Mestika Burung Hong Kemala Jilid 06


Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu sudah berjumpa dengan pembesar itu di luar istana. Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya berbicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.

"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata telah membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!" kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).

Pangeran itu tersenyum dan seketika wajahnya berseri. "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kaisar itu, paman Bouw?"

"Bendanya sendiri belum, Pangeran, tapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, biar pun dengan harga yang mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan, bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"

Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian di pos penjagaan Ma-wei, para prajurit yang marah membunuh menteri itu. Sebenarnya Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu untuk mencari pusaka itu, namun tidak pernah dapat ditemukan.

Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit. Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang lantas disuruhnya kembali ke kota raja untuk menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.

"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan? Orang itu mungkin hanya seorang penipu..."

Bouw Hun tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang lebat. "Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran? Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dengan modalnya itu dia membuka sebuah toko di kota raja. Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi akan saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya akan dirampas."

Pangeran An Kong tersenyum, kemudian mengangguk-angguk. "Bagus sekali jika begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di mana benda itu disembunyikan."

"Sesudah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirimkan sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."
"Baik, aku percaya sepenuhnya kepadamu, paman. Sesudah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu di tangan, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan bisa menarik dukungan para pejabat lama yang masih. menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."

Bouw Koksu terkejut. "Ehh? Paduka sudah mengenalnya? Ada apakah dengan gadis itu, pangeran? Dia memang cantik, apakah paduka..."

"Ah, jangan salah sangka, paman. Memang dia cantik menarik dan aku akan suka sekali andai kata dia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya melainkan ilmu silatnya, paman. Aku masih terheran-heran karena tadi aku telah melihat dia berlatih silat dengan puteramu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh dia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya begitu tingginya? Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"

Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini, "Aihh, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun dia merantau dan berguru lagi, dan mengingat bahwa dia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi sekarang tingkat kepandaiannya sudah meningkat banyak. Tetapi sanggup menandingi paduka? Sungguh tidak saya sangka..."

Bagaimana perasaan hati Bouw Koksu tak akan heran mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada di sebelah bawahnya!

"Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Oleh karena itu engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar dia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang-orang lihai seperti muridmu itu."

Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya bisa membujuknya, sebab bagaimana pun juga dia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami telah merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.”

"Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya."

Bouw Koksu segera berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut isterinya yang sudah mempersiapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong. Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan kejadian dua tahun yang lalu ketika dia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.

"Kim Hong, aku membawa berita yang sangat baik dan menggembirakan sekali untukmu!" kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoi-nya, Kim Hong, sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun. "Coba terka, berita bagus apa yang akan aku sampaikan kepadamu?"

Kim Hong memandang suheng-nya yang wajahnya nampak berseri itu, lalu dengan penuh harapan dia bertanya, "Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"

"Tepat sekali, sumoi. Semenjak engkau pulang sepekan yang lalu aku sudah menyebar para penyelidik dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"
"Ahh, luar biasa!" seru Bouw Hun sambil menepuk paha. "Kalau begitu, kenapa aku tidak pernah melihat dia? Dahulu, dua puluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika tertawan oleh pasukan Khitan lalu hidup di antara bangsa Khitan."

"Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah," Bouw Ki menjelaskan. "Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Dia pun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah ketahui, kita menerima tenaga bantuan para anggota pasukan yang sudah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."
"Suheng, di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengan ayahku!" kata Kim Hong. Dia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menyelimuti hatinya.

Gadis ini belum pernah melihat ayahnya dan dia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan. Sekarang suheng-nya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu sudah menyerah kepada kekuasaan pemberontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya?

Diam-diam dia merasa kecewa dan penasaran. Agaknya dia akan lebih merasa lega dan bangga andai kata dia mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja! Tentu saja dia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, sebagai seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang kemudian menjadi rakyat biasa.

"Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa kini puterinya berada di sini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia memiliki seorang puteri di Khitan, maklum sudah dua puluh tahun lebih dia meninggalkan Khitan. Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang dikenalnya sebagai Bouw Koksu, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khitan. Dia sudah turut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menunggu di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."

"Aku ingin bertemu dengan dia, suheng. Terima kasih atas bantuanmu…"
"Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Aku pun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggalkan Khitan dua puluh tahun yang lalu!" kata Bouw Hu gembira.

Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati laki-laki yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Koksu.

"Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat padamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!" Bouw Koksu berseru sambil tertawa.

Laki-laki itu mengangkat muka, lalu memandang dengan bingung dan bimbang. “Paduka... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu...? Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dulu masih kecil itu? Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya..." Orang itu kembali memberi hormat.

"Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan. Sementara ini lupakan dahulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"

Can Bu bangkit berdiri kemudian memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong merasa lehernya bagai dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa.

Inikah orang yang selama ini dirindukannya? Inikah orang yang dahulu, ketika dia masih kecil, ibunya menceritakannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman itu? Inikah orang yang selama ini dicari-carinya itu?

Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuhnya juga tegap sebagai seorang prajurit. Akan tetapi gagah perkasa? Ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya, bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar!

Karena merasa tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong hanya diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dari mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. Dia adalah anakmu, paman!" kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari alam lamunan yang membuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.
"Anakku... Ahh, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anakku..." Akhirnya Can Bu berkata, biar pun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.
"Ayah... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandungku. Jadi engkau... engkau ini ayahku...?"

Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan ia pun menghampiri pria itu. Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena lelaki ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi dia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya.

"Maafkan aku, anakku. Selama ini ayahmu tak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu," katanya dengan suara agak gemetar.

Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, kemudian melangkah mundur dua kali dan memandang wajah ayahnya, bertanya,
"Sekarang... di mana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?" Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.
"Sumoi, Paman Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak memiliki keluarga, tinggalnya di dalam benteng," kata Bouw Ki.
"Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!" kata Bouw Koksu. "Bouw Ki, usahakan supaya saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."
"Ahh, itu baik sekali!" seru Bouw Ki. "Tentu paman Can setuju, bukan?"

Sebenarnya Kim Hong hendak menolak. Dia tak senang jika ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa dia dan ayahnya akan menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat sambil berkata dengan suara gembira sekali.
"Tentu saja saya setuju sekali, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Taijin dan Ciangkun!"

Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. Dia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan dia akan membujuk ayahnya supaya tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapa pun, juga lebih bebas.....

Sesudah mendapatkan kesempatan untuk berdua saja di dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlampau tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai ke ulu hati.

"Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?" Can Bu bertanya dengan kepala menunduk.

Gadis itu tetap mengamati wajah pria di hadapannya dengan pandang mata penuh selidik. "Engkau... benarkah engkau ini adalah ayah kandungku?" tiba-tiba dia bertanya.

Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut, pandangan matanya penasaran dan marah. "Hemm, pertanyaan ini bisa saja kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandungku? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu? Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu dua puluh tahun lebih yang silam aku pernah tinggal di Khitan dan menikah dengan seorang wanita bernama Khilani. Nah. kalau benar engkau ini puteri Khilani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?" Kini pandangan mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong.

Gadis itu menarik napas panjang. "Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi... mengapa ayah justru membantu pemerintah yang didirikan pemberontaki"

Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang yang ketakutan. "Ssttt... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong? Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka! Bukankah suhu dan suheng-mu sendiri pun menjadi orang-orang besar dalam pemerintahan ini?"
"Hemm, mereka lain lagi," kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu. “Mereka adalah orang-orang Khitan yang sejak dulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah pemimpin suku Khitan. Tidak mengherankan apa bila mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"

Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tidak senang. "Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biar pun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar dari para perwira dan prajuritnya adalah bangsa Han! Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah hingga dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang sangat memuakkan. Maka jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."

Kim Hong diam saja dan dia teringat akan cerita gurunya. Menurut gurunya, Kaisar Beng Ong memang sudah dipermainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila-gila kepada selir itu. Gurunya juga berpesan agar dia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok-hongcu. Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Cng, sekarang bahkan menyuruh dia membela kaisar itu. Kini dia mengerti mengapa.

Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia seorang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lainnya yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang lain lagi keadaannya. Tahta kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Khitan yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh dia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.

"Kim Hong, mengapa engkau diam saja? Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru? Bahkan kini aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bukan lagi menjadi perwira pasukan."

Kim Hong menghela napas panjang lagi. "Maafkan aku, ayah. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Dahulu ibu bercerita mengenai ayah kandungku yang gagah perkasa, maka aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar. Kiranya sekarang ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."

Can Bu menjulurkan tangan lalu memegang tangan puterinya dari seberang meja. "Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayahmu, membantu suhu-mu dan suheng-mu..."

"Maafkan aku, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diriku dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walau pun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Tugas ayah hanya untuk menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan? Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."
"Akan tetapi bagaimana jika ayahmu menerima tugas yang lebih penting? Apakah engkau tetap mau membantuku?"
"Tentu saja, aku akan membantu agar ayah dapat melaksanakan tugas dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."
"Bagus, aku mendengar dari suheng-mu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau mempunyai ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus aku kerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."
"Tugas apakah itu, ayah?" Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak menyangka sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.
"Tugas ini amat berbahaya. Tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw-ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."

Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang. "Pusaka apakah itu, ayah? Dan kenapa berbahaya untuk mengambilnya? Di mana tempat pengambilannya?"

Di dalam hatinya Kim Hong teringat akan pesan gurunya, Si Naga Hitam, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!

"Pusaka itu sangat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang kekuasaan kaisar. Pusaka itu kini hilang sesudah terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Koksu yang cerdik dan bijaksana itu, berhasil menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan, dan besok pagi suheng-mu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Aku pun diikut sertakan, oleh karena itu aku minta agar engkau suka ikut pula untuk memperkuat rombongan kita."

Kim Hong menelan kembali kata-kata ‘giok-hong-cu’ yang sudah berada di ujung lidahnya dan dia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat dia mengangguk.

"Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah." Ia teringat akan pesan suhu-nya, dan dia hendak melihat apakah betul yang akan diambil oleh rombongan itu adalah gio hong-cu. Dan kalau memang benar demikian, setidaknya dia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!

Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang. Bagaimana pun juga dia sudah berjumpa bahkan kini berkumpul dengan ayah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yatu membantu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat dia mulai dari kota raja itu sendiri!

Tak ada seorang pun yang tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan dia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi dia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau dia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu…..
********************
"Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!" kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di hadapannya dengan sinar mata penuh kagum.

Dia seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun. Wajahnya tampan, sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, bibirnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tak teratur seenaknya sendiri. Dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan nampak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang sangat hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu.

Namanya amat terkenal di partai persilatan Gobi-pai karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia sudah menguasai hampir seluruh ilmu silat Gobi-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang sangat lihai.

Baru tiga bulan dia tiba di Tiang-an, kota raja yang sekarang dikuasai oleh kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang ayahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok.

Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia benar-benar merasa yakin bahwa keponakannya itu kini telah menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi.

"Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat membantuku."
"Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman? Harap paman ceritakan sejelasnya supaya aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Di samping mengajarkan ilmu silat, para guruku di Gobi-pai juga mengajarkan agar aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang telah dijatuhkan oleh pemberontak."

Souw Lok lantas bercerita. Dia adalah seorang pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia hingga dipercaya penuh oleh keluarga itu.

Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu-satunya pelayan yang mengikuti majikannya. Karena sangat khawatir akan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, kaisar lalu menitipkan pusaka itu kepada Menteri Yang Kok Tiong.

Tentu saja menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu. Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan dari seorang kaisar.

Menteri Yang Kok Tiong kemudian mendapat akal. Para pemberontak tentu akan merasa curiga kepadanya bila tidak menemukan mestika itu pada kaisar, akan tetapi tak seorang pun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, pada suatu malam dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.

"Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan terhadap Kerajaan Tang?" tanya Menteri Yang Kok Tiong.
"Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"
"Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Kuserahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang sekarang kuserahkan ke dalam tanganmu."

Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main, kemudian sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Kemala dari kaisar untuk diselamatkan, dan menteri yang setia itu sudah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah goa kecil yang mereka lewati dalam perjalanan mengungsi. Tak ada seorang pun melihatnya dan dia telah membuatkan peta tempat itu agar kelak mudah dicari kembali.

"Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekali pun, aku takkan membuka rahasia benda pusaka itu," kata sang menteri, "akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan supaya engkau dapat menyerahkan peta ini kepada seorang di antara anak-anakku Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."

Biar pun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan dia pun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, sedangkan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan. Dan tepat seperti perkiraan Kenteri Yang Kok Ting, tiada seorang pun mencurigai bahwa bekas pelayan ini mempunyai peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.

Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya. "Ternyata paman memegang rahasia yang begitu pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang sehingga dapat membuka toko ini. Bagaimana pula ini, paman? Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara…?”

"Hushh, pamanmu ini bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa pada saat Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tak ada seorang pun yang mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang. Dalam pengungsian mereka, Kaisar sudah membicarakan urusan hilangnya Mestika Burung Hong Kemala itu dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu. Percakapan mereka itu dengan diam-diam didengarkan oleh seorang thai-kam (sida-sida) dan orang ini menyebar desas-desus tentang hilangnya Mestika Burung Hong Kemala dari tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini, maka tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk turut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini langsung menyelidiki siapa saja orang-orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup. Selain ke tiga putera serta puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan ikut dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidak tahu lantas disiksa sampai mati."

"Hemm, betapa kejamnya Bouw Koksu,” kata Hui San.
"Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekanku sudah tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati..."
"Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak...?"
"Hushh, engkau jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk! Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tidak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembunyiannya. Sebab itu aku lantas mengambil keputusan untuk tetap tinggal hidup, akan tetapi juga menjaga supaya pusaka itu tidak terjatuh ke tangan pemberontak."

"Apa yang paman lakukan?"
"Secara diam-diam sebelumnya aku sudah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau di dalam peta aslinya tempat persembunyian pusaka itu berada di goa ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bahwa benda itu disimpan dalam goa ke tujuh. Di bukit itu terdapat sepuluh buah goa. Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, pada saat jatuh giliranku untuk diperiksa, aku pun mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau peta itu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saja Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."

"Akan tetapi, paman. Kalau dia mengambil pusaka itu di goa seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan menemukannya dan paman pasti akan dianggap menipu kemudian menerima hukuman!"

Orang tua itu tersenyum. "Pamanmu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikiran lain. Aku akan menemukan benda di goa itu, dan dia akan memberiku lima ribu tail lagi tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."

"Ehh? Bagaimana mungkin paman?"
"Hui San, selama ini diam-diam aku telah melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu di dalam hati Bouw Koksu. Agaknya dia tidak langsung melaporkan kepada kaisarnya, bahkan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini."

Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang sangat indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!

"Inikah Giok-hong-cu itu? Akan tetapi... telah berada di tangan paman!" serunya heran.

Souw Lok menggelengkan kepalanya. "Aku telah mengeluarkan uang sebanyak seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia membuat ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar sebagai seorang kakek sehingga dia tidak tahu siapa yang menyuruhnya membuatkan ukiran burung hong kemala ini."

"Jadi ini adalah pusaka palsu? Untuk apa, paman? Ahh…, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"
"Engkau cerdik sekali, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."

Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah jenaka ini memang memiliki kecerdikan dan kini dia sudah dapat menduga serta mengerti apa yang dikehendaki pamannya.

"Paman sungguh cerdik bukan kepalang! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu dan meletakkannya ke dalam goa ke tujuh, kemudian aku mengambil pusaka aslinya yang berada di dalam goa ke tiga lantas membawanya ke sini. Begitukah?"

Pamannya mengangguk-angguk. "Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau hal ini ketahuan orang lain, maka akan berbahaya. Tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu, dan aku yakin sekali bahwa dengan kepandaianmu itu engkau akan dapat melakukannya dengan baik. Kita biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, tetapi yang aslinya tetap berada pada kita!"

"Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang asli itu, paman?" Pemuda itu memancing.
"Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok-hong-cu ini dan aku menerima lima ribu tail lagi. Sesudah itu barulah aku meninggalkan kota raja lalu hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini. Dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini sedang mengungsi ke Se-cuan.”

Pemuda itu mengangguk-angguk, dia tidak menyalahkan pamannya yang ingin menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimana pun juga pamannya telah berjasa dengan menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, sedangkan yang ditipu oleh pamannya adalah pemberontak.

"Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu."

Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik. Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya itu diminta agar melakukan perjalanan barat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.

"Sesudah kurang lebih lima ratus li dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi tingginya itu hanya separuh yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba di bukit batu karang. Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sanalah engkau akan menemukan goa-goa batu karang itu. Takkan ada seorang pun mau mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan. Jika sudah berhadapan dengan tebing bukit karang, hitunglah dari kiri ke kanan, akan ada sepuluh buah goa. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"

Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya. Pada malam itu juga dia berangkat dengan membawa buntalan kuning berisi Giok-hong-cu palsu yang dia masukkan dalam buntalan besar pakaiannya. Sedangkan pedang tergantung pada punggungnya.

Pemuda ini memang gagah perkasa dan tampan. Sekarang usianya sudah dua puluh lima tahun, akan tetapi karena mukanya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, dia terlihat seperti baru berusia dua puluh tahun saja. Pakaiannya agak nyentrik, kelihatan seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak peduli.

Juga rambutnya nampak awut-awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangan saja sehingga sesudah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan. Sebuah topi caping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung bersama pedang dan buntalannya. Caping itu agak lebar sehingga baik sekali dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan.

Hui San melangkah santai ketika keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang. Tapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia pun meninggaIkan jalan raya kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat laksana larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh…..
********************
Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang. Mereka berdua mempergunakan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Gerakan mereka begitu ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang memperebutkan sekuntum bunga untuk dihisap madunya.

Tubuh mereka kadang nampak kadang tidak, hanya nampak dua gulungan sinar pedang mereka yang saling membelit dan saling tekan. Tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.

Yang seorang berusia dua puluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil pada dagu kiri, menambah indah dan manis sekali wajah itu. Kulitnya pun putih agak kemerahan, lembut dan halus seperti kulit bayi. Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat memainkan pedang sedahsyat tadi.

Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis ini pun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh sedikit lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis yang pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.

Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong!

Seperti yang sudah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han. Mereka lalu bertemu dengan Kong Hwi Hosiang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tinggal dalam kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Nikouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang.

Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil itu. Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil untuk mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Dari suci mereka, Pek-lian Nikouw, mereka juga diberi pelajaran ginkang (ilmu meringankan tubuh).

Dari suhu mereka, kedua orang dara ini di samping menerima latihan menghimpun tenaga sinkang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai dimatangkan sehingga sekarang ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, kedua orang gadis ini juga menerima pelajaran ilmu toya yang sangat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hong-in Sin-pang (Toya Sakti Angin dan Awan).

"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita," kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembra.
"Baik, Bi-moi," kata Kui Lan dan ia pun mencabut sebatang toya yang tadi dia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu.

Adiknya juga rnencabut toyanya dan sekarang keduanya sudah saling berhadapan sambil memasang kuda-kuda dengan melintangkan toya masing-masing di depan dada. Pedang mereka tadi telah disimpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.

"Silakan, enci Lan!" Kata Kui Bi.

Kui Lan mengeluarkan bentakan halus, kemudian dia pun segera menggerakkan toyanya menyerang. Adiknya menangkis dan membalas serangan enci-nya dan segera terdengar suara tak-tok-tak-tok beradunya dua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka makin cepat sehingga nampak gulungan sinar putih seperti awan dan timbul angin menyambar-nyambar, merontokkan daun-daun kuning di atas pohon.

Itulah kiranya asal-usul nama ilmu toya itu. Angin dan Awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambarannya mendatangkan angin besar.....!

Sesudah merasa puas keduanya menghentikan gerakan toya. Ada peluh tipis membasahi leher dan dahi kedua orang gadis itu.

"Omitohud, tidak sia-sialah jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah berhasil menguasai Hong-in Sin-pang dengan baik!"

Dua orang gadis itu cepat menengok kemudian memberi hormat kepada hwesio bertubuh gemuk seperti Ji-lai-hud. Hwesio yang mulutnya sudah tak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.

"Suhu...!" Dua orang gadis itu mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat.
"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi, pinceng melihat bahwa kalian sudah berhasil dengan baik. Sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk meninggalkan kuil Thian-bun-tang, kecuali kalau kalian berdua ingin menjadi biarawati!"

Sejenak kakak beradik itu bertukar pandang, kemudian Kui Bi mewakili enci-nya berkata, "Suhu, teecu berdua tidak ingin menjadi biarawati!"

Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian menjadi biarawati? Akan tetapi menjadi biarawati hanya merupakan tanda lahiriah belaka karena sebenarnya, baik pendeta atau pun orang biasa, memiliki kewajiban yang sama dalam hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi rakyat, bagi negara, dan juga bagi manusia sendiri. Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, berlatihlah terus secara tekun dan gunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!"

Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, tahu-tahu hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.

"Terima kasih, suhu!" seru mereka berbareng.

Sikap ini saja telah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini sudah bisa menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka. Mereka adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup dalam kemuliaan, penuh penghormatan dan kemewahan. Kini mereka tidak ragu untuk menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin dengan berlutut di atas tanah, tak peduli bahwa lutut celana mereka menjadi kotor karenanya.

Ketika mereka menghadap Pek-lian Nikouw, sebelum mereka melaporkan tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Nikouw sudah mendahului mereka.

"Omitohud..., supek (uwa guru) sudah memberi tahu kepada pin-ni bahwa sumoi berdua akan meninggalkan kuil hari ini. Aihh..., betapa kuat ikatan batin mencengkeram perasaan manusia. Omitohud... pin-ni yang sudah belasan tahun mengasingkan diri di kuil ini, tetap saja masih dapat dicengkeram sehingga di saat perpisahan dengan sumoi berdua hati ini merasa sedih dan kehilangan!" Nikouw itu menghela napas panjang.

Kedua orang gadis bangsawan itu memegang tangan nikouw itu dari kanan kiri.

"Suci, percayalah, kami berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak apa bila ada kesempatan, kami pasti akan datang berkunjung," kata Kui Lan dengan suara terharu.

Kui Bi tertawa. "Aihh, suci. Di mana ada pertemuan tanpa perpisahan? Justru pertemuan menjadi peristiwa yang membahagiakan kalau didahului dengan perpisahan, bukan? Kami berdua sangat berterima kasih kepada suci yang selama ini bukan hanya bersikap amat manis budi terhadap kami, bahkan sudah mengajarkan ginkang secara sungguh-sungguh kepada kami."

Pek-lian Nikouw tersenyum. Hatinya merasa terhibur oleh sikap lincah Kui Bi. "Omitohud, mengapa kita bertiga menjadi seperti tiga orang anak kecil? Hayo, kalian cepat berkemas dan berangkat selagi hari masih pagi!" Dengan lembut dia mendorong kedua orang sumoi-nya itu yang segera memasuki kamar mereka untuk berkemas.

Sesudah dua orang gadis itu berganti pakaian, membawa buntalan pakaian dan pedang di punggung, kemudian muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Nikouw merangkul mereka seorang demi seorang dan dengan suara agak gemetar dia berkata,

"Lan-sumoi, dan Bi-sumoi, kalian adalah adik-adik seperguruan, tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau keponakanku sendiri. Kalian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu. Di dunia ini terdapat banyak orang jahat. Apalagi kalian adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan menarik. Pin-ni khawatir kalau-kalau di dalam perjalanan kalian akan menemui banyak godaan dan gangguan."

"Harap suci tidak khawatir. Kiranya tidak percuma suhu mengajarkan ilmu kepada kami, juga suci sudah mengajar kami bagaimana untuk dapat membela diri dengan baik. Kami pasti akan manipu menjaga diri, suci," kata Kui Bi.
"Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an kini telah diduduki oleh pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalian hendak pergi?" tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoi-nya yang amat disayangnya itu.


"Kami telah mendengar bahwa Sribaginda Kaisar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci," kata Kui Lan.
"Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang sudah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki pemberontak dan Sribaginda melarikan diri ke barat. Mudah-mudahan saja kalian akan dapat bertemu dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua, sumoi."
"Terima kasih, suci."

Dua orang gadis itu lalu pergi meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Nikouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Sesudah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.

"Enci Lan, apakah tidak sebaiknya kalau kita lebih dahulu pergi ke Tiang-an?" kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.
"Aihh, mengapa malah ke sana, Bi-moi? Bukankah kota raja telah diduduki musuh? Akan berbahaya sekali kalau kita ke sana. Menurut berita, ayah sedang menemani Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."
"Tetapi aku ingin sekali mengetahui apa yang telah terjadi dengan keluarga kita, enci."
"Kalau begitu mari kita mencari keterangan yang jelas lebih dahulu, baru kita menentukan langkah apa yang akan kita ambil "

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota, mereka mencari keterangan dan mendengar berita simpang siur tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengatakan bahwa menteri itu tertawan oleh pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa keluarga orang tua mereka sudah dibunuh para pemberontak, dan ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga mereka itu telah ikut mengungsi bersama kaisar.

Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka.

"Enci Lan, lebih baik jika kita membagi tugas. Seorang langsung pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."
"Akan tetapi sungguh berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah pemberontak akan menangkap kita."
"Begini saja, enci Lan. Biar aku yang masuk ke Tiang-an untuk menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tak akan sulit mencari jejak rombongan itu. Setelah mendapat keterangan di kota raja, barulah aku akan menyusul pula ke sana."
"Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"
"Aku akan berhati-hati dan menyamar, enci Lan. Lagi pula, andai kata ada terjadi sesuatu dengan diriku, masih ada engkau di sana! Asal jangan kita berdua tertimpa mala petaka semua, salah seorang di antara kita masih akan dapat berjuang untuk membela Kerajaan Tang!" Kui Bi berkata penuh semangat. "Lagi pula bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang amat berbahaya, tugasmu menyusul ke barat juga tidak kurang bahayanya. Bahkan perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul rombongan Sri baginda ke barat? Entah sampai di mana perjalanan itu berakhir. Sudahlah, enci Lan, saat ini tak perlu kita bimbang ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasehat suhu!"

Melihat gairah dan semangat adiknya, timbul pula semangat Kui Lan. Ia memang seorang gadis yang lembut dan tidak sekeras adiknya, akan tetapi pengalaman pahit membuat dia maklum bahwa dia tak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini.

Dia teringat akan nasehat suci-nya, Pek-lian Nikouw yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan. Ketika baru dilahirkan saja seorang manusia telah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi segala macam tantangan!

Justru dalam tantangan-tantangan itulah letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan terasa hambar dan tiada artinya Justru dengan adanya kegagalan kesukaran, kesulitan, halangan dan sebagainya itulah maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya.

Seni hidup adalah menghadapi segenap tantangan dan mengatasinya! Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua tantangan hidup. Gunakan segala anggota jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan penyerahan kepada Yang Menciptakan segala yang ada, ya Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maga Pengasih.

"Baiklah, Bi-moi, marilah sekarang kita membagi tugas!" katanya dengan semangat yang mulai bangkit. Adiknya memandang dengan wajah berseri.

"Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Mudah-mudahan tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan cepat-cepat menyusul ke barat. Entah nanti siapa yang lebih dahulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."

"Selamat berpisah, adikku." Mereka berangkulan dan berciuman, lantas mengambil jalan masing-masing. Kui Bi berangkat menuju ke kota raja Tiang-an, ada pun Kui Lan menuju ke barat…..

********************
Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin-ling-san. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang perjalanan dia telah mendengar ke arah mana perginya rombongan pengungsi kaisar.

Dia merasa lapar, maka dia pun memasuki sebuah rumah makan yang berada pada sudut kota. Dia sudah mengambil keputusan untuk makan dulu, kemudian mencari penginapan dan besok pagi-pagi sekali baru melanjutkan perjalanan.

Rumah makan itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itu pun tidak penuh, hanya setengahnya yang terisi tamu. Kui Lan memilih sebuah meja kosong, tidak mempedulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua langsung menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum.

Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita. Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila-gila.

Walau pun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga rambutnya disanggul biasa saja tanpa hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasehat suci-nya, Pek-lian Nikouw, akan tetapi kecantikannya yang asli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk pula para pelayan serta pemilik rumah makan, memandangnya penuh kagum.

Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang kepadanya, walau pun tamu itu pun melihat dia memasuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula, namun wajahnya tampan dan gagah, sikapnya tenang dan pendiam.

Ketika Kui Lan mengambil tempat duduk, kebetulan sekali tanpa disengajanya dia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya menghadap kepadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi mereka saling pandang. Akan tetapi dengan sopan pemuda itu langsung mengalihkan pandang matanya. Hal ini justru menarik perhatian Kui Lan. Semua tamu menoleh dan memandang kepadanya dengan mata laksana srigala kelaparan, akan tetapi pemuda itu bahkan mengalihkan pandang mata!

Dia pun menunduk, akan tetapi kerlingnya dengan tajam kadang kala menyambar ke arah meja di depan itu walau pun dia tidak secara langsung memandang kepada pemuda tadi. Pelayan datang menghampiri dan dia pun memesan nasi berikut dua macam sayuran.

Selama dua tahun lebih dia tinggal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka dia pun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya. Dia tidak memantang daging, hanya sudah terbiasa makan sayuran

Pelayan itu memandang heran. Seorang gadis yang cantik, tapi memesan masakan yang begitu sederhana dan murah. Agaknya seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya.

Karena Kui Lan tak mau mempedulikan keadaan sekelilingnya, dia pun tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah tiga orang perwira. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan dari wajah mereka mudah diketahui bahwa mereka bukan bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah mereka mirip seperti wajah orang Mancu atau Uighur. Juga logat bicara mereka, biar pun menggunakan bahasa Han namun terdengar asing.

Sesudah pelayan datang mengantarkan nasi serta dua mangkok sayuran kepada Kui Lan, dan sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit kemudian menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka dan melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja.

Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang dalam keadaan seperti itu tentu akan segera membentak.

Melihat gadis jelita itu hanya memandang dan tidak kelihatan marah dengan kemunculan mereka, ketiga orang perwira itu menganggap bahwa gadis itu merupakan makanan lunak bagi mereka. Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang panjang kecil, lantas menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuning yang tak rata, lalu berkata dengan suara yang terdengar amat ramah.

"Nona, wanita yang secantik nona tidak sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah nona, kami bertiga hendak mengundang nona untuk makan di meja kami. Kami sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."

Di dalam hatinya Kui Lan marah kepada tiga orang yang lancang berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi karena ucapan si kumis panjang itu ramah, ia pun menggelengkan kepala tanpa menjawab, lalu tangan kanannya mengambil sepasang sumpit dan tangan kirinya mengangkat mangkok nasi, hendak mulai makan tanpa peduli kepada mereka.

"Ahh, agaknya nona ini malu-malu," kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot lebar. "Kalau begitu, biarlah kami bertiga yang pindah ke mejamu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan hidangan kami ke meja ini!"

Pelayan datang berlarian, sedangkan tiga orang perwira itu kini duduk di seputar meja Kui Lan, ketiganya menyeringai dan mata mereka memandang wajah Kui Lan seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Kui Lan mulai marah, akan tetapi dia masih menahan sabar. Ia pun menyambar buntalan pakaiannya dan membawa mangkok nasi dan mangkok sayurannya, lalu berjalan menuju ke meja lain yang kosong, dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan mulai makan nasi dan sayurannya, tanpa mempedulikan tiga orang perwira itu.

Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah. Dengan langkah lebar dia menghampiri meja Kui Lan.

"Heii, nona sombong! Buka kedua matamu baik-baik. Kami adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tak peduli kepada kami?"

Kui Lan bangkit berdiri. Ia memang tak pandai bicara, juga merasa segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahannya sudah membuat dia menekan sepasang sumpit dengan tangan kanannya. Sepasang sumpit itu amblas masuk kedalam meja sampai tembus!

"Aku tidak sudi dipaksa oleh siapa pun!" katanya.

Dia lantas mengeluarkan sepotong uang perak dari buntalannya, kemudian dengan sekali banting, potongan perak pun amblas masuk ke dalam meja yang tebal itu. Sesudah itu dia segera menyambar buntalannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa berkata apa pun!

Ketiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi agaknya mereka masih merasa penasaran, apa lagi merasa malu melihat betapa di depan umum seorang gadis Han berani menolak undangan mereka. Bagi mereka hal itu merupakan penghinaan yang besar! Sebagai anggota pemberontak yang sudah menang, tentu saja mereka merasa berkuasa, karena itu setiap orang rakyat harus tunduk dan taat kepada mereka!

Mereka lalu melangkah keluar, menggapai belasan orang prajurit anak buah mereka yang menunggu di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang prajurit itu untuk melakukan pengejaran terhadap gadis yang nampak berjalan keluar dari pintu kota Liu-ba.

Kui Lan memang merasa jengkel sekali, dan peristiwa di rumah makan tadi membuat dia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan saja dan kalau perlu bermalam di luar kota karena dia merasa tidak senang lagi tinggal di kota itu. Akan tetapi, belum lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda lalu belasan orang berkuda sudah mengepungnya. Mereka itu berloncatan turun dan dia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi memimpin belasan orang prajurit, juga telah mengepungnya.

Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya dengan lembut,
"Kalian ini mau apa menghadang dan mengepungku?"
"Ha-ha-ha-ha, nona manis. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kami. Mudah saja bagi kami untuk menuduhmu pemberontak dan membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau menemani bersenang-senang malam ini, engkau akan kami maafkan," kata sikumis pajang.

Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong.

"Engkau biadab dan jahat!" katanya.
"Heh,heh, makin marah semakin manis!" kata si kumis melintang dan tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan!

Gadis ini tidak mampu menahan kesabarannya lagi. Dia cepat melangkah mundur dengan gerakan seringan burung dan begitu kakinya meluncur ke bawah, ujung sepatunya telah menyambar dagu si kumis panjang dengan tenaga dahsyat.

"Krekk...!"

Bagaikan disambar petir, si kumis melintang, terjengkang dan terbanting, roboh terlentang dengan mata terbelalak dan mulut berdarah, tulang rahangnya patah! Dia hanya mampu merintih-rintih.

"Gadis pemberontak!" bentak dua orang rekannya. "Tangkap pemberontak ini!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Kalian manusia tidak tahu malu!" lantas sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.

Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat ada seorang pemuda berdiri di hadapan mereka. Kui Lan juga mengenal pemuda itu. Bukan lain adalah pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang amat berbeda dengan orang lain, sama sekali tak mengacuhkannya, bahkan saat bertemu pandang segera mengalihkan pandang matanya.

"Siapa kau? Pemberontak pula?!” bentak si tinggi besar.

Akan tetapi mata si muka kuning terbelalak memandang pemuda itu. "Engkau... bukankah engkau... Sia-ciangkun...?"

Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini dia pun mengenal pemuda itu. Bila tadi dia tidak mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, padahal dia selalu berpakaian seragam.

“Sia-ciangkun ga… gadis ini… adalah pemberontak,” katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
“Tutup mulutmu!” bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat berwibawa, seperti sikap seorang atasan terhadap anak buahnya. "Kalian kira aku tidak mengetahuinya? Semenjak di rumah makan tadi aku sudah melihat dan mendengar kalian mengganggu nona ini, dan sekarang kau katakan dia pemberontak?! Ulah kalian tidak seperti perwira, sepantasnya menjadi buaya-buaya darat rendahan!"

Sesudah berkata demikian, dengan cepat sekali tubuhnya bergerak. Si tinggi besar dan si muka kuning mengaduh lantas terpelanting, dan semua prajurit yang tadi mengepung Kui Lan juga seorang demi seorang terpelanting keras dihajar oleh pemuda itu.

Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang hebat, pikirnya. Wajahnya tampan, sikapnya gagah perkasa, juga jelas baik budi dan adil, dan bila melihat gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pemuda itu memandang marah kepada belasan orang yang telah dirobohkan semua, lalu berkata, "Nah, sekarang pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kalian berbuat jahat, tentu takkan kuampuni lagi. Pergi!"

Bagaikan sekawanan anjing ketakutan, belasan orang itu merangkak pergi.

"Nona, maafkanlah mereka. Memang mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini berhadapan dengan Kui Lan dan memberi hormat.

Kui Lan cepat membalas penghormatan itu. "Terima kasih."

Gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi secara diam-diam dia merasa penasaran karena tadi mendengar betapa si tinggi besar menyebut pemuda ini Sia-ciangkun, berarti bahwa pemuda ini juga adalah seorang perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!

"Apakah mereka itu anak buahmu dan kau... seorang perwira?"

Gadis itu mengangkat muka memandang sehingga dua pasang mata bertemu pandang. Menghadapi pandang mata yang lembut tetapi tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga, kini menjadi gugup begitu pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam sinarnya!

Kembali pemuda ini mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Dugaanmu memang benar, nona. Namaku Sia Su Beng dan memang aku adalah seorang... panglima kerajaan..."

"Ahhh...!"

Tentu saja Kui Lan merasa tidak senang sehingga mengerutkan alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu. Saat mengaku dirinya adalah panglima kerajaan, pemuda itu kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!

"Nona, harap jangan salah sangka!" katanya cepat. "Biar pun aku seorang panglima, akan tetapi sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu Shan..”
"Ssttt...!" Kui Lan merasa khawatir kalau-kalau ucapan itu terdengar oleh orang lain, maka dia cepat memandang ke sekeliling.
"Nona, begitu nona melawan tiga orang perwira dan pasukannya tadi aku sudah menduga bahwa engkau tentulah seorang yang menentang pemerintah baru."
"Ciangkun..."
"Aihh, nona, jangan sebut aku ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan.

Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu. Dia mengangguk, lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu di sawah ladang yang sunyi. Dari tempat itu mereka dapat melihat ke sekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.

"Nona, tadi aku telah memperkenalkan diri. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona? Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."

Kui Lan sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka berdua tidak akan mengganti nama, akan tetapi akan menanggalkan nama keluarga mereka agar tidak dikenal orang.

"Nama keluargaku Kui dan namaku Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan, nama yang indah sekali!" kata pemuda itu sambil tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi sifat yang menarik pemuda itu di samping ketampanan dan kegagahannya, yaitu pemuda ini pandai bicara dan pandai pula merayu! "Kalau boleh aku mengetahui, nona dari perguruan manakah?"

Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan copot. Senyum itu demikian manisnya!

"Maaf, ciangkun..."
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi engkau seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan untuk menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup dengan toako (kakak) saja.”
"Tapi engkau pun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam-diam merasa heran mengapa dia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku menyebut engkau siauw-moi (adik) dan engkau menyebutku toako. Nah, kini lanjutkan ceritamu, siapa gurumu dan engkau dari perguruan mana, Lan-moi (adik Lan)?"

Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu, entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi ketika keluar dari mulut pemuda itu terdengar demikian mesra dan indah!

"Maaf..., toako. Aku bukan dari perguruan mana pun, dan terus terang saja, suhu-ku telah melarangku memperkenalkan namanya, harap engkau bisa maklum.” Tentu saja Kui Lan mengatakan demikian hanya untuk menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh, tidak mengapa, Lan-moi. Memang, sebagai seorang gadis sepertimu ini, tentu saja tak semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu tentang dirimu. Biarlah aku yang akan lebih dahulu memperkenalkan keadaanku. Sejak muda sekali aku sudah menjadi perwira dan aku ditugaskan di utara, di bawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku terus mengikuti setiap perkembangan dan mengetahui semua gerakannya, dan sebenarnya aku sama sekali tidak setuju ketika dia ingin menggerakkan pasukan untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Tang.”

"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan sudah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap..."
"Mengapa tidak kau lanjutkan, Lan-moi? Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti aku membantu pemberontakannya? Memang aku akui hal itu. Habis, apa yang dapat dilakukan seorang bawahan seperti aku? Terpaksa aku membiarkan dia melakukan pemberontakan. Akan tetapi diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk menggulingkannya, bahkan kalau mungkin membunuhnya. Secara diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan sambil mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam ternyata masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah. aku telah membuka semua rahasiaku kepadamu, nona, ehh…, adik Lan."

Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa dia begitu percaya kepadanya hingga membuka rahasia yang dapat membahayakan jiwanya itu? Kalau sampai rahasia itu ketahuan, tentu pemuda ini akan celaka! Dia merasa girang telah dipercaya sedemikian rupa.

"Terima kasih atas kepercayaan toako, dan maafkan keraguanku tadi. Sekarang aku bisa mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku sangat kagum akan usahamu untuk menghancurkan pemberontak. Engkau seorang gagah yang setia kepada kerajaan."
"Lantas bagaimana dengan engkau sendiri, Lan-moi? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak ke mana dan dari manakah? Tentu saja kalau aku boleh mengetahui..."

Kui Lan menarik napas panjang. Biar pun dia telah percaya kepada pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang sangat dikaguminya, namun dia sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka harus tetap merahasiakan keluarga mereka kepada siapa pun juga. Bukan saja karena ayah mereka adalah Menteri Yang Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi lebih dari itu, bibinya adalah selir Yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi! Ia bahkan merasa malu untuk mengakui bahwa dia adalah keponakan dari Yang Kui Hu!

"Aku hendak menyusul ayah ke barat."
"Aihh, di manakah ayahmu itu, Lan moi?"
"Ayahku mengawal Sribaginda mengungsi ke barat."

Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimana pun juga, dia tidaklah sama sekali berbohong. Ayahnya memang mengikuti kaisar mengungsi, ia tidak berbohong, yang dirahasiakannya hanyalah keluarganya.

Pemuda itu nampak terkejut.

"Ahh, ternyata ayahmu seorang pengawal Sribaginda! Ternyata keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku merasa girang dan bangga sekali bisa berkenalan denganmu, Lan-moi. Kalau begitu, jalan yang kita tempuh mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Kita hanya berbeda dalam cara dan jalan. Aku yakin kelak kita akan dapat saling bantu dalam perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako. Sekarang malam hampir datang, aku harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.

Sia Su Beng termenung dan menghela napas. "Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dan berduka, Lan-moi, seolah-olah aku akan berpisah dengan seorang sahabat yang sudah lama kukenal. Sayang sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."

"Terima kasih, engkau baik sekali, toako. Aku pun... tidak akan lupa kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi."

Setelah sejenak saling pandang dengan sinar mata yang mengandung seribu satu macam perasaan, kedua orang muda itu pun saling memberi hormat kemudian berpisah. Namun mereka melangkah seperti orang yang lesu dan kehilangan, saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta.....!

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-07
LihatTutupKomentar