Suling Emas Jilid 13

Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tenteram.
********************
"Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh Ibu dan membasmi keluarga Ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, Ayah!" dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
"Tidak bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti. Aku sendiri belum tentu dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut."

"Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting dari pada maut!"

Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali! Karena itulah maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga."

"Ayah...!!" tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau.

Kim-mo Taisu dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya."

Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.

"Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguh pun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik dari padanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu baru kalian menikah, dan kalau sudah begitu hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram."

"Ayah...!" kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.

"Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song."

"Ahhh, aku... aku malu, Ayah..."

"Malu? Malu kepada siapa?"

"...Siapa lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan kami... hanya berdua..."

"Ha-ha-ha, anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa malu?"

"Dulu lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis..."

"Sstttt!" tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri melesat ke depan. Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.

"Kau...? Belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?" Suara Kim-mo Taisu jelas membayangkan ketidak-senangan hatinya. Sebetulnya ia memang membenci kakek ini yang ia tahu memiliki watak aneh dan tidak baik, sungguh pun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia lahir batin kepada Kerajaan Tang.

"Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya mengapa engkau belum juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang tiada gunanya hidup. Apa lagi mempunyai cita-cita! Baru berniat hendak menuntut balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu, ingatlah. Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang pendekar, sejak kecil engkau mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai, kau hanya menyembunyikan diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. Apakah engkau lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada negara tak pernah! Semenjak muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi masih hidup tidak mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa hidup lebih lama lagi? Hanya memenuhi dunia belaka!"

Pucat wajah Kwee Seng.

Melihat ini Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia berkata kepada kakek itu, "Kong-kong (kakek), mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu betapa hancur hati Ayah karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi meninggalkan kami!"

"Ha-ha-ha, Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan keluarga ibumu seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu oleh laki-laki yang kini menjadi Ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah seorang berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"

"Kong Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah kujanjikan bahwa aku akan mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku takkan melanggar janji. Mengapa kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"

Kong Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking tinggi. Lengking tinggi yang aneh dan mirip orang tertawa, akan tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang manusia, patutnya lolong srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa. Tubuh Eng Eng menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan mengerahkan sinkang untuk memperkuat daya tahan puterinya. Kong Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala dimiringkan, wajahnya tegang.

Suara melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo Taisu cepat mendorong tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di sana!"

Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang akan tetapi keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara ketawa. Ada pun Kong Lo Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat tinggi ilmunya. Karena belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil menduga-duga mereka menanti dengan hati tegang.

"Heh-heh-heh-heh, Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!" terdengar suara yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat jauh.

Kong Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil mengerahkan khikangnya ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman atau manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah, jangan main sembunyi dan menggertak seperti anak kecil!"

Baru saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncul di situ seorang kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan rambut riap-riapan dan cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu, pakaiannya sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang matanya seperti mata harimau, berwarna merah, sedangkan paruhnya runcing kuat berwarna seperti emas. Baik Kong Lo Sengjin mau pun Kim-mo Taisu tidak melihat bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat ilmu kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.

Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain adalah Bu Tek Lojin yang pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya, bahkan belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini. Maka ia hanya dapat memandang dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan kakek cebol ini dan mengapa datang-datang menuduhnya mengambil suling emas!

Kalau tadi Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia tertawa bergelak dan menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi jenggotnya yang panjang, "Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau sudah sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi, Kim-mo Taisu?"

Kim-mo Taisu menjura dan menjawab, "Lo-cianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan sekarang inilah saya benar-benar gila."

"Huah-hah-hah! Betul..., betul sekali...! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu sepasang senjata, kipas dan suling? Aha! Kalau begitu tentu kakek buntung ini merampas suling emas untuk diberikan kepadamu!"

Kim-mo Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin yang dibiarkan dan seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan tongkat kirinya ke atas batu sambil berteriak, "Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau datang-datang menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas berada padaku, apa kau kira aku masih tinggal di tempat ini?"

"Kong Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong memang kau sudah terkenal jahat. Kini engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa tidak tahu bahwa engkau telah membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya, kalau dia terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"

"Sombong!" kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya. "Kau berani bicara macam ini di depanku?"

"Ha-ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah dipensiun! Pelarian yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali kalah dan keok dalam memperebutkan kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku suling emas!"

"Orang gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal dan marah.

"Ho-ho-ha-ha! Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang membunuh sastrawan Ciu Bun."

"Betul aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku, juga tidak ada padanya."

"Wah-wah engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan marah.

Kim-mo Taisu sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat aneh wataknya, maka segera ia berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya. Kalau dia mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."

"Ah, kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu. Hayo kalian lekas keluarkan suling itu sebelum aku habis sabar dan main paksa...."

"Setan keparat! Siapa takut padamu?" tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar datang, tongkat kirinya terayun mengemplang kepala kakek cebol itu.

Hebat serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah, tapi tidak keburu. Namun kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya. Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu menyambar angin dan tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang besar!

"Celaka...!" Kong Lo Sengjin berseru kaget.

Cepat ia mengerahkan tenaga menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir balik dan dapat turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya terengah, perutnya terasa panas biar pun hanya terkena sambaran hawa serangan yang keluar dari kepala kakek tadi. Ia tahu betul bahwa andai kata ia tadi kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala si Cebol, tentu nyawanya takkan tertolong lagi!

"Ho-ho-ha-ha! Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo kalian maju berdua!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya melancarkan serangan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah terasa amat hebatnya.

Kim-mo Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang terpaksa ia melayani. Pula ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam hal ini kalau terjadi pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya pukulan yang amat ampuh, Kim-mo Taisu yang sekarang merasa sudah kuat hawa saktinya sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaganya ke arah tangan.

"Dukkkk!!!" dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu.

Kuda-kuda kaki Kim-mo Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga. Sama sekali bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih berpengalaman dari pada Kim-mo Taisu.

Melihat Kim-mo Taisu berani menangkis dan menghadapi pukulannya secara keras lawan keras, kakek ini sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu memiliki tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula melihat sepak terjang Kim-mo Taisu. Maka ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping menggunakan tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga gempuran itu untuk membuat tubuhnya melayang. Melayang bukan sekedar melayang, melainkan melayang ke arah Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya melayang itu!

Kong Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman. Maklum bahwa pukulan dari udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini lalu mengangkat tongkat kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil mengerahkan tenaga.

"Aiiihhh!" si Kakek Cebol berseru.

Tubuhnya yang masih melayang di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan seperti seekor burung saja tubuhnya sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu saja hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan dua tongkat yang di pegangnya. Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya seakan-akan seperti orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia tentu saja menjadi repot.

Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan memukul tanah. Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena agak terlambat dan kalah duluan, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu Tek Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh terguling.

"Hua-ha-ha-ha, bagus... bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan menepuk-nepuk kedua pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek si Kakek Lumpuh.

Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu yang sudah sempat memperbaiki kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan jurus yang amat aneh dan cepat. Kelihatannya kedua lengannya itu tidak mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang menari saja, akan tetapi begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan kosong, akan tetapi kekuatannya dapat merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.

Biar pun Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi ilmu seperti ini, maka ia terjebak dan mengira si Kakek Cebol hanya main-main dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun hanya menggunakan kegesitannya mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang berat. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya! Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat.

“Brettt!” terdengar suara dan ujung baju Kim-mo Taisu telah robek dan hancur kena sambaran pukulan sakti si Kakek Cebol.

"He-he-ha-ha!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua orang lawannya.

Mendongkollah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan enak-enak saja.

Bu Tek Lojin melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding!

Akan tetapi si Kakek Cebol masih enak-enak tertawa, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu akan pertempuran itu.

"Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua suka pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya ini."

"Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut? Heh-heh-heh!"

Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak takut. "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling emas yang kau tanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak menyimpannya."

"Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan hidup!" berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat.

Kembali tubuh si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat samping tongkat, mendekati Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik. Kini ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biar pun kakek lumpuh ini sudah bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon besar tertiup angin.

Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan. Burung hantu itu mengeluarkan suara keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok majikannya!

Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw. Dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus!

Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula ia memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa.

Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara dentang-denting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali. Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air dingin.

Yang hebat adalah kakek cebol itu. Matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar, "Dia datang...! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"

Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin jeri. Tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.

Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya lalu melompat ke luar dari tempat sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya sekali...," katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke kanan kiri, pandang matanya mencari-cari.

Suara denting tadi masih terdengar terus, makin lama makin jelas. Eng Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat. "Ayah, kau dengarkah itu? Suara yang-khim di tengah hutan! Siapa gerangan...?"

"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."

Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.

Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang membaca doa.

Bahagialah kita sesungguhnya,
tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada penyakit di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biar pun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!

Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu.

Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda dari pada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.

Penyelesaian kebencian besar yang masih meninggalkan sisa dendam,
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana memegang teguh perjanjian,
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu,
namun orang baik selalu dibantu!

Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, ada pun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir.

Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti. "Terima kasih atas nasehat-nasehat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"

Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu. Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mukjijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sinkang, lweekang, khi-kang, dan ginkang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu sihir!

Kakek tua renta itu wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya. Sejenak kakek itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata perlahan, "Segala sesuatu pun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha....."

Setelah berkata demikian, matanya bersinar dan wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu. Dengan tenang tapi ramah kakek itu menegur, "Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar dari pada segala ikatan karma."

Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata, "Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap."

Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi, maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"

Kim-mo Taisu menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?"

Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar di antara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"

Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?

"Siansu, mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena agaknya si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang sudah roboh.

Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk berusaha, namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"

Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu?"

"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekali pun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasehat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang menyeleweng dari pada tugas hidupnya tanpa ia sadari!"

Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapa pun juga, saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."

Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."

"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."

Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. "Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di dunia mau pun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Suara nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap.

Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat. "Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasehatnya dan ikut pergi dengannya, Eng Eng...."

"Siapakah dia, Ayah?"

"Dia seorang yang bahagia, Anakku. Seorang yang sudah dapat membabaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."

"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek Cebol dan Kong-kong yang sakti lari ketakutan?"

Kim-mo Taisu tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapa pun juga, tidak peduli orang baik mau pun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."

"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasehatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"

Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan perang. Akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng. Seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."

Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si di mana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang di antara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.

Sementara itu Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri.

Sejenak ia tersipu-sipu ketika teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya, biar pun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau pakaiannya.
********************
Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di dalam istana ini mulai membosankannya. Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.

Memang tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir hanya akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir hanya indah apabila dikejar dan belum dapat diperoleh. Namun, sekali berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, malah menimbulkan bosan.

Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada puteranya! Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh tahun lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan penyesalan menusuk-nusuk hatinya.

Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.

"Aku harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.

Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itu pun hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi pasti ia akan diseret ke jurang kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biar pun ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.

"Bu Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi buah bibir orang. Betapa sebagian besar orang kang-ouw memusuhinya.

Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam istana di mana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan andai kata ia berada di luar sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali. Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki dan suka mencari musuh?

Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!

Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar dari pada lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas panjang. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan.

Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikut-pengikut yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?

Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat mengatasi perusuh-perusuh itu, atau andai kata para pengawal itu kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.

Sebetulnya, baginya sendiri ia tidak peduli akan keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi ia ingat akan kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biar pun suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang. "Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.

Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah, padahal terang bahwa selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang datang menyerbu.

Ia menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee, melainkan marah karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat ke luar dari kamarnya setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja!

Lawan itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan keadaan di situ pun tidak terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan hanya mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat itu hanya Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat mengenal.

Karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi girang dan cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"

Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok seorang laki-laki berpakaian putih itu mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh pemegang kipas yang lihai ini, dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.

Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka mereka, Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah tampak agak tua, akan tetapi masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati.

Kwee Seng? Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian. Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasakan.

Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?

Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu, melainkan hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak. Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!

Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak saling serang. Bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itu pun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya gerakan mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar, "Kwee-twako, kau ikutlah aku!"

Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! Sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu ginkang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.

Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!

Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak mau pun bicara sampai lama sekali.

"Kwee-twako...!" akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di dadanya.

Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. Semua rasa kasih sayang yang bebas dari pada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Selama ini ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang mulus dan murni di samping perlindungan seorang pria.

Kini ia sadar bahwa andai kata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosa dan penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua sepak terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu menegang, kaku dan dingin.

Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana. Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! Jadi kedatangan Kwee Seng adalah untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus. "Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"

Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."

"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? Lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"

Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab, "Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."

"Kwee Seng...!!"

"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."

Watak Lu Sian memang keras. Biar pun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.

"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"

"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."

"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"

"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"

"Siapakah mereka?"

"Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."

"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama sekali tidak masuk akal!"

"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"

Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikit pun juga pada diri Lu Sian, pikirnya.

"Hik-hik! Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"

"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.

Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!

"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biar pun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."

"Siluman betina itu adalah isteriku..."

"Ohhh...?!?" Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu.

Rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa. Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.

Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan hati dan meramkan mata.

"...ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan...," suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu membuka matanya.

Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil, mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti orang menangis!

Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi itu. Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.

Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya menantang. "Kim-mo Taisu, andai kata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"

Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"

Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah tertawa seperti itu.

"Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"

Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."

"Aku pun tidak takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu. Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh dipandang ringan.

Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata, "Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu, Tok-siauw-kwi."

"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!" Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang....

Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak mengimbangi serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas, dalam hal ginkang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya luar biasa sekali.

Ia sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu Kim-mo Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai San-hoat untuk menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. Gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.

Lu Sian menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.

Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.

Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti Merampas Semangat), biar pun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat sinkang-nya!

Apalagi serangan rambut itu. Hanya seorang yang sinkang-nya sudah luar biasa hebatnya saja mampu mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung.

Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!

Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar. Cepat tangan kirinya mencengkeram ke arah pedang, sebab lebih baik mempertaruhkan lengannya dari pada membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi gerakan pedang itu sudah lebih cepat dan....

"Breettt!" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya!

Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih. "Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?"

Panas hati Kim-mo Taisu. Memang dalam gebrakan terakhir tadi ia telah menderita kekalahan. Akan tetapi kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah dikalahkan dan telah diampuni pula! Mukanya agak merah, tapi suaranya tetap dingin ketika ia menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh isteriku, kau tetap akan kubunuh!" setelah berkata demikian, ia mengeluarkan guci arak dari punggung, menuangkan arak ke dalam mulut dan menggelogoknya, kemudian ia melangkah maju.

"Hemm, kau masih belum mau mengaku kalah?"

"Sebelum kau bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu terus dan tidak akan mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kau jaga ini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang maju, gerakannya hebat sekali.

Ia merasa penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu Sian, maka kini pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua kepandaiannya. Setelah ia mainkan dua macam senjata, kini gerakan-gerakannya hebat bukan main. Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat, sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam senjata dan dua macam ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang amat serasi dan saling bantu, benar-benar amat hebat. Inilah ilmu kepandaian inti dari Kim-mo Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini jauh lebih masak karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di dalam Neraka Bumi.

Lu Sian juga merasa penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini dari pada bahaya maut. Mengapa masih begini nekat? Akan tetapi ia pun kini merasa terkejut menyaksikan kehebatan serangan lawannya. Cepat ia menggerakkan pedang dan rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya ketika rambutnya selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu mengeluarkan kebutan yang luar biasa sekali.

Sedikit pun ia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu menggerakkan kedua senjatanya yang aneh. Betapa pun ia berusaha dan mengeluarkan pelbagai ilmu silat termasuk ilmu tendangan dan ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab yang ia curi, tetap saja semua itu berantakan menghadapi perpaduan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai san-hoat! Betapa pun ia berusaha, tetap saja ia selalu harus mempertahankan diri dari serangan Kim-mo Taisu yang menggelora datangnya. Dengan gemas Lu Sian lalu mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik melengking lagi seperti tadi, malah lebih hebat lagi sekarang, kemudian rambutnya menyambar menjadi puluhan gumpal menuju ke arah semua jalan darah lawan.

"Bagus!" seru Kim-mo Taisu.

Memang serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang halus tebal itu terpecah menjadi banyak gumpalan dan setiap gumpalnya kini menotok jalan darah dengan kuat dan cepat!

Kim-mo Taisu juga mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu Sian, kemudian tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah angin menderu-deru yang berpusing-pusing di sekitar mereka sehingga gumpalan-gumpalan rambut Lu Sian menjadi kacau balau gerakannya, tersapu angin yang kuat ini, bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri!

Lu Sian kaget dan marah sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah kipas yang mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang ampuh dari lawan ini. Akan tetapi begitu pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu membuat gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula terputar-putar, dan akhirnya tanpa dapat dicegah pula pedang itu terpaksa ia lepaskan, karena kalau tidak tangannya bisa terluka hebat atau salah urat.

Pedang terlepas dari tangan dan menancap ke atas tanah, sedangkan kipas dan guci arak sudah menyambar ke arah dada dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan kipas, akan tetapi agaknya tidak mungkin lagi menghindarkan hantaman guci arak yang menuju kepalanya, terpaksa ia meramkan mata menanti kematian. Akan tetapi hantaman tak kunjung tiba!

Lu Sian membuka matanya dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut Kim-mo Taisu yang sedang menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki kerongkongannya. Ada pun pedangnya masih menancap di atas tanah dan juga kipas lawannya menggeletak di dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah sekali. Jelas bahwa dalam jurus terakhir tadi ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya terancam. Jelas pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja membebaskannya. Kekalahan dan pembebasan ini merupakan penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia menelan kekalahan.

"Kim-mo Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!" Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek.

"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi engkau hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"

Lu Sian mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kau kira pasti akan dapat menang? Sombong! Kau terima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya bertubi-tubi, sangat cepat namun mengandung tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.

Kim-mo Taisu cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut Lu Sian setelah wanita ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain keharuman yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan seimbang dengannya.

Kini pun dalam ilmu silat tangan kosong ia sama sekali tidak boleh memandang rendah, apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan kecil itu mengeluarkan uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang ia mainkan dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari tangan Lu Sian.

Biar pun kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru dari pada tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat cepatnya, berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka bergerak amat lambat dalam mengadu tenaga sinkang. Karena kini mereka hanya mengandalkan kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar dan lebih banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguh pun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini sudah mengalah terhadapnya.

Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi Lu Sian bahwa betapa pun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke depan.

Kim-mo Taisu terkejut mendengar deru angin pukulan dan merasakan hawa panas yang hebat. Karena ia pun sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan. Maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.

"Plakkkk...!" dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat.

Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling membuyarkan. Kini karena kelelahan mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi. Kedua tangan mereka yang saling menempel itu lebih disebabkan oleh kelelahan mereka, seakan-akan dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.

"Kwee Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.

"Aku pun lelah, kau hebat sekali..." kata-kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.

Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian asmara!

"Kwee Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."

"Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"

"Kwee Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kim-mo Taisu.

"Hemm...??" juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.

"Cantik sekalikah isterimu?"

"Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."

"Uuhhh...!" Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia dimaki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi dorongan lawan.

Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi!

"Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap mengirim pukulan terakhir.

"Kalau aku yang menyuruh kau mau apa? Andai kata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia!" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian.

Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru.

Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan akibatnya Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh miring.

Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!

"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."

Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. Wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini. Bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya?

"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan giginya.

Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapa pun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"

Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kau katakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.

Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin hebat...," tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.

"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.

Ketika Lu Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.

"Cukup, Kwee-twako..." katanya lirih.

Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, saling berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.

"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"

Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.

"Panjang ceritanya...," ia berkata setengah mengeluh.

Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab dari pada semua pengalamannya itu. Ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"

Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat ke luar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya...."

Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.

Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak lari ke mana kau sekarang?!"

Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!

Ada pun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya. Maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"

Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itu pun tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.

Kim-mo Taisu maklum, bahwa biar pun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh dari luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. Ia maklum bahwa andai kata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.

Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian. Akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biar pun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.

Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"

"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.

"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.

Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw, dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat membenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya?

Dengan sikap tenang berwibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja sehingga terjadi pertandingan yang tidak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"

Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!"

"Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.

"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.

Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu maka semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka ia pun berkata, "Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."

Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang dari pada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"

Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"

"Akan tetapi kebenaranmu itu sendiri menyeleweng dari pada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai yang dibenarkan oleh semua temannya. Sikap mereka mengancam.

Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang orang yang sedang terluka!"

"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, kapan dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.

"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.

"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bambu! Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu.

Kim-mo Taisu tidak mengenal mereka. Akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"

Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang gerakan mereka. Cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambil membuat gerakan memutar sehingga terbebas dari pada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata!

Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.

Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat dari pada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga.

Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok orang yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.

Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itu pun lihai sekali. Andai kata Kim-mo Taisu belum kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biar pun ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.

Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis itu berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai.

Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andai kata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya. Akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekang-nya ke arah lambung hanya terlempar saja, dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapa pun juga, ia masih mampu melompat berdiri. Sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.

Pada saat itu Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah. Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok. Pada saat bersamaan tangannya bergerak, dan dengan jari-jari terbuka menampar dua orang di sisi kanan kirinya yang langsung memekik ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika.

Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.

Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan, sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi.

Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti dari pada keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
********************
"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng.

Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.

"Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari.

Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?

"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru.

Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika suhu-nya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk.

Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar. Kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya. Ia teringat dahulu pun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bambu dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.

Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhu-nya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekali pun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak!

Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu, yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.

Benar seperti dugaannya, hutan bunga itu pun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih, merah dan hijau tampak di dasarnya.

Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya dalam hal meniup suling lebih baik dari pada bakatnya sendiri. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun (sastra) kepadanya. Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!
Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung rumput hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling.

Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh menangis menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh perasaan, sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu.

Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan sedang menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air jernih.

Bu Song tersenyum dan merasa heran, mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti dekat punggung gadis itu.

"Eng-moi...," panggilnya lirih.

Kedua pundak Eng Eng bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak menjawab, juga tidak menoleh. Mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri.

"Eng-moi...," Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu, lalu tertawa karena mengira gadis itu masih saja mempermainkannya.

Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya. Bu Song terheran. Ada apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng bersikap seperti ini.

"Eng-moi, kau kenapa...?" ia bertanya, kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan mukanya yang menunduk.

Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu, halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu?

"Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini, mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kau pandanglah aku...."

Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum.

"Moi-moi kau pandanglah aku, mengapa kau tidak berani memandangku? Kau... kenapa, Moi-moi...?" tanyanya heran dan mulai gelisah.

Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song. Gadis ini menjawab tanpa mengangkat muka, "...aku... malu, Song-ko..."

"Malu? Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?"

Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song dan menggigit bibir, lalu berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa aku dan engkau... ahh...!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali menunduk.

Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng. Ia tertawa dan berkata, "Tentang perjodohan kita...?"

Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari sembunyi...."

"Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng. Jari-jari mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.

"Mengapa malu?" Bu Song mengulang.

Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak, "Ahh... malu ya malu....!" Lalu ia membuang muka.

"Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah perasaanmu seperti yang kurasakan?"

Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-masing. Dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati. Kemudian Eng Eng menunduk perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang!

Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara lagi, terayun dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh kemesraan.

"Eng-moi...," akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra, terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil, kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu kita dijodohkan! Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."

Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moi-moi! Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita...."

"Bagaimana...?" Eng Eng mendesak tak sabar.

"Kita lalu kawin!"

"Ihh...!" Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal. Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.

"Song-koko, kemarin dulu itu...."

"Ya...?"

"Ketika kau... kau menciumku...."

"Ya, mengapa...?"

"Kau sudah tahu tentang... tentang perjodohan kita?"

Bu Song tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan...."

"Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!"

"Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil engkau sering kucium?"

"Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang...."

"Sekarang bagaimana?"

"Sekarang kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"

Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi tangan itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadi pun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapa pun besar cinta kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup menghormatimu, aku menghargaimu dan aku tidak akan merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa...."

"Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kau lakukan di dusun tadi."

Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu.

Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Di sana itu, bukankah itu hek-tiauw (rajawali hitam)?" Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.

Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu terbang melayang-layang amat gagahnya. Biar pun karena jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain.

Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.

"Eh, Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar, akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat bukan main.

Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu ginkang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh. Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita...."

Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andai kata benar-benar ada bahaya, ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isyarat dengan tangan supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.

Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa tidaklah percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan agak gelap.

"Eng-moi, tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan.

"Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.

Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung. Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng!

"Eng-moi, di mana kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang menjawab dari semua penjuru!

Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas pohon. Kepala ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi.

"Eng-moi...!!" Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari.

"Song-ko...!!" tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan itu.

Bu Song terkejut dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu sambil memanggil-manggil nama Eng Eng, tidak peduli lagi akan kelelahan kakinya. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar menjawabnya lagi. Selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu kelihatan lemah dan lelah.

Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan dua di antara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya.

"Eng-moi....!" Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan yang baik dalam pertandingan.

Pada saat itu Eng Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya terguling roboh!

Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya terhuyung ke depan. Pada saat itu pula tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat. Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan.

"Binatang jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari belakang, berniat hendak merampas tubuh Eng Eng.

Biar pun gerakan Bu Song kaku, namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar dan kuat. Sayang ia tak pernah belajar silat maka terjangannya itu pun kurang cepat dan biasa saja sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu berhasil mendupak dada Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras untuk membuat tubuh Bu Song terguling-guling ke belakang.

Namun Bu Song bertubuh kuat. Cepat ia sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan menubruk dengan nekat. Ia berhasil menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung menjepit lehernya dalam usahanya mencegah si Monyet melarikan Eng Eng.

Monyet itu menggereng, meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya terlalu besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya. Di luar kesadarannya, dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat latihan pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat.

Sayang sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak dapat melanjutkan perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan merampas Eng Eng. Kini dengan bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri sedangkan tangan  kanannya tetap menjepit leher monyet besar.....

Sebaliknya binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian. Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng.

Selanjutnya baca
SULING EMAS : JILID-14
LihatTutupKomentar