Mestika Burung Hong Kemala Jilid 07


Malam itu gelap dan dingin, apa lagi hujan rintik-rintik semenjak senja tadi membuat orang enggan keluar dari dalam rumah. Kota raja nampak sangat sunyi dan hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja memaksa diri ke luar rumah, mengenakan baju tebal dan melindungi kepala dengan payung.

Tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi orang saja, misalnya rumah makan atau toko-toko, malam itu sepi sekali. Apa lagi di tanah kuburan umum itu. Sunyi dan bahkan menyeramkan!

Pada malam terang bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja, itu pun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada malam gelap dingin dan gerimis itu, tak seorang pun yang sehat akalnya akan mau masuk ke dalam tanah kuburan.

Akan tetapi, pada malam yang menyeramkan itu, Yang Kui Bi berlutut di hadapan sebuah kuburan dan menangis terisak-isak. Ia mencoba untuk menahan agar tidak mengeluarkan suara terlalu keras, tetapi tetap saja dia memanggil-manggil ibunya sambil menangis. Dia membayangkan ibunya membunuh diri saat rumah mereka diserbu oleh pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa!

Sesudah beberapa hari berada di kota raja, siang tadi dia berhasil menemukan seorang wanita tua bekas seorang di antara pelayan keluarga mereka, dan dari pelayan inilah dia mendengar segalanya. Ayahnya pergi mengikuti kaisar mengungsi, akan tetapi ibunya tak mau meninggalkan rumah karena ingin menanti kembalinya kakaknya, Yang Cin Han, dia sendiri dan enci nya. Ibunya sedang berada di rumah ketika kota raja diserbu, dan rumah mereka pun diserbu pemberontak.

Siang tadi dia harus menahan hatinya, menunggu sampai malam tiba baru dia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam yang biasa saja, seperti kuburan penduduk biasa! Padahal ibunya adalah seorang nyonya menteri!

"Ibu... maafkan aku, ibu...," dia tersedu.

Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali tubuh yang tadinya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat, memutar tubuh dan dia sempat melihat sesosok bayangan menyelinap pergi.


Kedukaan yang mendalam membuat Kui Bi mendendam dan marah sekali terhadap para pemberontak yang sudah menghancurkan keluarga orang tuanya serta memaksa ibunya membunuh diri. Dia lantas menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah orangnya pemberontak atau pemerintah yang baru.

Kemarahannya ini hendak ditimpakan kepada bayangan itu, maka dengan gerakan seperti seekor burung walet keluar diri dalam goa, dia pun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan tamparan ke arah pelipis orang itu.

"Wuuuttt...! Plakkk!"

Tamparan itu tertangkis, dan ternyata bayangan itu mempunyai tenaga yang cukup kuat sehingga tangan Kui Bi yang menampar tadi tertangkis dan terpental.

Kini gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, dia pun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu.

Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itu pun lihai bukan main. Malam itu amat gelap dan hanya sekali-kali saja muncul cahaya kilat di angkasa, maka perkelahian itu lebih dikendalikan oleh ketajaman pendengaran mereka.

Bayangan itu menangkis dan mengelak, juga balas menyerang sambil mundur sehingga mereka sampai di pintu gerbang tanah kuburan, di mana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi mereka untuk dapat melihat bayangan masing-masing.

Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya, dia pun bisa menduga bahwa lawannya adalah seorang lelaki yang bertubuh sedang. Akan tetapi yang membuatnya penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang biar pun tidak seringan gerakannya sendiri, tetapi ternyata orang itu selalu dapat menghalau setiap serangannya. Seorang lawan yang sangat lihai!

Ilmu tongkat orang itu pun sangat aneh dan berbahaya sekali, maka dia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut tetapi dicampur dengan gerakan dari Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan), yang seharusnya dimainkan dengan toya akan tetapi terpaksa dia mainkan dengan pedangnya sehingga berulang-ulang terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.

Tiba-tiba di angkasa terdengar ledakan keras menyusul cahaya kilat yang sangat terang. Meski pun hanya beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang itu untuk saling melihat muka. Kui Bi cepat menahan serangannya kemudian berseru,

"Han-koko...?!"

Pemuda itu tertawa, dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa orang yang tadi diserangnya memang adalah kakaknya, Yang Cin Han!

"Bi-moi, ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko... ahh, Han-koko. ibu kita..." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan kakaknya.

Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja kedua matanya menjadi basah. Dia membiarkan adiknya menangis di dadanya dan air mata adiknya turun seperti hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah membiarkan Kui Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan suaranya terdengar gembira.

"Adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Engkau sudah demikian tangguh sekarang, akan tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia, akan tetapi itu sudah takdir Tuhan, tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu! "

Kui Bi memang memiliki hati yang keras, maka dia segera dapat memulihkan hatinya dan kini mereka berdua mencari perlindungan di bawah atap seng makam yang lebih terawat. Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi.

Mereka saling bertanya, kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing. Kui Bi girang mendengar bahwa kakaknya ini telah menjadi murid Sin-tung Kai-ong, pengemis sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada dia dan enci-nya, dan sebaliknya, Cin Han merasa kagum mendengar bahwa kedua orang adiknya menjadi murid seorang hwesio sakti.

"Akan tetapi, di mana Lan-moi? Kenapa tidak bersamamu di sini?" tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi tugas dan berpisah, koko. Sesudah kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, maka Enci Lan berangkat ke barat menyusul rombongan Kaisar, sedangkan aku pergi ke kota raja untuk melihat keadaan keluarga kita. Sungguh menyedihkan mendengar bahwa ibu telah meninggal dunia, membunuh diri saat rumah kita diserbu pemberontak. Mudah-mudahan saja ayah yang ikut rombongan kaisar ke barat dalam keadaan selamat dan... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan kakaknya dengan kuat.

"Adikku, apakah engkau ini masih adikku Kui Bi yang tabah dan pemberani, tidak cengeng melainkan periang, lincah jenaka seperti yang dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengarlah baik-baik," kata Cin Han sambil masih tetap memegang lengan adiknya. "Ayah kita telah... tewas pula dalam perjalanan ke barat..."
"Ayah...!"
"Bi-moi, ahh, Bi-moi...!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba-tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai di dalam pelukannya. Pingsan.

Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja dia menangisi kematian ibunya di hadapan makam yang tidak terawat, lalu sekarang tiba-tiba saja dia mendengar bahwa ayahnya juga sudah tewas, maka dia tidak kuat dan roboh pingsan.

Cin Han menolong adiknya. Sesudah menotok beberapa jalan darahnya, gadis itu siuman kembali kemudian mereka berdua kembali menangis. Akan tetapi hanya sebentar saja Kui Bi menangis.

"Koko, ceritakan bagaimana ayah tewas...," katanya lirih,
"Aihh, semenjak dulu aku telah mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tak wajar, hanya karena pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya.

Kemudian dia menceritakan seperti kabar yang didengarnya tentang ayahnya dan bibinya. Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri merasa semakin tidak senang dan curiga kepada Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap biang keladi keruntuhan Kerajaan Tang, kemudian mengeroyok menteri itu sampai tewas.

Kemudian diceritakannya pula bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di hadapan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.

Sesudah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang-kadang terdengar tarikan napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa seluruh peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andai kata dahulu bibi mereka tidak melindungi An Lu Shan ketika dilaporkan ayah mereka kepada kaisar, tentu pemberontakan itu tidak akan terjadi.

"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya, koko!" tiba-tiba Kui Bi berkata dengan penuh semangat.
"Hushhh, kau kira akan begitu mudah membunuh dia? Sekarang dia telah menjadi seperti seorang kaisar, tinggal di dalam istana, dijaga oleh pasukan pengawal. Jangan bertindak sembarangan sehingga mencelakakan diri sendiri, adikku."
"Han-ko, lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi mala petaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa karena kita takut celaka?"

"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus berbuat sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk menentang An Lu Shan dan menghancurkannya. Tetapi kita tidak dapat bertindak sendiri menghadapi pasukannya yang berjumlah ratusan ribu orang itu. Aku mendengar bahwa Giok-hong-cu sudah hilang. Itu baru desas-desus, akan tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan. Lalu aku mendengar desas-desus bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari pusaka itu. Agaknya dia telah mengetahui tempat pusaka itu disembunyikan, maka aku akan membayangi pasukan itu dan kalau mungkin aku akan merampas mestika itu dari tangan mereka!"

Kui Bi yang sejak tadi termenung memikirkan sesuatu, mengangguk.

"Baik, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita sendiri, koko. Apakah di kota raja ini ada orang yang bisa dipercaya dan masih setia kepada Kerajaan Tang?"
“Banyak, Bi-moi. Di sini ada banyak kawan-kawan kita yang secara diam-diam juga sudah siap untuk bergerak menentang An Lu Shan kalau saatnya telah tiba."
"Bagus! Kalau begitu antarkan aku kepada mereka, koko. Aku hendak bergabung dengan mereka untuk menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hatilah. Jangan engkau bertindak sembrono dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan engkau tak akan berhasil."
"Aihh, Han-ko, apakah kau kira adikmu ini masih kanak-kanak Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."

Malam itu juga Cin Han mengajak adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai menggunakan hartanya, maka dia sekeluarga dapat hidup aman dan selamat dari serbuan pasukan pemberontak. Bahkan dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru.

Tak ada seorang pun yang bisa mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam telah mempersiapkan diri untuk bergerak apa bila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.

Malam itu Ji-wangwe yang tidak memiliki anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang silam, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut.

Dia tahu bahwa bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap sudah melemahkan Kerajaan Tang, maka kedatangan pemuda itu menimbuilkan rasa tidak senang dan kecurigaan. Akan tetapi, sesudah Cin Han menjelaskan bahwa dia sendiri bersama kedua adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka, tidak suka pula dengan sepak terjang bibinya yang menggunakan kecantikan untuk mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan, Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu muncul dan memperkenalkan Yang Kui Bi, adiknya, gadis itu pun diterima dengan ramah oleh Jiwangwe.

"Jangan khawatir, kongcu," kata hartawan itu kepada Cin Han. "Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan. Dia memakai she Kui dan bernama Bi, maka akan kami katakan bahwa dia adalah anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan."

Hartawan Ji menjadi senang sekali ketika mendengar bahwa Ku Bi adalah seorang gadis yang juga memiliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.

"Lantas bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji? Apakah sudah ada berita tentang keberangkatan mereka?" tanya Cin Han.

Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang peranan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berita.

"Sudah ada kepastian. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya ia akan ditemani oleh seorang gadis yang mempunyai ilmu silat lihai sekali. Karena itu engkau harus berhati-hati, kongcu."

Cin Han mengangguk-angguk. Dia sudah tahu siapa itu Bouw-ciangkun, seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras.

Malam itu, dua kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala pengalaman mereka, dan kali ini Ji-wangwe ikut pula dalam percakapan mereka sehingga hartawan ini menjadi semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan juga setia kepada Kerajaan Tang. Mereka berdua ini saja dapat merupakan pembantu yang boleh diandalkan, pikirnya girang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Han sudah meninggalkan rumah itu dalam pakaian seperti seorang pengemis muda, dan tak lama kemudian dia sudah membayangi rombongan pasukan yang dipimpin Bouw Ki yang ditemani oleh Kim Hong. Rombongan ini menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan menggunakan ilmu berlari cepat.

Terlebih lagi ketika rombongan berkuda itu menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah pula baginya untuk membayangi. Dia mempergunakan sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Sekarang dia bisa membayangi rombongan itu dengan seenaknya, di atas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga…..

********************
Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan memandang dengan kagum ke arah goa-goa yang berjajar bagaikan sumur miring itu. Alangkah hebat dan megahnya alam ini, pikirnya.

Alangkah sakti dan maha kuasanya Sang Pencipta semua ini! Dan dia pun sangat kagum akan kecerdikan mendiang Menteri Yang Kok Tiong, yang sudah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu pada salah satu di antara goa-goa itu.

Goa ke tiga memang merupakan goa yang paling kecil dan paling tak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk mendekatinya. Selain jalan menuju ke goa ke tiga itu harus memanjat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga amat berbahaya.

Hui San adalah seorang pendekar Gobi-pai yang cerdik dan meski pun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada. Sesudah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang tersesat ke tempat ini, akhirnya dia dapat menemukan goa-goa itu.

Akan tetapi, walau pun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak tergesa-gesa menghampiri goa. Perasaan girang karena sudah menemukan tempat itu tidak membuatnya lengah.

Dia pun menyelinap ke balik sebuah batu karang, kemudian dengan gerakan cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama kemudian dia telah mengintai dari puncak, memandang ke sekeliling. Barulah hatinya lega setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun nampak di sekitar tempat itu.

Dia segera turun dari puncak, lalu menghampiri tebing dan kembali berhadapan dengan goa-goa tadi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah goa ke tiga.

Goa itu kecil sehingga dia harus membungkuk untuk merangkak masuk. Dan di sudut goa itu, tertutup tumpukan batu-batu karang berkapur, dia menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam!

Ketika tutup kotak itu dibukanya, di dalamnya terdapat benda pusaka itu. Mestika Burung Hong Kemala yang asli! Bentuknya tidak berbeda jauh dengan benda palsu yang dibawa di dalam buntalannya, yaitu berbentuk seekor burung Hong. Akan tetapi benda pusaka ini mengeluarkan cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Juga ukiran burung Hong-nya amal indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!

Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian dia keluar dari dalam goa. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai lebih dulu dari dalam goa sampai lama, sampai dia merasa yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam goa itu.

Seperti tadi, dia pun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihatnya, barulah dia memasuki goa ke tujuh yang lebih besar. Dia memasuki goa itu, kemudian menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an. Yang palsu dia masukkan ke dalam kotak hitam lalu meletakkannya ke dalam goa, di sebuah sudut yang gelap, sedangkan mestika yang asli dengan aman berada di dalam buntalan pakaiannya!

Setelah lebih dahulu mengintai, kemudian dia pun keluar dari dalam goa dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugasnya, dia pun pergi meninggalkan tebing itu. Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan bahkan mendaki naik ke puncak. Dengan demikian, andai kata ada orang yang melihatnya, tentu orang itu akan menyangka bahwa dia mendaki puncak dan hanya kebetulan saja lewat di depan tebing itu, bukan bermaksud pergi ke tebing.

Setelah tiba di puncak dia beristirahat, duduk di balik sebuah batu besar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik tinggi, lalu mengeluarkan tempat minuman. Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan kembali buntalan pakaiannya di punggung, lalu menuruni bukit itu dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di sepanjang lereng yang penuh hutan, walau pun pohonnya tak begitu lebat namun karena usianya sudah tua maka pohon-pohon itu batangnya tinggi dan besar.

Sesudah tiba di hutan pertama dia pun meloncat ke atas pohon tertinggi dan memandang ke sekeliling. Tiba-tiba nampak dia mengerutkan alisnya. Dari arah puncak, dari mana dia turun tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia menoleh ke bawah, dia melihat debu mengepul dan serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!

Tak lama kemudian Hui San telah menyelinap di balik semak-semak dan mengintai ketika seorang gadis menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dia pun menahan napas!

Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan ini pun tidak aneh karena sejak kecil dia tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi sehingga kalau pun dia pernah bertemu dengan wanita, maka yang dijumpainya itu hanyalah gadis-gadis pegunungan di Gobi-san yang sederhana sekali.

Akan tetapi gadis yang lewat di dekatnya itu begitu cantik jelita seperti bidadari! Bidadari yang lembut, namun gagang pedang di punggungnya itu menunjukkan bahwa gadis itu tak selembut seperti nampaknya. Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon yang masih ada beberapa helai daunnya.

Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit sehingga pasti akan bertemu dengan rombongan orang berkuda itu! Dia mendapat perasaan yang tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, karena itu secara diam-diam dia lalu membayangi gadis itu.

Dari langkahnya saja dia dapat menduga bahwa gadis itu membawa pedang bukan untuk sekedar memasang aksi, melainkan dia adalah gadis yang sungguh memiliki kepandaian. Kini derap kaki kuda itu sudah terdengar dari situ.

Rombongan orang berkuda dari bawah itu sudah semakin dekat, akan tetapi gadis cantik ini masih tetap berjalan dengan santai! Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin sekali dia meneriaki gadis itu agar bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang bukan merupakan rombongan orang jahat?

Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan, dan mereka tidak lagi dapat melarikan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka hanya menjalankan kuda secara perlahan-lahan.

Dengan sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak! Tentu saja dia merasa amat khawatir. Dari tempat persembunyiannya dia dapat melihat betapa gadis cantik itu berhenti melangkah lantas berdiri agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.

Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan diri mengungsi. Ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya.

Ketika dia tiba di pegunungan yang sepi itu, dia mengambil jalan pintas, mendaki puncak bukit dan kini di tempat sunyi itu tiba-tiba saja ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda. Yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan tampan, berpakaian sebagai seorang perwira.

Tentu Sia Su Beng akan kelihatan lebih gagah dari pada orang ini kalau dia berpakaian perwira, Kui Lan membayangkan. Di samping pemuda perwira itu duduk seorang gadis cantik dan gagah di atas seekor kuda putih. Kemudian di belakang mereka nampak dua puluh lebih prajurit berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang.

Tentu saja Kui Lan merasa sebal dan tidak senang bertemu dengan serombongan prajurit yang tentu merupakan prajurit anak buah pemberontak An Lu Shan. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tak semestinya dia mencari keributan menghadapi sedemikian banyak orang. Apa lagi perwira itu nampaknya bukan orang lemah. Maka dia pun sengaja menepi untuk memberi jalan agar rombongan berkuda itu lewat.

Perwira itu adalah Bouw Ki, ada pun gadis di sampingnya adalah Kim Hong. Rombongan itu adalah pasukan yang ditugaskan oleh Bouw Koksu untuk pergi ke pegunungan itu dan mengambil Mestika Burung Hong Kemala seperti yang digambarkan pada peta yang dibeli oleh Bouw Koksu dari Souw Lok.

Ketika Bouw Ki melihat ada seorang gadis cantik jelita di pegunungan yang sunyi itu, tentu saja dia merasa curiga. Maka dia segera mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat agar pasukannya berhenti.

Kim Hong menoleh dan memandang kepada suheng-nya, kemudian kepada gadis cantik yang berdiri di tepi jalan. Dia sendiri pun merasa heran melihat di tempat sunyi dan sukar seperti itu terdapat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi ketika melihat gagang pedang di punggung gadis itu, dia pun dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki kepandaian untuk menjaga dan membela diri. Dan karena gadis itu tidak dikenal, maka sebetulnya tidak ada perlunya suheng-nya menyuruh berhenti pasukannya.

Akan tetapi Bouw Ki sudah mengerutkan kedua alisnya dan memandang Kui Lan dengan tajam dan penuh kecurigaan.

"Siapakah engkau dan ada keperluan apa berkeliaran di sini? Hayo cepat jawab dengan sejujurnya!" tanya Bouw Ki yang diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang kini berdiri di depannya itu. Jelas bukan gadis gunung, bukan gadis dusun. Kenyataan ini menambah kecurigaannya.

Akan tetapi diam-diam Kim Hong tidak senang dengan sikap serta pertanyaan kasar yang dilontarkan suheng-nya kepada gadis itu. Namun dia diam saja dan hanya memandang.

Mendengar pertanyaan orang yang nadanya memerintah dan memaksa itu, Kui Lan juga mengerutkan sepasang alisnya. Akan tetapi karena dia tidak biasa bersikap kasar, dia pun hanya membuang muka, lalu berkata lembut namun cukup ketus.

"Aku tidak ingin mengenal kalian dan juga tidak ingin memperkenalkan diri. Aku tidak ada urusan dengan kalian!" Sesudah berkata demikian Kui Lan segera menggerakkan kakinya melangkah hendak melanjutkan perjalanan. Hampir Kim Hong tertawa geli melihat roman muka suheng-nya.

Rasakan kamu, pikirnya.

Akan tetapi Bouw Ki sudah meloncat turun dari atas pelana kudanya dan menghadang di hadapan Kui Lan. "Kurang ajar! Nona, apakah engkau tidak dapat memberi jawaban yang baik? Aku tanya kepadamu, siapa engkau dan apa urusanmu di tempat ini!"

Sekarang mengertilah Kim Hong akan sikap suheng-nya. Suheng-nya tentu merasa curiga melihat seorang gadis di tempat ini, tempat penyimpanan pusaka itu! Dan dia tidak dapat terlalu menyalahkan suheng-nya, karena kehadiran gadis itu di tempat ini memang dapat menimbulkan kecurigaan kalau-kalau gadis itu ternyata ada hubungannya dengan benda pusaka kerajaan itu. Akan tetapi tentu saja Kui Lan tidak tahu tentang hal itu, dan hatinya mendongkol bukan main.

"Aku melihat engkau seorang ciangkun," katanya, suaranya tetap lembut namun nadanya mencela, "kurasa engkau lebih tahu tentang peraturan dan sopan santun. Aku berada di tempat umum, apa pun yang kulakukan, sama sekali tiada sangkut pautnya denganmu. Biar pun engkau seorang perwira, engkau tidak berhak memaksaku menjawab.”
"Saat ini daerah ini merupakan kekuasaan kami, maka siapa pun juga wajib melaporkan kepada kami apa yang dilakukannya di sini!" kata Bouw Ki.
"Kalau aku tidak mau memberi tahu?"
"Terpaksa engkau kami curigai dan kami tawan!"

Sesabar-sabarnya, Kui Lan menjadi marah. Tiada hujan tidak angin, tanpa sebab tertentu, hanya karena dia kebetulan lewat di situ dan tidak mau memperkenalkan diri, dia hendak ditawan! Akan tetapi dia memang berwatak halus dan sabar sekali, maka dia masih dapat menahan kemarahannya.

"Baiklah, namaku Kui Lan , dan aku kebetulan lewat di sini. Salahkah itu?"

Tetapi Bouw Ki sudah terlanjur marah dan menaruh curiga, juga dia merasa sayang kalau gadis secantik itu dibiarkan lolos begitu saja! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan haus wanta, akan tetapi gadis secantik itu amat sulit didapat, biar di kota raja sekali pun!

"Kami tidak percaya. Terpaksa engkau kami tawan dulu!"
"Suheng, apa gunanya itu?” tiba-tiba Kim Hong bertanya.
"Sumoi, kita harus menahannya sampai urusan kita selesai dulu. Jika dia memang bukan merupakan gangguan, nanti kita lepaskan kembali," kata Bouw Ki dan kembali Kim Hong dapat mengerti maksud suheng-nya.

Bagaimana pun juga gadis ini memang mencurigakan. Siapa tahu kedatangannya di sini ada hubungannya dengan Mestika Burung Hong Kemala. Memang sebaiknya ditahan dulu dan kalau ternyata nanti bahwa mereka dapat menemukan pusaka itu dan gadis ini tidak ada hubungannya sama sekali, mudah dilepas kembali. Karena itu dia pun mengangguk membenarkan.

"Nona Kui Lan, menyerahlah. Kami tidak ingin menggunakan kekerasan, melainkan hanya ingin menawan nona untuk sementara. Lucuti nona ini dari senjatanya!" perintah Bouw Ki kepada orang-orang yang berada di belakangnya.

Dua orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka, lantas dengan penuh gairah mereka menghampiri Kui Lan sambil menyeringai kurang ajar seperti biasanya sikap laki-laki tidak sopan kalau berhadapan dengan gadis cantik.....

"Nona, serahkan pedang dan buntalanmu kepada kami, dan mari membonceng di kudaku bersamaku," kata yang tinggi kurus.
"Membonceng saja di kudaku, nona, kudaku lebih kuat," kata yang pendek gemuk.

Kui Lan mengerutkan alis, akan tetapi sebelum dia menjawab, terdengar suara tawa dan muncullah seorang pemuda yang pakaiannya kedodoran, kepalanya tertutup caping lebar. Pemuda itu pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik dengan lengan baju digulung sampai ke siku. Wajahnya yang bulat dan nampak periang itu dilindungi caping, mulutnya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

"Ha-ha-ha-ha, harap engkau jangan berat sebelah dan tidak adil, ciangkun!" kata pemuda yang bukan lain adalah Souw Hui San itu.

Melihat kemunculan pemuda ini secara tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar, semua orang memandang dan Bouw Ki menjadi semakin curiga, bahkan Kim Hong juga merasa curiga sekali.

"Orang gila, jangan bicara sembarangan!" Bouw Ki membentak. "Siapa engkau dan apa pula keperluanmu di sini?"

Pemuda itu memandang ke kanan kiri, ke arah pohon-pohon besar dan sambil tersenyum lebar dia berkata, seperti kepada batang-batang pohon itu,

"Ha-ha-ha, kalian dengar? Dia bertanya apa keperluanku di sini? Heii, kakek-kakek pohon, apa pula keperluan kalian berada di sini sampai ratusan tahun? Ciangkun, aku bernama Souw Hui San dan aku adalah seorang perantau, menjelajah ke mana saja tanpa tujuan. Kebetulan saja aku berada di sini dan engkau tidak adil kalau mengundang nona itu untuk diajak makan sedangkan aku tidak diundang!"

Dia menghampiri Bouw Ki sambil tersenyum.

"Berilah aku seekor kuda, boncengan juga boleh dan aku akan mengikut kalian, ikut pula makan minum gratis, heh-heh-heh!"
"Hemm, orang sinting!" bentak Bouw Ki, akan tetapi karena dia merasa curiga, tangannya menyambar dan tangan itu sudah mencengkeram pundak Hui San. Pemuda itu berteriak kesakitan dan pedang serta buntalannya telah dirampas oleh Bouw Ki.
"Sumoi, periksa ini buntalannya!" kata Bouw Ki sambil melemparkan buntalan itu kepada Kim Hong. Gadis itu menerima buntalan dan melompat turun dari atas kudanya.

Hui San yang pundaknya telah dilepas hanya menyeringai dan mengaduh-aduh kesakitan sambil memandang kepada Kim Hong yang melepaskan ikatan buntalan pakaiannya.

"Aih, nona, awas jangan sampai jari-jari tanganmu terbakar!" teriaknya dan teriakannya itu demikan bersungguh-sungguh sehingga mengejutkan banyak orang yang mengira bahwa di dalam buntalan itu ada rahasia atau racunnya.

Akan tetapi Kim Hong adalah seorang yang waspada. Ia hanya tersenyum mengejek dan tetap membuka buntalan itu. Tidak terjadi kebakaran atau bahaya apa pun yang menimpa tangan gadis itu. Isinya hanya pakaian, tempat makanan dan minuman, tidak ada apa pun yang aneh.

"Hemm, mengapa kau tadi mengatakan jari-jari sumoi-ku dapat terbakar?!" bentak Bouw Ki marah.
"Heh-heh, di sana ada pakaianku, celana dan baju yang belum kucuci, bekas kupakai..., maka aku katakan agar jangan sampai tangan nona itu terbakar... ehh, maksudku kotor."

Beberapa orang prajurit tertawa mendengar ini dan wajah Kim Hong berubah merah sekali mendengar bahwa baru saja dia memegang celana yang bekas dipakai dan belum dicuci, bisa dikatakan masih ‘hangat’ maka pemuda itu tadi memperingatkan agar jangan sampai tangannya terbakar. Kim Hong membuang buntalan itu ke arah pemiliknya.

"Ihh, jorok!" katanya.

Akan tetapi kemarahannya lenyap ketika dia memandang wajah pemuda itu, bahkan dia menahan perasaan geli hatinya. Pemuda itu sama sekali tidak mempunyai tampang orang jahat, juga sinar matanya tidak menunjukkan bahwa dia sinting atau setengah gila, malah kelihatan cerdik sekali.

Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Dia cepat mengambil pedang pemuda itu dari tangan suheng-nya lantas mencabutnya. Ketika pedang itu tercabut dari sarungnya yang nampak butut, semua orang segera berseru kagum melihat sinar terang menyilaukan mata.

"Hemm, pedang bagus!" kata Bouw Ki. "Bagaimana pedang yang sebaik ini dapat berada di tangan orang tak berguna ini?"

Kim Hong merasa curiga dan mengelebatkan pedangnya. Gerakannya cepat bukan main sehingga nampak sinar menyambar.

Kui Lan terkejut sekali sehingga hampir saja ia menggerakkan tongkat di tangannya untuk melindungi pemuda itu, akan tetapi dia menahan diri. Nampak olehnya betapa pemuda itu berteriak ketakutan sambil melindungi kepala dengan kedua tangannya. Sinar pedang itu membabat ujung bajunya sehingga terputus.

"Aduhhhh... celaka aduh, buntung...!" teriak Hui San yang berjingkrak seperti orang yang kesakitan.

Gayanya demikian meyakinkan sehingga Kim Hong sendiri merasa terkejut, menyangka bahwa sabetan pedangnya yang dilakukan untuk menguji kepandaian pemuda itu benar-benar telah melukainya.

"Apanya yang buntung?!" bentak Bouw Ki.
"Ini... bajuku...," kata Hui San dan kembali para prajurit tertawa. Beberapa orang di antara mereka mengatakan bahwa pemuda itu tentu miring otaknya.
"Siapa bilang otakku miring?" Hui San yang mendengar ucapan itu menoleh dengan sikap marah. "Jangan sembarangan bicara, ya? Pedangku ini adalah pemberian kakekku, dan para pendekar besar di dunia ini adalah sahabat baiknya! Apa kalian tidak tahu siapa itu Pangeran Li Si Bin yang sakti?"

Sikap Hui San demikian congkak, seakan-akan pangeran yang kemudian menjadi Kaisar Tang, yaitu Kaisar Tang Thai Cung pendiri Kerajaan Tang itu adalah kakeknya!

"Dan apa kalian tidak tahu siapa itu guru besar Tat Mo Couwsu?"

Semua orang terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama pangeran sakti itu dan pendeta Siauw-lim-pai yang juga amat terkenal sebagai pendiri pertama dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat terkenal, seolah pangeran sakti itu adalah kakaknya sedangkan pendeta sakti itu merupakan gurunya saja.

Kim Hong juga terkejut. Apakah pemuda ini masih mempunyai darah bangsawan dari para kaisar Tang keturunan marga Li? Dan apakah pemuda ini seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begitu berani menyebut-nyebut nama Tat Mo Couwsu?

"Hemm, memangnya siapa itu Pangeran Li Si Bin dan pendeta Tat Mo Couwsu? Apamu mereka itu?" Tanya Kim Hong ingin tahu sekali.
"Aihhh, nona! Engkau tidak tahu? Pangeran Li Si Bin adalah pendiri Kerajaan Tang yang kemudian menjadi kaisar ke dua berjuluk Tang Thai Sung, ada pun Tat Mo Couwsu adalah pendiri aliran Siauw-lim-pai! Tentu saja mereka bukan apa-apaku, aku tadi hanya bertanya siapa mereka!"

Semua prajurit tertawa. Lagak pemuda itu demikian congkak, tapi ucapannya seperti yang sungguh-sungguh ternyata hanya berkelakar saja.

"Sinting!" Bouw Ki memaki. "Tangkap dia!"
"Suheng, untuk apa kita menawan orang sinting ini? Menjadi beban saja bahkan dia akan selalu menimbulkan keributan di jalan. Biarkan dia pergi," kata Kim Hong.

Bouw Ki membenarkan pendapat sumoi-nya. Memang orang sinting ini tidak ada gunanya ditahan, tidak seperti nona cantik itu. "Nah, pergilah!" bentaknya.

Hui San memandang kepada pedang di tangan Kim Hong.

"Apakah nona hendak merampas pedang pemberian kakekku? Aku akan mengabarkan di seluruh penjuru dunia kangouw bahwa ada seorang nona muda yang cantik jelita, yang ada lesung pipit di pipi kirinya, dengan semena-mena telah merampas pedang pemberian dari kakekku, pedang keluarga yang turun temurun. Seorang nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ternyata telah bertindak curang, tidak sesuai dengan watak para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, pembela kebenaran dan keadilan."

"Nih pedangmu! Siapa sih yang ingin merampok pedangmu? Sungguh menyebalkan!" kata Kim Hong dan dia melemparkan pedang yang sudah berada dalam sarungnya itu kepada pemiliknya.
"Tokk!"

Karena pemuda itu tak mampu mengelak atau pun menyambut pedangnya, maka gagang pedang itu menimpa dahinya sehingga mengeluarkan bunyi dan pada dahi yang terketuk gagang pedang itu tiba-tiba saja muncul sebutir telur ayam! Kembali para prajurit tertawa dan dengan bersungut-sungut Hui San meninggalkan tempat itu, membawa buntalan dan pedangnya.

"Pendekar sinting!" Para prajurit berteriak mengejek.

Hui San berhenti melangkah, memutar tubuh lantas mengamangkan tinju ke arah mereka.

"Huh, orang gila itu tidak perlu dilayani!" kata Bouw Ki.
"Lucuti nona itu, cepat!"

Dua orang prajurit yang tadi pekerjaannya melucuti Kui Lan tertunda akibat munculnya Hui San, kini melanjutkan lagak mereka lagi.

"Berikan buntalanmu, nona!"
"Kesinikan pedangmu itu, nona!"

Mereka berdua menjulurkan tangan hendak merampas buntalan dan pedang.

"Pergilah!" bentak Kui Lan dan sekali tongkatnya bergerak, entah bagaimana kedua orang prajurit itu sudah terlempar jauh ke belakang dan jatuh berdebuk dengan keras, membuat mereka meringis kesakitan karena pinggul mereka menimpa tanah dengan kuatnya.

Tentu saja semua orang terkejut. Para prajurit itu merupakan prajurit pilihan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Bagaimana mungkin hanya sekali menggerakkan ranting di tangannya saja, gadis itu dapat membuat dua orang prajurit itu terlempar begitu saja?

Melihat betapa gadis cantik itu ternyata sangat lihai, maka kecurigaan Bouw Ki semakin meningkat. Kalau gadis ini seorang yang lihai, jelas dia ada hubungannya dengan pusaka kerajaan itu, pikirnya.

"Kepung dan tangkap gadis mata-mata ini!" bentaknya sambil mencabut pedangnya. Para prajurit bergerak dan mengepung.
"Sungguh tidak tahu malu, begini banyaknya laki-laki hendak mengeroyok seorang gadis!" terdengar bentakan nyaring, kemudian muncul seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis dan memegang sebatang tongkat butut.

Melihat pemuda yang wajahnya tampan, sikapnya gagah dan kedua matanya mencorong ini, Kim Hong dapat menduga bahwa pemuda jembel yang pakaiannya tambal-tambalan ini pun seorang yang mencurigakan. Tidak seperti pemuda sinting tadi, agaknya pemuda jembel ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, seperti gadis cantik itu. Dan dia pun menduga bahwa kemunculan pemuda ini tentu ada hubungannya dengan perebutan Mestika Burung Hong Kemala, maka sekali melompat dia sudah berada di depan pemuda itu.

Tentu saja Kui Lan mengenal suara kakaknya. Ketika dia menoleh, dia segera mengenali kakaknya walau pun kakaknya mengenakan pakaian tambal-tambalan. Dia menjadi girang bukan kepalang, akan tetapi dia bersikap pura-pura tidak mengenalnya sebab dia maklum bahwa mereka harus merahasiakan keadaan keluarga mereka.

Bouw Ki menerjang maju dengan pedangnya dan dia pun terkejut bukan main pada waktu pedangnya beradu dengan tongkat yang digerakkan gadis itu. Terasa olehnya seperti ada getaran yang aneh dan amat kuat hingga membuat telapak tangannya seperti lumpuh dan hampir saja pedangnya terlepas. Cepat dia menarik pedangnya lalu meloncat ke belakang dan membiarkan anak buahnya mengeroyok.

Dara itu segera memainkan ranting kayunya secara dahsyat, dan itulah Hong-in Sin-pang yang disertai ginkang hasil gemblengan dari Pek-lian Nikouw yang membuat tubuh gadis itu seperti seekor burung walet beterbangan dengan amat gesitnya.

Sementara itu, ketika Yang Cin Han dihadang oleh gadis cantik itu, dia menyangka bahwa gadis itu hanya gadis biasa saja. Maka, ketika gadis itu menerjang maju, Cin Han sudah menggerakkan tongkat bututnya untuk menotok dan membuat gadis itu tidak berdaya.

Tadinya Cin Han hanya ingin membayangi rombongan itu dan membiarkan mereka dapat menemukan Mestika Burung Hong Kemala, kemudian barulah dia akan mencoba untuk merampasnya. Akan tetapi melihat betapa rombongan itu bertemu dengan seorang gadis yang ternyata adalah adiknya, yaitu Yang Kui Lan, tentu saja dia tidak dapat membiarkan adiknya diganggu mereka.

Dia sudah mendengar dari Ji-wangwe bahwa Bouw-ciangkun dikawal oleh seorang gadis yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu gadis yang menghadangnya itu yang dimaksudkan, akan tetapi dalam hatinya Cin Han tidak yakin bahwa gadis yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena itu dia menggerakkan tongkatnya sekedar untuk menotok gadis itu tanpa menyakitinya agar gadis itu menjadi lumpuh dan menghentikan perlawanannya.

"Wuuutttt…! Plak-plak-plak...!"

Cin Han terkejut sekali. Bukan saja gadis itu mampu menghindarkan diri dari totokannya, bahkan tiga kali berturut-turut dia harus memutar tongkat untuk menangkis ketika dengan gerakan yang sangat aneh gadis itu menyerang dengan tamparan bertubi-tubi dan setiap tamparan membawa angin pukulan yang amat dahsyat!

Tentu saja sekarang Cin Han tidak berani memandang ringan. Dia lalu memutar tongkat bututnya dan memainkan Tai-hong-pang. Kini berbalik Kim Hong yang terkejut bukan main karena tongkat butut itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, seperti naga bermain di angkasa mengeluarkan angin badai yang amat dahsyat!

Kim Hong menjadi kagum bukan main. Tak pernah disangkanya akan berhadapan dengan seorang lawan setangguh itu. Juga diakuinya bahwa melihat sepak terjang gadis cantik itu, ternyata gadis itu pun lihai sekali.

Suheng-nya sama sekali bukan tandingan si gadis cantik, bahkan biar pun dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, gadis itu masih mampu membela diri dengan baik, walau pun tentu saja dia terkurung rapat. Dia sendiri harus mampu menandingi pemuda berpakaian pengemis itu kalau tidak ingin pihak rombongan suheng-nya kalah.

"Singgg...!"

Nampak dua gulungan sinar berkelebat ketika dia mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang kecil bertali. Itulah Hui-siang-kiam (Sepasang pedang terbang) yang dia mainkan dengan hati-hati untuk dapat mengimbangi permainan tongkat yang sangat aneh dari lawannya.

Cin Han terkejut dan merasa kagum sekali. Sepasang pedang kecil itu seperti hidup saja, menyambar-nyambar dahsyat laksana dua ekor burung rajawali sedang beterbangan dan terus menyerangnya. Hanya dengan memutar tongkatnya seperti kitiran barulah dia dapat melindungi dirinya. Kiranya benar apa yang dia dengar dari Ji-wangwe. Gadis itu memang lihai bukan main!

Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Cin Han segera mendapat kenyataan bahwa seperti juga dia sendiri, lawannya itu tidak memiliki niat untuk membunuhnya. Biar pun sepasang pedang pendek itu menyambar-nyambar dahsyat, akan tetapi yang menjadi sasaran utama adalah lengan tangannya yang memegang tongkat sehingga agaknya dara itu hanya ingin memaksa dia supaya melepaskan tongkatnya, seperti juga dia yang hanya berusaha untuk menotok gadis itu, bukan untuk melukainya apa lagi membunuhnya. Dan entah mengapa, mendapatkan kenyataan ini, hatinya merasa girang bukan main.

Dugaan Cin Han memang benar. Kim Hong sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, apa lagi gadis yang sangat lihai ini pun dapat mengetahui bahwa pemuda bertongkat itu tak berniat untuk melukainya, hanya ingin membuat dia tak berdaya dengan totokan. Kim Hong tidak percaya bahwa pemuda tampan gagah ini seorang tokoh kangouw yang ingin memperebutkan Mestika Burung Hong Kemala demi keuntungan dan kepentingan pribadi.

Melihat pakaiannya tentu dia seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis), dan sangat boleh jadi pemuda ini adalah orang yang setia kepada Kerajaan Tang dan ingin merampas pusaka untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang. Kalau demikian halnya, maka pemuda ini merupakan orang yang segolongan dengannya, karena dia pun sudah menerima tugas dari suhu-nya untuk membantu Kerajaan Tang.

Cin Han maklum bahwa dia hanya dapat mengimbangi lawannya saja, sedangkan adiknya yang dikeroyok banyak orang itu nampak kewalahan juga dan dia tidak dapat membantu adiknya. Maka, tiba-tiba dia meloncat jauh meninggalkan lawannya lantas terjun ke dalam kepungan para pengeroyok. Kepungan itu langsung membuyar, sedangkan Bouw Ki yang menyambut pemuda pengemis itu terhuyung ketika ujung tongkat menotok pahanya.

"Lan-moi, mari kita pergi!" kata Cin Han.

Kui Lan maklum bahwa tak ada gunanya untuk melawan terus. Dia pun sudah ingin sekali bertemu dan bercakap-cakap dengan kakaknya, maka dia pun segera memutar ranting di tangannya sedemikian rupa sehingga empat orang pengeroyok terpaksa mundur. Di lain saat, kakak beradik itu sudah berlompatan jauh dan melarikan diri.

"Kejar mereka!" bentak Bouw Ki.
"Tahan!" seru Kim Hong, membuat para prajurit yang memang sudah gentar menghadapi dua orang yang lihai tadi, menjadi ragu.
”Suheng, buat apa mengejar mereka? Kita datang ke sini bukan untuk menangkap orang. Lagi pula mereka itu lihai sekali. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan."

Bouw Ki menyadari kebenaran kata-kata sumoi-nya. Kalau tadi tidak ada sumoi-nya yang menahan pemuda berpakaian pengemis, agaknya dia dan anak buahnya akan menderita rugi besar. Tugas yang paling penting adalah mengambil benda pusaka itu. Maka dia pun memberi aba-aba kepada pasukannya kemudian mereka melanjutkan pendakian.

Setelah mereka tiba di depan tebing yang terdapat banyak goanya, Bouw Ki lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk membentuk penjagaan rapat di depan goa ke tujuh. Setelah melihat tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sekitar tempat itu, dia dan Kim Hong lalu memasuki goa.

Bouw Ki yang tergesa-gesa dan ingin sekali menemukan benda pusaka itu, langsung saja masuk ke dalam goa. Akan tetapi Kim Hong lebih waspada, maka dia meneliti tempat itu lebih dulu. Karena itu dia dapat melihat adanya beberapa buah bekas tapak kaki di lantai goa! Tapak kaki itu masih baru, maka dia pun tahu bahwa baru saja, paling lama kemarin atau kemarin dulu, ada orang lain memasuki goa ini!

"Ini dia!" terdengar suheng-nya berseru gembira. Bouw Ki mengambil sebuah kotak hitam dari balik tumpukan batu-batu di sudut goa lantas membawanya ke dekat sumoi-nya yang masih berada di mulut goa.
"Hati-hatilah, suheng. Periksa dahulu kalau-kalau benda itu mengandung alat rahasia atau racun!" Kim Hong mengingatkan.

Mendengar ini Bouw Ki terkejut dan segera meletakkan peti hitam itu ke atas lantai. Kim Hong cepat mendekatinya kemudian memeriksa. Tidak salah lagi tanda tapak kaki yang dilihatnya tadi. Ada orang yang mendahului mereka memasuki goa ini!

Ketika dia memeriksa peti atau kotak hitam itu, dia menemukan bukti lain. Kalau kotak itu sudah lama disembunyikan orang di dalam goa itu, tentu kotak itu menjadi basah karena kelembaban goa, dan tentu ada kotoran debu. Akan tetapi kotak itu masih bersih sekali, dan ini pun merupakan tanda bahwa kotak itu belum lama diletakkan orang di tempat itu.

Akan tetapi penemuannya ini tidak dia beri tahukan kepada suheng-nya. Dia juga memiliki kepentingan dalam urusan ini. Dia harus dapat menemukan benda pusaka itu supaya bisa dikembalikan kepada Kerajaan Tang.

Dan melihat kenyataan betapa kotak ini baru saja diletakkan orang di tempat itu, padahal menurut suheng-nya, peta itu sudah dibuat lama sebelum Menteri Yang Kok Tiong tewas, maka dia merasa hampir yakin bahwa semua ini merupakan tipuan belaka! Benda pusaka itu disangsikan keasliannya.

Mungkin yang asli tadinya berada di situ. Namun jelas bahwa sebelum peta itu terjatuh ke tangan Bouw Koksu, telah ada orang lain yang mengetahui tempat persembunyian benda itu dan mendahuluinya. Dia bahkan meragukan apakah kotak hitam itu ada isinya!

Dengan hati-hati, menggunakan ujung pedangnya, Kim Hong mencongkel kotak itu hingga terbuka dan ternyata di dalamnya memang terdapat sebuah benda mengkilat.

"Mestika Burung Hong Kemala...!" kata Bouw Ki girang dan dia pun mengeluarkan benda itu dari dalam kotak lalu menelitinya. Sebuah benda yang sangat indah, terbuat dari batu kemala dan diukir seperti seekor burung Hong.
"Suheng, kita telah berhasil," katanya hambar.

Agaknya tidak mungkin kalau benda ini asli, pikirnya. Ia pun mencurigai gadis cantik dan pemuda tampan seperti pengemis yang sangat lihai tadi, bahkan terbayang pula pemuda sinting dengan sikapnya yang aneh. Mengaku keturunan pendekar dan membawa pedang yang baik, akan tetapi sama sekali tidak menguasailmu silat. Agaknya tidak mungkin!

Siapakah di antara mereka yang telah mendahului suheng-nya masuk ke dalam goa ini? Hanya dia yang sudah mendahului mereka itu saja yang akan dapat menceritakan apakah benda pusaka itu benar palsu, dan di mana adanya mestika yang aslinya.

"Sumoi, kita harus segera membawa pusaka ini kepada ayah. Kita harus waspada, siapa tahu akan ada yang mengganggu kita," kata Bouw Ki dan dia pun membawa kotak hitam itu yang dia sembunyikan di balik jubahnya.
"Mari, suheng. Jangan khawatir, kukira tak ada orang yang akan mengganggu kita dalam perjalanan purang."

Rombongan itu segera meninggalkan pegunungan dan dengan hati gembira sekali Bouw Ki membawa benda pusaka itu dengan hati-hati. Dan memang benar dugaan Kim Hong. Tidak ada yang mengganggu mereka dalam perjalanan pulang itu.

Rombongan itu sama sekali tidak tahu bahwa ada seseorang yang berdiri di puncak dan menertawakan mereka yang tergesa-gesa menuruni perbukitan. Orang itu adalah Souw Hui San. Pamannya memang seorang yang cerdik luar bisa, juga lucu. Mau rasanya dia tertawa terpingkal-pingkal membayangkan betapa Bouw Koksu tertipu, bersenang-senang dengan mestika yang palsu!

Dia memanjat pohon terbesar dari mana tadi dia meneliti sekeliling, kemudian mengambil kembali buntalan kuning berisikan Mestika Burung Hong Kemala yang asli, yang tadi dia simpan di pucuk pohon besar itu sebelum dia sengaja mengacaukan rombongan prajurit ketika mereka hendak menangkap Kui Lan.

Setelah menyimpan benda pusaka itu dalam buntalan pakaiannya, Hui San lalu menuruni bukit dan kembali ke Tiang-an. Sekali ini dia tidak tergesa-gesa, karena tak perlu lagi dia membayangi rombongan Bouw-ciangkun. Dia naik perahu dan perlahan-lahan membiarkan perahunya hanyut di Yang-ce-kiang…..

********************

"Han-ko...!" Kui Lan memegang kedua tangan kakaknya dengan wajah gembra sekali.
"Lan-moi," Cin Han merangkul adiknya, hatinya amat bangga.
"Aku telah bertemu Kui Bi di Tiang-an dan dia sudah menceritakan mengenai pengalaman kalian. Sungguh aku ikut merasa gembira dan bangga bahwa kalian sudah menjadi murid pendeta sakti Kong Hwi Hosiang, dan tadi aku telah melihat kelihaianmu ketika dikeroyok banyak prajurit, Lan-moi."
"Selama ini engkau sendiri ke mana saja, Han-ko?" Kui Lan bertanya sambil memandang pakaian kakaknya dengan hati terharu. Kakaknya, yang dulu adalah putera Menteri Utama yang dihormati oleh semua orang, sekarang berpakaian seperti seorang pengemis!

Melihat pandangan mata adiknya yang memperhatikan pakaiannya, Cin Han tertawa geli. "Aihh, jangan kau mengira bahwa kakakmu ini sekarang telah menjadi seorang pengemis, Lan-moi. Ketahuilah bahwa selama ini aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong yang pernah melatihmu ilmu pedang itu. Karena kebiasaan merantau dengan suhu, aku sudah terbiasa mengenakan pakaian seperti ini. Apa lagi jika memasuki kota raja, aku harus menyamar dan dengan pakaian seperti ini barulah tidak akan ada yang mengenalku."

Dia lantas menceritakan betapa dia sudah bertemu dengan Kui Bi dan kini adiknya itu dia titipkan di rumah Ji-wangwe, seorang hartawan yang memimpin para pendukung Kerajaan Tang.

"Dari Ji-wangwe aku mendapat keterangan bahwa Bouw Kongcu tadi memimpin pasukan untuk mengambil Mestika Burung Hong Kemala yang disembunyikan dalam goa di tebing gunung ini."
"Ah, kalau begitu sekarang mereka tentu sedang mengambilnya. Kita harus mencegah hal itu, koko! Kita harus merampas pusaka itu untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang!"

"Tenanglah, Lan-moi. Gadis itu lihai sekali. Kalau kita menyerang mereka, sukar bagi kita untuk bisa memperoleh kemenangan. Yang penting kita harus mengetahui di tangan siapa Mestika Burung Hong Kemala itu berada. Agaknya seperti yang diduga Ji-wangwe, Bouw Koksu mungkin sekali hendak memiliki sendiri pusaka itu, entah apa maksudnya. Dia tidak melaporkan penemuan pusaka itu kepada An Lu Shan."
"Sekarang engkau hendak ke mana, koko?"
"Tentu saja kembali ke kota raja. Adik Bi juga berada di situ. Bukankah engkau juga akan bersamaku ke Tiang-an?"

Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku sudah membagi tugas dengan Bi-moi. Ia membantu perjuangan menentang pemberontak di kota raja, sedangkan aku hendak menyusul ayah yang mengawal Sribaginda ke barat. Ahh, ya, bagaimana dengan keadaan rumah kita di kota raja, Han-ko? Dan apakah ibu juga... ehh…, kenapa, koko?" Kui Lan cepat bertanya melihat perubahan pada wajah kakaknya.

Sukar bagi Cin Han untuk menerangkan. Ketika adiknya yang bungsu, Kui Bi, mendengar tentang kematian ayahnya setelah mengetahui kematian ibunya, adiknya itu pingsan. Lalu bagaimana nanti jadinya dengan Kui Lan kalau sekaligus mendengar bahwa ayahnya dan ibunya telah tewas?

"Lan-moi, aku percaya bahwa engkau adalah adikku yang berwatak tenang dan tabah, dapat memaklumi akan kekuasaan Tuhan yang Maha Pencipta, juga Maha Menentukan segalanya. Segala peristiwa yang menimpa diri kita, bahkan nyawa kita sekali pun berada di dalam kekuasaanNya untuk menentukan. Bukankah engkau masih tetap adikku yang tenang itu, bahkan sekarang, sesudah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tentu akan lebih mampu menguasai hati dan perasaan sendiri, bukan?"

Kui Lan menangkap lengan kakaknya. "Han-ko, tak perlu berputar-putar. Aku bukan anak kecil lagi. Katakan, apa yang telah terjadi dengan ibu?"

"Ibu kita telah tiada, Lan-moi…"
"Ibuuuu...!"

Kui Lan menahan jeritnya dan memejamkan kedua matanya untuk mencegah tangisnya, akan tetapi sepasang mata yang dipejamkan itu tidak mampu menahan air matanya yang bercucuran. Cin Han merangkul adiknya dan Kui Lan menangis di dada kakaknya. Setelah mereda tangisnya, dia baru melepaskan diri dengan lembut.

"Koko, ceritakan. Apa yang telah terjadi dengan ibu kita."

Dengan hati-hati dan tenang Cin Han menceritakan betapa pemberontak menyerbu kota raja dan ada anggota pemberontak yang menyerbu rumah mereka. Ibu mereka tidak ikut ayah mereka karena hendak menunggu di rumah sampai mereka bertiga kembali. Karena terancam bahaya hendak diperhina oleh para pemberontak, ibu mereka lantas mengambil jalan terhormat, yaitu membunuh diri.

"Ahh, kasihan ibu!" bisik Kui Lan.
"Kita patut bangga, Lan-moi. Ibu kita sudah tewas sebagai wanita terhormat dan dengan tidak menyerah kepada pemberontak, berarti ia tewas sebagai seorang pahlawan. Rumah kita dikuasai pemberontak dan sekarang menjadi tempat tinggal Bouw Koksu, yaitu ayah dari Bouw-ciangkun yang memimpin pasukan tadi."

Kui Lan sudah dapat menenangkan diri.

"Engkau benar, Han-ko. Ibu kita tewas tidak sia-sia, dan kita harus membantu bangkitnya kembali Kerajaan Tang. Dengan cara begitu maka berarti kita sudah dapat membalaskan dendam penasaran hati mendiang ibu kita. Yang kusayangkan, pada saat ayah mengawal Sribagiada Kaisar, kenapa ayah tidak memaksa ibu supaya ikut saja? Aku ingin menyusul ayah, koko."

"Kuatkan hatimu, adikku. Ayah kita juga sudah tiada..."
"Ahhhh...?!"

Wajah gadis itu berubah pucat, akan tetapi perasaannya tidak begitu tertikam kepedihan seperti ketika mendengar ibunya terkasih sudah tiada.

"Apa yang terjadi? Bukankah ayah kita ikut mengawal kaisar melarikan diri mengungsi ke barat?"

Dengan singkat Cin Han lalu menceritakan mengenai pembunuhan terhadap ayah mereka yang dilakukan oleh para prajurit pengawal yang merasa tak puas dan menganggap ayah mereka menjadi biang keladi kehancuran Kerajaan Tang.

"Juga bibi Yang Kui Hui tidak lepas dari hukuman. Dia menggantung diri di depan kaisar dan semua pasukan pengawal."

Kui Lan menarik napas panjang. "Sudah kita khawatirkan semua hal ini pasti akan terjadi. Kedudukan ayah yang tidak semestinya, karena pengaruh bibi Yang Kui Hui. Ah, sungguh kita harus merasa prihatin dan menyesal sekali, koko."

"Tak ada yang perlu disesalkan, adikku. Betapa pun juga ayah kita telah memperlihatkan kesetiaannya terhadap Kerajaan Tang. Dan semua sikap yang tidak benar dari ayah dan bibi masih dapat kita tebus dengan kesetiaan terhadap Kerajaan Tang. Kita bertiga sudah mempelajari ilmu, karena itu kita bisa menyumbangkan tenaga kita demi jayanya kembali Kerajaan Tang. Mari kita ke kota raja, adikku. Di sana kita dan Bi-moi dapat lebih banyak bekerja menentang pemberontak dan mempersiapkan diri untuk membantu pasukan Tang kalau saatnya tiba."

Kui Lan mengepal tangannya. "Aku sudah siap untuk membantumu, koko." Kemudian dia bertanya, "Koko, apakah yang dilakukan rombongan tadi ke sini? Dan gadis itu sungguh lihai bukan main."

"Mereka adalah rombongan dari kota raja yang dipimpin oleh Panglima bernama Bouw Ki, seorang bersuku bangsa Khitan. Aku sendiri tidak tahu siapa gadis itu, hanya mendengar bahwa dia memang membantu pasukan itu. Tak kusangka dia selihai itu."
"Apa yang mereka lakukan di sini?"
"Mereka sedang pergi ke tempat disembunyikannya Mestika Burung Hong Kemala."
"Ahh! Bukankah mestika itu merupakan pusaka kerajaan?"


"Benar, kabarnya pusaka itu sudah lenyap dan menjadi rebutan. Terakhir kalinya pusaka itu disimpan oleh mendiang ayah, entah bagaimana dapat terjatuh ke tangan mereka. Aku sedang membayangi mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak mengira akan bertemu denganmu. Tentu saja bagiku lebih penting menolong serta menyelamatkanmu dari pada menyelidiki tentang pusaka itu."
"Ah, kalau begitu tentu mereka sudah mengambil pusaka itu, koko! Sebetulnya kita harus merampasnya."
"Agaknya tidak mungkin, Lan-moi. Mereka terlalu kuat, apa lagi gadis itu. Bagaimana pun juga kita telah mengetahui bahwa Mestika Burung Hong Kemala terjatuh ke tangan Bouw Koksu."

"Siapa itu Bouw Koksu?"
"Dia adalah ayah dari panglima Bouw Ki tadi." Dan Cin Han lalu menceritakan keadaan pemerintahan baru yang dibentuk oleh An Lu Shan.
"Dan tahukah engkau siapa pemuda sinting tadi, koko? Apakah engkau melihatnya?"

Cin Han mengangguk. "Aku melihat dia akan tetapi aku tidak mengenalnya. Dia memang sangat mencurigakan. Nampaknya tolol dan lemah, tetapi dia membawa sebatang pedang yang amat baik. Aku masih menduga-duga siapa gerangan pemuda itu dan sudah kuingat wajahnya. Nanti akan kutanyakan kepada kawan-kawan kita di sana, mungkin ada yang mengenalnya. Kalau dia merupakan seorang pejuang yang setia terhadap Kerajaan Tang, tentu kawan-kawan kita mengenalnya. Kalau tidak ada yang mengenal berarti dia bukan apa-apa dan memang dia adalah seorang yang sinting."

"Akan tetapi perasaanku seolah mengatakan bahwa perbuatannya tadi memang disengaja untuk menolongku, koko."
"Mungkin saja. Nah, mari kita kembali ke kota raja. Kita bekerja sama dengan Bi-moi dan para pejuang. Di kota raja kita bisa mengikuti semua perkembangan dan mempersiapkan diri untuk membantu bila mana pasukan Kerajaan Tang datang untuk merampas kembali kerajaan yang terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan."
"Apakah ada harapan terjadi hal itu, koko?"
"Tentu saja ada. Jaringan mata-mata para pejuang yang bergerak di kota raja mempunyai hubungan dengan rombongan Sribaginda yang melarikan diri ke Se-cuan, dan kini sudah diperoleh berita bahwa Sribaginda yang dibantu oleh Panglima Kok Cu yang setia, sedang menyusun kekuatan di barat untuk merampas kembali tahta kerajaan. Marilah kita pergi, Lan-moi."

Kakak beradik itu lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja.....

********************
Souw Hui San mengelus-elus dahinya yang menjadi benjol sebesar telur ayam, tertimpa pedangnya sendiri yang tadi dilempar oleh Kim Hong.

"Wah, gadis yang lihai, galak dan sadis!" dia mengomel, kemudian mengeluarkan seguci kecil arak dan menggosok-gosok benjolan di dahinya dengan arak.

Tadi, ketika dia muncul dengan pura-pura menjadi orang sinting, dia memang bermaksud untuk menolong gadis yang membuat jantungnya berdebar keras. Begitu melihat Kui Lan, jantung di dalam dada Hui San seketika jatuh bangun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis seperti itu! Cantik jelita, lemah lembut, dan perkasa pula.

"Kui Lan, namanya Kui Lan...," dia bicara seorang diri dan kalau ada yang melihatnya saat itu, tentu akan menganggap dia benar-benar sinting, bukan pura-pura seperti tadi.
"Agaknya dia she Kui dan bernama Lan, sungguh nama yang indah, secantik orangnya. Akan tetapi, sayangnya dia mengenal aku sebagai orang sinting..." Dia tersenyum pahit, lalu mengelus benjolan di dahinya sambil menyebut-nyebut nama gadis itu.
"Ahhh... Kui Lan... Kui Lan..."

Hui San melamun sebentar, wajah Kui Lan terbayang-bayang dan akhirnya dia menghela napas panjang, mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung, kemudian mendaki bukit itu. Setelah berada di puncak bukit, dari atas dia melihat ke segenap penjuru.

Hui San tersenyum lega melihat rombongan Bouw Ki menuruni bukit, kembali dari tebing karang penuh goa. Senyumnya menjadi tawa geli membayangkan betapa rombongan itu, dengan rasa puas dan menang, sekarang kembali ke kota raja sambil membawa Mestika Burung Hong Kemala yang palsu!

Sesudah merasa yakin bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang lain, barulah Hui San memanjat pohon besar di mana tadi dia meneliti ke empat penjuru dan dia pun mengambil benda pusaka Giok-hong-cu itu dari puncak pohon.

Tadi dia memang sudah menyembunyikan pusaka itu di sana. Kalau tidak demikian, tentu dia tidak akan berani muncul untuk menolong Kui Lan. Ketika buntalannya digeledah, dia pun tenang-tenang saja karena pusaka itu telah lebih dulu dia amankan di puncak pohon. Andai kata rombongan itu tadi bertindak kasar hendak menawan atau membunuhnya, dia tentu akan melakukan perlawanan.

Tadi ketika mengintai, dia kagum melihat munculnya seorang pemuda menolong Kui Lan, bahkan dia lalu membayangi ketika kedua orang itu menyelamatkan diri. Karena maklum bahwa mereka itu lihai, dia hanya mengintai dari jauh sehingga tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda itu ternyata kakak si gadis, maka menguap dan lenyaplah perasaan tidak enak dan cemburu yang tadinya sudah mengusik perasaannya.

Setelah menyimpan Mestika Burung Hong Kemala yang asli, dia pun mulai menurun bukit itu dan menuju kembali ke kota raja. Dia merasa gembira melihat betapa kakak beradik itu pun menuju ke kota raja karena dia mengharapkan sekali untuk dapat bertemu kembali dengan Kui Lan, gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu…..

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-08
LihatTutupKomentar