Pendekar Super Sakti Jilid 02

“Song-pangcu, bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai banyak anak buah tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan barisan kami yang bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini!” kata Lauw-pangcu.
Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan dari pada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat.

Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.

Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.

Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini?

Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu.

Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.

“Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan suara berbisik.

“Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang.

“Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin, Sute.”

Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai. Perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Baru pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.

Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.

Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggota kedua ‘tin’ ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya.

Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja, lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Ada pun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah ‘diterima’ oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.

Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.

Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!

“Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.

Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk?

Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!

Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu.

Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya.

Keadaan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar. Perang sampyuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.

Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang.

Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan ‘inti’ dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi dari pada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang ke luar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!

Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja! Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian!

Namun semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu harus dipuji. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah empat orang pihak sendiri roboh pula!

Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggota Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggota Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biar pun lawannya sudah roboh semua. Wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang!

Tapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Biar pun kecil, tongkatnya yang hitam itu mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!

Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.

“Desssss...!” dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.

“It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.

“Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.

Ilmu tongkat Lauw-pangcu, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa. Ilmu ini diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, 

Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan lama dan menerima kawan-kawan baru, lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.

Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.

Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!

It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.

“Krakkk...!” It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.

“Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!” Setelah berkata demikian It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.

Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.

“Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang di antara mereka.

“Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”

Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi serta merawat yang luka.

“Han Han, engkau di mana...?” teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton anak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.

“Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?”

Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.”

Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas.

Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andai kata mereka itu merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu.

Apa lagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin ‘ong-ya’ di barat. Ia menjadi makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti. 

Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat ke luar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.

Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.

Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep. Buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh.

Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah.

“Kau bocah sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul orang!”

Melihat datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi...!”

Ada pun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul.

Bocah berpakaian mewah yang membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apa lagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.

“Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apa lagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcu-mu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.”

“Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak diterapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”

Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!

“Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel yang tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?”

“Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?”

“Kau tidak tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”

Han Han tertarik, jantungnya berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”

“Eh, engkau tahu tempatnya?”

“Tentu saja! Aku muridnya!”

Ouwyang Seng terbelalak memandang. “Kau...? Muridnya...? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia!”

“Mau apa sih?”

Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda kuda yang pernah dilatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.

“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”

“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”

Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.

Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Di sekeliling kepala bagian bawah, tumbuh sedikit rambut yang kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil.

Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya. 
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”

Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguh pun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini!”

Memang aneh kalau seorang guru menyebut ‘kongcu’ atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.

Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar!”

“Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”

Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak. “Namaku Han Han, dan biar pun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku!”

“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh dijadikan pelayan.”

Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti dari pada setan sendiri!

Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi ‘pelindung’ Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya! 

Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik.

Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena ‘gengsi’ pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu.

Namun karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi ‘hajaran’ kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!

Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhu-ku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?”

Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya ‘berani atau tidak’, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.

“Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagai mana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”

“Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”

“Boleh!” Han Han menjawab.

Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.

“Siap?” tanya Ouwyang Seng.

“Siap!” jawab Han Han.

“Mulai!” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong.

Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya.

“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang dari pada Han Han.

Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.

“Kau kepala batu!” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat.

Akan tetapi daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekali pun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?

“Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa...!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran!

Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenaga mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!

Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran. Putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhu-nya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”

Han Han amat cerdik. Biar pun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagai mana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apa lagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya ber-debar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.

“Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!”

Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!

Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”

Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.

“Kenapa...? Kenapa aku berlutut...?”

“Ajaib... ajaib...!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel.

Tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda. Kakek botak yang memegangi tengkuk bajunya itu mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.

“Ajaib... bocah ajaib... matamu ini... ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sinkang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak.

Ada pun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja ‘diperintah’ oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.

“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”

Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng...!”

“Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”

“Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.”

“Setan pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.

“Tar-tar...!”

Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk melepaskan bungkusan itu yang jatuh berdebuk ke atas tanah. Biar pun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apa lagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak.

Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.

Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.

“Han Han...!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sute-nya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda dengan sikap tenang sekali.

Semua anggota kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguh pun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggota Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.

Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.

Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggota Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.

“Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya, karena tidak tahu lebih dahulu kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”

Mendengar ucapan itu, para anggota Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.

“Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”

“Benar,” jawab Han Han.

Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!”

Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apa lagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhu-nya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhu-nya! Karena girang, tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhu-nya dan membuka tali pengikatnya.

Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung. Matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggota Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggota Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!

“Aihhh...!” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.

Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engkau akan mampus di tanganku lebih dulu!”

Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andai kata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekali pun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari pada serangan maut ini.

Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagai mana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.

Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekali pun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri! 

Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apa lagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh! Ada pun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi.

Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.

“Ayahhhhh...!” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sute-nya, maka tanpa disadari ia menjerit.

Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat masih di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.

“Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?”

Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagai mana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping?

Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia! Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini?

Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggota Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu ‘terangkat’ oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggota Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.

“Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang, perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggota-anggotamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.”

Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggota pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka terdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biar pun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan.

Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian. “Suci, mari hajar bocah setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki. “Engkau murid murtad!”

Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.

Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.

Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat dari pada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apa lagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dia menganggap bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan, lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.

Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati!

Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.

“Heh-heh-heh...!” Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggota Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!

Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggota Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh.

Namun kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak.

Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan....

“Prak-prak-prak!” terdengar suara berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Ada pun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!

Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.

“Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak.

Tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Han yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya terhuyung ke belakang, akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!

Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagai mana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian. Ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi dan sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den menangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!

“Kau bocah galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.

Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki. “Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"

Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tiba-tiba tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus, “Anak, kau minggirlah.”

Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah ada di situ dan melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir.....

Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biar pun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang kereng berwibawa. Ada pun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang kelihatannya berat sekali.

Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata, “Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini!”

Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!”

Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.

“Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.

Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”

“Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.

“Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.

“Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek!

Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan.

Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis, tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu.

Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang barulah patut melayani aku beberapa jurus.”

Ucapan ini amat takabur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.

Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.

Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka ‘main keroyok’ secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti.

Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.

“Krakkk! Brettttt...! Ha-ha-ha-ha!”

Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupi baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.

“Iblis tua bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.

Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.

“Ayaaa...!” Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.

Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.

“Tar-tar...!” Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.

“Cringgg...!” Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!

Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggota Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.

Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sinkang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya!

Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, ada pun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!

Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.

“Ayah..., Ayahhh...!”

Biar pun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.

“Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang menyebut ‘locianpwe’ karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu.

Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!

“Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari sebagai penebus nyawa kalian!”

Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biar pun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!

“Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggota Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!”

“Sute...!” Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.

“Bagus... bagus... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoi-mu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”

Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan....

“Kraaakkkkk!” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!

Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera pangeran itu.

Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beberapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu.
********************
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggotanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.

“Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!”

Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggota Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”

“Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.

“Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.”

Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Ada pun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.

“Berhenti di sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.

“Di sinikah tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.

Si Setan Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”

Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”

Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang.

Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cici-nya sendiri yang telah lenyap, sungguh pun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cici-nya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.

“Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”

“Han Han, tutup mulutmu yang busuk!” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.

“Demi iblis...! Matamu mata iblis...! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah kulakukan?”

Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!”

Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan.

Kemarahan Han Han memuncak. Dengan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak, “Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”

Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku... aku...”

Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhu-nya ini, maka ia berseru keras dan heran, “Suhu...! Apa artinya ini...?”

Sesungguhnya pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh! Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya.

Selain itu Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu terguling dan rebah miring tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguh pun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.

“Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”

Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apa lagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.

“Ayahku bernama Sie Bun An.”

“Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”

“Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia berterus terang dengan suara keras.

Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!

Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran. “Matamu itu... hemmm... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”

“Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat...”

Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat...? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas... pantas...”

Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya. Biar pun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.

“Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”

“Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”

“Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan...?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.

Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.

“Locianpwe tidak boleh...!”

Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”

Han Han terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya. Ia mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang batu bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.

“Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.

“Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng.

Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.

Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang. Karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.

“Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”

Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya. “Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?”

“Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”

“Bagai mana caranya?”

“Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?”

“Ah, masa...?” Tentu saja Han Han tidak percaya.

Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya se-hingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagai mana kuat sekali pun!”

Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!

“Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?”

Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhu-ku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”

Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan ‘sopan santun’ yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.

“Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”

Berseri wajah Ouwyang Seng. “Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”

Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis.

“Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu, ho-ho-ha-ha!”

Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.

“Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”

Tubuh kakek botak yang tadinya duduk tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”

Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.

Menjelang malam tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!

“Rumah siapa ini...?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak. Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.

“Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!”

“Rumahmu...?” Han Han makin kagum.

“Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!” Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malam pun tiba.

Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ. Betapa pun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas dari pada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.

Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya.

Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa. “Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?”

Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersemedhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu.

Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia dan muridnya melatih diri untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia.

Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.

Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekali pun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati!”

Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak-senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak-senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya.

“Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini,” pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng.

Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kuali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali! Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kuali besar yang airnya mulai mendidih.

Pada saat itu muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat.

“Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya.

“Hemmm... masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kuali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur!”

Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kuali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kuali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kuali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.

“Aduh, terlalu panas...!” serunya.

“Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apa lagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kuali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!”

Ouwyang Seng memandang ke arah suhu-nya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kuali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.

“Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (semedhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.

“Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dan ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.

Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan semedhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!

“Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?”

Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi. Cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kuali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.

“Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”

Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersemedhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kuali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan ‘dapur’ dari lian-bu-thia ini.

Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas.

Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini.

Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai mana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.

“Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”

Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguh pun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri.

“Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.”

“Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”

Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai dari pada mereka!”

Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kali karena ingin menggunakannya untuk berkelahi, memukul, apa lagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kuali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?

“Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apa lagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”

Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.

“Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?”

“Hush! Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersemedhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup... hihhh... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi suhu menguasai semua setan-setan yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya itu.”

Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersemedhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.....
********************
Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasnya yang tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.

Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan golonga sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.

Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggota perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguh pun belum pernah ada yang bertemu, apa lagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya hati mereka lega ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.

Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.

Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang.

Semenjak pagi, sudah banyak anggota-anggota Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai.

Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat.

Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Ada pun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah).

Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.

“Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya!”

Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apa lagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggota-anggota Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.

“Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apa bila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang.

Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang. “Kami bukanlah anggota-anggota Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Memang Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apa lagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguh pun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”
Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersemedhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sinkang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.

Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggota Pek-lian Kai-pang.

Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!

Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan.

“Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh... murid saya sendiri... sungguh perih sekali perasaan hatiku...” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata.

Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biar pun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar.

Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang, “Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapa pun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.

Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apa lagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.

Para anggota Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan.....

Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-03
LihatTutupKomentar