Jodoh Rajawali Jilid 26
BETAPA KECEWA hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba kembali di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang prajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu.
Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para prajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para prajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Silu
'.////
man Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.
'.////
man Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.
Akan tetapi ada seorang prajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. Sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.
Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapa pun sehingga akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara sedemikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.
Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pa-ngeran Nepal!
Tentu saja Hwee Li segera mengenali wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan sangat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.
Keadaan di dalam kuil rusak itu makin terang ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu enci-nya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh.
Hati Hwee Li menjadi panas. Betapa pun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti enci-nya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti enci-nya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja.
Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu pecah oleh suara wanita yang nyaring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”
Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.
“Kau... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
“Perempuan keparat, pada waktu engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.
Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik dari pada ayah mertuamu?”
Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!”
“Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, dan keluarga ayah, juga berdosa?” Cui Yan balas menghardik.
Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biar pun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela pihaknya sendiri. “Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?”
“Perempuan sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar.
Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah sempat mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh enci-nya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.
Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nionio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apa lagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin sekali, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.
Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Akan tetapi, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri!
Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tidak mampu mundur lagi oleh karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.
“Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata yang terbelalak.
“Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu...“
“Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo...!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.
Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang tetap menodong leher Cui Yan, dia membentak, “Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?”
“Subo, jangan bunuh dia... dia adalah enci-ku sendiri...“
Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran sekali mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.
“Enci-mu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.
“Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...”
“Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia enci-mu?”
“Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari salah seorang selir yang dilarikan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.”
Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.
“Ahhh, kau... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid?”
Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.
“Krekkk!”
Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah. Matanya menatap wajah muridnya itu dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.
“Ahhh...“ Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.
Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.
“Ya Tuhan... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu...?” Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi.
“Lee-koko...!” Hwee Li menjerit.
Dia meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat dari pada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis, maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.
Setelah tangis mereka mereda, biar pun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ketiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Kenapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?”
Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. “Aku... aku tidak ingin diketahui oleh... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walau pun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”
Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka semua membenci ayah kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Kenapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Lalu Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau... engkau telah berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru... dan pemuda itu...”
Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada enci-nya dan kembali keduanya bertangisan.
Memang demikianlah satu di antara ‘kebiasaan umum’ yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi.
Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggota bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan.
Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini hingga kita menghadapi siapa pun juga tanpa mengingat kebangsaan, kesukuan, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, tetapi sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!
Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing masing. Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing hingga mengertilah Hwee Li bahwa enci-nya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri seorang pemberontak.
“Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar pun kita dianggap anak anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping enci-mu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.”
Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipinya. Dia berkata keras, “Tidak...! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya... aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.
Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala. “Kasihan Hwee Li... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan dapat menjodohkan Hwee Li dengan dia...“
Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suheng-nya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suheng-nya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suheng-nya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nionio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan mencari carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.
“Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung,” pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada suheng-nya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.
Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suheng-nya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suheng-nya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadinya telah beres.
Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah impas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya.
Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walau pun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya.
Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biar pun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apa lagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.
Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suheng-nya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suheng-nya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nionio.
Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di mana suheng-nya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.
Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya!
Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan juga kekasih dari saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia kemudian berkata, “Ahhh, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”
Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Tetapi, mengapa dia marah-marah dan berani memakinya?
Hati pangeran ini memang sedang tertekan sekali oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali.
Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali oleh Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang kepada wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.
“Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biar pun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.”
Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya segera bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”
Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu.
Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina oleh wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan birahinya! Walau pun aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa menjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!
“Ahhh, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kau anggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau.”
Sepasang mata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!”
Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguh pun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?”
“Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun padamu seperti yang kau minta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah...“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana...“
“Keparat!” Cui Yan membentak.
Dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.
Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, “Bagus sekali!”
Dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.
Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu sembarangan. Ilmu pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nionio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biar pun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.
Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ketiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan Ilmu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biar pun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Jika dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu memang masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu cepat mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!
Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.
“Engkau cantik, manis, dan engkau seperti Hwee Li... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu.
“Lepaskan aku ! Atau... bunuh saja aku...,“ Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.
“Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik... ha-ha-ha...!”
Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apa lagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu, baik di Tiongkok mau pun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela.
Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum-senyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apa lagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya, Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apa lagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia. Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suheng-nya, dengan kekasihnya, dengan calon suaminya, untuk menceritakan semua mala petaka yang menimpa dirinya ini.
Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita dapat melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil ‘menundukkan’ wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi ‘jinak’, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!
Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam kelima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa mala petaka hebat ini melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu. Sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suheng-nya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.
Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoi-nya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.
“Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
“Cui Yan, apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suheng-nya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan.
Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nionio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.
“Wuhhh, memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!”
Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoi-nya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, “Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Coba ceritakanlah.”
“Suheng... demi Thian... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu...!”
Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoi-nya atau kekasihnya ini sudah minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu!
“Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”
“Sepekan yang lalu... aku bertemu dia. Kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan... dan...“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.
Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoi-nya itu penuh kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?”
“Dia... selama sepekan ini... dia... memaksaku, dia memperkosa aku... dan aku tidak berdaya... ditotoknya dan... diperkosanya... hu-hu-huuu!”
“Ahhh...!” Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
“Suheng...!” Cui Yan menjerit dan menubruk suheng-nya.
Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
“Tek Hwi, awas...! Cegah dia...!”
Tiba-tiba Kim-mouw Nionio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.
“Sumoi...!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan, Suheng...“ Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.
“Sumoi...! Cui Yan... ahh, Cui Yan kekasihku...!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
“Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subo-nya.
“Tek Hwi, nanti dulu...!” subo-nya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subo-nya sehingga terpaksa Kim-mouw Nionio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, “Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoi-ku!”
Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nionio, datuk luar tembok besar dari utara itu!
Biar pun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhu-nya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.
“Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”
“Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia membunuh diri... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.
Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, “Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik dari pada sumoi-mu itu!”
“Manusia iblis! Harus kau ganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan.
Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat dari pada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi dari pada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apa lagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biar pun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, akan tetapi pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan mampu membujuknya, maka terpaksa harus membunuhnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nionio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau pihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nionio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali.
“Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang.
Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.
“Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!”
“Keparat!” Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru.
Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.
“Suhu, harap bantu...!”
Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ketiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri.
Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apa lagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini!
Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkah-langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar.
Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogok-menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa pun yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apa bila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu.
Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai ‘pamrih baik’, ‘pamrih mulia’ dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapa pun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang dapat menguntungkan atau bisa menyenangkan diri kita, lahir mau pun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!
Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaannya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.
“Crottttt...!”
Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenaga sinkang amat kuat itu sudah memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu sempat menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.
“Prakkkk!”
Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nionio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya. Kedua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nionio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah satu nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh…..
Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nionio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.
Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.
“Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa.
Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur.
Dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.
Kini nenek Kim-mouw Nionio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.
Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nionio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nionio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!
Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, lalu dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal.
Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran itu. Andai kata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok…..
********************
“Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”
Gadis cantik itu menundukkan mukanya, dan biar pun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka kedua dari kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.
“Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kau rasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan.”
Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. “Subo... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid)... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu...,“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”
“Anak yang baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Namun tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?”
“Subo...!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatinya, mengaguminya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya..., salahkah ini?”
Nikouw itu tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu birahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?”
“Teecu akan tetap mencintanya...“
“Dengan hati hancur dan menderita?”
Gadis itu mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biar pun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu...“
Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!
“Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”
Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia kemudian berkata, “Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo...“
Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut. “Duduklah yang baik, mari kita bicara.”
Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.
“Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu...“
“Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...“
Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguh pun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, dengan diantar oleh Kim Sim Nikouw, Cui Lan meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biar pun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.
Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.
Pada hari ketiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguh pun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.
Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah ikut terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu.
Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir sekali kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan pemerintah. Apa lagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia juga telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-Liong-pang Ciok Gu To dan tosu Hak Im Cu.
Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggota Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.
Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biar pun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.
“Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subo-nya yang serius.
“Sssttt...“ Kim Sim Nikouw berbisik pula.
Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subo-nya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Mendadak terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.
“Ahh, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!”
Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami.”
“Menjadi tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di pihak yang benar. “Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?”
Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!”
Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya sedang berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus, “Omitohud... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami.”
Si jangkung itu membelalakkan matanya. “Ehh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira kami ini perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?”
Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu.
Dia cepat menjura dan berkata, “Ahhh, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”
“Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh...!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali.
Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biar pun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk menggunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguh pun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.
Biar pun Cui Lan sendiri merasa tak setuju mendengar gurunya membawa-bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatinya, maka dia pun tersenyum dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Dan nanti setelah bertemu dengan beliau tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...“
Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak dan diikuti oleh teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, oleh karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”
“Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.
“Bunuh juga lebih baik!” kata si jangkung.
Tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subo-nya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.
“Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggota-anggota perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”
Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha-ha, kawan kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!”
Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, “Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”
Si jangkung membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Tetapi kami bukan ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau mau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”
Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.
“Omitohud... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”
“Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman temannya.
Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!
“Ihhhhh...!” Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.
Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok. Walau pun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan saat golok si brewok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu.
Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, “Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”
Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biar pun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.
Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu, dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!
Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.
Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.
Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali sudah tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi sekarang mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!
Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut, golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.
“Omitohud, kalian terlalu mendesak...!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil.
Mendengar suara ‘pletak-pletak’ dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?”
Legalah hati Jiu Koan dan para anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih. Pakaiannya serba baru dengan baju kembang-kembang, sepatunya mengkilap. Seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biar pun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!
“Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!”
Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurang ajaran dalam mata pemuda asing itu.
“Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.
“Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya...“
“Seorang gagah perkasa harus malu berbohong!” mendadak Cui Lan berkata lantang. “Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami.”
“Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata.
Berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan. “Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.”
Cui Lan mengerutkan alisnya. Biar pun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.
“Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kini kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tiada kesempatan untuk berkunjung.”
“Siapakah Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.
“Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di salah satu lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur.” Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.
“Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai.”
“Maksud Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran.
“Kalau Suthai memiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi.”
“Kongcu, apa maksudmu?”
“Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai menaruh kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian...“
“Ehh, Kongcu yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau adalah orang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?”
Tang Hun tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati.”
“Tapi... tapi dia...“ Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jeri.
“Serahkan nikouw tua ini kepadaku!”
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju. Tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!
“Omitohud...!” Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!
Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biar pun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus.
Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.
Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat.
Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apa lagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini.
Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh.
Sementara itu, biar pun dia telah mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan.
Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat-cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!
“Subo...!” Phang Cui Lan berseru memanggil, akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.
“Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tidak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira.
Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah.
Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu mau membantu.
Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, “Ibu...! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?”
“Kian Bu...!” Kim Sim Nikouw amat girang ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.
“Ehhh, Ibu menangis?” Kian Bu terkejut bukan main.
Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng gunung Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.
“Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi.
Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.
“Dia siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.
“Dia... Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.
“Phang Cui Lan...? Siapa dia...?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi dengan dia?”
Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, “Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!”
Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa... apa maksud Ibu berkata demikian?”
“Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau... namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau...!”
“Ahhh...?” Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya.
“Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?”
“Ahhh...! Kiranya dia...!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu.
Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Sengjin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.
“Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?”
“Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong dia!” Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.
“Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin. “Harap kau tunjukkan jalannya.”
Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han!
Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.
Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apa lagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar.
Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!
Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi menantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andai kata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!
Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Kini dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan keangkuhannya pula dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.
“Ehh...?” Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu!
Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubrukannya luput!
Dengan sangat ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkang-nya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!
“Hemmm... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga...!” Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya.
“Nona, engkau adalah seorang dara yang cantik jelita, mempunyai kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan.”
“Tidak sudi...! Tidak sudi...!” Cui Lan berseru dengan marah pula.
“Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...”
“Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati dari pada tunduk kepada niat jahatmu!” Cui Lan membentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.
“Brettttt...!” Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit putih mulus itu.
Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?”
Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap...!”
Dia mengenal suara itu, sampai di mana pun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!
Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguh pun dia tidak merasa jeri karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.
Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biar pun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apa lagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran!
Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andai kata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.
Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.
Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil!
Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapa pun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.
Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu.
Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun!
Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan yang akan digunakannya sebagai sandera karena dia merasa jeri melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.
“Pengecut hina dina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!
“Taihiap...!” Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih.
Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapa pun sukanya kepada gadis ini?
Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.
“Subo...!” Cui Lan menubruk gurunya.
“Mari kita keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu.
Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, bahkan sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya, setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah…..
Selanjutnya baca
JODOH RAJAWALI : JILID-27