Istana Pulau Es Jilid 04

Di sepanjang perjalanan Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapa dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang ‘dibencinya’ itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak oleh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak pernah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki.

Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguh pun tak pernah ia dapat melihat air matanya.

Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung, menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.

Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah, berduka dan putus harapan.

Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka serta wajahnya yang selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih. Untuk bertanya, dia tidak berani.

Sebagai seorang yang berpengalaman Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekali pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidak-senangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.

Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak goanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam goa sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.

Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari goa dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih membiru.

Hawa udara malam itu amat dingin sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam goa. Namun Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sinkang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.

Biar pun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah mendekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa siap menghadapi segala bahaya.

“Paman Han Ki...” 

Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak ‘percekcokan’ mereka dahulu, gadis cantik itu tidak pernah menegurnya, bahkan tidak pernah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!

“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.

Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk. “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”

Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dangan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya dengan sikap hendak menghibur!

Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus. “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kau makan sendiri!”

Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan membuat marah gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan, Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.

“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur. Wajahmu pucat, tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”

Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia tidak ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya! 

“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dangan dirimu!” la membentak lirih agar jangan terdangar oleh orang-orang lain di dalam goa. 

“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi, peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dangan duka atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Dari pada menangis, lebih baik tertawa! Dari pada berduka lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”

Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dangan mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya. 

“Kau... kau... sekecil ini... sudah berpendapat sedalam itu??” 

Maya tersenyum, girang melihat betapa ucapannya seolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda mala-petaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak pernah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur. Semua milikku, semua keluargaku terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat dari pada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dangan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”

Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!

“Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”

Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!” 

Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa! 

“Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!” 

Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dangan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam goa untuk tidur ditemani Khu Tek San.

Semenjak malam itu Han Ki dapat menguasai dirinya lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dangan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dangan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.

Akan tetapi tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dangan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.

Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar di sebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dangan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para piauwsu.

Para piauwsu itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dangan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun dapat sama-sama kita lindungi!”

Mendengar ini Khu Tek San hanya mengangguk-angguk. Di hatinya merasa geli sebab ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Dengan pendengarannya yang tajam sekali, Han Ki yang berada agak jauh dari mereka juga mendengar kata-kata pemimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dangan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.

Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan-lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar, mata mereka bergerak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.

Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan, meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon dengan kepala menunduk.

Maya memandang tegang kepada para piauwsu. Gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki. Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi dia kecewa melihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!

Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah. Mukanya brewok, matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.

Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok.

Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.

“Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.

Pemimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang memimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”

Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang.

“Bagus! Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?”

Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, pemimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”

Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merubah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”

“Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar Dengan Raja Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.

Akan tetapi pemimpin rombongan piauwsu ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”

“Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya. 

Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka. 

“Krekkk!!” 

Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!

“Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang brewok itu berkata sambil tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!” 

Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Ada pun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar nama ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak.

“Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.

Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San-hoat.

Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biar pun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bagaimana pun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu merupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka mau pun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang mau pun penangkis yang ampuh, apa lagi kalau dimainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!

Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget. Sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis, hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap, tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar.

Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang, Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan pemutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.

“Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kiri lawan.

Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sinkang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San memandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sinkang-nya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.

Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding, anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya. Senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa. 

Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya amat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.

“Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”

Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu seorang anggota perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang kena disambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih-rintih.

“Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput.

Memang di dalam hatinya pemuda ini merasa enggan untuk membantu para piauwsu menghadapi perampok-perampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!

Kembali Maya mengguncang pundaknya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!” 

Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian dari pada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”

Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat!

Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir, Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!

Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata. 

Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi dari pada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat ‘lowongan’ dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.

“Krekk!” tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur!

Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.

“Cring-cring-cring...!”

Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.

“Para piauwsu harap jangan melakukan pembunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?” 

Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan mala-petaka kepada orang lain.”

Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”

Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata, “Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membantah lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!’

Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biar pun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja. 

Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna-warni itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!

Setelah menghaturkan terima kasih, rombongan piauwsu memisahkan diri. Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.

“Suhu.... !” Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya.

Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India, kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang menolongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inikah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?

“Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apa lagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.

“Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Ada pun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”

Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya. “Aiihhh..., kasihan sekali engkau Anakku...!” Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu sendiri, Maya.”

Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini?

“Tidak, aku tidak mempunyai uwa, tidak mempunyai saudara atau keluarga. Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan, hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.” 

“Maya...!” Khu Tek San menegur kaget dan marah.

Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biar pun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena memiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu! 

Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee.”

Menteri Kam Liong mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwamu?” 

“Aku ingin tinggal bersama Paman Khu!” jawab Maya tegas. 

“Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki!”

Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu. 

Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan seorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.

“Ayahhh...!” Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari pada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri ayahnya.

Tek San tertawa. Disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dipeluk dan dicium pipinya. “Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang!”

Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan dan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.

“Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.”

“Aihhh...!” Isteri Khu-ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya.

Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya, Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia tidak punya siapa-siapa! Ia menjadi makin terharu setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya.

“Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cici-mu, Maya.”

Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya...!”

Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka sekali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata, “Adik Siauw Bwee...!”

“Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol ke luar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.

Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman, dan tanpa berkata-kata Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar.

Tak lama kemudian Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.

“Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian,” Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”

Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”

Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan membahayakan.”

“Siasat apa lagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.

“Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.

“Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?” 

“Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yucen kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”

Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.

Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang. “Karena engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”

“Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.

Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bernama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang, keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga kami. Sungguh menyedihkan kalau diingat.”

“Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?” 

Menteri itu menggerakkan pundaknya. “Bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunyai itikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.”

Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya Han Ki merasa makin berduka. Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi, dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin.....


********************


“Enci Maya, aku sudah minta perkenan Ayah, akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang besar saja. Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.

Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan. Sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat ketajaman otaknya, biar pun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.

Maya merasa kecewa ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya, juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”

“Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik dari pada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.

“Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja. Sekarang melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian, sungguh-sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan... hemm, kau dengar baik-baik....” Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.

Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?”

Dengan ibu jari tangan kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab, jangan engkau khawatir!”

Sambil tertawa terkekeh-kekeh kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.....
********************
Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada muridnya memang tepat. Peristiwa yang menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas.

Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.

“Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan,” demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.

“Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.

“Pertama, puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang junjungan yang dihormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Kedua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi dari pada Raja Yucen. Kemudian ketiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”

Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu, dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!

Demikianlah, secara cepat sekali ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apa lagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuhnya.

Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena memang mereka itu biasa makan minum sambil duduk di lantai, menghadapi bangku kecil di mana terdapat makanan.

Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan tinggi hadir dalam perjamuan itu, di antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.

Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang-orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.

Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu mau pun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing-masing pihak, terjadi sedikit keributan di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan memaki-maki.

“Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.

Pemimpin pengawal menjadi gugup, akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun.”

“Goblok! Mana mungkin kalian dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkat yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”

Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan! 

Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng ilmu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini, setelah ditutup pakaian Khu Tek San, berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.

Setelah berhasil mengelabui penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka menjadi heran dan ada yang menegur.

Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”

Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat ‘berdiplomasi’ dan menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apa lagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena biar pun masih kecil, dua orang bocah itu merupakan ‘pemandangan’ yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.....

Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca. Akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu, kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang.

Tiba-tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk, matanya tajam dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan kereng.

“Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih berkuasa dari pada kaisarnya sendiri!”

Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja. 

Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, “Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”

“Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”

Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.

Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”

Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini. Seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar sudah menghadang ke depan, melintangkan tombaknya memandang panglima tinggi kurus itu.

“Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat.

Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.

“Buk-buk...!” Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biar pun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!

Panglima besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit berdiri memandang panglima itu dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru. 

“Beginikah caranya menerima utusan kerajaan calon besan?” 

Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. 

“Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan.”

Kaisar mengangguk. 

“Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.”

“Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah. 

“Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!” 

Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!” 

Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengan robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari ‘perut’ panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah!

Maya segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tata susila istana, demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.

Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan! 

“Siauw Bwee... !” Khu Tek San menegur dan biar pun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat.

Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”

Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya, “Siapakah mereka ini?”

“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”

Kaisar mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong!

Sambil tertawa Kaisar berkata, “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”

Kaisar menyambar dua butir buah apel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih. 

“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.” 

Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguh pun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.

Biar pun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa pun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang. 

“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”

Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga. Biar pun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”

Panglima Besar Yucen tertawa. “Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima? Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam-taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini?”

Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!

Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.

Memang demikianlah. Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.

Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!”

Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!

“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”

Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat!

Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini, maka dia lalu berkata, “Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belum dibicarakan selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.

Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri kelihatan lega, akan tetapi di dalam hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali.

Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja, bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.

Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguh pun tidak berani berterang.

“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana...?” ketika diantar oleh Han Ki dalam perjalanan pulang bersama Maya, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.

“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakek kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.

“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?” 

“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.

Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”

“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko,” Maya berseru girang. 

“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).

Han Ki menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...”

“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?” 

Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu?”

Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”

Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!” 

Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kau tahu?!”

Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah. 

“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting,” jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar. “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan ke luar yang menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”

Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”

“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguh pun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu dari pada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”

Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran. Akan tetapi harus ia akui bahwa ‘nasihat’ Maya itu cocok benar dengan isi hatinya. “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”

Maya bertolak pinggang. “Koko, engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Ada pun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri. Benar tidak, Adik Siauw Bwee?”

Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya. 

“Awas dia kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.

“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki. 

“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendangus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.” 

Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah anak yang tabah sekali. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara Kerajaan Yucen!

Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu.

Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata, “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!”

Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya, mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.

“Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya.

Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jembatan melemparkannya ke sungai!

Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang laki-laki di atas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh Maya dan Siauw Bwee.

“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!”

Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu itu pun gelap dan mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan. 

Setelah malam berganti pagi barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.

“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”

Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata, “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”

Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini membantu kerajaan asing?”

“Kau anak kecil tahu apa!” Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.

“Biar pun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim,” Maya melanjutkan.

Si Tahi Lalat kini berkata, “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi pemerintah Sung? Pula kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”

Biar pun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”

Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing dari pada pedang dan lebih tajam dari pada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.

“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning. 

“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.” 

Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya menyeringai. 

Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. “Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang.”

“Kami pun tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!” 

Maya mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kau bawa ke manakah?” 

“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”

“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.

”Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana!” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”

“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?” 

Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, “Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biar pun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.” 

Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?” 

“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya.

Dua orang itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat. “Kami hanya melakukan perintah!” dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri.

Semenjak saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.

Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok-lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu.

Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa-bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biar pun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. mau pun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.

Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki mau pun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya! 

Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biar pun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang tersisa hanya namanya saja sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.

Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur. Untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak, sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-yang-kauw.

Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.

Tuan rumah Coa-bengcu sendiri telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu adalah seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita ini cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan, melainkan seorang murid Hoa-san-pai. Kini ia duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu.

Ada pun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.

Biar pun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu. 

Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya.

Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring, “Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”

Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”

Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.

“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain dari pada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.

Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu mengeluarkan seruan tertahan setelah melihat isi bungkusan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?

“Apa... apa maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja. 

Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,”Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”

Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira she Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!

Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, “Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”

Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”

Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Ha-ha-ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?”

“Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” kata Si Tahi Lalat.

Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.

“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”

Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!” katanya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan...? Puteri Panglima Khu...?”

Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.

“Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.

“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan mala-petaka di kalangan kamil!” Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya.

Dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.

“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.

“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain. 

Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.

Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredup terdengarlah suaranya lantang, “Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dandam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh, melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali.

Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus mengandalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang mana pun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya.

Kalau dia berikan begitu saja, selain dia merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.

“Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?” beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.

Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”

“Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee.

Ada pun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dandam kepada nenek moyang anak-anak itu.

Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata. 

“Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang tidak mengenal peri-kemanusiaan?”

Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.

Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita semua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.”

Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa.

Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.

Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia, juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguji mereka, sungguh pun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apa bila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!”

Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang, kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalam beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.

“Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini. Ada pun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itu!” Setelah berkata demikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.

“Cuat-cuat-cuat...!” Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!

Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu ginkang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.

“Sekarang kami mempersilakan Cu-wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ke tempat duduknya.

Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri. Setelah dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi, malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcu. Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi, demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyambar dua potong roti, juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.

Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.

Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengangkat singa besi. Jangankan sampai terangkat melewati pundak, yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengelurkan suara ah-ah-uh-uh dan menarik-narik singa besi itu, sedikit pun tak dapat menggerakkannya!

Menyaksikan kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali, hati para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba, khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!

“Hemm? biarkan aku mencobanya!” terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San.

Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus. Kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi itu sampai ke atas pundaknya, kemudian cepat ia melepaskannya kembali hingga singa besi itu jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.

Biar pun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.

Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”

Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hampir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.

Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum penuh aksi, apa lagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!

“Heh-heh-heh, maafkan...! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”

Melihat semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya. Ia kemudian membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja, menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!

“Uhhh... brooooottt!!” 

Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos ke luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar.....

Biar pun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan lagak merendah seperti seorang jagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak!

Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali, menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!

Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biar pun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin ginkang-nya tidak setinggi Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sinkang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki dan tangannya untuk melekat pada dinding seperti telapak kaki cecak!

“Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,” bisik Siauw Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan. 

“Hussh, siapa sudi? Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa ke luar!” jawab Maya. 

“Ihhh... Jijik...!” Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan. 

Dua orang anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, namun masih enak-enak makan minum dan tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak-anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!

Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcu, kemudian menurunkan semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!

Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedangkan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!

Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan dengan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan berjalan perlahan ke pintu.

“He, ke mana kalian mau lari?!” tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru.

Mendengar ini Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar ke luar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak.

Akan tetapi dua orang anak perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik adalah kenyataan bahwa betapa pun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu!

Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, kesemuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan aneh nya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh belakang Si Kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!

Akhirnya semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Namun tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan mata terbelalak.

“Siancai.... Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu...!” Seorang tosu yang menjadi tamu berkata lirih.

Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu. 

“Suling Emaskah...?” 

Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. “Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu. Beliau adalah... Bu Kek Siansu....”

“Aihhh...” Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu-beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!”

“Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan. Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....”

Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditiadakan. Betapa pun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?

Maya dan Siauw Bwee masih terheran-heran dan mereka melongo memandang wajah kakek berambut panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi ketika mereka ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik ke luar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.

Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya?

Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat dari pada sekumpulan manusia sesat tadi!

“Kong-kong (Kakek), engkau siapakah?” tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas. 

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang. 

Maya menjadi curiga dan tidak sabar. “Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?”

Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali. 

“Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!” Siauw Bwee berkata, tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu. 

“Hemm, kalau hanya tuli masih untung! Jangan-jangan dia ini malah lebih jahat dari pada Bengcu dan kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia iblis!” kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.

“Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.” 

“Ohhh...!” Siauw Bwee melongo. 
“Ahhh...!” Maya juga berseru dengan mata terbelalak!

Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari, bersumber dari pada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut.

Mereka menaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.....

********************
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-05
LihatTutupKomentar