Jodoh Rajawali Jilid 22
Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar. Dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya dengan tubuh agak membongkok.
Burung rajawali yang sedang terbang itu tertahan terbangnya. Biar pun dia menggerak gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, akan tetapi burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah.
Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya.
Tiba-tiba Ji-ok berseru, “Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!”
Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkang-nya dan mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
“Hemmm...!” Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andai kata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!
Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka. Keduanya kaget bukan main. Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah bisa bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Pada saat mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat-cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.
“Aihhh, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, kini begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan di tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguh pun dia telah terpedaya.
Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung rajawali?”
“Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?”
Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, ketika dia mengangkat kedua tangannya tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, mengerahkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.
Orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.
“Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali kali untuk bermusuhan dengan siapa pun juga, tapi untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!”
Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jeri di dalam hati mereka.
Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar.
“Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk. “Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”
Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Kecil? Siapa yang kau maksudkan?”
“Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biar pun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”
Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kini di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua!
“Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita...” Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu.
Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak ‘membaca’ keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.
“Kalau kau hendak memberi tahu, segera lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”
Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu. “Dia ke mana pun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta... ha-ha-ha, begitulah orang muda.”
Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.
“Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
“Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.”
Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, kemudian menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini...“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai bangkai lembu. “Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging lezat...“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!”
Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apa bila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang mereka.
Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu!
Maka dia lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”
Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.
“Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu.
Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biar pun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!
“Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Kepala dusun bertanya dan dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan senjata mereka.
Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apa lagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.
Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang. “Ahhh, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah mengandung racun.”
Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong... bohong...! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata, “Kalian lihatlah sendiri!”
Dia menggunakan tongkatnya mencongkel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba tiba berkaok nyaring, lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati!
Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.
“Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.”
Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau!
Setelah ‘membakar’ racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”
Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.”
Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, “Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka.
Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andai kata tidak secara kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu.
Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan sekarang dia sudah melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang.
Apa yang telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biar pun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga.
Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biar pun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara sangat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari dari pada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu dari pada nama aslinya.
Andai kata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya…..
********************
Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.
Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.
Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.
Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya.
Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.
Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan.
Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!”
Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau.
Saking khawatirnya karena melihat betapa keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan sekarang bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke goa singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya.
Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biar pun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?”
“Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali.
Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?”
“Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya kereng sekali.
Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apa lagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
“Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apa lagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan.
Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu dari pada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang, dan seperti biasanya setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja hingga tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biar pun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun.
Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu.
Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa campur tangan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
“Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Ehh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?”
Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, “Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras, “Ahhh, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biar pun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?”
“Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak, makin marah.
“Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini sudah menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han!
Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
“Ehhh!” Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang.
Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget. Dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya.
Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!”
Hati yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biar pun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya.
Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
“Tar-tar-tarrr...!”
Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak. Pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu!
Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya?
Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masing-masing! Dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!
“Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah hijau macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ketiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apa lagi harus berlutut minta ampun!
“Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus dari pada menyerah kepada pembesar durna macam engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
“Tar-tar-tar-suuuuuttttt...!”
Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergelak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu sekarang meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak.
Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, mendadak cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.
“Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?” bentaknya sambil dia mencoba membetot cambuknya sekali lagi.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
“Plakkk!”
“Ahhh!” Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
“Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu segera meledak-ledak di udara saat diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main.
“Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah cepat mencabut pedangnya.
Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
“Prattt! Aduhhhhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
“Dan sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.
Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
“Prattt! Aughhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk dapat menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.
Cambuk itu masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?” Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis.
Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.
“Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
“Twako...! Twaso...!” Kok Han berseru dengan girang bukan main.
Tadi pada saat dia melihat twaso-nya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Sekarang melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.
“Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang.
Tanpa mempedulikan Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan.
Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.
Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka. Dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.
“Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar kedua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.”
Kao Kok Cu mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi.
Anak mereka diculik orang, belum juga berhasil mereka temukan, dan sekarang semua keluarga suaminya ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apa lagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li, maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga tadi dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biar pun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas, “Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”
Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentara yang hendak dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Hati Puteri Milana girang sekali ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
“Kau... Ceng Ceng...?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. “Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”
Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
“Ahh, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dahulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.
“Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk...“
“Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah masih keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.”
Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang.
Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong, “Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!”
“Bukan itu saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.” Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi yang sudah cukup repot menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.”
Milana mengangguk-angguk. “Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu.”
“Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.”
Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah, “Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima.”
Milana memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.”
Setelah meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka memang sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang tangguh.
Kao Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan pasukan yang akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima laporan dengan girang.
“Memang ayahanda kaisar lemah sekali, mau mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirangkan hatiku!” kata pangeran itu.
Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
“Enci Milana...!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu.
Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
“Bu-te...! Kian Bu... benar-benar engkaukah ini...?”
“Enci Milana...!”
Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan untuk menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi matanya.
“Kian Bu... kau... kenapakah kau? Rambutmu ini...“
Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. “Enci, lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua?”
“Tapi... tapi ayah...“
Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata supaya jangan sampai air matanya keluar.
“Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?” Kian Bu berkata untuk menghibur hati enci-nya, tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.
“Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan adiknya...“
Mendengar suara wanita yang nyaring dan bernada seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik jelita, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu.
Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekali pun, di depan kaisar sekali pun, dia tetap akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa sungkan sungkan dan ragu-ragu lagi…..
“Siapakah dia ini?” Milana bertanya.
Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada enci-nya. “Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo...“
“Ehhh...? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau ajak dia ke sini, Bu-te?” Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.
“Dia... dia bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kandungnya, hanya anak angkat...“
“Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!” Hwee Li melanjutkan.
Agar jangan menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada enci-nya, betapa dia pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang keadaan di dalam benteng lembah. Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan.
Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, Milana sangat terkejut. Betapa benteng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa oleh karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga turut tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi.
Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng amat kuat itu. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, sekarang telah mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.
“Ah, sungguh celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah menimbulkan pemberontakan pula yong lebih berbahaya. Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya jadi lebih berbahaya dari pada pemberontakan kedua pangeran Liong beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.”
Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu sangat berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat sekali untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ.
Setelah kedua orang muda itu pergi, Milana kemudian mengirim utusan, cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu…..
********************
Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat melewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap.
Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu?
“Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!” Ceng Ceng berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti.
Kok Cu menggeleng kepalanya. “Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan seluruh keluarga terancam, amat tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggota pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat melakukan tindakan yang tepat.”
Ceng Ceng hendak membantah, tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng mencurahkan perhatian, dia pun kemudian mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang. Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh pihak musuh!
Dugaan mereka ini ternyata benar, segera terdengar suara sebelum orangnya nampak. “Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!”
Lalu terdengar suara kedua, suara orang yang agaknya malas bicara, “Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu untukku!”
“Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!”
Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya.
Yang seorang amat jangkung hingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang kedua gendut pendek.
Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu sama sekali tidak mengenal suami isteri itu, karena biar pun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Siansu dan dia sudah memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu.
“Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung dengan suara serak. Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.
“Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut pendek kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung.
Tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa, juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya yang mukjijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!
Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, “Berhati hatilah.” Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya.
Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!
Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik sekali. Wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan dua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngo-ok!
“Wuuuttttt...!”
Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.
“Duk! Dukkk!”
Kedua lengan Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.
“Aaahhhhh...!”
Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.
Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia sekarang mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin membuang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung lalu membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah menggunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.
Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu segera bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu!
Su-ok terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan dadanya terasa sesak!
“Tahan...!” katanya terengah. “Apakah... apakah Sicu ini Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan kirinya itu. Kok Cu mengangguk.
“Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm... jadi kalian inikah yang telah menculik keluarga ayahku?” Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam diam menjadi jeri sekali.
Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.
Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.
“Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya untuk memasuki benteng lembah!”
Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah banteng. Dadanya yang bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akan tetapi suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali, “Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!”
Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Barusan cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat dari pada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.
“Heh-heh-heh, maafkan kami...heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan...,“ kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya makin cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!
“Kalian jalanlah lebih dulu,” kata Kok Cu dengan sikap dingin.
Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.
Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika meiewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil ‘menawan’ seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan.
Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apa lagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.
Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biar pun demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang sedemikian kuatnya ini.
Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ahhh, tentu ayahnya dipaksa, dan oleh karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya kemudian menurut saja untuk menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya.
Suami isteri pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka sudah pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.
Ketika melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?”
Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Selamat datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu Nepal...“
“Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?” mendadak Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.
“Li-enghiong berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi telah melihat sendiri betapa kuatnya keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.”
“Apa maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas.
“Sicu, kami atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama...“
“Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?”
Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan.
Akan tetapi koksu tersenyum. “Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu perjuangan ini...”
“Hanya pengkhianat-pengkhianat saja yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng.
“Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu.
“Sicu, ingatlah. Apakah Sicu juga masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan mengusir orang yang berjasa besar seperti ayahmu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.”
“Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?” Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat.
“Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke sini!” Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang.
Tidak lama kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang. Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.
Agaknya Jenderal Kao itu tadi tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya ia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi.
Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya tersiksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan lenyap di tikungan, dia kemudian membalik dan kembali menghadapi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.
“Koksu, engkau telah berhasil memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!” katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Apa pun yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andai kata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di sana itu!” Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang.
Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula!
Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapa pun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda dan aib yang dilakukan ayahnya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?
“Ayah...! Ibu...!” Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya.
Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah, lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang.
“Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main.
Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang, “Ayah, yang menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!” Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memondong dan menariknya pergi dari situ.
Akan tetapi teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.
“Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi api.
Baik Liong Tek Hwi mau pun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.
“Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedang sumoi-nya ini adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.”
“Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi pemberontakan sedangkan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andai kata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.”
“Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu. “Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu akan kami bebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.”
“Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja tidak jeri menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan menang.
“Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan kami!”
Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biar pun matanya masih berapi-api ditujukan kepada koksu.
“Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!”
Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua.
Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh kedua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biar pun wanita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apa lagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biar pun di situ ada Si Naga Sakti!
Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat, “Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang kami?”
“Ha-ha-ha!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia yang sombong sudah memasuki lembah kami, tentu tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!”
Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya, “Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh.
Ketika dua puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.
Yang mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang permainan cambuknya lihai sekali. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang istimewa. Ada pun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat.
Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng.
Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk.
Tentu saja kedua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup.
“Plak! Plak!”
Kedua tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas!
Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya, hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Namun hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang kena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biar pun bagi para tokoh sakti di situ tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.
Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kao Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan ilmu barunya itu!
Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri! Maka menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya.
Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggota Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. Andai kata Ceng Ceng tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua, termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan takkan mengalami gangguan.
Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu kemudian mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya! Dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti.
Oleh karena itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat, yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek yang dahsyat. Pendekar berlengan tunggal itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.
“Desssss...!”
Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.
Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan sekarang isterinya menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka itu!
Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.
“Braaakkkkk!” pohon itu tumbang!
“Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang jika sampai Liong-ji mereka ganggu...!” teriaknya dengan kalap.
Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang, “Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani mengganggu anak kita...“
Ceng Ceng memandang wajah suaminya, lalu mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu.
Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata, “Kita tentu saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apa bila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan pasukan Bibi Milana, kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.”
“Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk membobolnya. Apa lagi... yang mengatur dan menjaga adalah... adalah...” Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya.
Kok Cu mengangguk-angguk. “Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.”
Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena ia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu…..
********************
Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggota pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat tertib.
Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mungkin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk melenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri.
Jika atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan membersihkannya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia mampu membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk kekotorannya pula.
Pasukan dari kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Ho-nan. Ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah.
Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.
Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan. Kesombongan-kesombongan yang sudah diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan perlawanan segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat saja sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi masih terus mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri, meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat.
Setelah menduduki kota Lok-yang, Milana lalu memberi kesempatan kepada pasukan pasukannya untuk beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan para anak buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, tetapi melarang siapa pun mengganggu penduduk sehingga para penduduk kota Lok-yang yang sudah ketakutan dikarenakan membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan oleh para tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.
Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang telah menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggota pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.
Milana sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka kemudian bercakap-cakap di dalam kamar. Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke lembah.
Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.
“Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari pangeran tua Liong yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?”
“Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jeri juga.”
Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.
“Sebaiknya aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak, betapa pun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.”
Milana juga setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya. Suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasehati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu.
Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu…..
********************
Selanjutnya baca
JODOH RAJAWALI : JILID-23