han dapat berdiri tegak dan ketika ia memandang Nirahai, puteri ini pun sedang memandangnya penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu pandang dan wajah Han Han menjadi merah sekali. Ia teringat betapa tadi ia merangkul dan mencium pipi yang halus kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu berkata lirih menggagap.
“Maaf... maafkan kekurang ajaranku tadi... kukira engkau adikku Lulu.”
Wajah puteri yang berkulit halus putih kemerahan itu menjadi makin merah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundaknya, lalu bertanya, suaranya dingin seolah-olah hal yang dihadapi dan ditanyakannya adalah urusan kecil. “Apakah engkau ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu?”
Han Han mengangguk dan bertanya, “Di manakah adikku? Dan engkau... eh, tentu engkau inilah Puteri Nirahai, bukan? Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana dia? Kuharap kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk membebaskan adikku.”
Nirahai tersenyum mengejek. “Tidak membikin kacau akan tetapi sudah membunuh dan melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah sumoi-ku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah kepada subo.”
Nenek Maya mengangguk. Sejak tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
“Orang muda, engkaukah pemuda yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau Es?” Nenek Maya bertanya sambil memandang tajam.
Karena kini tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Benar, subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu.”
“Hemmm..., kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas dasar apakah? Tahukah engkau, siapa aku?”
Han Han teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekaii tahu bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
“Maafkan teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.”
“Aihhhhh...!” Nenek itu terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, “Di antara kami bertiga tidak mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal nama-nama kami? Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!”
Pandang mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
“Teecu tidak berani membohong. Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee...” Tiba-tiba Han Han menghentikan kata-katanya.
Seluruh urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan, mengelak mau pun menangkis. Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan pecah!
“Orang muda... hati-hati kau... kalau bohong...!” Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoi-nya itu masih hidup!
“Teecu bersumpah tidak bohong, subo. Teecu ditangkap dan kaki teecu dibuntungi aleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai hukuman. Teecu terjerumus ke dalam jurang, hanyut di sungai dan ketika teecu berhasil mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu Siauw Bwee. Maka teecu lalu memberi kantung surat, yaitu peninggalan Suhu Kam Han Ki yang teecu bawa dari Pulau Es untuk teecu sampaikan kepada orang yang berhak. Dan ternyata surat-surat itu memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu Siauw Bwee...”
Kembali Han Han menghentikan kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat sekarang.
“Teruskan... teruskan... apa isi surat-suratnya itu...”
Diam-diam Han Han berpikir. Biar pun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan pengalaman-pengalaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nenek Khu Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang.
Akan tetapi, kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini? Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada nenek ini. Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda, demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja jantung sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat puteri Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi, kalau dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu terancam bahaya maut.
“Teecu tidak berani membuka surat-surat itu, subo. Biar pun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin? Teecu hanya membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata memang surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee.”
Kembali terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya, suaranya menggetar, “Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat dari suheng itu...!”
Di dalam lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis mau pun pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya, maka dahulu telah terjadi pertentangan antara dia dan sumoi-nya.
“Setelah membaca surat-surat itu Subo Khu Siauw Bwee kemudian menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak berterus terang menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta...”
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini Han Han menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu teringat akan syair yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Nenek Maya yang tadinya membelalakkan matanya yang basah itu serta memandang dengan bengis dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
“Orang muda, apa... apa maksudmu dengan syair itu...?”
“Maaf, subo. Saking terharu hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu Koai-lojin.”
Kembali Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya. “Ahhh, kasihan... kasihan sekali suheng...! Biar pun mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan? Cara engkau meloncat-loncat itu...”
“Benar, subo. Sesungguhnya karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu mengajar teecu beberapa lamanya.”
“Bagus, karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi dari pada ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!”
Han Han bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
“Maaf, subo. Tentu saja teecu akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya...”
Nenek Maya menyusut air matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biar pun hatinya masih merasa panas terhadap sumoi-nya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang akan dapat menandingi pemuda hebat ini. Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya. Betapa pun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
“Bocah keras kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya? Dia memang ditangkap oleh suci-nya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu.”
Han Han terkejut bukan main. “Murid-murid Ma-bin Lo-mo...? Bagaimana... apa maksud subo?”
Nenek itu tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat. “Siapa tahu dan siapa peduli? Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik dari pada dia! Kalau aku turun tangan, apa yang dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli, dan karena Lulu hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah, sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!”
Han Han menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri. Maka ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu. Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat ini Nenek Maya menghela napas panjang penuh kagum.....
********************
Biar pun Han Han dapat mempercayai keterangan Nenek Maya bahwa adiknya telah terbebas dari dalam tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan, namun ia masih tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya tentang peristiwa itu.
Tentu saja berita penyerbuan itu menggegerkan kota raja dan hampir setiap orang yang ditanyainya dapat menceritakannya. Akan tetapi, seperti biasa berita yang merupakan berita angin dari mulut ke mulut, setiap orang mempunyai cerita yang berbeda, dan tidak seorang pun di antara mereka dapat memberitahukan secara jelas, juga tidak ada yang tahu ke mana perginya Lulu yang ikut pula melarikan diri dari tahanan bersama para tahanan lain ketika murid-murid In-kok-san (Lembah Awan) itu datang menyerbu.
Han Han menjadi bingung dan tidak mengerti kalau ia teringat akan adiknya. Bukankah menurut keterangan Lauw Sin Lian, adiknya itu telah menjadi anak angkat mendiang Lauw-pangcu dan telah memihak para pejuang? Akan tetapi dia berjumpa dengan Lulu di Se-cuan sebagai seorang pemimpin pasukan Mancu! Kemudian mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri Nirahai dan menjadi tawanan, sekarang ditolong oleh murid-murid In-kok-san. Sebenarnya, di pihak manakah Lulu berdiri?
Benar-benar membingungkan dan mau tidak mau Han Han tersenyum sendiri kalau mengingat ucapan Nenek Maya bahwa Lulu sudah banyak membikin pusing! Benar-benar anak nakal adiknya itu! Akan tetapi senyumnya lenyap terganti awan duka kalau ia teringat akan pertemuannya yang terakhir dengan Lulu. Adiknya tentu membencinya! Lulu, aku harus dapat menemukanmu dan memberi penjelasan, minta maaf, demikian jerit hatinya dan pemuda ini mengambil keputusan untuk pergi menyelidik ke In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.
Adiknya dibebaskan oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan dia sendiri tidak tahu mengapa murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu istana sedangkan guru mereka sendiri berada di istana membantu Kerajaan Mancu. Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia ini dan bertanya kepada bekas suheng-suheng dan suci-suci-nya itu di mana adanya Lulu, hanya pergi mengunjungi mereka!
Selain hendak mencari Lulu atau kalau adiknya tidak berada di sana, bertanya kepada mereka ke mana perginya adiknya, juga Han Han ingin mengunjungi kuburan kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin menyelidik tentang riwayat nenek moyangnya. Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini, selalu sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi karena darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang kutukan karena dosa-dosa nenek moyangnya!
Di sepanjang perjalanannya yang jauh itu Han Han selalu merasa hatinya tertindih kedukaan. Kalau ia renungkan dan ingat-ingat, apa lagi di waktu ia menghentikan perjalanan karena malam gelap dan ia duduk mengaso di bawah pohon, terbayanglah di depan matanya wajah Kim Cu yang berkepala gundul dan sinar matanya penuh duka, terganti wajah Lu Soan Li yang telah mengorbankan nyawa untuknya, kemudian bermunculan wajah Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di antara bayangan wajah Lulu dan yang terakhir Puteri Nirahai!
Diam-diam ia mengeluh! Mengapa Kim Cu dan Soan Li berkorban untuknya? Mengapa mencintanya? Dan Hian Ceng...! Ah, dia, seorang yang buntung, yang tidak patut mendampingi gadis-gadis cantik jelita itu, mengapa justru dia yang mereka cinta? Bukankah hal ini merupakan hukuman baginya, hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya, terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat?
Han Han mengeluh di dalam hatinya. Mengapa dia, yang sudah terang merupakan seorang pemuda berkaki buntung, bercacat sehingga tidak patut mendampingi seorang wanita, apa lagi gadis-gadis cantik seperti mereka itu, kini selalu mengenangkan mereka? Tidak, tidak boleh sama sekali! Apakah hal ini pun merupakan penyakit baginya, penyakit turunan sehingga ia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita-wanita cantik itu? Apakah dia pun termasuk seorang yang memiliki darah kakeknya, darah seorang pria yang mata keranjang?
Kembali Han Han mengeluh panjang dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, berusaha untuk melupakan semua itu dan untuk tidur. Dia harus menggunakan kekuatan kemauannya untuk melupakan bayangan-bayangan wajah ayu itu, kecuali bayangan wajah Lulu, adiknya!
Tentu saja pemuda yang bernasih malang ini tidak tahu bahwa dia sama sekali bukan menderita penyakit, bukan pula mata keranjang, melainkan dia pun seorang manusia biasa. Karena usianya sudah dewasa, tentu saja daya tarik lawan kelamin makin kuat dan tanpa disadarinya, birahinya terhadap wanita pun makin menguat. Hal ini adalah wajar dan bahkan sudah semestinya demikian. Hanya karena pemuda ini telah mengalami hal-hal yang melukai hatinya, melihat pengorbanan Kim Cu dan Soan Li untuk dirinya, ditambah pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, maka ia mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini yang dianggapnya sebagai semacam penyakit dan ia menyalahkan darah keturunannya!
Ketika ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, Han Han memandang sekeliling dan menghirup hawa segar. Hatinya agak terharu mengingat betapa dahulu, sepuluh tahun lebih yang lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai murid In-kok-san! Teringatlah ia akan Kim Cu yang semenjak menjadi saudara seperguruan, selalu bersikap amat baik terhadapnya. Memang belum lama ini dia kembali ke In-kok-san, akan tetapi sebagai tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai kakinya dibuntungi, dan dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat menikmati keindahan alam dan tidak terkenang akan masa kanak-kanak dahulu.
Kini ia berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali ketika ia mendengar gerakan kaki manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua orang laki-laki menggotong sebuah joli yang tertutup tirai sutera. Cepat Han Han menyelinap ke belakang pohon karena ia melihat berkelebatnya bayangan empat orang yang bergerak cepat sekali, seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap joli yang digotong oleh dua orang itu.
Setelah joli yang digotong lewat dan empat bayangan itu dekat, Han Han makin tertarik. Ia mengenal empat orang pemuda tampan itu. Mereka adalah bekas-bekas suheng-nya, murid-murid Ma-bin Lo-mo atau murid-murid In-kok-san! Mau apakah mereka mengikuti joli sambil bersembunyi dan siapa pula yang duduk di dalam joli? Tadinya, melihat sikap mereka yang mengancam, ingin Han Han memperingatkan orang yang duduk di dalam joli, akan tetapi ia segera menekan kehendak hati ini dengan kesadaran betapa ia selalu mendatangkan salah paham dan keributan setiap kali turun tangan.
Dia tak akan mencampuri urusan yang belum diketahuinya benar. Maka Han Han hanya menyelinap dan mengikuti empat orang pemuda itu sambil bersembunyi, menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat-tempat tersembunyi sambil mengintai. Agaknya dua orang penggotong joli itu hanyalah memiliki tenaga kasar saja, hanya kuat untuk menggotong joli dan melakukan perjalanan jauh, akan tetapi tidak memiliki kepandaian. Buktinya, mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa ada empat orang yang kini membayangi dari dekat.
Kini empat orang murid In-kok-san itu bergerombol di balik semak-semak, berbisik-bisik kemudian mereka mengayun tangan ke arah joli. Han Han terkejut sekali melihat sinar-sinar terang menyambar ke arah joli. Kiranya mereka itu telah menyerang joli dengan senjata-senjata rahasia. Jarum, piauw, dan uang logam beterbangan dengan jitu menyambar dan menerobos tirai sutera joli!
Han Han membuka mata lebar-lebar karena tidak terdengar apa-apa dari dalam joli, bahkan beberapa detik, senjata-senjata kecil itu beterbangan menyambar dari dalam joli, kembali kepada empat orang penyerangnya secara cepat sekali, jauh lebih cepat dan kuat luncurannya dari pada sambitan empat orang murid In-kok-san tadi! Han Han kagum dan juga merasa geli hatinya menyaksikan betapa empat orang itu berseru kaget dan kacau-balau mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka sendiri, sedangkan dua orang penggotong joli itu agaknya tidak tahu apa yang terjadi dan terus melangkah maju menggotong joli.
Empat orang murid In-kok-san itu agaknya penasaran dan marah sekali. Mereka berempat lalu melompat ke luar dari balik semak-semak, mencabut senjata dan sambil berseru keras mereka berempat itu menerjang ke arah joli. Dua batang pedang dan dua batang golok menyambar dan menusuk ke arah tirai sutera joli itu. Terdengar kain robek ketika empat batang senjata runcing dan tajam itu menembus tirai menusuk ke dalam joli.
Dua orang penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati empat orang murid In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki joli yang kosong...! Hanya Han Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat cepat sekali keluar dari joli dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah meloncat dan berdiri di atas cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia memandang, kiranya bayangan itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik jelita!
Kekaguman Han Han makin meningkat. Dapat menangkap serangan am-gi (senjata gelap) dari dalam joli dan mengembalikannya tanpa membuka tirai sudah merupakan kepandaian luar biasa. Kini dapat menghindarkan diri dari serangan dengan cara secepat itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang tentu saja bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini berdiri bingung dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya tubuh wanita jelita itu dari atas pohon menyambar ke arah mereka!
“Trang-trang-trang-trang...!”
Dua batang pedang itu terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang muda itu dalam keadaan tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata mereka saja yang mampu memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang tersenyum lebar.
“Untung bagi kalian bahwa aku datang membawa tugas perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak, apakah kalian dapat mengharap masih dapat hidup di saat ini?”
Setelah berkata demikian, Nirahai memasuki jolinya yang sudah robek-robek tirainya itu, memberi isyarat kepada dua orang penggotongnya. Dua orang itu bergegas kembali menggotong joli dan cepat-cepat pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai sutera yang robek-robek itu, Han Han dapat melihat wajah cantik jelita itu mengerling ke arah empat orang murid In-kok-san sambil tersenyum manis.
Bukan main, pikir Han Han. Puteri itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali! Lebih hebat dari pada kepandaian datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu dara ini akan merupakan lawan yang amat tangguh! Ia kagum akan kecantikannya yang mempesonakan, akan persamaannya dengan patung Puteri Maya di Pulau Es, akan kepandaiannya yang hebat dan akan sikapnya yang angkuh dan agung terhadap empat orang murid In-kok-san yang sudah jelas menyerang dengan maksud membunuhnya tadi.
Dengan tenang Han Han lalu menghampiri empat orang murid In-kok-san yang masih rebah tak berdaya di atas tanah. Mereka itu memandang terbelalak ketika mengenal Han Han. Pemuda berkaki buntung ini lalu menggerakkan tongkatnya, empat kali tongkatnya bergerak menotok dan ia telah berhasil membebaskan empat orang muda itu yang cepat meloncat bangun dan berdiri di depan Han Han.
“Engkau... Han Han-sute...!” Seorang di antara mereka yang bernama Song Biauw berkata.
Han Han mengangguk. “Mengapa kalian menyerang dia?”
Empat orang itu memandang ke arah perginya joli itu dan Song Biauw berseru marah, “Iblis betina itu sungguh lihai! Dialah biang keladi segala kesengsaraan!” Kemudian ia menoleh kepada Han Han. “Kami sudah mendengar bahwa engkau sekarang menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi, sute! Marilah kau bantu kami membunuh iblis betina itu!”
Han Han tersenyum dan menggeleng kepala. Dia terharu bahwa empat orang ini masih menyebutnya ‘sute’, kemudian ia bertanya, “Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya, mengapa kalian memusuhi puteri yang mewakili kerajaan itu?”
“Ma-bin Lo-mo iblis tua itu juga akan kami basmi!” bentak seorang murid In-kok-san dengan muka merah penuh kebencian.
Han Han diam-diam terkejut. “Eh, mengapa kalian memusuhi suhu kalian sendiri? Kalau kalian memusuhi Kerajaan Mancu, hal ini aku tidak heran.”
“Hemmm, agaknya kau belum mendengar akan peristiwa busuk yang menjadi rahasia iblis tua itu, Han-sute? Engkau tentu sudah tahu bahwa kami semua murid In-kok-san adalah orang-orang yatim piatu...”
“Aku tahu, orang tua kalian, seperti juga orang tuaku, terbunuh oleh pasukan Mancu...” kata Han Han.
“Bukan!” Song Biauw memotong cepat sambil menggoyang tangan. “Mungkin orang tuamu terbunuh oleh pasukan Mancu, akan tetapi orang tua kami semua sama sekali tidak terbunuh oleh pasukan Mancu, melainkan dibunuh secara diam-diam oleh Ma-bin Lo-mo!”
“Heeehhhhh...?” Han Han benar-benar terkejut sekali mendengar ini.
“Iblis tua bangka yang busuk itu! Dia dahulunya memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat membentuk pasukan kuat, dia sengaja memilih anak-anak yang berbakat baik, menggunakan keadaan yang kacau membunuhi orang tua kami dan kemudian menolong kami dengan pernyataan bahwa orang tua kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami masih terlalu kecil untuk mengerti akan tipu muslihatnya ini. Akhir-akhir ini dia menjadi penjilat Mancu sehingga kami merasa heran sekali dan akhirnya kami dapat mengetahui rahasianya yang membocor dari istana. Tentu saja kami menjadi sakit hati kepadanya sehingga kami bersumpah selain memusuhi penjajah, juga akan membunuh bekas guru yang juga pembunuh orang tua kami itu!”
Han Han mengangguk-angguk. Baru sekarang ia mengerti mengapa murid-murid In-kok-san menyerbu kota raja. “Jadi kalian menyerbu kota raja, membebaskan tawanan-tawanan, juga dengan maksud untuk mengacau kota raja dan sekalian mencari Ma-bin Lo-mo?”
Song Biauw berseri wajahnya. “Kau sudah mendengar akan penyerbuan itu? Kami kehilangan belasan orang saudara, akan tetapi kami berhasil membebaskan banyak tawanan. Kini saudara-saudara kami sebagian sudah menyeberang ke Se-cuan, maka kami mendengar bahwa engkau telah membantu perjuangan dan bahkan menjadi panglima di Se-cuan. Kami yang masih tinggal di sini mendengar bahwa puncak Tai-hang-san akan dijadikan tempat pertemuan antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kami menghadang di sini untuk menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami tahu bahwa Puteri Nirahai iblis betina itu datang, kami segera menyerangnya. Siapa tahu dia luar biasa lihainya!”
Han Han menggeleng-geleng kepala. “Kalian ini bernafsu besar dan bercita-cita muluk, akan tetapi kalian bukanlah lawannya, bahkan kalian berempat takkan mampu mengalahkan Ma-bin Lo-mo.”
“Masih ada lima orang saudara kami di bawah!” Song Biauw membentak.
Han Han menghela napas. “Aku tidak akan mencampuri urusan kalian. Kebetulan aku bertemu dengan kalian di sini karena memang aku ingin sekali bertanya. Ketika kalian menyerbu kota raja membebaskan para tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang ikut melarikan diri. Di manakah dia sekarang?”
“Ohhhh... dia? Puteri Mancu itu? Wah, dia hebat sekali!” kata Song Biauw dan tiga orang saudaranya mengangguk-angguk. “Hanya karena bantuan dia maka kami dapat menyelamatkan diri keluar dari kota raja, dan hanya belasan orang yang gugur. Agaknya iblis betina Nirahai sendiri segan untuk bersikap keras setelah dia turun tangan membantu kami. Jadi dia adikmu, Han-sute? Ah, sungguh menyesal sekali, kami tidak tahu ke mana dia pergi karena begitu kami semua berhasil keluar dari kota raja, dia menghilang.”
Han Han menghela napas panjang. Dia sudah menduga akan hal ini. Adiknya itu terlalu keras kepala, keras hati dan ingin bebas, tentu saja tidak mau bersatu dengan orang-orang ini. Entah ke mana sekarang ‘terbangnya’ bocah itu!
“Sudahlah, aku akan mencarinya sendiri. Kunasehati saja agar kalian tidak terburu nafsu mengandalkan kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai sekali, juga bekas guru kalian itu mempunyai banyak kawan yang lihai. Kalau memang kalian ingin berjuang, tempat kalian adalah di Se-cuan di mana dapat dihimpun kekuatan untuk menghadapi musuh. Nah, selamat berpisah!”
Han Han menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia telah berkelebat lenyap dari depan empat orang itu yang memandang terbelalak, menengok dan mencari-cari ke sana ke mari, kemudian saling pandang dengan melongo. Sukar mereka percaya bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah itu dapat bergerak secepat itu.
Sambil berloncatan, Han Han berpikir. Pertemuan di puncak Tai-hang-san? Pertemuan apakah itu? Apa pula yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai yang lihai dan cerdik luar biasa itu? Ia tertarik sekali, apa lagi dia mengharapkan bahwa Lulu akan hadir pula di pertemuan aneh itu. Dengan penuh harapan, Han Han lalu mendaki puncak Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan yang sunyi karena dia tidak mau mengunjungi pertemuan itu secara berterang. Dia tidak mau melibatkan diri, dan keinginan satu-satunya pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu.
Ia pun bergidik kalau teringat akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi akan kekejian hati Ma-bin Lo-mo. Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk pasukan terdiri dari murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada pemerintah Mancu dengan cara membunuhi orang tua dan keluarga calon para muridnya secara diam-diam, kemudian menolong calon murid itu dan mengatakan bahwa keluarga si murid dibasmi orang Mancu. Cara mengobarkan anti Mancu yang amat curang, licik dan keji. Lebih menjijikkan lagi bahwa setelah melakukan perbuatan yang tidak mengenal peri kemanusiaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li malah membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan menjadi kaki tangan Mancu!
Makin dikenang, makin sakit rasa hati Han Han. Bukankah kedua orang nenek dan kakek itu merupakan orang-orang terakhir di dunia ini yang masih ‘berbau’ keluarga nenek moyangnya sendiri? Merupakan orang-orang yang masih ada hubungan dengan keluarga Suma yang terkenal jahat di masa lalu?
Teringatlah ia akan cerita yang didengarnya dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri ketika ia masih menjadi murid In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san ini. Arca yang dipuja di In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru Ma-bin Lo-mo atau ayah dari Suma Hoat Si Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri! Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek buyutnya, ada pun nenek iblis Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari kakek buyutnya itu!
Hemmm, baru murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis yang kejahatannya sukar dicari bandingnya! Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya keluarga Suma itu sendiri! Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!
Setelah Han Han tiba di puncak Tai-hang-san, di lembah In-kok-san, dari jauh ia sudah melihat banyaknya orang yang berkumpul di situ. Ia cepat menyelinap dan berindap-indap mendekati pekarangan lebar di mana berkumpul banyak orang yang duduk di bangku-bangku membentuk lingkaran. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah tua dan bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi pihak tuan rumah yang merupakan rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok dan mereka ini adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo sebagai pemilik In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng Ciu-sian-li, Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang lihai, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama!
Han Han yang bersembunyi dekat tempat itu dapat melihat jelas dan sebagian di antara para tamu ada yang telah dikenalnya. Dari pihak Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio, penjaga kuil Siauw-lim-si yang menjadi sute Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai ditemani dua orang kakek yang setelah Han Han ingat-ingat ternyata ia mengenalnya sebagai dua orang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam).
Dahulunya tiga pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek yang pendek kecil itu, Liem Sian yang tinggi besar, dan orang ke tiga adalah seorang wanita cantik Bhok Khim yang telah diperkosa Gak Liat Si Setan Botak dan bahkan yang terakhir bertemu dengan Han Han ketika wanita yang menjadi gila itu membobol kamar penyiksa diri di Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa anaknya.
Han Han merasa heran mengapa dalam pertemuan penting ini, hanya Ceng To Hwesio dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang hadir. Mengapa lima orang tokoh Siauw-lim Chit-kiam tidak hadir pula?
Han Han memperhatikan terus para tokoh yang hadir sebagai tamu. Ia melihat pula tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang merupakan tosu-tosu tingkat tiga. Tiga orang tosu galak yang pernah bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok Seng Cu dan Bhok Seng Cu, agaknya tiga orang kakek ini mewakili guru mereka, ketua Hoa-san-pai untuk hadir di In-kok-san ini.
Selain kedua rombongan wakil Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, masih banyak terdapat wakil-wakil dari partai-partai persilatan lain, bahkan di antara mereka pula orang-orang dari Pek-lian Kai-pang, dan tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia jumpai di Se-cuan. Kini dia memperhatikan Nirahai dan makin kagumlah hati Han Han. Benar-benar amat hebat gadis itu.
Masih amat muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini! Apa kehendaknya mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap pemberontak-pemberontak ini?
Diam-diam Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini, para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi! Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar seperti itu siasat Nirahai, biar pun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang, terpaksa dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!
Pada saat itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat duduk dan terdengarlah suara lantang akan tetapi merdu dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan mendengarkan dari tempat sembunyi. Ia menjadi heran mendengar suara gadis jelita itu, karena biar pun gadis itu bukan berbangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki pengertian yang baik tentang kesusastraan.
“Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini menghaturkan banyak terima kasih kepada para locianpwe dan para enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!”
Han Han mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat menarik perhatian mereka yang mendengarnya. Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama dengan partai-partai besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan itu dilanjut-lanjutkan? Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat jelata mencapai kemakmuran.
Sejam lebih puteri itu bicara dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang? Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak ketika bicara itu demikian manis, semanis kata-kata yang keluar secara teratur dan indah, seakan gadis itu bukan sedang berpidato, tetapi sedang mendeklamasikan sajak-sajak indah!
Tubuhnya agak bergoyang, sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya. Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri jelita itu berkata.
“Hendaknya cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkembang. Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas? Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya yang tidak memperbedakan bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa pun hanya merupakan perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri karena sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa ‘Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya’! (Di Empat Penjuru Lautan Adalah Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andai kata Pendekar Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak membohong dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi sekalian suka memandang pusaka ini!” Tangan Puteri Nirahai bergerak dan berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.
“Suling Emas...!”
Banyak mulut mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai, kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada di tangan sang puteri. Biar pun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun tidak ada, namun nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum dan tunduk.
Puteri jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia melanjutkan, “Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam, masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”
Semua orang makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To Hwesio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang, “Omitohud...! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk? Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?”
Semua orang menjadi tegang hatinya mendengar ini, apa lagi ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring. “Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan fitnah?”
Suasana menjadi makin tegang. Apa lagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat persembunyiannya. Sebagai orang luar dia mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban puteri itu.
Semua orang tercengang dan terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari pihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu.....
Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.
“Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi di dalam keadaan perang terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak pihak musuh dapat disebut curang pula?”
“Siasat dalam perang bukahlah kecurangan,” jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang?
“Terima kasih,” kata Nirahai sambil tersenyum. “Pertanyaan kedua, jika seorang prajurit dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di pihak musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?”
“Tentu saja tidak,” jawab pula Ceng To Hwesio. “Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya.”
Kini Nirahai tersenyum manis sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, “Terima kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang terjawablah pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hitam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apa lagi kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai? Karena tugas saya, tugas seorang prajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya sebagai panglima dalam perang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang. Permusuhan dalam perang bukanlah permusuhan pribadi, karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja Losuhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima penjelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk menghindarkan diri dari kesalahan.”
Semua yang mendengar ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang anggota Pek-lian Kai-pang, yang dengan sikap gagah berkala lantang.
“Semua uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas membela bangsa dalam perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami pun orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina?”
Semua mata orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.
“Pertanyaan Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghiong menyatakan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing? Bangsa kita yang besar mempunyai puluhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bangsa Mancu dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa Khitan? Kalau Khitan merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas memperisteri wanita asing? Apakah pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah! Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar lalim dan membebaskan rakyat jelata dari pada penindasan!”
Semua orang saling pandang dan kembali uraian itu sukar mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang besar!
“Sekarang hal ke dua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa, seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan menindas rakyat, bukan? Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan para orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan mengenyahkan kaisar dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghiong sendiri kalau saya tidak salah duga, tentulah anggota Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan dari pada Pek-lian-kauw, perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang tidak becus? Dengan demikian, antara kami dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!”
Han Han memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.
Biar pun semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau menyerah kalah. “Kouwnio, kalau benar bahwa kerajaan yang baru ini mengulurkan tangan kepada para patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan diserang terus? Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya untuk mempertahankan nusa bangsanya?”
Wajah puteri itu yang tadinya berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya bersinar tajam berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, “Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan sendiri, untuk menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang bermuka dua!”
Semua orang terkejut mendengar ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat menyambung, “Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan pengkhianat licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya siapa? Dia seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah dan lalim, dia mengajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh Paman Pangeran Dorgan untuk bersekutu. Setelah kami berhasil menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi berkhianat pula terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya? Dia melawan kerajaan baru semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak membela rakyat! Hal ini diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhormat ini, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat rakyat makin sengsara. Akan tetapi, dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!”
Hening sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis mengeritkan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.
“Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang lama? Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat?”
Kembali Nirahai tersenyum. “Inilah pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu, dan jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andai kata kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biar pun kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal diam? Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela rakyat yang tertindas!”
Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmunya dan cerdik bukan main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.
“Baiklah, Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin menarik semua murid Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata lagi melakukan pembalasan terhadap rakyat yang tertindas!”
“Kami juga berjanji!”
“Kami juga!”
“Kami juga!”
Ramailah para tamu yang hadir itu membuka suara, dan biar pun ada yang hanya tinggal diam, namun jelas bahwa jumlah yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar, sedangkan yang membantah tidak ada seorang pun. Setelah semua diam, terdengar Ceng To Hwesio berkata, suaranya kereng.
“Kouwnio, ada sebuah hal yang dapat kita pergunakan untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah baru.”
“Harap Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu?” Nirahai bertanya ramah.
“Pemerintah yang baik tidak akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah menghargai orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang jahat pula.”
“Maksud Losuhu bagaimana?”
“Terus terang saja, biar pun kini urusan pemerintah telah dapat diselesaikan dengan damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan pribadi?”
Sepasang mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. “Maksud Losuhu? Ingat bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!”
Hwesio itu tertawa. “Kouwnio agaknya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguh pun Kouwnio telah membunuh dua orang murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi pembantu Kouwnio!”
Nirahai melirik ke arah Gak Liat, lalu berkata sambil lalu, “Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi?”
“Benar, Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan nyawa!”
Nirahai mengerutkan kening, kemudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil berkata, “Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apa bila di antara para orang gagah ada dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya agar penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Sang Puteri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai! Kalau memang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan sekarang juga!” Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar. “Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani mempertanggung jawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosamu terhadap Siauw-lim-pai?”
“Ha-ha-ha! Dosa? Dosa itu apakah? Kau maksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu? Ha-ha-ha! Itu kau anggap dosa?”
“Gak Liat, manusia berwatak binatang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekarang di depan para orang gagah kita membuat perhitungan!” Sambil berkata demikian, Ceng To Hwesio melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sinkang dari hwesio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot memandang hwesio itu dan terdengar suaranya bernada sombong.
“Hwesio bosan hidup! Engkau siapakah? Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku?”
“Tidak perlu ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing perlu apa menggunakan penggebuk besar? Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!”
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biarkan teecu yang melayaninya!”
Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng menggerakkan cambuk besinya meloncat maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoi-nya yang tersayang sehingga ia lupa diri dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu, langsung membentaknya dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat sambil melintangkan sabuknya dan menantang.
“Mari, Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!”
“Ha-ha-ha, aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To Hwesio!”
“Omitohud, ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan manusia-manusia lain!” Ceng To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, lalu tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka Gak Liat.
Setan Botak ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton termasuk Han Han memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biar pun belum dapat disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun hidup bersih sehingga ia telah berhasil menghimpun tenaga dalam yang kuat di tubuhnya.
Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh. Betapa pun juga, hwesio yang berkemauan sangat keras untuk menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini tidak menjadi jeri. Cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja menerima sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.
“Dukkk! Wuuuttttt!”
“Aihhh...!”
Ceng To Hwesio meloncat tinggi ke belakang dan hampir saja ia celaka. Saat sabuknya yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biar pun hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan menghindar, pundaknya kena diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali, bahkan bajunya robek dan kulitnya gosong menghitam!
“Ha-ha-ha-ha! Begitu saja kepandaianmu, Ceng To Hwesio?” Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya malah hatinya condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri murid wanita Siauw-lim-pai itu. Tetapi dia pun masih membutuhkan tenaga bantuan seorang lihai seperti Gak Liat.
Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing menghadapi permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini. Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan mengaku kalah, maka permusuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.
Ada pun Han Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan, maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya menonton dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya akan membunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciang-nya itu.
Ceng To Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang maju lagi. Kini sabuknya ia putar-putar dengan tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapa pun kebal tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!
Gak Liat yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biar pun tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Cepat dia menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik. Ketika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah leher itu mengenai pundaknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
“Brettt... desssss!”
Baju di pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena seluruh dada dan perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!
“Manusia iblis...!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.
“Cring-tranggg...!”
Dua orang murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan kereng dan berkata.
“Ji-wi Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati dalam pertandingan yang adil dari pada berlaku curang yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang bahwa pihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil.”
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas, menyimpan senjata mereka lalu mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, “Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini kepada ketua kami.”
“Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan selalu menanti, ha-ha-ha!”
Akan tetapi, sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan nyaring, “Setan Botak, nyawamu sudah berada di tanganku dan engkau masih bicara sombong!”
Dua orang di antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan mereka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan, “Sumoi...!”
Gak Liat memandang dengan mata terbelalak, dan sinar matanya membayangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang dahulu menjadi orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras, perasaannya terguncang penuh ketegangan.
Orang-orang lain yang berada di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita yang wajahnya masih cantik akan tetapi rambutnya riap-riapan pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.
“Kau... kau... kau murid Siauw-lim-pai itu...!” Gak Liat akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia berteriak.
“Kakek keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!”
Setelah berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua tangannya mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua tangannya ke kanan dan... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali. Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka sungguh pun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!
Melihat pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka ia berseru nyaring, “Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!”
Seruan ini menenangkan suasana dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan hebatnya. Diam-diam Han Han yang menyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang yang digerakkan dengan tenaga sinkang kuat.
Tahulah dia bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pelayannya. Ilmu inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti Hosiang. Akan tetapi menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu mempelajarinya secara keliru sehingga menyeleweng. Tetapi melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.
Berkali-kali Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebalan luar biasa, maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya. Melihat ini Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi ‘kulit’ dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah mengenal ‘isinya’, agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak akan dapat tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak Liat yang jauh lebih matang pengalamannya dalam hal pertandingan ilmu silat juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambil menggulingkan diri.
“Celaka...!” Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biar pun memukul sambil menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak berkurang kedahsyatannya!
Benar saja, setelah Gak Liat membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena serempet pukulan panas itu dan ia menjerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di bagian pinggang!
“Ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa bergelak.
Akan tetapi ia menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan mengeluarkan suara melengking nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping sambil memukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada pergelangan tangan dan gerakan tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok Khim!
Kedua orang itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau, saling membetot bersitegang melepaskan dan mempertahankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul. Namun semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu merupakan pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.
Memang hebat dan menegangkan pertandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari tangannya sudah terbenam ke dalam lengan kakek itu. Biar pun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari tangan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah menjadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya!
Gak Liat mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat memalukan! Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk menggigit tenggorokannya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin malu dan bingung.
Ia kembali meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas, akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan berkulit halus itu ke pinggang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium Gak Liat!
Terdengar lengking yang serak seperti serigala disusul teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi karena gelora nafsu birahi yang timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu, bau keringat dan rambut Bhok Khim, membangkitkan nafsu birahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita itu bukan hendak mencium bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian nafsu, melainkan menggigit tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biar pun tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa dengan keras sekali dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!
Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru. Biar pun pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!
“Desssss!”
Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
“Suheng... suheng... harap suheng... merawat... anakku...,” terdengar suaranya lemah. Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
“Kami bukan suheng-mu!” Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. “Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!”
Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci karena biar pun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
“Kami bukan suheng-mu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.
“Suheng... tolong... anak... ku...” Bhok Khim masih terus mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suheng-nya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
“Ibils betina!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
“Tring-tringgg...!”
Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
“Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apa lagi kalian adalah bekas suheng-nya. Betapa kejinya hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
“Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini. “Kau... kau... dua kali kau menolongku... Ahhhh... terima kasih... anakku... kuserahkan padamu... kasihan dia... dia tidak berdosa... dia... dia... aaahhhhh... dia berada...”
“Di mana? Di mana puteramu, Toanio...?” Han Han bertanya, mengguncang pundak itu.
Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Ada pun mereka yang sudah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kehadiran pemuda itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
“Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?”
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, lalu menjawab tenang, “Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.”
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel, “Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?”
“Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?” Han Han bertanya, tetap tenang biar pun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguh pun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
“Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoi-ku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah.
“Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!”
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik dari pada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau keluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kau lakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!”
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memaadang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
“Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh dari pada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.” Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
“Pemuda Super Sakti!” terdengar orang-orang berbisik kagum.
Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran, ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan. Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya.
Ia kagum dan juga penasaran. Belum puas hatinya kalau belum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus diselesaikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan, kemudian ke perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.....
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-19