Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 03
Sementara itu, Ciang Sun yang mengamuk dengan senjata Long-ge-pang dan menghujani Thian Hwa dengan serangan kilat, menjadi pening karena gadis yang diserangnya itu tiba-tiba berkelebatan seperti telah berubah menjadi bayang-bayang. Ke mana pun senjatanya menyambar selalu mengenai tempat kosong. Dia dapat menghindarkan serangan balasan berupa tamparan atau tendangan hanya dengan mengandalkan perasaannya saja. Setiap serangan gadis itu tentu mendatangkan hawa pukulan yang dahsyat sehingga dia dapat mengetahui, kemudian cepat-cepat melompat menghindar atau menggerakkan senjatanya untuk melindungi dirinya.
Namun betapa pun juga tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi dari pada tingkat Perwira Ciang itu. Karena itu, setelah lewat belasan jurus, sebuah tendangan gadis itu tak sempat dihindarkan Ciang Sun.
“Wuuttt...! Desss...!”
Tubuh Ciang Sun terlempar keluar perahu kemudian jatuh tercebur ke sungai sehingga air muncrat tinggi. Thian Hwa tidak mempedulikan lagi lawan yang sudah dikalahkannya. Dia cepat menghampiri pintu dan menendang daun pintu.
“Braakkk...!” Daun pintu bilik perahu itu segera jebol.
Ketika ia melompat masuk, ia melihat gadis tadi masih bersimpuh di sudut kamar sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis. Ada pun Jaksa Bong Sun Kok yang gendut itu meringkuk di atas dipan sambil menarik kedua lutut ke perut sehingga dia tampak seperti seekor babi kekenyangan yang mendekam bermalas-malasan!
Thian Hwa melihat sebatang pedang yang tergantung pada dinding. Tentu pedang tanda kebesaran atau pelengkap tanda pangkat Jaksa Bong. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang jarum bunga putih meluncur lantas menancap di pinggul yang besar itu.
“Adauuwww...!” Jaksa Bong menjerit dan tubuhnya terlompat ke atas, lalu merosot keluar dari dipan, jatuh berdebuk di atas lantai bilik perahu, kedua tangan meraba pinggul yang terkena serangan Pek-hwa-ciam. Akan tetapi melihat gadis itu sudah berdiri di situ, cepat dia berlutut menangis sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai seperti sedang memberi hormat kepada kaisar!
“Manusia hina yang rendah budi! Sepatutnya engkau mampus!” setelah membentak begitu tangan kanan Thian Hwa bergerak, pedang itu berkelebat.
Jaksa Bong menjerit-jerit sambil dua tangannya sibuk meraba ke hidung, kemudian kedua telinganya dan pinggulnya karena di empat tempat itu terasa nyeri bukan main. Hidungnya telah terbabat putus, demikian pula kedua daun telinganya. Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis!
Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu. “Adik, bangkitlah. Engkau dan Ayah Ibumu harus cepat-cepat pergi dari sini!”
Gadis itu melepaskan kedua tangan dari mukanya, terbelalak ngeri melihat Jaksa Bong mandi darah dan bergulingan menguik-nguik seperti babi, lalu dengan kedua kaki gemetar ia bangkit dan mengikuti Thian Hwa keluar dari bilik perahu. Setibanya di luar, cepat Thian Hwa memutuskan tali pengikat kaki tangan suami isteri setengah tua itu. Gadis itu segera berangkulan dengan ibunya sambil menangis.
Thian Hwa lalu melompat lagi ke dalam bilik. Setelah menggeledah sebentar, dia berhasil menemukan sebuah peti kecil berisi potongan emas yang beratnya tidak kurang dari lima tail. Ia lalu keluar lagi dan menyerahkan emas itu kepada ayah gadis itu.
“Paman, cepat kau ajak isteri dan anakmu pergi dari sini. Ini ada uang untuk bekal. Cari tempat lain, jangan tinggal lagi di tempatmu yang lama, pergi jauh-jauh ke dusun. Akan kucarikan perahu untuk kalian!”
Thian Hwa melihat betapa Bu Kong Liang masih dikeroyok para prajurit. Ia melihat sebuah perahu kecil milik para prajurit yang sudah kosong, tentu dua orang prajurit yang menjadi penumpangnya telah dirobohkan Kong Liang. Perahu itu masih terkait pada perahu besar.
“Mari kubawa kalian ke perahu!” kata Thian Hwa.
Cepat ia menyambar tubuh tiga orang itu satu demi satu, dibawanya melompat ke perahu kecil. Sesudah itu dia melepaskan kaitannya kemudian menyuruh gadis itu mendayung perahu, pergi dari situ. Ayah, ibu dan anak itu berlutut di atas perahu kecil menghadap ke arah Thian Hwa yang masih berada di perahu besar, mengucapkan terima kasih.
“Cepat pergi...!” seru Thian Hwa.
Dan dia melihat betapa sebuah perahu dengan dua orang prajurit meluncur menghampiri perahu yang ditumpangi tiga orang itu. Dengan cepat dia menyambitkan dua batang Pek-hwa-ciam. Dua orang prajurit itu mengaduh, lalu tubuh mereka terguling keluar dari dalam perahu.
Thian Hwa melihat betapa ayah gadis itu sudah mendayung perahunya menjauh. Maka ia segera memperhatikan keadaan Kong Liang. Kini hanya tinggal lima buah perahu yang mengepung Kong Liang. Sepuluh orang prajurit itu kini mempergunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang.
Karena musuh menggunakan anak panah dan menyerang dari jauh, tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka. Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang prajurit yang muncul dari dalam air, dekat dengan perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu kemudian menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah!
Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri. Dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai!
Melihat pemuda itu terjatuh ke air, sepuluh orang prajurit dalam lima buah perahu itu lalu mendekatkan perahu mereka. Kini anak panah mereka diarahkan kepada pemuda yang bergerak-gerak dengan kaku dalam air agar tidak tenggelam!
Melihat ini, Thian Hwa cepat melompat dari atas perahu besar dan bagaikan seekor ikan dia berenang ke arah tempat dikurungnya Kong Liang. Setelah dia tiba dekat, dia melihat Kong Liang dengan gerakan kaku karena harus menjaga agar tubuhnya tidak tenggelam, memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) untuk melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Akan tetapi karena gerakannya tak leluasa, maka sebatang anak panah menancap di belakang pundak kirinya sehingga membuat Kong Liang gelagapan!
Thian Hwa yang sudah tiba di situ, menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum bunga putih meluncur menjadi sinar putih dan dua orang prajurit yang berhasil memanah Kong Liang, berteriak kemudian terjungkal ke air. Thian Hwa yang dapat bergerak seperti ikan, melompat ke perahu kosong itu dan dari situ, ia menyebar jarum-jarumnya.
Beberapa orang prajurit terkena sambaran jarum lantas terpelanting ke air. Tinggal empat orang lagi dalam dua buah perahu. Mereka agaknya gentar menghadapi kehebatan sepak terjang Thian Hwa, maka mereka berusaha untuk lari dengan mendayung perahu mereka.
Akan tetapi, Thian Hwa sudah mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini berhasil menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air!
Thian Hwa menoleh dan melihat Bu Kong Liang gelagapan, agaknya sukar baginya yang sudah terluka itu untuk mempertahankan diri agar tidak tenggelam. Thian Hwa melompat terjun ke air, kemudian berenang secepatnya menghampiri Kong Liang. Ketika dia dapat memegang tangan pemuda itu, Kong Liang terkulai pingsan!
Dengan mencengkeram leher baju pemuda itu sambil menariknya ke atas dalam keadaan telentang sehingga muka Kong Liang tidak terbenam air, Thian Hwa cepat berenang dan menyeret tubuh pemuda itu menuju ke perahu mereka. Baiknya tadi sebelum melakukan serangan terhadap para prajurit di perahu-perahu kecil, Kong Liang telah melepas jangkar batu sehingga perahu kecil mereka tidak hanyut terbawa air sungai.
Thian Hwa mengangkat tubuh Kong Liang dan merebahkannya dalam perahu, kemudian dia menarik jangkar batu dan cepat mendayung perahu pergi dari situ. Mengingat bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka Thian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ida lalu mendayung perahu ke tepi.
Sesudah perahu menepi dan talinya diikatkan pada sebatang pohon, dia lalu memondong tubuh Kong Liang, membawanya masuk ke dalam sebuah hutan dan merebahkannya di atas rumput. Kemudian dia memeriksa tubuh pemuda itu.
Anak panah itu menancap di belakang pundak kiri, untungnya tidak terlalu dalam. Ia harus berhati-hati mencabut anak panah agar ujung anak panah itu jangan sampai patah dan tertinggal dalam daging. Dengan pengerahan sinkang dia berhasil mencabut anak panah. Dia merasa lega melihat bahwa ujung anak panah itu tidak mengandung racun. Cepat dia menotok jalan darah di sekitar luka agar jangan terlalu banyak darah mengucur keluar.
Kong Liang mengeluh lalu membuka matanya. Dia seperti bingung dan nanar, akan tetapi ketika mengenal muka Thian Hwa, dia bernapas lega dan menggerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk.
“Jangan banyak bergerak dulu, Twako. Engkau terluka,” kata Thian Hwa yang membantu pemuda itu bangkit duduk.
Kong Liang mengumpulkan ingatannya. Dia memandang ke kanan kiri, kemudian kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang tergeletak di atas tanah.
“Ahh, tadi aku terkena anak panah dan nyawaku terancam. Hemm, pasti engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, Sian-Ii. Aku melihat engkau meluncur di atas permukaan air! Bukan main! Kiranya engkau memang pantas dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku berhutang nyawa kepadamu, Sian-li!”
“Aihh, sudahlah, jangan banyak bicara dulu, Twako. Aku harus mengobati lukamu.” Gadis itu lalu mengambil bungkusan obat dari buntalan pakaiannya. Bungkusan itu berisi bubuk putih.
Dari gurunya, Thian Hwa memang dibekali beberapa macam obat untuk luka dan gadis ini telah mempelajari bagaimana cara mengobati luka-luka, bahkan yang mengandung racun sekali pun! Sedikit bubuk putih dia taburkan ke dalam luka anak panah itu, kemudian dia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.
“Sekarang yang paling penting adalah mengganti pakaian kita yang basah, Twako, agar kita tidak terserang penyakit.”
Gadis itu mengambilkan pakaian dalam dan celana untuk Kong Liang, lalu dia mengambil seperangkat pakaiannya sendiri dan mengganti pakaiannya yang basah sambil sembunyi di balik semak belukar.
Setelah selesai berpakaian dan Kong Liang merasa betapa luka di belakang pundaknya tidak nyeri lagi, mereka lalu duduk bercakap-cakap di bawah pohon besar.
“Bu-twako, kenapa engkau tadi membantu aku sehingga membahayakan dirimu sendiri?”
“Aih, Sian-li. Melihat betapa jumlah prajurit yang demikian banyaknya, mana mungkin aku dapat membiarkan engkau menghadapi mereka seorang diri? Bahaya yang menimpaku tadi adalah karena kesalahanku sendiri. Aku tidak mahir bermain di air, maka aku sampai terkena anak panah. Apakah yang terjadi di perahu besar itu, Sian-li?”
“Melihat suami isteri setengah tua yang terikat di perahu besar dan juga mendengar suara tangis wanita, aku menjadi curiga. Setelah aku melompat ke perahu besar, ternyata suami isteri setengah tua itu difitnah sebagai pemberontak dan anak gadis mereka ditawan. Kata Pembesar Bong, orang tua dan gadis itu akan diserahkan kepada Pangeran Leng di kota raja! Aku membebaskan mereka, menyuruh mereka naik perahu untuk melarikan diri, dan aku memberi hajaran keras kepada Jaksa Bong itu. Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Sungguh menyebalkan!”
“Yah, memang demikianlah, Sian-li. Kedudukan mendatangkan kekuasaan yang membuat manusia menjadi lalim, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya.”
“Akan tetapi tidak semuanya begitu, Twako!”
“Tentu saja, tentu ada pengecualian. Ada juga pembesar yang bijaksana, jujur, setia, tidak suka korupsi, tidak suka menindas bawahan menjilat atasan. Tetapi ada beberapa gelintir yang seperti itu? Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tak peduli orangnya bangsa apa! Akan tetapi sekelebatan aku tadi melihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang dan agaknya dia lihai juga. Aku tadi khawatir juga saat melihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu.”
“Dia adalah salah seorang di antara Kam-keng Chit-sian yang dulu menjadi pengawal dari Pangeran Cu Kiong di kota raja.”
“Wah, Sian-li, sungguh engkau membuat aku semakin kagum dan heran. Sama sekali tak kusangka, engkau ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air dan engkau mengenal pula, bahkan pernah bertanding melawan jagoan-jagoan yang menjadi pengawal para pangeran di kota raja! Sian-li, agaknya engkau tidak asing dengan keadaan di kota raja!”
Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia bertanya, “Bu-twako, sesudah beberapa kali engkau bentrok dengan pasukan Mancu, kini katakanlah terus terang, apakah engkau membenci orang-orang Mancu seperti Ang-mo Niocu?”
Pemuda itu menggelengkan kepala dengan pasti. “Tidak, Sian-li. Aku hanya membenci orang yang jahat dan akan membela yang benar, tidak peduli bangsa apa dan apa pula kedudukannya.”
Thian Hwa senang mendengar ini, namun dia masih memancing, “Akan tetapi, bukankah engkau seorang pribumi Han dan menentang penjajahan Mancu?”
Kong Liang menghela napas. “Perjuangan untuk itu sudah banyak dilakukan tetapi sia-sia saja hasilnya, bahkan sudah mengorbankan banyak jiwa. Kalau kelak ada gerakan besar-besaran yang menggerakkan rakyat untuk menentang penjajah, aku pasti akan membantu mereka. Akan tetapi untuk saat ini, aku akan bertindak seperti para pendekar Siauw-lim-pai pada umumnya, yaitu membela kebenaran dan keadilan, demi melindungi rakyat kecil yang hidup sengsara dan tertindas. Sungguh pun dia seorang pembesar Mancu, kalau dia bijaksana dan baik terhadap rakyat, aku pasti akan membelanya.”
Thian Hwa merasa senang. Pada waktu menghadapi gerombolan yang mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Penjajah Mancu, pemuda ini langsung membasmi mereka. Sekarang, berhadapan dengan pasukan yang mengawal pembesar dan bertindak sewenang-wenang, juga membantunya untuk membasmi pasukan pengawal itu.
Bu Kong Liang telah membuktikan bahwa dia tidak menentang Pemerintah Mancu karena merasa belum saatnya, juga dia bukan seorang yang mengabdi kepada Kerajaan Ceng lalu bertindak sewenang-wenang pada bangsa sendiri seperti yang dilakukan oleh Jaksa Bong. Maka dia tahu bahwa Kong Liang dapat dipercaya dan sudah tiba saatnya bagi dia untuk menceritakan dirinya. Ia perlu mendapatkan seorang sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bertukar pikiran.
“Twako Bu Kong Liang, dulu aku memang pernah ke kota raja dan terlibat dalam urusan dengan beberapa pangeran, kemudian sempat bertanding dengan para pengawal mereka seperti Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin yang dahulu memimpin pasukan menyerangmu, juga seorang dari Kam-keng Chit-sian, pengawal yang bersenjata Long-ge-pang di atas perahu besar itu. Karena aku percaya kepadamu, akan kuceritakan riwayatku dengan syarat bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga. Kepada orang lain aku hanya ingin dikenal dengan sebutan Huang-ho Sian-li saja. Maukah engkau berjanji, Twako?”
Kong Liang memandang wajah gadis itu dengan sikap serius dan suaranya juga tegas. “Tentu saja, Sian-li. Aku berjanji tidak akan menceritakan tentang dirimu kepada siapa pun juga!”
“Baiklah, Twako, dan terima kasih. Akan kuceritakan dengan singkat saja. Sesungguhnya aku tak pernah mengenal orang tuaku, karena pada waktu masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, ketika aku hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning). Aku lalu diambil murid dan diaku sebagai cucu angkatnya. Setelah aku dewasa dan mendengar keterangan Suhu, aku lalu pergi mencari keterangan mengenai orang tuaku. Suhu pernah bermimpi bertemu seorang wanita berpakaian bangsawan yang menitipkan anaknya kepadanya. Oleh karena itu aku pun pergi ke kota raja untuk mencari keterangan mengenai ayah bundaku, karena kami menduga bahwa ibuku adalah seorang wanita bangsawan.”
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika terlibat dalam urusan Pangeran Leng Kok Cun yang mengumpulkan orang-orang sakti dengan maksud hendak merampas tahta kerajaan. Ketika dia dikeroyok para jagoan pembantu Pangeran Leng, dia lari dan ditolong oleh Pangeran Cu Kiong, kemudian di gedung Pangeran Cu Kiong ini ia bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah kandung ibunya.
“Ahh, maksudmu Kakek Cui Sam dari dusun Kia-jung itu?”
“Benar, Twako. Ketika aku bercerita mengenai keinginanku, mencari orang tuaku kepada Pangeran Cu Kiong yang menolongku, Kong-kong (Kakek) Cui Sam telah mendengarkan tanpa sengaja. Ketika itu dia bekerja sebagai pelayan kepada Pangeran Cu Kiong.”
Thian Hwa melanjutkan ceritanya, tapi dia tidak menceritakan hubungan batin yang timbul antara dia dan Pangeran Cu Kiong. Dia hanya menceritakan betapa Pangeran Cu Kiong hendak memperalatnya untuk membantunya dalam perebutan kekuasaan, maka dia lalu meninggalkannya.
Pangeran Cu lalu mengerahkan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian untuk menangkapnya. Dia melawan mati-matian dan dalam keadaan terkepung serta terancam bahaya, muncul Ui Yan Bun membantunya.
“Siapakah Ui Yan Bun itu, Sian-li?”
“Dia adalah seorang sahabatku, boleh juga dianggap suheng-ku (Kakak Seperguruanku) karena ia pernah diberi pelajaran silat oleh Kong-kong atau Suhu Thian Bong Sianjin. Nah, kami berdua berhasil membunuh empat dari ketujuh orang jagoan itu. Orang bersenjata Long-ge-pang di perahu itu adalah salah seorang di antara mereka yang lolos, yaitu ada tiga orang.”
Thian Hwa lalu melanjutkan lagi ceritanya, betapa sebelum pertempurannya melawan para pengawal Pangeran Cu Kiong, ia dapat mendengar dari Kakek Cui Sam mengenai ayah ibunya.
“Wah, beruntung sekali engkau, Sian-li. Jadi engkau bisa bertemu dengan orang tuamu?”
Thian Hwa menghela napas. “Dari Cui Kong-kong (Kakek Cui) aku mendengar riwayat ibu kandungku yang menyedihkan. Dahulu, ketika Kakek Cui bekerja sebagai kepala pelayan pada keluarga Pangeran Tua Ciu di kota raja, dia telah menduda dan dia juga membawa anak perempuannya yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan. Sesudah Cui Eng dewasa, dia saling jatuh cinta dengan Pangeran Ciu Wan Kong, putera dari Pangeran Tua Ciu. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibunya, tidak setuju apa bila puteranya mengambil seorang pelayan sebagai selir, apa lagi sebagai isterinya. Akan tetapi pada waktu itu Cui Eng sudah... mengandung sebagai hasil hubungannya dengan Pangeran Ciu Wan Kong.” Thian Hwa berhenti dan menatap tajam wajah pemuda itu. Akan tetapi Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajahnya, dia tetap tenang mendengarkan.
“Ketika mendengar bahwa Cui Eng sudah mengandung, ibu dari Pangeran Ciu Wan Kong lalu memutuskan bahwa bila Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, dia akan diterima menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi kalau yang terlahir anak perempuan, dia akan diusir dari gedung Pangeran Ciu. Dan ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan sehingga dia diusir dari gedung itu dan dibawa ayahnya keluar dari kota raja. Tapi ketika mereka menggunakan perahu berlayar di Sungai Kuning, perahu itu diserang badai kemudian tenggelam!”
Melihat Thian Hwa menghentikan ceritanya dan tampak terharu dan berduka, Kong Liang berkata. “Ah, kejadian seperti itu sudah sering kudengar, terjadi sejak jaman dulu. Kaum bangsawan memang suka sewenang-wenang menyia-nyiakan selirnya, dan mereka pada umumnya tidak suka kalau mempunyai keturunan wanita. Sungguh tidak adil! Sian-li, aku dapat menduga sekarang. Tentu engkaulah anak itu, dan ternyata engkau diselamatkan Locianpwe (Orang Tua Gagah) Thian Bong Sianjin. Kakekmu, Cui Sam, ternyata sudah dapat menyelamatkan diri pula dan masih hidup sampai sekarang. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan ibumu yang bernama Cui Eng itu?”
Thian Hwa menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.....
“Tidak ada kabar ceritanya lagi tentang ibuku. Cui Kong-kong juga tidak tahu dan hanya mengira bahwa ibuku tentu telah tewas, tenggelam dalam Sungai Huang-ho. Ketika Suhu Thian Bong Sianjin menemukan aku, dia memberi nama Thian Hwa kepadaku, memakai marga Thian, yaitu marga dari Suhu sendiri. Namun sebetulnya ayah kandungku adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang masih hidup, maka aku akan memakai nama Ciu Thian Hwa, dua marga itu kupakai dan namaku Hwa (Kembang) saja! Akan tetapi untuk umum, aku lebih suka dikenal sebagai Huang-ho Sian-li.”
Bu Kong Liang menghela napas panjang. “Aihh, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau telah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku.”
“Bu-twako, sesudah engkau mengetahui namaku, jangan engkau sebut aku Sian-li (Dewi) lagi. Panggil saja aku Hwa (Bunga)!”
Kong Liang tersenyum. “Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa). Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Apakah engkau akan ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?”
“Dulu, kurang lebih dua tahun yang lalu aku pernah mengunjunginya. Ingin aku membalas penghinaannya terhadap ibuku, betapa tega hatinya mengusir Ibu yang telah mengandung puteri keturunannya sendiri. Ingin aku membunuhnya. Tetapi ketika aku memasuki kamar Pangeran Ciu Wan Kong, kulihat dia dengan sedih sedang merenung sambil memandang lukisan wajah ibu kandungku Cui Eng, dan dia memperlihatkan tanda-tanda seorang yang pikirannya tidak waras. Aku menjadi tidak tega dan meninggalkannya. Kemudian, malam tadi... aku mendengar keterangan yang rinci dari Kakek Cui Sam bahwa sebenarnya ayah kandungku Pangeran Ciu Wan Kong sangat mencinta ibu kandungku Cui Eng dan yang memaksa untuk mengusir ibuku adalah orang tuanya, terutama ibunya. Sayangnya kedua orang tua Ayah Ciu Wan Kong telah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat membalas sakit hati ibuku. Menurut Kakek Cui Sam, bahkan sampai sekarang ayah kandungku itu tidak mau mempunyai seorang selir pun dan selalu mengurung diri dalam kesedihan.”
“Hemm, kalau begitu nasib ayah dan ibumu benar-benar malang, Hwa-moi. Akan tetapi... maafkan pendapatku ini kalau tidak cocok dengan pendapatmu. Niatmu untuk membalas sakit hati ibumu terhadap ayah dan ibu Pangeran Ciu Wan Kong itu sungguh tidak benar, Hwa-moi. Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, ada pun isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu. Memang terasa kejam sekali mengusir ibumu dari gedung mereka, akan tetapi jangan lupa bahwa tidak menyukai anak perempuan merupakan penyakit yang turun menurun. Nah, sekarang apa yang hendak engkau lakukan, Hwa-moi?”
“Pendapatmu itu memang ada benarnya, Bu-twako. Tapi bagaimana pun juga Kakek dan Nenek Ciu sudah meninggal dunia, maka urusannya dengan ibu kandungku itu pun tidak perlu dibicarakan lagi. Sekarang aku hendak menyelidiki, benarkah ibu kandungku sudah meninggal dunia. Kalau sudah wafat mana kuburnya dan seandainya masih hidup di mana tempat tinggalnya. Aku hendak mencari keterangan itu mulai dari rumah ayahku. Sesudah mendengar keterangan Kakek Cui Sam, aku ingin dekat ayahku, ingin menghiburnya dan membantu padanya. Tentu saja kalau dia berada di pihak yang benar. Agaknya di antara kalangan pangeran di kota raja terdapat semacam persaingan dan perebutan pengaruh.”
“Nah, keadaan itulah yang harus kuselidiki di kota raja, Hwa-moi. Para suhu menghendaki aku selain menyelidiki keadaan kehidupan rakyat, juga bagaimana keadaan pemerintahan penjajah di kota raja,” kata Kong Liang.
“Akan tetapi berhati-hatilah, Bu-twako. Sesudah bentrokan dengan Pembesar Bong yang jahat itu, tentu engkau akan dicari!”
“Hemm, engkau juga harus hati-hati, Hwa-moi. Seharusnya engkau membunuh pembesar jahat macam Jaksa Bong agar dia tak akan menyusahkan lagi. Dia tentu akan membalas dendam kepadamu.”
“Hemm, memang aku masih mengampuninya, hanya memotong kedua daun telinga serta hidungnya. Tetapi kalau dia masih berani membuat ulah, lehernya yang akan kubuntungi!” kata gadis itu gemas.
Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Dalam perjalanan itu Thian Hwa membandingkan Bu Kong Liang dengan Ui Yan Bun. Dua orang pemuda yang sama-sama gagah perkasa dan baik budi. Akan tetapi dia harus mengakui bahwa di dalam hatinya hanya ada rasa kagum dan suka terhadap dua orang pemuda ini, tidak ada perasaan mesra seperti yang pernah dirasakan hatinya terhadap Pangeran Cu Kiong!
Dan naluri kewanitaannya membuat dia dapat merasakan bahwa Bu Kong Liang, seperti juga Ui Yan Bun, mencinta dirinya. Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti kedua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena dia tidak atau belum dapat membalas cinta mereka…..
********************
Untuk menjaga keamanan, Thian Hwa dan Bu Kong Liang menanti sampai senja tiba dan cuaca sudah mulai gelap baru memasuki pintu gerbang kota raja. Sebelum sampai di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.
“Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing, Bu-twako. Dan terima kasih untuk semua kebaikanmu,” kata Thian Hwa.
“Hwa-moi, akulah yang berterima kasih kepadamu. Engkau telah menolongku. Kalau tidak ada engkau, mungkin aku sudah mati tenggelam ke dalam sungai. Jaga dirimu baik-baik, Hwa-moi. Dan semoga kita akan dapat bertemu kembali.”
“Selamat berpisah, Twako.”
Thian Hwa langsung menuju ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong, ada pun Bu Kong Liang yang merasa berat harus berpisah dengan gadis yang dikaguminya itu, pergi mencari Gui Tiong, murid Siauw-lim-pai yang membuka perguruan silat ‘Bangau Putih’ di kota raja.
Gui Tiong adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sejak muda sudah tinggal di kota raja dan membuka perguruan silat ‘Bangau Putih’. Dia menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang di kota raja dan mempunyai seorang puteri bernama Gui Siang Lin.
Gadis ini tentu saja mewarisi ilmu silat ayahnya sehingga ia dikenal sebagai seorang gadis cantik yang lihai. Sebagai seorang wanita gagah ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan ia membantu ayahnya dalam melatih silat kepada para murid Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih).
Sayang bahwa semenjak Siang Lin berusia sepuluh tahun isteri Gui Tiong telah meninggal dunia. Nyonya Gui Tiong meninggal dunia karena wabah yang pernah mengamuk di kota raja sehingga menimbulkan banyak korban. Kini Gui Tiong yang berusia empat puluh lima tahun itu hidup sebagai seorang duda, bersama puterinya.
Gui Tiong yang kini berusia empat puluh lima tahun dan tetap menduda adalah seorang laki-laki yang perawakannya sedang tetapi tegap. Wajahnya cukup gagah dengan jenggot pendek dan tatapan matanya tajam. Gui Tiong terkenal dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) yang dia ajarkan, dan dia juga seorang ahli memainkan senjatanya, yaitu siang-to (sepasang golok).
Puterinya, Gui Siang Lin, yang berusia sembilan belas tahun, adalah seorang gadis yang berwajah bundar, berkulit putih mulus, matanya lebar, senyumnya manis dihias lesung di sepasang pipinya. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan sebagian digelung ke atas. Gadis yang cantik manis ini agak pendiam dan lembut, akan tetapi sikapnya tegas dan dia dapat memainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan indah dan kuatnya.
Sesuai dengan pendirian Siauw-lim-pai, selama ini Gui Tiong tak pernah memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Mancu, sebab itu dia pun tidak pernah mendapat gangguan. Apa lagi banyak pemuda putera para pembesar yang belajar di perguruan itu.
Akan tetapi, biar pun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, di dalam hatinya Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah. Bahkan pelajaran silat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja. Intinya hanya dia ajarkan kepada puterinya.
Bu Kong Liang tidak menemukan kesulitan untuk mencari guru silat yang masih terhitung susiok-nya (Paman Gurunya) itu. Gui Tiong pernah belajar silat di Siauw-lim-pai, sungguh pun tidak mencapai tingkat terakhir, dan Bu Kong Liang adalah murid Thian Beng Hwesio yang merupakan murid Siauw-lim-pai satu angkatan dengan Gui Tiong. Hanya bedanya Thian Beng Hwesio terus memperdalam ilmu silatnya sehingga kini menjadi pelatih ilmu silat di kuil Siauw-lim. Karena itu, biar pun Gui Tiong merupakan susiok dari Kong Liang, namun dalam hal tingkat ilmu silat, sang murid keponakan ini lebih tinggi.
Setelah menemukan rumah susiok-nya, pada suatu pagi Bu Kong Liang berdiri di depan rumah yang cukup besar dan memandang ke arah papan nama perguruan silat ‘PEK HO BUKOAN’.
Dengan gembira akan tetapi juga tegang karena selama hidup belum pernah dia bertemu dengan Gui Tiong, hanya mendengar namanya saja dari Thian Beng Hwesio, Kong Liang menghampiri pintu depan rumah itu. Dia mengetuk pintu, akan tetapi agaknya tidak ada yang mendengarnya karena pada saat itu terdengar suara bentakan dan hentakan kaki orang-orang yang sedang berlatih silat sehingga suara ketukannya tidak terdengar.
Kong Liang mendorong daun pintu yang ternyata tidak terpalang dari dalam. Dia melihat ada belasan orang laki-laki, tua muda tengah berlatih silat dan dia mengenal gerakan kaki tangan mereka itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-pai, biar pun gerakan mereka tampak kaku karena tidak berbakat. Yang membuat dia merasa sangat heran, di antara belasan orang murid yang tingkatnya masih rendah dan gerakannya hanya mengandalkan kekuatan otot itu terdapat seorang gadis yang amat manis!
Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasanya, dia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja. Para murid itu mempelajari ilmu silat hanya untuk gagah-gagahan saja. Mereka cukup puas kalau sudah dapat melakukan gerakan yang tampak indah dan gagah dan sudah merasa dirinya hebat.
Melihat Kong Liang yang sekarang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Siang Lin memandang heran karena ia tidak mengenal pemuda itu. Ia lalu memesan para murid untuk melanjutkan latihan mereka, dan melangkah keluar menghampiri tamu itu.
Melihat gadis itu menghampirinya, Bu Kong Liang segera mengangkat kedua tangannya di depan dada memberi hormat yang dibalas oleh Siang Lin yang sudah biasa berhadapan dengan tamu lelaki yang hendak belajar silat. Ia mengira bahwa pemuda ini tentu datang untuk belajar ilmu silat seperti yang lain.
“Maaf, Nona, kalau kunjunganku ini mengganggu kesibukanmu,” kata Kong Liang.
Siang Lin tersenyum. Begitu bertemu, ia melihat bahwa pemuda ini berbeda dengan para murid ayahnya. Dia melihat sikap sopan pemuda ini yang wajar dan keluar dari dalam. Hal ini dapat dia ketahui dari pandang mata pemuda ini. Pemuda-pemuda lain kalau berbicara dengannya, sikap sopannya hanya dibuat-buat akan tetapi ia dapat melihat pandang mata yang penuh berahi kepadanya. Namun pemuda ini memandangnya dengan jujur, bahkan sinar matanya demikian tajam berwibawa.
“Engkau tidak mengganggu. Siapakah engkau dan apakah engkau datang berkunjung ke sini untuk belajar ilmu silat?”
“Tidak, Nona. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat, melainkan untuk bertemu dengan pemimpin Pek-Ho Bu-koan. Bukankah yang menjadi pemimpin perguruan ini bernama Gui Tiong?”
Siang Lin memandang tajam penuh selidik dan dia mulai merasa curiga. Hal ini tidak aneh karena dia tahu bahwa sebagai seorang murid Siauw-lim-pai yang menentang kejahatan, tentu saja ayahnya dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat dari dunia kangouw (sungai telaga/ persilatan).
“Kalau bukan untuk belajar ilmu silat, lantas apa keperluanmu hendak menemui ayahku? Kauwsu (Guru Silat) perguruan ini memang Gui Tiong, ayahku.”
“Ahh… maafkan aku. Aku adalah Bu Kong Liang dan aku datang untuk bertemu dengan susiok (Paman Guru) Gui Tiong.”
“Susiok...? Kalau begitu, engkau ini... murid Siauw-lim-pai?”
“Benar, Nona. Aku datang dari Siauw-lim-pai dan Suhu Thian Beng Hwesio yang memberi-tahu agar aku menemui Susiok Gui Tiong di sini.”
“Ah, kalau begitu kita masih ada hubungan perguruan! Namaku Gui Siang Lin, Bu Suheng (Kakak Seperguruan Bu). Mari kuantar menemui Ayah di dalam!”
“Terima kasih, Sumoi (Adik Seperguruan)!” kata Kong Liang dengan hati girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.
“Sekarang kalian boleh istirahat dulu, nanti latihannya akan kita lanjutkan lagi,” kata Siang Lin kepada belasan orang yang belajar ilmu silat itu.
Para murid itu berhenti lalu mengaso di bawah pohon yang tumbuh di tepi halaman. Dua orang dari mereka berbisik-bisik membicarakan tamu yang baru datang.
“Kau dengar tadi? Pemuda itu murid Siauw-lim-pai, dia murid keponakan Suhu Gui Tiong. Hemm, mencurigakan sekali. Mau apa Siauw-lim-pai menghubungi Suhu Gui Tiong?” kata seorang dari mereka yang usianya sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering seperti orang berpenyakitan.
“Hemm, ini perlu kita laporkan. Pergilah, aku akan memberi-tahu Nona Gui bahwa engkau merasa sakit perut dan pamit pulang lebih dulu,” bisik orang ke dua yang bertubuh gemuk dan usianya sekitar tiga puluh tahun.
Si Kurus Kering mengangguk, kemudian bangkit berdiri, menekan perut dan menyeringai, lalu dipapah keluar oleh Si Gendut yang berkata kepada para murid lain bahwa Si Kurus itu sakit perut dan hendak pulang lebih dulu.
Sementara itu Kong Liang bersama Siang Lin memasuki ruangan samping rumah itu. Gui Tiong yang sedang duduk di sana, memandang heran melihat puterinya masuk bersama seorang pemuda.
“Ayah, ini adalah Suheng Bu Kong Liang, murid Supek (Uwa Guru) Thian Beng Hwesio yang datang hendak bertemu Ayah,” kata Siang Lin. Kong Liang segera merangkap kedua tangan dan memberi hormat kepada laki-laki setengah tua itu.
Mendengar ucapan puterinya, Gui Tiong segera bangkit lantas membalas penghormatan Kong Liang. “Ah, kiranya murid Suheng Thian Beng Hwesio? Kalau begitu engkau datang dari Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim)?”
“Benar, Susiok. Suhu mengirim salam untuk Susiok.”
“Ah, duduklah, Kong Liang! Gembira sekali aku mendapat kunjungan seorang keponakan murid yang datang dari Siauw-lim-si! Siang Lin, cepat ambilkan minuman untuk suheng-mu!”
“Tidak perlu repot, Sumoi!”
“Ah, minuman tinggal ambil saja, Suheng!” kata Siang Lin dan segera gadis ini keluar dari ruangan. Tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa minuman air teh.
“Suheng, silakan duduk dan bicara dengan Ayah. Aku harus mengurus latihan para murid tadi.” Setelah berkata demikian Siang Lin keluar lagi.
“Nah, Kong Liang, coba kau ceritakan bagaimana keadaan Siauw-lim-pai sekarang. Sudah belasan tahun aku tidak pernah mendengar beritanya semenjak aku meninggalkan Kuil Siauw-lim.”
Dengan singkat Kong Liang lalu menceritakan tentang kuil Siauw-lim, dan memberi-tahu bahwa kini yang bertugas melatih murid-murid tingkat akhir adalah gurunya, yaitu Thian Beng Hwesio.
Gui Tiong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, memang Suheng Thian Beng memiliki bakat yang jauh melampaui aku dan tentu dia telah memperoleh kemajuan pesat karena dia begitu tekun berlatih memperdalam ilmunya.”
“Setelah saya tamat belajar, Suhu dan para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus saya untuk pergi merantau ke kota raja, untuk melihat bagaimana keadaan rakyat setelah pemerintah dikuasai oleh bangsa Mancu. Suhu memesan agar kalau sampai di kota raja saya harus mencari Susiok dan minta keterangan kepada Susiok tentang keadaan di kota raja.”
Gui Tiong memberi-tahukan bahwa keadaan di kota raja baik saja dan bahwa pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) mau menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi Han dan ada banyak orang Han diangkat menjadi pejabat pemerintah. Juga bahwa pemerintah Mancu bersikap baik terhadap perkumpulan-perkumpulan. Kerajaan Ceng hanya bersikap keras dan tegas terhadap mereka yang menunjukkan sikap memberontak.
“Karena itu sikap yang diambil Siauw-lim-pai agar tidak memancing permusuhan dan tidak melawan pemerintah Ceng, cukup bijaksana. Buktinya, biar pun semua orang mengetahui bahwa aku adalah murid Siauw-lim-pai, namun aku tidak pernah diganggu, bahkan boleh membuka perguruan silat dan yang datang belajar silat bahkan banyak kaum bangsawan dan hartawan.”
“Suhu juga berpesan seperti itu, Susiok. Para murid Siauw-lim-pai diharuskan menjaga diri supaya jangan menentang pemerintah, tetapi bersikap sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan membela yang benar. Kalau ada yang ingin menentang Pemerintah Mancu, dipersilakan pergi ke Secuan dan membantu pemerintah Raja Muda Wu Sam Kwi. Akan tetapi, biar pun saya tidak pernah menentang, tanpa sebab saya dihadang dan dikeroyok seregu prajurit Mancu. Beruntung saya dapat meloloskan diri, Susiok.”
“Ahh, mengapa tanpa sebab engkau dihadang dan dikeroyok oleh pasukan kerajaan?” Gui Tiong bertanya heran dan khawatir.
“Mereka hanya mengatakan bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan menjadi pemberontak.”
“Hemm, ini aneh sekali. Padahal mereka tahu bahwa aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi aku tidak pernah diganggu.”
Mereka lalu bercakap-cakap dengan asyik…..
********************
Sementara itu Gui Siang Ling yang keluar lalu menemui para murid yang sedang berlatih. Mereka tampak sudah kelelahan karena memang sudah sejak pagi sekali mereka berlatih. Karena dia ingin sekali turut bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang, Siang Lin kemudian menghentikan latihan itu dan menyuruh para murid pulang.
Akan tetapi ada seorang murid pribumi Han yang berusia sekitar tiga puluh tahun, sengaja membiarkan dirinya tertinggal dan setelah tidak ada murid lain, dia menghampiri Siang Lin lalu berkata dengan suara berbisik.
“Siocia (Nona), aku tadi mendengar Ma Kiu bicara dengan Lui Hok tentang Suheng Nona tadi, lalu Ma Kiu pergi meninggalkan tempat latihan dengan alasan sakit perut, sebetulnya dia hendak melaporkan kedatangannya, dan agaknya mereka berdua mencurigai Suheng Nona.”
Tentu saja Siang Lin menjadi terkejut bukan kepalang. “Ma Kiu? Orang setengah tua yang mengaku sebagai pembantu kantor Jaksa Ji, yang tubuhnya kurus kering itu?”
“Benar, Siocia.”
“Dia hendak melaporkan tentang apa? Suheng-ku tidak melakukan pelanggaran apa pun, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?”
“Mereka tidak mengatakan kepada siapa, Siocia. Saya hanya ingin memberi-tahu supaya Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Nona mengetahui dan berhati-hati.”
“Terima kasih, dan sekarang pulanglah.”
Setelah murid itu keluar, Siang Lin segera menutupkan pintu gerbang di depan halaman, memanggil seorang pelayan laki-laki setengah tua yang sedang membersihkan halaman bekas tempat latihan itu, lantas memesan agar menjaga di situ dan melaporkan kalau ada yang datang bertamu. Setelah itu Siang Lin pun bergegas memasuki rumah dan langsung menemui ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang.
“Ayah, di luar ada suatu kejadian yang mencurigakan dan agaknya cukup gawat,” katanya melaporkan. “Menurut salah seorang murid, Ma Kiu mencurigai Bu Suheng dan dia akan melaporkan kepada atasannya yang tidak diketahui entah siapa.”
Gui Tiong mengerutkan alisnya. “Ma Kiu? Pekerja di kantor Jaksa Ji itu? Hemm, sejak dia menjadi murid di sini setahun yang lalu, aku telah mencurigainya. Aku yakin dia itu hanya berpura-pura saja belajar silat. Dari sinar matanya aku dapat menduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam cukup kuat. Tentu dia menjadi murid di sini untuk memata-matai, akan tetapi karena perguruan ini memang tidak memiliki niat untuk menentang pemerintah, aku juga hanya diam dan tenang-tenang saja.”
“Aihh, kalau begitu kedatangan saya ini hanya menimbulkan masalah dan kesulitan bagi Susiok!” kata Bu Kong Liang dengan suara menyesal. “Lebih baik saya pergi secepatnya agar jangan mendatangkan kesulitan bagi Susiok.”
“Tidak, Kong Liang. Kau jangan khawatir, para pejabat tidak akan mengganggu kita. Aku mengenal banyak pejabat dan selama belasan tahun ini mereka tentu sudah yakin bahwa aku sama sekali tidak pernah menentang pemerintah. Biarkan saja kita dicurigai dan kita pura-pura tidak tahu saja. Kalau engkau pergi dari sini lalu mereka datang bertanya, tentu kecurigaan mereka bertambah melihat engkau telah pergi tanpa aku dapat memberi-tahu ke mana pergimu. Tenang sajalah, kita hadapi bersama.”
“Benar, Suheng. Kalau kita tidak bersalah apa pun, untuk apa melarikan diri seperti orang yang bersalah?”
“Pendapat Susiok dan Sumoi memang benar, akan tetapi hendaknya Susiok ingat bahwa seperti yang saya ceritakan tadi, saya pernah dihadang dan dikeroyok oleh seregu prajurit yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin karena dituduh sebagai pemberontak. Pada waktu itu muncul Ang-mo Niocu, seorang penyelidik utusan Raja Muda Wu Sam Kwi di Secuan dan ia telah membunuh enam orang prajurit. Dengan adanya peristiwa itu, tentu saya dianggap sebagai pemberontak dan jika saya tidak cepat meninggalkan rumah ini, Susiok dan Sumoi pasti akan terbawa-bawa.”
“Hal itu juga dapat kita jelaskan. Tanpa sebab engkau dihadang dan diserang, tentu saja engkau berhak membela diri. Kalau di antara para pengeroyok itu ada yang tewas, itu pun bukan kesalahanmu, apa lagi seperti kau ceritakan tadi, yang membunuh adalah Ang-mo Niocu, bukan engkau. Tenanglah, di kota raja ini banyak pejabat yang adil, aku pasti akan membelamu.”
“Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin, aku seperti pernah mendengar nama itu, Ayah!”
“Tentu saja. Mereka cukup terkenal di sini. Mereka adalah dua orang di antara para jagoan yang menjadi anak buah Pangeran Leng Kok Cun.”
Kong Liang mengangguk. “Saya pun sudah mendengar tentang itu dari seorang pendekar wanita bernama Thian Hwa yang pernah bentrok dengan mereka.”
“Wah, Bu Suheng mempunyai banyak kawan pendekar wanita, ya? Tadi Ang-mo Niocu, sekarang Thian Hwa! Tentu mereka itu lihai dan cantik!”
Wajah Kong Liang berubah merah. “Bukan kawan, hanya kebetulan bertemu kemudian berkenalan saja, Sumoi.”
“Sudahlah, Kong Liang. Menurut aku sebaiknya engkau tinggal dulu di sini. Kalau engkau pergi malah mungkin akan menyusahkan kami. Apa bila ada petugas pemerintah datang, kita hadapi berdua, akan tetapi kuperingatkan lebih dulu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan untuk melawan. Hal itu bahkan akan memperuncing keadaan dan menambah kecurigaan mereka.”
Akhirnya Kong Liang terpaksa menyetujui walau pun dia merasa tak enak kepada paman gurunya. Dia tidak menceritakan betapa dia dan Thian Hwa juga menghajar seorang jaksa berikut para prajurit pengawalnya. Dia merasa serba salah.
Kalau dia pergi, akibatnya Gui Tiong dan Gui Siang Lin dicurigai lalu ditekan pemerintah, hal itu akan memperlihatkan bahwa dia seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab! Akan tetapi kalau dia tinggal di sana, susiok dan sumoi-nya itu akan terseret atau terlibat urusannya dengan pasukan kerajaan! Di antara dua pilihan itu, dia memilih yang pertama. Dia akan tinggal di situ dan menghadapi segala kemungkinan bersama Gui Tiong supaya dia dapat membantu kalau sampai ada bahaya mengancam paman gurunya.
Apa yang mereka khawatirkan ternyata terjadi pada siang hari itu juga. Seorang perwira dengan dua losin orang prajurit keamanan datang membawa surat perintah Jaksa Ji untuk memanggil Gui Tiong dan pemuda yang menjadi tamunya menghadap.
“Harap Gui Kauwsu dan tamunya suka ikut dengan baik dan tidak melakukan perlawanan agar kami tak perlu menggunakan kekerasan,” kata perwira itu yang sudah mengenal Gui Tiong.
Bu Kong Liang mengerutkan alis, akan tetapi Gui Tiong memberi isyarat dengan pandang matanya agar pemuda itu tidak mengeluarkan bantahan.
“Aihh, Ciangkun (Perwira), mengapa harus melawan? Kami tidak merasa bersalah, maka tentu saja kami akan menaati panggilan Ji Thaijin.”
Ketika Gui Siang Lin keluar, ayahnya berkata kepadanya. “Siang Lin, engkau jaga rumah dan sebaiknya para murid diliburkan dahulu. Aku dan Kong Liang hendak pergi ke kantor Jaksa Ji untuk memenuhi panggilannya.”
“Kenapa Ayah dipanggil Jaksa Ji?” Siang Lin bertanya.
“Ahh, mungkin ada urusan yang hendak beliau tanyakan. Tapi jangan khawatir, Siang Lin. Jaksa Ji orangnya baik, pasti tidak ada apa-apa.”
“Baiklah, Ayah,” kata gadis itu.
Diam-diam Bu Kong Liang kagum kepada ayah dan anak ini. Apa bila mereka melakukan perlawanan tentu Siang Lin juga akan ditangkap. Tetapi karena Gui Tiong bersikap lunak, maka pasukan itu juga tidak bertindak kasar sehingga mereka berdua kini hanya dikawal saja tanpa dibelenggu menuju ke kantor Jaksa Ji.
Setelah tiba di kantor itu, ternyata Jaksa Ji telah menunggu dengan mengenakan pakaian kebesarannya. Dengan sikap angkuh dia duduk di atas kursi, dan belasan orang prajurit pengawal berjaga di situ dengan senjata pedang di tangan.
Gui Tiong dan Kong Liang dikawal masuk dan setelah tiba di ruangan itu dan berhadapan dengan Jaksa Ji, Gui Tiong cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk, ditiru oleh Kong Liang. Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak.
“Hayo kalian berdua berlutut memberi hormat kepada Ji Thaijin!”
Mendengar bentakan ini Gui Tiong segera berlutut, dan biar pun hatinya terasa mengkal, terpaksa Kong Liang juga ikut berlutut. Gui Tiong maklum bahwa dia diperlakukan sebagai seorang terdakwa, maka diharuskan berlutut. Padahal biasanya dia bersikap biasa saja terhadap jaksa yang sudah dikenalnya ini.
“Ji Thaijin, saya Gui Tiong dan murid keponakan saya bernama Bu Kong Liang, memberi hormat memenuhi panggilan Thaijin,” kata Gui Tiong sambil berlutut.
“Gui Tiong!” kata Jaksa Ji dengan suara kereng. “Sudah tahukah engkau akan dosamu?”
“Ji Thaijin, sesungguhnya saya masih merasa amat heran dan tidak tahu mengapa Thaijin memanggil kami, maka mohon Thaijin menjelaskan apakah maksud Thaijin mengatakan bahwa saya berdosa? Dosa apakah yang telah saya lakukan?”
“Hemm, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Jaksa Ji mengejek. “Kami sudah mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak. Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan di dalam penjara!”
“Maaf, Thaijin, saya memprotes! Saya memang murid Siauw-lim-pai, tetapi tidak pernah memberontak. Andai kata sayalah yang dituduh memberontak, kenapa Susiok Gui Tiong ikut ditahan pula? Dia bersama puterinya sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan saya. Bahkan baru pagi tadi saya mengunjungi paman guru saya ini. Maka mohon Thaijin membebaskan Susiok Gui Tiong!” kata Bu Kong Liang dengan lantang.
“Ssstt, Kong Liang, jangan berkata begitu. Aku yakin penangkapan ini hanya akibat fitnah. Biarlah di pengadilan nanti kita bicara membela diri kita yang tidak bersalah.”
“Diam kalian!” bentak jaksa itu, lalu menoleh kepada para prajurit pengawal. “Masukkan mereka dalam penjara!”
Andai kata Kong Liang seorang diri dan tidak melibatkan paman gurunya, tentu dia takkan sudi ditawan, dia akan mengamuk dan meloloskan diri. Tapi dia maklum bahwa kalau dia berbuat demikian, dia malah membahayakan keselamatan guru dan adik seperguruannya. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi.
Maka dia pun menurut saja ketika dia dan Gui Tiong digiring belasan orang prajurit menuju rumah penjara di mana mereka berdua dimasukkan sebuah kamar tahanan yang kokoh dan berterali besi amat kuatnya. Rumah tahanan itu dijaga banyak prajurit, bahkan di luar sel mereka terlihat lima orang prajurit duduk berjaga.....
Tadi mereka datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang sudah melarang murid keponakannya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah, dilarang membawa senjata. Setelah mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu yang keras dan dingin.
“Susiok, ini sangat tidak adil!” Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. “Jika saya yang dituduh sebagai pemberontak, kenapa Susiok juga ikut ditahan? Maka dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya. Katakan saja terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai, dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya. Kalau hanya saya yang dihukum maka saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri. Sebaliknya Susiok tidak mungkin melakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi Siang Lin.”
Gui Tiong tersenyum, sikapnya tenang sekali. “Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tak bermaksud buruk. Seperti katanya tadi, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Bagaimana kita akan bersikap dan bertindak, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau. Dalam keadaan begini kita harus tetap tenang dan kita harus mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan.”
Sore harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan lewat sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah. “Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beri-tahu saja kepada kami.”
“Terima kasih,” kata Gui Tiong.
Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan ternyata cukup baik. Gui Tiong memberi-tahu Kong Liang bahwa jika melihat makanan yang mereka terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa. Agaknya mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar yang menyuruh menangkap mereka itu tentu mempunyai maksud lain.
Malam itu para penjaga penjara tampak sibuk sekali. Bahkan di depan sel yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang kini dijaga belasan orang prajurit yang sudah siap dengan senjata di tangan. Namun mereka hanya berdiri tegap dengan sikap hormat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.
Gui Tiong dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari balik terali. Tak lama kemudian tampak seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tiga tahun, bertubuh bongkok dan mukanya buruk.
Orang tua ini tampak ringkih (lemah), akan tetapi dia berpakaian mewah sekali. Di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat hitam, tangan kanannya memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati. Kalau melihat dandanannya, orang ini sama sekali tidak kelihatan garang menakutkan, melainkan tampak aneh dan lucu sekali. Tetapi jika orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut.
Kakek aneh ini adalah Pat-chiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan) yang namanya di dunia kangouw terkenal sebagai seorang yang sakti. Di samping ilmu tongkatnya yang hebat, ia pandai memainkan kipas yang kini dia pakai mengebuti badannya, sebagai senjata yang ampuh. Kipasnya itu disebut Yangliu-san (Kipas Cemara) karena bentuknya seperti pohon cemara. Selain itu, ilmunya menyambit dengan hui-to (belati terbang) juga amat dahsyat. Dia selalu membekali dirinya dengan tujuh batang belati yang dapat dia terbangkan untuk menyerang lawan. Pada saat itu Pat-chiu Lo-mo adalah seorang di antara para pembantu utama Pangeran Leng Kok Cun!
Di belakang kakek itu berjalan lima orang pria yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Kelima orang ini bertubuh tinggi besar dan tegap, tampak gagah. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal dengan julukan Twa-to Ngo-liong (Lima Naga Bergolok Besar). Sungguh aneh kalau melihat betapa kakek bongkok yang tampak berpenyakitan itu malah menjadi pimpinan lima orang yang tampak kokoh kuat itu!
Setelah tiba di luar sel mereka berhenti dan kakek itu memandang ke arah Gui Tiong dan Bu Kong Liang.
“Kalian yang bernama Gui Tiong dan Bu Kong Liang?”
“Betul,” jawab Gui Tiong yang belum pernah bertemu dengan kakek itu karena memang Pat-chiu Lo-mo tidak pernah keluar dari istana Pangeran Leng Kok Cun.
“Hemm, ketahuilah kalian berdua, bahwa kami datang sebagai utusan Pangeran Leng Kok Cun untuk bertanya kepada kalian. Kalian dipersilakan memilih satu di antara dua pilihan. Pertama, kalian akan diadili sebagai pemberontak-pemberontak dan pasti akan dihukum mati. Ada pun yang ke dua, kalian akan bebas dari tuduhan kalau kalian mau membantu Pangeran Leng dan melaksanakan segala perintahnya, malah kalian juga akan menerima imbalan yang amat berharga. Nah, kalian memilih yang mana? Menolak, berarti diadili dan dihukum mati, kalau menerima, mari menghadap Pangeran Leng malam ini juga!”
Melihat sikap kakek bongkok ini, Kong Liang sudah merasa tak senang. Dia pun bertanya dengan suara tegas. “Kalau kami mau, lalu disuruh melakukan apa?”
“Hal itu akan ditentukan oleh Pangeran Leng sendiri! Bagaimana jawabanmu, Gui Tiong? Engkau menerima atau menolak tawaran Pangeran Leng?” tanya Pat-chiu Lo-mo.
“Kalau benar Pangeran Leng Kok Cun yang ingin agar kami membantunya, kenapa beliau tidak langsung saja menemui kami? Mengapa harus lebih dulu menangkap kami dengan tuduhan yang bohong? Lagi pula bagaimana kami tahu bahwa engkau benar-benar diutus oleh Pangeran Leng? Kami tidak mengenalmu, sobat,” kata Gui Tiong yang bersikap hati-hati.
“Hemm, bagaimana mungkin Pangeran Leng merendahkan diri berkunjung ke rumahmu, Gui Kauwsu? Tuduhan itu bukan fitnah. Engkau sudah menyembunyikan pemuda ini yang memberontak dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Agaknya engkau belum mengenal aku, bukan? Aku dikenal sebagai Pat-chiu Lo-mo dan bekerja membantu Pangeran Leng. Nah, cukuplah, cepat beri keputusan. Engkau menolak atau bersedia kubawa menghadap Pangeran Leng sekarang juga?”
Kini Gui Tiong dapat menduga bahwa penangkapan ini tentu atas perintah Pangeran Leng yang memiliki kekuasaan besar. Dia teringat akan cerita Bu Kong Liang betapa pemuda itu pernah bentrok dengan dua orang jagoan kaki tangan Pangeran Leng, yaitu Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin. Tentu karena itulah Kong Liang dianggap sebagai pemberontak.
Akan tetapi sebetulnya pemuda itu bukan seorang pemberontak, melainkan tanpa alasan dihadang dan diserang pasukan yang dipimpin dua orang jagoan itu. Dia mengerti bahwa kalau menolak, nyawa mereka pasti tak akan tertolong lagi. Akan tetapi kalau menyerah, apakah dia bersama murid keponakannya harus membantu Pangeran Leng yang bersaing dengan para pangeran lain untuk menjadi pengganti Kaisar?
Melihat paman gurunya bimbang dan ragu, Kong Liang menyentuh pinggangnya sebagai isyarat dan berkata, “Susiok, kita terima sajalah dan menghadap Pangeran Leng!”
Gui Tiong maklum bahwa penyerahan diri Kong Liang ini mungkin hanya siasat pemuda itu. Akan tetapi kakek itu adalah seorang yang sangat cerdik. Dia pun maklum dan dapat menduga bahwa mungkin sesudah keluar dari situ dan dibawa ke istana Pangeran Leng, dua orang ini akan melawan dan melarikan diri. Dia sudah mendengar akan kelihaian para murid Siauw-lim-pai ini, maka jika benar seperti yang dia duga, berarti dia membahayakan diri sendiri. Kalau mereka sampai lolos, tentu dia mendapat marah besar dari majikannya!
Walau pun dia sudah mengajak Twa-to Ngo-liong dan di luar masih ada dua losin prajurit yang akan mengawal dua orang tawanan ini menuju istana Pangeran Leng, namun kalau dua orang ini mengamuk, tetap saja ada bahaya mereka atau seorang dari mereka dapat lolos! Akan tetapi kakek bongkok ini tidak merasa khawatir, bahkan dia tertawa terkekeh-kekeh.
“He-he-heh-heh, jangan kalian berniat yang bukan-bukan. Cepatlah karena puterimu juga sudah menanti di sana, Gui Kauwsu!”
Seketika wajah Gui Tiong berubah pucat. “Apa? Anakku Siang Lin juga kalian tawan? Apa salahnya? Awas kalau ada yang berani mengganggu anakku!” teriaknya marah.
Kong Liang juga terkejut mendengar ini dan dia mengepal tinju. Memang tadi dia memberi isyarat kepada paman gurunya dengan maksud untuk mengajak paman gurunya melawan dan memberontak di tengah perjalanan menuju istana Pangeran Leng lalu melarikan diri. Akan tetapi mendengar bahwa Siang Lin sudah berada di tangan mereka, maka tentu saja dia pun merasa tidak berdaya!
“Heh-heh-heh, jangan marah dan jangan khawatir, Gui Kauwsu. Puterimu hanya diundang ke sana untuk meyakinkan kalian bahwa Pangeran Leng memang berniat baik. Jika kalian bersedia menjadi pembantunya dan menaati semua perintahnya, pasti semuanya berjalan dengan baik. Mari kita berangkat karena beliau sudah menunggumu! Bagaimana, engkau bersedia, Gui Kauwsu?”
Gui Tiong merasa tidak berdaya sama sekali. Kini puterinya disandera, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah.
“Baiklah, Lo-mo, aku siap menghadap Pangeran Leng. Tetapi dia ini tidak ada urusannya denganku, maka harap segera dibebaskan. Aku yang siap membantu Pangeran Leng!”
“Tidak!” Bu Kong Liang berseru. “Aku yang menyebabkan semua ini maka aku harus ikut bertanggung jawab!”
“Bagus!” kata Pat-chiu Lo-mo. “Memang Pangeran Leng menghendaki kalian berdua yang ikut menghadap beliau!”
Kakek bongkok itu lalu memberi tanda kepada kepala penjara yang cepat membuka pintu sel tahanan itu. Gui Tiong dan Bu Kong Liang diperintah dan dibawa keluar. Di luar sudah menunggu dua losin prajurit dan kedua orang murid Siauw-lim-pai itu lalu dikawal menuju istana Pangeran Leng.
Kalau saja Siang Lin tidak berada di tangan Pangeran Leng, sudah pasti dua orang murid Siauw-lim-pai itu akan memberontak dan melarikan diri. Mereka tidak gentar menghadapi enam orang jagoan dan dua losin prajurit itu. Akan tetapi ditawannya Siang Lin membuat mereka tidak berdaya, tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah dan menurut...
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-04