Mestika Burung Hong Kemala Jilid 04


Orang-orang menyebut bukit itu sebagai Bukit Hitam, berdiri tegar di sebelah utara Sungai Yang-ce. Disebut demikian karena memang bukit itu selalu nampak hitam! Pohon-pohon yang tumbuh di sana, hutan-hutan, nampaknya memang kehitam-hitaman atau hijau tua dan gelap.

Bukit ini merupakan tempat yang amat ditakuti orang, karena selain terdapat banyak ular-ular yang beracun, juga menjadi tempat pelarian dan persembunyian para penjahat yang dikejar-kejar oleh pihak yang berwajib atau dikejar-kejar para pendekar. Bahkan terdengar pula desas-desus bahwa hutan-hutan di bukit itu juga dihuni oleh setan dan iblis, menjadi sarang siluman yang suka mengganggu manusia. Maka tak mengherankan kalau hampir tidak pernah ada orang berani mendakinya, bahkan para pemburu yang terkenal berani dan gagah sekali pun, akan berpikir seratus kali untuk berburu binatang hutan di bukit itu.

Akan tetapi, pada pagi hari itu para petani yang sedang menggarap sawah di kaki bukit sebelah timur, menghentikan pekerjaan mereka dan mata mereka terbelalak memandang kepada seorang gadis yang melenggang seorang diri melewati jalan dusun itu menuju ke arah Bukit Hitam!

Jika saja gadis itu merupakan seorang wanita yang berwajah mengerikan, atau setidaknya nampak seperti seorang wanita kang-ouw yang gagah perkasa, agaknya para petani tidak akan menjadi bengong memandangnya. Tetapi gadis itu demikian cantik jelita dan lembut, langkahnya juga lemah gemulai seperti orang menari saja.

Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, dan dia cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan biar pun tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam lebat dan agak berombak, dengan anak rambut bermain di pelipis dan dahinya, melingkar-lingkar. Akan tetapi yang teramat indah adalah matanya dan mulutnya.

Sepasang mata itu lebar dan bersinar-sinar, dengan kedua ujung agak menyerong ke atas dan mata itu semakin indah karena dihias bulu mata yang panjang lentik. Dan mulutnya! Bibir itu selalu nampak basah dan merah segar, lengkungnya seperti gendewa terpentang, kalau senyum sedikit saja tampak lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Mulut itu sungguh menantang dan menggemaskan!

Tubuhnya ramping akan tetapi padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya memang sederhana, hanya terbuat dari kain yang kasar, tetapi bersih dan karena bentuk tubuhnya memang menggairahkan, mengenakan pakaian apa pun akan pantas saja.

Gadis ini melangkah seorang diri sambil tersenyum-senyum kepada burung-burung yang beterbangan, kepada kerbau-kerbau yang meluku di sawah, kepada para petani. Agaknya dia menyadari pula bahwa orang-orang itu sekarang berhenti bekerja dan memandangnya penuh perhatian.

Namun pandangan mata para petani itu jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit dengan pandang mata para pemuda yang pernah dijumpainya selama ini. Pandangan mata para pemuda, terutama pemuda kota, mengandung kekurang ajaran dan kegenitan. Sebaliknya pandang mata para petani itu hanya membayangkan keheranan dan keinginan tahu. Dia lalu menghampiri mereka.

"Paman-paman yang baik, benarkah dugaanku bahwa bukit di depan itu yang dinamakan orang Bukit Hitam?"
"Betul, nona," kata seorang di antara mereka, seorang petani berusia lima puluh tahun lebih.
"Ahh, kalau begitu benar dugaanku. Nah, terima kasih, paman. Pagi ini cerah sekali, aku ingin cepat-cepat sampai di sana."

Gadis itu meninggalkan senyum yang manis sekali kepada mereka, lalu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanannya sambil memandang ke arah bukit itu.

"Maaf, nona, apakah nona hendak pergi mendaki Bukit Hitam?"

Suara kakek itu membuat si gadis cepat membalikkan tubuh menghadapinya, kemudian memandangnya. Di dalam suara kakek itu terkandung kekhawatiran besar.

"Benar, paman. Kenapa?"
"Aahhh...!"

Semua orang yang mendengar jawaban ini segera mengeluarkan suara seruan kaget dan khawatir, membuat gadis itu makin tertarik.

"Nona, kami tahu bahwa nona tentulah bukan orang dari daerah sini. Agaknya nona belum mengenal Bukit Hitam maka berani hendak mendakinya. Tentu nona belum pernah pergi ke sana, bukan?"

Gadis itu menggelengkan kepala. "Belum pernah, paman, akan tetapi kenapa?"

"Aihh, kalau begitu, kami mohon sebaiknya nona jangan sekali-sekali mendaki bukit itu! Di sana maut yang mengerikan menanti nona!" Kakek itu menunjuk ke arah Bikit Hitam dan mukanya agak pucat.
"Ehh, kenapa begitu? Ada apanya sih di atas sana?" Gadis Itu memandang dan menunjuk ke arah bukit, mulutnya tetap tersenyum.
"Apa saja yang dapat mencabut nyawa berada di sana, nona!" kata petani itu. "Binatang buas, ular-ular berbisa, penjahat-penjahat pelarian yang menyembunyikan diri, dan belum lagi... setan, iblis, siluman dan segala macam arwah penasaran menjadi penghuni hutan di bukit itu!"

Gadis itu membelalakkan matanya yang lebar sehingga mata itu nampak bagai sepasang bintang yang cemerlang

"Ihh, kalau benar di sana terdapat demikian banyaknya pencabut nyawa, mengapa kalian enak-enak saja bekerja di sini, di kaki bukit itu tanpa rasa takut?"

”Di sini lain lagi halnya, nona. Bukit itu sudah menjadi bukit yang ditakuti semenjak nenek moyang kami yang tinggal di sini. Siapa pun yang berani datang ke bukit itu, pasti akan mengalami kematian yang mengerikan. Akan tetapi penghuni di kaki bukit belum pernah ada yang diganggu. Sebab itu, sekali lagi, bila nona hanya hendak melihat pemandangan alam, pergilah ke bukit lain, jangan ke Bukit Hitam."

"Benar, nona, jangan pergi ke sana. Engkau masih begini muda... alangkah mengerikan kalau engkau menjadi korban pula!" kata seorang petani lain.

Gadis itu pun tersenyum. "Terima kasih atas nasehat para paman di sini. Akan tetapi aku mempunyai urusan dan keperluan di bukit itu. Nah, selamat tinggal!" Gadis itu melangkah lagi.

"Nona..., nona...!" Petani itu masih berteriak gelisah. "Nona memiliki urusan apa di tempat seperti itu?”

Sambil terus melangkah dan menoleh sedikit gadis itu menjawab, "Urusanku justru ingin bertemu dengan binatang buas, ular berbisa, penjahat dan setan siluman!"

Mendengar jawaban ini, para petani menjadi bengong! Kemudian mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika mereka melihat gadis itu berkelebat dan bayangannya lenyap ke arah bukit itu!

"Hiiiii... dia... dia...," seorang tergagap.
"si... si... siluman…," yang lain menyambung.

Belasan orang petani itu lalu bergerombol, saling berhimpitan dan dengan tubuh gemetar menanti mela petaka apa yang akan menimpa mereka. Setelah lewat satu jam dan tidak terjadi sesuatu, barulah mereka berani melanjutkan, akan tetapi sama sekali tidak berani membicarakan gadis tadi selama mereka bekerja di sawah.

Baru nanti setelah mereka pulang, akan ramailah di dusun mereka mendengar kisah yang aneh tentang gadis cantik jelita yang berani mendaki Bukit Hitam dan pandai menghilang. Mereka semua yakin bahwa gadis cantik tadi pastilah siluman!

Begitu banyak orang membicarakan tentang setan iblis dan siluman, dan mereka semua takut kepada siluman. Akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang benar-benar pernah melihat siluman. Mereka sudah banyak mendengar mengenai setan, akan tetapi belum pernah melihatnya sendiri dengan jelas. Kalau pun ada yang pernah melihatnya, yang terlihat hanyalah bayangan atau samar-samar saja sehingga tidak dapat ditentukan bahwa yang dilihatnya adalah setan!

Justru inilah yang mendatangkan rasa takut, justru karena tidak dapat dilihat. Andai kata setan dan iblis dapat kita lihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia lagi. Makhluk yang paling buas dan besar pun, asalkan dia dapat dilihat, mudah ditaklukkan oleh manusia. Setan dan iblis pun, kalau terlihat, tentu akan dapat ditaklukkan manusia.

Rasa takut timbul akibat permainan pikiran. Pikiran membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran karena membayangkan hal yang belum ada, yang belum terjadi.

Orang takut terkena penyakit karena dia belum sakit. Kalau sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu, yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa dan sebagainya dan selanjutnya.

Siapakah gadis cantik jelita yang demikian besar nyalinya mendaki Bukit Hitam, bahkan yang seolah-olah bisa menghilang dari pandang mata para petani? Dia bukanlah siluman, bukan iblis atau setan, dia seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dan dia bukan lain adalah Can Kim Hong!

Dua tahun telah lewat sejak Kim Hong diselamatkan oleh seorang kakek gagu dari tangan gurunya sendiri dan putera gurunya, yaitu Bouw Hun dan puteranya, Bouw Ki. Bouw Ki, suheng-nya itu, sudah tergila-gila kepadanya dan hendak memaksanya menjadi isterinya, dibantu oleh ayah suheng-nya atau gurunya sendiri.

Dia lantas melarikan diri, akan tetapi dapat disusul mereka, dan tentu dia akan terjatuh ke tangan mereka kalau saja tidak muncul kakek gagu yang mengalahkan ayah dan anak itu, kemudian yang mengantarkan Kim Hong menyeberangi sungai ke pantai selatan.

Sesudah sampai di tepi sungai sebelah selatan, Kim Hong hendak memberi upah kepada tukang perahu yang gagu itu, akan tetapi si tukang perahu menolak, kemudian mencoba untuk menyatakan isi hatinya dengan gerakan tangan. Namun Kim Hong tidak mengerti.

"Aih, paman yang gagah dan baik, apa sih yang hendak kau katakan dengan gerakan jari tangan itu? Aku tidak mengerti!" kata Kim Hong.

Si gagu tersenyum, dan diam-diam Kim Hong merasa senang kepada kakek itu. Bukan hanya karena kakek itu dengan amat mudahnya mengalahkan gurunya yang merupakan datuk orang Khitan, akan tetapi juga senyum kakek itu membuat wajahnya terlihat ramah dan menyenangkan, juga masih nampak betapa si gagu ini adalah seorang laki-laki yang tampan.

Dari bentuk wajahnya dan sinar matanya, dapat diduga bahwa kakek gagu ini bukan orang kebanyakan, karena selain wajahnya tampan dan nampak rapi dan bersih, juga matanya mengandung wibawa yang besar. Pakaiannya serba hitam sederhana, malah caping lebar yang menutupi kepalanya juga hitam. Yang putih hanya rambutnya, yang panjang dan tiga perempat bagian sudah putih.

Sambil tersenyum si gagu lalu membuat coretan di atas tanah dengan sebatang ranting. Kim Hong membaca coret-coretan yang membentuk huruf itu.

"Di depan terdapat para penjahat yang jauh lebih berbahaya dari pada dua orang tadi," demikian bunyi tulisan itu.

Kim Hong tersenyum. Ternyata orang ini hendak memperingatkan dia bahwa apa bila dia melanjutkan perjalanan, akan banyak menemui penjahat yang bahkan lebih lihai dari pada gurunya!

"Aku tidak takut, paman!" katanya.

Si gagu menulis lagi. Coretannya cepat dan bertenaga sehingga membentuk huruf-huruf yang dalam dan mudah dibaca di atas tanah.

"Keberanian tanpa didasari kekuatan adalah suatu kesombongan yang bodoh dan sia-sia. Nona sangat berbakat, kalau mau menjadi muridku tentu akan memiliki bekal yang kuat untuk melakukan perjalanan seorang diri," kata tulisan itu.

Kim Hong tertegun dan termenung. Ia harus mencari ayah kandungnya, akan tetapi kalau baru saja keluar sudah hampir gagal karena dia kurang mampu membela diri, bagaimana jika di depan sana benar-benar bertemu lawan yang lebih lihai dari Bouw Hun? Usahanya akan sia sia belaka, dan dia pun akan tertimpa mala petaka. Setelah mempertimbangkan dan yakin dengan kemampuan si gagu, tiba-tiba saja Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan tukang perahu itu dan memberi hormat.

"Teecu (murid) Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu..."

Kim Hong memandang ke atas tanah sebagai isyarat bahwa ia menunggu jawaban orang itu dengan tulisan. Si gagu kembali tersenyum lebar dan ujung ranting itu cepat mencoret beberapa huruf di atas tanah.

"Hek-Liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu!" Kim Hong membaca dan dia kembali memberi hormat.
"Teecu Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu Kwan Bhok Cu yang berjuluk Naga Hitam!"

Kembali kakek itu menulis di atas tanah dengan ranting, kemudian dia menghapus tulisan tadi sehingga permukaan tanah rata kembali.

"Aku mau menjadi gurumu, dengan syarat bahwa selama dua tahun engkau ikut ke mana pun aku pergi, mentaati semua perintahku, berlatih dengan tekun dan sekali saja engkau mencoba meninggalkan aku sebelum kuberi ijin, aku akan membunuhmu. Bagaimana?"

Kim Hong terkejut sekali. Alangkah kerasnya peraturan orang ini. Akan tetapi, karena dia ingin sekali memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengalahkan orang semacam gurunya, maka dengan nekat dia pun mengangguk dan menjawab dengan suara yang tegas.

"Teecu bersedia!"

Si gagu lalu memberi isyarat kepada Kim Hong untuk naik kembali ke dalam perahu kecil. Kim Hong menaati dan mereka pun kembali ke dalam perahu. Si gagu mendayung perahu yang meluncur cepat seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Demikianlah, semenjak hari itu pula Kim Hong menjadi murid Si Naga Hitam yang gagu. Dia digembleng dengan keras dan tekun, dan karena Kim Hong memiliki bakat yang baik, dan dia pun telah memiliki dasar ilmu silat yang cukup mendalam berkat pendidikan Bouw Hun, maka setelah dua tahun digembleng, dia memperoleh kemajuan yang amat pesat.

Bukan hanya ilmu silat, tenaga sakti sinkang dan ilmu meringankan tubuh, namun gadis itu juga menerima ilmu bermain di dalam air. Dia bukan saja pandai berenang seperti ikan, akan tetapi juga tahan menyelam hingga lama, tidak seperti kemampuan orang biasa, dan di dalam air pun dia dapat bergerak dengan gesit.

Selama dua tahun lebih Kim Hong membuktikan bahwa sungguh pun dia suka berkelakar, lincah, galak, jenaka dan ugal-ugalan, namun dia taat dan tekun berlatih sehingga belum pernah gurunya yang gagu itu merasa kecewa atau menyesal. Bahkan sejak mempunyai Kim Hong sebagai muridnya, si gagu itu nampak selalu cerah dan berseri, selalu gembira dan diam-diam dia sangat menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri. Itulah sebabnya maka dia ingin menjadikan Kim Hong seorang gadis yang benar-benar tangguh.

Pada suatu hari dia memanggil Kim Hong. Seperti biasa, gadis itu sudah mempersiapkan sebatang ranting untuk menjadi alat tulis bagi gurunya sebagai pengganti kata-kata. Akan tetapi, kalau ada orang lain melihat cara guru itu ‘bicara’ kepada muridnya melalui tulisan, mereka akan terlongong heran.

Si Naga Hitam sama sekali tidak mencoret ke atas tanah lagi seperti dua tahun yang lalu, melainkan dia menggunakan ranting itu untuk membuat gerakan mencoret-coret di udara! Dan hebatnya, Kim Hong mampu mengikuti dan membaca setiap gerakan corat-coret itu, walau pun tentu saja dipandang dari sudutnya yang berhadapan, huruf-huruf yang ditulis di udara itu terbalik! Inilah merupakan semacam ilmu yang dikuasainya karena kebiasaan.

Selama dua tahun gurunya selalu bicara dengan coretan huruf, dan gadis itu sedemikian hafal dengan gerakan-gerakan ini sehingga lambat laun gurunya tidak perlu lagi menulis di atas tanah, cukup membuat gerakan menulis di udara. ‘Ilmu’ ini ternyata mendatangkan kemajuan pesat bukan main dalam ilmu silat Kim Hong, karena pandangan matanya kini sangat peka dan tajam, dapat mengikuti gerakan ranting yang sengaja dipercepat oleh si gagu kalau dia menuliskan huruf di udara.

"Semua ilmu simpananku sudah kuajarkan padamu," demikian bunyi coretan di udara itu, diikuti secara seksama oleh Kim Hong. "Akan tetapi aku ingin engkau memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun sehingga engkau tidak dapat dicurangi lawan yang jahat dan yang suka menggunakan racun untuk menjatuhkan lawan. Untuk keperluan itu, sekarang juga engkau harus pergi mencarii Ang-thouw Hek-coa (Ular Hitam Kepala Merah). Jangan kembali ke sini sebelum engkau bisa membawa seekor Ang-thouw-coa. Pergilah engkau ke Bukit Hitam di lembah sungai Yang-ce sebelah utara. Tempat itu amat berbahaya, dan engkau berhati-hatilah. Sekali terkena gigitan ular itu, kekuatan tubuhmu tak akan mampu melindungimu. Nah, berangkatlah dan jangan ragu!"

Seperti biasa, Kim Hong menaati perintah ini. Sesudah membawa bekal pakaian, dia pun berangkat. Pada suatu pagi tibalah dia di kaki Bukit Hitam dan sikapnya sudah membuat para petani di kaki bukit itu terkejuf dan ketakutan karena mengira dia seorang siluman.

Biar pun Kim Hong memiliki watak yang lincah jenaka, galak dan ugal-ugalan, akan tetapi ia pun selalu waspada dan tidak ceroboh. Apa lagi melihat sikap para petani di kaki bukit, dia tahu bahwa bukit yang didaki itu merupakan tempat yang berbahaya.

Juga gurunya menuliskan bahwa Bukit Hitam merupakan tempat berbahaya dan dia harus berhati-hati. Itulah sebabnya, setelah memasuki hutan pertama, dia mendaki dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa, selalu waspada terhadap sekelilingnya.

Dalam keadaan seperti itu gadis ini waspada. Seluruh panca indera serta urat syarafnya dalam keadaan peka dan siap siaga sehingga ada gerakan sedikit saja, ada bau apa saja dan pendengaran apa saja, dia pasti dapat menangkapnya dengan cepat. Inilah hasil dari kepekaan yang didapatnya karena selama dua tahun lebih, setiap hari dia mengikuti dan menangkap gerakan ranting di tangan suhu-nya setiap kali berbicara kepadanya.

Bukan hanya matanya yang amat jeli, juga pendengarannya sehingga dia bisa mengikuti gerakan ranting di tangan suhu-nya dengan pendengarannya saja. Tanpa melihat pun, dia dapat mendengarkan dan mengetahui huruf apa yang ditulis suhu-nya di udara!

Tiba-tiba dia berhenti, hidungnya yang kecil mancung itu bergerak-gerak sedikit, atau lebih tepat lagi, cuping hidung yang tipis itu kembang kempis. Dia mencium sesuatu! Di dalam hutan yang hawanya lembab seperti itu memang terdapat banyak macam bau yang timbul dari tanah basah yang ditilami daun-daun kering membusuk, atau daun-daun yang basah, kembang-kembang hutan, kotoran binatang, dan sebagainya. Akan tetapi sekarang Kim Hong mencium bau bangkai!

Karena tidak memiliki pengalamanan dalam hal ini, tentu saja dia tidak bisa memastikan bangkai apa yang menghamburkan bau busuk itu, bangkai binatang ataukah manusia. Dia menghampiri dan menutupi hidungnya ketika melihat bahwa yang berbau busuk itu adalah mayat seorang manusia.

Agaknya baru beberapa hari orang laki-laki itu tewas. Mukanya belum rusak, akan tetapi kulitnya sudah mulai rusak dan membusuk. Sekali pandang saja tahulah Kim Hong bahwa orang itu tewas karena luka berat pada kepalanya, bahkan melihat bentuknya yang sudah tidak utuh lagi, dia pun tahu bahwa kepala itu telah retak atau pecah. Dia juga melihat ada tanda menghitam seperti jari-jari tangan di pelipis kanan mayat itu.

Kim Hong melanjutkan perjalanannya, mendaki ke atas. Di sepanjang perjalanan mendaki yang amat sulit karena tempat itu licin dan banyak terdapat jurang yang curam, ia melihat mayat-mayat berserakan. Semua ada tujuh orang banyaknya! Dia pun semakin waspada.

Betul pesan suhu-nya, dan benar pula keterangan para petani tadi. Tempat ini berbahaya sekali. Melihat keadaan tujuh orang itu, yang semua tewas dengan tanda-tanda bekas jari menghitam, mereka tentulah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata bertubuh tegap dan kokoh kuat, dan di dekat mereka selalu terdapat senjata, agaknya senjata mayat itu. Ada pedang, golok, tombak dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan senjata yang cukup baik. Ada pembunuh yang meninggalkan tapak jari hitam di tempat ini, pikirnya!

Suara mendesis dari sebelah kiri membuat Kim Hong meloncat dan menjauh. Seekor ular yang panjangnya satu setengah depa bergerak cepat ke arahnya. Ular itu agaknya galak, berani menyerang manusia. Akan tetapi bukan ular yang dia cari karena ular ini belang-belang, dan panjang. Padahal menurut suhu-nya, Ang-thouw Hek-coa hanya sebesar ibu jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari dua tiga jengkal saja.

Tangan Kim Hong menyambar sebatang ranting, kemudian sekali ranting bergerak, ular itu melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat sekarat dengan kepala tertembus ujung ranting yang menghujam ke dalam tanah.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian aneh, terdengar asing sekali baginya, Dia pun menyelinap di antara pohon-pohon dengan tetap waspada karena dia tidak mau kalau tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa. Dia menyusup-nyusup sampai ke tempat dari mana suara itu datang dan tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari balik semak belukar dengan mata terbelalak heran.

Si mata sipit itu mengeluarkan sebuah keranjang, kemudian membuka tutupnya. Dari atas Kim Hong dapat melihat dengan jelas bahwa keranjang itu berisi seekor ular yang kecil saja, sebesar ibu jari tangannya, tubuhnya sepanjang dua jengkal lebih dan kulit tubuh itu hitam legam mengkilat.

Namun yang paling mengagumkan adalah kepalanya. Kepala itu merah laksana api! Dan sepasang mata ular lebih merah lagi, seperti inti api dan mencorong menyeramkan walau pun ularnya hanya sekecil itu.

Kini dua belas orang itu meniup suling mereka. Suara dua belas batang suling yang ditiup melengking-lengking itu senada dan seirama sehingga terdengar sangat menghanyutkan perasaan. Kim Hong sendiri juga merasa tergetar sehingga dia cepat-cepat mengerahkan sinkang agar jangan sampai gemetar dan terjatuh dari atas pohon.

Kemudian, lewat beberapa menit sesudah dua belas batang suling ditiup dalam lagu yang aneh dan asing bagi telinga Kim Hong, ular kecil itu bergerak keluar dari dalam keranjang, turun ke atas tanah dan mulailah ular itu menari-nari. Mereka betul-betul menari sehingga hampir saja Kim Hong terpelanting karena menahan tawanya.

Dia merasa geli karena lucu bukan main. Bayangkan saja! Ular itu ‘berdiri’ di atas ekornya dan tubuhnya meliuk-liuk seperti seorang penari berpinggul besar menggoyang-goyangkan pinggul. Kepalanya yang merah juga digerakkan ke kanan kiri sesuai dengan irama lagu.

"Hi-hik, ular badut!" Kim Hong terkekeh dalam hatinya.

Ular yang warnanya sangat cerah, hitam mengkilap dan kepalanya merah seperti api atau darah itu, selain indah juga amat lucu. Dia pernah melihat ular kobra. Rajanya ular ini pun hanya mampu mengangkat kepala dari bawah leher ke atas saja. Akan tetapi ular hitam kepala merah ini dapat berdiri, benar-benar berdiri di atas ekornya yang tidak runcing dan berlenggang-lenggok!

Kemudian si mata sipit menurunkan sulingnya, sedangkan yang lain masih terus meniup suling masing-masing. Kini si mata sipit ikut menari! Sambil duduk bersila dua lengannya seperti dua ekor ular yang menari pula, meniru gerakan ular hitam.

Agaknya sang ular yang cerdik namun bodoh bagi manusia itu, menganggap bahwa dia sedang ditemani dua ekor ular lain yang bentuknya aneh tetapi pandai menari seperti dia. Atau mungkin dia sudah terbiasa ditemani dua ekor ‘ular’ itu.

Tangan si mata sipit memang berbentuk moncong ular dan kini tiga ‘ekor’ ular itu menari-nari saling mendekati, bahkan kadang mereka bersenggolan. Seorang anggota kelompok menurunkan sulingnya pula, lalu mengeluarkan seekor katak dari dalam kantung. Seekor katak yang besar dan gendut!

Kemudian, dengan gerakan cepat sekali tiba-tiba si mata sipit telah menangkap leher dan belakang kepala ular hitam yang terpaksa membuka mulutnya lebar-lebar hingga nampak gigi yang runcing melengkung ke dalam. Orang yang memegang katak tadi mendekatkan katak, lalu si mata sipit menyentuh katak itu dengan moncong ular yang segera menggigit katak. Katak itu meronta sebentar lalu terdiam.

Si mata sipit menarik kepala ular hingga terlepas, lalu menggigitkan lagi sampai berulang kali. Tubuh katak itu berubah menghitam! Dan gerakan ular itu makin lemah seakan-akan dia telah kehabisan tenaga, bahkan sesudah katak yang telah mati dan berubah hitam itu kembali dimasukkan ke kantung dan ular itu dilepas, dia nampak lemas dan gerakannya menjadi lambat.

Sekarang Kim Hong menyaksikan peristiwa yang sangat mengherankan hatinya. Si mata sipit menangkap seekor ular kobra belang-belang yang sebesar lengan dan tampak ganas sekali. Ular yang berbisa dan biasanya sangat ganas ini jinak saja dan ketika dia dilepas di hadapan ular hitam kepala merah, ular kobra itu kelihatan ketakutan dan melingkar diam, meletakkan kepalanya di atas tanah di depan ular hitam yang lemas.

Semangat ular hitam agaknya sekarang dibangkitkan oleh tiupan suling yang melengking-lengking. Ular hitam itu menggerakkan kepalanya yang merah, lantas moncongnya dibuka dan dia pun segera menerkam dengan moncongnya ke arah belakang kepala ular kobra. Ular kobra diam saja dan tampak ular hitam seperti menghisap sesuatu dari kepala bagian belakang ular kobra.

Sesudah ular hitam yang kini menjadi agak gesit melepaskan gigitannya, ular kobra tidak mampu bergerak lagi dan telah mati. Lalu si mata sipit mengambil ular ke dua, ular yang ekornya besar dan ekor itu bila digerak-gerakkan bisa mengeluarkan bunyi berkerotokan! Sungguh merupakan ular yang aneh dan langka, akan tetapi yang racunnya jahat bukan main. Sekali terpagut ular ini, jangan harap dapat hidup lebih lama dari dua tiga jam!

Seperti juga ular kobra tadi, ular ini ‘mendekam’ di hadapan ular hitam yang kini menjadi lebih lincah. Si hitam berkepala merah itu menerkam seperti tadi dan korbannya diam saja seperti terpesona, membiarkan racun pada belakang kepalanya dihisap habis dan dia pun tewas!

Setelah menghisap habis racun dari belakang kepala enam ekor ular yang paling berbisa, agaknya si hitam berkepala merah itu baru puas dan kenyang, kemudian dia dimasukkan kembali ke dalam keranjang kecil oleh si mata sipit, melalui suara suling yang menuntun ular itu masuk kembali ke tempatnya.

Selesailah pertunjukan itu dan Kim Hong dipersilakan turun. Gadis ini kagum sekali.

"Aihh, ular itu sungguh lucu. itukah Ang-thouw Hek-coa yang dicari suhu?"

Si mata sipit tersenyum, akan tetapi dia menghela napas seperti orang bersedih. "Benar, sian-li. Seperti sian-li melihatnya sendiri tadi, demikianlah cara kami mengumpulkan racun kemudian membuat racun itu menjadi pil untuk dijual. Kami mengumpulkannya lewat ular hitam kepala merah. Ketika kami menggigitkannya kepada katak tadi, maka semua racun ular itu berpindah ke dalam tubuh katak dan kami akan memeras darah katak yang sudah penuh dengan racun itu. Kemudian kami memberi beberapa ekor ular yang paling berbisa untuk dihisap racunnya oleh Ang-thouw Hek-coa dan racun dalam tubuhnya seketika pulih kembali. Dengan cara ini, maka setiap tiga hari sekali kami mampu mengumpulkan racun yang banyak karena gigitan ular hitam kepala merah itu mengeluarkan racun yang banyak sekali dan amat ampuh."

Kim Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu pantas saja kalian menganggap ular hitam kepala merah sebagai sumber rejeki. Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan ular seperti itu untuk memenuhi perintah suhu?"

"Kami menganggap sian-li sebagai dewi penolong, maka kami hadiahkan ular ini kepada sian-li untuk diserahkan kepada Si Naga Hitam, guru sian-li!" kata si mata sipit dan semua orang mengangguk-angguk sehingga Kim Hong merasa terharu sekali.

"Akan tetapi itu... itu amat merugikan kalian! Lalu bagaimana kalian dapat mengumpulkan racun untuk dijual?" tanyanya agak ragu biar pun tentu saja di dalam hatinya dia merasa girang sekali.
"Jangan khawatir, sian-li. Kami akan mengumpulkan racun seperti dahulu, sebelum kami memiliki ular hitam kepala merah, yaitu dengan cara mengumpulkan dari ular-ular berbisa sedikit demi sedikit. Tentu saja tidak bisa secepat kalau melalui ular hitam kepala merah. Dengan dia kami dapat mengumpulkan sebanyak itu setiap tiga hari, tetapi tanpa dia kami akan dapat mengumpulkan racun sebanyak itu dalam waktu tiga puluh hari."

"Aihh! Kalau begitu aku hanya membuat kalian menderita!" seru Kim Hong terkejut.
"Tidak, sian-li. Kami pun sudah kehilangan banyak kawan sehingga jumlah kami tinggal dua belas orang. Kami tidak memiliki kebutuhan yang banyak. Lagi pula sekitar dua tahun lagi kami dapat mencari anak ular ini yang tentu sudah besar sehingga bisa menggantikan pekerjaan itu."

Akhirnya Kim Hong menerima pemberian itu dan dia pun turun dari Bukit Hitam, ditemani oleh dua belas orang itu sampai di bawah kaki bukit. Mereka lalu saling berpisah sesudah Kim Hong mengucapkan terima kasih kepada mereka…..

********************
Di puncak Bukit Nelayan, Hek-liong Kwan Bhok Cu yang gagu itu menerima kedatangan muridnya dengan wajah gembira. Dengan caranya sendiri, yaitu mencorat-coret huruf di udara dengan menggerak-gerakkan ranting, dia ‘bicara’ kepada Kim Hong.

"Engkau bisa cepat pulang dan membawa ular hitam kepala merah, hal ini menunjukkan bahwa tidak sia-sialah aku mendidikmu selama dua tahun lebih ini. Orang lain belum tentu bisa memperoleh ular itu selama hidupnya, apa lagi dalam waktu yang sesingkat ini. Akan tetapi aku melihat dari atas tadi bahwa ada tiga bayangan orang yang ikut naik mengikuti engkau."

Kim Hong kaget sekali. Kalau sampai dia sendiri tidak melihat dirinya dibayangi orang dari bawah bukit, hal itu membuktikan bahwa tiga orang yang membayanginya tentulah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Cepat simpan ular itu ke dalam!" kata Hek-liong Kwab Bhok Cu lewat coretan rantingnya.

Kim Hong segera menaati perintah gurunya. Dibawanya keranjang kecil ke dalam pondok dan disembunyikannya keranjang itu di bawah tempat tidurnya. Setelah itu dia pun cepat berlari keluar kemudian berdiri di samping gurunya menunggu kedatangan tiga bayangan orang yang bergerak dengan cepat seperti terbang mendaki puncak Bukit Nelayan.

Kim Hong memandang dengan penuh perhatian. Sesudah tiga orang itu tiba di depannya, diam-diam ia terkejut mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si raksasa hitam Hek-bin Mo-ong! Dia tadi belum sempat menceritakan pengalamannya dengan Raja Iblis Muka Hitam kepada gurunya. Tentu saja gurunya tidak mengenal siapa raksasa hitam itu.

Dan melihat dua orang yang lain, dia dapat menduga bahwa agaknya mereka itu adalah rekan-rekan si raksasa hitam. Agaknya tiga orang inilah yang disebut Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis).

Sesudah kalah menghadapi pengeroyokan para pemuja ular yang dibantunya, si raksasa hitam itu tentu pergi mengundang dua orang rekannya lalu pergi ke Bukit Nelayan, bukan membayanginya. Kini dia teringat betapa dia pernah mengaku kepada raksasa hitam itu bahwa dia bertempat tinggal di Pulau Nelayan.

Akan tetapi, betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat tiga orang itu tidak memandang kepadanya, melainkan kepada gurunya dan mereka bertiga tersenyum-senyum.

"Aha, kiranya Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu yang berada di sini!” kata seorang di antara mereka yang tubuhnya pendek dan berperut gendut sehingga dia nampak bulat. Kakinya pendek dan tertutup jubahnya yang panjang sehingga bila berjalan ke depan nampaknya dia seperti menggelundung saja.

Orang ini adalah orang ke dua dari Sam Mo-ong dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai datuk yang berjuluk Siauw-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Ketawa). Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa atau tersenyum lebar, dia kelihatan ramah dan baik hati, akan tetapi orang akan merasa ngeri bila melihat sepak terjangnya. Dia kejam bukan kepalang, suka menyiksa orang sehingga mukanya yang tertawa itu hanya sebagai kedok.

"Hemmm, ternyata Kwan Bhok Cu belum mampus seperti yang dikabarkan orang, malah sedang sembunyi di tempat ini! Kalau begitu para pimpinan Beng-kauw sudah berbohong, membohongi dunia kangouw!" kata orang ke tiga.

Orang ini tubuhnya kurus kering seperti orang yang berpenyakitan, dan wajahnya selalu cemberut dan keruh. Dia adalah orang ke tiga dari Sam Mo-ong yang berjuluk Toat-beng Mo-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa) karena ia terkenal dengan sikap dan wataknya yang pemurung dan sangat pemarah. Sedikit saja sebabnya sudah membuat dia turun tangan membunuh orang!

Kim Hong menoleh kepada gurunya, akan tetapi suhu-nya itu diam saja tidak menanggapi dan kelihatan acuh saja, bahkan nampak mengerutkan alisnya, tanda bahwa orang tua itu merasa tidak senang.

"Ha-ha-ha, Hek-liong Kwan Bhok Cu, mengapa engkau diam saja?" Kini Hek bin Mo-ong berkata dan senyumnya mengejek. "Apakah engkau sudah menjadi tuli dan gagu? Atau engkau pura-pura tidak mengenal lagi kepada kami? Tidak mungkin engkau lupa kepada Sam Mo-ong, ha-ha-ha!"

Kim Hong berkata kepada gurunya. "Suhu, iblis tua hitam ini adalah Hek-bin Mo-ong yang pernah bentrok dengan teecu karena dia hendak membunuhi semua pemuja ular di Bukit Hitam."

"Heh-heh, nona manis. Ternyata engkau adalah murid Si Naga Hitam! Kalau saja engkau tidak mengeroyokku bersama para pemuja ular, tentu sekarang engkau sudah bersenang-senang dengan aku, dan gurumu tentu akan merasakan bagaimana rasanya penderitaan orang yang dikhianati teman sendiri!"

Kim Hong memandang kepada gurunya yang menggerak-gerakkan ranting di tangannya. Kim Hong membaca coretan-coretan di udara Itu.

"Katakan kepada mereka bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan mereka dan agar mereka cepat pergi."

Kim Hong menghadapi tiga orang kakek itu dengan sikap menantang, lalu berkata, "Sam Mo-ong, suhu tidak ada urusan dengan kalian. Maka jangan kalian mencari penyakit dan banyak mulut. Pergilah kalau kalian tidak ingin kami hajar sampai mampus!"

Tiga orang itu terbelalak dan nampak marah sekali.

"Bocah sombong, engkau belum tahu siapa kami?!" bentak Hek-bin Mo-ong. "Dahulu pun gurumu ini tidak sanggup menandingi aku, apa lagi sekarang. Heiii, Hek-liong Kwan Bhok Cu dengarkan baik-baik! Kami akan mengampuni semua perbuatanmu yang memalukan pada masa lalu kalau sekarang kau serahkan ular hitam kepala merah dan muridmu yang molek ini kepada kami. Jika tidak maka terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu, lalu menggeledah pondokmu mencari ular itu dan memaksa muridmu menjadi budak kami!"

Bukan main marahnya hati Kim Hong mendengar penghinaan yang dilontarkan si raksasa hitam itu kepada gurunya. Akan tetapi diam-diam dia pun amat terkejut. Bagaimana iblis ini dapat mengetahui bahwa dia telah mendapatkan ular hitam kepala merah?

"Hek-bin Mo-ong, engkau jangan ngawur! Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa suhu memiliki ular hitam kepala merah?"

"Ha-ha-ha, nona manis, para pemuja ular boleh jadi akan bungkam menutup mulut, akan tetapi anggota perempuan mereka mana mungkin dapat menutup mulut terhadap kami?"

Kim Hong membayangkan apa yang terjadi. Agaknya tiga orang iblis ini telah menangkap dan menyiksa anggota para pemuja ular kemudian memaksanya mengaku. Karena tidak tahan akan siksaan yang tentu akan mengerikan sekali, maka anggota perempuan itu lalu menceritakan segalanya.

"Jahanam busuk, engkau memang pegecut dan keji!" bentaknya dan dia sudah mencabut sepasang pisau terbangnya.

Akan tetapi sentuhan ranting di lengannya membuat Kim Hong menengok dan membaca gerakan ranting di tangan suhu-nya itu.

"Hadapi si kurus kering. Awas terhadap Cakar Iblis Beracun dan serang jalan darah pada bagian kedua legannya!"

Setelah membaca coretan ranting, Kim Hong cepat menggerakkan pisau terbangnya dan ia pun menyerang ke arah Toat-beng Mo-ong, orang ke tiga dari Sam Mo-ong. Sepasang pisaunya beterbangan dan membuat gerakan bersilang menyerang dari kanan kiri!

"Hemm, mampuslah!" bentak Toat-Beng Mo-ong, lantas dia pun melangkah mundur untuk menghindarkan diri, kemudian kedua tangannya bergerak dan terdengar angin bercuitan ketika kedua lengan itu bergerak dan kedua tangannya membentuk cakar yang warnanya berubah-ubah, kadang merah dan kadang hitam!

Tahulah Kim Hong bahwa sepasang tangan yang membentuk cakar itu berbahaya sekali, mengandung racun yang sangat mematikan. Sekali saja terkena hantaman atau cakaran kedua tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka dia pun menaati pesan gurunya dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyambar-nyambar ke arah pergelangan tangan, siku dan pundak, ke arah jalan-jalan darah yang akan membuat kedua lengan itu lumpuh kalau terkena sedikit saja!

Sementara itu, melihat betapa Toat-beng Mo-ong telah bertanding melawan gadis itu dan mereka berdua yakin bahwa rekan mereka pasti menang, Hek-bin Mo-ong dan Siuaw-bin Mo-ong sudah menerjang dan menyerang Hek-liong Kwan Bhok Cu. Hek-bin Mo-ong tidak menggunakan senjata.

Para datuk sesat yang ilmunya sudah tinggi memang lebih suka mempergunakan kedua tangan dari pada mengandalkan senjata. Kedua tangan mereka sudah ‘terisi’. Dan seperti juga sepasang tangan Toat-beng Mo-ong yang sudah menjadi sepasang cakar iblis yang amat berbahaya, Hek-bin Mo-ong yang merupakan orang pertama dari Sam Mo-ong juga mengandalkan ilmu Jari Hitamnya. Ilmu ini membuat kedua lengannya kebal dan berubah menghitam, dan dalam keadaan seperti itu, jari-jari tangannya mampu menyambut senjata tajam lawan dan sekali saja tangannya berhasil mengenai tubuh lawan, maka lawan akan terjungkal dan tewas keracunan.

Orang ke dua dari Tiga Raja Iblis itu, si gendut Siauw-bin Mo-ong, juga mempunyai ilmu pukulan yang beracun. Akan tetapi bedanya, kalau lengan rekannya berubah menghitam, maka kalau dia sudah mengerahkan ilmu itu, lengannya dari pangkal sampai ke ujung jari akan berubah merah. Itulah ilmunya Jari Merah, siapa terkena pukulannya, bagian tubuh yang terkena akan terbakar hangus seperti tersentuh baja yang panas membara!

Si Naga Hitam menghadapi serangan kedua orang pengeroyoknya dengan sikap tenang. Dia tetap memegang ranting kecil yang biasanya dia pergunakan untuk ‘berbicara’ dengan muridnya. Ranting itu hanyalah sebatang ranting kayu yang besarnya hanya seibu jari dan panjangnya sedepa. Tetapi di tangan orang sakti ini, ranting itu bagaikan berubah menjadi sebatang baja yang amat kuat dan lihai, yang dia gunakan untuk menyerang jalan darah kedua pengeroyoknya dengan totokan-totokan maut yang selain amat kuat mengandung tenaga sinkang yang dahsyat, juga amat cepat. Begitu ranting digerakkan, maka nampak gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi bercuitan!

Dua orang datuk itu terkejut bukan kepalang. Belasan tahun yang lalu, tingkat kepandaian Si Naga Hitam ini masih sebanding dengan masing-masing dari mereka. Tetapi sekarang, saat mereka maju berdua dengan keyakinan pasti akan mampu merobohkan pengkhianat kaum kang-ouw itu dengan mudah, tak tahunya kini mereka berdua malah terancam oleh totokan-totokan maut yang sangat dahsyat! Ternyata selama sepuluh tahun lebih ini ilmu kepandaian Si Naga Hitam telah meningkat dengan amat hebatnya.

"Arrggghhhh...!" Hek-bin Mo-ong mengeluarkan teriakan seperti gerengan seekor biruang atau srigala marah.

Kedua tangannya telah mencapai warna hitam yang paling gelap, bahkan kini dari telapak tangannya nampak mengepul uap kehitaman! Dia pun menerjang dengan dahsyat sekali, kedua lengannya dikembangkan lantas jari-jari tangannya menyerang dari semua penjuru, bahkan menutup jalan keluar!

Melihat serangan itu, bahkan Siauw-bin Mo-ong sendiri menjadi gentar kepada rekannya, khawatir kalau-kalau akan beradu tangan sendiri dengan Hek-bin Mo-ong hingga dia bisa menderita celaka. Dia pun mundur dan hanya siap untuk mengeroyok bila kesempatannya tiba, karena serangan Hek-bin Mo-ong itu agaknya tidak akan dapat dielakkan lagi oleh Si Naga Hitam.

Akan tetapi Si Naga Hitam sama sekali tidak mengelak. Ranting pada tangan kanan yang menyambut telapak kiri lawan segera menotok ke tengah telapak tangan agak mengarah celah antara telunjuk dan ibu jari, ada pun tangan kirinya menotok telapak tangan kanan lawan dengan sebuah jari telunjuk. Itulah ilmu totokan lt-sin-ci (Satu Jari Sakti) yang amat hebat.


"Tuk-tukk...!"

Adu tenaga melalui tangan itu membuat Hek-bin Mo-ong terhuyung ke belakang, ada pun Si Naga Hitam tergoyang sedikit saja yang membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang dia masih unggul dan lebih kuat dari pada si raksasa hitam!

Akan tetapi, karena sepasang telapak tangan Hek-bin Mo-ong mengandung hawa beracun yang amat jahat, ranting di tangan Si Naga Hitam menjadi hangus serta ujungnya patah-patah, dan telunjuk kirinya yang menotok telapak tangan lawan dengan ilmu totok It-sin-ci, menjadi hitam kukunya!

Hek-bin Mo-ong sendiri telah terluka dalam akibat tenaganya membalik dalam adu tenaga sinkang itu, oleh karena itu ia hanya berdiri tegak sambil mengatur pernapasan dan untuk sementara tidak berani maju lagi. Di dalam keadaan seperti itu, kalau dia maju mengadu tenaga sinkang lagi, luka di dalam tubuhnya akan menjadi semakin parah dan berbahaya.

Melihat betapa Hek-bin Mo-ong agaknya terluka dalam mengadu tenaga sinkang melawan Si Naga Hitam, Siuaw-bin Mo-ong kaget dan marah sekali. Akan tetapi si gendut bulat ini cerdik. Dia tahu bahwa kalau Hek-bin Mo-ong saja kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sendiri pun tidak akan mampu menandingi lawan dengan adu tenaga, maka dia pun sudah menerjang dengan cepat.

Tubuhnya yang bulat itu bagai sebutir bola raksasa menggelinding dan menerjang ke arah Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu. Kakek gagu ini menyambut dengan rantingnya yang sudah menjadi pendek karena ujungnya hangus dan patah tadi, kemudian terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Sementara itu, perkelahian antara Kim Hong dengan Toat-beng Mo-ong juga seru bukan kepalang. Diam-diam Kim Hong bersyukur bahwa selama dua tahun ini dia belajar dengan tekun di bawah gemblengan gurunya yang juga bersungguh sungguh. Kalau tidak, mana mungkin dia mampu menahan serangan seorang datuk lihai seperti Toat-beng Mo-ong?

Orang kurus kering yang mukanya muram ini bukan main lihainya. Setiap kali tangannya bergerak, menyambar hawa pukulan dahsyat yang mendatangkan angin yang bercuitan. Tetapi sepasang pedang di tangan Kim Hong juga merupakan senjata yang ampuh sekali. Siang-hui-kiam (Sepasang Pedang Terbang) itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung walet menyambar kupu-kupu hingga nampak dua gulung sinar yang menyilaukan mata dan membingungkan Toat-beng Mo-ong. Gerakan gadis itu juga lincah serta cepat, tubuhnya lenyap menjadi bayangan hitam, dan gerakan tangannya mengandung sinkang yang cukup kuat.

Diam-diam Toat-beng Mo-ong heran dan kagum bukan kepalang. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu lawan seorang gadis muda selihai ini. Dan mengingat bahwa gadis ini adalah murid Hek-liong Kwan Bhok Cu, dapat dibayangkan betapa lihainya sang guru.

Teringat akan ini, dia melirik ke arah dua orang rekannya. Dan dia pun terkejut. Rekannya yang paling lihai, Hek-bin Mo ong, sedang berdiri seperti arca dan mengatur pernapasan, tanda bahwa datuk ini sudah terluka, sedangkan rekan kedua, Siauw-bin Mo-ong nampak menggelinding ke sana sini dikejar oleh bayangan ranting pendek di tangan Si Naga Hitam itu. Ceiaka, pikirnya.

Dan hampir saja dia yang celaka. Karena memecahkan perhatiannya ke arah dua orang rekannya, hampir saja lehernya ditembus sebatang di antara sepasang pedang Kim Hong! Hanya kepekaannya yang sangat terlatih saja membuat dia selamat setelah dengan cepat memiringkan kepala. Namun tetap saja ujung daun telinga kirinya disambar senjata tajam sehingga terluka dan berdarah!

Pada saat itu pula tubuh Siuaw-bin Mo-ong terkena tendangan kaki Hek-liong Kwan Bhok Cu. Ketiga Sam Mo-ong segera berlompatan ke belakang dan maklumlah mereka bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, maka mereka bertiga akan kalah.

"Kwan Bhok Cu!" kata Hek-bin Mo-ong dengan amarah meluap. "Saat ini kami mengakui keunggulan engkau dan muridmu. Salah kami sendiri yang selama ini tidak memperdalam ilmu sehingga terkejar olehmu. Tapi jangan harap engkau akan mampu menyembunyikan diri lagi. Kami akan menuntut kepada Beng-kauw! Sampai jumpa kelak!" Tiga orang kakek itu berlompatan dan turun dari Bukit Nelayan.

Si Naga Hitam sendiri lalu duduk bersila sambil memejamkan mata, mengatur pernapasan karena dalam perkelahiannya mengadu tenaga sinkang melawan Hek-bin Mo-ong tadi, isi dadanya terguncang dan sedikit banyak dia telah terkena hawa beracun dari tangan hitam Hek-bin Mo-ong. Melihat ini, Kim Hong tidak mengganggu gurunya, bahkan dia pun duduk bersila di dekatnya dan menghimpun hawa murni karena perkelahian melawan datuk tadi sudah menguras tenaga sinkang-nya.

Sesudah mendengar gurunya bergerak, Kim Hong membuka matanya dan mereka saling pandang. Si Naga Hitam mengangguk sambil tersenyum, lalu menggerakkan ranting yang tinggal pendek itu di udara. Kim Hong memperhatikan dan gurunya menulis.

"Aku girang melihat kemajuanmu sehingga engkau dapat menandingi Toat-beng Mo-ong. Kalau engkau sudah minum darah Ang-thouw Hek-coa, engkau tentu tidak perlu takut lagi menghadapi pukulan beracun ke tiga Sam Mo-ong tadi. Bawa ke sini ular hitam berkepala merah itu. Cepat!"

Kim Hong menahan pertanyaan yang menyesak di dalam dadanya, dan menaati perintah gurunya. Keranjang kecil berisi ular hitam kecil itu diletakkan di depan gurunya yang tetap duduk bersila.

"Ambil sebuah cawan besar dan peti obatku ke sini." Gurunya menulis lagi dan perintah ini pun cepat dilaksanakan oleh Kim Hong.

Si Naga Hitam lalu memilih beberapa obat bubuk berwarna putih dan merah, menuangkan sebagian dari bungkusan obat itu ke dalam sebuah cawan besar. Kemudian dia membuka tutup keranjang dan begitu ular hitam kecil itu berdiri dan kepalanya keluar dari keranjang, secepat kilat tangannya menyambar dan dia telah menangkap ular itu dengan jepitan ibu jari dan telunjuk kanannya pada leher ular!

Kemudian, jari-jari tangan lainnya menjepit tubuh ular itu dari leher, lalu ditarik ke bawah. Kulit tubuh itu pecah dan semua darah serta benda cair yang berada di tubuh ular itu pun keluar, ditampung ke dalam cawan yang sudah diisi dua macam obat bubuk tadi. Ular itu seperti diperas sehingga tubuh yang mati itu kini tinggal kulit dan daging yang kering, dan bentuknya menjadi gepeng!

Kim Hong bergidik ketika gurunya mengaduk setengah cawan cairan bercampur obat itu, lalu disodorkan kepadanya. Dia harus minum cairan darah dan obat itu! Baru melihatnya saja dia sudah hampir muntah! Gurunya tersenyum lalu menulis di udara.

"Jepit hidungmu, pejamkan matamu, kemudian minum. Cepat!"

Kim Hong tidak berani membantah. Dia tahu bahwa darah itu tentu berbahaya bukan main karena ular itu merupakan ular yang sangat berbisa. Darahnya tentu mengandung racun yang sangat berbahaya, dan sekarang gurunya minta agar dia meminumnya! Akan tetapi dia percaya sepenuhnya kepada gurunya.

Dengan tangan kanan memegang cawan, ia menggunakan tangan kiri menjepit hidungnya lantas memejamkan matanya. Kini dia tidak dapat melihat lagi, tidak dapat mencium lagi, maka perasaan muak pun jadi berkurang banyak, hanya yang tersisa dalam ingatan saja.

Memang segala macam kemuakan timbul melalui penglihatan dan penciuman, dapat juga melalui pendengaran walau pun tidak sekuat yang pertama. Rasa tidak enak di mulut pun akan banyak berkurang apa bila hidung dipencet dan mata dipejam.

Kim Hong menuangkan isi cawan ke dalam tenggorokannya lantas menelannya. Sesudah cairan itu tertelan semua dia melepaskan cawan kosongnya ke atas tanah. Dia membuka mata dan ketika bertemu pandang dengan gurunya, dia pun tersenyum.

Rasa masam dan manis, juga amis, memenuhi mulutnya. Tiba-tiba saja dia memejamkan matanya. Kepalanya berdenyut-denyut pusing, pandangan matanya berkunang, tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Dia pun mencoba untuk menahan, tapi tetap saja dia tidak kuat karena tubuhnya seperti hanyut. Akhirnya dia pun terguling roboh dan pingsan.....!

Setelah dia siuman, dia mendapatkan dirinya sudah berada di atas pembaringan, di dalam kamarnya, dan gurunya sedang duduk di bangku. Bau yang aneh memenuhi hidungnya dan melihat ada asap mengepul di sudut kamar, ia tahu bahwa gurunya sedang memasak sesuatu yang menimbulkan bau itu. Melihat muridnya siuman, Naga Hitam lalu menulis di udara.

"Aku akan memberimu minuman untuk meredakan pengaruh darah ular yang beracun itu, tetapi akan bangkit kekuatan yang mungkin sulit kau kendalikan. Karena itu engkau akan kutotok dan kaki tanganmu kuikat. Jangan khawatir, semua itu adalah akibat bekerjanya racun dan obat. Siapkah engkau?"

Kim Hong masih merasa betapa tubuhnya panas bagaikan dibakar dari dalam. Membaca ucapan yang ditulis oleh gurunya, dia hanya bisa mengangguk, siap menghadapi apa saja untuk mematuhi gurunya. Ia pasrah sepenuhnya karena yakin bahwa semua itu dilakukan gurunya untuk kebaikan dirinya.

Dengan gerakan yang amat cepat Hek-liong Kwan Bhok Cu menggerakkan ranting baru yang berada di tangannya dan menotok tujuh jalan darah di tubuh muridnya yang seketika merasa betapa seluruh tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kemudian gurunya mengambil sebuah tali dari kain sutera yang kuat dan mengikat pergelangan kedua kaki tangannya dengan kuat sehingga andai kata dia tidak ditotok sekali pun, dia tetap tidak akan mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan tenaga sama sekali.

"Sekarang minumlah kuah ini sampai habis," gurunya menulis, lalu mengambil poci obat yang telah sejak tadi dimasak dan kini masih hangat, menuang isinya setengah mangkok lebih, kemudian dia membantu muridnya duduk dan mendekatkan mangkok pada mulut Kim Hong.

Dengan patuhnya gadis itu minum obat yang terasa pahit dan berbau aneh, akan tetapi tidak memuakkan seperti darah ular tadi. Kemudian dia direbahkan kembali. Rasa panas masih membakar seluruh tubuhnya, juga dia mendengar suara gemuruh di kedua telinga. Dia memandang wajah gurunya dan Naga Hitam itu menulis lagi di udara.

"Pejamkan matamu dan tidurlah."

Kim Hong meramkan matanya. Perlahan-lahan panas yang membakar itu mulai mereda, dan semakin nyaman rasanya, akan tetapi suara dalam kepalanya semakin bergemuruh sampai hampir tak tertahankan.

Kemudian terasa olehnya dalam perut di bawah pusar bergolak, bergerak seolah-olah ada sesuatu yang hidup di sana. Dia yang sudah mempelajari menggunakan tenaga sinkang tahu bahwa di dalam tan-tian di bawah pusarnya terjadi pergolakan tenaga yang dahsyat sekali. Dia berusaha mengendalikan tenaga itu, akan tetapi gagal.

Tenaga itu seperti bergerak liar dan menerobos ke seluruh tubuhnya, dan dia mendengar suara tulang-tulang atau otot-ototnya berkerotokan! Dia juga merasa betapa semua jalan darahnya terbuka, bahkan yang tadinya tertotok kini terbuka dengan sendirinya!

Tenaga yang sangat dahsyat itu memaksa tangan dan kakinya bergerak, kedua matanya terbelalak, hidungnya kembang kempis dan kedua telinganya juga menjadi peka sekali. Ia melihat gurunya bangkit berdiri dan memandang kepadanya, ranting di tangan.

Pada waktu kaki dan tangannya meronta dari ikatan, Kim Hong maklum bahwa ada suatu tenaga yang dahsyat dan liar. Ia mencoba untuk mengendalikan dan tidak menggerakkan tangan kaki, namun semua usahanya sia-sia. 

Seperti memiliki kehidupan sendiri di luar kekuasaan hati dan akal pikirannya, semua kaki tangannya bergerak dan... semua tali sutera yang mengikat pergelangan kaki tangannya segera putus! Dan dia pun seperti dilontarkan ke atas, meloncat turun dari pembaringan, kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang kesetanan.

Ketika dia memandang ke arah gurunya dengan tubuh bergoyang-goyang, gurunya cepat menggerakkan ranting di tangan dan menulis di udara.

"Cepat salurkan tenaga itu untuk menyerangku!"

Memang ada dorongan hebat dari dalam untuk menggunakan tenaga itu, tenaga dahsyat yang seakan memaksanya untuk menggerakkan kaki tangan, mempergunakannya dalam gerakan yang teratur. Tapi Kim Hong masih menyadari bahwa dia tidak boleh menyerang gurunya. Andai kata di situ terdapat musuh, ketiga Sam Mo-ong umpamanya, tentu tanpa diperintah lagi ia sudah menyerang mereka, menggunakan tenaga yang bergolak di dalam tubuhnya itu. Akan tetapi gurunya? Tidak, dia tidak akan menyerang gurunya!

Karena pertentangan antara dorongan tenaga itu dan kesadaran batinnya, maka tubuhnya semakin bergoyang-goyang tak karuan, seolah-olah di dalam tubuhnya ada binatang buas yang meronta dan mengamuk minta dilepaskan dari kurungan.

Melihat ini, mendadak Hek-liong Kwan Bhok Cu menggerakkan ranting di tangannya untuk menyerang! Terdengar suara bercuitan nyaring ketika ranting itu meluncur dan menusuk ke arah mata Kim Hong! Tentu saja gadis itu terkejut dan secara otomatis dia mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke kiri. Dan secara refleks pula tangannya cepat menangkis dengan gerakan berputar.

"Wuuutttt…! Plakk!"

Dan gadis itu terkejut bukan kepalang. Dia merasa betapa gerakannya ringan bukan main, dan saat tangannya menangkis ranting, dia merasa betapa tangannya membentur benda yang amat kuat sehingga dia terhuyung ke samping, akan tetapi gurunya juga terhuyung!

Kini gurunya telah menyerang lagi, lebih cepat dan dahsyat. Karena serangan gurunya itu merupakan serangan maut, terpaksa Kim Hong melawannya. Gadis yang amat cerdik ini tidak merasa kaget dan heran lagi karena kini dia tahu bahwa dia dikuasai tenaga mujijat akibat racun dan obat, dan gurunya melihat bahwa jalan satu-satunya supaya dia dapat mengendalikan tenaga itu adalah dengan jalan mempergunakan tenaga itu dalam gerakan silat yang sungguh-sungguh!

Terjadilah pertandingan yang sangat hebat. Karena saling mengenal jurus serta gerakan masing-masing dalam menyerang dan menangkis, maka mereka seperti sedang berlatih saja. Namun Si Naga Hitam harus mengerahkan segenap tenaganya untuk mengimbangi tenaga dahsyat Kim Hong ketika gadis itu mulai membalas serangannya. Memang tenaga dari dalam tubuh gadis itu luar biasa dahsyatnya!

Sesudah lewat lima puluh jurus Kim Hong mulai dapat mengendalikan tenaga dahsyat itu. Terasa betapa tenaga itu mulai jinak dan mau menurut kehendak hatinya. Setelah merasa benar bahwa dia mampu mengendalikannya, dia pun segera meloncat ke belakang lantas berdiri tegak, kaki tangannya tidak lagi bergerak walau pun dia masih merasakan getaran di dalam tubuhnya.

"Cukup, suhu. Teecu telah dapat mengendalikannya!" katanya, girang dan terharu melihat betapa gurunya yang tadi melawan sungguh-sungguh itu nampak kelelahan dan mukanya basah oleh keringat.

Hek-liong Kwan Bhok Cu berhenti pula kemudian dia menghela napas panjang, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Ia menggunakan lengan baju kiri untuk mengusap keringatnya, kemudian rantingnya bergerak menulis di udara.

"Kita berhasil! Mulai saat ini bukan saja engkau akan kebal terhadap segala jenis racun, juga tenaga sinkang-mu menjadi sangat kuat. Aku yakin engkau akan sanggup mewakili gurumu melakukan sebuah tugas yang berat."

Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. "Teecu siap melaksanakan perintah suhu, bagaimana berat pun!"

Gurunya menggunakan ujung ranting untuk menyentuh pundak muridnya. Ketika gadis itu mengangkat muka memandangnya, dia segera memberi isyarat kepada Kim Hong untuk memasuki pondok mereka.

Sesudah mereka duduk saling berhadapan, sebelum gurunya memberi perintahnya, Kim Hong mempergunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan dorongan hatinya yang timbul sebelum dia minum darah ular tadi, yang timbul karena pertemuan mereka dengan Sam Mo-ong.

"Suhu, harap suka memaafkan teecu atas kelancangan teecu ini. Pada saat Sam Mo-ong muncul kemudian mendengar ucapan mereka terhadap suhu, timbul keinginan tahu yang mendesak di dalam hati teecu. Benarkah suhu dahulu tidak gagu dan mengapa sekarang menjadi gagu? Mengapa pula mereka mengatakan bahwa suhu telah berkhianat kepada dunia kang-ouw? Suhu adalah satu-satunya orang yang dekat dengan teecu, sudah teecu anggap sebagai pengganti orang tua. Teecu ingin sekali mengetahui riwayat suhu."

Hek-liong Kwan Bhok Cu menghela napas panjang dan wajahnya yang masih tampan itu kelihatan muram, lalu dia memejamkan matanya. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, dan Kim Hong tetap menanti.

Akhirnya Si Naga Hitam menggerakkan ranting di tangannya, mulai menulis, diikuti penuh perhatian oleh muridnya. Kim Hong tak mau melepaskan sehuruf pun dari tulisan gurunya karena gurunya sedang menceritakan riwayat singkatnya melalui tulisan itu.

Dengan singkat Si Naga Hitam lalu membuka rahasia dirinya kepada muridnya, padahal selama bertahun-tahun ini dia senantiasa menyembunyikan dan merahasiakannya. Hal ini adalah karena dia memang merasa sayang sekali terhadap muridnya itu, yang dianggap seperti anaknya sendiri. Dalam kehidupannya yang kosong dan kering selama bertahun-tahun ini, dia merasa hidup ada artinya lagi setelah Kim Hong menjadi muridnya. Gadis itu bagaikan sinar terang yang sedikit banyak menerangi pula hatinya yang gelap.

Beberapa tahun yang lampau dia masih menjadi seorang tokoh dari perkumpulan rahasia Beng-kauw, yaitu sebuah perkumpulan dari golongan hitam yang sesat dan aneh. Karena Kaisar Beng Ong pernah mengirim pasukan lalu menyerang dan mengobrak-abrik sarang Beng-kauw, maka timbul dendam terhadap kaisar itu.

Pada suatu hari Kwan Bhok Cu mendapat tugas dari Beng-kauw untuk membunuh Kaisar Beng Ong. Dia mendapat kepercayaan ini karena dia merupakan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga semenjak muda hidup membujang sehingga andai kata dia gagal dalam tugasnya dan tewas, tidak ada anggota keluarganya yang akan kehilangan.

Pada suatu malam yang gelap dan dingin, Kwan Bhok Cu berhasil menyusup ke dalam istana. Ketika dia sedang mencari Kaisar Beng Ong, dia melihat seorang selir kaisar yang membuatnya tergila-gila. Dia lalu menangkap selir itu untuk dipaksa menunjukkan di mana adanya kaisar.

Akan tetapi selir itu bahkan membuat dia tergila-gila karena selir itu luar biasa cantiknya. Dia adalah selir yang dikenal sebagai Puteri Harum, yaitu Yang Kui Hui. Wanita cantik ini baru sebulan menjadi selir Kaisar Beng Ong, atau jelasnya, dirampas dari suaminya, yaitu Pangeran Shou dan dipaksa menjadi selir kaisar.

Mendengar betapa pria tampan dan gagah itu hendak membunuh kaisar, Yang Kui Hui membujuknya agar jangan melakukan perbuatan nekat dan berbahaya itu. Kwan Bhok Cu terbujuk, bahkan jatuh cinta kepada Yang Kui Hui. Demi menyelamatkan nyawa kaisar, wanita ini rela menyerahkan diri kepada Kwan Bhok Cu.

Mereka mengadakan hubungan, dan Kwan Bhok Cu disembunyikan oleh Yang Kui Hui. Sampai tiga hari dia berhasil bersembunyi. Pada hari keempat, atas pemberi tahuan Yang Kui Hui, dia disergap sepasukan pengawal. Kwan Bhok Cu menggunakan kepandaiannya menyelamatkan diri keluar dari istana.

Tentu saja dia dianggap pengkhianat oleh Beng-kauw, juga oleh para tokoh kangouw, apa lagi ketika pasukan pemerintah kembali menyergap Beng-kauw dan orang-orang kangouw yang sedang mengadakan pertemuan di markas Beng-kauw Pasukan dapat mengetahui sarang baru itu karena diberi tahu oleh Yang Kui Hui sesudah berhasil mengorek rahasia dari mulut Kwan Bhok Cu yang tergila-gila kepadanya.

"Demikianlah," Kwan Bhok Cu mengakhiri ceritanya melalui tulisan di udara, "orang-orang kangouw memusuhiku dan hendak membunuhku. Para pimpinan Beng-kauw mengusirku dan tidak mengakui aku lagi, akan tetapi masih melindungiku dengan pernyataan bahwa mereka telah membunuhku. Aku terpaksa menyembunyikan diri dan menjadi orang gagu. Siapa sangka hari ini rahasiaku diketahui Sam Mo-ong yang tentu akan menuntut kepada Beng-kauw. Kini keselamatanku terancam, aku harus pergi dari sini sekarang juga."

"Tetapi, suhu. Kenapa kita harus lari? Biar kita lawan siapa saja yang hendak membunuh suhu!" kata Kim Hong marah.
"Tak mungkin kita mampu menandingi para tokoh Beng-kauw. Mereka terlampau banyak. Juga aku tidak mau memusuhi mereka, aku dibesarkan di antara mereka. Aku tidak ingin membuat engkau ikut menjadi korban. Di samping itu aku mempunyai tugas yang harus kau laksanakan." Tulis Kwan Bhok Cu.

Kim Hong merasa terharu sekali membaca tulisan tentang riwayat suhu-nya itu. Dia dapat membayangkan ketika suhu-nya menangkap selir itu untuk dipaksa menunjukkan tempat di mana kaisar berada, lalu betapa selir yang cantik jelita telah menjatuhkan hati suhu-nya yang selalu hidup membujang. Karena jatuh cinta kepada selir kaisar, suhu-nya menjadi kehilangan segala-galanya, bahkan diasingkan dari Beng-kauw dan dimusuhi orang-orang kangouw.

"Katakan, apakah tugas itu, suhu? Teecu akan melaksanakan semua perintah suhu."
"Banyak hal terjadi di kota raja," tulis Si Naga Hitam. "Panglima An Lu Shan dari Peking sudah menyerbu dan menguasai kota raja Tiang-an. Kaisar melarikan diri ke barat, ke Se-cuan. Kabarnya dalam perjalanan mengungsi itu selir Yang Kui Hui telah dijatuhi hukuman mati, demikian pula saudaranya, Menteri Yang Kok Tiong. Kaisar terlunta-lunta di Se-cuan dan mungkin kini sedang menghimpun kekuatan. Ada desas-desus bahwa pusaka istana yang menjadi andalan kekuasaan kaisar, yaitu Giok-ong-cu (Mestika Hong Kemala) sudah hilang. Sekarang aku minta supaya engkau suka membantu kaisar, jika mungkin mencari dan merampas kembali pusaka itu lalu mengembalikan kepada kaisar yang berhak. Juga engkau harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali, membantu kaisar untuk menghancurkan pemberontak An Lu Shan itu."

Diam-diam Kim Hong merasa heran mengapa gurunya demikian sungguh-sungguh dalam membela kaisar. Agaknya tidak mungkin kalau hal ini didorong oleh kesetiaannya kepada kaisar. Bukankah gurunya bahkan pernah hampir membunuh Kaisar Beng Ong? Ataukah gurunya ingin menebus dosa, dan juga membela kematian Yang Kui Hui yang masih tetap dicintanya? Dia tidak mengerti dan tidak mampu mencari jawabannya, namun juga tidak berani bertanya kepada gurunya yang nampak sudah sedemikian sedihnya.

"Baik, suhu. Teecu akan menaati perintah suhu. Lalu, kapan kiranya kita dapat bertemu dan berkumpul kembali?"

Si Naga Hitam tersenyum lantas menulis, "Jangan tanyakan soal itu. Kalau Tuhan masih memberiku usia panjang, suatu saat kita pasti akan saling jumpa. Aku tidak akan berada di sini lagi karena tak lama lagi tentu banyak tokoh kang-ouw akan menyerbu ke sini."

Setelah berkemas, membawa buntalan pakaian dan menerima sekantung berisi beberapa potong emas dan perak sebagai bekal perjalanan, Kim Hong lantas berpisah dari gurunya, meninggalkan Bukit Nelayan dan menyusuri Sungai Huai menuju ke barat.

Dia mempunyai dua macam tugas dalam hidupnya, yaitu pertama dia akan pergi mencari ayahnya yang belum pernah dilihat seumur hidupnya. Dia hanya tahu dari ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang lelaki yang gagah perkasa, akan tetapi dia tidak tahu di mana ayahnya berada. Namun mengingat cerita ibunya bahwa ayahnya adalah seorang perwira, besar kemungkinan dia akan mendapatkan keterangan tentang ayahnya di kota raja.

Sungguh sayang sekarang terjadi pergolakan di kota raja, bahkan kaisarnya melarikan diri dan kota raja diduduki oleh pemberontak An Lu Shan. Ada pun tugas kedua adalah tugas yang diperintahkan gurunya kepadanya, yaitu membantu kaisar, menentang An Lu Shan, dan membantu kembalinya Giok-hong-cu yang hilang…..
********************
Berita tentang hilangnya mestika burung Hong Kemala sudah tersebar di dunia kangouw, menarik perhatian para tokoh kangouw karena semua orang pun maklum bahwa benda itu merupakan pusaka yang amat berharga bahkan menjadi tanda kekuasaan seorang kaisar! Tentu saja setiap orang ingin memilikinya!

Kaisar sendiri, dan juga Panglima Kok Cu, terkejut dan terheran-heran mendengar desas-desus lenyapnya pusaka itu tersiar di luar. Padahal hanya mereka berdua yang tahu soal ini, bahkan sudah dibuatkan yang palsu untuk menggantikan yang hilang.

Mereka berdua tidak tahu bahwa ketika mereka sedang bicara tentang hilangnya pusaka itu, pembicaraan mereka terdengar oleh seorang thai-kam. Thaikam ini memang sudah menaruh curiga saat Panglima Kok menggeledah seluruh rumah Menteri Yang Kok Tiong, bahkan menggeledah pakaian yang menempel di mayat bekas menteri itu! Dan thaikam itulah yang menyebarkan berita kehilangan pusaka itu keluar…..

********************
Selanjutnya baca
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA : JILID-05
LihatTutupKomentar