Mestika Burung Hong Kemala Jilid 12


Entah sudah berapa ratus kali Pangeran An Kong berjalan hilir mudik di dalam kamar itu, seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Wajahnya yang tampan dan biasanya pesolek itu kini tak terawat, sudah beberapa hari tidak mandi dan bahkan tidak bergantii pakaian. Jarang pula dia dapat makan walau pun ada makanan yang dihidangkan oleh pelayan.

Dia menjadi orang tahanan. Tahanan rumah, atau lebih tepat lagi tahanan kamar karena dia selalu berada di dalam kamarnya dan rumahnya sudah dijaga ketat oleh prajurit anak buah Panglima Sia Su Beng. Dia tidak diperkenankan keluar dari rumah itu!

Apa lagi setelah dia mendengar bahwa Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun tewas terbunuh, dan semua pasukan yang tadinya mendukung Bouw Koksu telah dilucuti dan ditundukkan oleh Panglima Sia Su Beng, bahkan hampir semua panglima kini menakluk dan menyerah kepada Panglima itu, Pangeran An Kong menjadi putus asa dan bingung.

Pada suatu siang, ketika dia sedang hilir mudik di dalam kamarnya seperti seekor harimau di dalam kurungan, terdengar langkah kaki di luar kamarnya, Pangeran An Kong mengira ada penjaga atau pelayan yang memasuki kamar, maka dia telah siap untuk memaki dan mengusirnya. Akan tetapi yang masuk ternyata adalah Panglima Sia Su Beng!

Melihat munculnya musuh besar ini, An Kong segera bangkit berdiri dan mengambil sikap bermusuhan, berdiri tegak sambil membusungkan dada bagai sikap seorang atasan yang sedang menghadapi seorang bawahannya.

"Sia Ciangkun, apakah engkau datang hendak membebaskan aku?" tanya Pangeran An Kong dengan sikap angkuh.

Di dalam hatinya pangeran ini menaruh dendam dan andai kata dia mendapat kekuasaan tertinggi, maka perintah pertama yang akan keluar dari mulutnya tentulah menangkap dan menghukum berat panglima yang kini berdiri di depannya itu.

"Pangeran. Kami datang untuk mempertemukan pangeran dengan wanita yang dulu kau suruh meracuni Sri baginda An Lu Shan."

Sia Su Beng tidak mempedulikan perubahan wajah pangeran itu yang menjadi pucat, dan dia menoleh ke pintu. Dari pintu itu masuklah gadis cantik jelita sambil membawa sebuah baki di mana dapat sebuah cawan emas.

Pangeran An Kong terbelalak. Mukanya menjadi semakin pucat seakan-akan dia sedang melihat hantu, bukan melihat seorang gadis cantik jelita yang dengan anggunnya sedang melangkah ke dalam kamar sambil membawa baki dengan kedua tangan di depan dada. Baki itu menambah keindahan gayanya berjalan sebab dia harus mengatur keseimbangan langkahnya supaya arak di dalam cawan itu tidak tumpah, membuat langkahnya menjadi lenggang yang gemulai seperti seorang penari. Dia melihat Kui Bi, gadis dayang itu, yang dulu pernah menarik hatinya, memikat gairahnya, gadis yang kemudian dia peralat untuk menaruh racun dalam hidangan ayahnya sehingga akhirnya ayahnya, An Lu Shan, tewas keracunan.

Sekarang dengan lenggang manis sekali gadis itu memasuki kamar membawa baki berisi cawan. Dengan gaya serta gerakan yang memikat, Kui Bi yang kini mengenakan pakaian wanita meletakkan baki dengan secawan emas arak itu ke atas meja, kemudian dia berdiri sambil memandang pangeran dengan senyum manis di bibirnya.

"Kau…?!" Pangeran An Kong berseru keras karena sekarang timbul harapan untuk dapat membersihkan diri dengan menangkap pelaku pembunuhan terhadap ayahnya. "Engkau yang membunuh Sribaginda!"

Senyum itu makin melebar sehingga nampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, menambah kuat daya tarik wajah gadis jelita itu.

"Bukan aku yang membunuhnya, tetapi engkau yang menyuruh kaki tanganmu menyamar sebagai dayang, pekerja dapur dan thaikam. Engkau yang membunuh ayahmu sendiri An Kong, bukan orang lain," kata Kui Bi dengan suara tenang dan merdu tapi mengandung ejekan.
"Engkau yang membunuh, keparat! Engkau harus ditangkap dan harus mengaku!"

Dalam keadaan yang putus asa dan nekat, Pangeran An Kong mengerahkan tenaganya lalu meloncat, menubruk hendak menangkap gadis jelita itu untuk memaksanya mengakui sebagai pembunuh An Lu Shan. Namun dia mengalami kejutan yang lebih hebat lagi.

Ternyata tubrukannya luput, bahkan kaki gadis itu menyambar dari samping dengan amat cepatnya sehingga dia yang menguasai ilmu silat yang cukup tangguh pun tidak mampu rnenghindar lagi.

"Dukkk!"

Perutnya tertendang dan dia pun terpelanting keras. Tentu saja dia terkejut setengah mati dan sesudah dia dapat berdiri kembali, dia pun memandang kepada Kui Bi dengan penuh keheranan. Gadis itu tersenyum manis dengan pandangan mata penuh ejekan padanya.

"Kau... kau... sebenarnya siapakah…?" tanyanya gagap.
"Engkau tidak secerdik Bouw Hun yang dapat menduga siapa aku. Aku adalah Yang Kui Bi, puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Ayah ibuku tewas akibat pemberontakan An Lu Shan."
"Ahhhh…!" An Kong terperangah dan tahulah dia bahwa dia bahkan telah diperalat gadis itu yang hendak membalas dendam kepada An Lu Shan.
"Lebih dari itu, An Kong. Dia adalah calon isteriku!" kata pula Sia Beng dan mendengar ini, An Kong menjadi semakin putus asa.
"Sia-ciangkun, lalu kau... kau... mau apa? Apa artinya kalian membawa cawan arak itu?" Dia menuding ke arah cawan arak itu dan telunjuknya yang menuding nampak gemetar.

"Ada dua pilihan bagimu, An Kong. Engkau tidak akan terluput dari kematian, akan tetapi hukuman mati ini ada dua macam dan boleh kau pilih. Kalau engkau minum arak itu maka engkau akan mati tanpa menderita badan dan hati. Kalau engkau menolak maka engkau akan diseret sebagai seorang penjahat besar yang sudah membunuh ayahnya sendiri dan engkau akan dihukum mati di depan rakyat, akan menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Sekarang engkau tinggal memilih," kata Sia Su Beng.

Wajah bekas pangeran itu pucat seperti mayat. Dia pun maklum bahwa nekad melawan panglima itu tidak ada gunanya, apa lagi di situ terdapat Yang Kui Bi yang baru sekarang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Juga dia tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Dia membayangkan dirinya diseret, dicaci dan dihina sebagai seorang penjahat pembunuh ayahnya sendiri, kemudian disiksa sampai mati. Terbayang dia akan wajah ayahnya yang dilihatnya untuk terakhir kali sebelum dimasukkan ke dalam peti, wajah yang menyeringai seperti orang kesakitan.

Dia bergidik ngeri, lalu menghampiri meja, menyambar cawan emas itu dan tanpa berpikir panjang lagi, dalam keadaan orang yang berputus asa, dia lalu menuangkan isi cawan ke dalam mulutnya yang terbuka dan langsung menelannya.

Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh, maka dia masih diselimuti harapan kalau-kalau Panglima Sia Su Beng hanya menggertak dan membohonginya saja. Dengan tenang dia meletakkan kembali cawan emas yang telah kosong ke atas baki lantas tertawa bergelak.

Entah mengapa dia merasa keadaannya sangat lucu. Dia digertak dan diancam, ternyata semua itu hanya permainan belaka. Dia terpingkal lalu menjatuhkan diri duduk lagi di atas kursinya.

Panglima Sia Su Beng dan Yang Kui Bi memandang dengan sinar mata dingin. Bahkan wajah mereka tidak memperlihatkan sesuatu ketika suara tawa dari pangeran itu tiba-tiba mulai berubah, dari tawa menjadi rintihan dan wajah yang tadinya tertawa itu berubah, kini menyeringai karena kesakitan.

Tubuh pangeran itu kemudian terkulai. Terdengar suara berdetak ketika dia menjatuhkan dahinya ke atas meja. Sia Su Beng melangkah mendekati lantas meraba nadi tangannya yang terkulai. Pangeran itu sudah tewas!

Sia Su Beng mengangguk kepada Yang Kui Bi, lalu keduanya meninggalkan kamar itu dengan tenang. Panglima Sia Su Beng kemudian menyiarkan kabar bahwa Pangeran An Kong sudah membunuh diri karena merasa menyesal atas perbuatannya membunuh dan meracuni ayahnya sendiri.

Berita itu diterima dengan sikap amat dingin dan acuh oleh para panglima. Kini sebagian dari para panglima adalah mereka yang masih setia kepada Kerajaan Tang, sedangkan sebagian lagi merupakan pasukan yang sudah tunduk kepada Panglima Sia Su Beng dan akan menaati semua perintah panglima ini.

Sia Su Beng berada di dalam ruangan tertutup, berdua saja dengan kekasihnya, Yang Kui Bi.

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, koko?" tanyanya Kui Bi. "Apakah kita tinggal menanti kembalinya Kaisar, atau memberi kabar ke barat agar Sribaginda cepat pulang ke sini karena kita sudah menguasai keadaan di sini dan menundukkan semua bekas anak buah An Lu Shan?"

Sia Su Beng yang duduk di kursi mengerutkan alisnya. "Memang semuanya telah berjalan lancar sesuai dengan rencana kita. An Lu Shan dan An Kong sudah tewas, semua anak buahnya dapat kita tundukkan tanpa pertempuran yang berarti, dan semua panglima bisa kupengaruhi sehingga mereka semua kini tunduk padaku. Mengembalikan tahta kerajaan kepada Sribaginda Kaisar hanya tinggal pelaksanaan saja. Akan tetapi ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu sebelum aku membicarakan dengan para panglima siang ini. Mereka telah kuperintahkan agar siang hari ini berkumpul untuk kuajak berunding.”

Kui Bi memandang penuh perhatian. "Ada masalah pelik apakah. koko? Engkau kelihatan begini serius?"

"Begini, Bi-moi. Engkau mengetahui sendiri betapa susah payahnya kita menghadapi An Lu Shan dan mengatur siasat, kemudian melaksanakannya dengan taruhan nyawa. Kalau saja tidak kebetulan aku mengetahui, bahkan aku akan kehilangan engkau ketika engkau menyusup ke dalam istana. Jelas kita telah mengorbankan segalanya untuk melenyapkan kekuasaan An Lu Shan dan An Kong yang dibantu ayah dan anak she Bouw itu."

"Memang benar, koko. Akan tetapi itu memang sudah tugas kita, dan di samping itu aku sendiri juga sangat membenci An Lu Shan karena dialah penyebab hancurnya keluargaku, penyebab kematian ibu dan ayahku. Dan bukankah memang sudah sepatutnya kalau kita membela Sribaginda Kaisar kerajaan Tang?"

"Nah, itulah soalnya, Bi-moi! Andai kata Sribaginda Beng Ong masih tetap menjadi kaisar Kerajaan Tang, aku pun tidak akan meragu lagi untuk menyerahkan tahta kerajaan yang berhasil kita rampas dari An Lu Shan serta anak buahnya ini kepada beliau. Akan tetapi ada satu hal yang membuat hatiku risau dan tidak rela. Aku mendengar bahwa Sribaginda Kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada Pangéran Su Tsung sehingga kini dialah yang menjadi kaisar! Aku tidak rela menyerahkan tahta kerajaan kepada pangeran yang lemah dan pengecut itu. Kita yang bersusah payah mempertaruhkan nyawa, ehh…, dia yang enak-enakan dan secara pengecut lari terbirit-birit ketika pasukan An Lu Shan menyerang kota raja, kini begitu saja mendapatkan tahta kerajaan ini. Aku tidak rela!"

"Akan tetapi, koko, kalau tidak kau serahkan kepada Kerajaan Tang, walau pun sekarang kaisarnya telah diganti, lantas apa yang hendak kau lakukan?" Kui Bi memandang dengan penuh selidik dan heran.

"Kui Bi, di dunia ini engkaulah satu-satunya orang yang kucinta dan kupercaya, maka aku pun akan mengatakan terus terang padamu, dengan harapan engkau akan mendukungku. Tanpa dukunganmu maka aku merasa lemah. Kupikir kita sudah terlalu banyak berkorban untuk merebut kembali tahta kerajaan ini. Bila Sribaginda Kaisar Beng Ong memang telah mengundurkan diri, maka kita harus berhati-hati, tidak demikian mudah saja menyerahkan tampuk kerajaan kepada orang yang tidak sepatutnya menjadi junjungan kita. Oleh karena itu aku akan menanti dan melihat apakah Pangeran Su Tsung itu pantas menerima tahta kerajaan ini."

Kui Bi memandang ke sekeliling. Mereka berada di sebuah ruangan di dalam istana yang kini untuk sementara dijadikan tempat tinggal Sia Su Beng. Hal ini sudah sepatutnya dan memang sudah disetujui oleh semua panglima serta pembesar yang berpihak kepadanya karena untuk menjaga agar jangan ada kekuatan lain mempergunakan kesempatan selagi istana itu kosong tidak ada penghuninya lalu melakukan pemberontakan dan perampasan.

Kui Bi seperti dapat meraba isi hati kekasihnya. "Akan tetapi, koko. Bukankah Pangeran Su Tsung yang berhak atas tahta kerajaan? Apa lagi dia diangkat oleh Sribaginda Kaisar Beng Ong, dan..."

"Tidak, Bi-moi. Pengangkatan itu terlampau tergesa-gesa dan tidak sah, karena dilakukan dalam pelarian dan tidak disetujui oleh para pejabat dan panglima. Bagaimana mungkin tahta kerajaan yang menyangkut nasib seluruh rakyat negeri diserahkan begitu saja? Kita harus mempertahankan tahta kerajaan ini dengan mengangkat seseorang yang memang patut untuk menjadi pemimpin negara. Lihat saja apa yang terjadi dengan Kerajaan Tang karena kaisarnya lemah dan mudah dipermainkan selir, dipermainkan para penjilat hingga berhasil dirampas oleh An Lu Shan. Kerajaan ini harus menjadi besar dan jaya, dan tidak mudah diganggu pemberontak."

"Bagaimana kalau kemudian engkau menilai bahwa tidak ada orang yang pantas menjadi kaisar, koko? Apakah engkau sendiri...?!"
"Kenapa tidak, Bi-moi? Apa salahnya? Ingat, Bi-moi, kaisar Kerajaan Tang berikut seluruh keluarga serta pembantunya sudah melarikan diri terbirit-birit dan siapakah yang merebut kembali tahta kerajaan dari tangan pemberontak An Lu Shan? Kita! Sedikit pun tidak ada usaha dari keluarga kerajaan yang sudah melarikan diri itu yang membantu tewasnya An Lu Shan dan An Kong, dan membantu terampasnya kembali kerajaan ini. Hanya kita dan para panglima yang membantu kita! Maka, bukankah sudah sepantasnya kalau kita pula yang menikmati hasilnya? Dan kalau mereka semua itu memilih aku yang menjadi kaisar, apakah engkau tidak suka menjadi permaisuriku?"

Kui Bi terbelalak. Sama sekali tidak mengira bahwa kekasihnya memiliki ambisi sebesar itu. Menjadi permaisuri! Hatinya merasa bimbang. Apakah ini suatu pengkhianatan? Akan tetapi memang tidak bisa disangkal bahwa kekasihnyalah yang paling berjasa, sedangkan orang-orang lain itu hanya membantunya. Kemudian dia teringat kepada kakak­kakaknya. Mereka Itu setia kepada Kerajaan Tang. Apakah mereka akan setuju?

"Tapi... engkau... ehh, kita akan berhadapan dengan mereka yang setia kepada Kerajaan Tang, koko dan..."
"Itu resikonya, Bi-moi. Semua cita-cita yang besar tentu selalu bertemu dengan tantangan dan tentangan, tetapi kita harus mampu mengatasinya. Kalau aku menjanjikan kedudukan tinggi, bahkan mulai sekarang membagi-bagikan kedudukan tinggi kepada para panglima dan cerdik pandai yang tenaga serta kepandaiannya kita butuhkan untuk mengemudikan pemerintahan, kurasa tidak akan ada orang yang mampu melawan kita. Aku tahu, Bi-moi, beberapa orang kang-ouw, bahkan termasuk kakak-kakakmu dan teman­temanmu, boleh jadi akan merasa tidak setuju dan mereka tetap setia kepada Kerajaan Tang. Nah, untuk urusan ini, engkaulah yang kuharapkan dapat membantuku untuk membujuk mereka agar mau membantu kita. Tentu saja kita akan mengangkat mereka menduduki jabatan yang terhormat dan mulia."

Kui Bi menjadi semakin bimbang. Mendengar ucapan kekasihnya itu, dia membayangkan kekasihnya menjadi kaisar dan dia sendiri menjadi permaisuri sehingga timbul gairahnya. Akan tetapi mengingat kakak­kakaknya, dia menjadi bimbang ragu dan khawatir.

"Koko, bagaimana kalau mereka, terutama Han-ko dan Lan­ci, menolak untuk membantu kita?"

Sia Su Beng menarik napas panjang. "Kalau memang begitu, terserah kepadamu, Bi-moi. Engkau tahu bahwa aku cinta padamu. Ingat, perjuanganku ini bukan demi kepentinganku sendiri, melainkan juga untuk masa depanmu dan masa depan anak-anak kita kelak maka engkaulah yang harus memilih antara cintamu kepadaku atau cintamu kepada mereka."

"Koko!" Kui Bi mengerutkan alisnya dan menggigit bibir.

Sia Su Beng cepat menghampiri dan merangkulnya. "Sudahlah, Bi-moi. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan bijaksana, tentu mengetahui apa yang terbaik bagimu. Aku akan berangkat ke ruang persidangan karena mereka tentu sudah berdatangan."

"Yang kukhawatIrkan bukan pendirian kakak-kakakku saja, koko, akan tetapi bagaimana kalau rakyat menolak? Dan para pembesar di daerah-daerah yang begitu luasnya? Tanpa dukungan rakyat dan para penguasa daerah, bagaimana engkau dapat berhasil?"

Sia Su Beng tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kotak hitam dari dalam almari, membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya kepada kekasihnya.

”Lupakan engkau kalau Mestika Burung Hong Kemala telah berada di tangan kita, Bi-moi? Pusaka ini adalah lambang kekuasaan kaisar. Kalau aku yang memilikinya, maka berarti kita mempunyai lambang kekuasaan tertinggi!"

Sambil tersenyum dia memasukkan kotak ini ke dalam buntalan kain dan mengikatkan di pinggang, di sebelah dalam baju panglimanya. Dia hendak menggunakan benda pusaka itu untuk mempengaruhi para panglima dan calon pembesar. Kemudian, setelah mencium dahi kekasihnya, dia pun meninggalkan Kui Bi yang masih termenung.

Tidak lama setelah Sia Su Beng meninggalkannya, dalam keadaan risau Kui Bi keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya sendiri. Pada saat itu dia melihat Kui Lan yang agaknya memang datang berkunjung kepadanya.

"Enci Lan!"

Bukan main girangnya rasa hati Kui Bi melihat enci-nya, seperti orang kehausan melihat air sebab dalam keadaan risau seperti itu dia membutuhkan orang yang dekat dengannya untuk menumpahkan kerisauannya. Kui Lan agak heran dan bingung melihat adiknya. Dia langsung merangkulnya dan wajah adiknya nampak demikian muram.

"Ehh, engkau kenapakah, adikku?
"Mari kita bicara di dalam, enci," kata Kui Bi dan dia menarik enci-nya memasuki kamar kemudian menutup daun pintu kamarnya. Begitu mereka duduk di tepi pembaringan, Kui Bi pun menangis.
"Ehh, kenapakah engkau ini?" Kui Lan merasa khawatir karena tidak biasa adiknya yang keras hati ini menangis.

Setelah menghapus air matanya dan dapat menenangkan hatinya, Kui Bi lalu menuturkan semua tentang cita-cita Sia Su Beng yang tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung, yaitu kaisar baru pengganti kaisar Beng Ong yang sudah menyerahkan mahkota kepada puteranya itu.

Mendengar ini, tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Akan tetapi dia bersikap tenang, sesuai dengan wataknya, apa lagi dia tahu benar bahwa adiknya amat mencinta panglima itu. “Tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengangkat diri menjadi kaisar? Yang memiliki wewenang adalah Pangeran Su Tsung yang sekarang sudah mewarisi mahkota ayahnya, yaitu Sribaginda Beng Ong. Para pejabat istana, pejabat daerah, juga rakyat tentu akan menentangnya!"

"Dia memiliki lambang kekuasaan kaisar, yaitu Mestika Burung Hong Kemala, enci Lan."
"Tapi itu adalah pusaka yang palsu!" Saking hanyut oleh kekhawatiran terhadap adiknya, kata-kata ini keluar begitu saja dari mulut Kui Lan. Dia terkejut dan menyesal, akan tetapi terlambat karena telah diucapkannya. Kui Bi mengangkat muka menatap wajah enci-nya.
"Kalau begitu, di mana pusaka Mestika Burung Hong Kemala yang asli enci Lan?"

Terjadi perang di dalam hati Kui Lan, walau pun hanya sebentar. Betapa pun besar rasa sayangnya terhadap Kui Bi, namun kalau adiknya itu membantu Sia Su Beng yang jelas hendak melakukan pemberontakan, maka adiknya itu keliru. Dia segera dapat mengatasi keraguannya dan menggelengkan kepalanya sambil berkata,

"Aku tidak tahu," lalu disambungnya cepat-cepat. "Bi­moi, kenapa dia hendak melakukan ini? Engkau harus mengingatkannya adikku. Dia telah bertindak keliru dan sesat! Engkau tidak boleh membantunya, Bi-moi!"

"Enci Lan, engkau tahu bahwa aku sangat mencintanya dan aku pun siap mengorbankan nyawaku untuk Beng-koko. Dia adalah calon suamiku, dan aku cinta padanya seperti dia mencintaku. Lagi pula setelah aku berbantahan dengan dia, aku melihat kebenaran dalam pendiriannya. Sribaginda Kaisar Beng Ong kini telah mengundurkan diri dan menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung. Ketika bahaya datang, pangeran itu melarikan diri dan kita semualah yang sudah bersusah payah menewaskan An Lu Shan dan An Kong. Kita semua, terutama sekali Beng-koko yang sudah melumpuhkan semua pengikut An Lu Shan dan merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak itu. Apakah hasil semua ini akan diserahkan begitu saja kepada seorang pangeran penakut yang hanya enak-enakan melarikan diri ke barat? Beng-ko tidak melihat harapan baik kalau kita diperintah seorang kaisar seperti itu. Oleh karena itu, enci Lan, marilah kau bantu kami. Mari kita bujuk Han-ko agar suka membantu, juga Souw Hui San dan Can Kim Hong. Aku yang menanggung bahwa kelak tentu kalian berempat akan menerima imbalan yang pantas, menjadi orang-orang yang mulia dan berkuasa dengan kedudukan tinggi."

Kui Lan menggigit bibir. Adiknya ini mengingatkan dia kepada bibinya, rnendiang Yang Kui Hui, selir yang berambisi besar itu. Ingin dia menampar adiknya, akan tetapi ditahannya karena dia segara menyadari bahwa dia dan Souw Hui San, juga kakaknya Cin Han dan Kim Hong, berada dalam bahaya kalau menentang Kui Bi dan Sia Su Beng. Dia menghela napas kemudian mengangguk.

"Akan kubicarakan dengan Han-ko tentang semua ini, Bi-moi."

Lalu dia luar dari dalam kamar itu. Hatinya perih dan seluruh tubuhnya lemas. Dia seperti mendapat firasat bahwa dia tidak akan bertemu lagi dengan adiknya yang tersayang itu. Terlampau lebar jurang yang memisahkan mereka. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi pengkhianat dan balik membantu pemberontak, walau pun pemberontakan itu dilakukan oleh adiknya sendiri dan kekasih adiknya?

Ketika dia tiba kembali di tempat mereka berempat tinggal, yaitu di gedung bekas tempat tinggal ayahnya dulu, Kui Lan melihat Hui San, Cin Han dan Kim Hong sedang duduk di beranda depan, agaknya memang menanti-nanti kembalinya dari istana.

"Mari kita bicara di dalam," kata Kui Lan kepada mereka.

Mendengar suaranya yang lirih dan gemetar, juga wajah gadis itu yang muram dan sinar matanya yang mengandung kegelisahan, tiga orang itu cepat bangkit lantas mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana mereka dapat bicara tanpa didengar dan dilihat orang lain.

"Ada apakah, Lan-moi? Engkau mendengar sesuatu di istana?" tanya Cin Han, khawatir pula melihat sikap adiknya. Kui Lan menahan tangisnya, teringat kepada Kui Bi.
“Sungguh celaka, Han-ko! Ternyata Sia Su Beng sedang merencanakan pemberontakan dan pengkhianatan. Dia tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada Kaisar Kerajaan Tang, malah agaknya hendak mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, menjadi kaisar!"

Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali.

“Aih, aku sudah curiga kepadanya ketika melihat sinar matanya pada saat dia mengambil Mestika Burung Hong Kemala dari tubuh Bouw Koksu!" kata Hui San.
"Lan-moi, apa alasannya?" tanya Cin Han.
"Ia berpendapat bahwa Pangeran Su Tsung yang sekarang telah diangkat menjadi kaisar untuk menggantikan Sribaginda Kaisar Beng Ong, bukan orang yang tepat untuk menjadi kaisar."

Kemudian Kui Lan mulai menceritakan semua yang dia dengar dari Kui Bi, didengarkan oleh tiga orang itu dengan alis berkerut.

"Bahkan Kui Bi minta agar aku membujuk kalian bertiga supaya suka membantu Sia Su Beng dengan janji kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi."
"Gila!" Cin Han memaki marah sekali. "Sudah gilakah adik kita itu?"

Kim Hong mencela kekasihnya. “Han-ko, kita tahu bahwa adikmu itu sangat mencinta Sia Su Beng, dan demi cintanya, seseorang dapat melakukan apa saja."

"Han-ko, yang penting sekarang adalah, apa yang harus kita lakukan?" Kini Souw Hui San bicara. Meski pun dia seorang yang lincah jenaka dan kadang ugal-ugalan, tetapi sekali ini dia amat berhati-hati karena ini menyangkut Kui Bi, adik kekasih hatinya.

'Kurasa kita tidak dapat berbuat apa-apa. Mana mungkin kita berempat dapat menentang Sia Su Beng dengan pasukannya yang besar? Dialah yang memegang kekuasaan di sini, maka kita tidak akan dapat berbuat apa pun untuk mencegah kehendaknya itu. Apa lagi menurut Lan-moi sekarang dia sedang mengadakan perundingan dengan para panglima dan pejabat."

"Lalu bagaimana dengan adikku Kui Bi?" tanya Kui Lan bingung
"Kurasa dia sudah dewasa dan dapat menentukan langkahnya sendiri. Kalau memang dia menganggap bahwa tunangannya itu benar, apa yang dapat kita lakukan?" Hui San bicara lembut, menghibur. "Yang penting, sekarang juga kita harus cepat meninggalkan tempat ini, meninggalkan kota raja demi keamanan pusaka itu."

"Hui San benar!" kata Cin Han. "Engkau tadi mengatakan bahwa engkau telah kelepasan bicara, Lan-moi, mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala yang ditemukan Sia Su Beng itu palsu. Kalau Kui Bi menyampaikan ucapanmu itu kepada Sia Su Beng, tentu dia akan curiga terhadap kita sehingga akan melakukan pertanyaan atau penggeledahan. Kita harus cepat meninggalkan kota raja, sekarang juga."

"Kukira memang itu jalan satu-satunya," kata Kim Hong membenarkan kekasihnya. "Kita pergi ke barat, bergabung dengan pasukan kerajaan, dan kita laporkan semua ini kepada Sribaginda dan Panglima Kok Cu It."
"Akan tetapi... bagaimana dengan adikku? Tidak mungkin kita meninggalkan dia sendirian saja di sini bersama Sia Su Beng yang hendak memberontak...,” kata Kui Lan.

"Lan-moi, jangan bicara demikian. Kui Bi memang adik kita, akan tetapi dia sudah dewasa dan dia berhak menentukan langkah hidupnya sendiri. Jika dia memang mencintai Sia Su Beng dan menganggap bahwa tunangannya itu benar, itu adalah haknya. Ingatlah bahwa Sia Su Beng sudah meminangnya dengan resmi dan kita sudah menyetujui, hal itu berarti bahwa yang berhak atas diri Kui Bi adalah Sia Su Beng, calon suaminya, bukan kita. Kita tahu bahwa Kui Bi memiliki watak yang keras, tak akan ada gunanya kalau kita mencoba membujuknya, bahkan membahayakan kita. Mari, sekarang juga kita pergi meninggalkan kota raja."

Kui Lan tidak dapat membantah dan berkemas sambil menangis, menangisi adiknya. Tak lama kemudian empat orang muda itu sudah keluar dari pintu gerbang sebelah barat kota raja.

Para penjaga sudah tahu siapa mereka, para pendekar yang dekat dengan Panglima Sia Su Beng. Oleh karena itu tidak ada yang berani bertanya, apa lagi menghalangi mereka keluar dari pintu gerbang.....

********************

"Coba saja kalian pertimbangkan baik-baik. Sribaginda Kaisar Beng Ong dengan begitu saja menyerahkan mahkota Kerajaan Tang kepada Pangeran Su Tsung! Kita semua tahu orang macam apa pangeran itu. Seorang yang lemah dan pengecut! Ketika An Lu Shan memberontak, pantasnya dia membela kerajaan dengan mengerahkan pasukan dan mati-matian mempertahankan kota raja. Tapi apa yang dia lakukan? Dia melarikan diri terbirit-birit, mengikuti Sribaginda mengungsi ke barat, menyelamatkan diri tanpa mempedulikan penduduk yang terancam bahaya penyerbuan. Sribaginda Beng Ong telah bertindak tidak bijaksana, tergesa­gesa menyerahkan mahkota kepada pangeran Su Tsung tanpa minta pertimbangan kita semua. Kitalah yang bersusah payah di sini, kita yang merebut kembali tahta kerajaan, tetapi sekarang kita harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang penakut yang melarikan diri dan enak-enak tinggal bersembunyi di barat sedangkan kita di sini berjuang mempertaruhkan nyawa. Ingat, saudara sekalian! Kita bukan memberontak. Andai yang kembali ke sini masih Sribaginda Kaisar Beng Ong, maka aku akan menjadi orang pertama yang menyerahkan kembali tahta kerajaan kepada beliau. Akan tetapi aku tidak setuju kalau harus menyerahkan kepada Pangeran Su Tsung! Bagaimana pendapat saudara sekalian?"

Karena sebagian besar para panglima itu memang sudah berada di bawah kekuasaan Sia Su Beng dan mereka sudah menganggap Sia Su Beng sebagai pimpinan, maka mereka pun segera menyatakan tidak setuju kalau tahta kerajaan diserahkan kepada kaisar baru. Para cerdik pandai, yaitu bekas pejabat-pejabat tinggi yang mengatur roda pemerintahan, ada juga yang menyatakan tidak setuju. Beberapa orang di antara mereka, dengan hati-hati menyatakan pendapat mereka yang mengandung keraguan.

"Akan tetapi, Sia-ciangkun. Apa bila kita tidak menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung yang menjadi kaisar yang sah dan berwenang dari Kerajaan Tang, bukankah itu berarti bahwa kita memberontak terhadap pemerintah kerajaan yang sah?" Yang bertanya adalah seorang pejabat tinggi yang pernah menjadi penasehat Kaisar Beng Ong dan telah berusia tujuh puluhan tahun.

Dengan sikap hormat Sia Su Beng menjawab, suaranya tegas. "Ciu-siucai tentu maklum bahwa kita semua telah merebut tahta kerajaan dan kekuasaan dari tangan pemberontak An Lu Shan. Kalau kita merebutnya dari tangan Kaisar, itu baru pemberontakan namanya. Karena kita sudah merebut kekuasaan dari pemberontak, maka kita harus menyerahkan kembali tahta kerajaan kepada Kaisar Beng Ong. Akan tetapi beliau telah mengundurkan diri dan mengangkat seorang kaisar baru tanpa setahu kita. Bukankah sudah menjadi hak kita bersama untuk mempertahankan apa yang telah kita rebut dari pemberontak dengan taruhan nyawa? Seorang tokoh seperti Ciu-siucai sendiri misalnya, sudah sepatutnya jika menjadi seorang pejabat tinggi, menjadi Guru Negara atau Panasehat, atau paling tidak seorang Menteri, Dengan bantuan seorang seperti Ciu-siucai dan yang lain-lain, kita pasti akan mampu mengatur pemerintahan yang adil dan baik. Juga para ciangkun yang sudah ikut merebut kekuasaan dari pemberontak, tentu akan mendapat kedudukan yang sesuai dengan jasa masing-masing."

Hampir semua yang hadir mengangguk-angguk.

Memang demikianlah kenyataannya. Kebanyakan orang yang tadinya mempunyai cita-cita yang nampaknya saja patriotik, bersikap sebagai pahlawan, yang pada waktu perjuangan memang rela mengorbankan segalanya termasuk nyawa, setelah perjuangan itu berhasil, baru nampak apa yang sesungguhnya tersembunyi di bawah sadar masing-masing.

Semua usaha itu ternyata merupakan selubung saja yang menyembunyikan hasrat nafsu yang selalu mementingkan diri sendiri. Alangkah banyak pahlawan yang tadinya berjuang sebagai patriot-patriot sejati, tapi setelah berhasil saling berebutan mendapatkan pahala, mendapatkan imbalan dan kedudukan. Sementara itu yang tidak mendapat bagian akan merasa kecewa, bahkan mendendam kepada yang kebagian.

Yang mendapat bagian kedudukan tinggi, dengan sekuat tenaga akan mempertahankan kedudukannya supaya tidak terlepas dan kalau perlu dia akan menyerang siapa saja yang berani mencoba untuk mengganggu dan menggoyahkan kedudukannya.

Dan kini, begitu mendengar betapa Sia Su Beng hendak membagi-bagi rejeki, membagi hasil kemenangan mereka atas kekuasaan An Lu Shan, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali.

"Maaf, Sia-ciangkun," kata seorang panglima yang dahulunya merupakan panglima yang setia kepada kerajaan Tang. "Kami dapat memahami akan kebenaran semua pernyataan ciangkun tadi. Akan tetapi hendaknya ciangkun mengetahui bahwa kalau kita menentukan sendiri suatu pemerintahan baru di luar kekuasaan Kaisar Kerajaan Tang. tentu kita akan menemui banyak rintangan dan tentangan. Para pejabat dan panglima di daerah-daerah, juga rakyat, tentu akan condong untuk mendukung Kerajaan Tang yang resmi. Bukankah semua tanda kebesaran berada di tangan Kaisar Kerajaan Tang?"

"Tidak semua," kata Sia Su Beng, lantas dia pun menurunkan buntalan kain kuning yang diikat di pinggangnya. "Ada sebuah pusaka, yaitu lambang utama kekuasaan Kaisar yang kini berada di tangan kita. Tentu saudara sekalian mengenal pusaka ini!" Setelah berkata demikian, Sia Su Beng mengangkat tinggi­tinggi benda itu di atas kepalanya dengan dua tangannya. Benda itu adalah sebuah ukiran batu giok berbentuk seekor burung Hong.
"Mestika Burung Hong Kemala...!" seru semua orang dengan kagum.

Sekarang kepercayaan mereka terhadap Sia Su Beng menjadi semakin menebal. Dengan lambang kekuasaan kaisar itu, jelas bahwa Sia Su Beng berhak menjadi kaisar dan para pejabat daerah tentu akan mematuhinya! Mereka lalu bersorak dan bertepuk tangan.

Sesudah kegaduhan mereda, Sia Su Beng dengan suara lantang berwibawa mengatakan, "Syukurlah kalau saudara sekalian telah menyetujui dan sependapat dengan kami bahwa kita harus mempertahankan hasil perjuangan kita ini. Namun kita masih harus berjuang, karena pasukan dari barat yang dipimpin oleh Panglima Kok Cu It tentu akan berusaha merebut kekuasaan dari tangan kita. Untuk sementara aku akan memimpin kalian semua sebagai seorang panglima tertinggi. Kelak, sesudah semua rintangan dapat disingkirkan, baru kita akan membentuk sebuah pemerintahan baru, sebuah dinasti baru. Sementara ini saudara sekalian akan saya tunjuk sebagai pembantu-pembantu saya di bidang masing-masing yang akan kami tentukan dalam beberapa hari lagi." Terdengar mereka bersorak-sorai menyambut pernyataan Sia Su Beng, kemudian pertemuan itu dibubarkan.

Panglima Sia Su Beng lalu menemui tunangannya di bagian dalam istana. Begitu melihat kekasihnya datang, Kui Bi segera berlari menghampiri kemudian merangkul tunangannya sambil menangis. Setelah menghibur dan mengajak gadis itu duduk, dia pun bertanya,

"Bi-moi, mengapa engkau menangis? Aku bahkan membawa berita gembira, yaitu bahwa seluruh panglima dan pejabat sudah menyetujui rencanaku. Tadinya ada beberapa orang yang masih keberatan untuk mempertahankan hasil perjuangan kita, yaitu kekuasaan di kota raja. Tapi setelah aku memperlihatkan Mestika Burung Hong Kemala, mereka semua dapat menyetujui."

Kui Bi menghapus air matanya "Koko, tadi enci Lan datang..."

"Ehhh? Lalu apa yang kalian bicarakan? Engkau tentu sudah menceritakan rencana kita, bukan?"

Kui Bi mengangguk. "Benar, dan hal inilah yang merisaukan hatiku. Dia menentang, koko, seperti yang telah kuduga sebelumnya."

Di dalam hatinya Kui Bi tidak dapat menyalahkan enci-nya, karena andai kata dia bukan tunangan Sia Su Beng dan tidak saling mencinta dengan pria ini, besar kemungkinan dia pun akan menolak gagasan memberontak itu.

"Hemm, lalu bagaimana?"
"Aku minta kepadanya untuk membicarakan urusan ini dengan kakak Yang Cin Han, dan juga dengan Can Kim Hong dan Souw Hui San."'
"Kurasa mereka tentu akan berpikir panjang kalau mereka sudah mengetahui bahwa aku telah memiliki Mestika Burung Hong Kemala. Apakah engkau sudah menceritakan hal itu kepada enci-mu?"
"Sudah, akan tetapi... enci Lan mengatakan bahwa pusaka yang berada di tanganmu itu adalah pusaka yang palsu, koko."

Sia Su Beng terlonjak dari tempat duduknya, berdiri dan memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak dan muka kemerahan.

"Apa?! Benarkah itu, Bi-moi? Tidak bohongkah enci-mu itu?"

Kui Bi menggelengkan kepalanya. ”Enci Kui Lan tidak pernah berbohong kepadaku, koko. Suaranya menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, tetapi ketika aku bertanya di mana adanya pusaka yang asli, dia hanya menjawab acuh seperti hendak mengelak."

"Kalau begitu aku harus bertanya sendiri, sambil sekalian membujuk mereka supaya suka membantu.” Setelah berkata demikian Sia Su Beng segera keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar.

Dia lalu memanggil pembantunya dan memerintahkan agar mengerahkan seregu pasukan yang pilihan dan kuat untuk mengepung gedung bekas tempat tinggal Bouw Koksu yang kini dijadikan tempat tinggal empat orang muda itu. Dia maklum betapa lihainya mereka, maka dia pun harus membuat persiapan dengan pasukannya.

Ketika dengan setengah berlari Sia Su Beng sampai di ruangan depan istana, terdengar seruan di belakang, "Koko, tunggu dulu, aku ikut!"

Ternyata Kui Bi yang mengejarnya dan mereka berdua lalu menunggang kuda keluar dari halaman istana menuju ke gedung tempat tinggal empat orang muda itu. Di sepanjang jalan orang-orang memberi hormat kepada Panglima Sia Su Beng, akan tetapi panglima yang sedang gelisah hatinya ini seperti tidak melihatnya atau mempedulikan mereka.

Sesudah tiba di gedung yang dahulu menjadi tempat tinggal Kui Bi itu, mereka melompat turun dari atas kuda dan Kui Bi mendahului tunangannya berlari memasuki gedung yang pintu depannya terbuka.

"Enci Lan…! Han-koko…!"

Dia berteriak-teriak dan mencari-cari ke dalam gedung yang besar itu, Sunyi saja, tidak ada jawaban. Juga Sia Su Beng mencari-cari tanpa hasil. Kemudian nampak seorang laki-laki tua berlari-lari masuk dari belakang.

"Ahh, Ciangkun dan Siocia!" kata bekas pelayan itu dengan gugup dan segera memberi hormat.

Sia Su Beng cepat memegang lengan orang itu sambil menghardik. "Hayo cepat katakan, di mana mereka berempat?!"

"Ciangkun maksudkan... kedua kongcu dan kedua siocia itu...?"
"Ya, di mana mereka?" Kui Bi juga bertanya.
"Semenjak pagi tadi mereka sudah pergi, tidak mengatakan hendak pergi ke mana tetapi hanya berpesan agar kami semua menanti saja di rumah belakang..."
"Keparat! Mereka membawa apa?!” bentak Sia Su Beng.

Pelayan itu tampak ketakutan dan bingung. "Mereka tidak membawa apa-apa, ehh, hanya ada buntalan pakaian pada punggung mereka. Bahkan mereka tidak menunggang kuda, hanya berjalan kaki keluar dari gedung dan nampak tergesa-gesa."

"Ahh, mereka telah melarikan diri! Cepat, kita harus mengejar mereka."

Sia Su Beng sudah meloncat keluar, diikuti oleh Kui Bi. Setelah tiba di luar gedung Sia Su Beng bertepuk tangan, lantas bermunculanlah para prajurit yang tadi sudah mengepung gedung itu dengan bersembunyi.

Baru sekarang Kui Bi melihat bahwa tunangannya itu tadi sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung gedung. Dia mengerutkan alisnya melihat tunangannya memerintahkan para pembantunya supaya minta bantuan pasukan untuk melakukan pengejaran terhadap empat orang muda itu ke empat penjuru!

"Kejar dan cari mereka, melalui empat pintu gerbang!" perintahnya dengan muka merah.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh lengan kiri Sia Su Beng yang sedang marah. Sia Su Beng menoleh dan ternyata kekasihnya yang sedang memandang kepadanya dengan wajah sedih.

"Koko, ingat, mereka adalah kakak-kakakku," katanya lirih.

Sia Su Beng menghela napas panjang.

"Jangan khawatir, Bi-moi. Aku telah memerintahkan para panglima agar mengajak mereka kembali dengan halus, atau kalau mereka melawan pun hanya menangkap mereka, tidak melukai apa lagi membunuh. Engkau tahu, aku tidak memusuhi mereka, tidak membenci mereka, akan tetapi mereka harus menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala yang asli kepadaku."

Hati Kui Bi terasa lega. Dia percaya pada kekasihnya. Diam-diam dia pun mengharapkan agar pasukan tidak akan mampu menangkap empat orang muda itu karena mereka sudah lama pergi, sejak pagi tadi. Mengingat bahwa mereka itu tidak berkuda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan sukarlah untuk melacak mereka. Dengan jalan kaki mereka dapat mengambil jalan melalui dusun-dusun dan sawah ladang, melalui bukit-bukit sehingga tak akan meninggalkan jejak.

Apa yang diharapkan Kui Bi memang terjadi. Meski pun pasukan-pasukan berkuda yang berjumlah banyak dan kuat telah melakukan pengejaran ke empat penjuru, tetapi mereka tidak dapat menemukan apa­apa. Akhirnya para komandan itu memecah pasukan mereka menjadi regu-regu yang hanya terdiri dari dua belas orang setiap regu, menyusup-nyusup dan banyak pula yang melakukan pencarian dengan berjalan kaki…..

********************

Tadi ketika meninggalkan gedung dan keluar dari pintu gerbang kota raja, Cin Han, Kim Hong, Hui San dan Kui Lan memang nampak tergesa-gesa, namun sesudah mereka jauh meninggalkan kota raja, mereka hanya berjalan santai saja. Mereka sengaja mengambil jalan melalui sebuah bukit di sebelah barat kota raja yang penuh hutan sehingga mereka tidak meninggalkan jejak dan akan menyulitkan orang-orang yang mungkin ingin melacak mereka.

Mereka sudah menduga bahwa kalau Sia Su Beng mengetahui bahwa mereka telah pergi tanpa pamit, tentu panglima yang cerdik itu akan cepat mengerahkan pasukan melakukan pengejaran. Apa bila Kui Bi memberi tahu bahwa pusaka di tangannya itu palsu, tentu Sia Su Beng akan mencurigai mereka kemudian bertekad untuk mendapatkan pusaka aslinya dengan menangkap mereka.

Akan tetapi mereka berempat sama sekali tidak menduga bahwa usaha pelacakan yang dilakukan Sia Su Beng itu demikian bersungguh-sungguh sehingga setelah lewat tiga hari, mereka berempat sudah merasa lega dan sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan dapat disusul oleh para pengejar.

Setelah melarikan diri lewat tiga hari, empat orang itu berhenti di sebuah hutan kecil untuk beristirahat dan berlindung dari terik matahari siang itu. Mereka membuka buntalan berisi makanan terdiri dari roti serta daging kering yang mereka beli dalam perjalanan melewati sebuah dusun kemarin sore.

Kui Lan dan Kim Hong memasak air dan memanggang daging kering setelah tadi Hui San mendapatkan air jernih! Air di panci itu sudah mulai mendidih dan bau daging kering yang dipanggang sudah menimbulkan selera karena sedapnya ketika mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan memperhatikan sekeliling karena mereka mendengar suara orang. Ternyata api yang mereka buat untuk memasak air dan memanggang daging kering, ditambah bau sedap daging panggang, sudah menarik munculnya delapan orang di tempat itu.

Melihat delapan orang yang berpakaian preman itu, mengertilah empat orang pelarian ini bahwa mereka berhadapan dengan delapan orang jagoan yang menjadi anak buah Sia Su Beng karena empat orang di antara mereka adalah guru-guru silat yang tugasnya melatih para prajurit pasukan khusus Sia-ciangkun.

Dengan sikap tenang Cin Han yang masih berjongkok segera bangkit berdiri perlahan, lalu bertanya dengan suaranya yang tenang namun juga berwibawa.
"Apa artinya ini? Ada keperluan apakah kalian datang menyusul kami?"

Delapan orang itu juga bersikap tenang dan hormat. Mereka maklum bahwa dua orang pemuda dan dua orang gadis ini bukanlah sembarang orang. Bahkan dua orang di antara mereka adalah kakak-kakak nona yang menjadi tunangan atasan mereka. Mereka sudah tahu bahwa keempat orang ini memiliki kepandaian tinggi dan tidak mudah ditundukkan.

"Ji-wi kongcu dan ji-wi siocia, harap maafkan kami. Kami diutus oleh Sia-ciangkun untuk mengejar kalian berempat dan minta kepada kalian supaya kembali ke kota raja karena Sia­ciangkun hendak bertemu dan bicara dengan kalian," kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, seorang di antara empat guru silat pelatih pasukan khusus.

"Hemm, begitukah?" kata Cin Han. "Kalian delapan orang utusan, kembalilah ke kota raja dan katakan kepada Sia-ciangkun bahwa kami berempat sudah tidak mempunyai urusan apa pun dengan dia lagi dan kini kami hendak melanjutkan perjalanan kami, harap kalian tidak mengganggu kami lagi.”
"Kongcu, kalau kami lakukan itu tentu kami akan menerima hukuman dari Sia-ciangkun. Kami sudah diberi tugas, jika kami tidak dapat melaksanakannya dengan baik tentu kami mendapat kemarahan."
"Hemm, bagaimana kalau kami menolak permintaan kalian untuk kembali ke kota raja?" tanya pula Cin Han yang menjadi juru bicara mereka berempat.

Si tinggi besar muka hitam segera mencabut pedangnya, diikuti tujuh orang rekannya dan dia pun berkata, "Apa bila kalian menolak, maka tugas kami adalah harus memaksa dan menangkap kalian!"

"Bagus! Hendak kulihat bagaimana cara kalian menangkap kami!" Kim Hong yang sudah marah sekali cepat meloncat bangun. Dia sudah mencabut sepasang pedang terbangnya yang diikat tali. Kui Lan juga sudah menyambar sebatang ranting sebesar ibu jari kaki dan sepanjang lengannya. Hui San tertawa dan pemuda ini pun sudah mencabut pedangnya.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa Sia Su Beng tentu akan menggunakan kekerasan. Kami sudah siap menghadapi kalian!"

Cin Han sendiri memegang sebatang tongkat yang memang sudah dia persiapkan dalam pelarian itu. Melihat betapa empat orang muda-mudi itu telah bangkit dan bersiap dengan senjata mereka, si tinggi besar muka hitam lalu berteriak memberi aba-aba dan mereka berdelapan sudah mengepung empat orang itu.

Souw Hui San yang masih tersenyum itu berseru. "Wah, mari kita berlomba. Tiap orang melawan dua orang dan kita lihat siapakah di antara kita yang paling cepat mendapatkan kemenangan!"

Sesudah berkata demikian dia langsung menerjang ke arah dua orang yang paling dekat dengannya. Pedangnya yang digerakkan amat cepat itu sudah membentuk gulungan sinar yang dengan cepat sekali menyambar berturut-turut ke arah kedua orang yang dipilihnya. Tidak ada jalan lain lagi bagi kedua orang itu untuk menyambut dengan tangkisan pedang mereka dan segera Hui San dikeroyok dua.

Cin Han, Kui Lan, dan Kim Hong juga sudah menyerang masing-masing dua orang lawan dan terjadilah pertandingan sangat yang seru di tempat itu. Teriakan Hui San tadi bukan sekedar main-main. Ia melihat bahwa delapan orang itu agaknya mempunyai ilmu barisan pat-kwa, yaitu barisan pedang segi delapan. Kalau mereka diberi kesempatan membentuk Pat-kwa Kiam-tin (barisan pedang segi delapan), maka akan merupakan lawan yang amat berbahaya. Maka dia berteriak agar mereka masing-masing melawan dua orang musuh, tetapi hal ini jauh lebih ringan dibandingkan kalau mereka berempat menghadapi Pat-kwa Kiam-tin. Memang Hui San ini orangnya lincah dan cerdik sekali.

Karena mereka berempat sudah menyerang masing-masing dua orang, maka delapan orang itu tidak sempat lagi membentuk pat-kwa kiam-tin dan terpaksa harus membela diri sehingga pertandingan terpecah menjadi empat.

Kim Hong sendiri tadi telah mendahului kekasihnya untuk menyerang si tinggi besar muka hitam. Gadis murid Si Naga Hitam ini merupakan orang yang paling lihai di antara mereka berempat. Hal itu adalah karena dia telah minum darah ular hitam kepala merah, yang di samping mendatangkan tenaga sinkang yang sangat hebat, juga tubuhnya kebal terhadap segala macam racun, bahkan bila dia mengerahkan tenaga tertentu maka tubuhnya dapat mengeluarkan hawa beracun yang mematikan! Dia menduga bahwa si tinggi besar muka hitam yang memimpin delapan orang itu tentu yang terlihai, maka ia mendahului Cin Han, menyerang si tinggi besar dan seorang temannya yang berdiri di dekatnya.

Melihat dahsyatnya dua sinar pedang terbang itu menyambar ke arah mereka, si tinggi besar dan temannya terpaksa harus menyambutnya dan segera terjadi pertandingan yang amat hebat.

Cin Han sendiri segera memainkan tongkatnya dengan ilmu silatnya yang dia pelajari dari gurunya, Sin-tung Kai-ong, yaitu Tai-hong-pang (Tongkat Angin Badai). Ilmu ini memang hebat sekali, begitu digerakkan tampak gulungan sinar tongkat yang mendatangkan angin menyambar-nyambar disertai suara yang bersiutan, membuat dua orang pengeroyoknya terkejut sehingga harus cepat-cepat memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.

Permainan sebatang ranting di tangan Yang Kui Lan juga membuat dua pengeroyoknya sibuk sekali. Begitu dimainkan dengan ilmu silat Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan), ranting itu bergerak halus seperti dipakai menari saja, akan tetapi bagi kedua orang pengeroyoknya ranting itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang menghujankan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya.

Pertandingan itu tidak berlangsung terlampau lama karena delapan orang itu sama sekali bukan merupakan tandingan yang seimbang bagi empat orang muda itu. Apa lagi empat orang muda itu terpengaruh oleh ajakan Hui San untuk berlomba siapa yang lebih dahulu dapat mengalahkan dua orang lawan masing masing, maka mereka semua mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus mereka yang paling hebat.

Belum sampai lima belas jurus, kedua orang pengeroyok Kim Hong, yaitu si tinggi besar muka hitam dan seorang kawannya, roboh berturut-turut dengan luka terobek pedang di pundak dan paha mereka. Robohnya dua orang ini langsung diikuti robohnya dua orang yang mengeroyok Cin Han. Tongkatnya merobohkan mereka dengan pukulan di lambung dan totokan pada dada sehingga membuat lawan yang dadanya tertotok tongkat menjadi pingsan.

Sesudah dua orang ini roboh, disusul robohnya dua orang pengeroyok Kui Lan. Karena gadis ini hanya mempergunakan sebatang ranting biasa, maka sesudah dua puluh jurus barulah dia berhasil menotok roboh dua orang pengeroyoknya yang menjadi lumpuh kaki tangannya.

Kini mereka bertiga menoleh dan melihat betapa Hui San yang mengajak berlomba tadi masih menghadapi pengeroyokan kedua orang lawannya. Akan tetapi kedua orang lawan itu sudah tidak utuh lagi. Mereka terpincang­pincang mengeroyok Hui San, dan pakaian mereka sudah robek-robek dengan luka-luka kecil merobek kulit mereka di mana-mana. Jelas bahwa Hui San sengaja tidak segera merobohkan mereka, hanya mempermainkan, membuat kaki mereka terpincang-pincang serta tubuh mereka luka-luka kecil akan tetapi tidak sampai merobohkan mereka.

Tentu saja Hui San tidak berani mendahului Kui Lan merobohkan kedua lawannya, karena dia tidak ingin melihat gadis yang dipujanya itu merobohkan dua orang lawannya paling akhir!

"San-ko, kenapa engkau masih saja mempermainkan mereka? Cepat hentikan, kita harus cepat pergi," kata Kui Lan.

Mendengar ucapan kekasihnya itu, Hui San memutar pedangnya cepat-cepat, membuat kedua orang itu hanya mampu menangkis saja, kemudian dia berkata,
"Kalian dengar? Hayo cepat roboh, atau harus aku yang merobohkan kalian dan melukai kalian?"

Mendengar ini, dua orang yang melihat betapa enam orang kawan mereka sudah roboh semua dan mereka sendiri pun jelas bukan lawan pemuda lihai itu, segera maklum bahwa mereka tentu akan terluka parah bila tidak menaati. Maka mereka pun segera melempar pedang dan melempar tubuh mereka ke belakang, terguling-guling dan tidak bangkit lagi!

Hui San tertawa bergelak, akan tetapi Kim Hong cemberut.

"Sialan sekali, daging kita hangus dan roti kita kotor semua!" Dia menendang makanan yang tidak dapat dimakan lagi itu.
"Dan air pun sudah tumpah habis," kata Kui Lan lalu dia pun mengambil panci kosong dan perabot lain untuk dibawa sebagai bekal.

Cin Han menghampiri si tinggi besar. "Katakan kepada Sia Su Beng bahwa hanya karena melihat dan mengingat adikku Yang Kui Bi sajalah kami tidak membunuh kalian!"

"Terima kasih, kongcu," kata si tinggi besar, maklum bahwa apa yang diucapkan pemuda itu memang benar. Empat orang muda itu segera meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat menuju ke barat…..
********************

Sia Su Beng merasa kecewa sekali karena pasukannya tidak berhasil menangkap empat orang muda itu. Akan tetapi hal itu tidak membuat dia mundur dan tetap bertekad untuk mempertahankan kekuasaannya atas kota raja. Bahkan dia lantas menghimpun kekuatan pasukannya untuk mengatur daerah dan memperkuat kubu pertahanan pada bagian barat untuk menghadapi pasukan Kerajaan Tang yang tentu akan berusaha merebut kekuasaan kembali.

Yang Kui Bi membantu kekasihnya dengan sepenuh hati. Dia amat mencinta dan dicinta Sia Su Beng, dan dia pun terseret ke dalam ambisi kekasihnya yang ingin menjadi kaisar! Tentu saja ia pun akan merasa bangga dan bahagia sekali jika dapat menjadi permaisuri kaisar!

Perang saudara tidak terelakkan lagi! Menurut catatan sejarah, ketika pasukan Kaisar Su Tsung yang dipimpin oleh Panglima Besar Kok Cu It, dibantu oleh banyak pasukan dari suku-suku bangsa di utara dan barat, maka terjadilah pertempuran hebat di bagian barat. Kedua pihak tidak ada yang mau mengalah. Pasukan Kerajaan Tang bertekad merebut kembali kekuasaannya yang dahulunya terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan dan sekarang terjatuh ke tangan Sia Su Beng, sedangkan Sia Su Beng dan kawan-kawannya juga bertekad mempertahankan kekuasaan mereka.

Sesudah menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala kepada Kaisar Su Tsung, Souw Hui San tidak mau menerima imbalan jasa, seperti yang ditekankan kepadanya oleh Yang Kui Lan. Bahkan dua pasang pendekar yang saling mencinta itu, yaitu Yang Cin Han dengan Can Kim Hong dan Yang Kui Lan dengan Souw Hui San, meninggalkan pasukan Kerajaan Tang dan tidak mau melibatkan diri ke dalam perang. Hal ini adalah karena Cin Han dan Kui Lan teringat akan adik mereka, Yang Kui Bi, yang mereka tahu sedang membantu Sia Su Beng. Mereka berdua tidak tega memusuhi adik mereka, sedangkan kekasih mereka, Kim Hong dan Hui San, tentu saja mengikuti jejak mereka.

Dua pasang pendekar itu lalu melangsungkan pernikahan secara sederhana, kemudian mereka hidup sebagai rakyat biasa, sama sekali tidak mau mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan itu.

Lantas bagaimana dengan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi? Kedua orang ini pun menikah, dirayakan secara besar-besaran. Keduanya juga berusaha mati-matian mempertahankan kekuasaan mereka.

Menurut catatan sejarah, perang yang dialami oleh pasukan Kerajaan Tang untuk merebut kembali kekuasaannya itu berlangsung berlarut-larut sampai sembilan atau sepuluh tahun! Dapat dibayangkan betapa hebatnya pengorbanan yang terjadi dalam perang perebutan kekuasaan ini. Rakyat pula yang menderita. Para prajurit yang tewas sampai ratusan ribu orang banyaknya. Harta benda rakyat dirampok atau dibakar, banyak pula rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban.

Pada tahun 766, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, barulah pasukan Tang berhasil merebut kembali kota raja sehingga Kerajaan Tang dapat dibangun kembali di atas puing-puing kehancuran akibat perang. Sebagai pertahanan terakhir, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi bertempur mati-matian di kota raja, sampai keduanya gugur dan tewas seperti ribuan prajurit lain.

Yang tidak dicatat sejarah, bahkan jarang ada yang mengetahui, adalah bahwa sebelum suami isteri yang kukuh ini menyambut pasukan musuh yang sudah memasuki kota raja, mereka masih sempat menitipkan anak tunggal mereka, seorang putera, kepada seorang wanita pengasuh yang berhasil menyelundupkan anak itu keluar dari istana, kemudian dia melarikan diri bersama para pengungsi lainnya. Anak laki­laki berusia lima tahun ini dapat diselamatkan dengan diakui sebagai anaknya sendiri.

Mestika Burung Hong Kemala hanya sebuah benda mati, hanya sebagai lambang belaka. Sesungguhnya yang diperebutkan adalah kekuasaan. Mengapa kekuasaan diperebutkan? Karena kuasa berarti menang, berarti selalu benar, selalu baik, selalu menang dan selalu enak.....!

T A M A T

Bagian Ke-02 SERIAL MESTIKA BURUNG HONG KEMALA
LihatTutupKomentar