Si Tangan Sakti Jilid 12
Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua yang kosong di kaki bukit sebelah itu. Dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang telah berpengalaman tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, bersiap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.
"Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."
"Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia,” kata pendeta itu dengan sikap acuh.
Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya. Tentu saja hal ini membuat Ciang Hun sangat terkejut.
"Ahhh, maafkan kami, Cuwi Totiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal Totiang sekalian?"
Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."
"Ahh, kalau begitu kebetulan dan terima kasih Totiang."
Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya sudah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan timbul kehangatan di situ.
Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
"Cuwi Totiang, mari silakan Cuwi Totiang makan malam bersama kami. Kita makan seadanya, Totiang," kata Bi Kim.
"Silakan, Totiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cuwi dengan makanan kami yang sederhana," kata pula Ciang Hun.
"Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan sekarang merasa kenyang. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan," kata tosu tertua.
Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka kedua orang muda itu tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu.
Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.
"Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"
Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "Totiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini."
Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cuwi Totiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!"
"Aihh, benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cuwi Totiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? Dia seorang gadis muda..."
"Pakaiannya serba merah?" potong seorang tosu.
"Benar, benar!" Ciang Hun berseru girang.
"Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"
Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya.
"Benar sekali, Totiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di mana?" tanyanya dengan penuh gairah.
"Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm...? Pinto sudah pernah mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?"
"Saya adalah puteranya..."
"Ahh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-eng!"
"Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cuwi Totiang?" Ciang Hun bertanya, sekarang sambil memandang penuh perhatian.
Tosu tertua itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian Tocu, seorang murid dari Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan dialah yang mengobati pinto dari pukulan beracun. Karena kekuatan pinto masih belum pulih, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga."
"Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.
Tosu itu menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu."
"Totiang, apakah yang sudah terjadi?" Gan Bi Kim bertanya, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.
Thian Tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, yang menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan dan melakukan pemerasan.
"Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah berita mengenai terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang..."
"Ahhh...! Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.
"Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia bahkan mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han akhirnya tewas. Demikian keterangan Ouw-pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, lalu bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu."
"Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim-moi!" kata Ciang Hun, khawatir sekali.
"Gak-taihiap, sebaiknya bila kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya sangat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai, juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki ke sana."
"Kita?" Ciang Hun bertanya.
"Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda tetapi begitu bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walau pun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah."
"Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, tapi hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."
"Kami siap membantu, Kongcu."
Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu dari Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu dari pada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.
Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian para anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya.
Apa lagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi, siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu. Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.
Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li sudah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. "Kim Giok, apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku berharap dengan sepenuh hatiku supaya kalian berdua juga bisa melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian berdua, bukan permusuhan."
"Kim Giok, sekarang aku mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, mengapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?”
"Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu supaya kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Ia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, dan kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai dan dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku mohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."
"Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tak akan sudi untuk bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi berbicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"
Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
"Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han telah tewas di dalam sumur," katanya lirih.
Mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya. Mukanya menjadi pucat dan dia hanya berdiri termangu-mangu bagaikan patung. Kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam.....
Melihat keadaan Si Bangau Merah itu, Hui Eng bertanya kepada Cu Kim Giok dengan suara yang tegas.
"Cu Kim Giok, katakan terus terang, demi nama baik nenek moyangmu yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar Lembah Naga Siluman, apa engkau melihat sendiri kematian Yo Han itu?"
Kini Cu Kim Giok memandang kepada Hui Eng dengan alis berkerut, "Hemmm, tidak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Engkau sendiri adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga besar kami, bahkan kemudian menurut ayahmu, engkau menjadi seorang pengkhianat dan anak yang durhaka. Aku mau bicara dengan Tan Sian Li, bukan denganmu!"
"Kim Giok, engkau tidak tahu dengan siapa engkau bicara. Ketahuilah bahwa enci Eng ini adalah Sim Hui Eng, puteri Paman Sim Houw yang hilang itu dan sekarang dia telah mengetahui siapa dirinya."
"Ahhh...! " Cu Kim Giok terkejut. "Kalau... kalau begitu, kalian berdua harus mau bekerja sama, aku tidak ingin melihat kalian celaka. Aku mohon kepada kalian, terimalah uluran tangan Ouw Pangcu untuk bekerja sama dan berjuang, atau setidaknya, kalian jangan memusuhi kami. Kalau kalian berdua mau berjanji di depan pangcu, maka aku yang akan menanggung..."
"Sudahlah, Kim Giok. Sebaiknya kau jawab saja pertanyaan enci Hui Eng tadi. Apakah engkau melihat sendiri tewasnya Han-koko di sumur tua itu?" tanya Sian Li tak sabar.
"Pada saat Yo Han datang, aku memang melihatnya, bahkan kami berkenalan. Dia pun bicara dengan baik-baik kepada Ouw-pangcu, kemudian dia bicara empat mata dengan Ouw-pangcu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu aku mendapatkan Ouw-pangcu sudah terluka parah terkena pukulan di dadanya, sedangkan para anggota Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sumur tua. Barulah aku tahu bahwa Ouw-pangcu hampir dibunuh oleh Yo Han dan karena bantuan para anak buah, Yo Han dapat didesak dan terjerumus ke dalam sumur. Para anggota Thian-li-pang menimbuni sumur itu dengan batu karena maklum bahwa kalau Yo Han dapat keluar, tentu akan mengamuk dan semua orang dibunuhi."
Keterangan bahwa Kim Giok tidak melihat sendiri kematian Yo Han, membuat hati Sian Li merasa lega kembali. Ia tetap tidak percaya bahwa Yo Han telah tewas. Lebih tidak percaya lagi bahwa Yo Han telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan berusaha membunuh Ouw Seng Bu. Ia mengenal pria yang dikasihinya itu.
Yo Han tidak mau membunuh orang, apa lagi para pimpinan Thian-li-pang di mana dia menjadi ketua kehormatan. Tidak masuk di akal semua berita itu, walau pun ia percaya bahwa puteri Lembah Naga Siluman ini tidak bohong. Tentu gadis ini telah dipengaruhi Ouw Seng Bu dan tertipu!
Pada saat itu ada dua orang pengawal masuk dan berkata kepada Cu Kim Giok dengan sikap hormat, "Nona, pangcu minta agar Nona suka menemuinya di ruangan dalam."
Sikap dan ucapan penjaga itu saja sudah membuktikan bahwa ketua baru Thian-li-pang amat menghormati gadis itu. Ia bukan dipanggil, melainkan diminta!
Cu Kim Giok menoleh kepada dua orang gadis tawanan, kemudian pergi meninggalkan tempat tahanan itu, diikuti dua orang penjaga dengan sikap hormat. Setibanya di ruang dalam, Ouw Seng Bu sudah menyambutnya dan kedua orang penjaga itu pun segera mengundurkan diri.
"Ada urusan apakah, Bu-Ko?" tanya Kim Giok.
"Giok-moi, ada lagi orang-orang yang menyelidiki tempat kita tetapi kini mereka telah tertangkap."
"Siapakah mereka?" Kim Giok mengerutkan alisnya.
Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju kalau Thian-li-pang menangkapi orang, apa lagi kalau mereka yang ditawan itu tokoh-tokoh pendekar seperti Sian Li dan Hui Eng. Kalau sampai Thian-li-pang memusuhi para pendekar dan perkumpulan para pendekar dunia persilatan, hal itu sungguh tidak baik dan tidak benar. Seluruh keluarganya tentu akan marah dan menyalahkan dia membantu perkumpulan yang memusuhi dunia persilatan dan menawan para pendekar.
"Lima di antara mereka adalah para tosu Bu-tong-pai yang tempo hari, dan dua yang lain adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Bagaimana dengan hasil pembicaraan dengan Si Bangau Merah dan puteri Paman Siangkoan Kok tadi?"
Kim Giok mengerutkan alisnya. "Mereka masih belum mau berbaik, dan puteri Paman Siangkoan Kok itu ternyata adalah puterinya Paman Sim Houw yang dulu hilang dicullik orang ketika masih kecil. Hal ini menambah gawat keadaan, Koko, karena Paman Sim Houw adalah Pendekar Suling Naga yang sakti, pendekar besar dan tokoh di Lok-yang. Kalau ayah Sian Li, Pendekar Bangau putih dan Pendekar Suling Naga mengetahui puteri mereka ditawan di sini, lalu memusuhi kita, sungguh amat berbahaya bagimu, Koko. Lalu siapa pula dua orang pemuda dan gadis yang tertawan bersama lima orang tosu Bu-tong-pai itu?"
Ouw Seng Bu kelihatan muram dan berduka. "Giok-moi, sesungguhnya engkau sendiri pun tahu bahwa aku tidak pernah mencari perkara dan tidak pernah memusuhi mereka. Adalah mereka sendiri yang datang memusuhi Thian-li-pang. Aku pun merasa heran mengapa para pendekar itu tidak mau menyadari dan mereka bahkan berpihak kepada kerajaan Mancu, penjajah yang mencengkeram tanah air dan bangsa? Nah, cobalah engkau temui dua orang muda itu dan syukur kalau dapat membujuk mereka dan lima orang tosu itu, menyadarkan mereka akan pentingnya persatuan antara kita untuk dapat membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah."
Kim Giok merasa lemas karena pekerjaan membujuk ini merupakan pekerjaan yang sangat berat baginya. Akan tetapi, ia yakin bahwa kekasihnya benar, maka ia pun siap untuk membelanya.
Bagaimana lima orang Bu-tong-pai dan dua orang muda itu dapat tertawan? Seperti kita ketahui, Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu itu mendaki Bukit Naga untuk melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang karena dicurigai kebersihannya. Mereka tidak menyadari bahwa gerak-gerik mereka telah diikuti oleh para anggota Thian-li-pang. Seorang di antara para anggota itu melapor kepada Seng Bu yang segera ditemani Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu, juga beberapa orang tokoh sesat lain yang telah bergabung, menyambut rombongan yang mendaki bukit itu.
Sebelum sampai di perkampungan Thian-li-pang, Gak Ciang Hun dan kawan-kawannya secara tiba-tiba saja sudah dikepung oleh puluhan orang Thian-li-pang sehingga mereka berhadapan dengan Ouw Seng Bu dan kawan-kawannya.
Dengan sikap hormat Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang tosu dan dua orang muda itu. "Selamat pagi Ngo-wi Totiang dan kalian berdua sobat muda. Tidak tahu, entah angin baik apa yang meniup kalian datang ke sini. Kami harap saja Ngo-wi Totiang sudah menyadari bahwa akhirnya kita semua, tanpa peduli dari golongan apa, mempunyai tekad yang sama, yaitu bersatu padu menghadapi penjajah Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita."
Thian Tocu, tokoh Bu-tong-pai yang menjadi pemimpin rombongan tokoh Bu-tong-pai yang lima orang itu, membalas penghormatan Ouw Seng Bu dan berkata dengan sikap dan suara yang amat dingin, "Ouw-pangcu, kami berlima datang kembali bukan dengan maksud untuk menyerah, walau pun kami mengakui bahwa kami sudah kau kalahkan dalam pertandingan. Kami bertemu dengan dua orang sahabat muda ini dan kami ingin menemani mereka untuk berkunjung ke Thian-li-pang. Ketahuilah bahwa saudara muda ini adalah saudara Gak Ciang Hun, putera dari mendiang Beng-san Siang-eng, dan ini adalah nona Gan Bi Kim."
"Ahhh, kiranya Gak-enghiong yang datang berkunjung. Kami dari Thian-li-pang merasa mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Gak-enghiong dan nona Bi Kim. Kami memang sedang menghimpun tenaga dari seluruh penjuru tanah air untuk segera mengadakan persiapan menyerang penjajah Mancu dan mengusirnya. Kami mendengar bahwa keluarga Gak dari Beng-san adalah pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan besar dan gagah yang tentu saja akan suka bekerja sama dengan kami untuk mengusir penjajah Mancu."
Gak Ciang Hun sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai betapa cerdik dan liciknya ketua baru Thian-li-pang itu. Kini begitu bertemu, ketua itu ternyata telah menunjukkan dua macam kelihaiannya.
Pertama, dia serombongannya mendadak saja sudah dikepung, ini berarti bahwa sejak mendaki bukit, mereka telah diketahui dan dibayangi. Dan ke dua, begitu bertemu, ketua itu sudah bersikap demikian ramah dan hormat sehingga dia sendiri andai kata belum mendengar dari para tosu, tentu akan terpikat hatinya oleh keramahan pemuda tampan itu.
Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah mendengar bahwa pemuda ini seorang yang palsu dan dikabarkan telah membunuh Yo Han, dia pun menyambut dingin saja.
"Pangcu, kami sengaja datang ke Thian-li-pang dengan tujuan untuk mencari nona Tan Sian Li. Apakah ia berada di sini?"
"Ahh, apakah kau maksudkan Si Bangau Merah? Benar, ia berada di sini, menjadi tamu kehormatan kami. Ia sudah menyatakan setuju untuk membantu kami, untuk bekerja sama menentang penjajah Mancu. Kalau Gak-enghiong ingin bertemu dengannya, mari, silakan masuk ke perkampungan kami!" kata Seng Bu dengan wajah cerah berseri.
Mendengar jawaban ini, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tercengang. Jawaban yang tidak mereka sangka-sangka sama sekali dan mereka berdua sudah merasa gembira.
Akan tetapi, Thian Tocu, tosu Bu-tong-pai itu sudah berkata dengan suara lantang.
"Ouw-pangcu, tidak perlu engkau membohongi Gan-taihiap dan kami. Kami sama sekali tidak percaya bahwa nona Tan Sian Li mau bekerja sama denganmu. Kami pun sudah berjumpa dengannya dan mendengar bahwa engkau telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han, bagaimana mungkin ia mau bekerja sama denganmu? Kalau kau mengatakan bahwa engkau telah menjebaknya dan menawannya, kami akan lebih percaya!"
Wajah Seng Bu berubah merah dan matanya kini mencorong memandang kepada tosu Bu-tong-pai itu. Dia merasa heran bagaimana tosu ini dapat sembuh demikian cepatnya, padahal dia tahu benar bahwa tosu ini sudah terkena tangan beracun sehingga terluka parah.
"Totiang, kalau pihakmu hendak menjadi antek penjajah Mancu dan tidak mau bekerja sama dengan kami para pejuang patriot bangsa, itu urusanmu. Akan tetapi tidak perlu banyak mulut di sini. Kami pernah mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi. Apakah kini kalian minta mati?"
Perubahan sikap ketua Thian-li-pang ini membuat Gak Ciang Hun yang tadinya tertarik, menjadi terkejut dan tidak senang. Sikap ketua Thian-li-pang itu sangatlah aneh. Baru saja wajahnya nampak tampan dan ramah ceria, akan tetapi sekarang kelihatan begitu bengis, dingin dan sadis. Bahkan sepasang matanya yang mencorong itu mengandung nafsu membunuh yang mengerikan.
"Ouw-pangcu, agaknya membunuh merupakan pekerjaan biasa bagimu dan mungkin menjadi kegemaranmu. Kalau memang engkau merasa sebagai seorang yang gagah, jangan menyangkal perbuatanmu sendiri dan akui sajalah apa yang telah terjadi dengan nona Tan Sian Li. Kecuali jika engkau memang pengecut, tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu..."
"Tutup mulutmu, tosu jahanam!" Seng Bu membentak.
Seng Bu sudah menggerakkan tangannya. Dia menampar ke arah Thian Tocu sambil mengerahkan ilmunya yang sangat dahsyat. Hawa beracun yang amat kuat menyambar ke arah tosu Bu-tong-pai itu.
Melihat hal ini, Gak Ciang Hun yang mengenal pukulan ampuh, meloncat ke depan dan menangkis dari samping untuk menolong tosu itu.
"Dukkk...!"
Mendapat tangkisan ini, Seng Bu mengeluarkan seruan kaget. Dia mundur dua langkah, akan tetapi Gak Ciang Hun lebih terkejut lagi karena dia sempat terhuyung! Padahal, putera pendekar kembar Gak ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, sebab pernah menerima pemindahan tenaga sinkang dari kakeknya, mendiang Bun-beng Lo-jin Gak Bun Beng! Tetapi, ketika menangkis, dia merasa betapa dari tangan ketua Thian-li-pang itu menyambar hawa dingin yang aneh sekali, yang membuat dia sampai terhuyung.
"Pangcu dari Thian-li-pang, kalau memang ucapan Thian Tocu Totiang tadi tidak benar, engkau berhak menyangkal, akan tetapi jika benar, memang sudah sepatutnya engkau berterus terang, bukan malah lalu menyerang seperti yang kau lakukan tadi!" Ciang Hun menegur.
Senyum iblis muncul di mulut Ouw Seng Bu. "He-he-he, kami hendak menerima kalian sebagai sahabat, akan tetapi kalau kalian menghendaki kekerasan baiklah. Seperti yang kami lakukan terhadap Si Bangau Merah, kami menawarkan persahabatan dan kerja sama, akan tetapi kalau kalian menolak dan bersikap memusuhi kami, terpaksa kami harus menawan kalian seperti yang telah kami lakukan terhadap Si Bangau Merah!"
Mendengar ini, Ciang Hun lalu mengerutkan alisnya. "Pangcu, kami tidak menghendaki persahabatan, juga tidak mencari permusuhan. Akan tetapi bila engkau telah menawan nona Tan Sian Li, kami menuntut agar engkau suka membebaskannya sekarang juga.”
"Heh-heh-heh, bagaimana kalau kami tidak mau membebaskannya?"
"Ouw Seng Bu, kalau engkau tidak mau membebaskan Tan Lihiap, kami akan mengadu nyawa denganmu!" bentak Thian Tocu marah. Lima orang tosu Bu-tong-pai itu sudah mencabut pedang mereka masing-masing, siap bertanding mati-matian untuk menolong Si Bangau Merah.
"Ouw-pangcu, kami harap engkau suka membebaskan nona Tan Sian Li, supaya kami tidak harus menggunakan kekerasan."
Siangkoan Kok yang sejak tadi mendengarkan saja, kini menjadi tidak sabar. "Pangcu, serahkan saja kepadaku untuk menelikung pemuda sombong ini!"
"Dan lima orang tosu Bu-tong-pai ini serahkan kepada kami!" kata Kui Thiancu dan Im Yang Ji.
Ouw Seng Bu mengangguk dan para pembantunya itu segera bergerak menyerang.
Lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun beserta Bi Kim menggerakkan senjata mereka menyambut dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Baru tiga orang pembantu Seng Bu itu saja, bekas ketua Pao-beng-pai, wakil Pek-lian-kauw dan wakil Pat-kwa-pai sudah merupakan lawan berat bagi lima orang tosu. Sementara itu masih banyak pula anggota Thian-li-pang tingkat tinggi yang melakukan pengeroyokan.
Akan tetapi, bagaimana pun juga Gak Ciang Hun adalah keturunan pendekar sakti. Permainan pedangnya mantap dan kuat, tenaga sinkang-nya pun mampu menandingi lawan yang bagaimana pun sehingga Siangkoan Kok yang menandinginya, tidak dapat mendesaknya dengan cepat.
Gan Bi Kim juga terdesak hebat oleh Kui Thiancu yang mengejeknya, sedangkan lima orang tosu kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Thian-li-pang.
Melihat betapa Siangkoan Kok belum juga mampu menundukkan Ciang Hun, Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia tahu bahwa bekas ketua Pao-beng-pai itu cukup tangguh dan tidak akan kalah, akan tetapi dia tidak ingin perkelahian itu berlangsung terlalu lama.
Kalau sampai Kim Giok mengetahui, gadis itu tentu akan merasa tidak senang. Juga, tidak baik kalau mereka ini sampai terbunuh. Kalau dia dapat membujuk orang-orang yang lihai itu untuk bersekutu dengannya, hal itu akan amat menguntungkan dan akan memperkuat kedudukannya.
Maka ia pun segera meloncat ke depan dan menyerang Gak Ciang Hun dengan totokan jari tangannya, menggunakan ilmunya yang aneh, akan tetapi dia membatasi tenaganya agar jangan sampai melukai berat atau membunuh pemuda itu.
Dengan lengking yang aneh menyeramkan, Seng Bu menyerang dan Ciang Hun yang menghadapi Siangkoan Kok saja sudah merasa sibuk karena ilmu kepandaian kakek tinggi besar itu memang hebat, kini merasa ada sambaran angin dingin dari samping. Dia mengelak ke kiri dan pada saat itu, Siangkoan Kok menyerangnya dengan pedang, dibarengi pula dengan tamparan tangan kiri. Ciang Hun menangkis pedang lawan, lalu memutar tubuh dan menyambut tamparan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula.
"Trang... plakkk!"
Kedua tangan itu bertemu dan melekat dan pada saat itu, totokan kedua yang dilakukan Seng Bu tiba. Ciang Hun tak mampu menghindar lagi dan dia pun roboh lemas terkena totokan ampuh jari tangan Seng Bu.
"Tangkap mereka, jangan bunuh!" teriaknya dan teriakan Seng Bu ini menolong.
Gan Bi Kim yang sudah terdesak, juga lima orang tosu itu, akhirnya roboh. Hanya lima orang tosu itu yang luka-luka, namun bukan luka yang terlalu parah. Sedangkan Gan Bi Kim juga roboh terkena totokan Im Yang Ji.
Demikianlah, lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun, dan Bi Kim lantas tertawan oleh Thian-li-pang. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang cukup lebar, tidak dirantai seperti halnya Sian Li dan Hui Eng. Akan tetapi kamar tahanan itu berjeruji tebal dan kokoh kuat, sedangkan di depannya terdapat penjagaan yang ketat terdiri dari belasan orang anak buah Thian-li-pang…..
********************
Ketika Cu Kim Giok berdiri di depan jeruji kamar tahanan itu dan melihat Ciang Hun, wajahnya berubah agak pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak begitu peduli melihat lima tosu Bu-tong-pai, juga ia tidak mengenal gadis cantik yang ikut tertawan di kamar itu. Akan tetapi ia segera mengenal Gak Ciang Hun yang pernah dijumpainya di dalam pesta pertemuan keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
"Kau...?!" serunya kaget. "Bukankah engkau... saudara Gak Ciang Hun...?"
Ciang Hun hanya memandang dingin. Dia sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai tentang gadis itu.
"Hemmm... dan engkau Cu Kim Giok, puteri paman Cu Kun Tek dan bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga Biluman. Sungguh mengherankan sekali melihat engkau ada di sini dan menjadi kaki tangan seorang yang sangat jahat seperti Ouw Seng Bu, pangcu baru dari Thian-li-pang."
Wajah Kim Giok berubah kemerahan.
"Gak-twako!" serunya dengan nada protes. "Agaknya engkau pun telah dipengaruhi lima orang tosu yang sombong ini. Ouw Seng Bu bukanlah seorang jahat. Dia adalah ketua Thian-li-pang yang berjiwa pahlawan dan bertekad untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air!"
"Pahlawan yang bergaul dengan para penjahat dan golongan sesat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai? Bukan orang jahat akan tetapi membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han, membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, bahkan menawan Tan Sian Li? Dan engkau masih mengatakan dia tidak jahat?"
"Gak-twako, engkau salah mengerti! Yang membunuh para pimpinan Thian-li-pang ialah Yo Han, bahkan ia pun hendak membunuh Ouw-pangcu. Ada pun Tan Sian Li terpaksa ditawan karena ia hendak membunuh Ouw-pangcu dan mengamuk. Juga Ouw-pangcu yang hampir dibunuh Yo Han sampai terluka parah, dan Yo Han terjerumus ke dalam sumur tua karena dikeroyok oleh para anggota Thian-li-pang yang membela ketuanya. Dan tentang pergaulan dengan para tokoh kang-ouw, hal ini adalah karena kita semua harus bersatu padu menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah Mancu! Kalau tidak bersatu dengan semua golongan, bagaimana mungkin penjajah Mancu bisa diusir dari tanah air? Harap engkau dapat memaklumi, Gak-twako. Aku berharap sekali kalau engkau, enci ini, dan para tosu Bu-tong-pai suka bekerja sama dengan kami, berjuang bahu-membahu menentang penjajah Mancu."
"Cukuplah. Kami tahu bahwa engkau telah terbius oleh racun yang diberikan Ouw Seng Bu kepadamu sehingga engkau tidak lagi dapat melihat kenyataan, engkau tidak dapat lagi membedakan yang benar dan yang salah," kata Ciang Hun marah.
"Sudahlah, Nona, pergilah dan jangan ganggu kami. Bujuk rayumu itu tak ada gunanya. Kami hanya merasa menyesal sekali bahwa seorang gadis keturunan keluarga Lembah Naga Siluman seperti Nona ini sampai dapat ditipu dan dibius oleh seorang penjahat gila seperti Ouw Seng Bu!" kata Thian Tocu.
Kim Giok tak dapat menahan lagi mendengar semua itu. Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu, wajahnya merah dan kedua matanya terasa panas menahan tangis. Ia merasa amat bingung melihat betapa kekasihnya mempunyai semakin banyak musuh dari golongan para pendekar, dan hal ini amat merisaukan hatinya.
Setelah memasuki kamarnya sendiri, Kim Giok tidak dapat lagi menahan tangisnya. Dia menelungkup di atas pembaringannya dan menangis. Terjadi perang di dalam batinnya. Mau tidak mau ia mempunyai kecondongan untuk membela dan mempercayai Sian Li, Hui Eng dan juga Ciang Hun.
Akan tetapi perasaan ini segera ditentang oleh cinta dan kepercayaannya kepada Seng Bu. Seng Bu begitu baik kepadanya, begitu mencintanya dan menurut pendapatnya, kekasihnya itu seorang yang gagah perkasa dan bijaksana. Kim Giok merasa bahwa kekasihnya tidak salah, bahkan mendatangkan harapan besar bagi nusa bangsa untuk mengusir penjajah dari tanah air.
Sementara itu, Sian Li dan Hui Eng sudah menghentikan siu-lian mereka dan merasa tubuh mereka amat segar dan penuh kekuatan. Akan tetapi Hui Eng melihat kemuraman membayang di wajah Sian Li yang cantik. Dia tahu bahwa Si Bangau Merah itu tentu memikirkan Yo Han, maka ia pun menghibur.
"Adik Sian Li, tenangkan hatimu. Tidak baik dalam keadaan seperti ini membiarkan diri dicekam kerisauan, membuat kita menjadi lemah," katanya lirih.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah Hui Eng, lalu menghela napas panjang. "Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi aku tidak pernah mampu melupakan Han-koko. Membayangkan ia berada di dalam sumur yang ditimbuni batu... ahh, bagaimana hatiku takkan risau?"
"Kerisauan hatimu ini tidak akan menolong apa-apa, adik Sian Li, tidak ada manfaatnya sama sekali. Jangan biarkan hatimu ditekan kerisauan yang menegangkan dan percaya sajalah bahwa Tuhan tentu akan selalu menolong orang yang baik dan benar. Dan aku yakin bahwa Yo Han adalah orang yang berada di pihak yang benar. Kalau Tuhan tidak menghendaki dia mati, biar pun dia benar-benar berada di dalam sumur itu, aku yakin dia tidak akan mati. Yang penting sekarang memikirkan bagaimana kita dapat lolos dari sini dan melanjutkan penyelidikan kita tentang Yo-twako itu."
"Akan tetapi bagaimana mungkin itu dilakukan, enci Eng? Kita dapat mematahkan rantai yang mengikat kaki tangan kita, akan tetapi kita tidak akan dapat membuka pintu besi dan beruji itu, terlalu kuat. Selain itu, para penjaga di luar tentu akan berteriak-teriak dan kalau Ouw Seng Bu datang bersama pera pembantunya, mereka itu terlalu banyak dan terlalu kuat bagi kita."
"Tenangkan hatimu, adik Sian Li. Aku masih memiliki harapan. Lupakah engkau kepada kanda Cia Sun?" kata Hui Eng dan kedua pipinya menjadi kemerahan ketika ia teringat kepada pangeran yang menjadi kekasihnya dan kini menjadi tumpuan harapannya itu.
"Ahh, engkau benar, enci Eng. Melihat bahwa sampai sekarang Pangeran Cia Sun tidak nampak tertawan musuh, hal itu berarti bahwa dia masih bebas. Dan tidak mungkin Pangeran Cia Sun akan membiarkan saja gadis yang paling dicintanya di seluruh dunia tertawan musuh. Dia pasti berusaha untuk membebaskanmu, enci Eng."
"Ihhh! Bukan hanya aku, akan tetapi engkau juga pasti akan dia usahakan agar dapat bebas."
"Akan tetapi, enci Eng. Bagaimana pun juga, kita mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat, pangeran tidaklah lebih lihai dari pada engkau atau aku. Bagaimana mungkin dia dapat mengatasi Ouw Seng Bu dan para pembantunya yang lihai, juga anak buahnya yang cukup banyak?"
"Kukira dia tidak sebodoh itu, hanya mengandalkan tenaganya sendiri. Bagaimana pun juga dia seorang pangeran dan tentu tak akan sulit baginya untuk mendapatkan bantuan pasukan yang terdekat, bukan? Kalau dia mengerahkan pasukan yang besar, tentu gerombolan penjahat yang berkedok pejuang ini dapat dibasmi."
"Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi, bayangan itu sungguh tidak mengenakkan hatiku. Kalau pasukan pemerintah yang datang menolong, bukankah itu sama artinya dengan kita berpihak kepada penjajah?”
"Adik Sian Li, kita harus dapat melihat kenyataan dan dapat mempertimbangkan dengan adil. Jika Thian-li-pang merupakan kelompok pejuang, golongan pendekar yang berjiwa patriot, apakah kita sampai menentang mereka dan menjadi tawanan mereka? Ingatlah bahwa kalau pasukan pemerintah benar-benar dikerahkan oleh pangeran Cia Sun untuk menggempur Thian-li-pang, yang digempur adalah gerombolan penjahat, bukan sebuah perkumpulan pejuang sejati." Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan penuh keyakinan.
"Aku mengenal baik Pangeran Cia Sun. Harus aku akui bahwa dia seorang pangeran Mancu, akan tetapi dia tidak berjiwa penjajah, bahkan dia menghormati para pejuang dan tidak akan mencampuri urusan pemberontakan para pejuang. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sampai menjadi adik angkat Sin-ciang Taihiap Yo Han?"
Sian Li tersenyum. Tentu saja gadis itu akan membela mati-matian Pangeran Cia Sun, kekasihnya, tunangan dan calon suaminya pula. Akan tetapi, pembelaan itu pun bukan hanya ngawur dan ia tak dapat membantah kebenaran apa yang diucapan Hui Eng.
"Mudah-mudahan Pangeran Cia Sun cepat muncul dengan bala bantuannya, enci Eng. Aku ingin cepat-cepat bebas dan mencari Han-ko. Kalau perlu, akan kubongkar dengan tanganku sendiri batu-batu yang menimbuni sumur tua itu."
Mereka menerima suguhan makan malam yang dimasukkan melalui lubang antara jeruji baja. Ternyata Ouw Seng Bu tetap memperlakukan mereka dengan baiknya. Hidangan yang disuguhkan cukup mewah, bahkan ada pula minuman anggur segar.
Mereka berdua tidak menolak dan makan sampai kenyang untuk menjaga kondisi tubuh mereka, kemudian mereka bersemedhi lagi mengumpulkan kekuatan agar selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam mereka pun bisa menduga bahwa berkat adanya Cu Kim Giok di situ, maka agaknya Ouw Seng Bu bersikap lunak pada mereka.
Menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, dan berdaya upaya sekuat tenaga dan kemampuan yang ada merupakan dua persyaratan hidup yang tidak boleh dipisahkan dan tidak boleh pula diabaikan kita. Hanya menyerah saja tanpa berupaya, atau hanya berupaya saja tanpa penyerahan dengan keimanan kepada Tuhan, tidaklah lengkap dan tidak pula benar.
Kita hidup sebagai makhluk hasil ciptaan Tuhan yang sempurna dan lengkap. Semua perlengkapan yang ada pada kita ini memang diikut sertakan kita agar bisa kita gunakan untuk keperluan hidup. Panca indera kita, tangan kaki kita, hati akal pikiran, semua itu merupakan perlengkapan sempurna yang sudah sepatutnya kita gunakan, kita kerjakan demi kelangsungan hidup ini, demi kesejahteraan, demi kebahagiaan hidup.
Namun, di samping daya upaya ini, kita harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu baru dapat terjadi kalau ditentukan oleh kekuasaan Tuhan! Menyerah saja tanpa usaha, sama saja dengan mempersekutu Tuhan. Kalau perut kita lapar, kita harus makan dan untuk bisa makan kita harus mencari makanan itu. Hanya menyerah saja tanpa makan, tidak mungkin kita terbebas dari rasa lapar.
Akan tetapi, mencari makanan saja tanpa penyerahan kepada Tuhan, kita dapat dibawa menyeleweng oleh nafsu sehingga kita mudah melakukan penyelewengan, misalnya mengambil kebutuhan kita itu dari orang lain, mencuri, merampok dan sebagainya.
Maka, kedua syarat itu tidak bisa terpisahkan, yaitu, pada lahirnya kita berusaha sekuat kemampuan kita, pada batinnya kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau sudah begini, lengkaplah sudah. Berhasil atau tidaknya usaha kita, kita serahkan kepada Tuhan. Yang paling penting, kita berusaha sekuat kemampuan kita!
Kalau sudah begini, berhasil atau gagal tidak membuat kita terlalu mabuk atau terlalu kecewa, karena kita maklum sepenuhnya bahwa segala kehendak Tuhan pun jadilah! Kita hanya dapat bersyukur akan kekuasaan Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik bagi kita.
Mungkin dalam suatu kenyataan yang bagi hati akal pikiran kita merupakan kegagalan, tersembunyi suatu hikmah, tersembunyi suatu berkah demi kebaikan kita. Dalam hidup kita ini, alangkah banyaknya berkah Tuhan bersembunyi di balik pengalaman yang kita anggap menguntungkan atau tidak menyenangkan.
Demikian pula dengan Yo Han. Meski menurut hati akal pikiran ia tertimpa mala petaka, terkubur hidup-hidup di dalam sumur tua, suatu hal yang amat tidak menyenangkan, juga yang mengancam keselamatan nyawanya, namun pemuda ini sama sekali tidak tenggelam ke dalam keputus asaan, tidak terseret ke dalam kedukaan.
Kekuatan seperti ini dapat kita miliki, yaitu kalau kita memiliki kepasrahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, dengan iman yang sepenuhnya, sehingga kita sepenuhnya percaya bahwa apa pun yang terjadi, tidak lepas dari kehendak Tuhan!
Yo Han terbebas dari kematian akibat tertimbun atau tertimpa batu. Kemudian, dia pun terbebas pula dari bahaya kelaparan ketika dia berhasil menemukan jamur yang dapat dimakan. Kini, dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar tanpa sedikit pun pernah mengurangi penyerahannya kepada Tuhan. Dan andai kata Tuhan menghendaki bahwa dia akan tewas, dia sudah siap setiap saat.
Dengan amat giat dan tekun, Yo Han terus mencari jalan keluar dengan cara menggali lubang-lubang yang sempit, mencari jalan menuju keluar. Sebuah demi sebuah batu dia lepaskan, kemudian melanjutkan gerakannya merayap dalam lubang terowongan yang kecil sempit itu. Setiap hari, bahkan dalam gelap pun dia bekerja, hanya berhenti kalau dia memerlukan istirahat untuk menghimpun tenaga baru atau bila dia benar-benar telah lapar dan mengantuk.
Akhirnya, pada suatu siang, ketekunan yang penuh penyerahan itu mendatangkan hasil yang sama sekali di luar dugaannya. Ada sinar terang di depan. Dia merayap terus, menyingkirkan batu-batu penghalang lubang sempit itu dan akhirnya, ternyata lubang terakhir yang merupakan lorong amat panjang itu membawa dia muncul di tepi sebuah tebing jurang, di lereng bukit!
"Terima kasih, Tuhan!"
Yo Han berlutut, dengan sepenuh hati merasa bersyukur akan kemurahan Tuhan yang telah membebaskannya dari dalam bumi yang seolah menghimpitnya itu! Kemudian dia duduk bersila setelah makan jamur dan menghimpun kekuatan. Dan menjelang sore, dia mulai mencari jalan menuruni tebing yang curam itu.
Malam gelap membuat Yo Han terpaksa menghentikan usahanya dan dia melewatkan malam di tebing jurang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, dia pun melanjutkan usahanya menuruni tebing itu.
Dia harus segera kembali ke Thian-li-pang dan mengadakan pembersihan di sana. Kini dia mengerti bahwa Ouw Seng Bu telah berkhianat, telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua.
Dan pemuda yang aneh itu, yang memiliki ilmu aneh pula, sudah mengajak golongan sesat untuk bersekutu. Thian-li-pang telah diselewengkan sehingga dia harus bertindak. Dialah yang bertanggung jawab.
Dia kemudian teringat akan pesan mendiang kakek Ciu Lam Hok, gurunya, supaya dia membersihkan Thian-li-pang dan mengembalikan Thian-li-pang kepada cita-cita semula, yaitu perkumpulan orang-orang berjiwa patriot, dan pendekar sejati yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Menjadi pembela bangsa, bukan pengganggu keamanan rakyat, bukan menjadi penjahat…..
********************
"Giok-moi... kenapa engkau menangis...?"
Suara yang lembut dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk pula di tepi pembaringannya, dan kini pemuda itu merangkul pundaknya.
"Koko... aku... aku merasa gelisah sekali..."
Seng Bu menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus. "Giok-moi tersayang, mengapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu siap untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?" Dia mengusap kening gadis itu dengan bibirnya. "Apakah yang telah terjadi, sayangku?"
"Koko, betapa hatiku tak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk membujuk Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan penghinaan. Ketika aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu adalah twako Gak Ciang Hun, dan aku pun di sana menerima celaan dan makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa malu dan bersedih sekali..."
"Kalau begitu, biarlah akan kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan mengejekmu!"
Kim Giok memegang lengan pemuda itu. "Jangan, Koko! Bukan begitu maksudku. Aku gelisah dan risau karena aku merasa bimbang. Mengapa mereka menolak berjuang bersama kita? Mengapa mereka menganggap engkau bersalah dan jahat?"
Rangkulan Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu. "Giok-moi, apakah engkau tak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku karena mereka semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah berubah, telah membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja membunuhku. Engkau tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau engkau pun seperti mereka, tidak percaya kepadaku, habislah sudah harapan hidupku. Hanya engkaulah satu-satunya orang yang memberi harapan kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia ini tidak percaya kepadaku dan memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka yang memusuhiku!"
"Koko..." Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata yang diucapkan Seng Bu. "Aku akan selalu berpihak padamu, selalu membelamu dan setia kepadamu."
"Terima kasih, Giok-moi. Aku cinta padamu, Giok-moi. Aku cinta padamu sepenuh jiwa ragaku."
Ucapan ini menggetar penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari lubuk hatinya. Memang dia sudah jatuh cinta kepada Kim Giok, walau pun cintanya bergelimang nafsu birahi. Cintanya timbul karena baginya tak ada lagi gadis yang lebih cantik menggairahkan dari pada Kim Giok. Dengan tubuh gemetar, dia mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.
Kim Giok agak terkejut dan dengan halus dia melepaskan diri dari rangkulan. Ia sendiri kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan itu. Akan tetapi karena hatinya memang sedang risau, dia pun tidak ingin melanjutkan kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.
"Koko, aku ingin bicara padamu."
Seng Bu tersenyum. "Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?"
Dia hendak merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.
"Aku tidak main-main dan kuharap engkau juga bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li, enci Hui Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka, hatiku akan selalu merasa risau. Maukah engkau, Koko?"
Seng Bu mengerutkan alisnya. Sejenak dia menatap wajah kekasihnya penuh selidik. "Giok-moi, tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku supaya aku membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?" Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Itu berarti melepaskan tiga ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku, keselamatan kita semua, bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kau kehendaki?"
"Tentu saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat kepada mereka, kuminta mereka berjanji tidak memusuhimu kalau kita bebaskan mereka."
"Itu berbahaya sekali, Giok-moi. Ingat, masih ada seorang lagi dari mereka yang lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia merupakan ancaman besar bagi kita selama dia masih belum tertangkap. Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang permintaanmu itu. Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku pun tidak pernah berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita supaya memperlakukan para tawanan itu dengan baik?"
Kembali Seng Bu meraih dan merangkul, hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas pembaringan. Kim Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari pembaringan, memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.
"Koko, apa yang kau lakukan ini?"
"Giok-moi, kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan ini. Kini aku... aku ingin... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi..."
Pemuda itu hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok sudah cepat-cepat melangkah mundur untuk menghindar.
"Bu-ko, kita tidak boleh melakukan itu. Kita belum menikah!"
"Giok-moi, kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus meminang dirimu dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama. Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, sekarang..."
"Tidak, aku tidak mau!"
"Giok-moi...!" Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat keluar dari dalam kamar itu, dikejar oleh kekasihnya.
Sebetulnya, Seng Bu bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu birahi. Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan ia takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta agar para tawanan dibebaskan.
Kalau dia dapat menggauli Kim Giok sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tak akan lepas lagi dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya. Karena itu, sikapnya sekarang yang hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri seperti lebih dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya dari pada sekedar terseret nafsu birahi.
Kim Giok berlari keluar dari bangunan itu. Dia masih terus dikejar oleh Seng Bu yang tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya mengejar untuk membujuk kekasihnya.
"Giok-moi, tunggu...!" seru Seng Bu sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya itu seperti mengajaknya bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.
Pada saat itulah terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan ketika Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui Thiancu, Im Yang Ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.
"Ahh, celaka, Pangcu!" berkata Im Yang Ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai yang tinggi kurus ini nampak gugup.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?" Seng Bu bertanya.
"Pangcu, pasukan besar pemerintah sudah mengepung kita dari empat penjuru!" kata pula Im Yang Ji.
"Jahanam!" Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim Giok yang melihatnya menjadi terkejut.
Dalam keadaan marah seperti itu, Seng Bu seolah sudah berubah. Wajahnya bengis, pandang matanya mencorong dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik luar biasa.
"Im Yang Ji Totiang, dan Kui Thiancu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau, paman Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita, bagi menjadi dua untuk mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para tawanan untuk dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun berdiri di belakang penyerbuan ini!"
Tiga orang pembantu itu segera pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk, agaknya sudah lupa sama sekali kepada Kim Giok.
"Koko, jangan!" Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.
"Giok-moi, minggirlah kau!" bentak Seng Bu marah. Matanya yang mencorong itu sama sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, yang ada hanyalah kebengisan dan kemarahan.
"Tidak, Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka bertiga menjadi sandera. Bahkan setelah pasukan pemerintah menyerang, jelas bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan itu karena mereka berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah seharusnya membebaskan mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan membantu kita untuk melawan pasukan pemerintah."
"Minggir, Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus dibunuh agar musuh kita berkurang."
"Ingat, Bu-ko, musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggota keluarga besar para pendekar!" kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong Pokiam sudah terhunus di tangannya. "Aku tidak memperkenankan siapa pun membunuh para tawanan itu!"
Mendengar kata-kata Giok Kim ini, tiba-tiba saja Ouw Seng Bu tertawa, dan suaranya tawanya sungguh mendirikan bulu roma, sungguh mengerikan sekali.
"Ha-ha-ha-ha-ha, kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta sepenuh jiwa ragaku, tetapi engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali, Giokmoi..." dan laki-laki ini pun menangis!
Kim Giok sampai menjadi bengong. Baru sekarang dia dapat menduga bahwa pria yang dicintanya ini adalah seorang yang miring otaknya.
"Ha-ha-ha!" Seng Bu tertawa lagi. "Engkau hendak membela mereka?" Ia pun berteriak kepada sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. "Heiii, kalian! Cepat suruh bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!"
"Baik, Pangcu!" sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.
"Tidaaak, jangan...!" Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.
"Cu Kim Giok, engkau musuh kami!" terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun sudah meloncat, lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh Kim Giok masih melayang di udara.
Karena tak menduga bahwa pria yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan aneh itu datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biar pun Kim Giok berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, namun tetap saja lambungnya terkena pukulan itu.
"Aughhh...!"
Kim Giok mengeluh dan tubuhnya terkulai, lalu jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan merasa betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti sebongkah air beku sehngga dadanya terasa sesak, pandang matanya berkunang-kunang.
"Giok-moi... kekasihku... Giok-moi...!" Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh yang roboh miring itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara yang membuat Seng Bu kaget bagai disengat binatang berbisa. Tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.....
"Ouw Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!" Suara Yo Han.
Cepat Seng Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia merasa seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata terbelalak. Apa lagi pada waktu itu dia mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan bahwa pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan Thian-li-pang.
Sementara itu, Kim Giok mengangkat mukanya. Dia terbelalak ketika melihat api sudah membakar rumah tahanan. Melihat api mulai berkobar, seakan timbul semangat dan kekhawatirannya. Ia meloncat dan dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan rasa nyeri di lambungnya. Cepat ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak mempedulikan lagi kepada Seng Bu.
Setelah tiba di dekat rumah tahanan itu, Kim Giok melihat ada beberapa orang anggota Thian-li-pang sedang terus membakar bagian samping rumah tahanan yang telah mulai berkobar. Dengan marah Kim Giok menggerakkan pedangnya sehingga keempat orang anggota Thian-li-pang itu langsung roboh.
Dua orang lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka mengamuk, tahu bahwa calon nyonya ketua itu kini menjadi musuh. Mereka menggerakkan golok, akan tetapi mereka pun segera terpelanting mandi darah, menjadi korban pedang Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
Kim Giok tidak mempedulikan api yang berkobar, dan dengan cepat ia meloncat masuk, menyelinap dan berlari menuju ke kamar para tahanan. Dia melihat betapa Sian Li dan Hui Eng sudah dapat mematahkan rantai yang membelenggu kaki tangan mereka dan mereka berdua kini sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja dengan cara menarik dan membetot-betot, tetapi agaknya usaha ini tidak akan membawa hasil. Juga di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu ditahan, terdengar pula suara gaduh ketika mereka mendorong-dorong pintu baja kamar tahanan mereka.
Dengan sisa tenaga terakhir, Kim Giok menyambut empat orang anggota Thian-li-pang yang agaknya hendak meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para penjaga sebelah dalam dan dia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti berada di tangan mereka.
Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar, maka robohlah empat orang itu. Kim Giok memeriksa pakaian mereka dan menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci. Cepat dia menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan.
Tentu saja mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata Kim Giok menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar dari Lembah Naga Siluman yang gagah perkasa!
Setelah Kim Giok berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun terhuyung. Ia menyerahkan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang kepada jeruji.
"Cepat... bebaskan mereka... di ujung sana...!" Dan ia pun terkulai roboh.
"Kim Giok...!" Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia lalu berkata, "Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau masih ada yang lain, bebaskan mereka semua."
Hui Eng menerima kunci itu, dan tidak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram.
Sian Li masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat lambung gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah ia bahwa isi perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak mungkin disembuhkan lagi.
"Kim Giok...!" Ia merangkul, penuh keharuan.
Biar pun gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian Li sudah dapat menduga bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu pada saat gadis ini nekat hendak membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang membuat ia heran, bagaimana Kim Giok tetap masih dapat membebaskannya, padahal pukulan itu merupakan pukulan maut yang mematikan.
"Sian Li... mintakan ampun... kepada ayah ibu...," Kim Giok mengeluh dan terkulai.
"Sian Li, cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar dan sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar," berkata Hui Eng yang datang bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.
Sian Li memandang dan Ciang Hun juga berkata, "Benar, adik Sian Li, kita harus cepat pergi. Ahhh, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa dia?"
Sian Li menjawab dengan suara gemetar. "Gak-twako... tanpa pertolongan Kim Giok, kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang menolong kita membukakan pintu tahanan dan ia... ia telah tewas. Mari, bantu aku membawanya keluar, Twako."
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih hangat dan lemas itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain.
Melihat di luar telah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thian-li-pang melawan pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li segera menyerahkan jenazah Kim Giok supaya ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang masih menderita luka-luka, sedangkan ia sendiri bersama dengan Hui Eng, Ciang Hun dan Bi Kim lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggota Thian-li-pang sehingga mereka itu dibuat cerai-berai dan banyak yang jatuh.
"Aku harus mencari Seng Bu!" teriak Sian Li dengan marah.
"Aku akan mencari Siangkoan Kok!" kata pula Hui Eng.
Akan tetapi, mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantunya, yaitu Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai serta Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw, sedang mengamuk dan membuat para prajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi kocar-kacir sehingga banyak prajurit yang roboh.
Hui Eng yang melihat Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedang dan maju menerjang bekas ayah angkatnya, sekaligus gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat menggunakan senjata masing-masing.
Melihat gadis itu sudah nekat menyerang bekas ketua Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian Li merasa khawatir dan dia pun turut menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok Siangkoan Kok. Ada pun Gak Ciang Hun bersama Gan Bi Kim sudah membantu para perwira dan prajurit yang mengeroyok dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw.
Siangkoan Kok yang kaget sekali melihat para tawanan sudah meloloskan diri, terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang gadis yang amat tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu sudah hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan seorang wanita yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri.
Jumlah pasukan yang menyerbu sangatlah banyak sehingga orang-orang Thian-li-pang menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul pula Cia Sun yang memimpin sebuah regu prajurit pilihan. Saat melihat betapa kekasihnya sudah bertanding melawan Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera memerintahkan para perwira dan prajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut pula mengeroyok.
Pertandingan berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu lama. Biar pun mereka bertiga berhasil merobohkan banyak prajurit, tapi Siangkoan Kok, Im Yang Ji, dan Kui Thiancu akhirnya roboh setelah menderita banyak luka-luka. Siangkoan Kok tewas dengan dada tertembus pedang di tangan Hui Eng. Im Yang Ji dan Kui Thiancu juga tewas dengan tubuh penuh luka-luka.
Cia Sun gembira sekali melihat Hui Eng selamat. "Adik Sian Li, di sana kulihat kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu."
Sian Li mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan dia pun berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang lain. Setelah tiba di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun menyaksikan sebuah pertandingan yang luar biasa hebatnya.
Ketika ada yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata, "Jangan ada yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah. Dia tidak senang kalau dibantu dengan pengeroyokan."
Mendengar ucapan ini, semua orang maklum dan mereka menonton dengan kagum dan juga tegang, kecuali Sian Li yang percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tak akan kalah.
Pertemuan antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thian-li-pang itu terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi mencorong liar penuh kebencian dan kemarahan.
"Kau...??!!" Seng Bu berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam mengiris jantung. Mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis.
Yo Han sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.
"Ouw Seng Bu, kenapa engkau membunuh para pimpinan Thian-li-pang termasuk Lauw Pangcu?"
Seng Bu merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya, maka dia tertawa. "Ha-ha-ha, mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi lemah saja. Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus bisa mengajak seluruh kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang lemah!"
"Ouw Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai Thian-li-pang bukan demi perjuangan, tetapi untuk mencari kedudukan tinggi. Engkau bersekutu dengan golongan sesat, engkau juga membiarkan anak buah Thian-li-pang melakukan perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak tahu malu dan curang sekali menjebak aku ke dalam sumur. Heran sekali kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dulu amat dipercaya dan baik, mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah menjadi gila?"
"Yo Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong. Apa kau kira hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha, aku pun telah menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk yang kedua kalinya!" Setelah berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang aneh dan dahsyat sekali.
Diam-diam Yo Han merasa heran dan terkejut sekali mendengar bahwa orang ini telah menguasai Bu-kek Hoat-keng, apa lagi saat melihat serangan yang luar biasa itu. Yang membuat dia heran adalah dia dapat mengenali gerakan tangan Seng Bu pada waktu menyerangnya. Memang itu adalah gerakan dari Bu-kek Hoat-keng!
Karena merasa heran, Yo Han ingin sekali melihat lebih banyak lagi gerakan itu. Ia pun mengelak cepat tanpa membalas, membiarkan Seng Bu menyerang secara bertubi-tubi. Dan tidak salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika menyerangnya adalah ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin aneh saja perkembangan jurus-jurus itu.
Hebatnya, serangan itu mengandung hawa dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis, tangannya yang bertemu lengan lawan itu terasa panas! Pukulan Seng Bu itu mengandung hawa beracun yang ganas luar biasa! Berbahaya sekali bagi lawan dan tidak mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng Bu. Apa bila tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, dia sendiri tentu akan terpengaruh hawa beracun itu.
Seng Bu yang merasa bahwa dia sudah memiliki ilmu yang tidak terkalahkan, semakin berbesar hati melihat Yo Han tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan untuk menghindarkan serangan-serangannya. Namun dia pun merasa penasaran melihat dia belum juga berhasil.
Secepatnya dia harus dapat membunuh Yo Han agar dia mendapat kesempatan untuk melarikan diri, sebab ia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah yang menyerbu perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang segera menggunakan senjata mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!
Yo Han maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini haruslah dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi Seng Bu. Dia mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan keluar Seng Bu, sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung dan mengeroyoknya dengan ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan tendangan dan tamparan saja, tidak membuat mereka terluka parah.
"Para anggota Thian-li-pang, cepat ajaklah kawan-kawan untuk melarikan diri! Jangan hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam penyelewengan!" beberapa kali Yo Han berseru.
"Kelak aku sendiri yang akan membangun kembali Thian-li-pang!" Yo Han berseru lagi.
Terjadi kebimbangan dalam hati para anggota Thian-li-pang. Mereka yang memang berwatak jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu, sebab di bawah bimbingan Seng Bu mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka secara bebas, tidak mau mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap melakukan perlawanan dan setia kepada Seng Bu.
Akan tetapi, lebih banyak lagi anggota yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini para anggota ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari penyerbuan pasukan pemerintah.
Mendengar teriakan Yo Han, dan melihat pula betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han terpelanting ke kanan kiri sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk meloloskan diri dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.
"Yo Han, engkau harus mati di tanganku!" bentaknya.
Seng Bu pun menyerang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan manusia lagi melainkan teriakan iblis. Dan pada saat itulah Sian Li dan para tokoh lain muncul dan menjadi penonton.
Yo Han juga melihat mereka dan hatinya berdebar girang bukan main melihat Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Dia pun mengenal Hui Eng dan Cia Sun, membuat hatinya menjadi semakin girang melihat bahwa adik angkatnya itu telah bersatu dengan kekasihnya. Tetapi hanya sebentar dia dapat melirik ke arah Sian Li dan yang lain-lain karena dia harus kembali memperhatikan lawannya yang ternyata sangat tangguh dan memiliki ilmu silat yang amat aneh itu.
"Hyaaattt...!"
Melihat munculnya para tawanan, Seng Bu menjadi nekat. Tahulah dia bahwa dia harus membela diri mati-matian dan tak ada jalan keluar kecuali dia dapat membunuh Yo Han. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang dengan gencar. Dua tangannya melakukan pukulan dengan cara mendorong dengan telapak tangan, sehingga dari dua tangannya itu menyambar hawa yang dingin bagaikan es, dan nampak pula uap hitam membiru keluar dari kedua telapak tangan itu.
"Hemmm...!"
Yo Han mengelak dan menampar dari samping. Lawannya agaknya mengenal gerakan serangan ini dan dapat mengelak dengan baik, lalu membalas dengan dorongan tangan kanan. Diam-diam Yo Han makin heran. Dia mengenal benar gerakan kaki tangan Seng Bu itu.
Kembali datang serangan dahsyat dari Seng Bu yang mengerahkan seluruh tenaganya dalam setiap serangan. Yo Han merasa aneh. Dia yakin bahwa gerakan-gerakan itu benar ilmu Bu-kek Hoat-keng seperti yang pernah dipelajarinya dari kakek Ciu Lam Hok.
Bagaimana mungkin Seng Bu dapat mempelajarinya? Kakek itu telah meninggal, dan semua coret-moret di dalam lorong sumur tua telah dihapus. Dia tidak tahu bahwa kakek Ciu Lam Hok pernah membuat coret-moret lain di sumur ke dua, yang ditemukan Seng Bu, catatan ilmu itu yang tidak lengkap sama sekali dan yang telah dipelajari dengan keliru oleh Seng Bu.
Yo Han mengenal semua gerakan itu, tetapi ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya memiliki daya mengembalikan setiap pukulan lawan. Bu-kek Hoat-keng bukan pukulan untuk merobohkan orang, melainkan mempunyai daya tolak yang luar biasa sehingga serangan yang bagaimana hebat pun, akan membalik kepada penyerangnya sendiri.
Akan tetapi, gerakan yang mirip Bu-kek Hoat-keng dan dimainkan Seng Bu ini memiliki daya serang yang demikian dahsyatnya, mengandung hawa maut dan beracun! Kalau dia sendiri mempergunakan tenaga Bu-kek Hoat-keng, tentu pukulan aneh dari Seng Bu itu akan membalik dan mana mungkin ada manusia dapat bertahan jika terkena pukulan sehebat itu?
Dia tak ingin membunuh Seng Bu, walau pun dia tahu bahwa Seng Bu telah membunuh Lauw Kang Hui dan para pimpinan lain dan pemuda itu telah membawa Thian-li-pang menyeleweng. Dia ingin menyadarkan Seng Bu dan membuat pemuda itu bertobat. Tidak ada istilah terlambat untuk bertobat selagi manusianya masih hidup.
Akan tetapi, justru karena dia tak mau membunuh lawan, maka perkelahian itu menjadi amat seru dan juga tidak mudah bagi Yo Han untuk menundukkan lawannya. Karena dia memiliki ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, tentu saja tingkatnya masih lebih tinggi dibandingkan Seng Bu. Bu-kek Hoat-keng yang dimiliki dan dikuasai Seng Bu sudah menjadi ilmu sesat yang sangat keji dan berbahaya, sedangkan yang dikuasai Yo Han adalah ilmu yang mengandung keajaiban, yang memiliki daya menolak semua kekuatan jahat, bahkan menolak semua hawa beracun.
Namun, karena Yo Han tidak bermaksud membunuh, tidak membalas serangan lawan dengan jurus ampuh yang mematikan, dan bahkan dia tidak mau menggunakan tenaga menolak balik serangan Seng Bu, maka perkelahian itu menjadi ulet dan lama.
Seng Bu mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua hawa sakti yang keluar dari tubuhnya, bagaikan batu besar dilempar ke dalam telaga saja ketika dipakai menyerang Yo Han. Semua tenaga itu tenggelam dan tidak mendatangkan akibat apa pun. Setiap kali Yo Han menangkis, tangan Seng Bu tergetar hebat dan seperti lumpuh. Seng Bu tidak tahu bahwa bila Yo Han menggunakan tenaga sakti dari Bu-kek Hoat-keng, maka tenaganya bukan hanya tenggelam, tapi membalik sehingga seolah dia memukul dirinya sendiri.
Bagi mereka yang menonton, tentu saja perkelahian itu tampak menegangkan dan amat seru. Sian Li sampai bermandi peluh menyaksikan perkelahian itu karena tidak kelihatan kekasihnya itu unggul, walau pun juga tidak nampak terdesak. Agaknya kedua orang itu memiliki ilmu dan kekuatan yang serupa dan setingkat!
"Haaaiiihhhhh...!!"
Kembali Seng Bu menyerang, sekali ini tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda dia menyambar turun dengan kedua tangan dijulurkan lurus ke depan, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya pada kedua telapak tangannya yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan uap hitam.
Melihat serangan maut yang amat berbahaya ini, Sian Li mengepal tangan kanannya dan matanya memandang terbelalak. Sebagai seorang ahli ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), ia tahu betapa besar bahayanya serangan seperti itu, sebab di dalam ilmu silatnya terdapat pula jurus penyerangan sambil melayang seperti itu.
Akan tetapi Yo Han juga mengenal jurus yang berbahaya ini. Tahulah dia bahwa Seng Bu sudah nekat dan hendak mengadu nyawa! Dengan tenang Yo Han telah mengambil keputusan bahwa dia harus cepat menundukkan Seng Bu dan merobohkannya, walau pun tidak harus membunuhnya.
Pemuda ini agaknya sudah miring otaknya, maka kalau dibiarkan lolos dan membawa pergi ilmunya yang sesat, akan merupakan bahaya besar bagi umum, terutama sekali bagi dunia kang-ouw. Dia harus dapat berusaha menyadarkannya atau merampas ilmu sesat itu.
Laksana seekor burung walet, tiba-tiba tubuh Yo Han juga mencelat ke atas menyambut serangan Seng Bu. Melihat ini, Seng Bu mengeluarkan suara tertawa aneh karena dia girang dan yakin bahwa kali ini akan mampu membunuh Yo Han. Dengan pengerahan seluruh tenaganya, dia menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah tubuh Yo Han.
"Wuuuttt...!"
Seng Bu terkejut karena tiba-tiba tubuh itu lenyap dari depannya dan kedua tangannya menghantam udara kosong. Maklum bahwa dia telah terkecoh, dia berusaha membuat gerakan jungkir balik seperti yang dilakukan Yo Han dengan cepat ketika mengelak tadi. Akan tetapi terlambat. Dari sebelah atasnya, Yo Han telah menggunakan tangan yang dimiringkan untuk memukul punggung Seng Bu.
"Desss...!!"
Seng Bu mengeluarkan keluhan lirih dan tubuhnya terbanting ke atas tanah. Yo Han menyusulnya dengan melayang turun. Akan tetapi, dapat dibayangkan kagetnya hati Pendekar Tangan Sakti ini ketika tiba-tiba tubuh yang tadinya terbanting roboh itu telah bergerak meloncat bangun dan menyambut Yo Han yang baru saja turun itu dengan dorongan kedua tangan, dahsyat bukan main karena Seng Bu mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam serangan mendadak ini. Ternyata Seng Bu memiliki kekuatan luar biasa sehingga pukulan Yo Han tadi seolah tidak terasa olehnya!
Tidak ada lain jalan bagi Yo Han kecuali dia juga menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan.
"Wuuuttt... plakkk!"
Dua pasang tapak tangan itu bertemu dan melekat! Yo Han merasa betapa ada hawa yang amat dingin menyerangnya. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga panas dan kini Seng Bu yang merasa betapa kekuatannya terdorong oleh tenaga yang dahsyat sekali.
Seng Bu terus bertahan sehingga terjadilah dorong mendorong dengan menggunakan ilmu yang sama, yaitu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi kalau ilmu yang dikuasai Yo Han murni, sebaliknya yang dikuasai Seng Bu merupakan ilmu sesat yang tercipta karena latihan yang keliru.
Dari kepala Yo Han mengepul uap putih, sebaliknya dari kepala Seng Bu mengepul uap hitam. Seng Bu mendengus-dengus, muka serta lehernya sudah penuh keringat dan perlahan-lahan, tenaganya mengendur sedangkan hawa panas dari telapak tangan Yo Han mulai memasuki dirinya melalui kedua tapak tangannya.
Yo Han merasa mendapatkan kesempatan. Dia harus menggunakan tenaga saktinya untuk mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuh Seng Bu, sambil merusak pusat penghimpunan sinkang agar selanjutnya Seng Bu tidak dapat lagi mempergunakan ilmu sesatnya itu.
Yo Han sudah mengambil keputusan bahwa itulah satu-satunya jalan untuk memaksa Seng Bu kembali ke jalan yang benar, yaitu dengan meniadakan kekuatan yang akan mendorongnya melakukan kekejian. Kalau Seng Bu sudah tidak memiliki kekuatan yang dapat dia andalkan, tentu dia tidak akan mampu merajalela lagi.
Sian Li, Hui Eng, Ciang Hun, Cia Sun, dan Bi Kim yang maklum apa artinya adu tenaga sinkang antara kedua orang muda yang lihai itu, menonton dengan hati tegang bukan main. Terutama sekali Sian Li.
Gadis ini maklum bahwa dalam adu tenaga sinkang seperti itu, berarti adu nyawa, dan kalau sampai kekasihnya kalah dalam adu tenaga sinkang ini, ia tahu bahwa Seng Bu pasti tidak segan-segan untuk membunuhnya. Untuk membantu, ia tidak mau karena hal itu akan merendahkan Yo Han dan tidak sesuai dengan watak pendekar. Maka, wajahnya sudah mulai pucat karena ia merasa gelisah sekali.
"Jangan takut, dia pasti menang," terdengar Hui Eng berbisik di sampingnya dan Sian Li mengangguk, berterima kasih karena dia pun tahu bahwa Hui Eng cukup lihai untuk dapat menduga yang tepat, menghilangkan keraguannya sendiri.
Dan memang ucapan Hui Eng itu bukan sekedar hiburan kosong belaka. Gadis lihai ini sudah melihat betapa Seng Bu terdesak hebat dalam adu tenaga itu, membuat uap tebal menghitam keluar dari kepalanya, matanya mendelik dan keringatnya membasahi muka dan leher, juga nampak betapa tubuh Seng Bu mulai menggigil.
Seng Bu maklum bahwa dia tak akan menang, akan tetapi dia pun tidak mau menyerah. Masih dikerahkan tenaganya yang terakhir hingga dia seperti mendengar suara tulang patah di dalam dadanya. Ia pun melangkah mundur, kedua tangannya ditarik lepas dari tangan Yo Han dan menggunakan kedua tangan untuk menekan dadanya yang terasa nyeri. Akhirnya, ia pun memuntahkan darah segar, terhuyung ke belakang.
"Ouw Seng Bu, masih ada kesempatan hidup bagimu. Pergi berobat dan bertobatlah!" kata Yo Han lembut.
Dengan mata mendelik penuh kebencian Seng Bu memandang kepada Yo Han, lalu dia masih nekat hendak mengerahkan tenaga dan menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia mengerahkan tenaga sinkang, isi dada perutnya bagai diremas, membuat dia mengeluh dan terhuyung, dan dia memandang kepada Yo Han dengan mata terbelalak bingung.
"Seng Bu, mulai kini engkau tidak akan dapat menggunakan tenaga berbuat kejahatan lagi. Bertobatlah!" kata Yo Han lembut dan dalam suaranya terkandung perasaan iba.
Mendengar ini, tahulah Seng Bu bahwa sudah habis baginya, habis segala-galanya. Dia teringat secara mendadak kepada Cu Kim Giok, gadis yang dicinta dan mencintanya, dan di dalam lubuk hatinya timbul penyesalan yang amat mendalam. Dia mengeluarkan keluhan panjang, kemudian tubuhnya membalik dan dia sudah berlari menuju ke tempat tahanan yang kini berkobar dimakan api. Yo Han dan semua orang mengejarnya.
Ketika Seng Bu melihat lima orang tosu Bu-tong-pai berdiri, dan tak jauh dari situ rebah sesosok tubuh, dia tersentak kaget mengenal tubuh Kim Giok yang dicarinya. Tanpa mempedulikan apa pun, dia berseru memanggil, "Giok-moi...!!" Dan dia pun menubruk mayat gadis itu.
"Giok-moi… ahhh, Giok-moi...!" Dia meratap dan menangis.
Yo Han dan yang lain-lain sudah tiba di situ.
"Ouw Seng Bu iblis busuk, tidak perlu lagi engkau pura-pura menangis! Simpan saja air mata buayamu itu karena Kim Giok sudah tewas oleh pukulanmu. Engkaulah yang telah membunuhnya, kenapa engkau kini berpura-pura menangis?" tegur Sian Li gemas dan marah.
Mendengar ucapan Sian Li, tangis Seng Bu semakin menjadi-jadi. Seperti anak kecil dia menangis dan meratap, sesenggukan.
"Giok-moi... Kim Giok... ampunkan aku... ampunkan aku..." demikian ratapnya berulang kali.
Kemudian, tanpa diduga-duga oleh semua orang, mendadak dia menggerakkan tangan kanannya, meringis menahan nyeri ketika mengerahkan tenaga terakhir dan tangan itu menyambar dan mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri. Terdengar suara tulang patah dan dia pun roboh dan tewas di atas jenazah Kim Giok yang masih hangat.
Semua orang terbelalak, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
"Mungkin inilah yang terbaik...," kata Yo Han halus, penuh rasa haru dan iba.
"Kakak Yo Han, untunglah engkau dapat muncul dalam keadaan selamat, kalau tidak... sukar aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami semua," kata Cia Sun.
Yo Han memandang kepada adik angkatnya itu sambil mengerutkan alisnya. Suaranya memang lembut, namun penuh teguran ketika dia berkata, "Cia-siauwte, kenapa engkau melanggar janji, telah mengerahkan pasukan pemerintah untuk menyerbu perkumpulan pejuang?"
Wajah Cia Sun berubah kemerahan. "Ah, Twako. Aku sama sekali bukan mengerahkan pasukan untuk menyerbu perkumpulan pejuang, tetapi terpaksa mengerahkan pasukan untuk menolong Eng-moi dan nona Sian Li dari tangan penjahat!”
Hui Eng segera maju membela. "Dia benar! Tanpa datangnya pasukan yang menyerbu perkumpulan Thian-li-pang yang sudah menjadi gerombolan penjahat itu, mungkin kami sekarang telah tewas."
Sian Li sudah maju dan memegang lengan Yo Han dengan mesra. "Han-koko, mereka itu benar. Pangeran mengerahkan pasukan bukan hanya untuk menyelamatkan kami berdua, bahkan untuk mencoba menolongmu yang dikabarkan tewas dalam sumur."
Yo Han termangu. Jika Sian Li sudah memberi kesaksiannya, tentu dia tidak meragukan lagi kebenarannya. "Kalau begitu, mari kita pergi dari sini dan bicara di luar tempat ini." Ia memandang kepada gadis yang tewas di samping Seng Bu dan bertanya, "Siapakah nona yang tewas ini?"
"Han-koko, ia bukan orang lain. Ia adalah puteri Paman Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman," kata Sian Li.
Yo Han terbelalak. "Ahhh...!"
"Ia yang telah membebaskan kami dari rumah tahanan yang terbakar. Tanpa bantuan dirinya, kami semua tentu sudah terbakar mati di dalam kamar tahanan," kata pula Sian Li, lalu ia menunjuk kepada lima orang tosu, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim. "Lima orang Totiang ini dari Bu-tong-pai, dan ini kakak Gak Ciang Hun dan enci ini..."
"Aku sudah mengenal Yo Taihiap dengan baik, adik Sian Li."
"Benar apa yang dikatakan oleh saudara Yo Han, kita bicara saja di luar. Biar kubawa jenazah nona Cu Kim Giok ini keluar," kata Gak Ciang Hun, dan dia lalu memondong jenazah itu.
"Mari ikut aku. Aku yang akan membukakan jalan keluar," kata Cia Sun.
Dia pun berjalan diikuti mereka semua. Tentu saja para perwira atau prajurit tidak berani menghalangi pangeran ini keluar dari perkampungan Thian-li-pang, diikuti lima orang tosu Bu-tong-pai, Gak Ciang Hun yang memondong jenazah Cu Kim Giok, Yo Han, Sian Li, Bi Kim, dan Hui Eng.
Setelah tiba di kaki bukit, barulah mereka berhenti. Menurut usul Gak Ciang Hun yang disetujui pula oleh mereka semua, lima orang tosu Bu-tong-pai yang lebih mengetahui akan urusan itu, diminta agar memilihkan sebidang tanah yang baik untuk mengubur jenazah Cu Kim Giok. Semua orang membantu menggali lubang dan dengan upacara sederhana namun khidmat yang dipimpin oleh Thian Tocu tosu dari Bu-tong-pai.
Setelah selesai pemakaman yang dilakukan tanpa ada yang bicara, akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk duduk di dekat makam dalam sebuah lingkaran. Barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Seperti dengan sendirinya, Sian Li duduk di dekat Yo Han dan pandang mata Sian Li bersinar-sinar penuh kebahagiaan karena akhirnya dia dapat bertemu dan berkumpul dengan pria yang sejak kecil telah dicintanya itu. Hui Eng juga duduk di dekat Cia Sun, sedangkan Bi Kim duduk di dekat Ciang Hun. Secara bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka.
Yo Han merasa lega dan gembira pada saat mendengar bahwa Hui Eng yang tadinya dianggap sebagai puteri Siangkoan Kok, ternyata adalah gadis yang selama ini dicari-carinya, yaitu puteri Liong-siauw Kiam-hiap (Pendekar Pedang Suling Naga) Sim Houw yang hilang diculik orang sejak kecil. Apa lagi kini Hui Eng sudah menemukan jodohnya, yaitu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun yang dia tahu adalah seorang pangeran Mancu yang berjiwa pendekar.
Makin besar rasa bahagia di dalam hatinya ketika dia melihat bahwa Gan Bi Kim, cucu keponakan gurunya yang oleh nenek Ciu Ceng dijodohkan dengannya itu nampak akrab dan saling mencinta dengan Gak Ciang Hun.
Ketika giliran Yo Han menceritakan pengalamannya, semua orang, terutama sekali Sian Li merasa ngeri dan kadang mengeluarkan seruan tertahan sambil memegang lengan Yo Han. Mereka mendengarkan dengan penuh ketegangan dan kengerian.
"Sian-cai..., sungguh amat menakjubkan sekali mendengar betapa dalam keadaan yang agaknya sudah tidak ada harapan itu, ternyata Yo Taihiap masih dapat meloloskan diri! Mengagumkan sekali!"
Yo Han tersenyum melihat pandang mata mereka semua penuh kekaguman padanya. "Totiang, dan Cuwi (Saudara sekalian), harap jangan memuji aku. Sesungguhnya, aku sendiri sudah meragukan apakah aku akan mampu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup dari luar itu. Namun, dalam keadaan apa pun juga, sebelum hayat meninggalkan badan, aku tidak akan pernah putus asa. Di atas segala kekuatan di dunia ini, ada suatu kekuatan yang maha kuat, maha kuasa, dan maha mengetahui! Aku hanya menyerah kepada kekuasaan itu, yakni kekuasaan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aku selalu yakin sepenuhnya bahwa kekuasaan itu menyerap sampai ke mana pun, bahkan di dalam tanah itu pun kekuasaanNya bekerja dengan sempurna. Karena itu, selama badan ini masih dapat bergerak, aku harus berusaha sekuat kemampuan untuk mempertahankan hidup ini, didasari penyerahan yang mutlak kepada kekuasaan itu."
"Kekuasaan itulah To..." Thian Tocu menggumam.
"Saya kira memang tepat ucapan Totiang. To yang dimaksudkan itulah Hukum Alam, atau Kekuasaan Tuhan yang selalu bekerja dan bergerak tiada hentinya, tanpa pernah menyimpang sedikit pun dari ketepatannya, seperti timbul tenggelamnya matahari dan bulan, seperti gerakan ombak samudera ke kanan kiri yang tiada berkesudahan. Karena penyerahan mutlak kepada Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa itulah maka tak ada rasa gelisah atau takut sedikit pun. Dan ketenangan ini sangat menguntungkan kita dalam menghadapi peristiwa apa saja. Demikianlah, dengan tekun dan tanpa mengenal menyerah pada kesulitan, dengan pasrah kepada Tuhan, maka akhirnya kekuatan dari kekuasaan Tuhan itu yang menuntunku hingga dapat lolos dari ancaman maut di perut bumi."
Semua orang terkesan dan suasana menjadi sunyi.
"Han-ko, bagaimana Seng Bu itu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu? Bukankah dia pula yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, kemudian dia menjatuhkan fitnah bahwa engkaulah yang telah membunuh mereka. Ketika melawannya, aku dapat merasakan betapa hebat tenaganya, dan melihat ia bertanding denganmu tadi, sungguh menegangkan dan menggelisahkan. Lalu bagaimana seorang murid Thian-li-pang dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, Koko?"
Yo Han menghela napas panjang. "Agaknya hal itu akan tetap merupakan rahasia yang tidak terpecahkan, Li-moi. Aku sendiri ketika bertanding dengannya, merasa heran dan terkejut bukan main karena aku mengenal ilmunya sebagai ilmu yang pernah kupelajari. Padahal ilmu itu tak pernah dipelajari oleh orang lain dan yang menguasainya hanyalah mendiang suhu sebagai penemunya dan aku sebagai muridnya. Tapi entah bagaimana, agaknya Seng Bu dapat pula mempelajari ilmu itu, hanya saja... ilmu yang dikuasainya itu mempunyai perbedaan bagai bumi dan langit dengan ilmuku. Ilmu itu menjadi sesat dan berbahaya sekali, mengandung hawa beracun yang amat dahsyat. Jika tidak salah perhitunganku, agaknya dia secara kebetulan, entah bagaimana, telah menemukan dan mempelajari ilmu itu, akan tetapi tanpa bimbingan. Dia mempelajarinya secara keliru sehingga tanpa disengaja, dia telah menguasai ilmu yang menjadi sesat dan dahsyat, dan mungkin saja karena penguasaan ilmu itu, dia menjadi berubah dan tidak waras lagi."
"Aku ikut merasa menyesal sekali, Twako. Bagaimana pun juga, aku telah membantu hancurnya Thian-li-pang, padahal engkau tentu tahu bahwa aku tidak pernah memusuhi para pejuang," kata Cia Sun.
"Bukan salahmu, Cia-te. Thian-li-pang sudah diselewengkan menjadi gerombolan jahat yang bersekutu dengan golongan sesat. Biarlah kelak aku akan mencoba menyusunnya kembali menjadi perkumpulan para pejuang yang sehat dan berjiwa pendekar, seperti pesan mendiang suhu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?"
"Siancai, kami berlima harus mohon diri, karena kami sudah terlalu lama meninggalkan Bu-tong-san, Yo Taihiap," berkata Thian Tocu. Lima orang tosu itu bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh enam orang muda itu.
"Ngo-wi Totiang dari Bu-tong-pai sungguh-sungguh merupakan sahabat yang amat baik, membelaku sampai hampir menjadi korban kekejaman Ouw Seng Bu."
"Siancai..., Yo Taihiap tentu telah mengerti sepenuhnya bahwa orang-orang seperti kita ini, tidak pernah membela seseorang mau pun memusuhi seseorang. Yang kita bela adalah kebenaran dan yang kita tentang adalah kejahatan. Bukankah begitu, Taihiap?" kata Thian Tocu.
Yo Han dan yang lain-lain memandang kagum, kemudian mereka semua mengangguk menyetujui.
"Kalau begitu terima kasih dan selamat jalan, Totiang."
"Sampai jumpa, Yo Taihiap dan saudara sekalian."
Lima orang tosu itu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Setelah lima orang tosu itu pergi, enam orang muda itu saling pandang.
"Nah, kini tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah," kata Yo Han sambil memandang kepada Sian Li. "Aku bersama adik Sian Li akan pergi ke rumah orang tua Li-moi, akan tetapi aku mengharap bantuan adik Cia Sun untuk menemani kami. Terus terang saja, seperti yang mungkin sudah kalian ketahui, kami berdua sudah bertekad untuk hidup berdua sebagai suami isteri, padahal oleh orang tuanya, Li-moi telah dijodohkan dengan adik Cia Sun. Oleh karena itu, aku membutuhkan bantuan Cia-te untuk menemani kami agar Cia-te yang memberi penjelasan kepada paman Tan Sin Hong berdua."
"Tentu, tentu saja aku akan menemani kalian!" seru Cia Sun gembira. "Tetapi sebelum itu, aku minta kepada kalian semua untuk menemani aku dulu bersama adik Hui Eng. Aku hendak mengantarkan Eng-moi kepada orang tuanya di Lok-yang. Mengingat bahwa Eng-moi pernah bertemu dengan ayah ibu kandungnya dalam keadaan yang tak menyenangkan di rumah pendekar Suma Ceng Liong, maka tentu pertemuan itu akan terasa canggung. Kalau ada kalian semua yang ikut dan membantu memberi kesaksian dan penerangan, tentu akan lebih menyenangkan. Terutama sekali, aku mohon bantuan Yo-toako untuk membicarakan urusan kami berdua kepada orang tua Eng-moi."
Yo Han tersenyum memandang kepada Hui Eng yang menjadi merah kedua pipinya dan menundukkan kepalanya. "Aku mengerti, Cia-te, dan agaknya kita memang saling membutuhkan. Aku yakin Gak-twako tidak akan keberatan untuk ikut pula ke Lok-yang membantu adik Sim Hui Eng."
"Ahh, tentu saja!" kata Gak Ciang Hun dan dia pun nampak tersipu dan salah tingkah. "Bahkan aku pun... hemmm... aku pun atau maksudku kami berdua, aku dan adik Gan Bi Kim, amat membutuhkan bantuanmu, Yo-siauwte. Aku pun ingin berterus terang saja. Aku sudah mendengar dari adik Bi Kim bahwa oleh neneknya, dia sudah ditunangkan denganmu, Yo-te, akan tetapi kenyataannya sekarang, engkau saling mencinta dengan adik Sian Li, sedangkan adik Bi Kim... ahhh, kami berdua saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk bisa berjodoh. Nah, tanpa bantuan Yo-te, bagaimana kami berdua akan berani menghadapi keluarganya?"
Kini enam orang itu saling pandang, dan meledaklah suara tawa mereka. Sian Li yang memang berwatak lincah jenaka itu tidak menyembunyikan tawanya karena geli hatinya. "Hik-hik-hik, alangkah lucunya! Agaknya memang kita berenam ini sudah ditakdirkan untuk saling bantu dan harus melakukan perjalanan bersama. Betapa menggembirakan! Kita saling kait mengait, saling membutuhkan bantuan!"
Yo Han mengangguk-angguk. "Memang aneh. Agaknya memang Tuhan menghendaki demikian! Aku ditunangkan dengan Gan Bi Kim, namun adik Bi Kim berjodoh dengan Gak-twako dan aku berjodoh dengan Li-moi yang sudah ditunangkan dengan Cia-te, sedangkan Cia-te berjodoh dengan Sim Hui Eng yang selama ini kita cari-cari! Baiklah, sekarang diatur begini saja. Pertama-tama kita semua pergi ke rumah orang tua adik Sim Hui Eng. Bagaimana pun juga, peristiwa bertemunya kembali adik Eng dengan ayah dan ibunya merupakan hal yang sangat membahagiakan dan penting sekali. Nah, setelah dari sana, kita tinggalkan dulu adik Eng bersama orang tuanya, dan Cia-te ikut dengan kami untuk menemui orang tua Li-moi. Setelah itu, aku akan meninggalkan dulu Li-moi di rumah orang tuanya dan menemani Gak-twako untuk berkunjung ke rumah adik Gan Bi Kim. Dengan demikian semua urusan akan menjadi beres!"
Demikianlah, tiga pasang kekasih itu lalu mulai melakukan perjalanan berantai itu untuk saling bantu. Mula-mula mereka berenam pergi berkunjung ke Lok-yang.
Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, Can Bi Lan, menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan juga terheran-heran karena mereka mengenal Hui Eng sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah membikin kacau pertemuan keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong. Tetapi keheranan mereka berubah menjadi kejutan yang luar biasa ketika mereka mendengar bahwa gadis itu bukan lain adalah Eng Eng, atau Sim Hui Eng, anak kandung mereka!
Mula-mula mereka merasa sukar untuk percaya, akan tetapi setelah Yo Han, Sian Li, dan Pangeran Cia Sun bercerita, ditambah lagi bukti tanda tahi lalat hitam di pundak kiri dan noda merah di ibu jari kaki di telapak kaki kanan, Can Bi Lan menubruk puterinya sambil menjerit dan menangis. Terjadilah pertemuan yang amat mengharukan hati, dan sukar dilukiskan betapa bahagia rasa hati Sim Houw dan Can Bi Lan ketika mereka dapat menemukan kembali puteri mereka yang hilang sejak kecil itu.
Setelah suasana keharuan mereda, dengan hati-hati Yo Han dan Sian Li menceritakan mengenai hubungan kasih sayang antara Hui Eng dan Cia Sun. Mereka juga bercerita tentang semua pengalaman mereka, tentang pembelaan Cia Sun kepada Hui Eng.
Mula-mula, suami isteri itu tertegun. Mereka menemukan kembali puteri mereka, akan tetapi juga mendengar bahwa puteri mereka ingin berjodoh dengan seorang pangeran Mancu? Akan tetapi, suami isteri ini memang bijaksana.
Mendengar betapa pangeran calon menantu mereka itu adik angkat Pendekar Tangan Sakti Yo Han, juga dipuji-puji sebagai bekas calon suami Si Bangau Merah Tan Sian Li, juga bahwa pangeran itu berjiwa pendekar, tidak memusuhi para pejuang dan tidak setuju pula dengan penindasan, mereka pun dapat menerima dengan hati lapang.
Pada keesokan harinya Yo Han dan Sian Li, Ciang Hun dan Bi Kim, mengajak Cia Sun untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan dulu Hui Eng bersama orang tuanya. Cia Sun berjanji kepada keluarga itu untuk segera meminta kepada ayah ibunya untuk mengajukan pinangan secara resmi. Kemudian, Cia Sun mengikuti Yo Han dan Sian Li mengunjungi orang tua Si Bangau Merah, yaitu Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang tinggal di Ta-tung, sebelah barat Peking.
Sekali ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menerima puteri mereka dengan gembira dan mereka berdua bahkan merasa berbahagia sekali ketika mendengar keterangan mereka semua tentang pembatalan pertalian jodoh antara puteri mereka dengan Cia Sun yang dengan jujur mengakui bahwa dia saling mencinta dengan Sim Hui Eng.
Kini suami isteri ini dapat menerima pinangan Yo Han dengan rasa syukur karena bagai mana pun juga sebetulnya mereka amat menyayangi Yo Han yang kini ternyata sudah menjadi seorang pendekar sakti yang bernama besar sebagai Pendekar Tangan Sakti. Suami isteri ini pun turut merasa gembira mendengar bahwa puteri keluarga Sim yang hilang sejak kecil itu telah ditemukan kembali, bahkan akan menjadi jodoh Pangeran Cia Sun, bekas calon mantu mereka.
Dari rumah orang tua Sian Li, Yo Han mengikuti Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim ke kota raja. Juga Pangeran Cia Sun hendak pulang ke kota raja untuk minta kepada orang tuanya meminang Sim Hui Eng.
Keluarga pembesar Gan Seng, juga nenek Ciu Ceng, menyambut pulangnya Gan Bi Kim dengan gembira pula. Mereka agak tercengang ketika mendengar pengakuan Gan Bi Kim bahwa ia telah memutuskan pertalian jodohnya dengan Yo Han, karena Yo Han telah berjodoh dengan gadis lain. Tetapi mereka pun merasa lega ketika diperkenalkan dengan Gak Ciang Hun sebagai pemuda yang dipilih Bi Kim sebagai calon jodohnya.
Apa lagi Yo Han ikut bicara dan memberi penjelasan bahwa sebelum bertemu Bi Kim, sesungguhnya dia sudah mempunyai pilihan hati. Keluarga itu bahkan merasa bangga mendengar bahwa calon menantu mereka, Gak Ciang Hun, adalah keturunan pendekar besar yang mempunyai nama harum di dunia persilatan.
Demikianlah, tiga pasangan kekasih ini tidak menemui halangan apa pun dalam urusan perjodohan mereka. Pihak orang tua telah menerima dengan senang hati dan pinangan resmi dilakukan, bahkan pernikahan tiga pasang mempelai ini dirayakan dalam tahun itu juga.
Cia Sun mengajak isterinya, Sim Hui Eng, tinggal di rumahnya di kota raja, dan sekali waktu keduanya juga tinggal di rumah mertuanya di Lok-yang. Sementara, Gak Ciang Hun mengajak isterinya, Gan Bi Kim tinggal di Beng-san, di bekas tempat tinggal orang tuanya, yaitu di puncak Telaga Warna yang indah.
Yo Han sendiri bersama isterinya, Tan Sian Li, melakukan perjalanan bulan madu jauh ke Lembah Naga Siluman, untuk menyampaikan berita duka tentang kematian Cu Kim Giok kepada keluarga Cu. Berita itu tentu saja disambut dengan tangis oleh Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, dan mereka mendengarkan keterangan Yo Han dan Sian Li tentang puteri mereka, dan menerima pesan terakhir Kim Giok melalui Sian Li untuk memohon ampun kepada ayah ibunya.
Biar pun hati mereka terasa hancur karena kematian puteri mereka, namun setidaknya mereka terhibur juga bahwa pada saat-saat terakhir, puteri mereka sadar dan bertindak sesuai dengan jiwa kependekaran keluarga mereka. Puteri mereka, Cu Kim Giok, tewas sebagai seorang pendekar wanita yang membela kebenaran. Juga mereka tidak merasa penasaran karena pembunuh puteri mereka, yaitu ketua Thian-li-pang Ouw Seng Bu, telah menemui ajalnya pula.
Kemudian Pendekar Tangan Sakti Yo Han bersama isterinya, Si Bangau Merah Tan Sian Li berkunjung ke Bukit Naga. Di tempat itu, dengan dibantu oleh isterinya, Yo Han mulai menghimpun kembali perkumpulan Thian-li-pang.
Para anggota lama yang semula memang tidak setuju dengan kesesatan Thian-li-pang dikumpulkan. Perkumpulan itu pun didirikan kembali dengan jumlah anggota yang kecil. Akan tetapi di bawah bimbingan Yo Han, Thian-li-pang dalam waktu yang singkat telah bangkit kembali menjadi perkumpulan para pendekar pejuang yang terkenal bersih dan di kemudian hari, Thian-li-pang akan memegang peran penting dalam perjuangan rakyat menentang kekuasaan penjajah Mancu.
Seperti tercatat dalam sejarah, setahun lebih kemudian, yaitu pada tahun 1796, Kaisar Kian Liong meninggal dunia dan tahta kerajaan Ceng lalu dipimpin oleh Kaisar Cia Cing, putera Kaisar Kian Liong. Kaisar Cia Cing memerintah selama dua puluh empat tahun (1796-1820), kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Kaisar Tao Kuang (1820-1850).
Tetapi, semenjak wafatnya Kaisar Kian Liong, kerajaan Mancu mulai kehilangan pamor dan kejayaannya mulai memudar. Pemberontakan terjadi di mana-mana, ditambah lagi dengan masuknya kekuatan asing barat (orang kulit putih) yang mulai menancapkan kuku kekuasaan mereka di daratan Cina.....
T A M A T
>>>> PUSAKA PULAU ES <<<<
(Bagian Ke-16 Serial BU KEK SIANSU)