Pendekar Super Sakti Jilid 16

Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmm, ia kini meragukan hal itu.
Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!
Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.

“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat.

Han Han berkata, suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat. “Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”

“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?”

Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali.

Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan tidak dibunuh.

Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mukjizat.

Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang halus. Ia membalik, menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!

“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak tahu malu...!”

Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona... eh... apa maksudmu...?”

“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?!”

Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!

“Eh...! Eh, apa kau gila...?”

Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar...!”

Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya. Ia berkata tanpa menengok.

“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”

Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya. Biar pun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.

“Sudah... sudah kupakai...”

Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku... aku memang kurang ajar, biadab... selamat tinggal...!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.

“Eh, nanti dulu...!”

Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apa lagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah... ayah...” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu.

Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.

“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali...”

Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.

“Kau...! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?”

Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sinkang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya.

Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah!

“Plak-plak-plak...!”

Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han tertarik dan kagum.

Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Lian sungguh pun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki ginkang cukup hebat, sungguh pun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!

“Eh, di mana kau...?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh, menghilang? Kau setankah...?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.

Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biar pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.

“Stopp...! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”

Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!

“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak pernah kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”

Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan... tidak mengenal budi!

“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkanlah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”

“Kau mengejek, ya? Biar pun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”

Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitu pun tidak betul. Lebih baik tak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, tetapi mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.

“Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?”

Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biar pun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.

“Jadi engkau tidak mengejek aku?”

Han Han menggeleng kepala.

“Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?”

Han Han menggeleng kepala.

“Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?”

Han Han mengangguk.

Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. “Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?”

Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!

“Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”

Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!

Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku... maafkan bahwa aku telah salah duga... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi... mata In-kong... sungguh... mengerikan hatiku...” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis.

Biar pun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis ini pun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.

“Nona Tan, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”

Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk. “In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?”

Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, “Tentu saja. Marilah, Nona.”

Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!

Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, dengan suara penuh duka Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.

“Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).”

Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.

“Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”

Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).

“Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan.”

Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biar pun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna dari pada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itu pun seorang gadis Mancu pula?

Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya!

Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!

Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya mengucur turun mengalir di kedua pipinya. “In-kong... engkau... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku, In-kong... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi... kiranya In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”

Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”

Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri. “Baiklah, In-kong...”

Hian Ceng lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sinkang-nya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!

Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.

Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa
tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga
Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai
tiga pahlawan patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!

“Indah sekali... ah, In-kong hebat luar biasa...!” Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.

“Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”
“Akan tetapi... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak. 

Ayahnya adalah seorang ahli lweekeh, memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga lweekang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.

“Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”

Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sinkang, tongkat dipantulkan dan... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!

“Ahhh... awas! In-kong...!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!

“Bukan main...!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu In-kong akan ke sana, bukan?”

Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang wajah gadis itu melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu. Cepat ia berkata.

“Tidak, Nona. Aku... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku... aku hendak mencari adikku.”

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat... yang budiman, tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya, In-kong?”

“Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun dia lenyap... Sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil...”

Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana, In-kong?”

“Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu...”
“Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.
“Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu...”

“Ah...! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”

“Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat...”
“Wah, In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”

Han Han mengangguk. “Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian...”
“Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.

Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang. “Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggota Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho...”

“Aaahhhhh...!”
“Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.”
“Ahhhhh...!”

Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat...!”

Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-loncat dan melayang-layang.

“Heiii... eeeiiitttt... eh, kita terbang...!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.

“Waduhhhh... hebat sekali... eiiihh, ngeri... terlalu tinggi kita meloncat... aihhhhh!” Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!

Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”

Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”

Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.

“Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”
“Ah, adikmu tentu cantik jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng saat mereka melanjutkan perjalanan.
“Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona.”
“Dan dia tentu amat lihai.”
“Memang dia amat lihai!”
“Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”
“Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”

Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”

Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?” Dia benar-benar tidak mengerti karena biar pun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!

“In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”

Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi. “Oh... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.”

“Akan tetapi dia cantik manis...”
“Engkau juga... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati...”

Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan keras.”

Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”

Gadis itu mengangguk. “Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”

Han Han bergidik. Dia teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.

“Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?”
“Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”
“Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa...”

“Bagi yang tidak mengerti bagaimana mengakalinya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...,” dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, “kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”

Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru.

“Kau maksudkan sungai itu, Nona?”
“Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”
“Naik perahu?”
“Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api...!”

“Habis, bagaimana?” Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi ‘pemimpin’!

“Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam.

Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.

Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.

“Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.

Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, “Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itu pun tidak ada gunanya bagi kita.”

Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis. Jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini.

Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu birahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya.

Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itu pun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!

“Lalu... bagaimana...?” bisiknya.
“Kau pandai renang... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa...” Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.

Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.

“Akan tetapi memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”

Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!

“Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”

Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya. “Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air.”

Han Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh di dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar, seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. 

Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan mencari batang pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap.

Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya!

Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.

“Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.
“Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”

Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya!

Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air di bagian itu kuat juga.

Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?

Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengan Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.

“Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”

Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!

Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat betapa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng.

Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengan tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.

“Kita harus membawa mayat mereka ke tepi. Kalau terhanyut, kita celaka...,” kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.

“Biarkan aku melempar mereka ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!

Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.

“Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!”

Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan makhluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.

“Heiiiiii...! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!

“Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.

“Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”

“Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”

“Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”

Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.

Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han dapat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.

“Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.

“Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”

“Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.” Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian.

Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke mana pun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar!

Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biar pun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biar pun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.

“In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!” Ia lalu berlari-lari cepat.

Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu. Kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!

Tak lama kemudian kedua orang ini tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera.

“Lihatlah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san di barat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itu pun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san.”

Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.

“Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwang-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biar pun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.”

“Dan kau sendiri, Nona?”
“Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”
“Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”

“Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”

Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.

Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih.

Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di atas dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.

“In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”

Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. “Tidurlah, Nona.”

“Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.”

Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni.

Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin.....!!

Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.

“Huhhhhh... dinginnnnn...!” Suara Hian Ceng membangunkannya.

Han Han melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa!

Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!

Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.

Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih ‘selimut’ ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik ‘selimut’ itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng.

Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Namun tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, ‘mematikan’ perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.

Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan ke tubuh gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.

“In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”

Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguh pun tidak ia sengaja.

“Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?”

Nona itu tertawa. “Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”

Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan, tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.

Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, “Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andai kata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.”

“Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?”
“Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”
“Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!”
“Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua dari padamu, Nona.”
“Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”
“Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?”

“Hemmm, kalau engkau juga begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan pula kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku juga akan ikut menyebutmu kakak.”

Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah, Moi-moi. Baiklah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”

“Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!”

Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar dapat mendatangkan kegembiraan sekaligus mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.

“Adikku yang baik, namaku Sie Han. Tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”
“Han-twako!” Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.

Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka bermalam di puncak terakhir.

“Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako.”

Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan melepaskan lelah di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.

“Lima tahun yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,” kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.

“Kami diserang halimun beracun...”
“Halimun beracun? Apa itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”

“Apa penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”

“Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”

Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sinkang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.

“Twako, celaka...!” Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget.

Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap. Rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama makin tak tampak, sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!

“Han-twako... halim... mun... beracun... kita lari saja..., akan tetapi ke mana... yang tidak ada halimunnya...?” Suara Hian Ceng sudah menggigil, agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang Han Han dapat merasakan betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.

“Han-twako...!”
“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir.”
“Di... dinginnn... tak tertahankan...”
“Menggeserlah ke sini, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”

Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi rasanya percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa. Ia masih dapat mendengar perintah Han Han, maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu. Tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba kemudian menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung.

Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.

“Ceng-moi, jangan tidur... kerahkan sinkang-mu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya...!”

Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biar pun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sinkang-nya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.

Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, “Sudah aman... kabut dingin sudah lewat!”

Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sinkang-nya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!

Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikirnya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sinkang-nya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.

“Alangkah cantiknya... bibir itu... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.

“Gila engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”

“Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, hanya sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan...,” suara itu makin lembut, “Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang...”

“Tidak!” Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”

“Bukan mencuri...,” bantah suara ke dua halus. “Baru saja engkau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh...?”

Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biar pun hanya satu kali, biar pun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra!

Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan birahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!

Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mukjizat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?

Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, “Bedebah Suma Hoat...!”

Tangannya yang mengerahkan tenaga sinkang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras, daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!

“Aihhhhh...! Ada... ada apa...?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sinkang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.

“Si keparat engkau, Suma Hoat...!”

Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.

“Han-koko...!” Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.
“Lulu...!” bisiknya mengandung isak.

Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

“Han-koko...! Kau kenapakah...?”

Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu birahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu birahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.

“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan...”
Tubuh gadis itu menggigil. “Aihhh... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?”

Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”

Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.

“Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”

“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”
“Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku dari pada bahaya yang mengerikan sekali, kedua menyelamatkan aku dari pada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali...”

“Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi...” Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah...”

“Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu... Twako, kau berjanjilah... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”

“Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Kau tidurlah...” Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.

Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata, “Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali... ahhh, percayalah, Koko, aku pasti akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu...”

Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.

“Ceng-moi... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri... tidurlah dan besok pagi dapat kita bicarakan lagi...!” Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.

Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.

Aku ke Cung-king, tak pertu dikawal. Sampai jumpa.

Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas, teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biar pun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya.

Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan ‘iblis’ yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!

Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang.....
********************
Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacat akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain.

Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.

“Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”

Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang ini pun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.

“Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.

“Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, sebelah kakiku pun hilang dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal. Jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekali pun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!”

Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, tetapi orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, namun untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.

Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan menghindarkan kecurigaan, dia membenarkan bahwa dia kehilangan kaki ketika dia membantu pihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.

“Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukan anggota pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”

Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di pihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu?”

Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di pihak siapa-siapa.”

“Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.

“Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kau sampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan paham sehingga timbul tiga macam paham. Pertama adalah paham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan kedua adalah paham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak Se-cuan. Nah, yang ketiga adalah paham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu paham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.

Ah, dia tidak peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan telah terjadi di mana-mana dan dia tak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu.

Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.

Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, namun terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu, untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan kejahatan, dari mana pun juga datangnya!

Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya, tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.

“Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?” tanya komandan jaga dengan sikap hormat.

Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.”

Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya?”

“Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”

“Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau utusan siapa agar kami dapat melaporkan ke dalam.”

Han Han menggeleng kepala. “Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.”

Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!

Akan tetapi komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.

“Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!”

Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han), tetapi ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu.

Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!

Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali, hanya empat huruf: HO HAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.

“Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”

Han Han mengangguk dan bersikap waspada, tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak sekali orang. Ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!

“Apa pun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan hitam!

Agaknya mereka sedang membicarakan tentang pertentangan paham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.

“Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.

Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.

Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.

“Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”

Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas permadani biru dan membentak.

“Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!”

Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun tanpa nada permusuhan sebab menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, “Namaku Han Han.”

“Siapa gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah?”

Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.

“Nama guruku tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan mana pun dan aku tidak pernah ikut berjuang!”

“Aaahhhhhh...!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan, bahkan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu...!”

Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, tetapi aku datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”

“Manusia sombong!” laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!”

Han Han terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sinkang pada dadanya yang dicengkeram.

Melihat betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguh pun orang ini telah berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah menjadi ‘hukum’ di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu silat)!

“Bukkk!”

Tubuh Han Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lweekang kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang sendiri!

“Aku tidak ingin berkelahi,” kata Han Han.

Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.

Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sinkang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh.

Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga kemarahannya membakar hati dan kepala.

Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lweekang sekuatnya, ia pukulkan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut beberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan juga amat keji dan curang.

“Desssss!”

Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sinkang, menerima pukulan dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu kepada penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!

“Omitohud...! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Dua orang yang berpakaian seperti hwesio, berkepala gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku? Biarlah aku mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!”

Kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga!”
“Omong kosong! Lihat seranganku!”

Kakek ini sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai dari pada ilmu kepandaian muridnya tadi.

Han Han cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.

“Haliiittttt! Eh...?” Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain.

Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari lawannya!

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?

“Cuit-cuit-cuit... sing-singgg...!”

Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua ‘pintu’ di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Trak-tringgg...!”

“Ayaaaaa...!” Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.

“Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!

“Cuat-cuat-cuatt...!”

Kembali sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah dapat merasakan sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan sinkang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan? Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.

“Mengapa engkau mendesakku?” teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas.

Pada saat itu sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, mengerahkan ginkang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara. Sinkang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!

“Omitohud... benar mengagumkan...!”

Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!

Han Han terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga sinkang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, kemudian melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata, “Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!”

Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.

“Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.

“Maaf, Losuhu. Saya benar-benar tidak ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.

“Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!”

Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu, hwesio gemuk ini juga seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat luar biasa, mendorong ke arah dada Han Han.

Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sinkang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya.

“Bagus! Sinkang-mu hebat, juga ginkangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara.

Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.

Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepetnya!

Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apa lagi kalau tangan kanannya yang bergerak.

Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.

Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji kekuatan Han Han. Pemuda ini pun menerima pukulan yang merupakan tamparan dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.

“Bresssssi!”
“Omitohud... luar biasa...!”

Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!

Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya tubuh tergoyang dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!

“Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!”

Hwesio gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali!

Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa. Timbul pula keinginannya mencoba.

Tadi ia sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.

Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biar pun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus!

Hwesio gemuk ini bersama temannya yang kurus adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sinkang-nya yang jarang bertemu tanding, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)!

Ada pun hwesio kurus itu pun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sinkang-nya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang dapat menguasai se-mangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!

Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara berkokok tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu mendorong ke arah Han Han. Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut terasa hangat. Pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.

Timbul kegembiraan Han Han melihat ilmu yang dahsyat ini. Cepat dia mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan lewat tangan kirinya yang mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!

Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya. Tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.

“Desssss... cessshhhhh!”

Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan tempat itu!

“Ihhhh...!” Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.
“Omitohud...!” Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.
“Ibliskah engkau...?” Thian Tok Lama sekarang mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.
“Wuuuuttt!”

Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biar pun amat besar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, “Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini...”

“Tahan...! Jangan berkelahi...! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan para locianpwe?”

Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han menjadi girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.

“Han Han, jangan menginjak permadani itu!” Sin Kiat berteriak.

Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.

“Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.

Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang telah berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?”

“Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.”

“Ohhhhh... maaf...!”

Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata, “Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.”

“Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!” kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. “Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!”
“Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah.”

“Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya?” tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.

Wan Sin Kiat mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han Han. “Apakah artinya ini, Han Han? Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya?”

“Benar sekali dan memang aku membawa berita yang amat penting!”

“Kalau begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini.”

Han Han mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu dekat...”

“Ahhhhh...! Mana mungkin?” teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. “Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar mereka!”

“Karena inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!”

“Wah, ini penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!”

Semua orang di ruangan itu menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil berkata, “Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng temukan!”

“Ah, sayalah yang seharusnya minta maaf, locianpwe,” kata Han Han sambil balas menghormat, akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ menuju ke istana.

Para ho-han ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata kepada kawannya, lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.

“Kau hebat, Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai memujimu!”
“Ah, kau maksudkan hwesio yang gemuk itu? Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai dari pada Toat-beng Ciu-sian-li!” kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.
“Dan dia menyebutmu taihiap!”

Merah wajah Han Han. “Sudahlah. Eh, Sin Kiat, apakah kau sudah mendengar tentang adikku?”

Wajah Sin Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. “Sungguh menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han.”

Han Han menarik napas panjang. “Ada seorang nona yang sedang mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian Ceng...”

“Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan Sun? Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua daerah ini. Kalau dia membantu... eh, kenapa?” Sin Kiat heran melihat wajah Han Man menjadi muram.
“Kasihan dia. Ayahnya gugur...”
“Apa? Bagaimana?”
“Nanti saja kuceritakan. Lebih baik sekarang kita menghadap Bu-ongya.”

Sin Kiat menemui kepala pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang amat terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak terjang pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koan, maka ketika Han Han datang terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh perhatian dengan wajah berseri.....

Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-17
LihatTutupKomentar