Istana Pulau Es Jilid 05
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika perhatian para peronda itu terpecah, kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat.
Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain. Bahkan di halaman tamu istana, Kaisar sendiri sedang menjamu utusan-utusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat.
Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biar pun dia itu masih belum dewasa. Kalau memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa?
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar dia melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dengan hiasan rambut terbuat dari permata terhias mutiara yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki!
Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasih-kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!
“Han Ki-koko...!” Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu.
Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Ia meloncat ke luar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. “Dewi pujaan hatiku... kekasihku... Hong Kwi...!”
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan. Ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada dekat di depannya, matanya yang basah terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu.
“Koko... ah, Koko.... Aku... aku telah....”
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya. Sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata yang mengalir deras sambil berbisik.
“Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini....”
“Aduh, Koko... bagaimana dengan nasibku...? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana...?” Ia tersedu kembali.
“Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!”
“Aihhh...!” Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik, “Kau maksudkan... minggat?”
“Mengapa tidak? Bukankah kita saling mencinta?” Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. “Kita pergi bersama, takkan saling berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, Hong Kwi...!”
“Tidak! Tidak bisa begitu, Koko... Aku lebih baik mati. Lebih baik kau bunuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi...? Koko, kau bunuhlah aku...!”
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
“Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hong Kwi kekasihku?”
“Ada jalan yang lebih baik, Koko!” tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat. Biar pun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah jambon berbeda sekali dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya berseri-seri aneh.
“Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapa pun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini. Koko... ambillah tubuhku... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain secara paksa!”
Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak dapat berkata apa-apa dan hanya memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
“Bagaimana, Koko...? Apakah... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaan terakhirku ini?” Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
“Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku... ah..., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan kotor! Lebih baik aku mati dari pada mengotori dirimu yang murni! Tidak, betapa pun besar hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu birahiku terhadapmu sudah hampir menggelapkan mataku, namun... aku... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!”
“Kalau begitu, bagaimana baiknya... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita...” Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. “Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biar pun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Ada pun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hina dina, setelah melakukan pelanggaran susila, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apa lagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia ini!”
“Aduhhh, Koko... bagaimana baiknya...?”
“Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapa pun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita... ah, Hong Kwi...” Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
“Aduhhh... Sri Baginda datang...” Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
“Koko... cepat... bersembunyi...” Hong Kwi berseru lirih.
“Di mana...? Lebih baik aku pergi saja...”
“Jangan! Kau bisa ketahuan dan... dan kita celaka! Lekas... kolam itu, kau masuklah dan bersembunyi di bawah daun teratai...”
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas, sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
“Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman... eh, kau... habis menangis?” Kaisar menegur puterinya dengan suara kereng dan marah.
Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apa lagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang ‘pengganggu kesusilaan’!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
“Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini?” kembali Sri Baginda bertanya dengan suara kereng.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?” Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
“Ham... hamba ti... tidak melihatnya...” Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.
“Periksa semua tempat di sekitar sini!” Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
“Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti?” Kaisar membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk.
Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
“Hong Kwi...!” Ia berkata lalu meloncat ke luar.
“Koko... ahhh... hampir saja... Aku harus segera masuk. Han Ki Koko, selamat berpisah, selamat tinggal... sampai jumpa pula di akherat kelak...,” puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
“Hong Kwi...,” ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal istana yang dipimpin oleh... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
“Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biar pun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!”
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
“Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apa lagi namamu!”
Wajah Suma Kiat menjadi merah saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biar pun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat, yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen. Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
“Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?” Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah ‘tertangkap basah’ ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam telinganya.
“Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun.”
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak bersalah, karena itu dia tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
”Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman!” Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari jalan ke luar tanpa membunuh orang.
“Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!” katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
“Apa? Kau hendak melawan? Serbu!” Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher.
Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang sedangkan totokan jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
“Cringgg...” Dukkk!”
Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya tertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan menyerang lagi dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala para pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang.
“Kesempatan yang amat baik,” pikir Han Ki. Sekali ia menggenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
“Penjahat cabul hendak lari ke mana?” terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
“Cringg... tranggg... wuuuttt!”
Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya.
“Siuuttttt...!”
Kembali Han Ki harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya kuningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan mengerahkan tenaga, lalu membabat dari samping.
“Trangggg...!” bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget.
Tubuhnya terguling, lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapa pun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang lihai, sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu silat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apa lagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!
Namun harus dipuji keuletan pemuda ini. Biar pun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan pengerahan sinkang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin pengeroyokan ini berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
“Panggil semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!” bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han Ki masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi kering kembali, melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan dan biar pun sinkang-nya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
“Habis aku sekali ini...,” keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam terganti pagi!
Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana!
Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya bersembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk ‘menyikat’ hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya. Dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang, berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya.
Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jeri, otomatis meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya.
“Awas senjata rahasia!” bentaknya.
Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip. Akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biar pun hanya butiran-butiran pasir, jika dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
“Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup!” Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap, bahkan kini berani memasuki istana.
Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlomba memasuki istana. Ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya! Bala bantuan dari luar istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki istana terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdanyut-danyut saking lelahnya. Setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan.
Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita ber-liamkeng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadapan seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang mengejarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
“Kita harus mengepung seluruh jalan dalam istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang mendekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan sapu tangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi pelayan wanita yang berlutut di depannya tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
“Jangan menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!”
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng sapu tangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. “Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan...”
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup sapu tangan itu. “Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?”
“Benar, hambalah orang itu!”
“Siapa namamu?”
“Hamba Kam Han Ki...”
“She Kam? Ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”
“Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...”
“Hemmm...! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus, “Siapa di luar?”
“Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang.
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa Ibu Suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya!
Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa Ibu Suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok sapu tangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?” tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka. Di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu Suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata, “Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar.” Suara nenek itu halus, akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi.
Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat, dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-hu-mu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup, akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”
“Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!” kata Han Ki. Semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat ke luar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya dikerjakan, dan biar pun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar, maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai. Kini di ruangan terbatas ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapa pun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
“Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt... cring-cring...!”
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biar pun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sinkang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum, lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pengeroyoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya dia hanya terluka dan belum tertangkap. Sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tujuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee, murid Suma Kiat yang dadanya tergores pedang sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkang-nya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggota keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu ‘enak’ bagi Han Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apa lagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan dari pada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya tentu dianggap mengacau istana dan dianggap berdosa besar, pasti pula akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam, padahal ini sungguh tidak ia kehendaki sehingga membuat dirinya merasa menyesal sekali.
Betapa pun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat ‘mematikan rasa’ sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apa pun juga.
Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat. Dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee yang ia tinggalkan di tengah jalan.....
********************
Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak. Mereka pun berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dan menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan istana bersama Maya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah dia disambut teguran isterinya, mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang?!
“Apa...?! Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!” Panglima ini berkata dengan suara keras.
Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguh pun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apa lagi karena utusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul. Waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong. Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia. Kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
“Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan... ah, betapa pun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?”
“Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....”
“Apa...?!” Menteri tua itu menjadi terkejut.
“Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok. Akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.”
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih, “Mengapa... mengapa...?”
Ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya, mengapa keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
“Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap. Sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.”
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, “Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak mungkin ia tidak membantu Han Ki karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu. Setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan ke kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.....
Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, “Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku...”
“Suhu...!” Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia. “Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apa bila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kau pulanglah!”
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
“Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Gobi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Ada pun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.”
Tek San kaget sekali. “Akan tetapi... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”
“Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.”
“Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!”
Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.
“Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”
“Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apa lagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.”
“Akan tetapi... keluargamu?”
“Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”
“Tapi... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...”
“Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biar pun kekuasaan Suhu lebih besar dari pada teecu karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima dari pada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.”
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apa lagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya. Wajah isterinya pucat dan matanya merah karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka.
Hari itu juga, menjelang senja nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam. Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk, namun dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa. Laki-laki bongkok ini pendiam, namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
“Gu Toan,” kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”
“Hamba mengerti, Taijin.”
“Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Gobi-san. Kau carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. “Nah, kau berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersemedhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat ke luar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu.
Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka. Kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas, sungguh pun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka.
Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biar pun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana, ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!
Ada pun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, lengan, dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi, dan kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apa lagi dengan pakaiannya yang berat itu. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas, sebagian lagi melenggut saking mengantuk. Hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sambil main kartu. Mereka terkejut melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
“Maaf... hamba... hamba tidak tahu...” Kepala pengawal berkata gugup karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
“Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
“Bu... buka pintu... tapi... hamba tak boleh...” Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
“Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Maaf... hamba tidak membantah, Ciangkun... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....”
“Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap dari pada suara Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”
Mendengar ini penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, segera tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh ‘pulas’ di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
“Plakkk...!”
Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.
“Tek San! Cepat kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sigapnya meloncat ke depan.
Sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, lalu ia mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas, dan pada saat itu terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.
“Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana.
Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan, dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
“Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga! Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”
“Tek San, ikuti aku!” Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!
Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata. Di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya!
Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
“Trangggg, tringg... cringggg...!”
Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
“Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!” Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya, menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.
Mereka maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya. Jika mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota raja tentu mereka terancam bahaya hebat. Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan. Tek San mengerti benar bahwa apa bila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar dari kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak. Demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos ke luar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu ke luar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pasukan, juga memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan ke luar dari kota raja! Sementara itu dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar mengamuk, bukan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
“Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!” bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
“Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!” Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.
“Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kau bebaskan!” teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat mau pun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat.
“Tek San! Lari...!” Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat.
Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesempatan ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
“Wirrr... wirrr...!” Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.
Namun pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri ke luar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
“Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
“Suhu...!” Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
“Hemm, bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
“Cet-cet cettt...!” belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
“Keparat!” Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka ‘termakan’ piauw mereka sendiri.
“Suhu... kalau sampai gagal... harap Suhu maafkan teecu...!”
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
“Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak.
Akan tetapi biar pun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
“Kejar...”
“Tangkap...!”
“Bunuh mereka semua...!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
“Tring-tranggg...!”
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
“Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormati!” Tek San membentak marah dan memutar pedangnya.
Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
“Cringgg...!” dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.
Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biar pun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
“Khu Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan dari pada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”
“Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati dari pada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San berseru marah dan menyerang.
Sambil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdik.
Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
“Tranggg...!”
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental, maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
“Cett!” Darahnya muncrat ke luar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat.
Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
“Keparat, hendak lari ke mana kau?!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San.
Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, jarum-jarum ini meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!
“Trik-trik!” dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
“Suhu, awas...!” Siangkoan Lee berseru.
Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini membantu muridnya.
“Tek San, lari...!” Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.
Biar pun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya.
Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong merasa berduka dan gelisah sekali.
Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan mala-petaka besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orang prajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
“Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima, lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang prajurit pengawal. Akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan daun kipasnya robek ketika menangkis lima pedang sekaligus mematahkan semua pedang itu. Biar pun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan ‘tercuci’ darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.
Akan tetapi karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki.
Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi muridnya belum begitu tua, mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Ada pun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan.
Apa lagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biar pun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.
Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan hingga membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apa lagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biar pun sudah terluka dan merasa jeri untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang. Di bawah pimpinannya sendiri, Suma Kiat menanti saat baik. Selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
“Tek, San awas anak panah...!” Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya.
Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
“Suhu...!” Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentang lebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.
Puluhan orang prajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri, ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
“Ayahhhh...!” Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
“Pek-hu...!” Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dan Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.
“Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini...!” Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mukjizat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, lalu berkata lirih.
“Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh mengherankan, dua orang perempuan yang dilanda duka itu, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang. Masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk-angguk. “Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka.”
Gu Toan menengok. Begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata, “Hamba mohon petunjuk.”
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya.
Tentu saja ia menjadi girang sekali dan ‘membuka’ semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi. Maklum bahwa dalam saat yang penuh mukjizat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah perkuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan. Sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’, namun sesungguhnya yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu.
Akan tetapi memang sesungguhnyalah kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti, Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!
Dengan langkah tenang Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak. Yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka.
Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biar pun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apa lagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee.
Dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat. Betapa pun juga Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya. Mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus, “Han Ki...”
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu kesehatannya cepat pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya dan Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini. Dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
“Suhu...!” Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee.
Kedua orang anak perempuan ini tidak berani banyak bertanya selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
“Han Ki, dangarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.”
“Suhu...! Apa... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki. Hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua orang anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu....”
“Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan... engkau hati-hatilah karena bukan hal ringan yang kau hadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoi-mu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan....”
“Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat di dalam goa batu karang di tebing laut. Bawalah kedua sumoi-mu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.”
“Pulau Es...?” Han Ki berdebar tegang.
“Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...,” kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
“Suhu hendak ke manakah?” tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Kuberi tahu juga engkau tidak mengerti, Siauw Bwee.”
“Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.
“Bertanyalah selagi ada kesempatan, Maya.”
“Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”
Kakek itu tersenyum dan memandang kepada Han Ki. “Jawabannya boleh kau dengar dari Suheng-mu. Mulai saat ini, segala hal dapat kau tanyakan kepada Suheng-mu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.”
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. “Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”
Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biar pun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
“Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap... Cinta...!” Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke... laut di bawah tebing!
“Suhu...!” Han Ki berteriak kaget
“Suhu...!” Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ke timur.
“Suhu...!!” mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak.....
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-06