Si Tangan Sakti Jilid 11
Thian Tocu dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu empat orang sute-nya yang juga menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian Tocu karena dia bukan saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah tiba di kaki bukit, Thian Tocu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!
Pada saat empat orang tosu dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha menyadarkannya, mereka mendengar suara seorang wanita yang bertanya, "Totiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa Totiang itu? Ehh, bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?"
Empat orang tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya. Pakaiannya berwarna serba merah.
"Aihh, bukankah dia Thian Tocu Totiang dari Bu-tong-pai?" tanya gadis itu lagi dengan nada suara heran. "Kenapa dia?"
Kini dua di antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah di kuil mereka.
"Kiranya Ang-ho Lihiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!" seorang di antara mereka berseru. "Kami berlima baru turun dari bukit, sehabis berkunjung ke Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya."
"Ahhh?!"
Gadis itu adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia merasa heran bukan main mendengar bahwa ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai. Bukankah Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang Bu-tong-pai? Jika ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah perkasa.
Tetapi yang lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang gagah, para muridnya pun banyak yang menjadi pendekar. Bahkan ayahnya amat menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba menolong para tosu itu.
"Biarkan aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkan dia," katanya.
Melihat sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian Tocu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!
"Coba ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti ini," katanya.
Empat orang tosu itu lalu menceritakan mengenai perkelahian mereka melawan ketua Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.
Sian Li mengerutkan alisnya. "Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya."
Seorang tosu membuka baju yang menutupi dada Thian Tocu dan mereka terkejut melihat dada itu kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk.
"Dia telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin seorang ketua Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?"
"Pemuda itu memang keji, aneh, seperti iblis!"
"Pemuda? Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?"
"Dia masih muda sekali, Lihiap, paling tua baru dua puluh empat tahun."
"Ahhh? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?"
"Bukan. Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia."
Sian Li merasa heran sekali. "Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih dahulu," katanya.
Gadis murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lantas mengeluarkan dua batang jarum emas. Dia mengobati Thian Tocu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap dan tosu Bu-tong-pai itu siuman. Biar pun masih agak lemah, dia telah mampu bangkit.
"Siancai..., kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tan Lihiap," kata Thian Tocu.
"Totiang, apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari kalau-kalau Han-koko berada di sana."
"Siapakah Han-koko itu, Lihiap?" tanya Thian Tocu.
"Yang kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Taihiap. Bukankah dia merupakan pemimpin besar Thian-li-pang?"
Mendengar ini, Thian Tocu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram.
"Siancai..., suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap." Dia memandang ke atas bukit. "Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang inilah maka kami berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan. Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka."
Tentu saja, Sian Li tertarik sekali. "Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan Thian-li-pang?"
"Pada mulanya kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui serta beberapa orang pembantunya sudah tewas. Kemudian terdengar berita lainnya bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini, membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan dengan golongan sesat, bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Sebetulnya, kami dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai adanya sebuah berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh oleh Sin-ciang Taihiap Yo Han."
"Ahhhh... tidak mungkin...!!" Sian Li berseru, kaget bukan main.
"Kami juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa adanya Sin-ciang Taihiap. Apa lagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tiada yang dibunuhnya. Dia menundukkan penjahat dan menasehatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat kembali ke jalan benar. Akan tetapi, muncul berita lain lagi yang terlalu aneh, yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini, Sin-ciang Taihiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!"
"Ahhhhh...!!" Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya terbelalak. "Aku... aku tidak percaya!"
"Kami juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam keadaan terluka."
"Kalau begitu, aku harus cepat menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!" Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah lenyap dari depan para tosu itu.
Thian Tocu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Sungguh berbahaya sekali, tapi mudah-mudahan Tan Lihiap akan mampu menandingi iblis itu," katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.
Dengan hati diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki Bukit Naga.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar seruan.
Dari balik pohon dan semak belukar, berloncatan sepuluh orang anggota Thian-li-pang dan mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh orang anggota Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan kembali menyarungkan golok mereka.
Mereka tentu saja memandang rendah seorang gadis cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biar pun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang ajar. Ketua mereka memiliki hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang ajaran mereka cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.
"Nona, siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang tamu dari Thian-li-pang?"
Karena merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya sudah dibunuh oleh ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, "Apakah kalian ini anak buah Thian-li-pang?"
"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?"
"Siapakah nama ketua Thian-li-pang sekarang?" tanya Sian Li.
Orang-orang itu saling pandang. Mereka masih ragu-ragu karena belum tahu, apakah gadis ini teman ataukah lawan.
“Ouw pangcu kami bernama Ouw Seng Bu," berkata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh kurus kering dan mukanya kuning.
"Katakan kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li."
Mendengar bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata, "Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua kami."
Sian Li mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.
Pada saat itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok. Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasil ia menaklukkan partai-partai persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah.
Cu Kim Giok hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini makin kagum kepada Ouw Seng Bu dan sekarang tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap bahwa dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu.
Ia menyadari sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, tetapi ia lalu menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu, bahwa memang demikianlah perjuangan. Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar. Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh perhatian, penuh kasih sayang!
Daun pintu ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya.
"Masuk!" katanya lantang.
Si kurus kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. "Ada urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?"
"Maaf, Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan."
"Siapakah namanya dan apa keperluannya?"
"Ia tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan Sian Li..."
"Ahhh, ia Sian Li...!" seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.
"Si Bangau Merah...!" seru pula Siangkoan Kok.
"Kalian sudah mengenalnya?" tanya Ouw Seng Bu dengan heran. "Siapakah gadis itu, Giok-moi?"
"Bu-koko, Tan Sian Li adalah puterinya Paman Tan Sin Hong," jawab Kim Giok. "Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng Liong."
"Dialah Si Bangau Merah. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir," kata pula Siangkoan Kok.
"Ahhh...!" Ouw Seng Bu terkejut sekali. "Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku tidak mengenalnya." Lalu kepada si kurus kering dia berkata, "Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di ruangan tamu. Aku segera menemuinya di sana."
Setelah si kurus kering pergi, dia lalu menoleh kepada Kim Giok. "Giok-moi, engkau mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?"
"Terus terang aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk..."
Wajah Ouw Seng Bu berubah. "Ahh, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita."
"Koko, harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita," kata Kim Giok.
"Engkau benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan malah hendak membalas dendam karena kematian Yo Han?"
"Kalau begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!" kata Siangkoan Kok.
"Aku tidak setuju!" kata Cu Kim Giok tegas, "Aku tidak rela kalau ia dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku. Tidak mungkin aku membiarkan orang membunuhnya!"
"Giok-moi, apakah engkau membiarkan dia membalas dendam atas kematian Yo Han dan menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau dia membunuhku? Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga menyerang, kita akan celaka. Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki banyak orang sakti?"
"Tidak, aku tak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tak ingin engkau membunuhnya. Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya supaya dia mau melihat kenyataan bahwa Yo Han tewas karena ulahnya sendiri dan agar ia tidak memusuhi kita."
"Andai kata usahamu itu gagal?"
"Kalau begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang dia dibunuh."
"Baiklah, Giok-moi. Kalau dia berkeras kita tangkap dan tawan saja dia sebagai tamu, agar dia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan."
Terdengar ketukan pada daun pintu diikuti suara si kurus kering tadi, "Lapor, Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu."
"Baik, kami segera datang. Mari, Giok-moi!"
Siangkoan Kok tidak ikut serta. Kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan mengejutkan gadis itu dan bisa mendatangkan kesan buruk pula karena mereka pernah bermusuhan dan bertanding.
Sian Li sudah menjadi tidak sabar akibat menanti terlalu lama, maka ketika mendengar langkah orang dari dalam, dia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia takut kalau salah lihat dan mungkin saja gadis itu orang lain yang hanya mirip Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.
"Sian Li...!" Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah. "Kiranya engkau!"
"Jadi benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di sini?"
"Panjang ceritanya, Sian Li. Perkenalkan lebih dulu, ia ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu dari Thian-li-pang. Silakan duduk!"
Sian Li masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Dia melihat pangcu yang masih muda itu bersikap sopan dan hormat sekali.
"Sungguh merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu ini, Nona. Bukankah Nona yang berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia kang-ouw," kata Ouw Seng Bu.
"Ouw-pangcu, aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap engkau suka menjawab sejujurnya!"
"Sian Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar gagah, seorang pahlawan bangsa yang sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Sudah tentu dia akan menjawab semua dengan sejujurnya," kata Cu Kim Giok.
"Kim Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri," kata Sian Li.
Dia masih ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang. Memang dia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ, akan tetapi dia mengesampingkan keinginan tahu ini karena dia lebih mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang, dan terutama tentang Yo Han seperti yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.
"Tanyalah, Nona. Saya akan menjawab sejujurnya," kata Ouw Seng Bu.
Sian Li berpikir, biar pun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.
"Ouw-pangcu, aku mendengar berita bahwa Thian-li-pang sudah menaklukkan banyak partai persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Benarkah itu dan mengapa demikian! Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa dan selalu menentang partai-partai sesat."
Ouw Seng Bu tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia sudah dapat mengira apa yang akan dipertanyakan, maka dia pun tentu saja sudah siap dengan jawabannya.
"Itulah pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat. Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa, menyadarkan semua pihak untuk mau bekerja sama dalam satu perjuangan menentang penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami tidak berpantang untuk bersekutu dengan pihak mana pun, termasuk dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan."
"Aku setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li," kata Kim Giok.
"Begitukah, Kim Giok? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku juga mendengar bahwa para pimpinan Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, sudah tewas dibunuh orang. Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siapa pelakunya?" Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.
Ouw Seng Bu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Pertanyaan ini sangat menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya, kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah bahwa mereka itu tewas dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han."
"Tidak mungkin!" Sian Li berteriak. "Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah seorang pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan dari Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang sendiri?"
"Kami sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Dahulunya Sin-ciang Taihiap Yo Han merupakan pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali anggota Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas bahwa mereka pun melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han."
"Hemmm, begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng Bu, sudah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han. Benarkah hal itu?" berkata demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang.
Ouw Seng Bu nampak tegang dan gelisah, lehernya basah oleh peluh. "Nona Tan Sian Li, sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang telah terjadi pada diri Sin-ciang Taihiap karena dia sudah berubah sama sekali. Dia datang dan menyerang saya ketika saya berada di dekat sumur keramat di belakang bukit. Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saja saya tewas. Akan tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo Taihiap tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami semua takut kepadanya yang seakan-akan sudah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami, terpaksa kami gunakan batu-batu untuk menutup sumur itu."
"Tidak...! Bohong...! Aku tidak percaya! Kau kira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia adalah kakak angkatku, suheng-ku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini. Aku amat mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!"
"Maaf, Sian Li," kata Cu Kim Giok. "Terpaksa sekali ini aku turut mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar semua, sebab aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir saja tewas, bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?"
"Aku tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli. Siapa pun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur itu, di mana tadi kau katakan Yo Han tergelincir masuk!"
Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Sungguh, ini merupakan masalah yang selalu membuat kami semua sangat berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kau kehendaki, marilah!"
Tanpa banyak cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan tamu itu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui sebuah bukit kecil. Dia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggota Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.
Setelah tiba di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu. "Di situlah dia tergelincir masuk, Nona."
Mendengar bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan sudah ditimbuni oleh batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya dia menjerit melihat betapa seluruh sumur telah tertutup batu. Memang tidak penuh sekali, akan tetapi dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan.
Wajah Sian Li menjadi pucat. Matanya mencorong, akan tetapi basah air mata ketika ia membalikkan tubuh. Ia melihat bahwa Seng Bu masih berdiri tegak dan di belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.
"Ouw Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!"
"Aih, Nona, bagaimana mungkin? Sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami orang Thian-li-pang..."
“Aku tidak peduli! Batu-batu itu tadinya dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang Thian-li-pang, maka mereka pulalah yang harus mengangkatnya dari dalam sumur. Aku ingin melihat bukti dari keteranganmu tadi. Aku ingin melihat... mayat... Han-koko. Kalau engkau tak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi aku, dan aku akan membunuhmu!"
"Sian Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak berbohong. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia dari pada kita saling bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah..."
"Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dia dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!"
Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggota Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga berada di dalam kepungan! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw.
Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata, "Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu."
"Singgg...!” Nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.
"Hemmm, dari sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau sudah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar balik kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andai kata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Kini engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan bermimpi! Si Bangau Merah tak mengenal kata menyerah. Sekarang kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, sudah berada pula di sini dan dua orang tosu ini tentu juga merupakan orang-orang sesat!"
"Tangkap gadis sombong ini!" Ouw Seng Bu membentak.
Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga ikut menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggota Thian-li-pang mengepung ketat.
Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya hingga nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah. Gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggota perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.
"Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!" bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu.
Para anggota Thian-li-pang yang memang sudah merasa jeri segera mengendurkan pengepungan. Sekarang yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang Ji, Kui Thiancu dan Ouw Seng Bu sendiri.
Cu Kim Giok masih belum bergerak. Ia hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata masing-masing menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang sangat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.
"Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya."
"Giok-moi, dia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, dia tentu akan melapor kepada pemerintah dan jika pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita masih belum siap menghadapi mereka."
"Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan dibunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!"
Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya. Jika sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan kemudian pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es beserta Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?
"Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah ini, jangan dibunuh dan jangan dilukai. Kami hanya ingin menawannya," serunya kepada tiga orang sekutunya.
Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok mempergunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling emas di tangan gadis itu, sedangkan serangan dilakukan oleh tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan.
Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang Ji, tokoh dari Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai, dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun.
Juga Kui Thiancu, tokoh Pek-lian-kauw yang menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.
Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagai mana pun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang mempunyai banyak pengalaman itu.
Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Dia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li mampu bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.
Pada waktu melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah, Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.
"Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!" Cu Kim Giok berteriak.
Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh semacam Si Bangau Merah, apa lagi bila Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga supaya tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.
Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa dia mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.
"Desss...!"
Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya sehingga tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini cepat-cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih dapat menghindar dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.
Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!
Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira bahwa pangeran itu yang sudah menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu pun mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Dalam pertemuan itu, mereka bahkan saling menemukan cinta mereka. Akhirnya Cia Sun mengajak Hui Eng untuk menemui orang tua kandungnya yang asli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.
Di dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang telah menaklukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun.
Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han. Dia tahu pula bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang sedang berjuang bagi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu.
Akan tetapi, apa yang didengarnya sekarang? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggota perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.
"Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!" kata pangeran itu.
Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han supaya menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka lalu membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang.
Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li tengah dikeroyok oleh empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, "Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!"
Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah dia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dengan dia! Jika saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.
"Kalau begitu, kita harus membantunya."
"Benar, kita harus membantunya. Lihatlah, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya."
Dengan kemarahan meluap karena teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, karena terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh oleh bekas ketua Pao-beng-pai itu, serta apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanannya dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!
"Ehhh... kau...!??" Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya.
Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan. Gadis itu telah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Ada pun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.
Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri!
Juga ia tak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera bisa melihat kenyataan bahwa biar pun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyoknya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.
"Bu-koko, jangan bunuh mereka! Jangan!" kembali Cu Kini Giok berseru.
Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, "Sobat, mari kita pergi!"
Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.
Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru, "Eng-moi, kita pergi!"
Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru, "Koko, jangan kejar mereka!"
Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan agaknya, oleh karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran akibat pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jeri untuk melakukan pengejaran sendiri.
Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat, pergi meninggalkan sarang Thian-li-pang…..
Setelah mereka berlari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan pengejaran, Sian Li menghentikan langkahnya. Dengan sendirinya Cia Sun dan Hui Eng juga berhenti berlari. Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling memandang.
Akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng.
"Sekarang boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, mengapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"
Sebelum Hui Eng menjawab, karena hal ini terasa sukar sekali baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan.
"Nona Tan Sian Li, memang sudah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, dia sendiri pun terheran-heran ketika mendengar tentang keadaan dirinya."
Sian Li mengerutkan alisnya dan kini dia mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin. "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"
Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh... sebetulnya... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun..."
"Cia...?" Sekarang Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun...? Kau... maksudkan pangeran...?"
"Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita..." Cia Sun tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semuanya ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi."
Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan di antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah dan ibunya dicalonkan menjadi suaminya.
"Nona, ketika memusuhi keluargamu dan para pendekar, Eng-moi ini adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Akan tetapi, sekarang Eng-moi bukan lagi puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuh besarnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil."
Sian Li terbelalak. "Aihhh...! Jadi engkau... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"
"Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu aku sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa aku bahkan anggota keluarga dekat dengan keluarga yang kutantang, sama sekali tak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku itu adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir."
Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua mengenai dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja dia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan dia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.
"Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suami isteri pendekar, maka biar pun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Kemudian, bagaimana pula ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"
"Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han..."
"Kakak angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.
"Benar, Nona Tan. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku sudah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untunglah ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Lalu Pao-beng-pai diserbu oleh pasukan pemerintah. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, lalu ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi dia tidak ada dan aku malah sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku…"
Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.
"Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan dan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tak peduli kalau Pao-beng-pai yang jahat itu hancur, akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka aku menyusul ia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami... kami lalu berbaik kembali, apa lagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."
"Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang, lalu menyambung cerita kekasihnya tadi. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita sudah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Meski setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku sudah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."
Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”
"Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah dan ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali kenapa Thian-li-pang dapat berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han itu menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau di sana ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."
Sian Li kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau masih belum tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah?! Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng..."
"Benar, Nona. Aku adalah seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Aku bercita-cita untuk menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tak mau memiliki ambisi untuk memegang kedudukan. Sebab itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."
Sian Li mengangguk-angguk kagum dan dia memandang kepada Hui Eng.
"Aihh, enci Eng, engkau sudah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku kenapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran."
Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.
"Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Tapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."
Sian Li menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekali pun. Siapa yang pernah menyangka bahwa aku akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkan denganku akan tetapi tak pernah kukenal dan akhirnya harus kutolak, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluargaku? Kalian datang pada saat yang tepat sekali, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu."
"Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan dikeroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.
Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan mendadak wajahnya menjadi muram. Kalau saja dia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu dia pun sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.
Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.
"Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya..."
"Tidak, Pangeran, bukan begitu, tetapi, ahhh, hatiku sangat risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku ini dan biarlah kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan padamu, pengakuan yang hanya dapat aku lakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han... kami berdua... ehhh..."
Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali, terlebih lagi bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun lalu tersenyum, "Kalian saling mencinta?"
Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.
"Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu."
"Pada waktu tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Oleh karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."
Mendengar ini, Hui Eng lalu berkata. "Aihhh, kalian semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri malah sudah bertindak jahat, mengacau di sana..." Suaranya penuh penyesalan.
"Ahh, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puterinya ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."
"Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu."
Sian Li kemudian menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka dia pun merasa penasaran dan ingin sekali menyelidiki. Akhirnya dia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penuturan mereka yang membuat dirinya terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.
"Apa...?! Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.
"Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tak percaya lagi ketika Ouw Seng Bu, ketua yang baru itu, menceritakan bahwa Han-koko sudah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan akhirnya terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buahnya mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan... dan... mereka lalu menimbuni sumur tua itu dengan batu." Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.
"Tetapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, namun suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.
"Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?"
"Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok, lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."
"Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentu orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmu kepandaiannya. Mungkin dialah yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!"
"Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang sangat mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."
"Cu Kim Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.
"Cu Kim Giok adalah puterinya Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Dia keturunan terakhir dari keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia bisa berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok inilah yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."
"Aihh, jangan-jangan gadis itu sudah dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."
"Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, dia berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu supaya jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya dia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu benar seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya dia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."
"Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Kini tak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu. Kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo Taihiap sudah tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil."
"Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kita semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang itu kemudian menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walau pun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."
Sian Li mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan mau pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko."
Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki Bukit Naga. Mereka mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang. Sumur yang dipisahkan oleh sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu…..
********************
"Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu...!"
Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Dia melihat pemuda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun, pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah.
Dalam keadaan duka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah merasa saling menemukan, saling menghibur serta saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, dia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, harus saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.
"Gak-toako...!" Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Sejak berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.
"Kim-moi (adik Kim)...!"
Kedua orang itu saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, lalu mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.
Ketika ada beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di sini, Kim-moi," katanya.
Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu, kemudian melihat bahwa engkau benar-benar datang. Kiranya bukan mimpi dan sekarang betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako."
Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.
"Kim-moi, aku gembira sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejar dirimu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."
"Marah? Aihh, Toako, pada saat kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?"
Ciang Hun tersenyum dan menggelengkan kepala, nampak agak tersipu. Akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apa lagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."
Bi Kim tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."
"Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."
Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi merasa kesepian dan kehilangan…..
********************
Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini telah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu.
Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka biar pun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, tapi dalam waktu yang cukup singkat mereka dapat juga sampai di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dengan pusat Thian-li-pang.
Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang anggota pun berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.
Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang.
Hal ini melegakan hati ketiga orang pendekar itu, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andai kata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu harus merobohkan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.
Sian Li mengerutkan alisnya saat menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!
"Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama sekali tidak dapat percaya!"
Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu. "Aihhh, adik Sian Li, bagai mana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."
"Bagaimana pun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?"
Tapi Sian Li berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah."
Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia lalu terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, seperti seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.
"Cukup sudah!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri. Dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, aku saja kiranya mampu meloloskan diri dengan mengandalkan ginkang. Apa lagi Han-koko yang memiliki tingkat ginkang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"
"Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini," kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada satu satu meter itu. "Dia pasti berbohong!"
"Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?" kata Hui Eng.
"Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biarlah aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat."
"Nanti dulu, Pangeran. Aku memang sangat mengkhawatirkan keselamatan Han-koko. Akan tetapi, andai kata ia benar tewas, kurasa tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Ia mungkin saja tewas atau tertawan akibat dijebak, dan mungkin saja ia tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di sarang Thian-li-pang."
"Ahhh, itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.
"Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara berpencaran? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.
Wajah Sian Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi... ahhh, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."
"Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, karena itu sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekali pun untuk membelanya!" kata Cia Sun.
"Ucapan itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!"
Sian Li memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang."
"Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?"
"Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita," kata Sian Li.
Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri.
Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak.
Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah, juga tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi kali ini ia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi kedua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han.
Biar pun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang mempunyai anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya seorang diri?
Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.
Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun segera memanggilnya dari pinggir sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.
"Toako, kesinilah sebentar. Aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata Cia Sun.
Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya, dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri. Tubuh atas yang telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.
"Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.
"Sobat, maukah engkau mendapat penghasilan yang lebih besar jumlahnya dari pada penghasilan sawahmu selama beberapa tahun?"
"Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti..."
Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku."
Sepasang mata itu terbelalak. Biar pun selama hidupnya belum pernah ia melihat emas sebanyak itu, apa lagi memilikinya, akan tetapi ia pun cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja sangat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar dari pada hasil sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!
"Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Meski pun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!"
"Aihhh, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."
"Benteng pasukan...? Ahhh, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"
"Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"
Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku... ehhh, saya sanggup, Kongcu!"
"Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."
Petani itu pun bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya di ujung dusun itu, sebuah rumah yang amat sederhana, bahkan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu telah pulang bersama seorang pemuda tampan yang bukan seorang petani.
Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang. Dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang paling kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.
"Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini pun boleh kau miliki. Dengan emas ini, maka kau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Tetapi awas, jika surat ini tidak kau sampaikan, maka pasukan di benteng itu akan kukerahkan untuk menangkapmu dan engkau beserta seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.
"Nama hamba Ki Siok...," kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. "Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu..."
"Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapa pun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."
"Baik, baik, hamba mengerti..." kata petani itu ketakutan.
Meski pun sebodoh-bodohnya manusia, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.
Setelah melihat sendiri Ki Siok pergi meninggalkan dusun itu dan menuju ke benteng Siang-heng-koan, cepat Cia Sun mendaki Bukit Naga dan kembali ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengah hari hampir lewat, tapi di dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran…..
********************
Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam dan di luar yang paling luar, mencakup yang terendah sampai yang tertinggi, yang paling kecil sampai yang paling besar. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.
Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah atau buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.
Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja.
Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!
Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya. Sebagai manusia, memang sudah tugasnya untuk mempertahankan agar tetap dapat hidup di dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan di dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar itu.
Yo Han duduk bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah dia tenggelam. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa dataran. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak.
Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.
Malam sudah lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalaman berada di terowongan sumur itu.
Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang sekarang ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila!
Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui, bahkan merupakan murid tersayang? Kalau dia hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, lalu bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu? Bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih terheran-heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?
"Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dan dunia kang-ouw akan kacau balau karena kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku," katanya dalam hati.
Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apa lagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ.
Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang sambil menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu mampu membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus.
Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat makhluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, bahkan mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat makhluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!
Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringat ia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan goa di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!
Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andai kata bukan jalan keluar sekali pun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.
Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang itu mengecil dan tubuhnya tak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han menggunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi.
Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.
Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.
Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari penderitaan.
Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita bila kita sedang membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita!
Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri kita hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan meminta-minta kepada Tuhan.
Segala macam permintaan kita ajukan. Kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua.
Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggota tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki. Untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik. Untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin. Untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya.
Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari pada akibat perbuatan kita sendiri itu.
Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas pada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia.
Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian akan memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan terima kasih dan syukur kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang sudah diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang dijenguk suka.
Pada keesokan harinya, begitu ada cahaya memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan sebab perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya.
Setelah tiga hari lamanya membongkar tumpukan batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan menemukan jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah, jamur liar seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur.
Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya untuk mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.
Sambil mengerahkan seluruh anggota badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan diri kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walau pun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.....
********************
Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atas sumur, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya.
Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Dia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan bila mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan di dalam rumah perkumpulan itu.
Gadis yang anggun dan cantik ini tidak lagi bersikap dingin dan angkuh seperti dulu saat dia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai. Dia gunakan ginkang-nya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang.
Akan tetapi, hal ini hanya dugaannya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua itu, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu.
Tentu saja gerakan Hui Eng sekarang juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan dia melihat bagian kanan perkampungan itu nampaknya tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang akan diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang, atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan bisa menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, tiba-tiba terdengar gerakan orang. Ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang anak buah Thian-li-pang yang semuanya menyeringai dengan gaya mengejek!
"Hemmm...!" Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya.
Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan dari tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.
"Nona, sebaiknya engkau menyerah dan akan kami hadapkan kepada pangcu dari pada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."
Sinar mata Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!" Pedangnya menyambar ganas.
Dua orang anggota Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggota Thian-li-pang yang lainnya sudah mengepung ketat sambil menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu langsung saja merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang serta kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggota Thian-li-pang roboh!
"Semua mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"
Siangkoan Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?"
"Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
"Keparat, kalau begitu engkau tak layak dikasihani!" Siangkoan Kok membentak sambil menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapa pun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui oleh datuk itu. Biar pun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang.
Apa lagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas.
Dia masih sayang kepada Eng Eng. Bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Ia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
"Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!" kata Siangkoan Kok dengan suara lantang.
Dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa melukai atau membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
"Jaga baik-baik dan jangan sampai ia bisa meloloskan diri!" pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang sedang melakukan penjagaan. "Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya pasti akan dihukum berat!"
Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu kemudian meninggalkan tempat tahanan itu sebab mereka sudah mendengar berita bahwa sekarang Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggota Thian-li-pang.
Akan tetapi, sungguh tak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada. Dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun maklum bahwa agaknya pihak musuh sudah mengetahui akan kedatangan dirinya dan kini sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat, kemudian menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas genteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga para anggota Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan dia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang yang mulai bermunculan dari tempat sembunyi mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan dia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar. Ia melihat seorang anggota Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang terhunus di tangan sambil melongok-longok. Sian Li lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, ia menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia hanya sempat mengeluh pendek, pedangnya terlepas kemudian roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangan itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggota Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman. Ia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
"Kalau engkau tidak mau mengaku terus terang, pedang ini akan langsung menembus tenggorokanmu!" Sian Li mendesis.
Mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat. Apa lagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
"Saya... saya mengaku terus terang...," katanya lirih.
"Hayo katakan, di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"
Orang itu semakin ketakutan. "Dia... dia... di tempat... tahanan..."
Berdebar-debar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti sudah diduganya, Ouw Seng Bu hanya membohonginya.
"Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"
"Saya... saya tidak berani... ahhh...!"
Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
"Baik... baik...," katanya.
Sian Li menarik pedangnya. "Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu."
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu lalu membawa Sian Li menyelinap melalui sebuah lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dengan pedangnya menodong pada punggung orang itu.
Akhirnya, setelah melalui jalan yang berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki lorong sehingga tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
"Dia... dia ada di sana..." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu.
Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
"Han-koko...!" Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh.
Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apa lagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
"Han-koko...!" Ia memanggil lagi.
Akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab dan tak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Dia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ahhh, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka bisa tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
"Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya.
Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li lalu mengeluarkan sulingnya.
Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang sangat kuat. Dia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
"Tranggg... trakkk!"
Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, dia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu.
Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
"Han-koko, mari kita pergi..." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya, ketua baru Thian-li-pang yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
"Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia sudah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."
"Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihatlah, di luar kamar ini anak buahku sudah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tiada gunanya karena kalau Yo Han saja tak mampu menandingi aku, apa lagi engkau."
"Jahanam busuk yang sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang kuat dan dahsyat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Ia melompat ke tepi kamar, tangannya cepat menekan tombol di dinding sehingga dinding di belakangnya terbuka. Dan ia melompat masuk.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang cepat-cepat mengejar. Dia pun ikut meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek.
Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Kini wajahnya berubah, masih tampan, tapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin. Matanya liar dan suara tawanya bagaikan setan tertawa.
Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
"Iblis gila!" bentaknya dan ia menyerang lagi dengan sulingnya.
Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan sekarang sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Sian Li menghantamkan sulingnya ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, Seng Bu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
"Takkk...!"
Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang hingga tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat. Ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya dia masih mengerahkan tenaga sinkang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
"Ha-ha-he-he-he!" Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapa pun juga. Sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia dan mengusai dunia kang-ouw. Bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!"
"Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li.
Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li mengeluarkan pekik melengking. Kini dia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung yang menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Namun, sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita berteriak, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai dia!"
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!"
Setelah berkata demikian, mendadak dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
"Jangan lari!" bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu.
Mendadak dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan yang memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah dia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih terus tertawa-tawa walau pun asap merah semakin menebal.
Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohan dirinya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
"Keparat keji, pengecut, curang...!" Ia menyerang kembali akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya sudah rebah di atas sebuah dipan. Dia melihat betapa kaki tangannya diikat oleh rantai baja yang panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
"Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu," terdengar suara orang.
Sian Li menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya, akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
"Ahh, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang..." Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana Sun-toako?"
"Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, lalu tertangkap."
"Tapi mengapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu."
"Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimana pun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan."
Sian Li mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi memiliki ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh itu yang memiliki ilmu seaneh itu."
"Aku... aku mengkhawatirkan pangeran..." kata Hui Eng lirih.
"Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggota Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu amat lihai dan licik sekali. Sekarang aku sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
"Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!" Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek serta Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!"
Cu Kim Giok memandang sedih. "Aihhh, tidak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani menanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah orang yang gagah perkasa, seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Bahkan dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci ini? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksinya. Yo Han yang berusaha membunuh Ouw-koko seperti yang telah dilakukannya kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Jika Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah, Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang..."
"Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan mengerahkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya serta membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!"
Berkata demikian, karena sambil membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li lantas menjadi basah dan suaranya gemetar, walau pun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
"Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?"
Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Dua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
"Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu...!" kata Sian Li lirih.
"Ihhh, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.
"Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!"
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka kini berada dalam tahanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh-sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
"Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.
"Engkau yang lucu," kata Hui Eng. "Mengapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencintai Ouw Seng Bu?"
"Hushhh! Mana aku berjenggot?" cela Sian Li, akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
"Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, tapi engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran malah memilih aku, padahal saat itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak kepada kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng Bu dan menganggap dia selalu baik dan benar?"
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan.
Kita semua selalu mengambil kesimpulan dan mempunyai pendapat mengenai sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tiada yang abadi, tak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah.
Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya.
Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapa pun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari mau pun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilai.
Penilaian muncul dengan pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tak disenangkan. Jika seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biar pun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andai kata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, karena dia menyenangkan kita, kita puja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita dan tidak menyenangkan kita, misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci!
Mengapa? Sebab benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!
Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas. Akan tetapi jika hujan itu merupakan sesuatu yang merugikan kita seperti banjir, atau menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Namun kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang berharap datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol dari pada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apa pun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan!
Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang sudah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini supaya hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak.
Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaan-Nya.
"Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa dia sudah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali."
"Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos."
Sian Li mengangguk, diam-diam dia merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.....
********************
Selanjutnya baca
SI TANGAN SAKTI : JILID-12