Pendekar Super Sakti Jilid 17

Sin Kiat memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biar pun hanya berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.
“Duduklah, ji-wi Ho-han!” kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi.

Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidak percayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!

“Wan-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah.

Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!

“Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!” kata Sin Kiat.

Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan seperjuangan’.

“Hemmm, siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?”

Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apa lagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.

“Saya bernama Han, she Suma.”

Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aslinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aslinya!

Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang hendak kau laporkan kepadaku?”

Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.

Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi. Tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima untuk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”

Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu.....
********************
Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik. 

Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata ‘membentur karang’ karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti! Segala usaha Setan Botak Gak Liat gagal total oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.

Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan prajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.

Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.

Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi menjadi berhenti dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi pihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.

Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.

Sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!

Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?
Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda!

Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat. Jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu?

Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.

“Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”
“Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.
“Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”

Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”

Han Han membelalakkan mata, kemudian tertawa memandang wajah tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. “Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki dan memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilangan!”

Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”

Han Han tertawa dan menggeleng kepala. “Manusia menjadi korban dari pada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimana pun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”

Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya. Ia bisa melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tentulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!

“Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku ingin mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemmm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”

“Ahh..., kau jangan pergi dulu, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan di sini. Para penyelidik melaporkan, kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”

“Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut? Aku tidak suka perang, apa lagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di sini.”

“Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”

Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”

Sin Kiat menggeleng kepala. “Memang sekarang kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja dengan pihak Mancu.”

Han Han sudah tahu akan hal ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang benar?”

“Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, ada pun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”

“Dan kau sendiri?”

Sin Kiat menggerakkan pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk membela negaranya!”

“Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.”

Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang. Andai kata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”

“Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang. “Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.”

“Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?”

Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”

“Hemmm, aku...? Diperebutkan?”
“Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.”

Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”

“Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”

Demikianlah, mendengar bujukan dan nasehat Sin Kiat, Han Han kemudian menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apa lagi pada waktu itu pihak Mancu dan pihak pejuang hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.

Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya. Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan pangeran itu merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguh pun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.

Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.

“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”

Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.

Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”

Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itu pun tersenyum.

“Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku sebenarnya masih ada hubungan keluarga.”
“Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.
“Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.

Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia kemudian menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.

“Saya mohon penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.

Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”

Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”

Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma Taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?

“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.

Kembali kakek gundul itu tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.”

Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!

“Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.”

Pangeran Kiu tertawa bangga. “Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun...”

“Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.
“...sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih dari pada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”

“Hemmm, pujian kosong,” pikir Han Han sungguh pun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.

“Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggota Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”

Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggota keluarga Suma. Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, namun karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.

“Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”

“Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”

Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan kedua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.

Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada kedua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani. Akan tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka. Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.

Memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat.

Pangeran Kiu memberi isyarat sehingga semua penari dan pelayan mundur. Han Han baru bernapas lega, karena tadi, sungguh pun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.

“Suma Han-hiante, kini tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”

“Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?”
“Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”

Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguh pun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.

“Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walau pun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”
“Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”
“Hehhh? Bu-ongya...? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”
“Thian Tok Lama, harap sukalah memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.

Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak kekanak-kanakan itu kemudian berkata dengan sikap lunak, “Suma-taihiap, biar pun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu. Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.

“Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkan bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi itulah maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini hanyalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”

Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.

“Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”

Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggota keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.

“Akan tetapi, apakah bedanya? Andai kata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.

“Omitohud...! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li Lama yang kurus berkata.

“Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena sekarang terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”

Han Han pura-pura terheran. “Hemmm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”

“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini.”

Han Han mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud...!”

“Pangeran, maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu dari yang menang dan memperoleh kedudukan pula, biar pun tidak setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan, namun menjadi kenyataan selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah, orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”

Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!

Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman dari pada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?

Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, mau pun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!

“Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.

“Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapa pun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.

“Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”

Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.
********************
Dua hari kemudian ketika sedang termenung menyendiri, telinga Han Han menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki ginkang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.

“Suma-taihiap...!”

Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata, “Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada keperluan apakah?”

Thian Tok Lama tertawa. “Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”

Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”

Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm...!”

Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak, “Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”

“Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.”

Han Han membelalakkan matanya. “Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Pendeta itu memandang tajam. “Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”

“Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.

“Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”

“Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata lirih.

“Sayang... dia pemuda yang lihai sekali... sayang...!”

Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.

“Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”

Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”

“Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?”

Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu. “Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”

“Jangan!” Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.

Sin Kiat menarik napas panjang. “Ah, Lulu...!”

Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.

Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah ini pun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan. Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.

Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.

Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher. Matanya melirik ke kanan kiri, tongkatnya siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.

“Wir-wir-sing-sing-singgg!”

Dari arah belakang dan kiri meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul serbuan pasukan itu!

“Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat prajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.

“Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!

Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah, apa lagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu.

Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apa lagi di situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!

Betapa pun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur. Sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula prajurit-prajurit Mancu. Tiba-tiba bayangan orang tinggi besar menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas dan angin keras!

“Wuuuttttttt!”

Han Han meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.

“Hemmmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.
“Singgggggg...!”

Sinar merah menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang prajurit Mancu!

“Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!” kata Han Han.

Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.

“Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami dari pada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”

Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan ini pun menjaga dari empat penjuru.

“Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.

“Minggiriah, biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.
“Siuuuttttt... plakkk!”

Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.

“Sudahlah, aku pergi saja!” Han Han berkata kemudian tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu. Ia hendak mendobrak penjagaan para prajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.

Melihat ini, enam orang prajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para prajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.

Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar.

Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.

Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi dari pada Toat-beng Hwi-ciang. Jika ia menggunakan ilmu ini, sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi. Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apa lagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!

Namun, betapa pun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik. Tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.

“Desssss...!!”

Hawa pukulan yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para prajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.

Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.

“Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” bentak Han Han, akan tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.

“Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya. 

Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para prajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.

Empat orang prajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar. Tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang prajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!

Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan kiri disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!

“Swinggggg...!”

Han Han cepat merendahkan tubuh, membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya lantas menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.

“Trang-tranggg...!”

Tampak api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.

Hal ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak pernah membutuhkan senjata tajam. Kedua tangan mereka lebih ampuh dari pada senjata tajam yang mana pun juga.....

Akan tetapi sekali ini, menghadapi Han Han yang ternyata memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa, jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka sehingga mereka itu sama sekali tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kosong berdasarkan sinkang, maka setelah mereka bergulingan dan lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang tokoh kaum sesat itu telah menyambar senjata dan menyerang lagi.

Begitu Han Han membalikkan tubuhnya, ketiga orang sakti itu menyerangnya. Gerakan pedang di tangan Ma Su Nio cepat bukan main sehingga pedangnya merupakan sekelebatan sinar menyilaukan mata. Juga gerakan golok di tangan kedua orang Hek-pek Giam-ong mendatangkan angin berdesir, tanda bahwa tenaga mereka kuat sekali. Tiga orang ini menyerang dari depan, kanan dan kiri Han Han dan begitu senjata mereka meluncur dengan tangan kanan, tangan kiri mereka menyusul dengan pukulan Toat-beng Hwi-ciang dan Hiat-ciang!

Han Han yang baru saja membalikkan tubuh melihat berkelebatnya tiga batang senjata tajam itu, cepat menangkis dengan putaran tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga orang lawannya itu menyusulkan pukulan-pukulan tangan kiri yang amat kuat, maka ia hanya menangkis pedang dan golok.

“Cring-trang-tranggg...!”

Tiga batang senjata lawan ini terpental dan hampir terlepas dari pegangan, akan tetapi pukulan tiga tangan yang mengandung hawa sakti kuat, menyambar ke tubuh Han Han. Pemuda ini mengerahkan sinkang dan menerima pukulan itu. Tubuhnya bergoyang-goyang.

Melihat betapa tubuh Han Han bergoyang-goyang akibat sambaran tiga buah pukulan jarak jauh, Ma Su Nio menjadi girang dan mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah terluka. Ia mengeluarkan pekik melengking kemudian menubruk maju, pedangnya menusuk ke arah lambung kiri Han Han dan tangan kirinya dengan tenaga Hiat-ciang sepenuhnya mencengkeram ke arah leher.

Hebat bukan main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ini, dan entah mana yang lebih berbahaya antara pedang di tangan kanan ataukah pukulan Hiat-ciang tangan kirinya. Terjangan ganas yang merupakan serangan maut dari Ma Su Nio ini masih disusul oleh serbuan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang siap-siap mendekati dan mencari kesempatan baik sebagai perkembangan serangan Ma Su Nio.

Han Han melihat betapa para prajurit Mancu sudah mengepung rapat tempat itu, melihat pula sikap para tokoh kaum sesat yang siap hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa makin lama akan makin berbahayalah keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su Nio, ia mengeluarkan seruan keras, tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan terus menggunakan sinkang menempel pedang wanita itu. Pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bau amis itu tidak ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan kanannya yang terbuka telapak tangannya.

“Dukkk! Plakkk!”

Pedang dan tongkat bertemu dan melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio kembali mengeluarkan suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya melekat pada tongkat dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan pemuda itu, pertama-tama terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang amat dingin menjalar masuk ke tubuh melalui lengan kirinya.

“Aiiihhhhh!” Ia berseru, melepaskan pedangnya yang masih menempel tongkat lawan, menggunakan tangan kanannya untuk menghantamkan lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke arah dada Han Han.
“Bukkkkk!”

Han Han sengaja menerima pukulan tangan kanan wanita itu dan... telapak tangan Ma Su Nio menempel pada dadanya, langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan wanita itu. Ma Su Nio mengerahkan sinkang dan berusaha menarik kembali kedua lengannya, namun terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han adalah inti dari Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang amat luar biasa itu telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi seperti kaku dan membeku!

“Setan buntung!” Bentakan ini keluar dari mulut Pek-giam-ong.

Iblis yang berjuluk Raja Maut Putih ini mencelat maju hendak menolong sumoi-nya. Goloknya menyambar ke tengkuk Han Han dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sedangkan Hek-giam-ong juga sudah menusukkan goloknya untuk mendodet perut pemuda itu dari kanan.

Han Han melepaskan Ma Su Nio sambil meloncat mundur. Tubuh wanita itu roboh tak bernyawa lagi, roboh seperti patung kayu yang kaku. Sambil meloncat mundur Han Han merendahkan tubuh, tongkatnya menyelinap dari bawah, tangan kanannya didorongkan ke atas menggunakan hawa pukulan menangkis bacokan golok Pek-giam-ong.

Pek-giam-ong menjerit ngeri ketika tahu-tahu orang yang dibacok tengkuknya itu sekali mengangkat tangan membuat goloknya tertahan dan tanpa dapat ia elakkan lagi, tongkat Han Han yang tadi bergerak dari bawah, melemparkan pedang Ma Su Nio yang tadi menempel di ujung tongkat.

Pedang itu meluncur seperti anak panah dari jarak dekat, menembus perut Pek-giam-ong sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata melihat ke perutnya, kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu dan... berbareng dengan menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis muka putih ini menubruk maju!

Han Han menangkis pedang itu, sekaligus ia mengirim tendangan yang membuat tubuh lawan itu tergelimpang dan tewas. Cara Han Han menendang amatlah mengherankan, tubuhnya mencelat ke atas, di udara kakinya bergerak dan tendangannya seperti tendangan ayam jago bertanding. Sambil menendang, ia telah menyambar pedang Ma Su Nio dengan tangan kanan, pedang yang oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk menyerangnya dalam keadaan sudah sekarat tadi.

Hek-giam-ong sudah menubruk dengan kemarahan meluap-luap. Melihat kematian dua orang saudara seperguruannya, ia menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum bahwa dengan pukulan dan senjata akan percuma terhadap pemuda buntung itu, ia telah membuang goloknya dan menubruk maju memeluk pinggang Han Han dari belakang.

Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan mencengkeram perut, dan yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.

Sedetik pemuda buntung ini bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak kehilangan akal. Mula-mula tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan sinkang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.

Semua prajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang mata. Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han Han.

Han Han melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan ke arahnya. Pendeta Lama itu berdiri setengah berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas. Itulah pukulan jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat. Agaknya kakek ini sudah mengenal gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat, maka ia sengaja menghadangnya dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah tubuh Han Han.

Han Han terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu gerak kilat Soan-hong-lui-kun. Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sinkang di tangan kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat ‘meminjam’ hawa pukulan lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara kagum, “Omitohud...!”

Dari pohon sebelah kiri menyambar pula angin pukulan yang biar pun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun dibarengi bentakan, “Robohlah!”

Luar biasa sekali bentakan ini karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh! Biar pun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya dari pada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting, seolah-olah lebih parah terkena ‘pukulan’ bentakan itu pada lubuk hatinya.

Masih untung bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang aneh. Andai kata tidak demikian, tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi. Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.

Akan tetapi, baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya. Sekarang kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri sambil membentak lagi, “Robohlah!”

Han Han merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia mengerahkan semua sinkang-nya, maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan. Secara otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini memiliki sinkang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sinkang-nya menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan Yang-kang.

“Wuuut... wuuuttttt... desssssss!”

Pertemuan tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah. Tubuh Thai Li Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah sekali. Dalam detik berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil melangkah dekat.

Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu sudah mencelat ke atas. Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya merasakan sambaran angin pukulan teman.

Han Han mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak musuh telah melakukan persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari situ.

Begitu ia turun, ia sudah dikepung lagi oleh puluhan orang prajurit Mancu. Senjata pasukan ini datang menyerangnya bagaikan hujan. Han Han makin marah. Ia memang tidak suka berkelahi dengan mereka, akan tetapi kalau dipaksa seperti itu, tentu saja ia harus membela diri mati-matian. Ia mengeluarkan seruan keras, tongkat dan pedang rampasannya ia gerakkan seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam waktu singkat enam orang pengeroyok roboh dan tewas.

“Minggir...!” Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para prajurit itu dan hanya mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.

Han Han berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.

Mereka itu bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang kepalanya ada ‘telurnya’, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata seekor burung bangau mengintai katak!

Han Han bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biar pun berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata.

Bhong Lek si Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.

Aku harus dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh terlampau banyak. Kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya akan habis untuk menghadapi tiga orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.

Setelah berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.

Gerakan Han Han amatlah cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang lihai itu pun kini menjadi amat terkejut. Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li, dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu!

Karena itu, biar pun terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah meloncat naik pula. Senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.

“Tranggggg...!”

Pedang rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itu pun patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan main. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan setelah meloncat bangun, Ciam Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa itu.

Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung suheng-suheng-nya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka. Namun kini mereka berdua maju berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.

Dengan tongkat bututnya Han Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan tenaga.

Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat.

Dua buah kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.

Melihat gerakan tongkat yang amat hebat, apa lagi didasari ginkang yang sukar dicari lawannya dan tenaga sinkang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan pemuda buntung ini!

Selama tiga empat puluh jurus kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini, bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu itu mencelat. 

Tiba-tiba Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi sute-nya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang berdasarkan sinkang mereka yang kuat!

Thian Tok Lama sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han Han. Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret seperti sedang menggambar atau menulis huruf di udara.

Han Han juga maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sinkang yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.

Han Han merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke arah kedua lengannya. Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biar pun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!

Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua orang lawannya tidak seimbang. Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat. Melihat kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin sukar baginya mencapai kemenangan. Dalam hal sinkang, ia percaya kepada tenaganya sendiri, dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan ginkang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.

Para prajurit Mancu dan para tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang aneh bagi para prajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka paham betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat. Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.

Tubuh kedua orang hwesio Tibet itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main. Dari sebelah kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya tarik yang sukar dilawan.

“Menyerahlah... engkau tidak kuat lagi... menyerahlah... berlututlah...!”

Suaranya sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri, betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.

“Menyerahlah, berlutut...!”

Suaranyakah itu? Ah, bukan! Itu suara Thai Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu, seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para prajurit Mancu yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan tubuh gemetar.

“Setan!” Han Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan sinkang-nya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri.

Kiranya telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thai Li Lama dan melihat pendeta kurus ini mulutnya berkemak-kemik. Tangan kanan pendeta ini menempel di tangan kirinya dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh. Kini mengertilah Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam.

Teringat ia akan kekuatan mukjizat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di dalam hatinya ia membentak, “Thai Li Lama, mengapa kau menyuruh orang lain? Engkaulah yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”

Tiba-tiba pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan... kedua kakinya bertekuk lutut!

“Ji-suheng...!” terdengar suara parau Burung Hantu.

Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan seluruh tenaganya melawan hawa dingin.

“Aihhhhhh...!” Han Han mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sinkang-nya, dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh kekuatan mukjizat Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.

Akan tetapi, pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biar pun dia dapat menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan tadi hampir saja ia celaka ketika sejenak ia tertekan hebat.

Maklum bahwa tidak boleh ia berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil berteriak.

“Hyyyaaaaattttt!”

Inti tenaga sinkang Han Han memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan kemauan untuk melatih sinkang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah memiliki sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau Es, tentu saja tingkatnya menjadi amat tinggi.

Biar pun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa sinkang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya. Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sinkang untuk menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.

Akan tetapi, Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini biar pun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biar pun lukanya tidak seberat kedua orang lawan. Begitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah segar. Ia pejamkan kedua matanya dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat yang tadi ia tancapkan di atas tanah.

“Aku hanya ingin mencari adikku... kenapa kalian mendesakku...?” Mulutnya berbisik penuh penyesalan.

Tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar tubuh. Akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.

“Desssss...!”

Tubuh Han Han terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan mengenai tanah tempat ia tadi rebah.

Melihat pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik mengejar dan mengirim pukulan pula.

“Pengecut curang...!” Han Han memapaki, terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi ia pening.

“Ha-ha-ha, mampuslah!” Ciam Tek tertawa mengejek.

Kembali ia melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan ini dari guru kedua orang pendeta Lama ini, maka mereka itu terhitung suheng-suheng-nya. 

Pukulannya yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) ini pun mengeluarkan uap hitam dan beracun. Sungguh pun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan pukulan maut ini. Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.

Akan tetapi Han Han kini sudah marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apa lagi Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak mau mengelak, melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil mengerahkan Im-kang.

“Desssss!”

Si Burung Hantu jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam ke arah ulu hati Han Han.

Pemuda ini miringkan tubuh mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok. Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat sedikit dan... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!

“Heh-heh-heh!” Ciam Tek mengejek.

Kembali kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kiri membacok kepala, yang kanan menonjok perut. Pada saat itu tiga orang perwira Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.

“Pergi, jangan bantu...!” Si Burung Hantu membentak.

Tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka tidak semestinya menyerang terus. Namun karena penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah berlomba memperebutkan jasa.

Diam-diam Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah dan terluka. Biar pun dia masih sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Untung baginya bahwa tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki kepandaian tinggi.

Hal ini menguntungkan dia dan merugikan Ciam Tek. Bagi ahli silat tinggi, bantuan dari orang-orang yang tingkat kepandaiannya tidak seimbang bukan merupakan bantuan, bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi Ciam Tek berteriak mencegah mereka sungguh pun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri saja.

Han Han membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah dekat sekali, kemudian ia menangkap kedua tombak dengan kedua tangan sedangkan kakinya menendang roboh perwira ketiga. Sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!

“Tolol kamu!” Ciam Tek mendengus marah.

Kedua tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han Han. Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang perwira Mancu, ia sudah loncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat menotok.

Si Burung Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek memang amat lihai. Biar pun serangan Han Han ini amat cepat dan terjadi hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua orang perwira, namun ia masih dapat menghadapinya. Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok lehernya. Tetapi karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga sinkang.

“Krakkk! Auuuggghhh!”

Si manusia burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang tangan kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.

Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat, padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka, sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.

“Krakkk...! Crotttt...!”

Terdengar jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han karena memang tadinya tulang itu telah retak.

Han Han menyeringai kesakitan. Biar pun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat sekali, membuat napasnya sesak dan matanya berkunang. Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya, maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.

Akan tetapi, selagi tubuhnya meloncat tiba-tiba kaki tunggalnya terbelit ujung rantai baja yang panjang dan kuat. Kiranya dia telah dikejar dan dikurung Sepasang Tikus Kuburan dan kakek kecil bertelanjang kaki yang telah menggerakkan rantai bajanya secara istimewa. Rantai baja itu meluncur cepat dan berhasil melibat pergelangan kaki Han Han selagi pemuda ini meloncat.

Han Han terkejut bukan main. Ia menendangkan kakinya namun tak dapat terlepas dari libatan rantai baja sehingga tubuhnya tertarik turun dan terbanting ke bawah! Cepat ia menggunakan lengan kiri merangkul batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting. Pada saat itu tampak sinar berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah menyambar ke arah lehernya!

Han Han menjadi amat marah. Teriakan dahsyat keluar dari kerongkongannya, teriakan yang mengandung hawa khikang sehingga si manusia berkepala benjol itu terkejut. Gerakannya tertahan sedetik, namun cukup bagi Han Han yang masih bergantung dengan lengan kiri pada batang pohon sedangkan kaki tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han Han gerakkan tangan kanannya, mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sinkang dan sekali betot pedang itu telah dirampasnya. Pergelangan tangannya bergerak, pedang membalik dan kini ia telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan ke lambung Bhong Phoa Sik.

Pengerahan sinkang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi gelap, namun Han Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga pedang rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik. Bukan itu saja, juga berbareng ia mengerahkan tenaga pada kakinya, menarik kaki itu ke belakang. Bersamaan dengan jerit kematian yang keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama semburan darahnya, terdengar pekik kaget kakek yang memegang ujung rantai karena tubuhnya terbawa oleh tarikan kaki Han Han. Betapa pun ia mempertahankan, tetap saja tubuhnya terbawa melayang ke arah Han Han.

“Cappppp!”

Han Han terkejut bukan main. Karena pandang matanya gelap, ia kurang waspada sehingga pada saat ia menusukkan pedang ke lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh kekek yang memegang rantai, sebuah tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong Lek si Muka Tikus menancap di paha kaki tunggalnya!

Rasa sakit membuat Han Han makin marah. Tubuh kakek yang memegang rantai itu telah melayang dekat dan sekali Han Han menendang ke belakang, tumit kakinya menendang perut kakek itu yang seketika putus napasnya karena isi perutnya remuk! Dan Bhong Lek yang tadinya girang dapat melukai paha Han Hang tiba-tiba melihat sinar bergulungan di depan matanya dan... arwahnya melayang tanpa disadarinya karena tahu-tahu leher Si Muka Tikus ini telah putus oleh sinar pedang yang digerakkan Han Han.

Pemuda buntung ini berdiri dengan kaki tunggalnya yang terluka dan bercucuran darah. Pedang di tangan kanan, tongkat di tangan kiri, tubuhnya agak bergoyang, rambutnya riap-riapan, mukanya beringas penuh keringat, pakaiannya berlepotan darahnya sendiri dan darah para korban yang tewas di tangannya. Dia siap menghadapi maut, akan tetapi kematiannya akan ditebus mahal sekali oleh musuh-musuhnya karena dia siap untuk membela diri mati-matian sampai tetesan darah terakhir!

Para perwira dan prajurit Mancu gentar menghadapi pemuda kaki buntung yang luar biasa itu. Kakak beradik Tikus Kuburan tewas, kakek Mongol yang terkenal lihai dengan rantai bajanya juga tewas, tiga orang murid Setan Botak yang amat lihai tewas pula, belum lagi banyak prajurit dan perwira yang roboh. Bahkan kedua orang pendeta Tibet masih duduk bersila memejamkan mata memulihkan tenaga! Namun, para prajurit yang mengurung itu pun maklum bahwa pemuda buntung yang sakti itu sudah terluka hebat.

“Tangkap... Bunuh...!” terdengar teriakan-teriakan.
“Jangan dekati!” teriak seorang perwira. “Serang dengan anak panah...!”

Sibuklah para prajurit, seperti serombongan orang yang ketakutan mengurung seekor harimau yang ganas dan kuat. Han Han menggigit bibirnya. Tak mungkin dia menerjang maju karena kakinya, satu-satunya anggota badan yang ia andalkan untuk menahan tubuh, telah terluka cukup parah. Tidak, kalau ia menggerakkan kakinya berarti ia memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan tetap berdiri di situ dan menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!

“Serrr... serrr-serrrrr...!” Puluhan batang anak panah menyambar.

Han Han memutar pedang rampasan di tangannya sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali. Tampak bunga api berpijar dan disusul pekik beberapa orang prajurit yang termakan anak panah mereka sendiri yang membalik oleh tangkisan Han Han.

Sebagian besar anak panah runtuh, ada sebatang menancap di antara rambut yang awut-awutan itu seperti hiasan rambut, dan sebatang lagi menancap di bajunya setelah melukai kulit pinggul, tidak dapat menembus kulit karena Han Han memutar pedang sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh!

“Hentikan serangan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ternyata di tempat itu telah datang pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih yang merupakan pasukan pilihan Mancu, dikepalai oleh seorang wanita yang cantik sekali, cantik dan gagah serta bermata seperti bintang kembar.

“Han-koko...! Aihh... kalian orang-orang gila! Berani menyerang kakakku? Pergi semua! Pergi...! Dia itu Han-koko, kakakku...! Han-koko...!”

Gadis jelita yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui, telah menjadi sumoi dari Puteri Nirahai di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu nenek bangsa Khitan yang sakti itu. Kemudian, karena pelaporan dari barisan yang menyerbu Se-cuan selalu terpukul mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran dan datang sendiri ke garis depan di perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.

Ketika itu Lulu sedang bertugas meronda tapal batas memimpin sebuah pasukan. Tentu saja ia segera mengenal Han Han dan kedatangannya pada saat yang amat tepat itu menyelamatkan kakaknya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika melihat bahwa kakaknya itu berdiri hanya dengan sebuah kaki!

“Han-ko...!” Ia menjerit lagi, meloncat turun dari kudanya dan melesat cepat seperti terbang, langsung menubruk dan berlutut merangkul kaki Han Han yang tinggal sebuah sambil menangis sesenggukan.
“Lulu...!” Han Han juga memanggil nama adiknya dengan hati yang amat tidak karuan rasanya.

Mula-mula semangatnya seperti terbang saking girangnya mendengar suara dan melihat betapa adiknya masih sehat dan selamat, akan tetapi hatinya menjadi perih melihat kedatangan adiknya itu bersama pasukan Mancu. Karena itu, panggilannya keluar dengan suara seperti orang merintih. Betapa pun juga, keharuan hatinya lebih besar dan dia pun menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan merangkul adiknya dengan kedua lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan bertangisan.

“Lulu... kau... bocah nakal... ke mana saja kau pergi?” Han Han menegur, tangan kirinya diletakkan di atas pundak dara itu, tangan kanannya menghapus air mata yang bercucuran di atas pipi Lulu.

Akan tetapi Lulu tidak menjawab, melainkan meraba-raba paha kiri Han Han yang buntung. Matanya yang basah air mata itu terbelalak memandang, lalu ia meloncat bangun. Matanya yang lebar indah itu liar memandang ke arah para prajurit Mancu yang sibuk mengurus teman-teman yang tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang manis dan jelita itu menjadi beringas, kulit mukanya merah sekali.

“Siapa yang membuntungi kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo katakan kepadaku agar dapat kubalas dia! Han-ko, katakan siapa yang membuntungi kakimu? Katakan...!”

Para perwira dan prajurit Mancu menjadi ketakutan dan saling pandang. Mereka tentu saja amat takut kepada adik seperguruan Puteri Nirahai ini, bukan hanya takut akan kepandaiannya yang kabarnya amat lihai seperti sang puteri, akan tetapi terutama takut akan kekuasaan dan kedudukan Puteri Nirahai sendiri.

“Lulu, bukan mereka... kakiku sudah sangat lama buntung...” Han Han berkata.
“Aihhhhh, Koko...!” Lulu menubruk lagi dan menangis, meraba-raba kaki yang buntung, lalu meraba-raba muka Han Han, menyibakkan rambut kakaknya yang awut-awutan menutupi muka yang tampan itu. “Kau... kau terluka hebat... ahhh... Koko, mengapa kau berada di sini?” Kembali Lulu meloncat bangun dengan sigapnya, membalikkan tubuh dan membentak kepada para prajurit.

“Pergi kalian semua! Pergi dari sini! Kalau tidak, kubunuh semua! Pergi!”

Para perwira Mancu dan para prajurit terkejut. Cepat-cepat mereka membawa mayat dan teman-teman yang terluka meninggalkan tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu datang secara tidak terduga-duga, rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap seorang lawan berbahaya itu menjadi gagal.

Setelah tempat itu bersih ditinggalkan semua pasukan, Lulu kembali menubruk Han Han. “Han-ko, apakah yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kakimu buntung? Siapa yang dapat melakukan perbuatan keji ini kepadamu, Han-koko?” Kembali kedua mata gadis itu bercucuran air mata begitu ia melihat ke arah kaki buntung kakaknya.

Akan tetapi Han Han tidak menjawab. Lulu masih menangis sambil membenamkan mukanya di dada kakaknya, kedua lengannya merangkul leher.

“Han-koko... setengah mati aku mencarimu... bertahun-tahun hingga amat lama rasanya, hampir aku putus harapan. Aku sampai di tempat sejauh ini juga mencarimu... tetapi... siapa menduga bahwa kau... ah, kakimu... aduh, Koko...! Katakanlah, siapa orangnya yang begitu kejam membuntungi kakimu? Aku bersumpah untuk menuntut balas!”

Akan tetapi Han Han tetap diam tak menjawab.
Lulu yang sedang diamuk keharuan, kegirangan, juga kemarahan melihat kaki Han Han buntung, tidak merasa betapa semua pertanyaannya tak terjawab. Kini ia mengangkat mukanya dan berkata penuh semangat.

“Jangan khawatir, Han-ko. Kalau musuh itu terlalu lihai, aku dapat membantumu. Aku, adikmu ini, sekarang bukanlah Lulu yang dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian tinggi dan....” Tiba-tiba Lulu menghentikan kata-katanya ketika ia melihat wajah Han Han. Kiranya semenjak tadi kakaknya itu memandangnya dengan sepasang mata mendelik penuh amarah!

Wajah Han Han pucat, matanya mendelik seolah-olah mengeluarkan api, akan tetapi dari pelupuk matanya menetes-netes air mata! Pemuda yang terluka ini tidak hanya terluka pahanya yang robek oleh tusukan tombak Bhong Lek, melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah luka di dalam dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung Hantu. Napasnya makin sesak dan seluruh dada terasa panas. Setengah mati ia mencari Lulu, bertahun-tahun lamanya dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran. Sekarang setelah bertemu, kegirangan hatinya ternoda oleh kenyataan bahwa adiknya telah memimpin pasukan Mancu!

“Koko... Han-ko... kau... kau menangis...? Kenapakah...?” Dengan jari tangan gemetar Lulu mengusap air mata yang mengalir di atas pipi yang pucat itu.

Gerakan Lulu yang penuh kasih sayang ini memancing naiknya sedu-sedan dari dada Han Han. Tangan kirinya merangkul dan mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi tangan kanannya mengepal keras sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam perasaan bertanding dalam hatinya sendiri.

“Koko..., Koko... bicaralah... kau kenapakah? Kakimu...” Lulu masih terisak, “siapa yang membuntungi kakimu...?”

“Buk! Buk! Bukkk!”

Tiga kali kepalan tangan kanan Han Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah yang diinjak tergetar. Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan kedua mata terbelalak lebar.

“Han-ko! Kenapa...?”
“Lulu! Buntungnya kakiku bukan hal penting!” Akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata dengan napas terengah. “Urusan diriku tidak perlu dibicarakan! Akan tetapi engkau...! Engkau...!”

Lulu mengerutkan keningnya, memandang wajah kakaknya penuh selidik, kemudian memegang kedua pundak kakaknya. “Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku...?”

Tiba-tiba Han Han menggunakan kedua tangan mendorong sepasang lengan adiknya sehingga Lulu terjengkang ke belakang. “Ada apa dengan engkau? Masih hendak bertanya lagi? Engkau... menjadi pemimpin pasukan Mancu terkutuk!”

Seketika pucat wajah Lulu. Air mata yang tadi telah berhenti mengalir kini bercucuran dari sepasang mata yang tak pernah berkedip menatap wajah kakaknya. Perlahan ia bangkit kembali, merangkak menghampiri Han Han dan menubruk kakaknya sambil menangis sesenggukan.

“Han-koko... lupakah engkau bahwa aku adalah seorang gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu bangsaku menghadapi para pemberontak...?”
“Plak! Plak!” Kedua tangan Han Han menyambar dan sepasang pipi yang pucat itu ditamparnya.

Lulu terpekik dan mundur ke belakang sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua pipinya yang terasa panas dan sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri yang pecah. Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di kedua pipinya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk masuk di hatinya. Ia ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah memperlakukan dia seperti ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun belum!

Han Han ikut pula berdiri, bersandar pada tongkatnya. Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya juga terbelalak ketika ia melihat darah di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai menutupi muka, ia sibakkan dengan gerakan kepala, akan tetapi rambut itu terurai kembali menutupi sebelah mukanya.

“Lulu...! Adikku...! Ahh... apa yang telah kulakukan...?” Suaranya gemetar, mengandung isak, penuh penyesalan seolah-olah ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.

Namun wajah adiknya yang biasanya berseri-seri, yang biasanya jenaka, yang biasarya selalu cerah seperti sinar matanari di siang hari, kini berubah, dingin dan seperti muka mayat, amat pucat, matanya tidak bersinar, bahkan suaranya berubah ketika bibir itu bergerak bicara.

“Han-koko...!” Ia berhenti dan terisak, susah payah menahan isak agar dapat bicara. “Kau tidak adil...! Memang aku membantu bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang aku telah bersalah, akan tetapi karena engkau tidak berada di sampingku, aku menjadi bimbang dan akhirnya terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau sendiri? Bukankah engkau menjadi seorang panglima Bu Sam Kwi yang mempertahankan Se-cuan? Sudah lama kami mendengar akan adanya panglima kaki buntung dari pihak musuh yang lihai. Tak kusangka engkaulah orangnya! Engkau seorang berbangsa Han membela bangsamu menghadapi Mancu, sebaliknya aku seorang berbangsa Mancu membela bangsaku menghadapi musuh. Siapakah yang benar di antara kita? Siapa yang bersalah? Engkau... telah menamparku, bukan hanya menampar pipi, tetapi menampar dan menghancurkan hatiku. Ahhh, Han-koko, engkau tidak adil...!” Lulu mendekap muka dengan kedua tangan dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.

“Lulu..., Moi-moi adikku... kau ampunkan aku....”

Han Han melangkah maju hendak memegang lengan adiknya. Akan tetapi sentuhan jari tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu yang cepat menarik tangannya, memandang dengan mata basah penuh penyesalan, kemudian terisak dan gadis ini membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.

“Lulu...!”
“...engkau tidak adil...! Engkau kejam... tidak adil...!”

Suara Lulu yang bercampur tangis itu terdengar oleh Han Han seperti tusukan pedang menembus jantungnya. Ia meloncat dan mengejar sambil berteriak-teriak seperti orang gila, “Lulu...! Lulu adikku...!” Akan tetapi ia terguling roboh.

Pertemuan dengan adiknya yang mengakibatkan pukulan batin hebat itu membuat luka di dadanya makin parah. Ia masih memanggil-manggil nama Lulu sambil merangkak, kemudian bangkit perlahan-lahan dan berjalan terhuyung-huyung menyeret tongkat, berloncatan tanpa mempedulikan pahanya yang mengucurkan darah. Namun Lulu telah jauh, telah lenyap dari situ. Biar pun bayangan gadis itu tidak tampak lagi, namun masih terngiang di telinga Han Han, merupakan tusukan-tusukan yang membikin hatinya perih, jeritan adiknya tadi, “Engkau tidak adil...! Tidak adil... tidak adil...!”

Han Han hampir tak kuat menahan. Ia merangkul sebatang pohon dan menangis, mengguguk seperti anak kecil. Ia sadar akan kesalahannya terhadap Lulu tadi. Memang dia tidak adil terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah dia mendengar bahwa Lulu telah menjadi adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut pula membantu gerakan para pejuang? Mengapa kini Lulu menjadi pemimpin pasukan Mancu? Benarkah dia tidak adil? Siapa yang tidak adil? Siapa yang salah? Siapa yang benar?

Han Han menggeleng kepala dan berbisik, “Tidak ada yang salah kecuali perang! Yang tidak adil adalah perang! Terkutuklah perang!”

Dan pemuda ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, terus memasuki hutan tanpa tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah hidup. Pikirannya pun kosong, dan ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan secara otomatis. Akhirnya, di dalam jantung hutan yang lebat, ia terguling pingsan.....
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-18
LihatTutupKomentar