Pusaka Pulau Es Jilid 04


Keng Han melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih saja membayangkan wajah Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan gadis itu, tentu dengan senang hati dia akan menerima tawaran Kwi Hong yang menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh orang untuk membunuh gurunya!

Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari mendaki lereng.

Setelah sampai di sana dia tertegun. Mula-mula jantungnya berdebar karena mengira bahwa Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki gerakan ilmu pedang yang lebih hebat dari pada ilmu pedang yang dikuasai Kwi Hong, juga jauh lebih ganas.

Gadis itu dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan, yang membuat dia terpaksa turun tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan, melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika!

Melihat orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh, Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik oleh penduduk dusun itu dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat bahwa para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja.

Karena di situ terdapat banyak penduduk dusun, supaya tidak menarik perhatian, diam-diam ia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu.

Gadis itu lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat dikatakan seorang gadis remaja. Gerakan pedangnya yang sangat hebat itu diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar. Setiap kali tangan kiri itu menyambar dan mengenai tubuh lawan, maka pengeroyok itu tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!

Dan agaknya gadis itu berkelahi dengan gembira sekali. Mulutnya yang amat manis itu tersenyum-senyum, senyum mengejek. Sedangkan kedua matanya yang bersinar-sinar seperti bintang kejora itu berseri-seri.

Sudah dua puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu. Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar sebagai senjata.

Melihat anak buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.

“Pergunakan paku-paku beracun!”

Mendengar ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasia mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu.

Gadis itu sama sekali tak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok semua, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang paku beracun itu. Begitu gadis itu menggerakkan tangan dan menyambitkan paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.

Mereka terkejut dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu sudah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara, sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang dilihat dari gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah.

Keng Han bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tanpa mengenal ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak mengejar mereka.

Orang-orang dusun yang tadi menjadi penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.

“Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau kawan-kawan mereka datang hendak membalas dendam, Lihiap?”

Gadis itu mencibirkan bibir, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya, lalu menyimpan kembali pedangnya di pinggang, dan barulah ia berkata,

“Hemmm, kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian memiliki banyak laki-laki, kenapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan perlawanan! Mulai sekarang bersatulah. Kalau ada gerombolan perampok datang mengganggu, lawanlah. Bila ada yang hendak membalas dendam, katakan saja bahwa yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah, sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!”

Gadis itu melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han bersembunyi. Tiba-tiba ia berhenti dan tersenyum-senyum.

“Engkau yang di atas pohon, tidak lekas turun?”

Keng Han terkejut, akan tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah pahaman jika dia turun. Maka dia diam saja.

“Nonamu bilang turun, engkau tidak cepat turun?!” Gadis itu kembali berseru.

Para penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon. Mereka memandang dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi ataukah bukan.

Keng Han sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun. Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia mencabut pedang akan tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.

“Krakkk...!” Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah.

Tentu saja tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas tanah dengan ringan.

Gadis itu kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan sepasang matanya memandang dengan liar dan penuh ancaman.

“Engkau anak buah mereka?” tanyanya dengan sikap siap untuk menyerang sehingga diam-diam Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.
“Sama sekali bukan. Aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon.”

Agaknya wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para anggota gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya lantas menjadi lembut.

“Hemmm, engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandaian ilmu silat yang boleh juga.”
“Ah, tidak, aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang kejam.”
“Apa?! Kau berani mengatakan aku orang kejam?” Wanita itu membentak marah.
“Tidak, hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Demikian banyaknya orang kau bunuh tanpa berkedip mata, apa lagi namanya itu kalau tidak kejam?”
“Apa engkau melihat bagaimana perlakuan perampok-perampok itu terhadap penduduk dusun? Mereka memperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?”
“Ya, memang engkau kejam sekali,” kata Keng Han bersikeras karena sudah tak dapat mundur lagi.
“Setan cilik! Tanyakan saja kepada penduduk dusun ini! Heiii, warga dusun! Adakah di antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?”

Serentak mereka semua menjawab. “Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!”

“Nah, kau dengar itu, bocah kepala batu?”
“Aku tidak mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!”
“Bagus, jika begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku, atau kau boleh membela diri dari seranganku, dan aku yang akan membunuhmu!”
“Nah, inilah dia bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak kau bunuh juga. Bukankah itu kejam sekali namanya?”
“Tidak peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kau pungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku.”
“Aku mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran.”
“Ahaa!” Wanita itu mencibir, “kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?”
“Bukan hanya pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun berkewajiban untuk membela kebenaran!”
“Jadi engkau tidak mau membunuh diri mentaati perintahku?” tanya wanita itu, nadanya mengancam.

Keng Han menggelengkan kepalanya. “Tidak mau!” jawabnya tegas.

“Kalau begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu, kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan sampai arwahmu menyalahkan aku!”
“Engkau memang wanita kejam!” Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot. Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah membantu para penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, namun wanita itu terlalu kejam, terlalu mudah membunuh orang.
“Lihat serangan!” Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han.

Akan tetapi dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan kiri itu lewat di depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan baju itu.

Agaknya wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh pemuda itu, maka ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dan totokan itu pun luput!

Ketika wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.

“Dukkk!”

Pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat sehingga membuat ia terdorong mundur! Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus secara bertubi-tubi, akan tetapi hingga jurus ke sembilan serangannya selalu gagal.

Keng Han juga harus mengeluarkan kepandaiannya karena ia pun mendapat kenyataan alangkah dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu.

Tiba-tiba ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia pun tidak mampu bergerak lagi!

“Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa puas. “Ternyata tepat pada jurus ke sepuluh engkau tidak berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!”
“Hemmm, aku sudah bisa menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat ludah sendiri dan melanggar janji sendiri!” kata Keng Han yang maklum bahwa keselamatan nyawanya sedang terancam.
“Keparat!” bentak wanita itu. “Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?”
“Memang belum, akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh jurus engkau tak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang sudah lewat sepuluh jurus dan engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu malu!”

Keng Han sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.

“Baik, aku tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau akan menjadi tawananku dan jika kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan membebaskanmu!” Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ.

Keng Han terseret, akan tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya dapat menonton saja dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan, maka pendekar wanita yang telah menolong mereka menjadi marah.

Wanita cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng Han sambil mengangkatnya bagaikan menenteng seekor ayam saja. Keng Han membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di dalam tubuhnya, dengan menyalurkan hawa itu, dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh totokan.

Ketika wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai menyalurkan tenaga dari tantian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak dapat ditembus. Dia hanya mampu menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat menggerakkan jari-jarinya!

Dia mencoba dan terus mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita kejam ini.

Tiba-tiba wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan lain adalah Thian Yang Cu yang tinggi kurus dan Bhok Im Cu yang tinggi besar.

Bhok Im Cu ini biar pun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih tidak dapat meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia memandang wanita itu dengan mata liar seolah-olah matanya menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor serigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk.

Akan tetapi, suheng-nya sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang. “Nona, siapakah Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?”

“Apa urusanmu, tanya-tanya? Lekas pergilah dan jangan menghadang di jalan, atau aku akan marah!” kata gadis itu dengan suara ketus.
“Aih, Nona. Engkau begini cantik kenapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau begitu!” kata Bhok Im Cu mencela.

Mata gadis itu melotot. “Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan menghajar kalian!” Gadis itu kini membentak marah.

Ia mendorong Keng Han ke belakang sehingga pemuda itu terhuyung, kemudian roboh terguling karena tubuhnya masih terasa lemas walau pun sebetulnya dia sudah mampu menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.

“Siancai...!” Thian Yang Cu berseru.
“Engkau tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau cepat jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa turun tangan mencampuri urusanmu!”
“Tosu bau! Kalian kira aku takut kepada kalian?” Gadis itu membentak marah dan ia pun sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu.

Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian Yang Cu lalu membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan.

Bhok Im Cu juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu. Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu hendak berkurang ajar. Ia cepat mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan kilat menyambar ke arah perut Bhok Im Cu.

Hanya dengan melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok Im Cu mampu meloloskan diri dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut sekali dan bersikap lebih hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main.

Thian Yang Cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya mencurigai karena melihat gadis itu menawan seorang pemuda, namun belum ada bukti bahwa gadis itu adalah seorang yang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak menyerang dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi setelah beberapa gebrakan, ia menjadi terkejut bukan main karena gadis itu ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terpaksa dia menambah tenaga pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu.

Akan tetapi agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan seluruh tenaganya, maka ia hanya miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu mengenai pangkal lengan, dan berbareng dengan itu ia telah meluncurkan jari tangannya menotok dada Thian Yang Cu sehingga tosu ini langsung terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali.

Melihat ini, Bhok Im Cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis cantik. Dengan amat marah dia menubruk, akan tetapi dengan gerakan memutar yang indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang mengenai perutnya sehingga Bhok Im Cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tak akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan lawannya.

“Hemmm, tosu-tosu bau dari Bu-tong-pai hanya memiliki sedikit kepandaian telah berani mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup!” Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh.

Akan tetapi pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan baik, sudah melompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing, tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, dua lengannya mendekap dan kedua kakinya juga mengait.

Gadis itu terkejut sekali. Dia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu karena dekapan Keng Han kuat bukan main.

“Heiii, bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan...!” Gadis itu berteriak-teriak.
“Tidak, engkau tidak boleh membunuh orang!” kata Keng Han.

Dengan gemas gadis itu terus meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.

“Anak setan! Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan...!” Gadis itu menjerit-jerit.

Entah mengapa, ketika merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari seorang pemuda, mendadak saja dia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi melihat dua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.

“Berjanjilah terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau melepaskanmu.”

Keng Han kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh-sungguh tidak pantas, mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!

“Aku berjanji...!” kata gadis itu hampir menangis.

Keng Han melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han, membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia cepat bangkit kembali dan berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya, kemudian tersenyum.

“Engkau... engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?”
“Melihat engkau akan membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!”
“Huh, kau tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik aku membunuh lebih dulu, bukan?”

Gadis itu lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han masih terasa kaku, terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.

“Jalan darahmu baru setengahnya terbuka,” kata gadis itu. “Biarlah aku membukanya sama sekali!”

Gadis itu lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak tangan kiri gadis itu menghantam dadanya.

“Plakkk...!”

Tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya. Gadis itu tertawa.

“Hemmm, kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa?” tanya Keng Han penasaran. Namun dia tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti main-main saja.
“Jangan kira bahwa sesudah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku.”
“Hemmm, kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?”
“Tidak mau apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan tetapi aku juga sudah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak percaya, lihatlah dadamu!”

Keng Han penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal racun berkat makan daging ular merah dan gigitan binatang itu. Namun dia diam saja dan memakai kembali bajunya.

“Nona, kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu?” tanyanya.
“Engkau sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani pula merangkul diriku. Hemmm... untuk kesalahan itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu dulu. Terlampau enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan kekejamanku seperti yang kau katakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa. “
“Kejamnya!” Maki Keng Han dalam hatinya.

Dia tahu bahwa gadis ini seorang yang berilmu tinggi dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, meski pun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali.

Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasehat sehingga tidak kejam lagi.

“Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!” kata Keng Han.
“Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekali pun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah engkau ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?”
“Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!”

Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matanya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya dengan hati tertarik.

“Mau apa?”
“Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!”

Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutupi seperti gadis lain. Akan tetapi pada saat ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis bagai wajah seorang kanak-kanak. Lenyap sudah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang berubah menjadi anggun dan menyenangkan sekali sehingga Keng Han terpesona. Gadis ini sesungguhnya cantik bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.

“Semestinya engkau lebih sering tertawa, Enci!” katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.
“Ehhh?!” Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan ‘enci’. “Mengapa?”
“Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!”

Mendadak wajah itu menjadi dingin kembali. Tangan kanan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya.

“Apa kau ingin ditampar?”
“Kenapa ditampar? Apa salahku?”
“Kau bilang wajahku indah sekali.”
“Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?”

Gadis itu menghela napas panjang, agaknya dia merasa kewalahan untuk berbantahan dengan Keng Han.

“Siapa sih namamu?”
“Namaku Keng Han, Si Keng Han, jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan menimbulkan persoalan baru. “Dan engkau siapa?”

Kembali helaan napas panjang. “Orang menyebut aku Bi-kiam Niocu. Aku hampir lupa dengan namaku sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Niocu kepadaku. Berapa usiamu?”

“Usiaku dua puluh tahun.”
“Biar pun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Niocu. Ehh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?”
“Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.”
“Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini berani menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!”
“Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.”
“Hemmm, engkau seorang pemuda yang sangat aneh. Mungkin karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku sudah terasa lapar sekali, Keng Han.”
“Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?”
“Mengapa harus takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Kini nyawamu berada di tanganku.”
“Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi.”

Setelah berkata demikian, Keng Han kemudian memasuki hutan dan mencari binatang buruan. Sesudah berada seorang diri, dia lalu mengerahkan tenaga dari dalam tantian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Pada waktu dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap sama sekali.

Dia tersenyum dan merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak lari saja dan pergi meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkang-nya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!

Tiba-tiba ia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat ia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak. Untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya?

Sambil bertiarap itu tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba ia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.

“Wuuuttttt... takkk!”

Tepat sekali batu itu menghantam bagian belakang kepala kijang itu. Binatang itu hanya berkuik satu kali, lantas roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han kemudian mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Niocu sedang menunggu…..
********************
Sementara itu, Bi-kiam Niocu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara sangat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Pada waktu dia menengok, beberapa helai jala sedang menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dia elakkan lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam.

Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik sehingga kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di sana. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya. Ketika mereka maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.

“Jahanam pengecut. Cepat lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah!” Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa.

Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Niocu bagaikan menggotong seekor binatang buruan yang terjerat.

Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang, akan tetapi tak ada yang mempedulikan. Ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.

Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang. Melihat wajah mereka yang berewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Niocu ke sebuah bukit yang penuh dengan goa-goa batu yang besar. Setelah tiba di depan goa-goa itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangannya, ditentengnya memasuki sebuah di antara goa-goa terbesar.

Bi-kiam Niocu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, bersiap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang…..
********************
Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Niocu.
“Niocu...!”

Dia memanggil beberapa kali, akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Niocu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Niocu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya.

Meski pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Niocu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, tetapi Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit…..
********************
“Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini,” akhirnya raksasa muka hitam itu berkata sambil menghentikan minumnya. Dia lalu menghampiri Bi-kiam Niocu yang masih meringkus dan terikat di atas dipan.

Wanita ini dapat berusaha untuk membalikkan tubuh dan telentang sehingga dia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar goa yang cukup lebar. Terdapat tiga buah bangku, sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali.

Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampiri dirinya, mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya.

Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.

“Cuh...!” Bi-kiam Niocu yang tidak dapat menahan kemarahannya, meludahi muka pria itu.

Raksasa muka hitam itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!”

Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala, kemudian mengambil pedang dari pinggang Bi-kiam Niocu! Dia memandang pedang itu dan mengangguk-angguk.

“Pedang yang baik. Tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini!” Dia melontarkan pedang itu dan…
“Ceppp!” pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya.

Diam-diam Bi-kiam Niocu memperhatikan dan mengertilah dia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya mempunyai tenaga yang kuat. Maka ia menjadi makin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, dan bahkan rambutnya untuk membela diri.

“Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik!”

Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Ia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Niocu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya lagi. Dia terus mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Niocu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar goa. Ada orang-orang berkelahi di luar goa itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Niocu ke atas pembaringan dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar.

Setelah ditinggal seorang diri, Niocu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal.

Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedang miliknya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, dia kemudian mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala itu. Sebentar saja ia sudah bebas!

Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dengan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat hal ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!

“Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku!” bentaknya dengan suara melengking. Bi-kiam Niocu telah menerjang ke depan, memutar pedangnya dan menyerang raksasa yang memegang tongkat itu.

Keng Han girang melihat Bi-kiam Niocu selamat. Dia meloncat mundur sambil berseru, “Niocu, mari kita lari saja!”

“Tidak, terlebih dahulu aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!” Bi-kiam Niocu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur.

Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak, “Pergunakan jala! Tangkap mereka!”
“Awas, jala mereka amat lihai, Keng Han!” seru Bi-kiam Niocu sambil memutar pedang lebih cepat lagi.

Ia mendesak kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak buahnya sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala.

Tetapi sekali ini Bi-kiam Niocu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan pada saat si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Niocu!

Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia pun bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus!

Gegerlah anak buah gerombolan itu. Mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik.....

Gerakan Bi-kiam Niocu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua telah tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat.

Si tinggi besar muka hitam menjadi jeri. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan dia pun menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apa lagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.

“Mampuslah!” bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Niocu.

Pada saat gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu amat berbahaya untuk ditangkis mengingat tenaga raksasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan sigapnya. Sejak tadi kesempatan inilah yang selalu dinantikan oleh kepala gerombolan itu. Maka begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri tunggang-langgang!

“Jahanam hendak lari ke mana kau?” Bi-kiam Niocu mengejar sambil sekuat tenaganya melontarkan pedangnya.

Inilah satu di antara kepandaiannya yang amat hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.

“Singgggg... cappp!”
Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika.

Bi-kiam Niocu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkan pedang pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Melihat ketua mereka sudah tewas, sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri. Bi-kiam Niocu hendak mengejar, akan tetapi ditahan oleh Keng Han.

“Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Niocu!” katanya.

Bi-kiam Niocu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. “Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”

“Sudahlah, Niocu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang akan repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Niocu?”

“Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar goa, kepala perampok itu sempat meninggalkan aku sehingga aku pun dapat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?”

“Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu hingga ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari, Niocu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka.”

“Bodoh! Buat apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!” Bi-kiam Niocu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas.

Mereka kemudian cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang yang tadinya dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.

Dengan sinar mata termenung Bi-kiam Niocu memandang pada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Dia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.

Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya telah dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki.

Semenjak ia belajar ilmu silat dari gurunya, yaitu seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria.

Apa lagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang telah dibunuhnya, hanya akibat pria itu berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya.

Akan tetapi kini dia merasa heran sekali. Mengapa dia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apa lagi kalau dia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Dekapan yang kuat dan hangat itu seolah masih terasa! Dan jantungnya berdebar aneh.

Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan sedap itu. Bi-kiam Niocu mengeluarkan seguci arak dan mereka pun makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!

Setelah selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, “Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”

“Tidak, Niocu. Aku tidak akan melakukan perjalanan bersamamu. Sekarang juga aku akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja.”
“Ehhh, kenapa begitu?”
“Karena engkau kejam sekali. Tadi kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”
“Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, maka dalam beberapa hari lagi engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”
“Biarlah! Lebih baik mati keracunan dari pada menjadi saksi kekejamanmu.”
“Demikian besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Di dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Niocu sendiri.

“Aku tidak membencimu, Niocu. Bila tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasehatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk terus melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!” Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri dan memanggulnya, lalu melangkah pergi dari situ.

Melihat kenekatan pemuda itu, Niocu segera bangkit berdiri dan berseru. “Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Nah, biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”

Niocu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.

“Aihhh... aneh sekali...!” Keng Han pura-pura terkejut.
“Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! Ini tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tak perlu lagi engkau mengobatiku,” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.
“Hemmm, kau hedak mempermainkan aku, ya! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang dengan hebatnya!
“Ehhh, apa yang kau lakukan ini?”

Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Namun wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Niocu dapat dielakkan atau ditangkis!

Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu lalu berubah merah!

Meski pun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak lagi bisa menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Niocu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tak mampu bergerak lagi.

Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Karena itu dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.

“Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”
“Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?”
“Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Jika orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tentu tidak kutaati!”

Wanita itu tersenyum. “Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali, tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”

“Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.”
“Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana jika engkau mempelajari ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.”

Keng Han tertarik sekali. Harus dia akui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkang-nya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sinkang, dia dapat membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang di dalam tubuhnya.

“Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka sekali mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.
“Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.”

Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Niocu dan memberi hormat sambil menyebut subo (ibu guru).

Bi-kiam Niocu tertawa terkekeh, girang bukan main. “Bangkitlah, Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”

“Benar, Subo. Apakah sekarang Subo akan mengajarkan Tok-ciang Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?”
“Tak perlu tergesa-gesa, Keng Han. Dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?”
“Akan tetapi...”
“Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”
“Ahhh...? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat...?”
“Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhu-mu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.”

Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Gosang Lama. Juga tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.

Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Niocu menarik napas panjang dan berkata, “Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi kalau dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai. Sukarnya sama seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”

Keng Han merasa girang sekali. “Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan juga minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Sekarang Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, walau pun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman.

Ingin dia menanyakan riwayat subo-nya yang tentu menarik. Apakah subo-nya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi, dia khawatir kalau dibentak karena subo-nya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini…..
********************
Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Niocu terpaksa melewatkan malam di sebuah goa. Menurut Niocu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di goa itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin.

Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan goa. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai goa sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan tetapi Niocu duduk saja di dekat api unggun dan termenung mengamati api yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.

“Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”

Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, tapi diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Niocu menghela napas panjang dan berkata, “Keng Han, apakah engkau berbahagia?”

Pemuda itu terheran mendengar pertanyaan ini. “Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat di dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.”

“Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ahh, betapa aku ingin sekali bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aih, aku ingin mencarinya, Keng Han. Apakah engkau dapat membantuku?”

“Bagaimana cara membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini padamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri saat ini merasa senang, tiada apa pun yang menggangguku, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidak bahagiaan itu, Subo!”

“Aku merasa kesepian, merasa tidak bahagia, bagaimana dapat menghilangkan ketidak bahagiaan ini?”
“Ahh, aku juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.

Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan cara belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.

Orang yang mendambakan kebahagiaan sudah pasti adalah orang yang tidak bahagia. Tidak bahagia adalah suatu perasaan yang muncul apa bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Dalam keadaan yang tidak bahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di daerah pegunungan, kemudian melihat matahari tenggelam amat indahnya dan pikirannya tidak melayang-layang tak karuan, sudah tentu dia akan mengalami kebahagiaan itu. Kalau sudah begitu, tentu dia tidak perlu lagi mencari kebahagiaan!

Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia masih membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!

Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang sering meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan!

Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran yang bergelimang nafsu sehingga kita tak pernah merasa puas dengan keadaan. Kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!

Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!

Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.

Kalau menghadapi mala petaka, di samping berusaha sekuatnya untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.

“Keng Han, di manakah orang tuamu?”

Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.

“Aku hanya tinggal memiliki seorang ibu, Subo. Ayah sudah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir.”
“Ahhh, keparat!” Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.
“Subo mengapa... mengapa Subo berbuat begini?”
“Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”
“Aku... aku… selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah hendak mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”
“Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!” Kini Niocu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.

“Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”
“Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”
“Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”

Bi-kiam Niocu menghela napas panjang.

“Riwayatku tak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria-pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoi-ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”

Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap pria, apa lagi sumoi-nya dan subo-nya itu. Hemmm, mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depan goa dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena goa itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.

“Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”
“Kenapa, Subo?”
“Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.

Keng Han cepat mengemasi buntalannya. Tak lama kemudian keduanya telah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu menarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.

Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak. Dari jauh dia melihat ada seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang sedang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang sedemikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.

“Jangan bergerak dan jangan bersuara,” bisikan halus itu terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dan Keng Han mencium bau harum rambut gurunya.

Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu lantas berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia sedang menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.

“Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apa lagi?”

Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat pula mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi, ketika dia hendak bergerak, ada sebuah tangan menahan pundaknya sehingga dia tetap tidak bergerak. Tetapi dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.

Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.

“Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”
“Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.”

Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. “Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”

Tiga orang itu tidak berani membantah dan segera mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.

“Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”

Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu!

Dia membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?

“Kau tidak cepat-cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!” Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggota yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.
“Sing-sing-sing...! Crat-crat-crattt...!”

Nampak darah muncrat dan tahu-tahu ketiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.

“Pergunakan bubuk obat ini supaya darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”

Tiga orang itu menghaturkan terima kasih. Setelah menerima obat itu, mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.

Kini Keng Han tak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, ia telah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.

“Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Baru terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apa lagi terhadap orang lain!”

Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan kini, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja!

Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya terus memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, “Bocah setan, apakah engkau sudah bosan hidup?”

Bi-kiam Niocu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jeri melihat kakek timpang ini. Pada waktu tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jeri. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jeri? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!

Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Niocu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka. Maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.

“Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tak mengenal Locianpwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”

Kakek itu menoleh kepada Niocu dan memandang tajam penuh perhatian. “Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?”

“Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!”

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. “Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya malah berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”

Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli menggunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.

“Saya hanya bisa memohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat tangan dan kakinya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”

Sementara itu, Keng Han sudah berkata, “Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.”

“Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Niocu.
“Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya dan menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!”
“Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!” Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han.

Memang bukan main cepatnya serangan itu, sungguh cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat. Akan tetapi Keng Han telah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong-in Bun-hoat.

Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.

Keng Han mengubah gerakan silatnya dan sekarang dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.

Sementara itu, Bi-kiam Niocu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Dia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.

Karena merasa penasaran bukan main, setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuh dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian ia memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Niocu memandang dengan muka pucat sekali karena kali ini muridnya pasti celaka.

Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!

“Wuuuuuttttt... desssss...!!”

Dua tenaga yang sangat hebat bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!

Niocu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan dapat mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.

Akan tetapi Niocu cepat meloncat ke depan dan berkata, “Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan sudah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”

Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jeri. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apa lagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya tadi bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya.

Maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya. Sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han. Setelah bertemu dengan Niocu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.

Niocu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. “Engkau tidak apa-apa?”

“Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.
“Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau mempunyai ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?”

Keng Han tersenyum. “Aku adalah murid Subo, kenapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan?” Dia mengejek.

Niocu terbelalak, sedangkan wajahnya berubah merah. Memang selama ini dia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.

“Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!”
“Baik, Subo,” kata Keng Han dengan girang.

Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, meski bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Niocu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Niocu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan sangat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu.

Keng Han telah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Niocu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, lalu ia memasang kuda-kuda.

“Lihat seranganku!” katanya tiba-tiba.

Bi-kiam Niocu pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah menggunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun.

Dan sekali ini benar-benar Niocu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran.

Lalu dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.

“Wuuuttttt... desss...!”

Dan tubuh Niocu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang sangat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.

“Ahhh... Subo, engkau tidak terluka...?”

Keng Han cepat menghampiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Niocu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.

“Subo, kenapa...?” tanyanya heran.

Niocu cepat bangkit berdiri. Wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa dia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan mempunyai tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Tapi, menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.

“Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es?” tanyanya.
“Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.”

Niocu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. “Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?”

Terpaksa Keng Han berterus terang. “Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah goa di Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu...?”

Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Diceritakannya pula penemuannya di goa, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambar tentang ilmu silat yang dipelajarinya.

Mendengar ini Niocu kagum bukan main. “Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!”
“Akan tetapi pulau itu tidak ada esnya sama sekali. Bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Niocu.”

Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Niocu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Niocu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.

“Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang namun hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau sudah mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku.”

Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Niocu lalu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han sekarang selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya.

Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkang-nya untuk menolak totokan-totokan itu. Tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.

Suatu hari, perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan bersama Keng Han, Bi-kiam Niocu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya.

Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia pun sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.

Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, dari jauh mereka melihat seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Niocu mendorong punggung Keng Han sambil berkata, “Engkau jalan duluan, cepat!”

Keng Han tidak tahu persoalannya, akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai sapu tangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona!

Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam. Anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang serta disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!

Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan.

Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya sekarang langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang akan terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Niocu yang berjalan di belakangnya.

Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.

“Suci...!”
“Sumoi...! Engkau dari manakah?”
“Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?”
“Aku mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.”
“Baik, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet sedang terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.”
“Aku akan berhati-hati, Sumoi.”

Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi sapu tangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya.

Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Kenapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari!

Bulu matanya lentik dan yang tidak akan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.

Tidak lama kemudian subo-nya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subo-nya diliputi ketegangan.

“Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?”
“Aku baru saja bertemu dengan sumoi-ku!”
“Kenapa saya disuruh pergi dulu, dan tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?”
“Tidak! Celakalah jika ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!”
“Ehh, mengapa begitu, Niocu?”
“Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu.”
“Ahhh...!”

Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya.....
“Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, dia tentu akan bertanya kepadaku siapa engkau dan ada hubungan apa di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di mana pun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh.”

“Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”
“Itulah usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”

Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!

Berkat kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Niocu sampai di wilayah Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, sering kali mereka melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet.

Rombongan yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Niocu. Pada waktu mereka bertanya, mereka mendapatkan keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah.

Sekarang di wilayah itu sering kali terjadi pertempuran. Selain itu mereka juga mendapat gangguan dari para pendeta Jubah Kuning yang tidak segan-segan merampok mereka untuk merampas senjata serta harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk pemberontakan mereka.

Mendengar ini, Bi-kiam Niocu menerangkan. “Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta Lama Jubah Kuning, kurasa sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para pemberontak itu. Sekarang tidak aneh lagi kalau sampai gurumu dibunuh oleh Pendeta Lama Jubah Merah.”

“Aku tidak peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama mengapa dia menyuruh bunuh guruku!” jawab Keng Han bersikeras.

Bi-kiam Niocu menarik napas panjang. “Wah, kita mencari penyakit.”
“Kenapa kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama.”
“Dan aku akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita berdua yang mencari penyakit.”
“Aku tidak takut!”
“Aku pun tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya.”

Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat pertandingan yang tak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.

“Ehhh, kenapa justru membantu mereka? Bukankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan mungkin mereka itu teman-teman gurumu?”
“Subo, aku tak peduli. Mereka berlaku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang sedikit. Pertama, aku selalu menentang pihak yang curang dan kedua, dengan membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku dapat lebih mudah bertemu dengan Dalai Lama!”
“Ahh, engkau ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah itu!”

Delapan orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang, sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan mereka, andai kata mereka itu berkelahi dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah Kuning akan kalah. Tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, kedua orang Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga. Beberapa kali mereka telah menerima gebukan dan kini hanya lebih banyak main mundur.

Pada saat Keng Han dan Bi-kiam Niocu muncul dan membantu mereka, keadaannya langsung menjadi berubah. Biar pun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut.

Keng Han telah merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Niocu juga telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuatnya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai.

Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar, dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Niocu.

“Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Jiwi, tentu kami berdua sudah binasa di tangan para pemberontak itu,” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
“Ah, tidak mengapa, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apa lagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Losuhu untuk membantu kami.”
“Tentu saja kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi yang lihai?”
“Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lhasa.”

Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini. “Ahh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan? Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali jika ada tujuan yang teramat penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekali pun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami.”

Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya. “Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Niocu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama.”

Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Niocu, dan terutama nama Ang Hwa Nio-nio, sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan sebenarnya dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Kuning!

“Ah, kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lhasa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan menyalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah.”

Bukan main girangnya hati Keng Han. Untung ada Niocu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lhasa.

Ibu kota Lhasa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak sangat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu.

Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apa lagi melihat penjagaan di depan tempat tinggal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia dapat memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama!

Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Niocu murid dari Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan.

Keng Han dan Bi-kiam Niocu memperkenalkan nama mereka masing-masing kepada para pendeta penghubung. Pendeta-pendeta penghubung itu lalu melaporkan ke dalam. Tidak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas.

“Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok dipersilakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!”

Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama. Ketika memasuki bangunan itu, Keng Han mengamati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Niocu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun yang memasuki sebuah istana.

Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan amat sunyi, tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama!

“Si Keng Han kongcu bersama Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!” Pendeta pengantar itu melaporkan.

Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan kemudian memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman.

Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak, dengan jubah warna kuning kemerahan yang amat sederhana. Kepalanya gundul kelimis. Sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah.

Bersama Bi-kiam Niocu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk.

“Kongcu dan Siocia silakan duduk!” kata Dalai Lama dengan ramah.

Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama.

Kalau Keng Han hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Niocu, bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi di luar. Andai kata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu.

“Terima kasih, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu.

Wibawa yang teramat kuat menyinar dari pendeta itu. Pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semua itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta seperti ini.

“Nah, orang-orang muda yang baik, kini ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya),” kata Dalai Lama dengan suara ramah.
“Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Losuhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun,” jawab Niocu yang agaknya juga merasa tak enak berhadapan dengan pendeta itu.

Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, kemudian bertanya, “Orang muda, ada keperluan apakah yang membawamu jauh-jauh datang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.”

Keng Han menelan ludah sendiri sebelum dia menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar, “Losuhu, saya datang ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhu-ku?”
“Omitohud...! Siapakah suhu-mu itu, Kongcu?”
“Suhu bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu telah hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Losuhu.”

“Omitohud...! Gosang Lama itu suhu-mu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, namun menerima hukuman dari semua kejahatannya.”
“Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!”
“Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilakukan Gosang Lama?”

Keng Han menggelengkan kepalanya dan tidak dapat menjawab.

“Orang muda, berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap rasa dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya dengan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri.”

Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan benarnya ucapan itu. Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu kenapa gurunya dibunuh. Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?

“Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang sudah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia harus dihukum mati.”

“Gosang Lama sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran pada waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas dapat menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah kini engkau masih juga hendak membela kematian orang yang telah melakukan demikian banyak dosa, orang muda yang baik?”

Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab, “Losuhu, bagaimana pun juga suhu Gosang Lama tidak pernah melakukan pembunuhan...”

“Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semua? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan tiga orang utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”

Keng Han merasa terpukul sekali. “Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”
“Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”
“Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”
“Hemmm, dan engkau tidak merasa heran apa bila ada seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?”

Keng Han kembali merasa terpukul dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini ia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?

“Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid adalah untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”

“Omitohud! Orang yang bijaksana selalu meneliti perbuatannya sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang sudah menyuruh menghukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan tetap duduk bersila, lalu melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.

“Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”

Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Jika dia dapat membunuh Dalai Lama, tentulah roh suhu-nya akan tenang. Akan tetapi dia lalu teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.

“Losuhu, kalau saya menyerang Losuhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.”

Keng Han masih ragu-ragu dan menoleh kepada Bi-kiam Niocu, bertanya, “Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?”

Bi-kiam Niocu tersenyum dan berkata, “Losuhu Dalai Lama sudah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah, untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kau lakukan itu?”

“Baik!” Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”
“Tentu saja, dan semenjak tadi pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih tetap duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.

Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru, “Maafkan saya, Losuhu!”

Keng Han pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua macam hawa yang berlawanan menyambar ke arah Dalai Lama.

Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang sangat hebat mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, membuat napasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka.

Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan. “Orang muda, engkau bilang bahwa engkau muridnya Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es?”

Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!

“Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”
“Kalau begitu engkau murid Pulau Es?”
“Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”
“Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagai mana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”
“Tidak, Losuhu. Mataku kini sudah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”

“Orang yang dapat melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”

Keng Han dan Niocu segera berpamit kepada Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan selamat jalan, kemudian mereka keluar bersama dua orang pendeta pengantar. Setelah meninggalkan Lhasa, Keng Han merasa girang dan hatinya terasa ringan sekali, tak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.

“Ternyata engkau benar, Niocu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapa pun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Kini tugas itu hanya tinggal satu lagi, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.”

Bi-kiam Niocu tersenyum lebar. “Sama saja, Keng Han. Engkau pun akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semuanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Jika suhu-mu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa semua kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”

“Bagaimana pun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Niocu. Kalau ternyata suhu memang benar telah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai, biarlah aku yang akan memintakan maaf dari mereka.”
“Engkau keras kepala!” Niocu berkata sambil tersenyum.

Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkat, Niocu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subo-nya itu.

Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita sudah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda.

Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, dia berdiri seperti patung memandang bergantian kepada Keng Han dan Niocu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan sedangkan di punggungnya nampak sebatang pedang.

Begitu melihat wanita ini mendadak muncul di depanya, Bi-kiam Niocu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.

“Subo...!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.

Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Niocu yang pernah disebut oleh Niocu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.

Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia adalah seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.

Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita. Yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Niocu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Niocu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup sapu tangan putih pula.

Kini, melihat Bi-kiam Niocu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang terus memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar.

Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Dia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Niocu juga hendak membunuh Keng Han.

“Siang Bi Kiok, apa yang sedang kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.

Dengan gugup Bi-kiam Niocu menjawab, “Apa...apa yang Subo maksudkan?”

“Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.
“Ahhh, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami pun berjalan bersama. Tidak ada apa-apa di antara dia dan teecu...” Bi-kiam Niocu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.
“Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?”

Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Niocu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh salah satu orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Niocu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!

“Ampun, Subo. Kami... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.”
“Diam! Jika engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga!”

Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!

Wajah Bi-kiam Niocu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tanpa bergerak.

Keng Han lalu berkata, “Sudahlah, Niocu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”

Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.

“Berhenti!” bentaknya. “Si Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri yang akan dibunuh oleh guruku!”

Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.

“Akan tetapi, mengapa, Niocu? Mengapa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Niocu.”

Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. “Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang mampu menghalangi kita hidup bersama.”

Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu. “Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Niocu tidak bisa kita menikah.”

Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. “Apa?! Engkau tidak mencinta padaku? Subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi selama ini aku salah sangka, ternyata engkau tidak cinta padaku?”

Keng Han menggeleng kepalanya. “Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Niocu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”

“Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”

Dan wanita itu segera menyerang Keng Han, membabi buta mengayunkan pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh.

Keng Han cepat mengelak sambil mundur. “Niocu, ingat, kita bukan musuh!” Beberapa kali Keng Han memperingatkan.

Akan tetapi Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak, “Mampuslah!”

Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Oleh karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak melawan dia tentu akan terancam bahaya maut.

Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dapat dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan jurus Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Niocu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tiada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang sangat dingin dari Swat-im Sinkang menyambar dan membuat Bi-kiam Niocu terhuyung dan menggigil.

Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Niocu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.

Pada saat itu nampak bayangan putih datang berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat sehingga tahu-tahu dia telah dibuat tak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.

Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Niocu, berseru, “Mampuslah engkau sekarang!”

Dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu bersama tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.

“Singgg... tranggggg...!”

Bunga-bunga api berpecikan dan menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Niocu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!

“Sumoi, mengapa kau menangkis?”
“Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pendengaran Keng Han.
“Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Niocu.
“Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melaporkan pada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?”

“Sumoi...! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang...”
“Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan kini aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”

Dengan uring-uringan Bi-kiam Niocu diam saja. Gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han.

Pemuda itu sudah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Niocu kepadanya, dia lalu memberi hormat kepada wanita itu sambil berkata, “Niocu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.

Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali…..

********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-05
LihatTutupKomentar