Mestika Burung Hong Kemala Jilid 05
Pemuda itu benar-benar tidak pantas menjadi pengemis. Ia berusia dua puluh satu tahun, mukanya bundar dan bersih, alis matanya tebal dan matanya bersinar tajam. Wajah yang tampan dan tubuh yang tegap sedang itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia seorang pemuda yang lemah atau pemalas, yang pantas mengemis. Sama sekali tidak!
Bahkan biar pun dia mengenakan pakaian yang penuh tambalan, akan tetapi pakaiannya bersih dan gerak geriknya halus lembut, bahkan agung. Namun kenyataannya dia berada di kuil tua yang tak terpakai lagi itu, tempat yang biasanya hanya menjadi tempat singgah para pengemis.
Dengan pakaian tambal-tambalan pemuda ini duduk bersila di lantai, berhadapan dengan seorang pengemis lain yang usianya sudah enam puluh dua tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, rambutnya riap-riapan kelabu, jenggotnya panjang, juga pakaiannya penuh tambalan. Akan tetapi, seperti pengemis muda tadi, biar pun pakaiannya penuh tambalan, tetapi pakaian itu terlihat bersih, dan tubuhnya juga bersih, tanda bahwa dia sering mandi membersihkan tubuhnya.
Mereka memang pengemis, pengemis istimewa, guru dan murid yang luar biasa karena pengemis tua itu sangat terkenal di dunia persilatan. Dia adalah Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti) yang namanya terkenal dari Tiang-an (kota raja) sampai ke Lok-yang, ibu kota ke dua. Dan muridnya itu pun seorang pengemis aneh, karena dia adalah seorang pemuda bangsawan, putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau keponakan mendiang selir kaisar Yang Kui Hui yang terkenal!
Pemuda itu adalah Yang Cin Han, yang seperti sudah kita ketahui, pada dua tahun yang lalu menjadi murid pengemis tua itu dan kemana pun gurunya pergi, dia ikut dan juga dia hidup sebagai seorang pengemis. Pengemis asli karena dia diharuskan mengemis untuk mendapatkan uang atau makanan bagi mereka berdua!
Dapatlah dibayangkan betapa hebatnya perubahan hidup yang dialami Cin Han. Tadinya, sebagai putera Menteri Yang Kok Tiong, dia selalu hidup berenang dalam kemuliaan dan kemewahan. Pakaian apa pun yang dikehendaki, makanan mahal bagaimana pun yang diinginkan, dia tinggal perintah saja dan semua itu akan dihadapkan kepadanya. Apa lagi mengemis! Makan makanan sederhana pun belum pernah dia rasakan. Selalu daging dan sayur pilihan yang serba mahal dan dimasak oleh koki yang pandai.
Tapi sekarang, untuk dapat makan bersama gurunya, dia diharuskan mengemis makanan seadanya atau uang pembeli makanan yang murah. Terpaksa Cin Han menaati perintah gurunya. Hanya satu hal yang dipantangnya, yaitu menerima makanan bekas! Biar murah dan sederhana, makanan yang diberikan kepadanya haruslah baru dan bukan sisa!
"Suhu, teecu mohon suhu dapat mengijinkan teecu pergi sebentar. Teecu berjanji akan segera kembali menemani dan melayani suhu sesudah teecu tahu apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu teecu," pemuda itu berkata dengan suara memohon.
Akan tetapi kakek pengemis itu menggeleng kepalanya. "Tenang dan sabarlah, Cin Han. Apakah sia-sia saja selama ini aku mengajarkan ketenangan dan kesabaran kepadamu?" tegur kakek itu.
Cin Han menghela napas. Selama dua tahun ini, selain mendapatkan tambahan ilmu silat yang hebat dari gurunya, tentu saja dia juga mendapatkan hal lain yang sangat berharga. Kehidupan sebagai pengemis membuat dia dapat merasakan kesengsaraan orang-orang yang miskin dan kelaparan, membuat dia menjadi rendah hati, dan walau pun dahulu dia bukan seorang pemuda bangsawan yang sombong, akan tetapi semua sisa keangkuhan sebagai bangsawan kini terhapus oleh kehidupan sebagai pengemis selama dua tahun ini.
"Suhu tentu telah mengetahui keadaan hati teecu. Teecu cukup sabar, akan tetapi, kalau teecu tidak cepat menyelidiki keadaan ayah ibu teecu, bukankah teecu menjadi seorang anak yang tidak berbakti terhadap orang tua? Tentu suhu juga tak akan suka mempunyai seorang murid yang murtad terhadap ayah ibu sendiri."
"Hemmm, engkau tidak perlu memancing hatiku, Cin Han. Engkau tahu bahwa peristiwa di kota raja adalah peristiwa pemberontakan perang dan kita sama sekali tidak akan dapat mencegahnya. Bagaimana mungkin kita mencegah gerakan ratusan ribu pasukan? Tuhan Maha Adil, siapa yang menanam, dialah yang menuai dan memakan hasil tanamannya. Itulah hukum karma, Cin Han. Kalau orang tuamu dahulu menanam bibit yang baik, tentu sekarang memetik hasil buah dari tanaman itu dan menikmatinya, tapi kalau sebaliknya, jangan engkau penasaran! Aku mendengar bahwa Kaisar sudah melarikan diri ke barat, dan kota raja telah diduduki pemberontak An Lu Shan. Engkau tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubahnya."
"Akan tetapi, suhu. Teccu hanya ingin melihat keadaan ayah dan ibu. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan teccu."
"Baik, engkau boleh meninggalkanku, tetapi lebih dahulu engkau harus menyempurnakan ilmu tongkat yang terakhir kuajarkan kepadamu."
"Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut)? Wah, sukar sekali, suhu..."
"Tidak ada kata sukar bagi orang yang penuh semangat, Cin Han. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmu tongkat itu sehingga dapat menandingiku selama lima puluh jurus dan tidak sampai roboh olehku, baru engkau boleh pergi. Kalau engkau berani diam-diam meninggalkan aku, maka aku akan mencarimu kemudian membunuhmu! Nah, aku sudah bicara, laksanakan!"
Melihat sikap gurunya, Cin Han tidak berani membantah. Pada saat itu juga dia pergi ke belakang kuil tua dan berlatih ilmu silat tongkat yang baru dipelajarinya itu dengan tekun. Ilmu tongkat itu sukar bukan kepalang, akan tetapi hasilnya juga luar biasa. Bila gurunya yang memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Angin Ribut itu, maka timbullah angin menyambar-nyambar laksana badai menyerang! Dia sudah mampu membuat tongkatnya bergerak mendatangkan angin kuat, namun belum dapat sambung menyambung seperti kalau suhu-nya yang bersilat.
Siang malam Cin Han berlatih ilmu tongkat itu, hanya berhenti untuk makan kalau sudah lapar sekali dan tidur bila telah mengantuk sekali. Dia pun tiada hentinya minta petunjuk gurunya. Dengan ketekunan yang luar biasa dan semangat yang bernyala-nyala, akhirnya dalam waktu satu bulan saja Cin Han sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga ketika Sin-tung Kai-ong mengujinya, dia mampu menahan tongkat suhu-nya selama lima puluh jurus!
"Bagus! Sekarang aku tidak khawatir lagi melepasmu, Cin Han. Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu aku sengaja menahanmu, dan sekarang lihat hasilnya. Engkau berlatih dengan tekun sekali sehingga dalam waktu satu bulan engkau telah berhasil menguasai Tai-hong-pang dengan baik. Sebulan yang lalu, terus terang saja aku masih merasa khawatir untuk membiarkan engkau pergi karena bila mana bertemu lawan tangguh, engkau masih belum memiliki suatu ilmu yang benar-benar dapat kau andalkan. Akan tetapi sekarang, dengan Tai-hong-tung, engkau akan bisa menjaga dirimu lebih baik. Nah, sekarang engkau boleh pergi, Cin Han."
Jika sebulan yang lalu dia ingin sekali pergi meninggalkan gurunya untuk melihat keadaan orang.tuanya di kota raja, sekarang begitu gurunya menyuruh dia pergi, Cin Han tertegun. Selama dua tahun ini dia sudah akrab sekali dengan pengemis tua yang menjadi gurunya itu, juga pengganti orang tuanya, dan juga sahabat baiknya. Dan kini dia disuruh pergi!
"Tapi... setelah urusan teecu selesai, ke mana teecu harus mencari suhu?"
Mendengar pertanyaan ini, Sin-tung Kai-ong malah tertawa. "Ha-ha-ha, mau apa engkau mencariku? Apakah engkau akan hidup terus sebagai seorang pengemis? Tidak, Cin Han. Sudah cukup aku memberikan semua ilmuku kepadamu. Aku mempunyai sebuah tugas yang harus kau laksanakan dengan baik."
"Katakanlah, suhu. Tugas apa yang harus teecu kerjakan? Pasti akan teecu laksanakan sekuat dan semampu teecu!" kata Cin Han penuh semangat.
"Bagus! Aku tidak rela mendengar Kerajaan Tang diruntuhkan oleh pemberontak An Lu Shan, seorang keturunan Khitan Turki! Aku ingin engkau menyusul kaisar yang melarikan diri ke barat, membantu kaisar menghadapi pemberontak!"
"Baik, suhu. Pasti akan teecu laksanakan dengan taruhan nyawa!" jawab Cin Han yang menganggap bahwa tugas itu memang sudah sepatutnya. Andai kata tidak diperintah oleh gurunya sekali pun, dia tentu akan membela kaisar dan menentang pemberontak.
"Akan tetapi ingat! Aku tidak ingin melihat engkau terperosok seperti ayahmu, tidak ingin engkau ikut terseret ke dalam kelompok penjilat di istana yang saling berebut kedudukan. Engkau membantu kaisar menentang pemberontakan karena engkau memiliki kewajiban untuk membela kebenaran dan keadilan, meredakan kekacauan demi ketenteraman dan mencegah penindasan yang dilakukan oleh pemberontak Khitan itu."
"Teecu mengerti, suhu. Teecu juga telah muak melihat kepalsuan yang memenuhi istana, kemunafikan dan perebutan kekuasaan."
Pada hari itu juga Cin Han meninggalkan gurunya. Karena muridnya bukan anggota kai-pang (perkumpulan pengemis), maka Sin-tung Kai-ong mengijinkan muridnya mengganti pakaian seperti biasa.
Akan tetapi rasanya sudah keenakan bagi Cin Han mengenakan pakaian tambal-tambalan itu. Apa lagi dia hendak memasuki kota raja sehingga dia harus menyamar. Kalau sampai pemerintah pemberontak tahu bahwa dia adalah putera Menteri Yang Kok Tiong, tentu dia akan ditangkap dan dibunuh.
Demikianlah, dia masih mengenakan pakaian tambal-tambalan seperti biasa, bahkan kini melengkapi dirinya dengan sebatang tongkat yang nampaknya saja butut, tetapi kalau dia memainkan tongkat itu dengan ilmu tongkat Angin Ribut, akibatnya tentu akan hebat bagi lawannya…..
********************
Semua tamu yang sedang makan minum dalam rumah makan itu tidak ada yang menoleh lagi tetapi terus memandang gadis yang baru saja memasuki rumah makan dengan mata terbelalak penuh kekaguman dan keheranan. Gadis itu demikian cantik jelita dan gagah. Pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin putih mulus. Dan gerak gerik gadis itu demikian lincah.
Seorang gadis muda, baru sembilan belas tahun usianya, memasuki rumah makan besar seorang diri dengan sikap demikian santai dan bebasnya, tidak terlihat rikuh sama sekali walau pun puluhan pasang mata seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Rumah makan itu adalah rumah makan terbesar di kota raja Tiang-an. Semenjak kota raja itu diduduki pemberontak An Lu Shan yang mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, rumah makan itu masih tetap buka karena mendapatkan dukungan dari seorang pembesar yang berkuasa dalam pemerintahan baru itu, dan harga makanannya amat mahal karena selain tidak ada rumah makan lain sebesar dan selengkap itu, juga masakannya serba mewah. Hanya orang-orang yang mempunyai banyak uang saja berani masuk ke rumah makan itu dan makan minum.
Pada siang hari itu tak kurang dari tiga puluh orang sedang makan di situ, terdiri dari para pedagang dan pejabat. Ada juga wanita yang ikut makan, akan tetapi mereka terdiri dari keluarga bangsawan yang lembut atau gadis-gadis penghibur yang genit, yang diajak oleh para pria yang hendak bersenang-senang.
Maka munculnya gadis berpakaian serba hitam itu sangat menonjol, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena dia sungguh berbeda dengan para wanita yang berada di situ. Dia sama sekali tidak nampak lembut, bahkan nampak gagah dan sinar matanya mencorong berani, juga sama sekali tidak genit, bahkan terkandung sesuatu yang dingin dan galak pada senyum di bibirnya.
Karena para pelayan sedang sibuk melayani banyak tamu, gadis berpakaian hitam itu menoleh ke sana sini mencari tempat kosong dan akhirnya dia menghampiri sebuah meja kosong yang berada di sudut kanan. Dia tidak peduli dengan pandang mata semua orang yang ditujukan kepadanya, Dia telah tahu betapa mata laki-laki sebagian besar berminyak apa bila melihat gadis cantik. Dia tidak lagi merasa bangga, bahkan muak karena maklum bahwa kekaguman mereka itu mengandung birahi dan kenakalan. Dia hanya memandang ke kanan kiri, matanya mencari-cari dan akhirnya dia melihat seorang pelayan terdekat.
"Heii, bung pelayan, ke sinilah, aku hendak memesan makanan!" teriaknya dan suaranya yang merdu namun nyaring itu membuat orang-orang semakin tertarik.
Dia memang cantik jelita dan gagah, terutama sekali mata dan mulutnya. Pada mata dan mulutnyalah terletak daya tarik yang paling kuat. Dan kecantikannya nampak agak asing, seperti yang terdapat pada wanita-wanita peranakan.
Seorang pelayan tergopoh-gopoh menghampirinya. Dan pelayan yang usianya sekitar tiga puluh tahun ini juga terheran melihat gadis itu duduk sendirian saja tanpa kawan, tanpa pengawal pria.
"Nona hendak memesan apakah?" tanya pelayan itu sambil membungkuk, dengan kain lap di pundak.
"Bawakan saja nasi putih dan tiga macam masakan yang paling lezat di restoran ini, juga anggur manis berikut air teh. Cepatan sedikit!" kata gadis itu.
Pelayan itu nampak tertegun. "Tiga macam masakan? Apakah nona menanti kawan?"
Gadis itu menoleh dan sinar matanya yang mencorong membuat pelayan itu mundur satu langkah.
"Kawan? Apa maksudmu?"
"Tiga macam masakan itu banyak sekali, nona. Juga harganya amat mahal, apa lagi nona menghendaki yang paling lezat. Nona makan sendiri tak akan habis dan membayarnya..."
"Tukk!" Gadis itu memukul meja dengan tangannya dan nampak sepotong emas di atas meja itu. "Apakah harganya lebih dari ini?"
Pelayan itu terbelalak, lalu tersenyum-senyum sambil membungkuk-bungkuk. "Tentu saja tidak, nona... maafkan saya, akan saya sediakan secepatnya." Lalu ia pun mundur untuk memenuhi pesanan gadis itu.
Sejak tadi, empat orang yang duduk menghadapi sebuah meja yang penuh masakan dan guci arak terus memperhatikan gadis itu dan seorang di antara mereka, lelaki berusia lima puluhan tahun yang matanya sipit dan sejak tadi mengelus jenggot panjangnya dengan mata seperti hendak menelan gadis itu bulat-bulat, segera berbisik kepada seorang lelaki yang berdiri di belakangnya.
Ada dua orang laki-laki tinggi besar yang berdiri di belakang pria ini dan melihat pakaian mereka berdua, jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah sebangsa tukang pukul atau pengawal pria itu yang melihat pakaiannya tentu seorang pejabat. Tiga orang lainnya juga berpakaian pejabat, akan tetapi melihat sikap mereka terhadap pria berjenggot panjang, dapat diduga bahwa mereka hanyalah orang-orang bawahan. Agaknya pejabat itu makan minum sambil ditemani tiga orang pejabat rendahan, dan dijaga oleh dua orang pengawal atau tukang pukul.....
Seorang bawahan yang tubuhnya kurus dan mukanya penuh jerawat, usianya sekitar tiga puluh tahun, mendengar pula bisikan itu dan dia pun tersenyum.
"Biarkan saya yang membujuknya, taijin," katanya.
Pejabat itu mengangguk-angguk dengan wajah girang. Bawahannya cepat bangkit berdiri, lalu menghampiri meja gadis berpakaian hitam itu. Sambil menyeringai dia berbisik,
"Nona, engkau memperoleh kehormatan besar sekali. Hari ini engkau bagaikan kejatuhan bulan dan aku mengucapkan selamat atas keberuntunganmu, nona."
Gadis itu mengerutkan alisnya dan kedua matanya mencorong. "Hemmm, apakah engkau sedang mabok atau memang otakmu miring? Pergilah, aku tidak mengerti apa yang kau ocehkan!"
Mendapat tanggapan seketus itu, si kurus kering menjadi merah mukanya, akan tetapi dia pun memandang marah.
"Ihh, tak tahu diuntung! Kau lihat dia itu, nona. Dia adalah Wong Taijin (Pembesar Wong), kedudukannya tinggi, amat berkuasa dan kaya raya. Dia tertarik kepadamu dan sekarang dia mengundangmu untuk duduk semeja dengan dia."
Dara itu sejenak mengerling ke arah meja yang ditunjuk. Dia melihat si jenggot tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang hitam karena tembakau dan mengangguk-angguk dengan sikap angkuh akan tetapi genit.
"Katakan padanya bahwa melihat mukanya saja aku sudah muak. Aku bisa muntah kalau makan bersama dia. Pergilah!" kata gadis itu kepada si kurus kering. Suaranya tidak lirih lagi, maka dengan mudah dapat terdengar oleh mereka yang duduk di meja lain sehingga banyak di antara mereka yang memandang khawatir. Gadis itu berani menghina Wong Taijin!
Mendengar usiran itu, si kurus kering muka jerawat langsung terbelalak. Akan tetapi dasar dia seorang penakut, dia pun melangkah kembali ke meja atasannya, sikapnya laksana seekor anjing yang pergi ketakutan sambil menekuk ekornya.
"Cepat kalian bawa dia ke sini!" kata pembesar Wong dengan muka kemerahan kepada dua orang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar.
Mereka adalah kakak beradik, jagoan-jagoan yang diangkat sebagai pengawal oleh Wong Taijin, seorang yang menjabat kedudukan jaksa, jabatan yang memiliki kekuasaan besar dan ditakuti dalam pemerintahan baru itu. Dua orang jagoan itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya memiliki tubuh yang tinggi besar berotot, yang seorang berkepala botak yang kedua brewok menakutkan, dan di pinggang mereka tergantung golok besar. Baru melihat saja orang tentu sudah merasa gentar, apa lagi kalau mereka memandang dengan mata melotot dan wajah beringas.
Dengan langkah lebar dua orang jagoan itu menghampiri meja gadis berpakaian hitam. Si brewok berkata,
"Nona, majikan kami minta agar nona duduk semeja dengan beliau!"
Gadis itu hanya mengerling dan mendengus sambil membuang muka.
"Huh, kalian menyebalkan. Pergilah!"
Tentu saja si brewok menjadi marah bukan main. Kalau saja majikannya tidak menyuruh dia untuk membawa gadis itu ke meja majikannya, tentu rambut gadis itu sudah dijambak kemudian diseretnya. Dia tahu bahwa majikannya tertarik kepada gadis ini, maka dia tidak berani bersikap kasar, apa lagi menyakitinya.
"Nona, kalau engkau tidak mau, maka terpaksa akan kuangkat bersama kursi yang nona duduki," sambil berkata demikian dia pun memegang sandaran kursi itu.
"Hemm, macam kamu ini kuat mengangkatku?" gadis itu mengejek.
Si brewok menjadi marah, lantas dia pun mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan mengangkat kursi itu. Dia merasa yakin akan mampu mengangkat kursi itu bersama gadis yang duduk di atasnya. Jangankan baru gadis mungil yang tentu amat ringan itu, meski ditambah dua orang lagi pun dia akan mampu mengangkatnya.
Namun terjadi keanehan yang bukan saja sangat mengejutkan si brewok, melainkan juga mengherankan temannya yang botak beserta empat orang pembesar yang duduk di meja sebelah. Meski dia sudah mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, akan tetapi kursi itu tidak dapat terangkat! Sedikit pun tidak bergerak, apa lagi terangkat! Melihat keanehan itu, Jaksa Wong segera berkata kepada si botak.
"Bantu dia!"
Walau pun agak sungkan dan malu, kini si botak harus menggunakan tenaga dua orang untuk mengangkat seorang gadis mungil saja. Dia pun segera melangkah maju dan turut memegang kursi itu, kemudian mengerahkan tenaga bersama temannya. Mereka berdua mengerahkan tenaga dalam waktu yang sama, mencoba untuk mengangkat kursi itu.
"Aughhhh…!
“Krekkkk…!"
Keduanya terhuyung dan hampir terpelanting ketika sandaran kursi itu patah, tetapi gadis itu masih tetap duduk dengan santai sambil memandang kepada mereka dengan senyum mengejek.
Kini semua orang terkejut dan heran. Baru kemunculannya seorang diri di rumah makan itu saja sudah menimbulkan keheranan, dan kini ditambah lagi gadis itu berani menghina Jaksa Wong, dan lebih-lebih lagi kini gadis itu mampu bertahan di kursinya dan dua orang tukang pukul itu tidak mampu mengangkatnya!
Hal ini tak akan mengherankan bagi siapa yang mengenal gadis itu karena dia bukan lain adalah Can Kim Hong, murid tersayang dari Hek liong Kwan Bhok Cu! Gurunya memang sudah memesan agar dia berhati-hati dan tidak menonjolkan kepandaiannya di kota raja. Dan Kim Hong pun tadinya tak ingin memamerkan kepandaiannya, hanya hendak makan di restoran besar itu karena dari luar saja bau masakannya sudah semerbak keluar hingga membuat perutnya terasa lapar. Akan tetapi, apa bila ada orang yang bersikap keterlaluan kepadanya, hendak menghinanya, tentu saja gadis yang berwatak keras ini tidak mungkin tinggal diam saja.
"Hemm, kalian dua ekor monyet bau. Pergilah kalian bersama majikan kalian si kambing bandot jenggot panjang itu. Kalian semua memualkan perutku. Aku sedang lapar hendak makan. Jangan ganggu aku!" kata Kim Hong dan dia pun berpindah ke kursi yang tidak rusak, duduk menghadapi meja dengan membelakangi mereka seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Semua orang menjadi pucat dan yang nyalinya kecil sudah cepat-cepat membayar harga makanan kemudian cepat meninggalkan restoran itu. Gadis itu telah berani memaki Jaksa Wong sebagai kambing bandot jenggot panjang! Bukan main! Pasti akan hebat akibatnya.
Tukang pukul yang menjadi jagoan si jaksa bukan hanya dua orang itu saja, bahkan dia dapat mengerahkan pasukan untuk menangkap gadis itu! Para tamu tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan gawat itu, maka dalam waktu singkat restoran itu sudah ditinggalkan para tamu. Yang berada di situ hanya tinggal Kim Hong, empat orang bersama dua orang tukang pukul itu. Bahkan para pelayan dan pengurus rumah makan sudah pergi entah ke mana!
Baru pertama kali ini Jaksa Wong mengalami hal yang sangat memalukan dan menghina dirinya. Biasanya, gadis mana pun tak akan ada yang berani menolaknya. Hampir semua gadis cantik yang tidak sempat melarikan diri pada saat pemberontak menyerbu, menjadi korban keganasan para pemenang. Sebagian besar, yang tercantik, menjadi rebutan di antara para pejabat, dipaksa menjadi selir mereka, dan sebagian pula dijadikan perebutan di antara para prajurit sehingga mereka itu bukan saja mengalami penghinaan yang tidak terbayangkan ngerinya, bahkan juga akhirnya mereka tewas secara menyedihkan. Hanya para puteri pihak pemenang serta hartawan yang mampu menyogok sajalah yang selamat dari penghinaan dan perkosaan.
Dan kini Jaksa Wong ditolak, bahkan dihina, dimaki oleh seorang gadis biasa. Tentu saja darah naik ke kepalanya. Maka dengan mata melotot dia menudingkan telunjuk kanannya kepada Kim Hong.
"Perempuan rendah, berani engkau menghina kami? Tidak tahukah engkau bahwa engkau sedang berhadapan dengan Jaksa Wong? Cepat berlutut dan minta ampun atau aku akan menyuruh orang-orangku menelanjangimu dan menyeretmu di sepanjang jalan, kemudian kuberikan engkau kepada mereka untuk dikeroyok sampai mampus!" Ancaman ini benar-benar mengerikan, akan tetapi membuat Kim Hong menjadi semakin marah. Makian itu saja sudah menunjukkan macam apa orang yang sedang dihadapinya itu.
"Biar engkau seorang jaksa atau dewa sekali pun, aku tidak peduli. Yang kulawan bukan kedudukanmu, melainkan orangnya. Engkau orang yang jahat, kasar dan suka menghina wanita, maka pantas dihajar. Andai kata engkau seorang pengemis sekali pun, kalau baik hati, tentu akan kuhormati!" Kim Hong juga menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka pejabat itu.
"Keparat! Tangkap dia!" teriak Jaksa Wong kepada dua orang pengawalnya.
Sejak tadi dua orang laki-laki tinggi besar itu memang telah merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahannya tadi. Mereka tetap tak akan berani menggunakan kekerasan terhadap gadis itu yang ditaksir majikan mereka. Akan tetapi kini majikan mereka sudah memerintahkan mereka untuk menangkap gadis itu!
Keduanya menyeringai dan dengan langkah perlahan laksana dua ekor binatang marah, mereka menghampiri Kim Hong dari belakang dengan kedua lengan dikembangkan, siap untuk menubruk dan mendekap gadis cantik mungil itu!
Kim Hong pura-pura tidak melihat mereka. Dia sedang merasa jengkel karena sejak tadi pesanannya belum juga dihidangkan.
"Heiii, bung pelayan! Di mana kamu? Mana pesananku? Kurang ajar, mengapa tidak ada orang sama sekali? Aku akan mengambil dan memasak sendiri hidangan itu di dapur jika kalian tidak segera mengeluarkannya. Perutku sudah lapar!" Dia berteriak-teriak lantang, tidak mempedulikan dua orang tinggi besar yang menghampirinya dari kanan kiri itu.
Akan tetapi, begitu kedua tukang pukul itu bergerak dan hendak menubruknya, tangannya cepat menyambar dua batang sumpit lalu sekali kedua tangan itu bergerak, sumpit-sumpit itu menyambar ke arah dua orang yang menubruknya. Harus diingat bahwa keistimewaan gadis ini adalah mempergunakan Hui-kiam (Pedang terbang), maka sambitan sumpitnya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Dua orang tukang pukul itu roboh terjengkang, mengaduh-aduh memegangi paha kanan mereka yang ditembusi sumpit dan terasa nyeri bukan mari. Mereka tidak mampu bangkit berdiri dan hanya mengaduh-aduh, tidak berani mencabut sumpit yang masih menembus paha mereka, takut kalau-kalau akan menjadi semakin nyeri!
Tentu saja Jaksa Wong terkejut bukan kepalang, demikian pula tiga orang bawahannya. Mereka berempat serentak bangkit berdiri dan dengan muka pucat hendak berlari keluar. Akan tetapi dengan sekali menggerakkan kedua kakinya, Kim Hong sudah berkelebat dan yang nampak hanya bayangan hitam dan tahu-tahu dia sudah berdiri menghadang empat orang itu. Dia tersenyum mengejek, akan tetapi matanya mencorong.
"Kambing bandot, engkau tak boleh lari begitu saja!" katanya, kemudian sekali tangannya bergerak, Kim Hong sudah menyambar jenggot panjang itu dan membetotnya.
Jaksa Wong berteriak kesakitan dan tubuhnya tertarik ke depan. Tetapi Kim Hong segera menyambut dengan tendangan ke dada sambil menarik jenggot itu kuat-kuat.
"Dukk! Prett...!"
Tubuh Jaksa Wong terjengkang dan jenggotnya jebol tertinggal dalam tangan Kim Hong. Tentu saja kulit dagunya terkelupas sehingga berdarah dan dadanya terasa sangat sesak. Jaksa Wong menangis! Tangan kiri meraba dagu, tangan kanan menekan dada dan dia pun menangis akibat kesakitan dan ketakutan. Tiga orang bawahannya hendak melarikan diri, akan tetapi tiga kali kaki Kim Hong menendang kemudian mereka pun terlempar dan menimpa meja kursi!
Kim Hong berteriak lagi memanggil pelayan dan ketika tidak ada pelayan muncul, dia pun dengan seenaknya memasuki dapur. Dilihatnya koki gendut bersembunyi di balik gentong, maka dibentaknya orang itu.
"Hayo cepat bikinkan masakan yang enak untukku, atau engkau yang akan kusembelih lantas dagingmu kupangang!"
Tentu saja koki itu amat ketakutan, lalu dengan tubuh menggigil dan dua tangan gemetar dia melaksanakan perintah Kim Hong. Gadis ini marah dan jengkel sekali. Perutnya amat lapar dan orang-orang telah mengganggunya. Dia tak peduli lagi ketika dua orang tukang pukul menyeret kaki mereka keluar dari rumah makan itu mengikuti majikan mereka yang juga terhuyung-huyung keluar bersama tiga orang bawahannya.
Juga Kim Hong tidak peduli betapa rumah makan yang sekarang kosong menjadi pusat perhatian orang yang berkerumun di luar rumah makan. Setelah hidangan matang, dia pun segera makan minum seorang diri, tidak mempedulikan keadaan di luar yang semakin ribut karena berita tentang seorang gadis yang memukul Jaksa Wong dan kaki tangannya di rumah makan itu sudah tersiar dengan cepat sehingga menarik perhatian banyak orang karena berita itu sungguh luar biasa sekali.
Baru saja Kim Hong selesai makan, muncul belasan orang prajurit yang dipimpin sendiri oleh Wong Taijin yang kelihatan marah-marah. Pembesar ini masih kesakitan, jenggotnya lenyap dan dagunya yang tadi terluka kini sudah dibalut sehingga dia nampak lucu sekali. Jari telunjuknya menuding-nuding ke dalam rumah makan, sementara suaranya terdengar pelo karena dagunya dibalut.
"Tangkap perempuan itu! Tangkaaap...! Telanjangi dia, seret sepanjang jalan agar semua orang melihat pemberontak itu...!"
Tujuh belas orang yang dipimpin seorang perwira memasuki rumah makan. Ketika mereka melihat bahwa di dalam rumah makan itu hanya ada seorang gadis cantik sedang duduk dengan sikap tenang, mereka menjadi ragu. Haruskah mereka, tujuh belas orang prajurit pilihan, mengeroyok seorang gadis?
Bagaimana pun juga perwira pasukan keamanan itu masih mempunyai keangkuhan dan harga diri. Dengan pedang melintang depan dada dia pun berkata kepada Kim Hong yang masih duduk dengan tenang,
"Nona, sebaiknya kalau nona menyerah saja dengan baik-baik supaya kami tidak harus mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis."
Kim Hong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang dan kini dia lebih sabar karena perutnya sudah kenyang dan masakan tadi memang lezat sekali.
"Sungguh mati, aku merasa heran sekali. Kalian ini orang-orang gagah kenapa diperintah oleh kambing bandot jenggot buntung yang menjemukan itu? Tidak malukah kalian?"
"Tangkap, cepat seret dan telanjangi perempuan itu!" Wong Taijin mencak-mencak saking marahnya mendengar penghinaan itu.
"Hemm, majulah kalau memang ada yang berani! Aku akan menghajar kalian orang-orang yang suka menghina wanita, dan sekali ini aku tidak mau bersikap lunak lagi. Heii, bandot keparat, majulah dan aku akan mengirim nyawamu ke neraka jahanam!"
Akan tetapi, sebelum para prajurit yang ragu-ragu itu sempat bergerak, tiba-tiba saja dari luar masuk seorang pria yang gagah perkasa. Seorang pria bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam mukanya brewok dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pejabat tinggi.
"Apa yang terjadi di sini?"
Suaranya nyaring dan parau, akan tetapi semua prajurit cepat memberi jalan dan memberi hormat kepada si tinggi besar ini. Bahkan Wong Taijin sendiri terkejut saat melihat orang itu dan cepat memberi hormat dengan membungkukkan.tubuh seperti pisau lipat.
"Jaksa Wong, kau di sini? Kenapa itu mukamu? Mana jenggotmu yang panjang itu? Apa sih yang terjadi sisini?"
"Maaf, Yang Mulia... eh... kami sedang hendak menangkap seorang wanita pemberontak! Dia telah melukai saya dan pengawal saya, dan dia bahkan masih berani menghina kami, maka dia harus ditangkap dan dihukum berat!" kata jaksa itu.
Laki-laki tinggi besar itu terbelalak "Ehh?! Ada yang begitu berani? Wanita malah? Bukan main! Mana dia?"
"Itu orangnya, Yang Mulia, gadis setan itulah pemberontaknya."
Jaksa Wong menuding ke arah Kim Hong yang berdiri bengong memandang lelaki tinggi besar berkulit hitam yang disebut Yang Mulia oleh Jaksa itu. Laki-laki itu memutar tubuh memandang ke dalam dan bertemulah dua pasang mata itu, lantas pria itu mengeluarkan seruan heran.
"Kau... Kim Hong...!"
"Suhu...!"
Kim Hong cepat memberi hormat dan hatinya merasa terharu bercampur heran. Terharu karena bagaimana pun juga, orang tua ini pernah memelihara serta mendidiknya penuh kasih sayang sehingga dia pernah menganggap kepala suku Khitan ini sebagai pengganti orang tuanya sendiri. Namun dia merasa heran bagaimana sekarang gurunya itu disebut Yang Mulia oleh seorang pejabat tinggi!
"Apakah suhu dalam keadaan sehat saja?" akhirnya dia bertanya.
"Kim Hong, aihh, kiranya engkau...! Betapa rindunya kami padamu." Lalu Bouw Hun, laki-laki tinggi besar itu, membalik dan menghadapi jaksa Wong yang terbelalak dengan muka berubah pucat.
"Jaksa Wong! Apa-apaan ini? Gadis ini adalah muridku yang tersayang, dan tadi engkau berani mengatakan bahwa dia pemberontak. Gilakah engkau?"
"Ampun, Yang Mulia... saya... saya tidak tahu dan dia... dia telah memukul dan menghina saya..." Tubuh jaksa itu gemetar ketakutan.
Siapa yang tak akan takut ketika berhadapan dengan Koksu (guru negara atau penasehat Kaisar) yang amat ditakuti karena berjasa dan berkuasa besar itu? Jangankan baru Wong Taijin yang hanya seorang jaksa, bahkan para menteri sekali pun segan dan takut kepada Bouw Koksu ini.
"Kenapa dia memukulmu? Hayo jawab! Pasti gadis ini belum gila, memukul tanpa sebab. Nah, katakan, apa sebabnya maka dia memukulmu?"
Wong Taijin semakin ketakutan. "Saya... saya... tidak apa-apa, Yang Mulia... saya… saya hanya... mengundang dia untuk makan minum bersama kami..."
"Hemmm, aku tahu orang macam apa engkau ini!" Bouw Hun membentak marah. "Sudah kudengar bahwa engkau sering mempermainkan wanita. Engkau tentu mengganggunya, maka muridku menjadi marah. Kim Hong, apa yang dia lakukan kepadamu?"
Kim Hong tersenyum. "Tidak apa, suhu, aku telah menghajarnya cukup setimpal. Dia tadi hendak memaksaku makan minum bersama dia, maka aku lalu menghajar dia serta kaki tangannya, akan tetapi dia datang lagi sambil membawa pasukan."
"Jahanam kau, berani mengganggu muridku?" Bouw Hun membentak.
Wong Taijin hampir terkencing-kencing saking takutnya. "Ampunkan, Yang Mulia, saya... saya tidak tahu... ampunkan.."
"Hayo berlutut dan minta ampun kepada muridku!" bentak Bouw Hun.
Pembesar itu tanpa malu-malu lagi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kim Hong sambil mengangguk-angguk.
"Ampunkan saya, nona, ampunkan saya..."
Akan tetapi Kim Hong tidak mempedulikannya.
"Suhu, bagaimana suhu dapat berada di sini dan agaknya menjadi pembesar?" tanyanya kepada Bouw Hun, membiarkan saja Wong Taijin yang masih berlutut dan mengangguk-angguk.
"Mari ikut pulang, Kim Hong. Kita bicara di rumah," kata Bouw Hun dan dia menggandeng tangan muridnya lalu mengajak muridnya meninggalkan rumah makan itu.
Wong Taijin yang masih berlutut, menjadi merah sekali mukanya. Dia lalu bangkit berdiri, mengepal tinju, merasa malu bukan main. Diam-diam dia pun mengutuk di dalam hatinya, menyumpah-nyumpah dan berjanji bahwa kelak sekali waktu dia akan membalas dendam ini kepada Bouw Koksu, betapa pun mustahilnya hal itu nampaknya. Lantas dia pun pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
Perwira yang memimpin pasukan menjadi bengong, tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia mengajak pasukannya pergi meninggalkan rumah makan itu. Barulah keadaan menjadi normal kembali dan rumah makan itu mulai dikunjungi tamu lagi, dan peristiwa tadi hanya tinggal menjadi kenangan dan gunjingan orang saja.
Banyak orang merasa senang melihat betapa Wong Taijin mengalami hajaran yang cukup hebat, bukan saja jenggotnya dicabut hingga dagunya robek, juga menerima penghinaan, dipaksa berlutut minta ampun kepada seorang dara muda di depan banyak orang. Banyak orang merasa tidak senang kepada pembesar ini yang terkenal galak, sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya sebagai jaksa. Sedikit-sedikit menuntut orang.
Bila dia meminta anak gadis orang, lantas dengan berbagai macam alasan orang itu tidak mau memberikan, maka dia akan menuntut mereka sebagai pemberontak, penjahat dan sebagainya. Dia terkenal suka menerima sogokan dari para hartawan, dan dia tidak segan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah dalam urusan pengadilan, semua itu karena kekuasaan uang sogokan.
Banyak sekali bukti bahwa orang yang suka menjilat ke atas, tentu suka pula menginjak ke bawah. Orang yang senang mencari muka dan amat takut kepada atasannya, bukan taat melainkan takut dan menjilat, orang semacam itu biasanya menginjak dan menindas bawahannya. Orang semacam ini pada hakekatnya adalah seorang pengecut dan mudah menjadi besar kepala dan sewenang-wenang bila mendapat kedudukan yang memberinya sedikit kekuasaan.
Dan demikian pula Jaksa Wong. Dia merasa malu dan terhina sekali, dan diam-diam dia menanam dendam di dalam hatinya. Maklum bahwa pangkatnya jauh kalah tinggi apa bila dibandingkan dengan Bouw Koksu, dia pun tahu bahwa hanya dengan cara yang licik dan licin, yang teratur rapi dan ada kesempatan baik sajalah, maka dia baru dapat membalas dendamnya. Dan dia akan bersabar hati, seperti sabarnya seekor musang yang menanti munculnya ayam keluar dari dalam kandangnya…..
********************
Bagaimana Bouw Hun, kepala suku Khitan itu, dapat menjadi Koksu (guru negara) di kota raja? Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak pertama kali An Lu Shan memberontak, dia telah menjadi pembantu utama panglima pemberontak itu.
An Lu Shan sendiri adalah seorang peranakan Khitan Turki, dan dari darah ibunya, dia masih terhitung sanak dengan Bouw Hun. Oleh karena itulah dia lalu menarik Bouw Hun beserta anak buah kepala suku Khitan itu menjadi sekutu dan karena jasa Bouw Hun dan Bouw Ki sangat besar ketika pasukan mengadakan penyerbuan ke kota raja, maka ketika An Lu Shan mengangkat diri menjadi kaisar, dia mengangkat Bouw Hun menjadi koksu dan Bouw Ki diangkat menjadi seorang panglima muda!
Kim Hong terkagum-kagum pada saat diajak masuk ke dalam sebuah gedung besar kuno yang amat indah. Hal ini tidaklah mengherankan karena gedung yang kini menjadi tempat tinggal Bouw Koksu adalah bekas tempat tinggal Menteri Utama Yang Kok Tiong! Gedung kuno yang besar, megah dan perabot rumahnya yang serba mewah masih lengkap.
Nyonya Bouw Hun, seorang wanita Khitan yang kini telah berusia empat puluh tujuh tahun akan tapi berkulit putih dan masih cantik menyambut Kim Hong dengan rangkulan mesra. Wanita ini memang sangat menyayangi Kim Hong seperti anak sendiri.
Semenjak masih kecil sekali, belum juga berusia lima tahun, Kim Hong sudah dirawat dan dididik suaminya, hidup dalam keluarga itu sebagai murid, akan tetapi seperti anak sendiri bagi Bouw Hun dan isterinya. Kepergian Kim Hong secara diam-diam sempat membuat Nyonya Bouw Hun menangis sedih selama berhari-hari dan kini melihat suaminya kembali bersama seorang gadis cantik berpakaian serba hitam, ia segera mengenal Kim Hong dan merangkulnya. Kim Hong juga sempat meneteskan air mata ketika dirangkul oleh nyonya itu dengan mesranya.
"Kim Hong... ahh, ke mana saja engkau pergi selama ini, anakku?" nyonya itu menciumi pipi gadis itu yang menjadi terharu sekali. Dia merasa seolah-olah bertemu dengan ibunya sendiri.
"Aku... aku merantau dan mencari pengalaman, bibi," katanya. Memang Kim Hong selalu menyebut bibi kepada isteri gurunya itu.
"Kau sekarang bertambah dewasa, bertambah cantik!" wanita itu memuji. "Kakakmu tentu akan gembira sekali melihatmu!"
Kim Hong teringat kepada Bouw Ki dan jantungnya berdebar. Bouw Ki yang membuat dia dulu terpaksa minggat sebab suheng-nya itu hendak memaksanya menjadi selirnya! Pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari luar disusul seruan yang lantang,
"Ehh, ibu, siapakah gadis cantik itu? Perkenalkan kepadaku, ibu!"
Bouw Ki! Masih periang dan masih mata keranjang seperti dahulu, pikir Kim Hong. Dan pemuda itu pun muncul. Usia Bouw Ki sudah dua puluh tujuh tahun. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak semakin gagah dengan pakaian panglimanya yang gemerlapan! Wajah yang tampan dengan kumis melintang terpelihara rapi, dan matanya tajam laksana mata burung rajawali. Mata itu terbelalak, kemudian berkilat-kilat ketika menjelajahi wajah gadis berpakaian hitam itu.
"Kim Hong...? Haiiii! Engkau benar Kim Hong...! Engkau semakin cantik saja, adik Hong!" katanya dan seolah-olah dia hendak menubruk serta merangkul gadis itu. Akan tetapi Kim Hong sudah mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat.
"Kakak Bouw Ki, bagaimana keadaanmu? Sehat-sehat saja, bukan?"
"Sehat? Aku? Lihatlah sendiri!"
Dia mengembangkan dua lengannya, memamerkan keadaan diri dan pakaiannya "Bukan hanya sehat, kini aku telah menjadi seorang panglima, Kim Hong! Dan ayah telah menjadi Koksu! Kami menjadi keluarga bangsawan tinggi, dekat dengan kaisar! Aha, tentu engkau girang sekali, bukan?"
"Tentu saja, suheng," kata Kim Hong sejujurnya.
"Aihh, dahulu engkau melarikan diri dan menolakku, sekarang sudah tiba saatnya engkau menjadi anggota keluarga kami, menjadi isteriku! Tentu sekarang ayah menyetujui kalau Kim Hong menjadi isteriku, bukan begitu, ayah?"
Kim Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. "Suheng, harap jangan berkata seperti itu. Secara kebetulan aku tadi bertemu ayahmu dan aku ikut suhu ke sini karena aku pun telah rindu kepada keluarga suhu. Aku hanya singgah saja, bukan untuk menetap di sini."
"Tapi , sumoi..."
"Aihh, Bouw Ki! Engkau ini apa-apaan sih?" Tegur ibunya. “Adikmu baru saja tiba, tetapi engkau sudah bicara yang bukan-bukan mengenai pernikahan. Kenapa engkau demikian tergesa-gesa seperti dikejar setan?"
"Bouw Ki, jangan membuat adikmu menjadi resah. Baru saja dia mengalami urusan yang membuatnya marah. Kalau tadi aku tidak cepat muncul, tentu dia sudah membuat geger dan akan menjadi pusat perhatian orang di kota raja."
Sekarang pemuda yang gagah itu membelalakkan matanya. "Wah, jadi engkaukah gadis di rumah makan yang sudah memukul dan menghina Jaksa Wong itu, sumoi? Engkaukah orangnya?"
Kim Hong mengangguk.
"Ha-ha-ha-ha, alangkah lucunya! Si kura-kura itu memang pantas menerima hajaran dan engkau yang melakukannya. Ha-ha-ha, aku puas! Dan engkau mengagumkan sekali, Kim Hong, membuat aku semakin jatuh cinta. Katakanlah bahwa engkau sengaja datang ke kota raja untuk mencariku, dan menerima pinanganku."
"Bouw Ki, engkau telah mempunyai lima orang selir, masihkah begitu kehausan? Biarkan Kim Hong beristirahat dulu, bahkan dia belum menceritakan pengalamannya selama dua tahun ini," kata Bouw Hun dengan suara datar, seolah cerita tentang puteranya memiliki lima orang selir itu merupakan hal yang biasa bagi pendengarnya.
Dia tidak tahu betapa Kim Hong muak mendengar kata-kata itu. Memang pada jaman itu kaum pria amat meremehkan martabat wanita sehingga wanita disamakan dengan benda-benda berharga saja, seperti benda yang indah dan mahal, atau seperti peliharaan yang langka, seekor burung dewata misalnya, atau seekor kucing dari negara barat! Sukar bagi mereka membayangkan bahwa wanita juga mempunyai harga diri, memiliki perasaan dan matabat.
"Kim Hong, sekarang ceritakanlah pengalamanmu, kami ingin sekali mendengarnya," kata Nyonya Bouw Hun.
Mereka berempat duduk di ruangan dalam. Kim Hong lalu menceritakan pengalamannya dengan singkat bahwa ia menjadi murid seorang sakti, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu dan selama dua tahun ini belajar ilmu silat dari gurunya. Setelah selesai belajar, ia mendengar tentang keributan di kota raja dan ingin melihat-lihat keadaan setelah perang selesai.
"Hemm, jadi tukang perahu berpakaian hitam bercaping lebar itukah yang sudah menjadi gurumu?" tanya Bouw Hun kepada muridnya dengan alis berkerut, teringat betapa dia dan puteranya sama sekali tidak mampu menandingi orang sakti itu.
"Benar, suhu, dan beliau seorang pendekar gagu yang amat baik kepadaku."
"Aihh, kalau begitu engkau sekarang tentu sudah menjadi lihai bukan main, sumoi!" kata Bouw Ki sambil tersenyum. "Akan tetapi selama dua tahun ini, kalau engkau belajar silat, aku malah mempraktekkannya dalam pertempuran dan perang, dan aku pun memperoleh kemajuan pesat!"
"Suhu, kalau boleh aku mengetahui, bagaimana suhu sekeluarga dapat berada di sini dan tiba-tiba menjadi pejabat tinggi?" Kim Hong ingin sekali mengetahui.
Bouw Hun bangkit dan berkata, "Kim Hong, biar Bouw Ki saja yang menceritakan semua itu kepadamu. Sekarang aku harus pergi ke istana untuk menghadap kaisar." Lalu kepada isterinya dia berkata, "Suruh pelayan mempersiapkan pesta kecil bagi keluarga kita untuk menyambut pulangnya Kim Hong."
Sesudah berkata demikian, dengan sikap agungnya seorang pejabat tinggi Bouw Hun lalu meninggalkan rumahnya. Nyonya Bouw segera pergi ke belakang untuk memerintahkan para pelayan agar menyiapkan pesta untuk menyambut Kim Hong.
"Sumoi, mari kita pergi ke taman dan di sana akan kuceritakan padamu tentang semua pengalaman kami yang hebat," ajak Bouw Ki.
Kim Hong mengangguk, kemudian mereka pun keluar dan memasuki taman bunga yang luas indah dan berada di sebelah kiri bangunan besar itu. Kim Hong mengagumi taman itu yang memang sangat indah, apa lagi pada waktu itu musim semi belum habis dan bunga-bunga di taman sedang saling bersaing keindahan dengan bunga-bunganya yang tengah bermekaran.....
Sesudah berjalan-jalan mengagumi bunga-bunga dalam taman, Bouw Ki mengajak sumoi-nya duduk di bangku tepi kolam ikan emas, kemudian dia pun menceritakan pengalaman dia dan ayahnya. Ayahnya diajak bersekutu oleh Panglima An Lu Shan dan mereka pun menyerbu ke barat. Dia sendiri menjadi komandan pasukan yang terdiri dari orang-orang Khitan dan dia sudah memperlihatkan kegagahannya dan membuat banyak jasa sehingga setelah gerakan pemberontakan itu berhasil, ayahnya lalu diangkat menjadi koksu dan dia sendiri diangkat menjadi panglima muda oleh An Lu Shan.
Kim Hong mendengarkan dengan kagum. "Kalau begitu kini suhu sudah menjadi seorang bangsawan besar, dan engkau juga sudah menjadi seorang panglima muda yang mulia. Hidupmu tentu senang sekali, suheng, mulia dan mewah, dihormat orang dan mempunyai kekuasaan besar”.
Bouw Ki menarik napas panjang kemudian berkata, wajahnya muram. "Enak bagaimana, sumoi? Aku justru lebih senang kalau saat ini ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho dan aku berada di sana bersamamu. Hidup terasa lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."
"Ehh? Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidak bebas?"
"Aku diikat oleh kedudukanku…" Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu.
"Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti takkan mau menerima begitu saja dan selama kaisar bersama keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini. Di samping itu, yang lebih memusingkan lagi adalah timbulnya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah muncul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini"
"Ehh, mengapa begitu? Bukankah Panglima Besar An Lu Shan sudah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang merasa tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa maka timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku...aku sungguh tidak puas dan tidak senang biar pun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan amat bahaya."
Kim Hong tersenyum. Suheng-nya ini memang pernah menyakiti hatinya karena hendak memaksa dia menjadi selirnya. Akan tetapi harus diakui bahwa walau pun berhati keras, namun suheng-nya ini jujur, tidak seperti suhu-nya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya bibirmu saja yang mengeluh akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir? Tidak hebatkah itu?" Dia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dan ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantik pun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Aihh, jadi engkau masih terus bertekad hendak memperisteri aku, walau pun sudah berulang kali aku menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakak. Apakah engkau dan ayah juga masih hendak melanjutkan usaha kalian untuk memaksa aku supaya suka menjadi isterimu?"
Bouw Ki menarik napas panjang. "Sebetulnya cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi suamimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Tetapi engkau terlalu keras kepala dan keras hati. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol. Ia datang ke rumah suhu-nya secara suka rela, akan tetapi dia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih tepat lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Walau pun tidak dijelaskan, namun dia tahu bahwa agaknya suhu-nya bersama suheng-nya ini telah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dia pergi lagi dari situ!
Suheng-nya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan semenjak dua tahun yang lalu suheng-nya ini tak pernah melupakan dirinya! Dan sekarang keadaannya bahkan lebih terjepit dari pada dahulu.
Biar pun sekarang ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga dia tidak takut menghadapi suhu-nya dan suheng-nya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin dia mampu meloloskan diri?
Akan tetapi Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja seakan-akan dia belum melihat kenyataan pahit itu.
"Suheng, karena selama ini engkau banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu sudah maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Kini engkau tentu telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulu pun aku tidak dapat mengalahkanmu, apa lagi sekarang!"
"Ahh, itu belum tentu, suheng. Bagaimana pun juga aku belum punya banyak pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar.”
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan kemudian saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tidak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suheng-nya itu agar kalau sewaktu-waktu dia harus melawannya, maka dia sudah dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan.
Setelah melepaskan baju kebesarannya, dengan gaya yang menarik Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suheng-nya masih serupa dengan dahulu, maka dia pun memasang kuda-kuda yang sama.
"Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, hati-hati seranganku!" bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengari gadis yang dirindukannya itu!
Kini Bouw Ki mulai menyerang, bukan dengan pukulan akan tetapi dengan cengkeraman-cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan hatinya, ingin sekali dia dapat menangkap lengan sumoi-nya, atau setidaknya meraba tubuhnya untuk melepaskan kerinduannya.
Tingkat kepandaian Kim Hong yang sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lampau. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaannya. Terutama sekali dia telah minum racun darah ular hitam kepala merah.
Dengan sekali melihat saja tahulah dia bahwa kepandaian suheng-nya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap akibat pengalaman bertanding. Bila dia menghendaki, dengan mudah saja dia akan dapat mengalahkan suheng-nya. Akan tetapi Kim Hong tidak mau melakukan ini, dan dia pun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah suheng-nya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat.
Tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong mau pun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus sekali! Bouw-ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu? Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki cepat maju lantas memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki sambil berkata, "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang maka saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suheng-nya memberi hormat sambil menyebut pemuda itu pangeran, maka dia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapan belas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandangan matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin sehingga membuat ketampanan wajahnya kelihatan aneh. Pakaiannya mewah, dandanannya menunjukkan pemuda itu seorang pesolek. Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya yang bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali dengan ilmu silat dan meski pun masih muda, tetapi ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa, "Ha-ha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi sudah banyak mengalah kepadamu? Kalau dia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalahkannya. Ha-ha-ha…!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Walau pun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoi-nya yang sejak dulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoi-nya dapat mengalahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak mengalah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.
"Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi diam-diam Kim Hong terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suheng-nya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suheng-nya, dia mengira bahwa suheng-nya hendak mencari muka saja. Akan tetapi sekarang pangeran itu telah dapat melihat bahwa dia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang sangat lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, aku pun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini!" tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu.
Muka Kim Hong menjadi merah sebab serangan itu mengandung ketidak sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Karena itu dia pun menyambut dengan dorongan kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari sepasang telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat.
"Plakkk!"
Tanpa dapat dihindarkan lagi dua pasang telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dengan mata memandang marah sungguh pun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyung dan dia pun berseru kagum.
"Hebat...! Nona Can, ternyata engkau mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoi-mu dapat memiliki ilmu kepandaian yang sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku," kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandangan matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan. Pangeran muda itu menghela napas panjang.
"Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu biar aku menyusulnya ke sana." Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi, Bouw Ki segera mendekati Kim Hong. "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi? Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid dari orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau mempunyai ilmu dahsyat yang melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
”Hemm, mungkin dia hanya berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memujiku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum sambil mengangguk angguk. "Mungkin juga. Dia memang lihai sekali, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi dia pun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda, dan agaknya dia pun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh? Kenapa begitu?"
Kim Hong tertarik biar pun dia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhu-nya, harus ditentangnya. Akan tetapi, kalau melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhu-nya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, dia bisa mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu bisa dia kumpulkan sebagai laporan penting kalau dia sudah menghadap Kaisar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya duduk di bangku dekat kolam ikan lagi dan dia pun menceritakan keadaan keluarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu.
An Lu Shan telah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguhnya amat memalukan dan tidak pantas. Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tidak sempat melarikan diri kemudian menjadi tawanan. Akhirnya gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tidak senang antara ayah dan puteranya itu.
Perasaan tidak senang itu bertambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengajukan usul agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biar pun pada lahirnya tak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya terdapat perasaan tak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan sebaliknya ada perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ahh, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepadamu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong untuk mengobrol dengannya di dalam rumah…..
********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-06