Pendekar Super Sakti Jilid 08

"Sahabat-sahabat Hoa-san-pai, silakan keluar. Kami dua orang utusan Siauw-lim-pai ingin bertemu dan bicara!” Liok Si Bhok berseru sambil mengerahkan khikang-nya hingga suaranya bergema di seluruh kuil, bahkan menggetarkan sarang laba-laba yang banyak terdapat di sudut-sudut ruangan itu.
Mereka berdiri di tengah-tengah sebuah ruangan lebar di mana terdapat empat buah pintu, menjurus ke empat penjuru. Daun-daun pintunya tertutup, hanya sebuah yang menuju ke luar terbuka karena mereka yang membukanya tadi ketika masuk dari luar. Hati mereka makin yakin bahwa kuil ini ada penghuninya ketika melihat bahwa berbeda dengan ruangan-ruangan lain di bagian depan, ruangan yang paling lebar dan berada di bagian belakang kuil ini lantainya bersih seolah-olah sering disapu.

Gema suara Liok Si Bhok mengaung menyeramkan, kemudian sunyi kembali. Selagi dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu meragu apakah benar-benar kuil itu ada penghuninya, terdengar suara tertawa merdu, suara ketawa wanita yang halus dan bernada genit, seperti suara ketawa kuntilanak yang menyeramkan. Biar pun dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan tidak pernah mengenal takut, namun suasana di kuil itu dan suara ketawa ini membuat bulu tengkuk mereka meremang. Tetapi mereka dapat segera menindas perasaan ngeri ini dan Liong Ki Tek lalu membentak.

"Manusia atau siluman, kami orang keenam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tidak merasa takut!"

"Hi-hi-hi-hik, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek mengantar kematiannya, masih bermulut besar!"

Perlahan-lahan tiga buah daun pintu terbuka dari luar dan masuklah tiga orang dari tiga buah pintu itu. Dari pintu belakang masuk seorang wanita yang usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik sekali, berpakaian mewah dan bersikap genit, terutama sekali matanya yang penuh dengan sinar rafsu birahi. Akan tetapi yang amat mengerikan adalah kedua buah tangannya. Tangan yang kecil berjari runcing halus bagus sekali, hanya warnanya merah seolah-olah kedua tangan itu berlumur darah!

Dari pintu kiri muncul seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti dipulas arang, usianya mendekati enam puluh tahun namun masih jelas tampak bahwa dia kuat sekali dan bertenaga besar. Kesombongan bersinar dari sepasang matanya yang bulat dan lebar. Ada pun dari pintu kanan muncul seorang kakek yang usianya sebaya, tetapi dalam segala hal merupakan lawan kakek muka hitam karena kakek ini tubuhnya pendek kecil, mukanya putih seperti dibedaki, kelihatan lemah tak bertenaga dan matanya sipit dengan pandangan seperti orang mengatuk.

Liok Si Bhok dan Liok Ki Tek adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, bahkan sudah mengenal tokoh-tokoh besar. Maka begitu melihat tiga orang ini, jantung mereka berdebar keras karena mereka mengenal mereka itu sebagai tokoh-tokoh sakti dari golongan sesat! Wanita cantik genit itu bukan lain adalah Ma Su Nio yang terkenal dengan julukan Hiat-ciang Sian-Ii (Dewi Bertangan Darah), seorang tokoh sakti yang cabul genit dan kejamnya seperti iblis betina!

Ada pun kakek bermuka hitam yang tinggi besar itu adalah Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), sedangkan kakek bermuka putih adalah Pek-giam-ong (Raja Maut Putih). Mereka berdua adalah kakak beradik dan terkenal dengan sebutan Hek-pek Giam-ong yang selalu muncul dan turun tangan berdua sehingga merupakan lawan yang sangat tangguh. Tiga orang ini adalah murid-murid dan juga pembantu Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam atau kaum sesat!

Akan tetapi, dari tiga orang yang muncul ini tidak ada tercium bau harum tadi. Memang Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio juga membawa bau wangi, akan tetapi berbeda dengan keharuman tadi, bahkan di antara bau wangi, yang datang dari tubuh Dewi Tangan Darah ini tercium bau amis darah! Ada pun Hek-pek Giam-ong sama sekali tidak membawa bau harum, kalau ada membawa bau, paling-paling juga bau apek karena pakaian berkeringat yang tak pernah dicuci.

Setelah kini semua pintu yang menembus ruangan itu terbuka, bau harum itu makin keras dan ternyata datangnya dari atas. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek cepat memandang ke atas dan... jauh di atas balok melintang tampak duduk dua orang muda, seorang gadis cantik dan yang seorang lagi pemuda yang tampan.

Gadis itu cantik sekali, tubuhnya ramping padat hidungnya mancung dagunya runcing dan sepasang mataya seperti mata burung hong jantan. Rambutnya yang hitam panjang itu hanya diikat dengan sutera di belakang tengkuk, dibiarkan melambai ke punggung. Kepalanya ditutup atau lebih pantas dihias sebuah topi buIu putih yang kecil, dengan sebatang buIu burung menjadi penghias. Kedua telinganya digantungi sepasang anting-anting emas dan kedua lengannya bergelang emas pula. Gadis yang usianya sukar ditaksir, kurang lebih dua puluh tahun ini, tersenyum-senyum dan agaknya bau wangi yang sedap harum itu keluar dari tubuh dan pakaiannya.

Di sebelah kirinya duduk pula di atas balok itu seperti si gadis, dengan kedua kaki ongkang-ongkang, seorang pemuda tampan dan gagah. Usianya sebaya dengan gadis itu. Pemuda ini tubuhnya tinggi tegap, wajahnya ganteng dan pakaiannya amat indah, dari sutera disulam menyaingi keindahan pakaian gadis itu. Wajahnya yang ganteng itu terawat baik, berkulit putih halus dan rambutnya pun tersisir rapi dan halus kelimis. Sayang bahwa wajah yang tampan itu memiliki hidung yang agak besar, terlalu besar dan melengkung, dengan sepasang mata yang mengandung sinar tajam, bengis dan kejam.

Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal dua orang muda itu, akan tetapi kenyataan bahwa mereka itu dapat berada di situ sejak tadi tanpa mereka ketahui bahkan tanpa diketahui kelelawar dan burung yang hanya terbang setelah mereka berdua datang, membuktikan bahwa dua orang muda itu bukanlah orang sembarangan. Akan tetapi karena tidak tahu siapa adanya kedua orang muda itu, dan tidak tahu pula apa hubungannya mereka dengan tiga orang murid Kang-thouw-kwi ini, dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu hanya menggunakan seluruh perhatian untuk menghadapi Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-Ii.

”Hemmm, kiranya Hiat-cian Sian-Ii dan Hek-pek Giam-ong yang berada di dalam kuil ini. Sungguh tidak kami sangka. Akan tetapi karena ternyata Sam-wi (Tuan Bertiga) yang berada di sini, kiranya Sam-wi dapat memberi keterangan kepada kami tentang tiga orang anak murid Siauw-lim-pai yang terluka parah...”

Tiga orang murid Setan Botak itu kelihatan terkejut dan mereka memandang ke atas dengan sikap tenang.

"Kongcu (Tuan Muda), bagaimana mereka ini bisa tahu...?" kata Hiat-ciang Sian-li.

"Hemmm, agaknya Suheng bekerja kurang sempurna sehingga di antara mereka ada yang belum mampus dan membuka rahasia...," pemuda tampan itu mencela.

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah tokoh-tokoh yang sudah banyak pengalaman. Begitu mendengar percakapan ini, mengertilah mereka akan duduk perkara. Kiranya murid-murid Setan Botak yang memang menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu yang telah membunuh tiga orang murid Siauw-lim-pai dan agaknya mereka itu menyamar sebagai orang-orang Hoa-san-pai untuk menjalankan siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Hanya mereka merasa heran mendengar betapa pemuda itu menyebut suheng kepada murid-murid Setan Botak yang menjadi tanda bahwa pemuda itu murid Setan Botak pula. Akan tetapi mengapa Hek-pek Giam-ong dan juga Hiat-ciang Sian-Ii menyebutnya kongcu? Siapakah pemuda itu yang melihat sikapnya dan mendengar ucapannya seolah-olah yang menjadi pemimpin di antara mereka?

"Bagus sekali!" Liong Ki Tek sudah membentak marah, "Kiranya kalian ini orang-orang sesat yang membunuh anak murid kami dan kemudian menyamar sebagai orang Hoa-san-pai untuk mengadu domba!" Sambil membentak demikian, Liong Ki Tek sudah mencabut pedangnya, berbareng dengan suheng-nya.

Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, akan tetapi lidahnya asing sehingga bahasa yang diucapkannya terdengar lucu, "Lebih baik lagi begini! Sudah kukatakan bahwa memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar pula! Tiga orang itu hanya merupakan ikan teri, kurang besar untuk dijadikan umpan. Kalau kita menggunakan yang besar ini sebagai umpan, pasti berhasil. Siauw-lim-pai sukar dipancing, hendak kulihat nanti kalau mereka melihat mayat dua orang ini. Ouwyang-twako, jangan khawatir, rencana kita sekali ini pasti berhasil. Eh, kalian bertiga tidak lekas turun tangan, hendak menunggu apa lagi?"

Berbareng dengan teriakan-teriakan mereka, tiga orang murid Setan Botak itu maju menyerbu. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek memutar pedang melindungi diri, dan di dalam hati mereka timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka menjadi heran terhadap gadis itu.Jelas bagi mereka bahwa gadis itu adalah seorang gadis Mancu yang agaknya malah lebih berpengaruh dari pada si pemuda she Ouwyang itu, terbukti dari ucapannya yang nadanya seperti orang bicara kepada bawahannya!

Akan tetapi dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak dapat memecah perhatian mereka karena tiga orang lawan mereka sudah mengirim pukulan-pukulan maut yang amat berbahaya. Mereka itu adalah murid-murid pilihan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai seorang ahli Yang-kang, tidak mengherankan apa bila kedua orang kakek Hek-pek Giam-ong itu amat lihai.

Keduanya memiliki ilmu pukulan berdasarkan Yang-kang yang disebut Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dan setiap kali mereka mengirim pukulan, tangan mereka didahului menyambarnya hawa yang amat panas melebihi panasnya api! Kedua orang inilah yang telah membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai. Karena mereka itu hendak menimbulkan kesan seolah-olah orang-orang Hoa-san-pai yang melakukan pembunuhan itu, ketika membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu mereka tidak menggunakan pukuIan Toat-beng Hwi-ciang, melainkan dengan sebatang pedang seperti kebiasaan orang-orang Hoa-san-pai.

Akan tetapi, lebih hebat lagi dari pada dua orang Raja Maut itu adalah serangan yang keluar dari sepasang tangan merah Ma Su Nio. Hawa pukulan wanita ini mengandung panas yang hebat pula, namun di samping hawa panas ini juga membawa bau amis dan mengeluarkan suara bercicitan sangat tinggi menggetarkan jantung. Sesuai dengan julukannya, kedua tangan wanita ini memiliki pukulan-pukulan beracun yang amat hebat karena yang teracun oleh pukulan ini adalah darah lawan yang langsung akan membunuh lawan dari dalam!

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek maklum akan kelihaian tiga orang lawan mereka. Biar pun lawan mereka itu bertangan kosong, namun sesungguhnya gerak pukulan mereka lebih berbahaya dari pada datangnya luncuran anak panah beracun. Mereka memutar pedang melindungi tubuh, namun karena terus menerus diserang secara bertubi tubi, pedang mereka itu hanya dapat dipergunakan untuk pertahanan, sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk menggerakkan pedang membalas.

Karena ini mereka segera mengeluarkan suara keras dan itulah suara sebagai tanda bagi Siauw-lim Chit-kiam untuk mengeluarkan ilmu yang mereka andalkan, ilmu pedang yang amat ampuh yang khusus diajarkan oleh ketua Siauw-lim-pai kepada tujuh orang tokoh Siauw-lim itu, yaitu Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bihtang). Begitu kedua orang ini mainkan Chit-seng-sin-kiam dengan pedang mereka, tiga orang lawan mereka berseru kaget dan meloncat mundur.

Ilmu pedang Chit-seng-sin-kiam ini memang hebat luar biasa, diciptakan oleh ketua Siauw-lim-pai dengan bantuan suhu-nya yang masih hidup dan sudah berusia tua sekali. Bukan sembarangan ilmu pedang, melainkan ilmu pedang yang digerakkan dengan sinkang yang kuat sehingga sinar pedangnya menjadi bergulung-gulung panjang dan dapat melukai lawan dari jarak jauh. Apa lagi kalau dimainkan oleh ketujuh orang Siauw-lim Chit-kiam, keampuhannya menggila sehingga pernah Siauw-lim Chit-kiam ini dapat menandingi Setan Botak yang terkenaI sebagai seorang di antara datuk-datuk hitam yang sakti. Sungguh pun akhirnya Siauw-lim Chit-kiam terdesak, namun tidaklah mudah bagi datuk hitam itu untuk mencapai kemenangan.

Kini dimainkan oleh orang ke enam dan ketujuh dari tujuh pendekar pedang Siauw-lim itu, sudah cukup hebat sehingga membuat ketiga orang murid Setan Botak terdesak mundur, gentar menghadapi sinar pedang yang berkilauan dan mengandung hawa yang dingin namun berbahaya itu. Dua gulungan sinar pedang itu kini bersatu, merupakan sinar kilat yang membentuk lingkaran-lingkaran aneh mengurung dan menindih tiga orang tokoh hitam yang terpaksa harus meloncat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari sinar pedang yang berbahaya itu.

“Rebahlah!!” Bentakan ini keluar secara berbareng dari mulut Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek.

Sinar pedang mereka tiba-tiba berpisah, terpecah dua dan secepat kilat membabat tangan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang melakukan pukulan mendorong. Kedua orang kakek ini terkejut sekali, cepat menarik kembali tangan mereka, akan tetapi sinar pedang itu dari kanan kiri meluncur ke arah dada mereka!

"Aiiihhhhh...!"

Hek-giam-ong terpaksa mengerahkan tenaga di tangan kanannya, menangkis sinar itu sambil mengerahkan Toat-beng Hwi-ciang. la berhasil menangkis pedang itu, namun lengannya tergores ujung pedang dan terluka sehingga mengeluarkan darah. Pek-giam-ong yang tenaganya tidak sehebat Hek-giam-ong tidak berani menangkis, melainkan cepat membuang diri ke belakang, akan tetapi pundaknya tetap saja kena dlserempet pedang sehingga terluka.

"Hiaaaaattt...!!"

Ma Su Nio menggunakan kesempatan itu memukul dengan kedua tangannya yang merah ke arah lambung kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dengan gerakan otomatis kedua orang pendekar pedang itu menyabetkan pedang mereka ke belakang sambil memutar tubuh.

"Ayaaaaa.....!" Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio menjerit.

Cepat ia menarik kembali kedua lengannya yang berbalik menjadi terancam. la dapat menyelamatkan kedua lengannya, tetapi tubuhnya terhuyung ke belakang dan saat itu dipergunakan oleh Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek untuk menerjang maju, mengirim tusukan maut ke arah tubuh wanita iblis yang amat lihai itu.

"Tranggg…...! Tranggggg…...!!”

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek terkejut sekali karena pedang mereka terpental dan hampir terlepas dari tangan mereka. Terutama sekali Liok Si Bhok yang merasa betapa pedangnya tergetar sehingga setelah tertangkis masih tergetar mengeluarkan suara mengaung, tanda betapa penangkisnya memiliki sinkang yang hebat sekali. Lebih kaget dan heran dia ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu hanyalah sebatang payung di tangan gadis Mancu yang tadi duduk di atas tiang balok melintang. Ada pun yang menangkis pedang Liong Ki Tek adalah sebatang pedang bersinar kuning di tangan pemuda tampan tadi. Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu maklum bahwa mereka terancam bahaya.

Dua orang muda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sedangkan tiga orang murid Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya terluka kecil saja. Bahkan Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio hanya mengalami kekagetan saja, belum terluka. Kalau mereka itu mau pula membantu, tentu mereka berdua akan terancam bahaya maut. Akan tetapi sebagai pendekar-pendekar besar mereka tidak menjadi gentar, bahkan saling berdekatan, berdampingan sambil menyilangkan pedang mereka di depan dada. Liok Si Bhok dengan sikap dan suara tenang bertanya.

"Siapakah kalian orang-orang muda?"

Gadis Mancu yang cantik itu tersenyum, pandang matanya melebihi tajamnya pedang di tangan pemuda itu dan lebih runcing dari pada ujung payung di tangannya. Namun senyumnya amat manis, membuka sepasang bibir yang indah bentuknya, memperlihatkan kemerahan rongga mulut di balik deretan gigi seperti mutiara.

"Memang amat tidak enak mati dalam penasaran. Kalian berdua orang Siauw-lim-pai yang keras hati dan keras kepala sudah menghadapi kematian, agar tidak mati dalam penasaran baiklah kalian mengenal kami. Aku adalah Puteri Nirahai, puteri ke tujuh belas dari Kaisar, ada pun dia ini adalah Ouwyang Seng, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid bungsu namun paling lihai dari Kang-thouw-kwi Gak Liat.”

Kedua orang pendekar pedang itu terkejut. Biar pun mereka belum pernah mendengar nama kedua orang muda ini, namun melihat gerakan dan tenaga sinkang mereka, tentu mereka ini merupakan lawan berat. Apa lagi kalau gadis ini benar benar seorang puteri kaisar, tentu di situ terdapat banyak pengawal-pengawal istana yang setiap saat dapat datang mengeroyok mereka. Mereka tidak takut, akan tetapi ingin sekali mengetahui apa yang menyebabkan puteri ini melakukan semua perbuatan ini.

"Mengapa kalian membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai, melempar mayat mereka di depan kuil dan menggunakan nama Hoa-san-pai?" tanya pula Liok Si Bhok.

"Adik Nirahai, kita bunuh saja mereka!" Ouwyang Seng, pemuda tampan itu berkata sambil mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

Akan tetapi gadis Mancu itu sambil tersenyum menggoyang tangan kirinya yang kecil dan berkulit halus. "Jangan membikin mereka mati penasaran, Ouwyang-twako. Mereka toh pasti akan mati di tangan kita, mengapa tergesa-gesa? Biar mereka tahu lebih dulu akan duduknya persoalan, toh kita tidak usah khawatir kelak roh mereka akan membuka rahasia kepada para pimpinan Siaw-lim-pai dan Hoa-san-pai."

Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu bergidik. Gadis ini bicara dengan sikap dingin, tidak sombong akan tetapi mengandung wibawa yang mengerikan.

"Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dengarlah baik-baik. Tiga orang muridmu itu memang kami yang membunuhnya dan sengaja kami pergunakan untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Akan tetapi siapa nyana, kalian keras kepala dan tidak mau masuk perangkap, bahkan seorang muridmu yang belum mati membuka rahasia sehingga kalian dapat menemukan tempat ini. Sekarang kami hendak membunuhmu, dan akan kami atur agar para pimpinan Siauw-lim-pai menganggap bahwa kematianmu berada di tangan orang-orang Hoa-san-pai. Takkan dapat dicegah lagi, Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai akan bermusuhan, bertanding dan berbunuh-bunuhan sampai keadaan mereka menjadi lemah. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali!"

"Kau! Iblis betina yang keji!" Liong Ki Tek memaki. “Kalau benar engkau ini puteri Kaisar, tentu tahu akan peradaban, kebudayaan dan setidaknya mengenal peri kemanusiaan! Akan tetapi engkau palsu dan keji, lebih patut menjadi puteri siluman!"

"Manusia biadab lancang mulut !” Ouwyang Seng membentak dan hendak menyerang, akan tetapi kembali ia ditahan oleh Puteri Nirahai yang masih tetap tersenyum-senyum dan sedikit pun tidak kelihatan marah. Hal ini saja sudah mengagetkan hati kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Gadis masih begitu muda remaja sudah pandai menguasai perasaan tanda bahwa dia betul-betul memiliki ilmu yang tinggi lahir batin!

"Orang-orang Siauw-lim-pai, pandanganmu amat picik. Aku lakukan semua itu semata-mata demi kepentingan kerajaan Ayahku yang menjadi Kaisar, demi kejayaan bangsaku, demi kemenangan negaraku. Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai diam-diam menentang Kerajaan Ceng, merupakan musuh-musuh, dan karena kedua partai ini amat kuat dan berbahaya maka perlu sekali dibikin lemah. Siasat ini merupakan siasat perang, dan kulakukan dengan dasar berbakti kepada Ayah dan negara, kepada bangsa yang tercinta. Apakah bedanya dengan perbuatanmu menentang kerajaan kami? Kalian melakukan hal itu dengan dalih mengabdi bangsa, aku pun melakukan hal ini dengan dasar mengabdi bangsa, apa bedanya? Perbuatan kalian mungkin dianggap patriotik dan gagah perkasa oleh bangsamu dan kalian dianggap sebagai pahlawan oleh bangsamu. Akan tetapi aku pun dianggap seorang pahlawan wanita oleh bangsaku! Antara kalian dan aku hanya ada satu perbedaan, yaitu perbedaan dalam penilaian. Kalian berjuang untuk kebaikan, aku pun demikian. Yang menjadi pertanyaan besar, apakah itu yang dikatakan kebaikan?"

“Akan tetapi, kami penjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan pantang untuk melakukan siasat-siasat busuk yang hina seperti yang kau lakukan!" kata pula Liok Si Bhok setelah tercengang sejenak mendengar ucapan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun itu.

"Hi-hik..., ucapanmu itu menandakan bahwa engkau bukanlah seorang ahli perang! Mengandalkan kejujuran dan welas asih dalam perang, mana mungkin dapat menang? Perang ialah mengadu siasat, makin keji makin baik, mengadu kekerasan dan kekejaman. Sudahlah, kini bersiaplah kalian untuk mati!

Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba Liok Si Bhok melihat sinar hitam yang lebar sekali mengembang di depannya dan gadis itu tiba-tiba lenyap, kemudian tahu-tahu ujung payung yang runcing telah meluncur secepat kilat menusuk dadanya! Kaget sekali pendekar ini. Namun tidak percuma ia menjadi orang keenam dari Siauw-lim Chit-kiam karena pedangnya sudah bergerak dengan pemutaran pergelangan tangannya, langsung menangkis ujung payung dari samping.

"Cringgggg...!"

Liok Si Bhok terpaksa meloncat ke belakang sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Lengan kanannya seperti kesemutan, pedangnya masih tergetar dan diam-diam ia kaget dan kagum bukan main. Kiranya gadis itu telah menggerakkan payungnya secara luar biasa dahsyatnya. la memandang dengan penuh perhatian.

Senjata itu adalah sebuah payung biasa yang batangnya tentu terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Gagangnya melengkung seperti payung biasa, ruji-rujinya dari baja keras pula dan payungnya dari kain tebal berwarna hijau, ujung batangnya runcing seperti pedang. Tadi ketika gadis itu menyerangnya, payung itu berkembang sehingga menyembunyikan tangan dan tubuh gadis itu dan di sinilah letak kehebatan senjata ini.

Kalau payung berkembang, lengan dan tangan yang memegang payung tersembunyi dan tidak tampak oleh lawan. Padahal, dalam bertanding yang penting adalah memperhatikan gerak lawan yang dapat dilihat sebelum senjata digerakkan dari gerakan tangan, lengan dan pundak. Kalau semua bagian tubuh ini tersembunyi, maka gerakan-gerakan selanjutnya dari lawan takkan tampak dan perkembangan serangannya takkan dapat diduga terlebih dulu.

Sementara itu Ouwyang Seng juga sudah menerjang Liong Ki Tek dengan pedangnya. Liong Ki Tek cepat menangkis, tetapi pada saat pedang bertemu, tangan kiri Ouwyang Seng yang terbuka itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang lebih hebat dari pada ilmu Toat-beng Hwi-ciang dari Hek-pek Giam-ong menyambar ke depan.

"Aihhh...!" Liong Ki Tek cepat loncat ke belakang dan agak terhuyung saking kagetnya.

Ouwyang Seng tertawa mengejek dan menerjang terus ke depan dengan pedangnya, diselingi pukulan-pukulan yang lebih berbahaya dari pada pedang itu sendiri karena pemuda ini menggunakan pukulan sakti Hwi-yang Sin-ciang!

Di dalam jilid-jilid yang lalu banyak diceritakan tentang Ouwyang Seng ini sebagai murid Gak Liat yang lihai dan sejak kecil sudah memiliki watak yang keras dan kejam. Namun di samping watak ini, dia merupakan seorang murid yang amat tekun dan disayang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Maka setelah kini berusia dua puluh tahun, ia telah menjadi seorang murid yang paling pandai di antara semua murid Si Setan Botak! Bahkan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak dapat dimiliki murid-murid lain, telah dikuasai oleh Ouwyang Seng yang ikut berlatih bersama suhu-nya dengan masakan batu-batu bintang. Toat-beng Hwi-ciang boleh jadi amat lihai, dan Hiat-ciang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang, kedua ilmu pukulan yang berdasarkan Yang-kang itu masih kalah jauh!

Setelah dewasa, tentu saja Ouwyang Seng yang terkenal dengan sebutan Ouwyang-kongcu menjadi seorang yang penting kedudukannya dalam tokoh-tokoh pembela Kerajaan Ceng. Ayahnya seorang pangeran yang terkenal juga, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang menjadi seorang di antara para penjilat yang terlihai di dekat Kaisar Mancu. Dan mengingat akan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang-kongcu ini bergerak dalam bidang pengamanan kerajaan terhadap ancaman para pejuang yang bergerak secara rahasia menentang pemerintah Mancu.

Siapakah wanita cantik yang amat hebat itu? Dia memang seorang puteri bernama Puteri Nirahai, puteri dari Kaisar Mancu yang lahir dari seorang selir berbangsa Khitan. Puteri Nirahai ini memiliki kepandaian yang dahsyat, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Ouwyang-kongcu sendiri! Dibandingkan dengan tingkat para tokoh datuk hitam, dia hanya kalah sedikit! Memang sukar untuk dipercaya bagaimana seorang gadis berusia dua puluh tahun telah memiliki ilmu kepandaian sedahsyat itu. Akan tetapi hal ini tidak akan mengherankan orang lagi kalau diingat bahwa dia adalah ahli waris dari kitab pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dari mendiang puteri Ratu Khitan yang dahulu terkenal di seluruh dunia kang-ouw dengan julukan Mutiara Hitam!

Mutiara Hitam adalah seorang pendekar wanita sakti yang amat hebat ilmu kepandaiannya dan memiliki banyak kitab kitab pusaka ilmu silat yang aneh-aneh dan amat tinggi. Kitab-kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) Liu Lu Sian yang bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas yang amat terkenal. Selama puluhan tahun tidak ada kabar ceritanya tentang kitab-kitab itu dan secara kebetulan beberapa buah di antara kitab-kitab itu terjatuh ke tangan Puteri Nirahai inilah.

Di antara ilmu-ilmu silatnya yang hebat, Nirahai dapat mewarisi tiga buah ilmu kepandaian Mutiara Hitam, yaitu pertama adalah Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), ke dua Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis), dan yang ke tiga adalah ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Yang amat hebat adalah ilmu pedangnya Pat-mo-kiam-hoat yang sukar dicari bandingnya karena memang dahsyat dan ganas sekali. Apa lagi gadis ini mainkan ilmu itu dengan senjatanya yang istimewa yang disebut Tiat-mo-kiam (Pedang Payung Besi), maka kehebatannya bertambah.

Dapat dibayangkan betapa lihainya permainan pedang yang tersembunyi di balik payung sehingga lawan tak dapat melihat gerakan-gerakannya. Sebetulnya ilmu ini tadinya merupakan ilmu pedang, akan tetapi dengan senjata seperti itu, sama dengan permainan pedang dibantu perisai, namun disatukan sehingga merupakan senjata yang ampuh dan jika tidak dipakai bertanding, dapat dipergunakan sebagai payung biasa untuk berlindung dari serangan hujan dan panas, juga menambah gaya bagi seorang gadis jelita seperti Nirahai.

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkat ilmu kepandaiannya. Mereka adalah dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, Tujuh Pedang Siauw-lim yang amat disegani orang. Mereka adalah murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai yang selain ahli dalam bermain pedang, juga memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, di samping pengalaman bertanding yang sudah luas.

Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Nirahai dan Ouwyang Seng, sebentar saja dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terdesak hebat. Ilmu pedang yang dimainkan Nirahai dengan senjata payung luar biasa sekali dan tidak sampai lima puluh jurus, Liok Si Bhok yang bertubuh gemuk pendek itu tak mampu balas menyerang lagi karena dari balik payung hitam itu menyambar-nyambar sinar pedang bagaikan sinar kilat dari balik awan hitam yang tebal.

Tiba-tiba Nirahai mengeluarkan suara melengking tinggi. Dari balik payung menyambar sinar berkeredepan yang berbau harum ke arah leher Liok Si Bhok. Tokoh ini terkejut, maklum bahwa itulah senjata rahasia yang amat berbahaya. Dan memang dugaannya benar karena yang menyambar ltu adalah Siang-tok-ciam, segenggam jarum beracun yang berbau harum. Liok Si Bhok cepat mengelak dengan miringkan diri ke kiri, akan tetapi ternyata bahwa serangan jarum itu hanya merupakan pancingan karena kini tahu-tahu ujung payung itu telah menusuk perutnya.

"Cringgggg...!"

Pedang di tangan Liok Si Bhok tergetar, bertemu dengan ujung payung dan melekat! Pada detik berikutnya, dari balik payung itu menyambar kaki Nirahai yang kecil dan bersepatu indah, menendang dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu telah mengenai lambung Liok Si Bhok. Tokoh Siauw-lim-pai yang bertubuh gendut pendek ini mengeluh dan tubuhnya terbanting ke belakang. Dua kali ia masih berhasil menangkis sinar pedang Nirahai, akan tetapi yang ketiga kalinya, tangkisannya meleset dan ujung payung itu menancap memasuki lehernya menembus dari kanan ke kiri. Tanpa sempat berteriak lagi Liok Si Bhok tewas dengan leher hampir putus!

"Ouwyang-twako, jangan robohkan dia dengan sin-ciang! Pukulan itu akan dikenaI orang dan menggagalkan rencanaku!" Nirahai berseru ketika melihat betapa Ouwyang Seng mendesak Liong Ki Tek dengan pedang dan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang.

Ouwyang Seng yang melihat betapa puteri itu telah berhasil merobohkan lawannya menjadi penasaran dan malu. Tanpa mengandalkan Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana ia akan mampu merobohkan lawan yang tangguh ini? Akan tetapi pada saat itu, Nirahai telah menerjang maju dan menyerang Liong Ki Tek dengan payungnya yang hebat itu. Seperti juga Liok Si Bhok tadi, kini Liong Ki Tek terkejut dan bingung menghadapi serangan payung.

Tahulah pendekar ini mengapa suheng-nya tewas di tangan puteri ini, ternyata bahwa senjata payung pedang itu benar-benar sukar dilawan. Ia mengerahkan tenaganya menangkis dan terdengar suara keras diikuti muncratnya bunga api. Dibandingkan dengan suheng-nya, Liong Ki Tek yang tinggi kurus ini memiliki tenaga yang lebih kuat sungguh pun ilmu pedangnya tidak sehebat Liok Si Bhok. Akan tetapi tangkisannya yang mengandung tenaga kuat itu pun tidak mampu membikin payung terpental, bahkan kini pedangnya melekat pula pada ujung payung itu, tak dapat ia lepaskan. Dan saat ini dipergunakan dengan baik oleh Ouwyang Seng yang sudah menusukkan pedangnya ke perut Liong KI Tek sampai tembus ke punggung.

"Ihhh..., kau kasar sekali, Twako!" Nirahai menarik payungnya dan cepat meloncat ke belakang agar jangan terkena semburan darah dari perut Liong Ki Tek.

Ouwyang Seng menjadi merah mukanya. Memang tadi ia menyerang dengan kasar saking gemas dan penasaran bahwa ia harus dibantu oleh gadis ini untuk merobohkan tokoh Siauw-lim-pai ini sehingga kekasaran serangannya itu nyaris mendatangkan noda darah yang menyembur ke luar dari perut Liong Ki Tek pada baju nona itu.

"Sesudah dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tewas, selanjutnya apa yang akan kita lakukan, Adik Nirahai? Kurasa permainanmu terlalu berbahaya sekarang."

Untuk menutupi kenyataannya bahwa dia tidak secepat Nirahai merobohkan lawan, bahkan mendapat bantuan gadis perkasa itu, Ouwyang Seng menekan gadis itu dengan kata-kata yang sifatnya menegur ini. "Mereka adalah dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dan kekuatan Siauw-lim-pai sama sekali tidak boleh dipandang ringan."

Nirahai tersenyum manis. "Tenanglah, Ouwyang-twako dan serahkan saja padaku karena aku telah membuat rencana yang baik sekali, jauh lebih baik dari pada rencana semula. Engkau tahu,Twako. Untuk memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar dan dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam ini merupakan umpan besar sekali yang kematiannya akan membikin geger Siauw-lim-pai dan sekali ini kutanggung bahwa Siauw-lim-pai akan memusuhi Hoa-san-pai sehingga kita tidaklah harus bersusah payah lagi menggempur keduanya.”

Dengan wajah manis dan sikap tenang gadls itu lalu menceritakan rencananya kepada Ouwyang Seng. Pemuda ini mendengarkan penuh perhatian, makin lama makin tertarik dan setelah gadis itu menyelesaikan penuturan tentang rencana dan siasatnya, ia bangkit berdiri dan menjura kepada Nirahai sambi! berkata.

"Wah, engkau hebat sekali, Adik Nirahai! Sungguh mengagumkan! Makin besar dan berbahagialah hatiku kalau aku teringat bahwa engkau yang begini cantik jelita, begini lihai ilmu silatnya, begini cerdik pandai adalah tunanganku..."

"Hemmm, jangan tergesa-gesa, Twako...," Nirahai memotong, sepasang alisnya yang kecil panjang dan hitam itu berkerut, akan tetapi bibirnya yang merah tersenyum tenang.

"Adikku sayang... Nirahai... aku tidak tergesa-gesa. Akan tetapi... bukankah perjodohan kita sudah setengah resmi...?" Ouwyang Seng berlutut dan suaranya gemetar penuh perasaan. "Di antara Ayahmu dan Ayahku....”

Nirahai menundukkan muka memandang wajah pemuda yang tampan itu. Ia suka kepada pemuda yang selalu pandai mengambil hatinya ini, akan tetapi... Ouwyang Seng bukanlah pria yang memenuhi idaman hatinya. "Ouwyang-twako, yang akan berjodoh adalah kita, bukan ayah kita..."

"Nirahai...!" Ouwyang Seng memandang dengan sinar mata penuh cinta kasih dan permohonan sehingga Nirahai menjadi kasihan, mengulurkan tangannya. Ouwyang Seng menangkap jari-jari tangan yang halus meruncing itu dengan kedua tangannya, lalu menciumi jari-jari tangan itu penuh nafsu birahi dan cinta kasih. "Ohhh, Nirahai puteri jelita, pujaan hatiku. Aku cinta padamu....”

Sejenak puteri itu membiarkan jari tangannya dibelai dan dicium, akan tetapi mulutnya berkata halus, "Aku tahu bahwa engkau mencintaku, Twako. Akan tetapi, aku tidak... ah, belum lagi aku dapat menjatuhkan cinta kasihku kepada seseorang....”

"Aku dapat menanti, sayang. Aku dapat bersabar. Akan kunanti dengan penuh harapan berseminya cinta kasih di hatimu terhadap diriku. Nirahai...."

Puteri itu menarik tangannya terlepas dan berkata, biar pun mulutnya masih tersenyum namun suaranya agak dingin, “Cukuplah, Twako. Kita sedang bertugas, dan aku tidak senang bicara tentang hal itu. Harap kau suka mempersiapkan pasukan pengawal dan sediakan dua buah peti mati akan tetapi jangan kelihatan seperti peti mati, melainkan peti untuk mengirim barang berharga. Aku hendak menyampaikan berita kematian ini kepada anak murid Siauw-lim Chit-kiam yang kebetulan berada di kota Kok-lee-bun tak jauh dari sini, kemudian aku akan ke Kwan-teng menemui Tan-piauwsu kepaIa Pek-eng-piauwkiok. Siasatku ini harus berjalan lancar dan harus berhasil,Twako."

Ouwyang Seng adalah seorang pemuda yang cerdik, maka ia dapat menangkap nada suara dingin itu dan tidak berani melanjutkan rayuannya tentang cinta. Ia bangkit berdiri, menghela napas dan berkata, "Baiklah, Adik Nirahai. Aku sudah paham akan rencanamu tadi."

Nirahai lalu berkelebat cepat ke arah belakang kuil tua itu, meloncat ke punggung kuda yang disembunyikan jauh dari situ kemudian membalap untuk melaksanakan siasatnya. Apakah siasat puteri yang cerdik ini? Seperti telah diceritakan di bagian depan, siasatnya mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai ternyata hampir berhasil atau hanya setengah berhasil karena secara tak tersangka-sangka muncul tokoh aneh yang mengacaukan urusan, yaitu Han Han dan Lulu!

Keadaan dalam kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat Siauw-lim-pai dan diketuai oleh Ceng San Hwesio kini diliputi awan kedukaan dan penasaran. Beberapa hari yang lalu datanglah Lauw Sin Lian murid terkasih Siauw-Iim Chit-kiam bersama beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai mengawal sebuah kereta yang membawa dua peti yang terisi mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek! Juga mayat tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai tingkat rendah.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan berduka hati Ceng San Hwesio dan para tokoh Suw-lim-pai ketika melihat dua mayat tokoh Siauw-lim-pai yang telah rusak itu. Mayat-mayat itu cepat diperabukan dan setelah mereka semua berkabung, Ceng San Hwesio lalu mengumpulkan anak murid dan adik-adik seperguruan untuk berunding. Biar pun Lauw Sin Lian terhitung hanya cucu murid ketua Siauw-lim-pai ini, akan tetapi karena tingkat kepandaian Sin Lian sebagai murid terkasih Siauw-lim Chit-kiam sudah amat tinggi dan pula karena gadis ini menjadi saksi utama mengenai bentrokan dengan Hoa-san-pai, maka Sin Lian juga hadir dalam pertemuan besar itu.

"Sungguh tidak nyana sekali Hoa-san-pai menjadi perkumpulan yang rendah dan dapat diperalat oleh kaum penjajah!” Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai mengerutkan alisnya dan mengepal tasbih di tangannya erat-erat, wajahnya yang kurus itu menjadi merah sekali warnanya. "Amatlah keji perbuatan mereka terhadap dua orang muridku itu dan agaknya mereka itu sudah menyatakan permusuhan secara terbuka. Sute, mulai saat ini, harap Sute suka mengatur seluruh anak murid kita untuk melakukan penjagaan ketat siang malam menjaga keamanan kuil. Semua anak murid yang berada di dalam kuil tidak diperbolehkan keluar dan segala bentrokan dengan golongan apa pun juga harus ditiadakan. Selain itu, Sute harap mengutus anak murid untuk mengundang semua saudara dan murid untuk berkumpul di sini, selambatnya sebulan. Sebelum tenaga kita berkumpul semua dan kedudukan kita cukup kuat, jangan ada yang lancang turun tangan terhadap anak murid Hoa-san-pai. Nanti kalau semua tenaga sudah terkumpul, pinceng sendiri yang akan memimpin pasukan Siauw-lim-pai menuju ke Hoa-san-pai dan menuntut balas atas kekejaman Hoa-san pai terhadap kita!"

Kalau seorang ketua perkumpulan besar seperti Siaw-Lim-pai sudah rnenyatakan hendak memimpin sendiri penyerbuan, hal ini menandakan bahwa ketua itu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dan memang demikianlah keadaan Ceng San Hwesio yang sudah marah sekali. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua di antara murid-murid yang paling ia sayang. Kini hwesio tua ini tak mampu lagi mengendalikan kemarahannya melihat murid-muridnya itu tewas dalam keadaan mengenaskan.

Sute-nya, Ceng To Hwesio yang bertugas menjaga kuil dan membantu pekerjaan suheng-nya yang menjadi ketua, juga merupakan guru dan pelatih dari sebagian besar murid-murid Siauw-lim-pai, menarik napas panjang dan berkata.

"Baiklah, Suheng. Penjagaan akan diperkuat, dan pinceng akan mengutus murid-murid mengumpulkan tenaga. Akan tetapi, maaf, Suheng. Mengenai hal yang menyangkut permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai ini, apakah tidak sebaiknya kalau kita bertanya nasihat kepada Supek?"

"Bagaimana kita dapat mengganggu Supek dengan urusan ini? Supek sudah bertahun-tahun bertapa dalam sebuah di antara kamar-kamar penyiksaan diri, tak mau diganggu. Biar pun bagi kita urusan ini adalah urusan besar yang tidak hanya menyangkut nyawa murid-murid kita, juga menyangkut nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, namun bagi Supek yang sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak melibatkan diri dengan urusan dunia, tentu merupakan hal yang tidak ada artinya sama sekali. Tidak, Sute, tidak semestinya kalau kita mengganggu Supek untuk urusan ini. Urusan mengenai Siauw-lim-pai menjadi tugas pinceng sebagai ketua dan tugas semua anak murid Siauw-lim-pai."

"Terserah keputusan Suheng, pinceng hanya mentaati perintah," jawab Ceng To Hwesio yang menjadi tegang hatinya karena maklum bahwa kalau suheng-nya itu mengumumkan perang terhadap Hoa-san-pai, akan terjadi geger dan tentu akan mengambil korban yang banyak sekali di kedua pihak.

"Bagus, Sute. Dan engkau Sin Lian, engkau mengatakan bahwa menurut dugaanmu, kedua orang Gurumu itu terbunuh oleh seorang pemuda bernama Sie Han. Mungkinkah itu? Seorang pemuda dapat membunuh dua di antara tujuh orang Gurumu?"

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong (Kakek Guru). Han Han…eh, Sie Han itu kini ternyata telah menjadi seorang pemuda yang pandai ilmu iblis!"

"Coba ceritakan keadaannya dan bagaimana engkau dapat mengenal dia?"

"Ketika masih kecil, Sie Han ini adalah seorang gelandangan, seorang pengemis yang terlantar. Kemudian Ayah yang menaruh kasihan membawanya dan mengambilnya sebagai murid. Akan tetapi hanya sebentar karena dia itu berkhianat, malah kemudian menjadi murid atau pelayan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat..."

"Omitohud...!" Ceng San Hwesio berseru kaget. Nama tokoh datuk hitam yang ini selalu mengejutkan hati semua orang pandai. "Dia menjadi murid setan itu. Akan tetapi... andai kata benar menjadi muridnya, pinceng tetap masih meragukan apakah bocah itu mampu mengalahkan Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek."

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong. Ketika berusaha menghajar orang-orang Hoa-san-pai dan bergebrak dengan Han Han itu, dalam bentrokan tenaga teecu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang bocah itu melampaui sinkang semua Suhu."

"Omitohud..., mana mungkin...?” Ceng San Hwesio kembali berseru.

"Teecu tidak membohong, Sukong. Ketika itu, teecu menyerangnya dan mengirim pukulan dengan pengerahan lweekang sekuatnya. Pukulan teecu itu adalah jurus Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga) dan dia sama sekali tidak menangkis! Teecu yakin bahwa tujuh orang Suhu tidak akan dapat menerima pukulan itu dengan dada, akan tetapi Han Han menerima dengan dadanya dan akibatnya teecu sendiri yang terbanting roboh dan tangan teecu membengkak!"

"Hemmm...!" Ceng San Hwesio mengulur lengannya ke depan dan membuka tangan dengan telapak di atas. "Coba engkau menggunakan Cam-liong-jiu dengan kekuatan seperti yang kau gunakan memukul bocah itu, dengan mengukur kekuatan pukulanmu dapat kiranya sedikit banyak menilai kepandaiannya."

Lauw Sin Lian maklum akan maksud kakek gurunya itu, maka ia lalu mengerahkan tenaga dan mengayun kepalan tangannya, memukul ke arah telapak tangan kakek tua itu.

"Plakkk!!" Sin Lian merasa betapa kulit tangannya panas dan tergetar, maka ia cepat menarik kembali tangannya.

"Omitohud, sukar dipercaya kalau bocah itu mampu menerima pukulanmu tadi dengan dadanya!" ketua Siauw-lim-pai berseru kaget.

"Memang dia luar biasa, Sukong."

“Kalau murid Hoa-san-pai semuda itu takkan mungkin memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menerima pukulanmu tadi. Akan tetapi kalau dia murid Gak Liat yang menjadi kaki tangan penjajah, bagaimana dia dapat membantu Hoa-san-pai yang selama ini anti penjajah?"

"Siapa tahu Hoa-san-pai menyeleweng atau mungkin hanya Pek-eng-piauwkiok atau sebagian murid Hoa-san-pai saja yang bersekutu dengan kaki tangan penjajah. Urusan ini amat berbahaya, kalau Sukong mengijinkan, biarlah teecu pergi menyusul lima orang Suhu untuk diundang ke sini."

Ceng San Hwesio mengangguk. "Memang semua murid Siauw-lim-pai harus berkumpul. Terutama sekali para Gurumu yang tinggal lima orang itu..." Kakek gundul ini menarik napas duka teringat akan dua orang muridnya yang tewas. "Apakah engkau tahu di mana mereka itu kini merantau?"

“Teecu mendengar bahwa para Suhu merantau ke Telaga Barat, tentu masih berada di sana. Teecu akan menyusul mereka dan menyampaikan berita duka tentang kematian Liok-suhu dan Jit-suhu (Guru ke Enam dan ke Tujuh)."

"Baiklah, Lian-ji (Anak Lian), berangkatlah sekarang juga. Pinceng amat membutuhkan bantuan guru-gurumu."

Pada hari itu juga, berangkatlah Lauw Sin Lian pergi menyusul guru-gurunya untuk menyampaikan berita kematian dua orang gurunya dan undangan ketua Siauw-lim-pai. Selain Sin Lian, berangkat pula murid-murid Siauw-lim-pai yang diutus oleh Ceng San Hwesio untuk mengundang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang kebetulan saat itu sedang melakukan perjalanan, atau yang memang tidak lagi bertempat tinggal di pusat ini.
********************
Beberapa hari kemudian semenjak para murid Siauw-lim-pai pergi melakukan tugas masing-masing menghimpun tenaga yang diundang ke pusat, para hwesio penjaga pintu gerbang Siauw-lim-pai menyambut datangnya dua orang tamu dengan pandangan mata penuh kecurigaan. Tamu ini bukan lain adalah Han Han dan Lulu. Seperti biasa, pemuda ini tenang-tenang saja menghampiri pintu gerbang, diikuti dari belakang oleh Lulu yang juga bersikap tenang.

Dara ini makin cantik jelita saja, apa lagi kini di punggungnya tampak sebatang pedang yang amat indah gagangnya, yaitu pedang pusaka Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu tokoh Hoa-san-pai. Biar pun di luarnya kelihatan tenang, namun di sebelah dalam dada gadis ini terjadi ketegangan karena ia ingin sekali segera bertemu dengan Sin Lian untuk bertanya di mana adanya Lauw-pangcu, musuh besarnya.

SembiIan orang hwesio penjaga yang segera datang ke pintu gerbang itu mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan dan seorang di antara mereka bertanya.

"Ji-wi (Tuan Berdua) hendak mencari siapakah?"

Berbeda dengan Lulu yang memandang ke kanan kiri penuh perhatian, dengan sikap tenang Han Han membalas penghormatan itu, lalu menjawab.

"Saya ingin bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian dan dengan ketua dari Siauw-lim-pai.”

Para hwesio penjaga itu saling pandang. Keadaan pemuda yang aneh ini mencurigakan. Pakaian pemuda ini sederhana dan bersih, akan tetapi rambutnya dibiarkan riap-riapan begitu saja, sungguh mencurigakan, dan lebih-lebih sepasang-mata itu yang amat tajam mengerikan.

“Nona Lauw Sin Lian tidak berada di sini, sedangkan keinginan Kongcu (Tuan Muda) untuk berjumpa dengan Ketua, agaknya hal ini tidak mudah dilaksanakan. Hendaknya Kongcu berdua suka memberi tahukan nama dan keperluan, barulah kami akan menyampaikan ke atasan apakah permohonan Kongcu menghadap dapat dikabulkan."

Han Han mengerutkan alisnya yang tebal, masih dapat menahan kesabarannya, akan tetapi Lulu yang mendengar bahwa Sin Lian yang dicarinya itu tidak berada di kuil itu sudah kehilangan kesabarannya dan ia membentak.

"Wah-wah, seorang pendeta biar pun sudah menjadi ketua, masa lagaknya melebihi seorang raja saja? Orang mau berjumpa saja sukarnya setengah mati!"

Para hwesio penjaga itu memandang dengan muka tidak senang dan wakil pembicara mereka segera menjawab, "Nona, kalau yang kau maksudkan raja penjajah, memang ketua kami jauh lebih tinggi dan terhormat! Ada perkumpulan ada pula peraturan, dan Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang memegang teguh peraturannya, siapa pun tidak berhak melanggarnya!"

"Waduh-waduh, galaknya! Eh, hwesio-gundul, apakah kau ini ber-liamkeng (membaca doa) dan bersembahyang, memantang makanan berjiwa yang enak-enak, bertapa susah payah, hanya untuk belajar galak kepada orang lain? Kalau sikapmu masih galak dan tidak ramah-tamah terhadap orang, tidak baik budi, percuma saja dong rambutmu dibuang! Ternyata kepalamu justru menjadi bertambah panas!"

Sikap dan omongan Lulu yang ugal-ugalan ini membuat para hwesio menjadi merah mukanya, akan tetapi karena kata-kata itu tepat menusuk hati dan merupakan sindiran bagi mereka, sejenak mereka tak mampu membantah. Kalau mereka menuruti nafsu kemarahan, hal ini hanya membuktikan betapa tepatnya ucapan gadis nakal itu. Tetapi kalau tidak marah, hati yang tidak kuat!

"Heiii, dia inilah bocah setan itu! Dia yang membunuh saudara-saudara kita, dia yang membela orang-orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara dua orang anggota Siauw-lim-pai yang bukan lain adalah Liong Tik dan seorang sute-nya, dua orang di antara sembilan murid Sauw-lim-pai yang tidak tewas ketika mengeroyok Han Han.

"Kepung, jangan sampat dia lari!" Liong Tik yang marah sekali melihat musuh besarnya ini telah mengeluarkan senjatanya, sepasang tombak cagak dan para hwesio lainnya telah pula siap dengan senjata masing-masing. Dua orang hwesio sudah berlari masuk memberi laporan.

Han Han masih bersikap tenang, dan Lulu sudah berkata lagi, " Wah, tidak hanya galak, malah agaknya para pendeta Siauw-lim-pai terkenal sebagai tukang mengeroyok orang. Apakah kalian masih belum kapok, hendak mengeroyok Kokoku?"

Han Han berdiri dengan kedua kaki terpentang tegak, dan matanya melirik ke kanan kiri ketika kini berdatangan belasan orang hwesio yang sudah mengurungnya. Ia tidak ingin berkelahi karena kedatangannya lni hendak menjelaskan persoalan yang timbul antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai.

"Bocah iblis, apakah engkau datang hendak mengacau Siauw-lim-pai?" Liong Tik membentak, masih ragu-ragu untuk menyerang karena ia maklum akan kepandaian pemuda itu yang amat menggiriskan hati.

"Cu-wi sekalian harap sabar. Aku datang sama sekali bukan hendak mengacau, bukan pula hendak menimbulkan perkelahian. Aku datang untuk bicara dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan yang baru-baru ini terjadi."

"Engkau sudah membunuh saudara-saudara kami, masih datang hendak bicara dengan ketua kami?" pertanyaan ini timbul dari hati yang terheran-heran.

Alangkah beraninya pemuda ini! Ataukah karena sombongnya maka sengaja datang hendak menantang ketua Siauw-lim-pai?”

Han Han tersenyum dingin. " Kalau aku tidak datang memberi penjelasan, bagaimana urusan dapat dibereskan? Semua terjadi karena salah paham..."

"Jahanam! Sudah membunuh banyak orang, enak saja mengatakan bahwa semua terjadi karena salah paham! Saudara-saudara, mari kita basmi iblis ini!” Liong Tik berkata marah.

Akan tetapi sebelum mereka turun tangan, terdengar bentakan halus. "Para murid Siauw-Lim-pai, minggirlah!"

Mendengar suara ini, para murid yang tadinya mengurung Han Han serentak minggir dan membentuk lingkaran kipas yang lebar. Han Han memandang mereka yang datang dan ternyata dari dalam kuil keluarlah lima orang hwesio yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih. Sikap mereka agung dan kereng, dan seorang di antara mereka pincang kakinya sehingga jalannya dibantu sebatang tongkat. Pakaian mereka sederhana, namun menyaksikan gerak-gerik mereka yang tenang dan kereng, dapat diduga bahwa mereka ini merupakan tokoh-tokoh penting dari Siauw-lim-pai.

Dugaan Han-Han ini memang benar karena lima orang hwesio itu adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio, sute dari ketua Siauw-lim-pai itu. Tingkat kepandaian lima orang hwesio ini sudah tinggi, bahkan tugas mengajar semua murid yang menjadi tugas Ceng To Hwesio diwakili oleh lima orang ini. Biar pun tingkat mereka masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan tingkat Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka terhitung adik-adik seperguruan Siauw-lim Chit-kiam, maka mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga di Siauw-lim-pai.

Han Han yang dapat mengenal orang-orang pandai segera rnengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata, " Saya Sie Han dan adik saya Lulu mohon perkenan Losuhu sekalian agar dapat bertemu dan bicara dengan ketua Siauw-tim-pal dan dengan Nona Lauw Sin Lian."

Lima orang hwesio itu tadi sudah mendapat laporan bahwa yang datang ini adalah pemuda lihai yang membantu Hoa-san-pai dan yang telah membunuh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, bahkan yang mungkin juga menjadi pembunuh dua orang suheng mereka, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Kini melihat betapa pemuda itu masih amat muda, mereka sudah terheran-heran sekali, apa lagi menyaksikan sikap pemuda ini yang sopan santun, mereka menjadi ragu-ragu dan hampir tidak percaya bahwa seorang pemuda seperti ini dapat memiliki kepandaian yang tinggi.

Mereka segera membalas penghormatan Han Han karena biar pun tamu itu masih muda, adalah menjadi kewajiban para hwesio untuk bersikap hormat dan lemah lembut kepada siapa saja.

"Sicu hendak bertemu dengan murid kami Lauw Sin Lian?" berkata seorang di antara mereka yang mukanya kurus. "Sayang sekali, Nona Lauw sedang melakukan tugas ke luar kota, tidak berada di sini. Akan tetapi Supek kami, ketua Siauw-lim-pai, berada di dalam. Kalau Sicu berdua hendak menghadap Supek, silakan masuk."

Han Han mengangguk dan hatinya lega. Kiranya tokoh-tokoh Siauw-lim-pal adalah orang-orang gagah yang mudah diajak urusan, tidak seperti anak buahnya tadi yang bersikap kasar, sungguh pun ia dapat memaafkan kekasaran mereka kalau ia ingat bahwa dia telah membunuh tujuh orang saudara mereka. Dengan langkah lebar dan tenang ia memasuki pintu gerbang didahului oleh lima orang hwesio itu. Lulu menyentuh tangan Han Han dari belakang sehingga pemuda itu menengok dan memandangnya.

Gadis itu berbisik, "Koko, aku merasa khawatir sekali. Jangan-jangan kita masuk perangkap mereka.”

“Nona, kami menjunjung tinggi kegagahan dan kebenaran, anti akan segala kejahatan dan kecurangan. Tidak perlu khawatir!" terdengar jawaban dari hwesio pincang bertongkat yang masih berjalan di depan, tanpa menengok. Dapat mendengar bisikan Lulu yang begitu perlahan cukup membuktikan betapa tajam pendengaran para hwesio ini.

Rombongan lima orang hwesio yang mengantar Han Han dan Lulu itu kini memasuki ruangan depan kuil besar yang menjadi pusat perkumpulan Siauw-lim-pai itu. Bersih dan luas sekali ruangan itu dan dari situ tampak meja sembahyang di sebelah dalam, yaitu di dalam ruangan sembahyang yang kelihatan tenang dan sunyi, yang mengebulkan asap tipis berbau harum dari mana terdengar lirih suara hwesio bemyanyi dan berdoa. Ada pun para hwesio lain yang menjadi anak buah dan bertugas menjaga hanya berkumpul di pekarangan depan, tidak diperkenankan masuk karena kini dua orang tamu itu telah berada di dalam tangan lima orang hwesio kepala ini.

Dengan sikap tenang akan tetapi alis berkerut karena dapat menduga bahwa para hwesio Siauw-lim-pai ini menyambutnya dengan penuh kecurigaaan dan sikap bermusuhan, Han Han memasuki ruangan depan yang bersih ltu, diikuti oleh Lulu yang sikapnya biasa saja, bahkan gadis itu seperti biasa tidak dapat menahan rasa ingin tahunya dan menonton ke kanan kiri memandangi keadaan di situ.

"Sicu dan Nona, silahkan masuk ruangan di sebelah, para pimpinan Siauw-lim-pai telah menanti di sana. Pinceng berlima hanya bertugas mengantar Ji-wi (Anda Berdua) sampai di luar pintu sidang pengadilan," berkata hwesio pengantar, sedangkan empat orang hwesio lainnya hanya berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.

Han Han mengerutkan alisnya yang hitam dan hatinya merasa tidak enak mendengar bahwa ia dipersilakan masuk ‘ruangan sidang pengadilan’ ini.

"Koko, jangan percaya kepada mereka ini!" kata Lulu. "Biar kita menanti di sini saja dan suruh mereka panggil keluar Lauw Sin Lian dan ketua mereka!"

"Mengapa mesti takut? Kita adalah tamu dan tamu harus tunduk akan peraturan tuan rumah. Kalau mereka menghendaki dengan penyambutan besar-besaran, biarlah, Adikku. Mari kau ikut aku, tak usah takut.”

“Siapa takut?" Lulu menjebikan bibirnya. "Aku hanya berhati-hati, bukannya takut!"

Dengan langkah lebar dan dada terangkat, Han Han dan Lulu memasuki pintu yang menembus ke ruangan samping yang sesungguhnya adalah ruangan terbesar karena ini adalah ruangan lian-bu-thia (belajar silat) yang luas sekali.

Begitu Han Han dan Lulu memasuki ruangan ini, tampak oleh mereka sepasukan hwesio muda berdiri berbaris di tengah ruangan. Mereka terdiri dari tiga belas orang, berdiri dengan sikap berbaris, bertangan kosong dan nampaknya kuat-kuat. Lengan baju mereka digulung sampai ke siku dan mereka berdiri dengan bhesi (kuda-kuda) yang amat kuat, yaitu kuda-kuda Ji-ma-she dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua kepalan tangan di kanan kiri lambung.

Tiga belas orang hwesio muda itu hanya berdiri dalam keadaan siap sarnbil memandang ke arah Han Han, tanpa mengeluarkan kata-kata, tanpa bergerak. Han Han tidak tahu harus berbuat apa karena barisan ini menghalang di jalan. Akan tetapi terdengarlah suara kereng dari mulut seorang hwesio tua yang berdiri di sudut, hwesio tua yang bermata tajam dan suaranya nyaring.

"Khong-jiu-tin (Barisan Tangan Kosong) Siauw-lim-pai merupakan ujian pertama bagi orang yang berani minta berjumpa dengan ketua Siauw-lim~pai!"

Mendengar ini Lulu meloncat maju dan menudingkan telunjuknya yang kecil runcing kepada hwesio tua ini sambil memaki, "Hwesio busuk! Orang mau berjumpa dengan ketua Siauw-lim-pai pakai diuji segala macam! Peraturan apakah ini? Hayo suruh minggat barisan yang tiada gunanya ini, dan panggil ketuamu ke sini untuk bicara dengan Koko-ku!"

Hwesio tua itu yang sesungguhnya adalah Ceng To Hwesio mengerutkan keningnya dan matanya memandang marah. "Nona, pernah ada jaman di mana wanita dilarang masuk ke kuil Siauw-lim-si dengan ancaman hukum mati. Pinceng akan senang sekali kalau peraturan itu kini masih berlaku. Sayang kini peraturan diperlunak dan kalau kalian tidak berani menghadapi ujian kami, lebih baik pergi saja dari sini.”

"Eh, hwesio sombong, siapa yang tidak berani? Biar ditambah lima kali ini, aku tidak takut!" Lulu sudah bergerak maju hendak menerjang barisan itu.

Tiba-tiba tiga belas hwesio itu menggerakkan kaki dan menggeser kaki kiri ke belakang mengubah kuda-kuda. Gerakan mereka itu mantap dan kuat, juga amat rapi sehingga Han Han yang melihat ini cepat berkata.

"Lulu, mundurlah. Kalau memang begini peraturan Siauw-lim-pai, biar kucoba menghadapi tin (barisan) ini."

Lulu melangkah mundur dan mengomel, "Hemmm, hwesio-hwesio sial. Sekali ini agak baik nasib kalian sehingga tidak jadi mati di tanganku. Kakakku terlalu baik hati untuk membunuh kalian sehingga kalian hanya akan luka-luka ringan saja. Kalau aku yang maju sendiri, jangan tanya-tanya lagi tentang dosa!"

Biar pun sikapnya masih kekanak-kanakan namun Lulu sebetulnya adalah seorang yang cerdik dan dapat menyembunyikan kecerdikannya di balik sikap kekanak-kanakannya. Ia sudah mengenal watak kakaknya yang setiap kali berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dalam sebuah pertandingan lalu timbul watak beringas dan kejam seolah-olah haus darah dan ia tahu pula bahwa pihak lawan tentu akan roboh tewas kalau bertemu dengan kakaknya yang luar biasa. Dia tidak menghendaki kakaknya menjadi seorang kejam yang membunuhi manusia seperti membunuh semut saja, maka tadi ia sengaja berkata demikian untuk mengingatkan Han Han agar tidak membunuh lawan.....

Han Han mengerti akan sindiran Lulu maka ia berkata, "Lulu, tewas atau luka dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting, kalau sampai terjadi pertandingan, hal itu bukanlah kehendak kita, melainkan dikehendaki oleh para hwesio ini. Minggirlah!”

Lulu minggir dan Han Han lalu melangkah lebar menghampiri barisan yang sudah siap menyambutnya. Dengan sinar matanya Han Han menyapu barisan itu dan diam-diam ia merasa amat kagum karena sikap dan kedudukan pasangan kuda-kuda tiga belas orang hwesio yang rata-rata berusia tiga puluh tahun itu amatlah kuat dan kokoh seperti batu karang. Dari pasangan kuda-kudanya saja dapat diketahui bahwa Siauw-lim-pai memiliki murid-murid yang baik-baik dan ilmu silat Siauw-lim-pai bukan omong kosong belaka.

"Majulah!" Han Han berseru dan menerjang maju, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dilambaikan ke depan dari kanan kiri.

Ia tidak ingin menyerang lebih dulu dan ingin sekali menyaksikan bagaimana kehebatan Khong-jiu-tin ini. Setelah belajar ilmu di Pulau Es, Han Han amat suka melihat ilmu silat dan ingin sekali meluaskan pengalamannya dengan menyaksikan ilmu-ilmu silat didunia kang-ouw.

"Sambut serangan!" Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga belas buah mulut secara serentak dan bergeraklah tiga belas orang hwesio itu menyerang Han Han. Gerakan mereka amat cepat, langkah-langkah mereka teratur, pukulan-pukulan yang dilancarkan mantap dan kuat.

Han Han menggunakan ginkang-nya, Tubuhnya ringan bagaikan tubuh seekor walet saja, dan dengan kecepatan yang mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang menyerangnya. Akan tetapi betapa pun cepat gerakannya, ia tak dapat mengatasi kecepatan gerakan tiga belas orang sekaligus. Apa lagi ketika tiga belas orang itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan kepandaian perorangan, tetapi bergerak menurut ilmu barisan yang aneh dan hebat. Ke mana pun Han Han mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong hwesio lain yang disusul dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi Han Han seolah-olah tidak ada jalan ke luar lagi.

Terpaksa pemuda ini menggunakan lengannya menangkis. Beberapa kali saja Han Han menangkis, terdengar seruan-seruan kesakitan dari para hwesio yang tertangkis lengannya, dan segera gerakan para hwesio itu berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka tertangkis lagi! Tiap kali lengan mereka ditangkis, mereka sudah menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh hwesio lain.

Han Han makin kagum. Sudah beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk ketika beberapa buah pukulan para pengeroyoknya tak dapat ia elakkan dan terpaksa ia terima dengan tubuhnya yang sudah kebal. Ia maklum bahwa andai kata ia tidak memiliki sinkang yang jauh lebih tinggi sehingga dia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi sinkang, dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang, kiranya ia akan celaka di tangan tiga belas orang ini.

Kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukarlah menandingi barisan yang hebat ini. Ia mulai memperhatikan gerakan mereka dan mengertilah ia bahwa sesungguhnya Khong-jiu-tin yang terdiri dari pada tiga belas orang itu adalah dua macam barisan yang digabung menjadi satu. Pertama barisan Pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang, ke dua barisan Ngo-heng-tin yang terdiri dari lima orang. Kedua barisan itu kadang-kadang melakukan gerakan terpisah saling membantu, kadang-kadang membentuk lingkaran dengan Pat-kwa-tin di sebelah luar dan Ngo-heng-tin di sebelah dalam.

Karena dalam hal ilmu silat Han Han memang belum dapat dikatakan mahir, menghadapi kedua barisan yang digabung merupakan Khong-jiu-tin yang mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Lo-han-kun yang amat hebat dari Siauw-lim-pai ini, tentu saja Han Han tidak mampu melawannya. Terpaksa ia harus mengandalkan sinkang-nya yang membuat tubuhnya kebal dan menerima belasan kali pukulan-pukulan keras sebelum ia sempat melihat jalannya barisan yang amat mengagumkan itu.

Karena khawatir kalau-kalau pukulan-pukulan yang makin berbahaya melanda tubuhnya, Han Han mengerahkan khikang-nya, mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua lengannya mendorong ke arah lawan yang mengeroyok dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang. Dapat dibayangkan betapa hebatnya dorongan-dorongan tenaga Im-kang ini kalau diingat bahwa bertahun-tahun pemuda ini melatih diri di Pulau Es yang amat dingin, sehingga ia telah dapat menyedot inti sari hawa dingin, membuat Im-kang-nya yang dipelajari menurut kitab-kitab Ma-bin Lo-mo menjadi hebat, lebih hebat dari Swat-im Sin-ciang milik Ma-bin Lo-mo sendiri!

Terdengar keluhan-keluhan ketika tiga belas orang itu terhuyung-huyung dan roboh semua dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan! Untung bahwa Han Han teringat akan sindiran Lulu tadi sehingga ia tidak menurunkan tangan maut, membatasi tenaga dorongannya sehingga darah tiga belas orang itu tidak membeku.

"Omitohud... luar biasa...!" terdengar Ceng To Hwesio berseru.

Tiga belas orang hwesio anggota barisan Khong-jiu-tin itu saling bantu dan mundur. Tempat mereka kini diganti oleh sebuah barisan lain yang terdiri dari sembilan orang hwesio-hwesio tua berusia antara lima puluh tahun, rata-rata bertubuh kurus kering dan kelihatannya lemah sekali.

"Eh, hwesio curang! Sudah jelas barisan tadi tidak mampu menahan Kakakku, sekarang hwesio-hwesio tua kurus kering ini mau coba lagi?" bentak Lulu yang menghampiri kakaknya dan mengusap-usap leher kanan Han Han yang agak merah karena tadi terpukul, bahkan sebelah kanan bibirnya pecah dan berdarah sedilkit, bajunya robek-robek.

"Koko tidak sakitkah?"

Han Han menggeleng kepala dan dengan halus mendorong tubuh adiknya ke pinggir sambil berkata, "Lulu, tenanglah. Barisan yang datang ini lebih berat."

"Apa? hwesio-hwesio kurus kering ini? Jumlahnya pun hanya sembilan orang, Sekali dorong saja roboh Tak usah di dorong, kau tiup saja mereka akan roboh semua, Koko! Mereka ini hanyalah penderita-penderita penyakit encok dan batuk!"

Ceng To Hwesio tldak rnempedulikan ulah dan kata-kata kakak beradik itu, lalu berkata dengan suara nyaring. "Ujian pertama dapat dilalui, ujian kedua menyusul. Lo-han-tin (Barisan Orang Tua) dari Siaw-lim-pai, hadapilah, orang muda!"

Barisan ini jauh sekali bedanya dengan barisan Khong-jiu-tin tadi. Kalau barisan pertama tadi terdiri dari hwesio-hwesio yang bertubuh tegap dan gerakan mereka mantap mengandung tenaga kuat, barisan ke dua ini terdiri dari hwesio-hwesio tua yang lemah sedangkan gerakan mereka pun kelihatan tak bertenaga. Namun Han Han yang biar pun belum berpengalaman namun sebagai seorang ahli sinkang dan karena sudah banyak membaca kitab-kitab ilmu silat tinggi, dapat menduga bahwa barisan ini terdiri dari ahli-ahli sinkang yang tak boleh dipandang ringan.

Dugaannya memang benar. Sembilan orang ini adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio dan tingkat mereka hanya sedikit lebih rendah dari pada tingkat lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio yang tadi menjadi pengantar kedua orang muda itu dan yang kini tidak tampak lagi.

"Hemmm, beginikah peraturan Siauw-lim-pai? Kurasa hanya ditujukan kepada tamu-tamu yang tak dikehendaki saja," kata Han Han sambil tersenyum mengejek. "Para Losuhu, kalau tidak malu mengeroyok seorang muda, majulah!"

Sembilan orang hwesio itu adalah sebuah barisan yang hanya mentaati perintah, maka tentu saja tidak mengandung perasaan pribadi dan ucapan Han Han itu tidak membuat mereka menjadi rikuh. Kini bahkan mereka bergerak maju dan mulai mengurung, lalu mengirim serangan-serangan yang kelihatannya lambat, namun sesungguhnya cepat dan dahsyat sekali, jauh lebih berbahaya dari pada penyerangan Khong-jiu-tin karena kini setiap pukulan mengandung tenaga lweekang yang hebat.

Melihat pukulan-pukulan yang berbahaya ini Han Han cepat meloncat ke atas dan ia pun mengerahkan sinkang di tubuhnya, berjungkir balik di udara. Kini tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan didorongkan, lalu ditarik kekanan kiri untuk menangkis sambutan para pengeroyoknya yang sudah mengirim pukulan-pukulan pula. Begitu hawa pukulan itu bertemu dengan hawa sinkang yang keluar dari kedua lengan Han Han, sembilan orang kakek itu terhuyung dan mereka berseru heran. Akan tetapi mereka sudah menerjang maju lagi dan kini gerakan tangan mereka mengeluarkan angin sebagai tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada pada diri mereka.

Seperti juga tadi ketika menghadapi pengeroyokan Khong-jiu-tin, Han Han tidak dapat melawan iImu silat Lo-han-kun yang dimainkan sembilan orang ahli itu. Biar pun ia sudah mempergunakan ginkang-nya sehingga kadang-kadang tubuhnya lenyap dari pengurungan sembilan orang hwesio itu, dan sudah mempergunakan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis, namun tetap saja masih ada beberapa buah pukulan yang ‘mampir’ di tubuhnya. Dan kali ini pukulan-pukulan yang mengenai tubuhnya sama sekali tidak boleh disamakan dengan pukulan-pukulan barisan pertama tadi karena pukulan-pukulan kali ini adalah pukulan yang mengandung tenaga lweekang.

Biar pun tubuh Han Han amat kebal karena kuatnya sinkang-nya, dan memang ternyata bahwa tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari pada para pengeroyoknya, namun pukulan-pukulan itu masih menggetarkan isi dada dan isi perutnya sehingga sebuah pukulan yang cukup keras pada dadanya membuat darah mengucur keluar dari mulutnya! Dia tidak terluka, akan tetapi getaran dan goncangan itu ditambah pukulan yang mampir dl lehernya membuat mulut dan hidungnya berdarah.

Marahlah Han Han, kemarahan yang tidak dibuat-dibuat, yang timbul dengan sendirinya, yang membuat mukanya tampak bengis, sepasang matanya menyorotkan pandang mata seperti kilat, penuh kebencian dan penuh nafsu membunuh. Semua wajah para pengeroyoknya seolah-olah berubah menjadi wajah-wajah tujuh orang perwira Mancu yang membasmi keluarganya sehingga menimbulkan kebencian yang meluap-luap di dalam hatinya, mendatangkan nafsu membunuh. Ia mengeluarkan suara teriakan melengking yang terdengar mengerikan, lalu tubuhnya digoyang seperti seekor harimau menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu, kemudian ia menerjang maju dengan kedua tangan menyambar-nyambar kedepan.

"Koko... jangan...!!” Lulu berteriak ngeri menyaksikan keadaan kakaknya itu.

Han Han dapat mendengar jerit ini dan untunglah demikian, karena kedua tangannya yang menyebar maut dengan pukulan-pukulan Swat-im Si-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang secara berganti-ganti itu dapat ia tahan kekuatannya sehingga sembilan orang hwesio itu hanya terjengkang dan muntah-muntah darah, terluka parah akan tetapi tidak ada yang tewas

“Omitohud...!” Ceng To Hwesio berseru marah. “Kejam sekali engkau...!”

Pada saat itu dari luar menyambar sinar-sinar berkeredapan dan ternyata lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio sudah muncul sambil menyambitkan senjata rahasia mereka ke arah Han Han. Hal ini mereka lakukan bukan sekali-kali untuk bermain curang, melainkan terdorong oleh kekhawatiran dan karena mereka ingin menolong para sute mereka agar jangan sampai dipukul lagi oleh Han Han. Mereka mengira bahwa pemuda itu tentu akan membunuh semua sute mereka yang sembilan orang itu.

"Hwesio-hwesio curang!" Lulu sudah mencabut pedangnya. Sinar hijau menyilaukan mata berkelebat dan semua senjata rahasia yang disambar sinar ini menjadi patah-patah seperti buah-buah mentimun bertemu pisau yang amat tajam.

"Cheng-kong-kiam !" teriak hwesio pincang bertongkat ketika melihat pedang itu.

"Omitohud kiranya benar-benar murid Hoa-san-pai yang mengacau! Tangkap!" bentak Ceng To Hwesio ketika mengenal Cheng-kong-kiam sebagai pedang pusaka Hoa-san-pai. Memang pedang di tangan Lulu itu adalah Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu dan pedang ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sehingga para hwesio Siauw-lim-pai juga mengenalnya.

Lima orang hwesio itu menyerang hebat, mengurung Han Han dengan menggunakan senjata mereka. Si Pincang menggunakan tongkatnya, dua orang hwesio menggunakan toya yang sudah mereka pegang ketika mereka muncul, sedangkan yang tertua dan yang nomor dua memegang pedang. Serangan mereka itu biar pun tidak sehebat ilmu pedang Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka adalah tokoh tokoh Siauw-Lim-pai tingkat tinggi, tentu saja serangan mereka ini hebat bukan main.

Dalam hal kekuatan singkang, boleh jadi Han Han yang telah memiliki tenaga mukjizat itu sukar ditandingi para hwesio yang mendapat sinkang melalui latihan wajar, tidak seperti Han Han yang berlatih dengan cara-cara golongan sesat. Akan tetapi dalam hal iImu silat, Han Han sunguh ketinggalan jauh kalau dibandingkan dengan lima orang hwesio murid Ceng To Hwesio itu.

Ada pun Lulu yang juga memiliki tenaga sinkang yang tidak lumrah kalau dibandingkan dengan gadis seusia yang sejak kecil belajar silat, dan telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali, namun dia kurang mendapat bimbingan yang benar sehingga ilmu pedangnya yang amat indah dan tinggi mutunya itu kekurangan isi. Tentu saja dia pun bukan lawan tokoh-tokoh Siaw-limpai itu.

Si hwesio tua yang pincang kakinya menghadapi Lulu dengan tongkatnya. Ternyata hwesio ini bukan main ketika bergerak menerjang Lulu dengan tongkat di tangan. Gerakannya gesit dan biar pun kakinya cacat, namun dia mampu bergerak melebihi kecepatan orang yang tidak cacat. Terdengar suara keras ketika Lulu menangkis dengan pedangnya. Ujung tongkat kayu itu terbacok putus sedikit saking tajamnya pedang pusaka Hoa-san-pai itu, akan tetapi telapak tangan Lulu tergetar hebat saking kuatnya tongkat di tangan hwesio pincang.

"Nona muda, lebih baik engkau menyerah saja. Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang adil dan tentu akan mengadakan sidang pengadilan yang tidak sewenang-wenang. Melawan pun tiada gunanya,” hwesio pincang itu berkata dengan suara halus. Dia seorang tokoh Siuw-lim-pai yang berilmu tinggi, sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw sehingga kini merasa sungkan untuk bertanding melawan seorang gadis remaja yang lebih cocok menjadi cucu muridnya!

"Hwesio sombong, apa kau kira akan dapat mengalahkan aku? Lihat pedang!" Lulu berteriak marah dan pedangnya sudah berkelebat menyambar lagi, merupakan segulungan sinar hijau yang lebar dan panjang.

"Omitohud, orang muda yang bersemangat baja!" Hwesio pincang itu berseru, tidak marah karena sebagai seorang hwesio tentu saja ia telah memiliki kesabaran besar, bahkan ia merasa kagum menyaksikan sepak-terjang gadis cantik ini.

Cepat ia menggerakkan tongkatnya dan sekejap kemudian bertandinglah mereka dengan hebat. Biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun hwesio pincang itu harus bersilat dengan amat hati-hati karena ginkang gadis itu sudah mencapai tingkat yang tinggi pula, membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet. Hwesio ini juga harus waspada terhadap tenaga sinkang yang tersembunyi di tangan halus gadis itu, yang memegang pedang pun tak boleh dipandang ringan.

Sementara itu, Han Han juga mengamuk, dikeroyok oleh empat orang hwesio lain. Agaknya para hwesio itu tidak ingin gagal untuk memenuhi perintah suhu mereka, yaitu menangkap Han Han. Maka mereka berempat maju serentak dengan tangan kosong, membiarkan hwesio pincang seorang diri menghadapi Lulu yang mereka pandang rendah. Mereka sudah mendengar akan kelihaian Han Han ini dan karena Han Han telah membunuh orang-orang Siauw-lim-pai secara mengerikan, bahkan disangka membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu saja mereka maklum bahwa pemuda ini amat lihai, maka mereka maju mengeroyok dan berlaku hati-hati sekali.

Pening rasa pandang mata Han Han ketika ia melihat gerakan para pengeroyoknya yang selain cepat juga amat mantap itu. Ke mana pun ia menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang atau Swat-im Sin-ciang, selalu serangannya dapat dihindarkan keempat orang hwesio itu yang cepat mengelak dan sama sekali tidak berani menangkis. Memang dahsyat serta mengerikan sekali sambaran kedua tangan Han Han ini, kadang-kadang mengandung hawa yang panas seperti api membara, kadang-kadang dingin seperti es.

Ilmu silat yang dimainkan oleh empat orang hwesio itu adalah ilmu silat tinggi Siauw-lim-pai yang amat terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Dibandingkan dengan Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan oleh barisan Khong-jiu-tin yang tadi mengeroyoknya, memang tidak ada bedanya, akan tetapi kini dimainkan dengan tenaga yang jauh lebih kuat dan gerakan yang lebih mantap.

Seperti juga tadi, Han Han tidak dapat mempertahankan dirinya, tidak dapat menghindarkan diri dari gebukan-gebukan dan tendangan-tendangan yang tentu akan membuatnya roboh pingsan sekiranya dia tidak memiliki tubuh yang penuh dengan hawa sinkang yang amat kuatnya. Beberapa kali ia kena dijotos dadanya sampai tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan, namun setiap kali ia bangkit lagi dan mengamuk lebih hebat lagi.
Setelah berkelahi, hawa yang aneh memenuhi tubuh Han Han. Matanya berubah beringas, wajahnya merah menyeramkan, mulutnya yang berdarah itu membayangkan kekejaman dan nafsu membunuh, hidungnya yang juga berdarah itu berkembang-kempis, matanya seperti mata harimau gila, kerongkongannya mengeluarkan suara rnenggereng-gereng dan kadang-kadang melengking-lengking.

Empat orang hwesio murid Ceng To Hwesio kagum bukan main dan berkali-kali mereka mengeluarkan seruan terkejut saking herannya melihat betapa pemuda itu dapat menerima hantaman mereka tanpa mengalami cedera atau terluka sedikit pun. Setiap kali menerima pukulan, hanya sedikit darah mengalir dari mulut atau hidungnya. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda remaja memiliki kekebalan seperti itu!

Sungguh pun tubuh Han Han tidak sampai terluka di sebelah dalam, namun sesungguhnya Han Han menderita bukan main. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tidak karuan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan telinganya mendengar suara mengiang-ngiang tiada hentinya. Kemarahannya memuncak. Ketika empat orang hwesio itu untuk ke sekian kalinya menerjang maju dari empat jurusan, ia sengaja tidak mau mengelak lagi, juga tidak menangkis hanya menanti sampai pukulan mereka tiba.

Tiba-tiba Han Han mengeluarkan suara melengking tinggi. Tangan kirinya menghantam ke kiri dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang sedangkan tangan kanan menghantam ke kanan dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Karena pemuda ini sengaja mengorbankan tubuhnya menjadi sasaran dan berbareng pada detik itu mengirim pukulan-pukulan, maka terdengar jerit mengerikan ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran.

Hwesio di sebelah kirinya roboh dengan muka biru dan darah membeku sedangkan yang berada di sebelah kanannya roboh pula dengan muka menjadi hitam gosong seperti terbakar! Akan tetapi dia sendiri pun menerima pukulan-pukulan yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntahkan darah segar yang banyak juga!

"Koko...!" Tiba-tiba Lulu menjerit dan Han Han cepat menengok.

Ternyata bahwa pedang adiknya itu telah terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan tangan adiknya itu. Ia melihat Ceng To Hwesio menggerakkan tangan seperti melambai dan... pedang adiknya itu terbang ke arah tangan Si Hwesio yang membentak marah.

"Bocah setan, engkau kembali membunuh dua orang murid pinceng! Kau tidak boleh dibiarkan hidup lagi!”

Kini mereka semua menyerbu mengeroyok Han Han. Ceng To Hwesio dan muridnya yang tinggal tiga orang karena hwesio pincang itu setelah melihat dua orang sute-nya tewas lalu meninggalkan Lulu dan ikut mengeroyok Han Han.

Tidak seperti tadi ketika dilkeroyok empat orang hwesio bertangan kosong, kini Han Han dikeroyok empat orang hwesio yang semuanya bersenjata. Hwesio pincang memegang tongkat, dua orang hwesio lain memegang toya dan Ceng To Hwesio memegang pedang Cheng-kong-kiam dari Hoa-san-pai,

Dalam kemarahannya, Han Han tldak takut menghadapi bahaya apa pun juga. Ia menjadi nekat dan memutar kedua lengannya, mengirim pukulan-pukulan dengan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang yang dahsyat sehingga empat orang hwesio itu tidak berani terlalu mendekatinya.

"Omltohud... keji sekali...!" Ceng To Hwesio berseru dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau menuju pusar Han Han.

Pemuda itu terkejut. Cepat ia melompat ke atas seperti terbang saja dan pada saat itu, tongkat hwesio pincang menyambar kakinya. Namun Han Han menggerakkan kaki menendang sehingga tongkat itu hampir terlepas dari tangan pemegangnya. Pada saat itu sinar hijau berkelebat ke lehernya. Han Han membuang tubuh ke belakang, namun masih saja pedang itu menyerempet pundaknya sehingga bajunya berikut kulit dan sedikit daging pundak robek dan berdarah.

"Koko...!" Lulu menjerit dan menubruk Han Han, matanya melotot memandang empat orang hwesio itu dan mulutnya memaki-maki.

"Hwesio-hwesio jahat! Beginikah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tukang keroyok dan tukang bunuh?”

Melihat gadis itu yang melindungi tubuh Han Han, empat orang hwesio itu menjadi sungkan untuk menyerang. Han Han tidak ingin melihat adiknya terancam bahaya, maka ia lalu meraih pinggang adiknya dibawa meloncat sambil membentak.

"Minggir kalian!!”

Bentakan Han Han Ini mengandung suara aneh yang memiliki pengaruh mukjizat. Tanpa mereka ketahui mengapa, empat orang hwesio itu segera mundur ke pinggir dan membiarkan Han Han lewat bersama Lulu. Setelah pemuda itu berlari ke depan, memasuki kuil, barulah Ceng To Hwesio berseru.

"Omitohud..., mengapa kita diam saja...?" Ia amat terkejut, demikian pula tiga orang muridnya dan serentak mereka mengejar ke dalam kuil.

Han Han berkelebat cepat memasuki kuil sampai ke ruangan belakang. Ternyata kuil itu luas sekali dan mempunyai banyak ruangan. Melihat betapa para hwesio kosen itu mengejar, Han Han berlari terus sambil menarik tangan Lulu. Karena para pengejarnya yakin bahwa pemuda itu tidak dapat meloloskan diri, apa lagi kalau dilihat kenyataannya bahwa Han Han malah lari memasuki kuil, maka mereka ini agaknya tidak mau ribut-ribut, dan mengejar seenaknya saja.

Han Han yang menggandeng Lulu terus lari sampai di ruangan belakang yang amat luas. Tampak banyak daun-daun pintu tertutup dan ketika Han Han tiba di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa.

"Orang muda yang diperalat iblis berlututlah dan menyerah!"

Han Han dan Lulu mengangkat muka ke atas karena suara jtu seperti datang dari atas, akan tetapi di atas tidak tampak apa-apa kecuali langit-langit rumah. Ketika mereka menoleh ke kiri, ternyata di situ telah berdiri seorang hwesio tua bermuka kurus bertubuh kecil jangkung yang berwajah angker penuh wibawa.

Hwesio kurus ini kepalanya gundul kelimis, alisnya tebal dan kumis jenggotnya jarang, tangan kirinya memegang seuntai tasbih dan pakaiannya sungguh pun sederhana namun masih jelas berbeda dengan pakaian para hwesio lain, juga kepalanya diikat tali dengan ‘hiasan’ benda kecil runcing seperti jimat di atas kepala. Hwesio ini adalah Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang memandang Han Han dengan sinar mata penuh teguran.

Han Han menarik tangan Lulu hendak lari ke luar lagi. Melihat hwesio tua itu, Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuhnya, Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya sudah tiba di situ dan berdiri memenuhi ambang pintu yang menuju ke luar. Mereka berempat ini memandang dengan sinar mata penuh kemarahan.

"Suheng, dia inilah bocah yang telah membunuh murld-murid Siauw-lim-pai, bahkan di luar tadi telah membunuh dua orang muridku. Mohon keputusan ketua !" berkata Ceng To Hwesio sambil menahan kemarahannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin ia turun tangan terus membunuh bocah itu, akan tetapi karena yang berkuasa memutuskan sesuatu adalah Ceng San Hwesio sebagai ketua Siauw-lim-pai, ia menahan kemarahannya dan menyerahkan keputusannya kepada Ceng San Hwesio.

"Omitohud, mala petaka menimpa Siauw-lim-pai tiada henti-hentinya... semoga Tuhan mengampuni kita sekalian...!” Ceng San Hwesio menekan kemarahannya dan berdoa, kemudian memandang kepada Han Han sambil berkata, "Orang muda, engkaukah yang bernama Sie Han, pemuda yang telah membunuh murid-murid pinceng Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, kemudian membunuh pula beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan kini bahkan membunuh dua orang murid keponakanku? Heh, orang muda yang berhati kejam, apakah sebabnya engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Apakah engkau murid Hoa-san-pai?”

Han Han menjura penuh hormat setelah kini ia tahu bahwa hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai. "Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan tidak tergesa-gesa sepertl yang lain menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan. Saya bukanlah murid Hoa-san-pai, juga tidak mempunyal hubungan apa-apa dengan Hoa-san-pai. Ada pun tentang pembunuhan yang saya lakukan terhadap anak murid Siauw-lim-pai ketika mereka bentrok di hutan dengan murid-murid Hoa-san-pai tidak perlu saya sangkal, dan memang saya melakukan pembunuhan itu sungguh pun hal itu bukan menjadi kehendak saya. Juga tewasnya dua orang hwesio yang mengeroyok saya di luar itu terjadi bukan atas kehendak saya. Akan tetapi tentang kematian dua orang murid Locianpwe, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, saya tidak tahu-menahu dan justru kedatangan saya ini hendak menjelaskan semua duduknya perkara sehingga timbul bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang kemudian menyeret diri saya sebagai orang luar karena kebetulan saja dan karena salah pengertian sebagai korban dari tipu muslihat keji seorang Puteri Mancu."

"Orang muda, setelah membunuh sekian banyaknya murid-murid Siauw-lim-pai, engkau datang ke sini dengan alasan hendak memberi penjelasan, akan tetapi sambil membunuh pula dua orang murid Siauw-lim-pai lainnya. Begitukah caramu hendak memberi penjelasan? Apakah engkau hendak menghilangkan dosa dengan pembunuhan lain lagi?"

"Maaf, Locianpwe. Sudah kukatakan tadi bahwa tewasnya Losuhu di luar itu bukanlah kehendak saya. Saya dikeroyok dan mereka berkeras menolak keinginan saya bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian dan dengan Locianpwe sebagai ketua untuk memberi penjelasan, akan tetapi mereka menggunakan kekerasan. Terpaksa saya melawan untuk membela diri dan akhirnya dua di antara para losuhu tewas..."

"Suheng! Setan cilik ini telah menginjak-injak kehormatan Siauw-lim-pai serta telah membunuh dengan cara keji tujuh orang murid-murid Siauw-lim-pai, kemudian sekarang membunuh pula dua orang murid tingkat pertama, bahkan kematian Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek tentu akibat perbuatannya pula karena memang dia memiliki ilmu setan. Harap Suheng sekarang memberi keputusan agar saya dapat turun tangan menangkap atau membunuhnya," kata Ceng To Hwesio yang merasa marah sekali atas kematian dua orang muridnya yang tersayang.

Tidak hanya Ceng To Hwesio yang merasa sakit hatinya oleh kematian para murid Siauw-lim-pai. Biar pun ketua Siauw-lim-pai sendiri, Ceng San Hwesio, juga merasa sakit hati. Tetapi sebagai seorang ketua yang berpikiran luas dan berpemandangan jauh ia tidak mau bertindak sembrono. Urusan Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai jauh lebih penting dan lebih besar dari pada urusan dendam terhadap orang muda ini, pikirnya. Maka ia menindas perasannya dan bertanya.

"Orang muda she Sie, engkau hendak menyampaikan penjelasan tentang sebab-sebab bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, penjelasan yang kau awali dengan pembunuhan baru lagi. Penjelasan apakah gerangan? Coba kau sampaikan kepada pinceng untuk dlpertimbangkan."

Han Han maklum bahwa keadaannya terhimpit dan terancam. la malah merasa pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, sedangkan Lulu yang memegang lengannya dari belakang kelihatan pucat dan tangan gadis itu agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang dan takut.

Kenyataan bahwa kedatangannya ini menimbulkan pembunuhan-pembunuhan baru membuat perkara menjadi makin ruwet. Akan tetapi karena memang hatinya tidak mengandung pamrih apa-apa, tidak pula mempunyai niat untuk menonjolkan atau menguntungkan diri sendiri, melainkan hanya bertindak untuk membela diri dari serangan-serangan maut, dengan suara tenang ia lalu berkata.

"Locianpwe, semua peristiwa yang terjadi sehingga mengakibatkan korban-korban yang tewas di antara murid-murid Siauw-lim-pai dan juga Hoa-san-pai adalah disebabkan oleh siasat adu domba yang amat licin dari seorang puteri Mancu yang bernama Puteri Nirahai. Mula-mula terjadi pembunuhan atas diri dua orang Locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam yang merupakan rahasia, akan tetapi yang pertama kali membawa datang kedua jenazah itu adalah Puteri Nirahai itulah." Kemudian dengan tenang Han Han menceritakan semua peristiwa yang didengarnya dari pihak Hoa-san-pai tentang pengiriman peti oleh puteri Mancu, dan betapa peti-peti itu dikawal oleh murid Hoa-san-pai kemudian di tengah jalan dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai sehingga terjadi pertempuran.

"Saya dan adik saya kebetulan lewat di tempat pertempuran dan karena saya mengira bahwa murid-murid Siauw-lim-pai adalah perampok-perampok yang hendak merampas kereta yang dikawal Pek-eng-piauwkiok, saya lalu membantu Pek-eng-piauwkiok dan dalam pertandingan itu saya dikeroyok dan akibatnya tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang saya kira perampok itu tewas. Setelah muncul Nona Lauw Sin Lian yang saya kenaI di waktu kecil, yang membuka dua peti terisi jenazah, barulah saya menjadi kaget dan kembali saya salah sangka, mengira bahwa pihak Hoa-san-pai yang jahat dan turun tangan membunuh dua orang pimpinan Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Saya sudah menjelaskan persoalan ini kepada pimpinan Hoa-san-pai, dan biar pun hasilnya tidak begitu memuaskan, saya tetap mendatangi Siauw-lim-si untuk memberi penjelasan pula kepada ketua Siauw-lim-pai dan kepada Nona Lauw Sin Lian. Sungguh menyedihkan bahwa kedatangan saya dikeroyok dan akibatnya dua orang murid Siauw-lim-pai tewas. Sekarang terserah kepada keputusan Locianpwe."

Ceng San Hwesio diam-diam terkejut sekali dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bohong tidaknya cerita yang ia dengar dari mulut pemuda aneh ini. Kalau tidak bohong, benar-benar Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai terancam kehancuran kalau melanjutkan permusuhan yang dijadikan umpan perpecahan oleh pihak penjajah. Akan tetapi siapa tahu kalau cerita itu hisapan jempol belaka? Pemuda ini amat aneh dan lihai, siapa dapat menjenguk isi hatinya?

"Suheng, harap jangan percaya dia! Masih ingat pinceng akan cerita Sin Lian bahwa bocah ini adalah murid Kang-thouw-kwi Gak Liat dan tadi pun dia mengeluarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Tentu kedua orang murid Suheng dia pula yang membunuhnya!" Ceng To Hwesio berkata, bukan untuk memanaskan hati suheng-nya, melainkan karena ia menduga keras bahwa Han Han adalah seorang musuh besar.

Sinar mata Ceng San Hwesio berkilat. “Hemmm, Gak Liat manusia yang keji dan jahat. Sekarang muridnya lebih kejam lagi.... Omitohud! Sie Han, kau lebih baik menyerahkan diri, jangan melawan. Kau harus menjadi tawanan kami untuk kemudian diperiksa lebih lanjut.”

"Locianpwe, sebagai seorang ketua perkumpulan besar, apakah Locianpwe tidak dapat menggunakan kebijaksanaan? Kakakku tidak bersalah, memaksa diri datang kesini untuk memberi penjelasan agar jangan terjadi permusuhan berlarut-larut antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Akan tetapi sampai disini malah hendak ditawan. Hayo kembalikan pedangku dan biarkan kami berdua pergi dari sini kalau Locianpwe tidak suka mendengarkan penjelasan Kakakku!" Lulu yang tadinya kelihatan takut-takut itu kini melangkah maju dan bicara dengan suara membentak-bentak kepada ketua Siauw-lim-pai .

Jari-jari tangan kiri Ceng San Hwesio menggerak-gerakkan tasbihnya ketika ia memandang Lulu, alisnya berkerut dan ia bertanya halus, "Nona muda, siapakah namamu?"

"Namaku Lulu dan aku adalah adik Kakakku Han Han ini."

"Nona bukan murid Hoa-san-pai?"

"Bukan, juga Kakakku bukan murid Hoa-san-pai, bukan pula murid Gak Liat.”

Bibir hwesio tua itu tersenyum. "Hem, Nona bicara tidak karuan. Kalau bukan murid Hoa-san-pai, bagaimana pedang Cheng-kong-kiam bisa berada di tanganmu? Pedang itu adalah pedang pusaka Hoa-san-pai dan biasanya hanya dipergunakan oleh pihak pimpinan Hoa-san-pai."

"Ohhh, itu? Pedangku yang dirampas oleh hwesio jahat ini? Sama saja dengan hwesio itu, Locianpwe, aku merampas dari tosu Hoa-san-pai.”

"Hemmm, merampas dari tosu Hoa-san-pai?"

"Apa bedanya dengan hwesio ini? Dia pun merampas pedangku! Aku diserang tosu Hoa-san-pai dan aku merampas pedangnya."

Tiba-tiba Ceng To Hwesio maju dan berkata, "Nona muda yang lancang mulut. Benarkah engkau Adik pemuda ini? Pinceng tidak percaya!"

Lulu membelalakkan matanya kepada hwesio yang dibencinya itu, yang telah memegang pedangnya. "Kau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku adalah adik angkat Kakakku ini dan aku tidak membutuhkan kepercayaanmu!"

"Suheng, gadis ini adalah keturunan Mancu!" tiba-tiba Ceng To Hwesio berkata. "Lihatlah matanya, lihat hidungnya, dagunya. Dia berdarah Mancu!”

" Memang aku gadis mancu, habis engkau mau apa?" .

"Omitohud... kalau begitu benar. Mereka adalah mata-mata penjajah yang dipergunakan untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Bocah kejam, terpaksa pinceng turun tangan kepadamu!" Ceng San Hwesio berseru.

Tiba-tiba Ceng San Hwesio menggerakkan kaki maju dua langkah, tangan kanannya mendorong ke depan, mencengkeram ke arah pundak Han Han.

Ketika mendengar suara mencicit keluar dari tangan ketua Siauw-lim-pai, pemuda yang sudah sakit-sakit rasa tubuhnya ini terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuh agak merendah, dan dengan nekat ia mengangkat tangan menangkis ke arah tangan hwesio yang terulur itu.

" Plakkk!”

"Omitohud... menakjubkan!" Ceng San Hwesio berseru dan meloncat ke belakang untuk mematahkan daya dorong yang dapat merusak kuda-kuda kakinya.

Akan tetapi Han Han terpental ke belakang dan roboh terguling-guling. Ternyata bahwa dalam hal tenaga, bahkan kakek ketua Siauw-lim-pai ini sendiri tak mampu mengatasi Han Han. Akan tetapi karena kakek ini amat lihai, ketika tangan mereka bertemu tadi Ceng San Hwesio telah menggerakkan pergelangan tangan hingga Han Han terdorong dari samping dan kena dilontarkan ke belakang!

"Kalian benar-benar menghendaki nyawaku? Hemm... majulah, aku Sie Han bukannya orang yang takut mati!" bentak Han Han. Kemarahannya membuat wajahnya menjadi merah sekali dan kelihatannya beringas menyeramkan, sinar maut terpancar dari sepasang matanya.

Ceng San Hwesio maklum bahwa anak muda ini benar-benar merupakan bahaya dan bahwa kalau dia sendiri tidak turun tangan, tentu akan sukar bagi murid-muridnya menundukkan Han Han tanpa mengorbankan nyawa banyak anak murid Siauw-lim-pai lagi. Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia berpantang membunuh, akan tetapi karena maklum bahwa pemuda ini sukar dikalahkan dan memiliki sinkang yang amat luar biasa, ia lalu melangkah maju, siap menurunkan tangan menyerang. Juga Ceng To Hwesio bersama tiga orang muridnya sudah maju mengurung Han Han yang beringas dan marah, sedangkan Lulu masih berdiri terbelalak penuh kekhawatiran memandang kakaknya.

Keadaan itu amat menegangkan, terutama sekali bagi Lulu yang seolah-olah melihat betapa kakaknya yang tercinta itu hendak disembelih, hendak dibunuh di depan matanya. Ia amat bangga dan yakin akan kelihaian kakaknya, tetapi kini ia mengerti bahwa kakaknya bukanlah lawan hwesio-hwesio yang sakti ini. Ia pun bersiap-siap untuk menyerbu untuk membela kakaknya.

Kalau sampai kakaknya tewas, ia pun tidak mau hidup lebih lama lagi, ia ingin mati di samping kakaknya. Dalam detik seperti itu terasa benar di hati Lulu betapa ia mencinta kakaknya, betapa di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa lagi, betapa hidupnya akan kosong dan hampa kalau Han Han mati. Perasaan ini seperti duri-duri menusuk jantungnya, membuat Lulu tanpa disadarinya memekik nyaring.

"Koko...! Aku ingin mati bersamamu...!”

Jeritan melengking yang keluar dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran hebat. Ceng San Hwesio bersama sute-nya dan tiga orang muridnya yang telah siap menerjang maju membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini. Mereka adalah hwesio-hwesio yang berilmu, hwesio-hwesio yang mengutamakan kebajikan yang penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup.

Mereka sama sekali bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh nafsu kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini dilakukan dengan perasaan demi menjaga keutuhan dan kelangsungan Siauw-lim-pai yang terancam kedudukannya. Kini mendengar lengking itu, hati mereka tertusuk dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.

Pada detik-detik yang sunyi itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran pula.

"Siancai..., hidupnya belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di dalam tanah, busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada gunanya seperti kayu habis dimakan api...! Omitohud... Ceng San..., apa yang hendak kau lakukan di luar? Ke sinilah segera!"

Begitu mendengar suara ini, lima orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan muka menghadap daun pintu tertutup, dari mana mengepul ke luar asap dupa harum itu. Kemudian Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya yang masih berlutut itu melayang ke arah daun pintu. Tangan kanannya mendorong daun pintu hingga terbuka, dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika daun pintu itu mulai menutup kembali.

Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biar pun Ceng San Hwesio sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut kalau ia melawan Ceng To Hwesio, apa lagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu dan berlarilah Han Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.

"Hei, berhenti kau...!” Ceng To Hwesio membentak.

Ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali Han Han mendengar suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti yang amat kuat. Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang, kemudian ia membalik sambil menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak dinding akan tetapi malah dekat dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik tangan adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin memuncak.

"Koko, kita ke mana ?" tanya Lulu terengah-engah.

"Biarlah... akan kucari Ceng San Hwesio... kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa dengan ketua Siauw-lim-pai..., mati di tangannya tidak penasaran.”

"Koko...!" Lulu menjadi pucat, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi menghadapi pintu, hatinya menjadi lega.

Memang tidak seorang pun hwesio Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang daun pintunya berjajar di ruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar yang disebut ‘ruangan penyiksaan diri’ dan merupakan tempat terlarang bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara supek-nya memanggil, Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu. lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar Han Han dan Lulu yang memasuki kamar terlarang ini.

Dengan alis berkerut dan wajah masih beringas, darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai akibat gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala berdenyut-denyut, Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang lengannya oleh Lulu yang memandangnya penuh kekhawatiran. Han Han seperti terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju menempuh asap dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul ke luar.

Ia melangkah ke ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang terasa perih karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti terpesona, Han Han memandang ke dalam kamar sedangkan Lulu yang juga memandang ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di kamar itu, kemudian memandang kakaknya dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang kakaknya turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio tua itu?

Ternyata Han Han tidak turun tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan dan pendengaran di dalam itu. Di atas sebuah dipan bambu sederhana duduk seorang hwesio yang amat tua, begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya gundul halus mengeluarkan sinar. Alis, kumis dan jenggotnya seperti menjadi satu berjuntai ke bawah berwarna putih. Mukanya tunduk dan matanya terpejam, tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah kipas daun.

Hwesio ini duduk bersila dan di sebelah kirinya, di dekat kaki dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka pula seorang hwesio lain yang keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio ini pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio tua di atas dipan. Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu dengan sikap penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa kecuali dipan itu dan sebuah meja kayu di mana terdapat sebuah guci air.

Terdengar oleh Han Han suara yang halus seperti suara yang tadi keluar dari daun pintu bersama asap dupa. Sungguh pun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa itulah suara hwesio tua yang bersila diatas dipan.

"Jangan menilai perbuatan orang lain yang tidak patut mau pun dosa-dosa dan kejahatan orang lain, melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu diperhatikan. Harum semerbaknya bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum semerbaknya nama baik seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti dionggokan sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang murid Buddha tetap bijaksana seperti teratai di antara orang-orang sesat. Wahai, Ceng San, apakah engkau sudah melupakan semua pelajaran itu?"

Han Han terpesona, tak berani bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan mendengarkan kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek itu, mengenal kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri tidak mengerti, mendengar kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini, terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona dan ingin mendengarkan terus.

"Teecu selalu ingat akan semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akan tetapi, Supek, urusan yang melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak berdasarkan dendam kebencian melainkan karena ingin menjaga nama besar Siauw-lim-pai. Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Couwsu kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa besar terhadap Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai, murid-murid pilihan Siauw-lim-pai telah dibunuh orang. Kini pembunuhnya muncul pula di kuil kita dan membunuh lagi murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan mengajak datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah teecu bersikap dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu dari permukaan bumi agar perbuatan-perbuatannya tidak menimbulkan mala petaka yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti itu?"

Terdengar suara halus itu keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu mengeluarkan nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han Han:

Si dungu dengan perbuatannya
mencipta diri sendiri
menjadi musuh banyak manusia
di mana pun dia melakukan kejahatan
yang menimbulkan banyak penderitaan.
Tidak benarlah perbuatan
yang menimbulkan duka nestapa
penyesalan, ratap tangis dan air mata.
Benarlah perbuatan
yang mendatangkan manfaat
kegembiraan dan kebahagiaan.

Biar pun ucapan itu ditujukan kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam sanubari Han Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya, apakah selama ini perbuatannya itu benar? Ia mengangapnya benar, akan tetapi melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia menjadi ragu-ragu.

Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang untung, gembira dan bahagia oleh perbuatannya? Tidak ada! Siapa yang rugi? Yang jelas saja, Hoa-san-pai memusuhinya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai juga memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini menjadi sakit hati dan membencinya!

Dengan hati perih seperti ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.

"Aduh, Locianpwe yang mulia..., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang boanpwe lakukan..., mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum..."

Lulu juga ikut berlutut, bukan untuk menghormat kakek itu, melainkan untuk merangkul pundak kakaknya dengan penuh kekhawatiran. "Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah apa-apa, engkau tidak melakukan kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko..., kalau mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi saja!" Suara Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan air mata.

"Diamlah, Lulu, diamlah.... Biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan kau juga perlu mendengarkan, Lulu...," kata Han Han tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek tua renta yang masih menunduk.

Sementara itu, tanpa mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan suara penasaran, "Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa keputusan teecu untuk membunuh pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu mengambil keputuan berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid Gak Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu sendiri, Bi-kiam Bhok Khim, maka berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia baik-baik...”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding tebal di sebelah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun. Keadaan wanita itu sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compang-camping, rambutnya panjang riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga memakai pakaian hitam yang tidak karuan bentuknya, kakinya telanjang dan rambutnya pun panjang.

"Hi-hi-hik! Biar gurunya jahat, muridnya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang jahat. Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak jahat. Sama sekali tidak.... Dahulu dia inilah yang berani menentang setan itu untuk menolongku."

Sementara itu, Ceng San Hwesio memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat menekan kekagetannya dan berkata, "Bhok Khim...! Kau... kau... dan anak itu..."

Wanita itu membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri aneh ketika ia berkata, "Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia ini anakku! Hi-hik, engkau ketua Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini Siauw-lim-pai tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan membunuhnya." Sambil berkata demikian, tubuhnya membalik dan berkelebat cepat sekali pergi dari ruangan itu.

"Supek, apakah artinya itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu...?” Ceng San Hwesio bertanya kepada supek-nya.

Hwesio tua itu menarik napas panjang lalu terdengar suaranya, "Kehendak Thian tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw Lam, dan keadaan jiwanya yang tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan membikin geger. Ceng San muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim tadi. Betapa pun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng, sebaiknya membebaskan orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah kepadamu. Nah, cukuplah pinceng bicara."

Ceng San Hwesio memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Mukanya agak keruh ketika ia berkata, "Mendengar perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan perintah supek, teecu akan membebaskan dia dan gadis Mancu itu untuk sekali ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para murid-murid, teecu tidak mungkin dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan, tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh dia." Setelah berkata demikian, kembali Ceng San Hwesio memberi hormat kepada supek-nya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu dengan wajah muram.

"Siancai..., siancai..., lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw Lam, tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah antara dua kekuatan raksasa lahir dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa menoleh kepada Siauw Lam Hwesio, yaitu hwesio pelayan yang masih duduk bersila. Kini terdengar suaranya yang pertama kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.

"Karena sifatnya bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justru keadaan hidup yang membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia adalah menyesuaikan dan menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."

"Baik sekali pendapatmu, Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang kau kehendaki?"

Han Han yang sejak tadi masih berlutut, lalu menjawab, "Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang menimbulkan mala petaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon petunjuk Locianpwe apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang penuh pertentangan ini."

Kini tubuh hwesio tua itu bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han. Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han ketika dari balik garis mata itu menyambar keluar sinar mata yang lembut dan tenang sekali, setenang lautan yang luas. Sejenak mereka saling pandang. Kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat di umpamakan api bernyala-nyala, maka sinar mata kakek itu seperti air yang tenang dan dingin. Di dalam sinar mata Han Han terdapat pengaruh mukjizat yang membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa kuatnya sehingga kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk kepada orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa ini, mengeluarkan suara halus penuh kekaguman.

"Siancai... patut dikasihai orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasihat kepadamu. Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kirimu. Dan kedua, belajarlah mengalah terhadap siapa pun juga. Nah, pergilah orang muda."

Han Han masih berlutut, mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek itu.Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan tetapi bagaimana kini kakek itu memberi nasihat seperti ini kepadanya? Disuruh membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar mengalah ia masih dapat menerimanya, akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?

"Eh, hwesio tua, kiranya engkau pun sama saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang di sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan dengkinya di balik kepala gundul dan pakaian pendeta? Hanya orang gila yang menasihati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang gila pula yang akan menuruti nasihat gila itu!" Lulu membentak dan kini bangkit berdiri, menarik tangan kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula.

Akan tetapi kakek yang dimakinya itu telah bersemedhi pula dan sama sekali tidak terpengaruh, wajah yang seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat muka dan tiba-tiba matanya terbuka sambil berkata.

"Nona, memang dunia ini seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka sendiri. Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami.”

Lulu menjadi makin marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api menyerangnya, akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia merasa benar. "Memang penuh orang-orang gila dan kalian lebih gila dari pada orang-orang gila!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini? Apakah manfaatnya bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa gunanya bagi manusia lain? Paling-paling berguna dan bermanfaat bagi diri kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan....”

“Lulu, diam...!" Han Han terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio tua yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik tangan adiknya diajak berlari ke luar dari kamar itu. Mereka berdua terus berlari ke luar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian terus ke ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka semua seolah-olah tidak melihat dua orang muda yang berlari ke luar itu. Yang membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa tidak menghentikan tugas mereka, dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.

Han Han menggandeng tangan Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil. Setelah mereka memasuki sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya yang terguncang. Biar pun ia tidak menderita luka parah, akan tetapi tubuhnya terasa sakit-sakit, sungguh pun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti rasa perih dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di dalam kamar penyiksa diri yang seolah-olah membuka mata batinnya, betapa sepak terjangnya selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa mudahnya ia membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi bingung.....
********************
Sebuah negara betapa kecil pun, takkan mungkin dapat ditundukkan dan dijajah negara lain yang lebih besar apa bila rakyatnya bersatu-padu dan berjiwa patriotik, memiliki rasa cinta kasih dan setia bakti kepada tanah airnya. Sebaliknya, betapa pun besarnya negara itu, kalau rakyatnya tidak bersatu, dan banyak pula yang berjiwa pengkhianat, negara besar ini mudah saja dijajah oleh negara yang jauh lebih kecil.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Tiongkok merupakan negara amat besar yang rakyatnya selalu bertentangan sendiri satu kepada yang lain. Perang saudara tak pernah berhenti karena oknum-oknum yang memperebutkan kedudukan. Apa bila ada negara asing yang datang menyerbu dan menjajah barulah bersatu, melupakan permusuhan antara saudara sendiri dan bersama-sama menghadapi musuh asing. 

Sayang sekali, begitu musuh asing dapat diusir keluar dari tanah air, pertentangan satu sama lain timbul kembali, memecah-mecah kekuatan mereka sehingga memungkinkan masuknya kekuatan asing lain lagi ke dalam negeri.....

Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-09
LihatTutupKomentar