Jodoh Rajawali Jilid 09


Tidak disangkanya bahwa mereka, terutama sekali Siauw-hong yang tak mau mengaku siapa gurunya itu, ternyata adalah orang-orang yang benar-benar amat lihai, bukanlah ahli-ahli silat sembarangan saja! Dan kini dia memandang dengan penuh perhatian ilmu silat yang mukjijat dari Kang Swi, maklum bahwa pukulan-pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan itu benar-benar amat berbahaya sekali. Dia telah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan, selain Siauw-hong tentu kalah, juga pukulan itu mungkin saja mencelakakan pengemis muda itu. Dia pasti tidak akan mendiamkan saja kalau sampai Kang Swi mencelakai Siauw-hong dalam pertandingan mengadu ilmu itu, pikirnya.
Perkiraan Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika melihat cara lawan menyerangnya. Hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bersuitan itu dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang, lengan bajunya robek-robek bagai terbabat pedang dan kulit lengannya terluka berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan menjura. “Saya mengaku kalah!”

Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan menjadi pengawal-pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk menghadap gubernur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat ini, Siauw-hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia menanti di bawah panggung.

Sementara itu, ketika Kang Swi melihat siapa yang meloncat ke atas panggung untuk menghadapinya, dia tersenyum lebar. “Aihh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!” Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian dengan gerak tangan dia menantang.

Para penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani mati? Mungkin juga pernah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu?

Akan tetapi, Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihaian orang gagu dan pincang yang dia duga menyamar itu, tanpa membuang waktu segera menyambut tantangan dengan kata-kata nyaring, “Kau majulah!”

Si gagu sudah menerjang dengan pukulan sembarangan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong, Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo, Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena mereka ini maklum betapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa pukulan yang amat kuat.

Kang Swi yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkisannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang-nya ternyata bertemu dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan tadi.

Akan tetapi sekali ini dia sungguh-sungguh bertemu tanding. Biar pun si gagu itu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan hanya bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadl kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mukjijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelanting ke samping atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya.

Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar benar menjadi bingung dan penasaran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapa pun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.

“Uh-uh-uhhh!” terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba saja Kang Swi terpelanting roboh, dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelanting!

Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata, “Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!” Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama adalah si gagu, kedua adalah Kang Swi, dan ketiga adalah Siauw-hong.

Para penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya. Sang gubernur segera memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas sebagai pengawal-pengawal istananya.

Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon prajurit dan selagi para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang. Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?

Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tambalan.

Lebih tertarik lagi hatinya pada saat dia melihat betapa ada seorang kakek, agaknya terus membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya. Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho-nan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apa lagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Ho-nan dari para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur.

Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-mo terhadap pengemis itu.

Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana, maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo juga dapat bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari cepat sekali sehingga sampai sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat betapa pengemis itu akan lolos melalui pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikang-nya dan berteriak memberi perintah kepada para penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.

“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan dia lolos...!” Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga pintu gerbang dapat mengenali suara Ciu-lo-mo. Apa lagi ketika para penjaga yang berjaga di menara pintu gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari cepat sekali, mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi.

Karena tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju memutar alat untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu. Dua buah daun pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di sana. Empat orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu.

Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, akan tetapi sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan golok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar serta terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba di situ.

“Tolol! Buka pintu!” teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini lantas tertutup setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis.

Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat pembuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecil yang terus saja membayangi mereka berdua.

Setelah keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu berhenti, mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo menjadi makin curiga.

Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, “Mata-mata laknat! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik dari pada harus kupaksa dengan kekerasan!”

“Setan Arak, siapa yang takut kepadamu?” Pengemis setengah tua itu membentak.
“Mata-mata hina!” Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya langsung menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu.

Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis dengan guci araknya.

Tenaga mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia cepat menubruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Kini terjadilah pertandingan yang seru, dan dari balik sebuah pohon yang besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup lihai itu.

Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya.

“Ahhhhh...!” Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi kurang tepat.
“Trakkkkk...!”

Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo.

“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang.

Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walau pun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak cukup jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenali kakek ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput dari nenek penjual sepatu rumput, kakek yang memimpin rombongan beberapa orang. Dia lalu menduga-duga, siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepandaian tinggi ini.

Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua, karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah.

Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia. Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan lawan yang amat berat.

Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau saja dia, di samping kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata ramah, “Ahhh, kiranya Souw-ciangkun yang datang! Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan saya mengira dia seorang mata-mata musuh.”

“Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!” Tiba tiba kakek tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa. “Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, cepat kau sampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!”

Biar pun dia tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata kata yang dianggapnya terlalu sombong ini. Tiga orang ini berada di wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong itu!

Agaknya kakek tua itu dapat juga membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka mendadak dia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi menjadi terkejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang ternyata mahir ilmu Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya.

Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apa lagi ketika dia mendengar suara yang gegap gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala tentara yang entah berapa banyaknya!

“Di sana terdapat selaksa prajurit pilihan yang sudah siap untuk menghancurkan daerah ini dan menangkap Gubernur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, cepat kau pergilah!” kata kakek itu dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-lo-mo.

Ciu-lo-mo bersikap hormat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin pasukan yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada penjaga tapal batas yang datang memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa Propinsi Ho-nan terancam bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, “Baiklah, saya akan menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui siapa gerangan Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?”

Kakek itu tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan Souw Kee An yang menjawab, “Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Beliau ini adalah utusan yang dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa yang terjadi di Ho-nan tempo hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis) memujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas.”

Siapakah sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para tokoh dunia pengemis saja, sungguh pun dia tidak pernah berpakaian pengemis. Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan dianggap sebagai raja oleh seluruh pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun ini, dari yang lemah sampai yang sakti ini, sebenarnya bernama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya dahulu merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih keturunan dari Yu Jin Tianglo, ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal di jaman Suling Emas!

Yu Jin Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat (Yok-ong) dan kemudian suami isteri ini hidup sebagai orang-orang biasa dan membuka sebuah toko obat. Biar pun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan pengemis, bahkan telah mengundurkan dlri dari dunia pengemis, namun dia selalu masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turun-menurun keluarga Yu ini masih menggunakan tradisi nenek moyang mereka, yaitu di waktu muda mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin!

Sampai kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek moyangnya dan walau pun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi berpakaian pengemis, namun dia memakai julukan pengemis, yaitu Sai-cu Kai-ong! Dan biar pun dia tidak langsung menjadi raja pengemis, namun namanya dikenal dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggota terkecil sampai dengan para ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi.

Bagi para pembaca yang telah membaca cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu akan bertemu dengan nenek moyang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek moyangnya di pihak ayah adalah seorang ahli silat yang sakti, sedangkan dari pihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek ini selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang muncul, namun akhirnya dapat menjadi kepercayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang memperkenalkan namanya kepada kaisar.

Semenjak istana ditinggalkan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan yang memiliki kesaktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak orang-orang pandai, akan tetapi Sai-cu Kai-ong memperoleh kepercayan kaisar dan dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh ini diuji oleh kaisar dengan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan.

Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan berambut merah yang lihai ini hanya pernah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh para pengemis, yang besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat keluarga tokoh ini kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu silat keluarga Suling Emas!

Menurut dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga Suling Emas, dahulu, ratusan tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang amat erat, bagai keluarga saja. Seperti dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu keluarga pengemis aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan setelah memberi hormat dan berjanji akan menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi meninggalkan mereka.

Setelah jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis setengah tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gagah itu. “Suhu!”

Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, “Bagai mana hasil penyelidikanmu?”

Pengemis setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya menggunakan nama julukan saja, sungguh pun dia masih memperkenalkan she-nya (nama keturunannya), yaitu she Gu. Dia berjuluk Gu Sin-kai (Pengemis Sakti she Gu). Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai kemudian menceritakan tentang pemilihan pengawal yang diadakan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan dikejar oleh Ho-nan Ciu-lo-mo tadi.

“Selain itu, teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu,” sambungnya. “Teecu melihat sute, akan tetapi sungguh mengherankan, teecu melihat bahwa sute memasuki sayembara pula dan dia berhasil dipilih sebagai pengawal gubernur tingkat ketiga, yaitu sesudah seorang pincang gagu dan seorang kongcu yang tampan.”

Dia kemudian menceritakan jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu, dan Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya yang tebal.

“Ahhhhh...! Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas untuk menjadi pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga mengapa dia mengangkat diri menjadi pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat itu!”

Siluman Kecil yang masih mengintai dan terus mendengarkan menjadi maklum bahwa ternyata Sai-cu Kai-ong yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia merasa tidak enak untuk mengintai terus, apa lagi ketika guru dan murid itu mulai membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu mendengarkan terus karena bagi dia masih banyak urusan menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan kemudian mencari pencuri kitab-kitab pusaka Suling Emas. Maka keluarlah Siluman Kecil dari tempatnya bersembunyi dan dia berjalan pergi.

“Eh, apakah dia itu temanmu?” Tiba-tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai.
“Teecu tidak mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini.”
“Ahhh...!” Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke depan.

Karena dia menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulurkan tangannya hendak mencengkeram pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang memimpin pasukan dengan tugas amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek sakti itu harus bersikap waspada terhadap semua gerak-gerik musuh yang mungkin sudah menyebar banyak mata-mata, dan di antaranya barangkali adalah kakek yang hendak ditangkapnya itu.

“Wuuuttttt...!” Tangan Sai-cu Kai-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan main menuju ke pundak kiri Siluman Kecil.
“Plakkkkk!”

Tanpa menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menangkis sehingga kedua tangan bertemu di udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih melayang tadi, cepat berjungkir-balik dan turun ke atas tanah dengan mata terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu menangkis cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya tergetar hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa Sai-cu Kai-ong memang benar seorang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali.

Sai-cu Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu, malah agaknya jauh lebih kuat dari pada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang benar benar merupakan mata-mata pilihan dari Gubernur Ho-nan dan merupakan bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah menerjang lagi, kini menambah tenaga dalam gerakan tangannya. Di lain pihak, ketika tadi dia merasakan betapa lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil menjadi gembira dan ingin sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu. Maka ketika melihat kakek gagah itu menyerang dengan cepat dan kuat, dia pun segera bergerak mengelak dan lalu balas menyerang tidak kalah hebatnya.

“Plakkk! Plakkk!” Kembali ada pertemuan tenaga yang dahsyat melalui dua pasang telapak tangan dan keduanya terdorong mundur.
“Uhhhh...!” Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menyerang lagi. Akan tetapi, Siluman Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu telah menyerangnya dari atas, mencengkeram ke arah batok kepalanya.
“Hebat...!”

Sai-cu Kai-ong menggerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, yang dapat ditangkis oleh Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang mukjijat, yaitu gerakan yang amat cepat seperti berkelebatnya kilat, seperti seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang menakjubkan. Namun, dia harus mengakui puka bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali sehingga setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus, barulah dia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek itu.

“Bukan main...!” Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang sudah bolong!

Kalau tidak menghadapinya sendiri tentu dia takkan percaya. Meski hanya merupakan kekalahan tipis saja, akan tetapi ternyata bahwa kakek di depannya ini sudah dapat mengalahkannya! Sungguh sukar dipercaya.

Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya, sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai. Dan di lain pihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia dapat bertemu dengan seorang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka kini dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.

“Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.

Siluman Kecil menjura dan menjawab, “Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja... maaf.” Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ.

“Sahabat yang baik, tunggu dulu!” Sai-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia ‘locianpwe’.
“Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat menganggap saya masih terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?”

Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang keriputan. “Saya tidak bernama...saya tidak mempunyai nama...“

Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun tidak pernah menyebutkan namanya sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aslinya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang.

“Sahabat yang baik, biar pun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami.”

Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk. Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu silat.

Makin gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya tentang ilmu silat. Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap pada saat terjadi keributan besar di taman bunga istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee An.

Menjelang sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu orang prajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk.

“Baik sekali kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai. “Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak prajurit dan rakyat yang tidak berdosa.” Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap.

Setelah prajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong kemudian berkata, “Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!”

Prajurit itu pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata, “Sahabat yang baik, sekarang aku minta kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur.”

“Baik, Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “Saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib pangeran itu.” Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil ‘sahabat’ saja karena Siluman Kecil masih tetap berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.

Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!

Setelah empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya, “Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?”

Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang dengan terpaksa karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak mau datang maka Ho-nan akan diserbu. Menurut para penyelidiknya, memang ada sepuluh ribu orang prajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini!

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata, “Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi perintah kaisar untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!”

Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia menggerak-gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada sebongkah batu karang. Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Sengjin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu.

Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. “Kalau memang manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apa lagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya sudah diputar balikkan oleh orang she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu lalu meletus ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara dia dan kami serta para pembantu kami kedua pihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia memutar balikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa pihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, pihak orang she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat menggunakan sebagai bahan fitnah.”

Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berpihak kepada Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengetahui apa urusannya antara mereka berdua. Tetapi sebagai utusan, ia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

“Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama kami.”

Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Anggapan bahwa kami menangkap Pangeran Yung Hwa tentu timbul oleh karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa pihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kembali.”

“Hemmm, mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara kami.”
“Orang tua yang tinggi hati! Kami dengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan menurut Ciu-lo-mo, engkau hanyalah seorang kang-ouw yang mempunyai julukan Sai-cu Kai-ong.”

“Memang benar demikian,” jawab kakek itu tenang.
“Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa seorang ‘raja pengemis’ saja berani tidak percaya kepadanya.

“Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang akan kami pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.”

Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu pandang, kemudian Gubernur Kui berkata, “Baiklah, kau tunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu.”

Setelah berkata demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, lalu dia berlari cepat sekali menuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja.

“Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil mengangguk.
“Saya kira juga ada sesuatu yang direncanakannya,” kata Siluman Kecil.

Sai-cu Kai-ong mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang.
********************
Malam itu suasana sangat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang memenangkan sayembara yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri.

Seperti diceritakan di bagian depan, yang memang dalam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, yang kedua adalah Kang Swi pemuda royal itu, dan ketiga adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang Swi lalu memberikan keempat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu, dan lalu menyuruh kacungnya itu pergi.

Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tak dapat menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya!

Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam permainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang.

“Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya.

Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biar pun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi ternyata orangnya pendiam, sabar dan sama sekali tidak mau melayani terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan dari Kang Swi.

“Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi keributan antara engkau dan dia,” Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang Swi yang terus-menerus menggoda Gagu.
“Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi.
“Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu tidak baik sekali?” Ciu-lo-mo menasehatinya.

Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah. “Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, akan kuajak keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!”

Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata, “Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan mengganggu lagi!” Suaranya mulai terdengar keras hingga mau tidak mau Kang Swi menengok kepadanya.

“Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal pengawal baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau menjadi marah,” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.

Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah dia tidak takut akan semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk kembali dan mereka bertiga melanjutkan permainan mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, memandang ke sana-sini dengan penuh perhatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si Gagu lalu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin.

Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang prajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka.

Ketika melihat si Gagu, enam orang prajurit itu lalu cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka amat merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, akan tetapi memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga dapat mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.

“Selamat malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak bernama ini.

Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang di antara mereka. Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apa lagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah mereka bertiga.

Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pangeran yang muda itu sedang asyik membaca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, “Mau apa kalian? Berani sekali masuk tanpa kupanggil!”

Dua orang pengawal itu menjura dengan hormat sekali. “Harap Paduka maafkan, Pangeran. Perwira... ehhh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini...“

Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan temannya dia sudah roboh pingsan karena ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh.

Pangeran Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih kepadanya, “Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini.”

Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.

“Akan tetapi...“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga.
“Sssttttt...“ Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk.

Dua orang pengawal bergegas masuk, tetapi begitu mereka samapi di dalam, sebelum mereka sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pintu dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!

“Apa artinya ini?” Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang yang tidak dikenalnya itu.
“Maaf, Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk membebaskan Paduka...“
“Ahh, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.”

Si Gagu menjadi terkejut dan memandang heran. “Dilindungi?”

“Benar, Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau... jangan-jangan... kau...“ Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran.

“Ahh, Paduka telah kena ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah kepada saya, Paduka, dan mari kita lari selagi masih ada waktu.”
“Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi... memang aku juga selalu curiga kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan tetapi aku dilarang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja.”

“Memang Paduka ditawan..., marilah...“ Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman.

“Sebaiknya kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar… harap Paduka menunggu...“ bisiknya dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk ke luar untuk melihat keadaan. Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar.
“Wuuuttttt...!”

Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang telah dikenalnya.

“Pangeran, harap Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!” berkata si pengemis dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu!

Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapa pun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.

Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga sedang melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahannya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu bersama Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si Gagu itu adalah orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya. Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu.

Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini keduanya mengaku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua duanya tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya menanti perkembangan selanjutnya.

Tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah kenyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya pengemis itu sudah roboh sejak tadi.

Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, “Muridku, mundurlah kau!”

Dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.

Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja pada saat melihat Sai-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu.

Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa.

“Desssss...!”

Pertemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan ia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kali ini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat melancarkan pukulan pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es!

“Keparat!” bentaknya.

Ketika Sai-cu Kai-ong terdorong mundur lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmunya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi nama Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main pertandingan itu. Tubuh Siluman Kecil mencelat ke sana-sini, namun sungguh tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang ternyata benar-benar sakti dan menyimpan banyak ilmu ilmu mukjijat dan sakti itu.

Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggelengkan kepalanya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda bertanding di angkasa.

Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas kemudian sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan.

Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan sebagian kecil saja kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biar pun dia sudah mengeluarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat.

Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im dan Yang.

“Bresssss...!”

Tubuh si Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan.

Akan tetapi, Siluman Kecil juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga kelihatanlah wajah yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut panjang berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang asli…..

“Kokoooo...!” Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si ‘Gagu’ yang masih terlentang di atas lantai ruangan itu. “Koko... ahh, Kian Lee koko... kiranya engkau... ya Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh si ‘Gagu’ itu dan menangis sejadi-jadinya!

Semua orang menjadi terkejut bukan main menyaksikan peristiwa yang aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa ‘kakek’ sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis seperti anak kecil, memeluk bekas lawannya yang juga masih amat muda.

Sementara itu, si ‘Gagu’ yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang memeluknya. Luka yang baru dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.

Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk dan berkata, “Aihhh... Kian Bu adikku... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek berambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat... sekali..., ahhh, kau maju pesat sekali... uhhh, adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te...”

“Koko, ah, Koko... apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya.

Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri.

Tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mukjijat sekali, yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mukjijat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!

“Sudahlah... jangan kau berduka, adikku... aku... aku mati pun tidak akan penasaran... engkau tidak bersalah... kita saling menyamar dan tidak mengenal... dan engkau hebat sekali, Bu-te... ehhh, adikku, mengapa rambutmu menjadi putih semua...? Apakah untuk menyamar? Bu-te... kalau kau pulang nanti... jangan bilang kepada Ayah dan Ibu... bahwa... kita saling bertanding...“ Napas Kian Lee terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.

“Koko...!” Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko... kalau kau mati... aku pun tidak mau hidup!”
“Ahh, jangan begitu, Bu-te...“ Kakak dan adik ini berpelukan.

Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar biasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata, “Biarkan saya memeriksa dan mengobatinya.”

Kian Bu menoleh kepadanya. “Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan budimu.”

“Suma...?” Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati. “Kalian berdua she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?”
“Dia adalah ayah kami...,“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.
“Ahhh...! Ya Tuhan, kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia.”

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh kakaknya, sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.

“Dari mana datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu.

Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.

Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan main sehingga tiap tendangan atau tamparan tangannya tentu langsung merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.

Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apa lagi setelah Kang Swi mencabut pedangnya. Biar pun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.

“Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biar pun dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.

“Wuuuuuttt...!” Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.
“Eihhhhh..., kau...?” Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi ‘sahabatnya’ itu sekarang menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan terhuyung-huyung!

“Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau sudah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak,” Suma Kian Bu berkata. “Jangan coba kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!”

“Twako, kini aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!” kata Kang Swi.
“Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!” Kian Bu menerjang lagi.

Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu, sedangkan kakinya menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.

“Huhhhhh!” Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.
“Tranggg... dukkk... aihhhhh...!” Kang Swi menjerit

Tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedang pedangnya yang tadi bertemu dengan tangan pendekar itu sudah terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia menjadi bengong dan hampir tidak percaya bahwa dia dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja!

Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedulikannya lagi oleh karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat itu!

Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka dia lalu membentak marah, “Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju.

Tetapi Kian Bu yang tak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya masih terus memondong tubuh kakaknya.

“Wuuuttttt...!”

Ciu-lo-mo cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.

“Keparat!” Kian Bu membentak, dengan gerakan tangannya dia kemudian menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.
“Tranggggg!” Guci arak itu membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental oleh tangkisan itu.

“Hong-ji (Anak Hong)...!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru keras pada saat dia melihat Siauw-hong menyerbu ke dalam.
“Suhu...!”
“Apa kau sudah gila? Kau mau membantu musuh-musuhku?” Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya yang panjang dan besar.

“Suhu...!” Siauw-hong memandang bingung. “Teecu... teecu menjadi pengawal dengan baik...“
“Tolol! Yang kau bantu adalah seorang pemberontak!”
“Ahhhhh...!” Siauw-hong memandang bingung.
“Hayo kau bantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu kembali berseru.
“Baik, Suhu!” Siauw-hong berseru dan sekarang dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang pengawal!

Akan tetapi, kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini Kian Bu merasa khawatir. Betapa pun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apa lagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.

“Mampuslah!” Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo.

Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.

“Pyarrrrr...!” Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah itu roboh terjengkang!
“Siauw-hong, kau tolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalanl” Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhu-nya.
“Baik, Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu serta menerima tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu, lalu dipondongnya.

Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang. “Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?” tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.

“Tentu saja, Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu langsung menjerit dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman Kecil.”

“Ahhhhh...” Sai-cu Kai-ong berteriak kaget.

Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!

Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepat dan kedua tangannya menyambar nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.

“Mari keluar, biar aku membuka jalan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, dengan sekali dorong saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apa lagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil!

“Siluman Kecil...!”
“Celaka, dia mengamuk. Minggir...!”

Kini para perwira pengawal dan para anggota pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua lantas mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan.

Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua pihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil tengah mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jeri menghantui hati para pengawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.

“Siluman Kecil mengamuk!”
“Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!”

Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melarikan diri sampai ke pintu gerbang.

“Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama kawan-kawanku! Janganlah membikin aku marah!” Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan khikang-nya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar supaya mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga pintu gerbang itu.

Dia harus cepat-cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata, memandangnya dengan kagum.

“Kau hebat, adikku... kau hebat...,“ bisik Kian Lee.
“Ahhhhh...!” Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu sudah dipergunakan untuk memukul roboh kakaknya sendiri!

“Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa rasanya.

“Baik... baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya.

Keluarlah mereka dari tembok kota yang menjadi benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal tiba bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan!

Kiranya telah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang amat sakti itu untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!

“Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik yang hina!” bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah dari pada mati konyol!” Biar pun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.

Sai-cu Kai-ong menjadi marah sekali. “Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?”

“Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha-ha, biar pun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) akan tetapi engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!”

Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu saja diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. “Siauw-ji, kau jagalah beliau,” katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang sekarang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.

“Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk menggertak kami? Kau kira kami takut?” Sai-cu Kai-ong membentak.
“Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku sampai tak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.”

Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat.

“Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?”

Alis yang tebal itu jadi berkerut. “Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin.

“Ah, kiranya begitu?” Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!
“Nah, majulah menyerahkan nyawamu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek.
“Sambutlah!” Sai-cu Kai-ong membentak.

Sai-cu Kai-ong sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dahulu dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang.

Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.

Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah liat dibuatlah jembangan,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.

Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!

Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya hingga Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu.

Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur oleh karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga segera bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.

Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah orang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi.

Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang sedemikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!

Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apa lagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam ‘ter’ lagi. Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalu waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimana pun juga.

Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mukjijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walau pun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.

Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri. “Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka...,“ bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri.

Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang. “Jangan khawatir, Koko.”

Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apa lagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biar pun rambut pemuda ini sudah putih semua!

“Kau mau apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah.
“Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya.
“Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!”
“Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?”
“Ha-ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewatt!

“Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.

Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.

“Bocah bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga dari pada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!”

Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. “Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!”

“Nah, sambutlah ini jurus pertama!” Ban Hwa Sengjin berseru.

Tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, sedemikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan.

Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mukjijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan copot semua tulang iganya!

Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama ini, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat sekali hingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.

“Plak-plak...!”

Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.

“Ehhh...!” Ban Hwa Sengjin terkejut.

Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat mengejutkan bagi dirinya, karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mukjijat yang panas sekali menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.

Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagai mana harus menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, lalu seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang kedua.

Tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya. Kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.

“Des-des-plakkk!”

Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus keduanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.

“Hemmm, kau boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya.

Kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini.

Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Sengjin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan kedua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.

Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat tangan kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya mau pun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya pada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya.

Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, yaitu ilmu ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coan-in. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal!

Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatian pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu tergoda untuk balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kali pun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.

Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya yang amat aneh dan berpengaruh. Dia menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan mukjijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru, “Lihat nagaku menerkammu!”

Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mukjijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus terakhir!

“Desssss...!”

Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia memiliki tenaga mukjijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mukjijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.

Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana.

Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, “Terima kasih!”

Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata, “Mari kita cepat pergi dari sini!” dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa.

Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, “Cepat kau ikuti Suhu-mu, biar aku yang menjaga dari belakang.”

Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi mengejar suhu-nya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka pergi.

Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu.

Andai kata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri.

Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!

Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat.

Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.”

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.

“Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya.“

“Ahhh, Locianpwe...!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh...!” Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main.

Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu. “Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksikan sedemikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memperoleh obat itu...“

“Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru.

Kakek itu mengerutkan alisnya, “Obat itu adalah semacam jamur yang amat mukjijat dan tidak ada keduanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. “Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tempatnya?”

“Itulah sukarnya. Aku sendiri belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.”

Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.

“Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.”

Kian Lee memegang tangan adiknya. “Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun ini engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.

“Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untukmu.”
“Suma-taihiap, kalau nanti engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di pinggir sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.”

“Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu.“
“Terima kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu.

Maka segera berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apa pun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.

********************
Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara ‘kebetulan’ saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mukjijat.

Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ.

Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu ‘diterima’ oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ.

Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat ‘keluar’ dari sana!

Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apa lagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!

Dengan menggunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asal ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekali pun. Atau biar pun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin-ho Coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol.

Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat digunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang.

Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapa pun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekali pun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali.

Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!

Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sinkang-nya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapa pun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.

“Heiii, jangan coba bunuh diri...!”

Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Orang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja langsung terjungkal ke dalam jurang!

Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular, yang dahulu pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan oleh karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!

Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, kemudian tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta dua buah lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!

“Ya ampuunnn...! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan senang sekali!”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!

“Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa ngerinya.

Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biar pun dia sudah dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.

Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang.

Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im (dingin) dan Yang (panas) dari Pulau Es sehingga membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia. Penuh misteri.....

Selanjutnya baca
JODOH RAJAWALI : JILID-10
LihatTutupKomentar