Mestika Burung Hong Kemala Jilid 11


Laki-laki petani berusia lima puluhan tahun itu tidak diganggu oleh para penjaga di pintu gerbang ketika dia memasuki pintu gerbang sambil memikul dagangannya, yaitu sepikul buah apel yang besar-besar dan menyiarkan bau harum. Para penjaga hanya memungut beberapa butir buah apel sambil tertawa-tawa.

Petani itu tidak peduli. Dia sudah biasa membawa barang dagangan buah-buahan atau sayuran ke dalam kota dan sudah biasa pula kalau ada anggota penjaga yang mengambil beberapa butir buah atau beberapa ikat sayuran. Akan tetapi dia tidak diganggu dan pada pagi hari ini, hal itu memang amat dia harapkan.

Tidak seperti biasanya, sekali ini diam-diam jantungnya berdebar keras karena tegangnya. Pagi ini si petani tidak seperti biasanya menjual buah-buahan, melainkan membawa tugas yang amat penting, tugas rahasia yang kalau sampai ketahuan penjaga di pintu gerbang kota raja, pasti akan mengakibatkan dia dihukum siksa sampai mati!

Dia adalah seorang petani dusun di luar kota raja yang biasa berjualan sayur dan buah ke kota, akan tetapi biar pun dia hanya seorang petani biasa, namun dalam hatinya dia setia terhadap Kerajaan Tang. Hal ini diketahui oleh Cin Han, Hui San, Kui Lan dan Kim Hong setelah empat orang muda ini tinggal selama beberapa hari di dusun itu.

Setelah yakin bahwa A-cauw, petani itu, bisa dipercaya dan setia kepada Kerajaan Tang, Cin Han lalu menitipkan sepucuk surat kepada A-cauw dengan pesan agar surat itu dapat disampaikan kepada Panglima Sia Su Beng. Dia harus mengunjungi benteng dan minta bertemu dengan panglima itu, dengan alasan bahwa dia mempunyai laporan penting yang harus disampaikan kepada panglima itu sendiri mengenai keamanan kota raja. Sesudah berhadapan dengan Sia-ciangkun, dia harus menyerahkan surat titipan Cin Han itu.

Biar pun beberapa kali ada orang yang hendak membeli buah­buahan yang berada dalam keranjang pikulannya, namun A-cauw tidak menjualnya. Dengan pikulan keranjang penuh buah, tidak akan ada yang mencurigainya biar pun dia berjalan sampai ke depan benteng yang dimaksudkan. Dia sengaja menghampiri penjaga gardu depan pintu benteng, lantas menurunkan pikulannya.

"Heii, penjual buah! Jangan menawarkan buah-buahanmu di sini, dan jangan berhenti di sini. Itu dilarang!"' kata seorang penjaga kepadanya.

Dengan capingnya yang lebar A-cauw mengipasi tubuhnya yang berkeringat dan dia pun berkata dengan sikap takut­takut akan tetapi hormat, "Saya mohon menghadap Panglima Sia Su Beng. Harap suka memperkenankan saya menghadap beliau. "

Para penjaga memandangnya dengan alis berkerut.

"Hemmm, engkau ini petani penjual buah, mau apa minta bertemu dengan Panglima Sia? Apakah hendak menghadiahkan dua keranjang buah itu? Jangan macam-macam engkau, atau kau akan di tangkap!"

"Saya tidak berniat jahat, saya mohon menghadap karena saya ingin melaporkan sesuatu yang teramat penting dan yang hanya boleh didengar oleh beliau sendiri."
"Hemmm, engkau jangan mengigau! Seorang petani seperti engkau ini bagaimana dapat menghadap Panglima? Kalau memang ada urusan, laporkan saja kepada kami dan kami yang akan meneruskan kepada beliau. Jangan kurang ajar kau!"

Dibantah seperti itu A-cauw tak menjadi gugup sebab sebelumnya dia telah diperingatkan Cin Han kalau-kalau dibentak seperti itu.

"Harap saudara sekalian ketahui bahwa dahulu Panglima Sia Su Beng adalah langganan saya, sering membeli sayur dan buah-buahan dari saya. Saya mengenal baik beliau dan apa yang akan saya sampaikan ini mengenai urusan keamanan di kota raja. Kalau kalian tidak mau menghadapkan saya kepada beliau dan kelak beliau mengetahui, tentu kalian akan mendapat kesalahan besar sekali."

Digertak malah balik menggertak! Kalau tidak mendapat pelajaran dari Cin Han, tentu saja seorang petani semacam A­cauw mana mungkin berani menggertak para prajurit penjaga? Mendengar ucapan itu, para prajurit saling pandang dan merasa gentar juga.

Mereka semua maklum betapa kerasnya Panglima Sia Su Beng terhadap ketertiban, dan panglima itu memang selalu menghargai rakyat jelata, tidak pernah congkak seperti para panglima lainnya. Karena itu dengan kasar mereka minta agar A-cauw menanti sebentar.

Setelah ada yang melapor, A-cauw diperkenankan masuk. Sambil berterima kasih petani itu berkata, "Terima kasih atas kebaikan kalian dan untuk membalas kebaikan itu, silakan kalau ada yang mau mencicipi buah apel saya. Dihabiskan pun boleh!"

Ia pun meninggalkan keranjangnya dan tanpa diminta untuk ke dua kalinya, para penjaga yang sedang keisengan itu lalu menyerbu dua keranjang apel. Kawan-kawan mereka yang berada di dalam ikut-ikutan keluar dan sebentar saja isi dua keranjang sudah habis!

Panglima Sia Su Beng merasa heran bukan main menerima laporan bahwa ada seorang petani penjual apel bernama A­cauw hendak mohon menghadap. Akan tetapi karena dia memang mempunyai hubungan dengan para pejuang, para pendukung kerajaan Tang, dan menduga bahwa yang datang tentulah seorang kurir dari para pejuang yang berada di luar kota raja, maka dia bersikap biasa saja.

"Suruh dia masuk ke sini."

Sesudah A-cauw memasuki ruang tertutup itu, dan setelah melihat di situ tidak ada orang lain kecuali Panglima Sia Su Beng yang mudah dikenalinya dari penggambaran Cin Han kepadanya, A-cauw lalu berkata lirih sekali,
"Saya datang disuruh Yang-kongcu."

Sia Su Beng terkejut, segera melihat ke sekeliling lantas memberi isyarat kepada A-cauw untuk memasuki sebuah kamar samping di mana mereka dapat berbicara dengan lebih bebas tanpa khawatir diketahui orang lain.

A-cauw menyerahkan surat dari Cin Han yang disimpan dengan hati-hati di balik bajunya. Sia Su Beng cepat membaca surat yang tidak ditandatangi itu. Hanya ditulis bahwa Han, Lan, San, dan Hong ingin dijemput. Hanya itu. Andai kata surat itu jatuh ke tangan orang lain pun, tentu tidak akan tahu maksudnya karena tanpa tanda tangan juga tidak ditujukan kepada siapa pun.

"Di mana mereka?" tanya Sia Su Beng.
"Di dusun sebelah timur kota, ciangkun. Dua puluh li dari sini."
"Baik, katakan kepada mereka bahwa aku akan segera datang." Ketika A-cauw hendak keluar, Sia Su Beng menahannya. "Kalau ada yang bertanya, katakan saja bahwa engkau melaporkan adanya gerombolan yang mencurigakan di sebelah selatan kota."

A-cauw mengangguk, kemudian ke luar. Dia disambut seorang petugas jaga di luar dan penjaga ini lalu mengantarkannya kembali ke pintu gerbang benteng.

"Heii, A-cauw, buah-buahan di dalam keranjang itu telah habis kami makan!" kata kepala jaga.
"Tidak apa, ciangkun. Memang itu untuk kalian. Terima kasih, saya hendak pulang."
"A-cauw, apa sih yang kau laporkan kepada komandan kami? Nampaknya rahasia benar!"
"Ah, sebetulnya bukan rahasia, hanya saja aku takut kepada gerombolan itu. Aku melihat ada gerakan mencurigakan dari segerombolan orang di selatan kota raja. Karena aku tahu bahwa langgananku Sia-ciangkun adalah seorang panglima, maka aku melaporkan hal Itu padanya. Aku takut kalau gerombolan itu tahu aku melaporkan, aku akan dibunuh. Sudah, aku ingin cepat pulang. Aku sudah mendapat hadiah dari Sia­ciangkun," katanya dan dia pun memikul keranjang kosongnya meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian para penjaga pintu gerbang benteng melihat Sia-ciangkun memimpin kurang lebih lima puluh orang prajurit berserabutan naik kuda keluar dari benteng. Tanpa diberi tahu sekali pun, para penjaga itu dapat menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan laporan A-cauw tadi dan kini agaknya sang panglima hendak memimpin sendiri pasukannya untuk menumpas gerombolan.

Di pintu gerbang kota raja pun, para penjaga memberi hormat kepada Sia Su Beng yang bersama pasukannya keluar dari pintu gerbang. Kurang lebih lima puluh orang prajurit itu berkuda secara tak teratur, bukan merupakan barisan rapi. Agaknya mereka tergesa-gesa dan tidak membentuk barisan sehingga sukarlah andai kata ada yang hendak menghitung berapa jumlah regu prajurit itu.

Sia Su Beng sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah selatan, namun sesudah regunya meninggalkan pintu gerbang sejauh beberapa li, dia membelokkan pasukannya ke kanan, ke arah timur kota raja! Ketika tiba di luar dusun, empat orang muda itu telah menghadang di tempat sepi.

Sia Su Beng bersama seorang prajurit yang bertubuh kecil ramping melompat turun dari atas kuda, kemudian menghampiri mereka. Kui Bi yang berpakaian prajurit itu langsung bergantian merangkul kedua orang kakaknya saking girangnya dapat bertemu kembali.

"Bi-moi, kau hebat!" kata Cin Han gembira. Kemudian kepada Sia Su Beng dia berkata, "Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu terhadap kedua orang adikku, terutama kepada Bi-moi."

Pasukan itu terdiri dari orang-orang kepercayaan Sia Su Beng, dan mereka semua adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan Tang. Mereka semua sudah mengetahui tentang rahasia Sia Su Beng, juga tahu siapakah empat orang muda itu, maka mereka sengaja menjauhkan diri, membiarkan pimpinan mereka bicara dengan para muda yang dijemput itu.

Sia Su Beng mengeluarkan empat perangkat pakaian prajurit untuk dipakai oleh Cin Han, Kui Lan, Hui San dan Kim Hong. Satu-satunya cara menyelundupkan mereka ke kota raja hanyalah dengan menyamar sebagai prajurit dan berbaur dengan pasukannya. Dan satu-satunya tempat yang aman bagi mereka untuk tinggal di kota raja adalah dalam benteng pasukannya pula. Ji-wangwe telah menutup rumahnya sebab dia selalu diawasi oleh anak buah Bouw Koksu yang mencurigainya namun tidak menangkapnya karena tidak terdapat bukti.

"Sebaiknya kita cepat kembali ke kota raja, di sana kita dapat bicara lebih leluasa. Di sini tidak enak kalau sampai terlihat orang lain," kata Sia-ciangkun.

Mereka berempat lalu mengenakan pakaian prajurit di luar pakaian yang menutupi tubuh mereka, dan sebagai anggota pasukan mereka pun menunggang kuda mereka, sengaja membaur di tengah. Pasukan itu lalu kembali ke kota raja melalui pintu gerbang selatan dengan mengambil jalan memutar.

Jauh lewat tengah hari mereka tiba di kota raja dan Sia Su Beng sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyebar berita bahwa mereka tak berhasil menangkap gerombolan pengacau karena mereka telah melarikan diri.

Mereka lalu memasuki benteng dan tak lama kemudian Sia Su Beng sudah mengadakan pembicaraan dengan Cin Han, Hui San, Kim Hong, Kui Lan dan Kui Bi di dalam ruangan tertutup yang merupakan ruangan rahasia di mana mereka boleh berbicara sebebasnya tanpa khawatir diketahui orang lain karena tempat itu dijaga ketat oleh para prajurit yang setia terhadap kerajaan Tang.....

Empat orang muda itu kemudian menceritakan pengalaman mereka masing-masing yang didengarkan penuh perhatian oleh Sia Su Beng dan Kui Bi. Ketika mendegar penjelasan Cin Han bahwa Kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada pangeran mahkota yang kini sudah menjadi Kaisar Su Tsung, Sia Su Beng pun berkata,

"Hemm, kenapa Sribaginda harus demikian tergesa­gesa menyerahkan mahkota kepada Pangeran? Kenapa tidak menanti sampai beliau kembali ke sini?"
"Menurut keterangan Panglima Kok Cu It, Sribaginda Beng Ong merasa sangat terpukul sehingga dia selalu berduka, merasa telah tua dan kehilangan semangat untuk memimpin pasukan merampas kembali tahta kerajaan. Beliau sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, karena itu beliau menyerahkan tahta kerajaan kepada Pangeran dan hal ini didukung pula oleh Panglima Kok Cu It," kata Cin Han.
"Perubahan apakah yang sudah terjadi di sini setelah An Lu Shan tewas?" tanya Cin Han sambil memandang kepada Kui Bi dengan kagum dan bangga seolah-olah pertanyaan itu diajukan kepada adiknya. Namun Kui Bi memandang kepada Sia Su Beng, menyerahkan jawabannya kepada panglima itu.

"Banyak sekali perubahannya. Sekarang para panglima telah sepakat untuk menolak apa bila Pangeran An Kong hendak mengangkat dirinya menjadi kaisar untuk menggantikan ayahnya yang tewas. Semua panglima menyetujui pendapatku bahwa seorang pangeran yang sudah membunuh ayahnya sendiri tidak pantas untuk menjadi kaisar. Tentu saja hal ini hanya kujadikan alasan agar dia tidak naik tahta, agar di sini kehilangan pimpinan dan aku yang berkuasa di sini, mempersiapkan kembalinya Kerajaan Tang."

"Bagus sekali kalau begitu! Panglima Kok Cu It juga sudah memperhitungkan siasat ini dan mengharapkan bantuanmu, Sia-ciangkun," kata Cin Han.
"Tetapi agaknya Pangeran An Kong hendak bertindak nekat. Dengan mendapat dukungan dari Bouw Koksu, dia sudah menentukan harinya, yaitu tiga hari lagi setelah seratus hari wafatnya ayahnya, dia hendak mengangkat diri menjadi kaisar atas nasehat dari Koksu."

"Apakah pengangkatan semacam itu dapat dianggap sah?" tanya Cin Han.
"Apa bila Bouw Koksu masih dianggap sebagai Penasehat atau Guru Negara secara sah, tentu saja pengangkatan dapat dianggap sah, akan tetapi kami para panglima sudah siap untuk menolak. Bahkan para panglima sudah sepakat mengangkat aku sebagai pemimpin dan wakil pembicara mereka.”

'Kenapa tidak pergi membunuh Bouw Koksu saja? Aku sanggup melaksanakan tugas itu. Dia sangat jahat, apa lagi mengingat apa yang telah dia lakukan terhadap pamanku Souw Lok dan terhadap nona Kim Hong."

"Memang benar apa yang dikatakan Souw twako itu," kata Kim Hong. "Aku juga sanggup melaksanakan tugas membunuh Bouw Ki kalau hal itu ada manfaatnya bagi perjuangan."
"Usaha itu memang baik, akan tetapi tidak boleh sembrono. Bouw Koksu adalah seorang yang cerdik dan tentu dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak musuh, maka tentu dia sudah memelihara pengawal-pengawal tangguh, di samping dia sendiri juga sangat lihai. Kalau memang akan diambil tindakan itu, biarlah kita beramai yang pergi, akan tetapi juga menanti saat yang baik. Setidaknya kita harus mencari kesempatan. Tidak boleh tergesa-gesa."

"Benar apa yang dikatakan oleh Yang-kongcu itu," kata Sia Su Beng sambil mengangguk-angguk. "Juga tak boleh dilakukan sebelum ada pengumuman tentang pengangkatan diri An Kong sebagai kaisar, karena kalau didahului, tentu keadaan akan berubah dan siapa tahu para panglima tiba-tiba akan berbalik dan berpihak Kepada An Kong untuk mencari kedudukan tinggi."
"Sebaiknya kita berempat menyamar. Aku dengan enci Hong, Han­koko dan Souw twako akan mengintai keadaan rumah Bouw Koksu untuk mencari kesempatan sambil menanti sampai selesai dan lewatnya urusan di dalam istana," kata Kui Lan.
"Bagaimana dengan Kui Bi?" tanya Kim Hong. "Bukankah dengan lima orang kita menjadi lebih kuat?"'

Pertanyaan Kim Hong ini hanya untuk menghilangkan perasaan tidak enak karena seolah Kui Bi seorang yang ditinggalkan, tidak diajak.

"Tidak, Bi-moi sudah terlampau lama berada di sini. Oleh orang luar, kecuali oleh anggota pasukan yang setia kepadaku, dia sudah dianggap sebagai seorang prajurit pengawalku. Apa bila dia muncul di luar maka akan menimbulkan kecurigaan, apa lagi kalau kelihatan tidak bersamaku."
"Benar, sebaiknya kalau adikku ini tinggal di sini saja, membantu Sia-ciangkun. Lagi pula jasanya sudah terlalu besar karena keberaniannya menyusup ke istana dan membunuh An Lu Shan."
"Aihh, Han-ko jangan terlampau memuji dan mengulang-ulang hal itu. Aku sendiri masih merasa malu membunuhnya tidak dengan tangan dan pedang, melainkan dengan racun dan sebagai kaki tangan Bouw Koksu," kata Kui Bi.
"Selain itu, Yang-kongcu, pada kesempatan ini, disaksikan pula oleh rekan seperjuangan, Bi-moi dan aku hendak membuat pengakuan yaitu bahwa kami berdua telah bersepakat untuk menjadi suami isteri. Sekarang dengan resmi aku mohon persetujuan Yang-kongcu dan juga Nona Yang Kui Lan sebagai saudara-saudara tuanya."

Sikap Sia Su Beng sungguh gagah dan jujur ketika mengucapkan kata-kata itu. Bahkan Kui Bi sendiri yang biasanya bersikap terbuka dan keras, menjadi tersipu sehingga kedua pipinya kemerahan mendengar lamaran yang dilakukan secara terbuka itu. Hui San yang juga memiliki watak ugal­ugalan dan terbuka, tertawa gembira dan dia segera berkata,

"Bagus, bagus! Sebelumnya aku mengucapkan kionghi (selamat) kepada calon sepasang mempelai yang berbahagia!" Ucapan ini membuat Kui Bi menjadi semakin tersipu.
"Aihh, Souw-twako. Pihak yang dilamar saja belum memberikan jawaban, engkau bahkan sudah tergesa-gesa memberi selamat!" Kui Lan mencela sambil tersenyum melihat ulah pria yang diam­diam semakin menarik hatinya itu.
"Jawaban apa lagi yang dapat kami berikan kecuali menerima pinangan itu dengan tangan dan hati terbuka!" kata Cin Han tersenyum.
"Aku dan adik Kui Lan sudah tahu akan hubungan antara Bi-mol dan Sia-ciangkun. Tentu saja kami merasa bersyukur dan setuju sepenuhnya. Kami berdua mewakili mendiang orang tua kami menerima pinangan Sia­ciangkun dan biarlah ciangkun yang menentukan hari dilangsungkannya pernikahan antara kalian."
"Ahh, aku tidak akan mau melangsungkan pernikahan sebelum Han-Koko dengan Lan-cici menikah lebih dulu atau setidaknya berbareng dengan aku, tentu saja kalau Lan-cici telah mempunyai calon. Kalau Han-koko, aku tahu telah memiliki calon, yaitu enci Kim Hong.”

Mendengar ini semua orang tersenyum dan Hui San segera berkata dengan lantang,
"Kalau aku tidak dianggap terlalu lancang dan terlalu rendah, aku mengajukan diri sebagai calon untuk mendampingi adik Kui Lan dalam menempuh hidup ini. Aku cinta kepadanya dan kalau dia sudi menerima, aku siap untuk meminangnya."

Kembali semua orang, kecuali Kui Lan, tersenyum mendengar pengakuan yang jujur ini. Mereka merasa berada di dalam dunia orang-orang gagah yang tidak membutuhkan lagi kepura-puraan.

"Bagaimana, Lan-moi? Jawablah supaya kita semua merasa lega dan yakin. Kalau benar engkau dapat menerima cinta kasih saudara Souw Hui San, biarlah kita semua, ke tiga pasangan melangsungkan pernikahan di sini setelah semua urusan kenegaraan ini beres dan berhasil baik."

Kui Lan adalah seorang wanita yang berperasaan halus, tidak seperti Kim Hong atau Kui Bi yang menghadapi pembicaraan terang-terangan tentang perjodohan mereka itu dengan tenang saja, bahkan dapat tersenyum gembira dan geli. Kui Lan tersipu dan tanpa berani mengangkat mukanya dia pun menjawab kakaknya.

"Ahh, urusan itu bagaimana nanti sajalah kalau sudah tiba saatnya. Bukankah kita semua mempunyai tugas lain yang teramat penting dan belum dilaksanakan?"

Enam muda-mudi itu segera mengatur siasat dan membuat persiapan untuk menyamar dan melakukan penyelidikan di lingkungan rumah Bouw Koksu. Ada pun Sia Su Beng juga membuat persiapan dengan semua panglima yang mendukungnya, mengatur siasat apa yang harus mereka lakukan nanti apa bila Pangeran An Kong dan Bouw Koksu hendak melaksanakan pengangkatan pangeran itu menjadi kaisar baru…..

********************
Istana sedang dalam suasana meriah namun sekaligus juga menegangkan. Semua orang mengetahui belaka bahwa akan terjadi hal-hal yang menegangkan, karena hari itu akan ada pengumuman dari Bouw Koksu mengenai pengangkatan Pangeran An Kong menjadi kaisar untuk menggantikan An Lu Shan yang tewas keracunan. Setelah lewat seratus hari kematian kaisar, barulah Bouw Koksu berani mengundang semua menteri dan panglima untuk berkumpul di ruang balairung, yaitu tempat yang biasanya digunakan kaisar untuk persidangan.

Sejak pagi para pembesar tinggi, para menteri dan panglima berdatangan dengan pakaian lengkap sehingga nampak suasana yang megah karena pakaian lengkap para pembesar itu berkilauan dan gemerlapan. Dengan angkuh Bouw-ciangkun sengaja datang bersama para perwiranya, semua nampak gagah dan berwibawa, seolah dia merasa bahwa dialah yang paling berkuasa di antara semua panglima,.

Hal ini juga tidak mengherankan karena dia merasa bahwa ayahnya adalah Guru Negara, dan bahwa ayahnya bersama dia merupakan orang-orang paling dekat dengan Pangeran An Kong, calon kaisar! Kedudukan tertinggi di dalam pemerintahan jelas akan terjatuh ke tangan ayahnya, dan pangkat panglima tertinggi sudah pasti akan jatuh kepadanya!

Sia Su Beng dan para panglima yang menjadi sekutunya nampak tenang-tenang saja dan mereka pun tidak bergerombol, melainkan berdiri di tempat masing-masing seperti biasa sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa mereka telah bersekutu.

Akan tetapi diam-diam Sia Su Beng telah memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pengepungan baik di istana mau pun di markas pasukan Bouw­ciangkun dan pasukan lain yang menjadi kaki tangan Pangeran An Kong dan Bouw Koksu. Semua telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dan karena jumlah pasukan Sia Su Beng digabung dengan pasukan para panglima lain merupakan lebih tiga perempat jumlah seluruh pasukan, maka dengan sendirinya kekuatan pasukan mereka yang menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar ini amat besar dan kuat.

Agaknya Bouw Koksu juga sudah membuat persiapan, namun tidak menduga sama sekali bahwa para panglima telah bersekutu dan mempersiapkan pasukan, menghimpun semua anak buahnya untuk siap siaga di istana. Dia memperhitungkan bahwa kalau ada menteri dan panglima yang hendak menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar, maka dia akan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penangkapan seketika itu juga. Dia mengerahkan semua tenaga sehingga rumahnya menjadi kosong, tidak ada prajurit yang menjaga rumah itu karena memang dianggap tidak perlu dijaga.

Keadaan ini justru membuat empat orang muda yang setiap hari melakukan pengintaian itu menjadi girang bukan kepalang. Dengan amat mudah Kui Lan yang mengenal seluruh keadaan rumah bekas tempat tinggalnya sejak dia masih kecil menjadi penunjuk jalan dan mereka berempat akhirnya berhasil memasuki taman di belakang gedung itu.

Tidak nampak seorang pun penjaga sehingga dengan mudahnya mereka melaksanakan pekerjaan mereka. Souw Hui San dan Yang Kui Lan berdua yang melakukan penggalian di bawah pohon itu, sedangkan Yang Cin Han dan Can Kim Hong melakukan penjagaan kalau-kalau ada orang lain yang melihat perbuatan mereka.

Karena dia sendiri yang menyimpan kotak kecil berisi Mestika Burung Hong Kemala itu, dengan mudah dan sebentar saja Hui San telah dapat menggali dan menemukan kembali pusaka itu. Sebelumnya dia memang telah mempersiapkan, maka kotak itu lalu dibungkus kain kuning dan diikatkan pada tubuhnya di sebelah dalam baju sehingga tak nampak dari luar, hanya pada bagian perutnya agak menonjol.

Sementara itu suasana di istana menjadi semakin tegang ketika Pangeran An Kong mulai memasuki ruangan balairung dengan diikuti Bouw Koksu serta beberapa orang panglima pendukungnya. Pangeran itu mengenakan pakaian yang sangat mewah gemerlapan, ada pun Bouw Koksu berjalan dengan langkah tegap. Di depannya berjalan seorang pejabat tua yang bertubuh tinggi kurus, yaitu pejabat istana yang tugasnya menyimpan pakaian kebesaran kaisar. Pembesar ini membawa sebuah kotak yang isinya mudah diduga, yaitu pakaian kebesaran dan mahkota kaisar!

Semua orang memberi hormat selayaknya kepada Pangeran An Kong, dan dengan sikap angkuh sang pangeran mempersilakan semua orang berdiri, sedangkan dia sendiri duduk di atas kursi gading. Kemudian dia menoleh dan mengangguk kepada Bouw Koksu yang membuka gulungan surat pengumunan dari kain sutera kuning, lalu membacanya dengan suara lantang.

"Mengingat betapa akan lemahnya sebuah pemerintah tanpa kaisar, dan mengingat pula bahwa Sribaginda Kaisar An Lu Shan telah wafat seratus hari yang lalu, maka kami, Bouw Hun, sebagai Koksu yang telah diberi wewenang oleh mendiang kaisar menimbang bahwa tidak ada yang lebih tepat untuk diangkat menjadi Kaisar baru kecuali Pangeran An Kong. Oleh karena itu, hari ini diumumkan oleh kami, disetujui pula oleh Pangeran Mahkota An Kong beserta para panglima, bahwa Pangeran An Kong dinobatkan menjadi Kaisar yang baru untuk menggantikan mendiang Kaisar yang wafat, dengan julukan Kaisar Su Tsung. Tertanda kami, Bouw Hun, Koksu dan para panglima yang namanya tersebut di bawah ini!" Koksu lalu membacakan nama semua panglima yang hadir.

"Tidak benar dan kami tidak setuju!" terdengar suara lantang yang mengejutkan Pangeran An Kong, Bouw Koksu dan kaki tangan mereka.

Semua orang langsung menengok dan memandang kepada Panglima Sia Su Beng yang berdiri dengan tegap dan gagah, matanya mencorong memandang kepada Bouw Koksu.

”Sia-ciangkun, engkau berani membantah keputusan yang sudah disetujui oleh Pangeran Mahkota dan para panglima?"
"Kami berani membantah karena ada beberapa hal yang bertentangan dengan kenyataan. Keterangan Bouw Koksu banyak yang palsu."
"Apa?! Berani engkau menuduhku sekeji itu? Katakan, mana yang palsu dan mana yang bertentangan dengan kenyataan? Katakan!" Bouw Koksu membentak.
"Dalam pengumuman tadi Bouw Koksu mengatakan bahwa para panglima yang namanya disebutkan, semua sudah menyetujui pengangkatan kaisar itu. Pernyataan ini merupakan kebohongan karena sebagian besar panglima, termasuk saya sendiri, tidak menyetujui. Para rekan panglima yang tidak setuju, harap berani mengangkat tangan!"

Ucapan Sia Su Beng ini disambut para panglima yang mengangkat tangan kanan mereka. Wajah Bouw Koksu dan wajah Pangeran An Kong berubah agak pucat, lalu wajah Bouw Koksu menjadi merah karena marah. Matanya melotot memandang kepada Sia Su Beng.


"Sia-ciangkun! Apa artinya perbuatanmu ini? Engkau menggerakkan para panglima untuk menentang pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar? Apakah ini berarti bahwa engkau hendak memberontak?”
"Sia-ciangkun, benarkah engkau hendak memberontak terhadap kami?!" Pangeran An Kong juga berseru untuk menaikkan wibawanya.

Sia Su Beng tersenyum.

"Maafkan hamba, Pangeran. Dan dengarlah engkau Bouw Koksu. Kami sama sekali tidak hendak memberontak, juga tidak hendak menentang Pangeran dinobatkan menjadi kaisar. Kami hanya ingin menunda pengangkatan atau penobatan itu, karena ada suatu hal yang membuat kami merasa penasaran. Seperti kita semua mengetahui, mendiang Sribaginda Kaisar tewas karena keracunan makanan. Jelas bahwa ada orang menaruhkan racun di dalam masakan beliau. Dan kami telah mendapat keterangan bahwa dalam hal kejahatan meracuni Sribaginda Kaisar itu, ada dua orang yang terlibat, yaitu orang dalam yang dekat dengan Sribaginda Kaisar!" Berkata demikian, Sia-ciangkun menatap wajah Pangeran dan Bouw Koksu yang nampak kaget sehingga mereka saling pandang.

Jelas bahwa Pangeran menjadi pucat sekali wajahnya, dan Bouw Koksu nampak tertegun sambil memandang seperti orang tidak percaya. Bouw-ciangkun juga berdiri gelisah, jelas nampak dari gerakan kedua kakinya yang tidak mau diam, seolah-olah dia sudah bersiap untuk lari.

"Sia-ciangkun, apa yang kau katakan ini? Kami juga sudah melakukan penyelidikan dan kami tahu siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sribaginda itu!"

Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata menantang, seolah dua ekor ayam jago yang hendak berlaga. Sia Su Beng tersenyum.

"Begitukah, Bouw Koksu? Kalau benar engkau sudah mengetahui siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sribaginda, mengapa tidak kau katakan? Nah, harap katakan siapa orangnya. Asal engkau jangan menuduh aku atau para panglima ini saja!"

Terdengar suara tawa mengejek di sana sini.
"Pelakunya adalah seorang dayang baru yang memasukkan racun di dalam masakan kaki biruang, kemudian dia pula yang menghidangkan masakan itu kepada Sribaginda. Kalau kalian mau tahu siapa dayang itu, dia adalah Yang Kui Bi, puteri ke dua dari mendiang Menteri Yang Kok Tiong, kakak mendiang selir Yang Kui Hui si iblis betina!"

Semua orang menjadi terkejut, termasuk Sia Su Beng. Akan tetapi kalau para panglima yang mendengar tuduhan itu terkejut dan tidak percaya, Sia Su Beng benar-benar terkejut karena tidak menyangka bahwa Bouw Koksu benar-benar telah mengetahui hal itu! Akan tetapi dia sengaja tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, Bouw Koksu, siapa mau percaya bualanmu itu? Kalau betul seperti yang kau katakan itu, mengapa engkau tidak menangkap pembunuh itu agar ada buktinya?"
"Dia terlalu licik dan berhasil meloloskan diri dari kota raja!" kata Bouw Koksu gemas.

Kembali terdengar suara tawa Sia Su Beng. "Ha-ha-ha-ha, bagaimana mungkin ini? Bouw Koksu yang terkenal lihai dengan banyak sekali anak buahnya, tidak mampu menangkap seorang gadis dayang? Cuwi ciangkun, apakah cerita ini dapat dipercaya?"

Para panglima tertawa-tawa dan menggeleng kepala. Melihat ini, Bouw Koksu tidak dapat menahan sabar lagi

"Sia­ciangkun dan para panglima yang telah dapat dihasut olehmu, apakah kalian semua tetap hendak memberontak dan menentang penobatan Pangeran menjadi Kaisar?"
"Kami tidak memberontak, tidak pula menentang penobatan, tetapi minta agar penobatan ditangguhkan sampai diketahui dengan tuntas tentang pembunuhan terhadap Sribaginda Kaisar. Kalau kelak ternyata Pangeran yang berdiri di belakang pembunuhan itu, dibantu oleh Bouw Koksu seperti yang telah kami dengar dengan menggunakan seorang dayang, maka tentu kami tidak setuju untuk mengangkat seorang pembunuh ayah kandung sendiri menjadi junjungan kami!"
"Yang Mulia Pangeran, mereka ini hendak memberontak! Sepatutnya mereka ditangkap! Harap paduka memberi perintah, maka hamba akan menangkap mereka!" Dengan marah Bouw­ciangkun memberi tanda kepada para pendukungnya untuk siap bergerak.

Sepasang kaki Pangeran An Kong sudah gemetar mendengar ucapan Sia Su Beng yang agaknya sudah mengetahui rahasia dia membunuh ayahnya. Dia pun tidak melihat jalan lain kecuali menggunakan kekerasan. Dia bangkit berdiri lalu menudingkan tangannya ke arah Sia Su Beng,

"Tangkap para pemberontak itu!"

Akan tetapi Sia Su Beng cepat mengeluarkan suara melengking panjang dan dari semua pintu ruangan itu bermunculan pasukan yang siap dengan anak panah mereka. Tentu saja Pangeran An Kong dan Bouw Koksu, juga Bouw Ki menjadi pucat melihat ini.

"Pemberontakan!" Bouw Koksu berseru.
"Sia-ciangkun, engkau mernberontak!" kata pula Pangeran An Kong.

"Pangeran, tidak ada yang memberontak terhadap mendiang Sribaginda Kaisar! Mereka yang merencanakan kematiannyalah yang memberontak. Demi keamanan negara, untuk sementara kami yang akan memimpin, dibantu oleh para panglima. Urusan pembunuhan ini akan kami selidiki sampai tuntas. Siapa pun yang menjadi dalangnya pasti akan kami seret ke muka pengadilan. Untuk sementara ini semua penghuni istana termasuk paduka pangeran, dilarang meninggalkan istana. Semua pejabat, termasuk Bouw Koksu, dilarang meninggalkan kota raja!”

Pangeran An Kong menjadi pucat, kemudian dengan suara lemah dia pun membubarkan persidangan dan mengundurkan diri ke dalam kamarnya. Bouw Koksu memberi isyarat mata kepada Bouw Ki lalu keduanya cepat-cepat meninggalkan istana, menuju ke gedung mereka sendiri. Keduanya nampak cemas dan gugup.

"Hemm, bagaimana sampai terjadi begini?" Bouw Hun mendesis marah kepada puteranya ketika mereka sudah berada di luar istana.
"Aku telah mempersiapkan semua pasukan, ayah, akan tetapi secara diam-diam agaknya mereka juga sudah mengepung istana ini. Lihat di sana."

Mereka melihat ada sejumlah besar pasukan telah mengepung istana sedangkan pasukan anak buah Bouw-ciangkun tidak nampak. Tadi mereka telah dilucuti lalu ditawan di dalam benteng!

Bukan itu saja, bahkan benteng pasukan Bouw Ki juga sudah dikuasai oleh pasukan Sia Su Beng. Melihat ini Bouw Ki menjadi pucat, dan dia bersama ayahnya cepat pulang ke gedung mereka.

"Celaka, kita terjebak!" kata Bouw Hun. "Selagi masih ada kesempatan, kita harus cepat meninggalkan kota raja. Mari kita berkemas!"

Tergesa-gesa mereka kembali ke gedung tempat tinggal mereka dan baru mereka ingat bahwa seluruh pasukan mereka tadi sudah dikerahkan ke istana sehingga di rumah itu tidak tertinggal seorang pun prajurit penjaga, hanya tinggal para pelayan di dalam gedung saja.

"Cepat siapkan kereta dengan dua kuda terbaik!" perintah Bouw Koksu kepada seorang pembantunya yang segera lari ke istal untuk mempersiapkan perintah majikannya.

Ayah dan anak itu segera berkemas, mengumpulkan harta berupa emas ke dalam sebuah peti, dan tidak lupa Koksu membawa pusaka yang masih mereka simpan, yaitu Mestika Burung Hong Kemala dalam kotak kecil hitam itu. Kotak ini kemudian dia bungkus dalam buntalan kain yang dia ikatkan ke punggungnya.

Sambil membawa pedang mereka, ayah dan anak ini kemudian berlari menuju ke depan di mana kereta dengan dua ekor kuda telah menunggu. Akan tetapi tak nampak seorang pun pelayan, bahkan pelayan yang tadi mempersiapkan kereta dan kuda juga tidak terlihat lagi. Pekarangan luas dari rumah gedung yang hendak mereka tinggalkan itu sunyi sekali. Ketika mereka menghampiri kereta, mendadak dari dalam kereta itu muncul empat orang yang membuat ayah dan anak itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Heh-heh-heh, Bouw Koksu, hendak pergi ke manakah?" kata Hui San sambil tersenyum lebar.
"Siapa... siapa engkau?!" bentak Bouw Koksu yang sudah merasa gelisah dan terkejut sekali ketika melihat Kirn Hong berada di antara mereka.
"Namaku Souw Hui San. Aku diperintah oleh arwah pamanku Souw Lok untuk menagih nyawa kepadamu. Nah, sekarang serahkan nyawamu, Bouw Koksu!"

Bukan main kagetnya rasa hati Bouw Hun. Maklumlah dia bahwa dia telah terhalang dan agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri lagi.

"Kim Hong, engkau yang pernah menjadi muridku dan pernah kami sayang seperti anak, sekarang balaslah budi kami dan singkirkan pemuda ini untuk kami!" kata Bouw Hun.

Kim Hong tersenyum mengejek.
"Bouw Hun, engkau tidak pernah melepas budi kebaikan kepadaku, melainkan perbuatan keji dan jahat. Lupakah engkau tentang tipuanmu kepadaku, memperkenalkan Ciang Kui sebagai ayah kandungku? Engkau hanya hendak memanfaatkan tenagaku, bukan benar-benar sayang kepadaku."
"Engkau... engkau manusia yang tak mengenal budi!" Bouw Hun memaki lalu menerjang maju dengan pedang bengkoknya, menyerang gadis itu.

Tetapi sesudah mengelak ke samping, sekali Kim Hong menampar sambil mengerahkan tenaganya, tubuh Bouw Hun lantas terpelanting. Memang betul ketika masih kecil sampai dewasa, Kim Hong adalah murid Bouw Hun. Tapi setelah dara ini menerima gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ilmu kepandaiannya sudah meningkat dengan hebat dan tentu saja kini Bouw Hun sama sekali bukan tandingannya lagi.

"Hemm, mengingat bahwa engkau pernah menjadi guruku, aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri." Sesudah berkata demikian gadis ini lalu menghadapi Bouw Ki, memandang dengan sinar mata marah.
"Bouw Ki, engkaulah yang layak mati di tanganku."
"Pengkhianat tak tahu malu!" Bouw Ki membentak, kemudian dia pun menerjang gadis itu dengan pedangnya.

Kim Hong menyambut dengan elakan. Mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan pedang Bouw Ki yang dilakukan dengan membabi-buta saking marah, gentar dan putus asa.

Sementara itu Hui San menghadapi Bouw Hun dan dia sudah mencabut pedangnya.

"Sekarang mari kita bertanding satu lawan satu untuk menyelesaikan hutangmu kepada mendiang Paman Souw Lok!"'.

Seperti juga puteranya, Bouw Hun tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri. Karena itu dia pun menjadi nekat dan sambil membentak marah, dia lalu menggunakan pedang bengkoknya untuk menyerang Hui San.

"Trangg…! Tranggg…!"

Dua kali Hui San menangkis serangan Bouw Hun, lantas dia membalas dengan tusukan pedangnya yang dapat pula dihindarkan Koksu itu dengan tangkisan pedang bengkoknya. Terjadilah dua pertandingan yang berat sebelah karena baik Bouw Ki mau pun Bouw Hun sama sekali bukan lawan setanding dengan Kim Hong dan Hui San.

Sementara itu Cin Han dan Kui Lan hanya menjadi penonton saja karena dua orang kakak beradik ini maklum bahwa kekasih mereka tidak akan kalah. Mereka hanya berjaga-jaga bila sampai kekasih mereka dikeroyok oleh anak buah Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun. Tadi mereka berempat telah merobohkan para pembantu Bouw Koksu yang berada di luar gedung, termasuk kusir kereta dan mereka yang mempersiapkan kereta dan kudanya di depan pintu.

Dalam pertandingan itu, yang keadaannya sangat payah adalah Bouw Ki. Pemuda Khitan yang sejak An Lu Shan berhasil dalam pemberontakannya seolah-olah kejatuhan bintang dan diangkat menjadi panglima dengan pakaian yang rnentereng ini, tentu saja mencoba untuk dapat menang dalam perkelahian itu.

Akan tetapi harapannya ini tentu saja kosong belaka karena dahulu pun, ketika mereka berdua masih menjadi murid Bouw Hun, di dalam latihan dia tidak pernah dapat menang melawan Kim Hong. Apa lagi setelah Kim Hong menjadi murid Hek-liong Kwan Bhok Cu dan minum darah ular Hitam Kepala Merah, tingkat kepandaian gadis itu menjadi tinggi sekali. Jangankan dia, bahkan ayahnya pun sekarang bukan tandingan Kim Hong.

Tidak seperti Hui San yang senang main-main, Kim Hong langsung saja mendesak bekas suheng-nya dengan tekanan­tekanan yang membuat Bouw Ki hanya dapat mengelak dan menangkis dengan pedang bengkoknya, sama sekali tidak dapat membalas.

Bouw Ki merasa gentar bukan main. Sepasang matanya yang biasanya tajam bagaikan mata burung rajawali itu kini terbelalak dan liar ketakutan, walau pun dia masih berusaha untuk menang, dengan sekuat tenaga menangkis setiap kali pedang di tangan Kim Hong menyambar.

Ujung pedang itu telah melukai bahu kirinya sehingga gerakannya menjadi semakin kaku. Ketika sinar pedang Kim Hong meluncur ke arah kepalanya, dengan seluruh sisa tenaga yang ada dia menggerakkan pedang bengkoknya menangkis.

"Trakkk!”

Patahlah pedang di tangan Bouw Ki dan pada detik berikutnya, tahu-tahu sinar pedang di tangan Kim Hong berkelebat dan pedang itu sudah menembus dada Bouw Ki. Bagaikan kilat menyambar, hanya sekejap saja pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu ketika tubuh Bouw Ki terjengkang. Bouw Ki mendekap dada kiri dengan tangan kanan, kemudian tewas seketika karena jantungnya sudah tertembus pedang.....

Bouw Hun yang sedang bertanding melawan Souw Hui San sempat pula melihat jatuhnya Bouw Ki. Tentu saja Bouw Hun menjadi terkejut dan berduka, juga marah sekali. Dia pun mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, lantas pedang bengkoknya mengamuk.

Tadi Hui San hanya main-main saja, tidak bersungguh-sungguh. Ketika melihat Kim Hong telah merobohkan lawannya, dia segera mempercepat gerakan pedangnya, maka amukan pedang bengkok di tangan Bouw Hun itu tidak ada artinya. Ilmu pedang Gobi-pai memang indah dan juga amat cepat gerakannya.

"Orang she Bouw, pergilah engkau menyusul anakmu!" bentaknya.

Kini sinar pedangnya bergulung-gulung, mengurung lawan sehingga membuat Bouw Hun menjadi bingung. Terdengar bunyi berdentang setiap kali kedua pedang itu saling bertemu hingga akhirnya sebuah sabetan pedang di tangan Hui San mengakhiri perlawanan Bouw Hun.


Bouw Hun roboh terpelanting dengan leher hampir putus terbabat pedang. Tewaslah ayah dan anak itu. Tepat ketika Bouw Hun roboh, terdengar gerakan orang dan Sia Su Beng sudah tiba di situ, bersama Yang Kui Bi yang masih mengenakan pakaian prajurit, seperti juga empat orang muda itu yang semuanya menyamar sebagai prajurit.

"Bagus sekali, mereka sudah berhasil ditewaskan," kata Sia Su Beng.

Dia pun segera menghampiri mayat Bouw Hun, lalu merenggut buntalan yang berada di punggung bekas Koksu itu dan membuka kain buntalannya. Ternyata berisi sebuah kotak hitam dan ketika tutupnya dibuka, wajah panglima itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Mestika Burung Hong Kemala!" Sia Su Beng berseru dan dia pun menutup kembali kotak itu, merapikan buntalan lalu menggantungkan buntalan pada pundaknya.

Hui San dan Kui Lan saling pandang. Gadis itu dapat melihat betapa pemuda itu sedikit menggeleng kepalanya, tanda bahwa dia tidak boleh bicara tentang pusaka itu kepada Sia Su Beng. Biar pun dia merasa heran kenapa sikap kekasihnya seperti itu, namun Kui Lan tidak bertanya dan juga juga tidak bicara sesuatu. Mengapa Hui San membiarkan Sia Su Beng tertipu dan menyimpan pusaka palsu?

"Mulai sekarang Kakak Cin Han dan Enci Kui Lan boleh menempati kembali rumah yang sebetulnya memang milik keluarga Yang ini. Aku akan menyuruh satu regu prajurit untuk melakukan penjagaan, juga beberapa orang pelayan untuk mengatur rumah."

Kui Bi merangkul enci-nya. "Enci lan, kalau saja ayah dan ibu masih ada, alangkah akan bahagianya mereka melihat kita bisa merebut kembali rumah kita..." Kui Bi yang biasanya tabah dan lincah periang, itu kini menangis di pundak enci-nya.

"Tenangkan hatimu, adik Bi. Biar pun sudah meninggal dunia, aku yakin mereka melihat peristiwa ini dan ikut berbahagia."

Setelah Sia Su Beng pergi bersama Kui Bi yang agaknya sekejap pun tidak mau berpisah dari tunangannya itu, Kui Lan, Kim Hong, Cin Han serta Hui San mulai mengatur rumah gedung yang merupakan tempat yang sangat dikenal oleh Cin Han dan Kui Lan karena di rumah inilah mereka lahir dan dibesarkan…..!

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-12
LihatTutupKomentar