Panasnya Bunga Mekar Jilid 14
Oleh karena itu maka para pemimpin kelompok segera memerintahkan pasukannya untuk meneliti pagar halaman barak yang rapat dan cukup tinggi itu. Mungkin ada kesengajaan para pengikut Rajawali Penakluk itu membuat pintu-pintu rahasia pada dinding barak yang dapat mereka masuki di malam hari untuk menjebak pasukan yang ada di dalamnya.
Tetapi dinding barak yang rapat dan tinggi itu ternyata cukup kuat. Tidak ada lubang yang dapat digunakan untuk merayap masuk. Meskipun demikian, para prajurit dan pengawal itupun selalu berhati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Karena mereka tidak bersiap dengan obor yang cukup banyak, maka para prajurit itu pun lalu membuat perapian di beberapa bagian halaman barak itu, sekaligus untuk menerangi halaman di sekitar barak, di dalam lingkungan pagar.
Mereka pun kemudian mengatur giliran untuk berjaga-jaga, agar mereka tidak mengalami nasib seburuk pasukan Rajawali Penakluk yang mengepung padepokan, justru mereka menjadi lengah karena mereka menganggap lawannya sama sekali tidak berdaya.
Demikianlah, pasukan itu pun bermalam semalam di dalam lingkungan halaman barak itu. tetapi mereka tidak mengalami sesuatu. Namun dengan demikian, jantung mereka telah dicengkam oleh perasaan kecewa yang sangat.
“Kita harus menemukan mereka” geram Mahisa Bungalan.
Karena itulah, ketika matahari terbit di keesokan harinya, maka Mahisa Bungalan pun telah menemui Witantra untuk membicarakan kemungkinan yang akan ditempuhnya.
“Jika kau ingin mencarinya kemana kita akan pergi?“ bertanya Witantra,, “apakah kau akan membawa pasukanmu menjelajahi daerah yang tidak terbatas ini? Atau kita mencari bahan lebih dahulu sebelum pasukan kita bergerak”
“Jadi kita harus menunggu lagi?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Bukan menunggu. Tetapi kita akan segera mulai. Bukankah usaha menemukan satu tempat yang akan menjadi sasaran pasukan kita itu pun sudah satu permulaan? Apakah kau kira kau akan berhasil dengan iring-iringan pasukan ini mendaki tebing dan menuruni lereng-lereng jurang tanpa tujuan?”
“Jadi menurut pertimbangan paman, kita akan kembali lagi ke padepokan itu?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Ya, agar kita tahu apa yang harus kita lakukan” Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun ia pun kemudian memanggil dua orang tawanannya. Dengan nada keras ia bertanya, apakah ia mengetahui, kemana perginya seisi barak yang telah kosong itu.
Tetapi jawabnya benar-benar masuk akal, “Bukankah selama ini aku berada di padepokan itu? Tentu aku tidak mengetahui kemana mereka pergi”
“Kemungkinan terbesar. Ha, apakah kau tahu sarang-sarang yang lain, yang dapat dipergunakan oleh Rajawali Penakluk yang licik itu?“ bentak Mahisa Bungalan.
“Aku berasal dari barak ini” jawab keduanya hampir berbareng.
Mahisa Bungalan hanya dapat menggeram. Ternyata kedua orang itu tidak dapat menunjukkan, kemungkinan yang dapat menuntun arah pasukan itu tanpa kembali dahulu ke padepokan.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain. Bahkan, betapapun kecewa, namun Pangeran Kuda Padmadata pun berkata, “Tawanan-tawanan itu tentu ada yang dapat berbicara, kemana kita harus menyusul”
Dengan kesal, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah membawa pasukannya kembali tanpa hasil apapun juga. Barak yang mereka datangi ternyata sudah kosong sama sekali, tanpa mendapat petunjuk, kemana mereka harus mencari Rajawali Penakluk.
Ketika mereka sampai ke Padepokan setelah menempuh perjalanan panjang yang menjemukan, maka Mahisa Bungalan pun segera minta, agar Witantra berusaha untuk mendapatkan petunjuk kemana pasukan yang sudah siap di padepokan itu harus bergerak.
Witantra menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa Bungalan berkata, “Paman, bukankah kita sudah cukup lama berjalan menjelajahi daerah yang luas ini? Bukankah dengan demikian, sudah tiba waktunya bagi kita untuk bertindak lebih cepat?“
“Ya, aku mengerti, Mahisa Bungalan. Biarlah akan kulakukan secepatnya” jawab Witantra.
Mahisa Agni, Mahendra dan Ki Wastu yang mendengar persoalan yang dikemukakan oleh Mahisa Bungalan itu hanya tersenyum saja. Mereka dapat mengerti gejolak darah muda yang mengalir di dalam tubuh Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murtini dan Mahisa Pukat memiliki pendapat lain, “Marilah kita mencarinya, ayah. Kita akan melanjutkan perjalanan mengelilingi daerah yang luas bersama pasukan yang kuat. Kita akan dapat melihat-lihat dan mendapatkan pengalaman dari penjelajahan itu”
“Ah, kau” desis Mahendra, “kau kira kita sedang bertamasya? Mungkin kau akan senang menjelajahi daerah yang luas, menuruni tebing dan memanjang lereng-lereng gunung yang terjal bersama kawan yang berjumlah banyak. Tetapi bukan itu tujuan pasukan Singasari dan Kediri ini bergerak. Mereka mempunyai tugas yang harus mereka lakukan sebaik-baiknya. Dengan tenaga yang sedikit mungkin, akan dapat dicapai hasil yang sebanyak-banyaknya”
“Itu namanya tidak adil. Orang yang ingin mencapai hasil yang besar, ia harus mau bekerja sekeras-kerasnya” jawab Mahisa Murti.
Mahendra tertawa. Katanya, “Tetapi dalam perbandingan keseluruhan, patokan itu harus diperhitungkan”
“Seperti ayah saja” desis Mahisa Pukat, “ maunya ayah membeli barang semurah-murahnya dan dijual dengan harga yang setinggi-tingginya”
Bukan saja Mahendra, tetapi orang-orang lain yang mendengarpun tertawa pula. Bahkan Witantra berkata, “Tetapi patokan ayahmu itu memang dapat ditrapkan dimana-mana Pukat”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Namun dalam pada itu, orang-orang tua itupun berusaha untuk mengimbangi kecepatan gerak anak-anak muda. Mereka pun segera berusaha mencari keterangan di antara tawanan yang ada di padepokan itu, kemanakah Rajawali Penakluk itu berpindah tempat.
Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang dapat memberikan petunjuk. Tidak seorang pun yang dapat menduga, apa yang dilakukan oleh Rajawali Penakluk itu.
Akhirnya Mahisa Bungalan tidak telaten lagi. Kepada para tawanan itupun ia bertanya, dimanakah tempat-tempat bersembunyian dan sarang-sarang dari kelompok-kelompok yang termasuk berada di bawah pengaruh Rajawali Panakluk itu.
Orang-orang tua yang melihat cara Mahisa Bungalan menelusuri jejak Ki Dukut itupun mengangguk-angguk. Nampaknya Mahisa Bungalan ingin mencari Ki Dukut dari satu tempat ke tempat yang lain
“Hal ini lebih baik aku lakukan, daripada tidak sama sekali” berkata Mahisa Bungalan.
“Baiklah kita coba” berkata Mahisa Agni, “mungkin usaha ini akan ada hasilnya”
“Karena itu, aku harus mengetahui, kemungkinan-kemungkinan yang dapat aku lakukan” sahut Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni tidak menghalang-halangi. Ternyata bahwa dari para tawanan itu, Mahisa Bungalan dapat mengetahui beberapa tempat yang mungkin dipergunakan oleh Ki Dukut untuk bersembunyi, atau beristirahat beberapa saat sebelum ia mulai lagi dengan kerjanya yang gila.
“Kita akan menjelajahi tempat demi tempat” berkata Mahisa Bungalan kepada Pangeran Kuda Padmadata.
“Kita dapat membagi pasukan” sahut Pangeran Kuda Padmadata, “kau membawa separo, aku membawa separo. Kita akan pergi ke arah yang berbeda setelah kita sepakati arah kita masing-masing”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, katanya, “Bagus. Dengan demikian kerja kita akan lebih cepat”
Dengan rencana itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata pun segera membicarakannya dengan Mahisa Agni dan orang-orang tua yang lain.
Orang-orang tua itu hanya dapat mengangguk-angguk. Namun mereka tidak akan dapat melepaskan anak-anak muda itu. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi bersama Pangeran Kuda Padmadata, sementara Witantra akan berada di dalam pasukanmu, Mahisa Bungalan” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “sudah barang tentu, padepokan ini tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Satu pengalaman pernah terjadi, Ki Dukut itu justru menyerang lagi padepokan ini. Karena itu, maka biarlah Mahendra dan kedua anak-anaknya bersama Ki Wastu tinggal di padepokan ini bersama beberapa prajurit dan pengawal untuk mengawasi para tawanan”
Betapa jengkelnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa mereka harus berada di padepokan itu. Bagaimanapun juga keduanya menyatakan keinginan mereka, tetapi Mahendra tetap berkeberatan jika keduanya mengikuti kakaknya dalam perjalanan yang berat dan tidak menentu.
“Pada saatnya kau akan pergi juga” berkata Mahendra, “tetapi dalam perjalanan yang lain”
Akhirnya keduanya mengerti juga, betapa beratnya tugas yang sedang dipikul oleh Mahisa Bungalan, sehingga akhirnya mereka bersedia berada di padepokan bersama ayahnya dan Ki Wastu. Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata pun telah mempersiapkan diri. Mereka telah membagi pasukan yang ada menjadi dua bagian. Yang seorang akan dipimpin oleh Mahisa Bungalan, yang lain akan langsung dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata. Sementara itu masih ada sekelompok kecil yang akan tinggal di padepokan untuk membantu para cantrik apabila terjadi sesuatu. Selebihnya, mereka yang tinggal juga berkewajiban untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan, agar para cantrik mampu meningkatkan ilmu mereka.
Demikianlah, pada hari yang tertentu, dua kelompok pasukan itupun berangkat dari padepokan kecil itu. Seperti yang direncanakan, maka Mahisa Agni akan menyertai Pangeran Kuda Padmadata, sedangkan Witantra akan berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan.
Bersama mereka, dua orang tawanan berada disetiap kelompok untuk menunjukkan, tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyian sementara Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.
Dari para tawanan itu Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata mendapat beberapa petunjuk, bahwa Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu mempunyai beberapa gerombolan pengikut yung semula saling terpisah. Karena itu. maka mungkin sekuli Ki Dukut berada di antara pengikut-pengikutnya itu.
“Kita harus mendatangi sarang mereka satu demi satu” berkata Mahisa Bungalan kepada tawanan yang menyertainya.
Namun dalam pada itu, Pangeran kuda Padmadata pun berniat demikian. Dengan Mahisa Bungalan Pangeran itu sudah bersetuju untuk membagi, yang manakah yang harus didatangi oleh Pangeran Kuda Padmadata, dan yang manakah yang harus diselesaikan oleh Mahisa Bungalan.
Dengan demikian maka perjalanan kelompok-kelompok itu adalah perjalanan yang cukup berat. Mereka harus menyusup hutan, menuruni jurang dan mendaki lereng bukit-bukit. Sarang gerombolan itu terpencar, dan pada umumnya berada di tempat yang sulit untuk didatangi.
Namun, sudah menjadi tekad Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata, bahwa perburuan itu harus lebih mengarah. Bukan sekedar menjelajahi pedepokan demi padepokan tanpa berbuat apa-apa. Seakan-akan hanya sekedar menunggu kesempatan, serta menunggu satu kemungkinan dari berpuluh-puluh kemungkinan yang lain, bahwa mereka akan bertemu dengan Ki Dukut disatu tempat.
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Ki Wastu harus mengikuti cara berpikir anak-anak muda itu. Sehingga merekapun kemudian seakan-akan hanyalah mengikuti saja sambil memberikan pendapat dan mungkin kemampuannya apabila diperlukan
Demikianlah, maka pada hari-hari pertama, kedua kelompok itu telah menuju ke arah yang berbeda, sehingga jarak antara keduanya menjadi semakin jauh. Mahisa Bungalan dan pasukannya, yang di sertai oleh Witantra menuju ke daerah yang berbukit-bukit, sementara Pangeran Kuda Padamadata yang diikuti oleh Mehisa Agni serta pasukannya, menusuk masuk ke dalam kepekatan hutan.
Dari para tawanan mereka mendapat petunjuk, bahwa sebagian dari sarang gerombolan yang berada di bawah pengaruh Ki Dukut itu ada di antara bukit-bukit dan terpencar di seberangnya, sementara yang lain bersembunyi di hutan-hutan dan lembah-lembah dibalik hutan itu.
Tetapi tidak seorang pun dari para tawanan yang mengetahui keadaan Ki Dukut yang sebenarnya. Merekapun tidak tahu apa yang dilakukan oleh pengikut-pengikutnya yang terlepas dari tangan para prajurit dan pengawal.
Mereka tidak mengetahui, bahwa Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu tiba-tiba saja sudah hilang dari antara pengikutnya. Sementara sarang yang telah kosong itu telah ditinggalkan oleh penghuninya, atas pesan Ki Dukut ke tempat yang lebih tersembunyi lagi.
Karena itu, baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran Kuda Padmadata telah dibawa oleh tawanan-tawanan yang berada di antara mereka menuju ke tampat yang sudah mereka kenal.
Sebenarnyalah, sepeninggal Ki Dukut, setiap kelompok penjahat itu seakan-akan telah saling memisahkan diri. Mereka seakan-akan tidak lagi merasa terikat yang satu dengan lain seperti sebelum Ki Dukut yang mereka kenal dengan gelar Rajawali Penakluk itu berada di antara mereka.
Hanya bekas-bekas pengaruh Ki Dukut yang mengikat mereka sajalah yang kadang-kadang masih terlintas di dalam angan-angan mereka.
“Bila orang itu datang, biarlah kami menjalankan perintahnya. Jika tidak, kami tidak mempunyai keterikatan dengan kelompok-kelompok lain” berkata hampir setiap pemimpin kelompok yang telah mengangkat diri mereka kembali.
Dengan demikian, maka mereka telah terjun kembali ke dalam kehidupan mereka seperti sediakala. Mereka berada di jalan-jalan sunyi. Menelusuri bulak-bulak panjang di malam hari, dan bahkan kadang-kadang memasuki padukuhan-padukuhan dan selanjutnya memilih rumah-rumah yang paling besar dan mempunyai kemungkinan menyimpan benda-benda berharga.
Demikianlah mereka telah kembali ke dalam kehidupan meraba sebagai perampok dan penyamun sepenuhnya tanpa pegangan dan arah sama sekali.
Dalam pada itu, maka tawanan yang berada di dalam pasukan Mahisa Bungalan telah membawa pasukan itu untuk pertama kali ke sarang sekelompok penjahat yang dianggapnya paling baik. Kelompok yang pertama berhubungan dengan Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu.
“Mungkin Rajawali Penakluk itu berada di sana” katanya di dalam hati, “jika tidak, maka meskipun pasukan ini akan berhasil menghancurkan sarang itu, tetapi pasukan ini tentu akan mengalami luka yang cukup parah pula. Jika kemudian aku membawa ketempat yarig terhitung kuat, maka keadaannya tentu semakin buruk, sehingga akhirnya akan menjerumuskan pasukan ini ke dalam lingkungan yang tidak akan memberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Sarang kelompokku sendiri yang aku kenal baik-baik”
Demikianlah, maka setelah menempuh perjalanan yang panjang dan beristirahat semalam di lereng sebuah bukit berbatu padas, maka pasukan itu pun mendekati sarang kelompok yang akan mereka datangi pertama kali.
“Kau jangan menipu kami” berkata Mahisa Bunga lan kepada kedua orang itu, “kami akan menghancurkan kepala kalian”
“Aku hanya menunjukkan. Aku tidak tahu lagi, apakah isi padepokan itu. Apakah Rajawali Penakluk ada di situ atau tidak. Atau kemungkinan-kemungkinan lain pada perkembangan terakhir”
Mahisa Bungalan menggeram. Namun kemudian katanya, “Sebut, darimana arah yang sebaiknya kami mendekati barak itu?“
“Barak itu menghadap ke tangga yang mendaki lereng bukit ini. Tetapi di samping beberapa gubug, terdapat pula sebuah goa yang dalam dan luas. Aku juga tidak tahu, siapakah yang memimpin kelompok ini sekarang” desis tawanan itu.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun minta pertimbangan Witantra, apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Jika kau sudah siap, maka sebaiknya kita mendekati barak itu” berkata Witantra, “awasi setiap lubang yang mungkin dapat dijadikan jalan untuk melepaskan diri. Besok pagi-pagi kita akan menyergap”
“Kau harus memberikan kesempatan kepada orang-orangmu untuk beristirahat. Jangan kau paksa mereka untuk memeras keringatnya di perjalanan, kemudian memeras darahnya di pertempuran ini”
Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Iapun kemudian memerintahkan pasukannya dengan diam-diam mengepung barak dan goa di hadapan mereka. Tetapi mereka harus sangat berhati-hati, agar penghuni barak itu tidak mengetahuinya.
“Biarkan orang yang memasuki daerah kepungan ini“ perintah Mahisa Bungalan, “tetapi setiap orang yang keluar harus kalian ikuti dan kalian tangkap setelah jaraknya cukup jauh dari barak itu”
Demikianlah, maka ketika senja menjadi semakin gelap, pasukan yang datang itu pun mulai mengatur diri mengepung sarang gerombolan perampok dari penyamun yang berada dibawah pengaruh Rajawali Penakluk itu.
Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Bungalan, maka para prajurit dan pengawal itu pun akan menangkap setiap orang yang keluar dari barak itu, sehingga memungkinkan mereka menghubungi gerombolan yang lain sehubungan dengan kehadiran para prajurit dan pengawal
Tetapi ternyata bahwa kehadiran mereka diketahui oleh penghuni barak itu. Seperti yang selalu mereka lakukan, mengingat pesan Ki Dukut agar mereka selalu berhati-hati, maka gerombolan itu telah memasang beberapa orang untuk mengawasi keadaan siang dan malam. Demikian mereka melihat sepasukan mendekati barak itu, maka merekapun segera bertindak cepat.
Sesudah memberikan laporan kepada pemimpin gerombolan itu. maka dua orang telah diperintahkan untuk menghubungi gerombolan terdekat. Mereka memang sudah memperhitungkan bahwa pasukan itu baru akan menyerang di keesokan harinya. Menurut perhitungan gerombolan itu, pasukan yang datang itu tidak akan bergerak di malam hari, karena mereka belum mengenal medan sebenarnyalah yang cukup gawat.
“Tetapi bagaimana jika mereka menyerang malam ini” bertanya salah seorang dari gerombolan itu.
“Kita akan melumatkannya. Kita sudah terbiasa bergerak di malam hari. Dan kita sudah mengenal daerah ini seperti kita mengenal tubuh kita sendiri” jawab pemimpin gerombolan itu.
“Kenapa kita tidak menyerang mereka malam ini?“ bertanya yang lain.
“Kita harus keluar dari sarang kita. Mereka pun berpencar mengelilingi barak ini. Apalagi mereka telah memilih tempat yang paling baik bagi mereka, karena kitalah yang datang kepada mereka. Agak berbeda jika merekalah yang datang kepada kita. Mereka tidak dapat memilih tempat dimana kita akan menjebak” sahut pemimpin gerombolan, “selebihnya, jika orang kita itu sempat menghubungi kelompok lain yang terdekat, maka kita akan mendapat kesempatan lebih banyak. Aku sudah berpesan, agar mereka tetap berada diluar kepungan, dan mereka akan bertindak pada saat pasukan itu menyerang kita besok pagi”
Para perampok dan penyamun yang berada di barak itu pun hanya dapat menunggu. Namun mereka selalu siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal datang.
Ternyata bahwa dua orang yang mereka tugaskan untuk menghubungi kelompok lainnya, berhasil menyusup keluar sebelum kepungan itu merapat. Mereka dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil menuju kes ebuah barak yang lain. Mereka berharap bahwa sebelum pagi. kelompok yang lain itu sudah berada di sekitar sarangnya.
Kedatangan kedua orang itu memang mengejutkan. Sarang yang didatangi itupun selalu dalam kesiagaan seperti juga yang lain-lain. Sehingga karena itu, kedatangan kedua orang itu segera diketahui oleh hampir semua orang di dalam gerombolan itu.
“Apa yang terjadi?“ bertanya pemimpin gerombolan itu.
“Barak kami telah didatangi oleh sepasukan yang kuat berkata kedua orang petugas itu, “mereka mengepung barak kami. Menurut perhitungan kami, mereka akan menyerang besok pagi”
Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk. Iapun segera mengerti bahwa kedatangan kedua orang itu tentu akan memerlukan bantuan.
Untuk menjaga kepentingan bersama, juga apabila gerombolan itu sendiri mengalami, maka pemimpin gerombolan itupun berkata, “Kau tentu memerlukan bantuan. Baiklah, kita akan menghadapi mereka bersama-sama”
“Terima kasih. Kamipun akan melakukan hal yang serupa apabila barak inilah yang mengalami serangan pada kesempatan lain” jawab petugas itu.
“Tetapi apakah menurut perhitungan kalian, kami akan dapat melawan mereka?“ bertanya pemimpin gerombolan itu.
“Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Tetapi kita sudah dapat mengukur kemampuan mereka. Ketika orang-orang terbaik kita menyerang mereka, maka di antara kita jatuh banyak korban” berkata petugas itu, “tetapi sekarang, meskipun bukan orang-orang terbaik, kita dapat mengarahkan semua orang yang ada. Tidak hanya beberapa orang terpilih saja. Bagaimanapun juga, jumlah akan ikut menentukan akhir dari pertempuran yang bakal datang itu”
“Aku sependapat” jawab pemimpin gerombolan itu, “tentu orang-orang yang tertawan itulah yang telah menunjukkan barakmu itu”
“Tentu. Kami sudah memperhitungkan, seperti juga perhitungan Rajawali Penakluk itu, sehingga ia memerintahkan sarang induk kita itu dipindahkan”
Demikianlah, maka gerombolan itupun segera mempersiapkan diri. Mereka harus dengan cepat bertindak.
“Kesempatan untuk melepaskan dendam“ berkata pemimpin gerombolan itu, “merekalah yang kini datang. Dengan jumlah yang banyak kita akan menghancurkan mereka. Meskipun kita tidak lagi memilih orang-orang terbaik, tetapi justru kita semuanya akan bergerak”
Sejenak kemudian, maka gerombolan itu pun telah meninggalkan sarang mereka. Hanya beberapa orang sajalah yang kemudian tinggal menunggui harta benda yang tersimpan di dalam barak itu.
Dengan petunjuk dari kedua orang yang datang memberitahukan keadaan baraknya itu, maka gerombolan yang datang itupun telah mengatur diri. Pemimpin gerombolan itu telah memberikan beberapa petunjuk, agar kehadiran mereka tidak diketahui oleh orang-orang Singasari dan Kediri itu.
“Kita baru akan bergerak jika orang-orang Singasari dan Kediri itu sudah mulai menyerang” berkata pemimpin gerombolan itu, lalu, “sehingga dengan demikian, maka pasukan itu akan terjepit. Di depan mereka adalah orang-orang yang berada di dalam barak, sementara di belakang mereka adalah kita yang datang untuk membalas dendam”
Demikianlah, maka dengan cepat gerombolan itu bergerak. Mereka mendekati sarang yang terkepung itu menjelang ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya.
“Ada waktu sedikit untuk beristirahat” berkata pemimpin gerombolan itu, “memencarlah. Bukankah kalian telah mengenal daerah ini, setidak-tidaknya beberapa orang di antara mereka? Kalian akan menyerang setelah aku memberikan isyarat dengan suara kentongan kecil ini. Kalian tidak perlu mengepung daerah ini. Tetapi kalian cukup berkumpul kelompok demi kelompok di tempat yang terpencar, sehingga pada saatnya kalian akan dapat menyergap dari segala arah. Sementara kalian menunggu fajar, kalian sempat tidur barang sejenak”
Demikianlah, maka dengan sangat hati-hati, maka gerombolan itupun telah terpencar. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil yang sudah ditentukan di seputar barak itu. Pada saatnya mereka sudah ditentukan di seputar barak itu. Pada saatnya mereka akan menyerang dari segenap penjuru”
Waktu yang sesaat itu telah mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk beristirahat. Beberapa orang di antara mereka sempat mengunyah makanan yang mereka bawa dari barak mereka. Yang lain langsung tertidur. Tetapi kawannya segera membangunkannya sambil berdesis, “Jangan mendengkur. Suaramu seperti babi hutan. Jika orang-orang Singasari dan Kediri itu mendengar, maka mereka akan datang menangkapmu”
“Apa aku mendengkur?“ ia bertanya.
”Keras sekali” jawab kawannya.
”Aku tidak merasa” jawabnya.
”Dan kau tentu tidak mendengarnya pula” sahut kawannya yang lain.
Orang itu terdiam. Tetapi iapun kemudian tidur sambil memiringkan kepalanya, agar tidak mendengkur lagi. Tetapi ternyata kawannya telah membangunkannya lagi., “Pergilah jauh-jauh. Tidurlah sendiri” geram kawannya.
“Nanti aku dimakan harimau” katanya, “baiklah. Aku tidak akan tidur. Aku hanya sekedar bertiduran untuk menghilangkan telah”
Tetapi sebentar kemudian ia sudah mendengkur lagi. Namun kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi. Merekapun sedang mencoba untuk dapat tidur barang sekejap.
Tetapi kesempatan itu memang tidak terlalu lama. Sejenak kemudian langit pun mulai dibayangi oleh warna fajar.
Dalam pada itu, maka para prajurit dan pengawal yang mengepung barak itupun telah bersiap-siap untuk melakukan tugas mereka. Barak itu akan segera mereka serang dari segala arah. Mereka masih mempunyai harapan, bahwa mereka akan dapat menemukan Rajawali Penakluk atau setidak-tidaknya mendapat keterangan tentang dirinya.
“Ingat” berkata Mahisa Bungalan kepada pemimpin-pemimpin kelompok yang dikumpulkannya menjelang pagi kami bukan datang untuk membunuh. Tetapi tugas kami adalah memburu orang yang bernama Ki Dukut dan bergelar Rajawali Penakluk itu. Meskipun perampok dan penyamun tidak dibenarkan adanya, terutama di telatah Kediri dan Singasari, namun cara kita menghadapi mereka berbeda dengan apa yang harus kita lakukan terhadap Ki Dukut Pakering”
Para pemimpin kelompok itu mengerti apa yang dimaksudkan oleh Mahisa Bungalan. Karena itu. maka merekapun mengangguk dan siap menyampaikan perintah itu kepada anak buah mereka.
“Kalian akan mendengar suara panah sendaren. Kami di sini akan melepaskan panah itu ke segenap arah. Suara sendaren yang kalian dengar adalah perintah, bahwa kalian harus segera menyerang” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Demikianlah maka para pemimpin kelompok itu pun segera kembali ke tempat masing-masing dan segera menyampaikan pesan itu pula kepada anak buahnya.
Sementara itu, di dalam barak itu pun telah terjadi kesibukan. Orang-orang di dalam barak itu menjadi-berdebar-debar pula. Kedua orang yang ditugaskannya mencari hubungan dengan gerombolan terdekat tidak kembali lagi kepada mereka.
“Keduanya tentu mempunyai perhitungan tersendiri” berkata pemimpin gerombolan itu, “mereka tidak akan berani menembus kepungan. Jika mereka tertangkap, maka rahasia hubungan mereka dengan kawan kita di luar barak ini akan terungkap”
Bagaimana jika mereka tertangkap ketika mereka berangkat?“ bertanya seseorang.
“Memang mungkin. Karena itu, kita harus bersiaga sebaik-baiknya. Mungkin kita memang harus bertempur tanpa bantuan pihak yang lain” jawab pemimpin gerombolan itu, “sementara kita belum tahu pasti, seberapa besar kekuatan lawan. Tetapi kita yakin, bahwa kita akan dapat mempertahankan diri. Dan kitapun yakin, bahwa orang itu akan dapat menghubungi kawan kita. Mereka akan datang membantu kita dengan cara yang kita pesankan”
Namun demikian, pemimpin gerombolan itupun telah memerintahkan orang-orangnya Untuk mempergunakan segala cara yang dapat mereka lakukan tanpa mengharap bantuan pihak lain.
“Jumlah kita cukup banyak” geramnya.
Beberapa orang diantaranya mereka telah siap dengan budur dan batu besar yang dapat mereka lontarkan pada lereng-lereng yang mungkin akan dipanjat oleh para prajurit dan pengawal. Juga di hadapan tangga yang menjadi jalan induk memasuki sarang mereka. Sementara yang lain telah menyiapkan lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi sekeping besi. Lembing-lembing itu akan dapat mereka lontarkan kepada lawan yang akan mendaki bukit.
Dengan senjata-senjata itu, mereka telah menghadap ke segala arah yang mungkin akan ditempuh oleh para prajurit dan pengawal. Meskipun satu sisi dari barak itu agaknya terlalu sulit untuk ditempuh, namun mereka telah menempatkan-beberapa orang untuk mengawasinya juga. Mungkin sekali para prajurit dan pengawal itu justru meng ambil arah yang dianggapnya terlalu sulit itu, sehingga mereka dapat menyergap tanpa mendapat perlawanan yang berarti.
Tetapi prajurit dan pengawal yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan itu tidak mempergunakan jalan yang terlalu sulit itu. Kepungannya pada bagian yang sulit itu pun tidak terlalu rapat, karena mereka menganggap, jalan itu tidak akan mungkin dilalui.
Dengan hati yang berdebar-debar, setiap orang telah menunggu langit menjadi terang. Para prajurit dan pengawal, orang-orang yang berada di dalam kepungan dan gerombolan yang datang untuk membantu.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya tempat itu justru menjadi semakin sepi. Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu telah menahan nafas masing-masing dengan tangan dihulu senjata. Sementara yang lain telah siap untuk melontarkan senjata-senjata mereka, sementara orang lain menggenggam tangkai kentongan dengan eratnya sedangkan tangannya yang lain menggenggam pemukulnya.
Tiba-tiba kesenyapan pagi itu telah dikoyak oleh lengking panah sendaren. Beberapa panah sendaren telah berterbangan ke segala arah, seolah-olah gaung suara burung aneh yang memenuhi langit yang masih buram.
Pada saat itulah pasukan Mahisa Bungalan mulai bergerak. Mereka pun menyadari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada saat mereka mendekati barak. Karena itulah, maka pasukan yang paling kuat adalah justru pasukan yang datang dari arah sayap. Meskipun mereka menempuh jalan yang agak sulit, tetapi mereka mendaki tebing tidak tepat di hadapan barak yang menjadi sasaran serangan mereka, sehingga mereka tidak akan mendapat hambatan langsung dari orang-orang di dalam barak itu
Tetapi satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan adalah, kedatangan orang-orang dari gerombolan lain yang akan menyerang mereka dari belakang.
Perlahan-lahan pasukan Mahisa Bungalan itu bergerak maju. Hal-hal yang akan terjadi telah diduga sebelumnya. Demikian pasukan induk itu mendekati tangga, maka orang-orang di dalam gerombolan itu telah siap melontarkan batu-batu yang besar untuk menghambat lawan mereka, sementara yang lain akan melemparkan lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi kepingan-kepingan besi tajam.
Tetapi para prajurit dan pengawal itupun cukup mempunyai pengalaman. Karena itu, maka mereka yang dihadapkan langsung pada jalan induk itu adalah prajurit-prajurit dan pengawal pilihan yang mampu mengatasi kesulitan yang bakal mereka hadapi dengan perlengkapan khusus Mereka adalah prajurit-prajurit yang bersenjata pedang dan perisai.
Demikian prajurit-prajurit pengawal yang melalui jalan di hadapan sarang mereka itu mulai mendaki, di-antaranya lewat tangga yang memang sudah ada di situ, maka batu-batu besar itupun mulai dilontarkan, diiringi dengan lemparan lembing dan anak panah.
Bebatuan dan senjata-senjata itu momang dapat menahan pasukan Mahisa Bungalan. Mereka tidak segera dapat memanjat. Sebagian dari mereka berusaha untuk mendaki di sebelah menyebelah, tetapi batu-batu itu pun meluncur dengan derasnya diiringi dengan lontaran lembing dan anak panah.
Namun agaknya para prajurit dan pengawal itu tidak menjadi gelisah. Hal itu memang sudah diperhitungkan. Pasukan yang datang dari sayap harus mendahului menghimpit gerombolan itu, sehingga sebagian dari mereka akan ditarik ke daerah benturan yang terjadi itu.
Sebenarnyalah bahwa sebagian sayap pasukan Mahisa Bungalan telah berhasil mendaki tebing. Mereka pun segera merayap mendekati sarang gerombolan itu dari samping.
Dengan demikian, maka pertempuran yang berkobar lebih dahulu justru sayap pasukan Mahisa Bungalan. Pasukan itu seolah-olah telah datang menghimpit dari sebelah menyebelah.
Kekuatan pasukan Mahisa Bungalan ternyata sangat mengejutkan. Jumlah mereka memang tidak sebanyak orang-orang yang ada di sarang itu. Tetapi kemampuan mereka ternyata jauh melampaui kemampuan orang-orang yang berada digerombolan itu.
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dari arah yang agak jauh, justru di bagian yang dianggap sulit. Suara kentongan yang memberikan aba-aba kepada gerombolan yang akan datang membantu gerombolan yang telah di serang oleh pasukan Mahisa Bungalan itu.
Tetapi sebenarnyalah, yang berada di tempat itu hanyalah beberapa orang saja yang bertugas membunyikan isyarat itu.
Sementara itu, pasukan yang sebenarnya telah memencar dari segenap arah, seperti pasukan Mahisa Bungalan.
Isyarat itu mengejutkan Mahisa Bungalan dan pasukannya. Dengan demikian, maka mulailah Mahisa Bungalan menyadari kelengahannya.
Batu dan lembing yang dilontarkan dari atas tebing tidak mengejutkan pasukannya. Kesiagaan itu dapat saja berlangsung setiap saat, sejak terjadi permusuhan dengan padepokan kecil itu, karena mereka yang berada di sarang gerombolan itu sudah menduga, bahwa pada suatu saat akan datang serangan balasan seperti itu. Tetapi bahwa di luar kepungan pasukan dari Singasari dan Kediri itu masih terdapat selapis lawan yang menyergap mereka, adalah merupakan satu peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi.
“Satu kelengahan” desis Witantra.
“Ya. Satu kelengahan” gumam Mahisa Bungalan, “kita tidak tahu, apakah kelengahan ini akibatnya akan parah bagi pasukan ini”
Witantra tidak menjawab. Tetapi ia mulai melihat, orang-orang yang bermunculan dari gerumbul-gerumbul liar di seputar mereka. Dengan senjata teracu dan teriakan-teriakan yang gempita, merekapun berlari-lari dengan garangnya.
Para prajurit Singasari dan pengawal dari Kediri yang sudah berada di atas tebing pun terkejut. Sayap pasukan yang mulai menghimpit lawannya itu harus mengambil sikap.
Tetapi para pemimpin kelompok para prajurit dan pengawal itu memiliki pengalaman yang luas di dalam pertempuran yang paling garang. Karena itu, maka merekapun dengan cepat menyesuaikan diri. Meskipun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawan meraka menjadi sangat banyak di kedua arah.
Kehadiran gerombolan itu telah membuat orang-orang di dalam sarang yang terkepung itu bersorak-sorak pula. Mereka merasa seakan telah terlepas dari ancaman yang mencemaskan dari pasukan yang kuat itu.
Sejenak kemudian, pertempuran yang dahsyatpun telah terjadi. Bukan saja disayap pasukan yang sudah mulai menyerang dari sebelah menyebelah. Tetapi pasukan yang sudah mulai memanjat dari bagian depan barak itupun harus menghentikan langkah mereka untuk menghadapi gerombolan yang menyerang mereka dari arah belakang.
“Keadaan kita gawat paman” berkata Mahisa Bungalan.
Witantra memang melihat keadaan yang gawat itu. Pasukan lawan jumlahnya menjadi semakin banyak.
“Aku akan membunyikan isyarat untuk menyelamatkan pasukan ini” berkata Mahisa Bungalan.
Tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka Witantra pun mengangguk kecil.
Namun Mahisa Bungalan masih nampak ragu-ragu ketika tiga orang penghubung telah siap di hadapannya.
“Bagaimana paman?“ sekali lagi ia bertanya.
“Keadaan pasukanmu memang gawat” berkata Witantra.
Mahisa Bungalan mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita lepaskan isyarat itu. meskipun sebenarnya baru akan aku lepaskan di saat-saat yang memaksa. Bahkan kami berharap bahwa isyarat itu tidak perlu. Tetapi keadaan yang tidak terduga-duga ini telah mencemaskan pasukan kita. Meskipun pertempuran ini baru mulai. Agaknya kita tidak boleh membiarkan pasukan ini hancur di ujung pertempuran”
Ketiga orang itu pun kemudian siap dengan busur dan anak panah mereka. Panah sendaren.
Dengan segera ketiganya pun menyiapkan diri. Sejenak kemudian, maka meluncurlah berturut-turut tiga panah sendaren keudara.
Isyarat itu telah mengejutkan setiap pemimpin kelompok pasukan Singasari dan Kediri. Namun dengan demikian mereka menyadari, bahwa keadaan mereka mulai gawat demikian mereka mulai terlibat ke dalam pertempuran.
Isyarat itu adalah isyarat untuk bertempur dengan kekuatan tertinggi dan kemungkinan yang paling buruk. Pasukan itu harus mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya.
Karena itulah, maka pertempuran itupun segera telah meningkat semakin dahsyat. Pasukan Singasari dan Kediri itu tidak sempat melihat keseluruhan medan. Karena itu, merekapun segera dapat membayangkan, ketika isyarat itu mereka dengar.
”Tidak ada cara lain” berkata seorang pemimpin kelompok kepada anak buahnya.
Sebenarnyalah para prajurit dan pengawal itupun telah bertempur tanpa pengekangan diri. Ketika satu dua orang kawan mereka mulai terluka, maka merekapun yakin, bahwa sebenarnyalah isyarat itu telah dilontarkan tepat pada saatnya, demikian pertempuran itu mulai.
Karena itulah, maka pasukan Mahisa Bungalan pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Justru mereka merapat dan menyempit garis benturan antara pasukan mereka dengan lawan. Dengan demikian, maka mereka berhasil membatasi jumlah lawan yang akan langsung mereka hadapi, meskipun dengan demikian, lapisan lawan menjadi semakin tebal.
Tetapi kelebihan kemampuan dan ketrampilan bertempur pada para prajurit dan pengawal itu telah membuat lawan mereka menjadi ngeri.
Pada saat-saat yang gawat itu, Mahisa Bungalan dan Witantra tidak dapat tinggal diam. Sementara mereka belum pasti bahwa di tempat itu terdapat seorang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk, maka Witantra pun harus membantu para prajurit dan pengawal yang gelisah melihat jumlah lawan mereka.
Witantra dan Mahisa Bungalan tidak segera memisahkan diri. Witantra masih menunggu perkembangan. Jika benar ada orang bernama Rajawali Penakluk itu, dan yang dipilihnya ternyata Mahisa Bungalan untuk menjadi lawannya, maka mau tidak mau Witantra harus berusaha menghindarkannya. Apalagi pertemuan antara dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu bukannya di dalam perang tanding.
Karena itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan yang justru berada diinduk pasukan yang menghadap langsung kemulut sarang gerombolan itu, telah bertempur pula di antara para prajurit dan pengawal yang tidak sempat untuk memanjat naik. Kecuali lawan merekalah melontarkan batu dan senjata tajam, juga karena sergapan yang tiba-tiba saja datang dari belakang.
Sebenarnyalah bahwa jumlah induk pasukan itu justru tidak sebesar sayap pasukan yang mendapat tugas menghimpit lawan dari arah yang berlawanan. Menurut perhitungan, memang sayap itulah yang akan membenturkan kekuatannya lebih dahulu karena mereka tentu tidak akan mendapat hambatan yang sangat besar disaat-saat mereka memanjat tebing untuk mencapai ketinggian lawan mereka.
Kehadiran Witantra dan Mahisa Bungalan langsung di medan pertempuran itu telah mengejutkan lawan mereka, justru karena keduanya nampaknya tidak berdebar dengan orang-orang lain dalam pasukannya, dan senjata merekapun tidak lebih dari sebilah pedang seperti yang dipergunakan oleh orang-orang lain di dalam pasukan itu.
Namun ternyata bahwa ujung senjata mereka itu, bagaikan memiliki ketajaman penglihatan, sehingga setiap geraknya telah berhasil menyusup senjata lawan, dan menyentuh kulit dan mengoyak daging.
Meskipun Mahisa Bungalan telah melepaskan isyarat untuk bertempur dengan kemampuan tertinggi dan kemungkinan yang terburuk bagi lawan, namun keduanya memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berperi-kemanusiaan. Karena itu, justru mereka yang tersentuh oleh senjata Witantra dan Mahisa Bungalan, sebagian besar masih mempunyai kemungkinan untuk tetap hidup meskipun mereka tidak berdaya lagi untuk melawan.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Orang-orang yang mempertahankan sarang mereka dan mereka yang datang untuk membantu, mulai merasa, bahwa lawan mereka benar-benar sepasukan prajurit dan pengawal yang mumpuni.
”Tetapi jumlah kita jauh lebih banyak” berkata pemimpin gerombolan yang bertahan. Hampir bersamaan pula, maka pemimpin gerombolan yang datang membantupun berteriak pula.
Teriakan-teriakan itu memang dapat memberikan dorongan tekad yang dilambari dengan dendam seperti yang sengaja ditiup ketelinga mereka oleh para pemimpin mereka.
Dengan demikian, meskipun di induk pasukan itu, jumlah prajurit dan pengawal terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah lawan mereka, namun pertempuran itupun seolah-olah menjadi seimbang. Orang-orang yang berada di atas tebing itu tidak lagi dapat melontarkan batu dan lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi kepingan besi tajam, karena di dalam pertempuran itu seakan-akan telah berbaur kedua belah pihak.
Disayap pasukan Mahisa Bungalan yang sudah berada di tempat yang lebih tinggi, dan sudah mulai menghimpit lawan telah mengalami kesulitan pula. Mereka bertempur menghadap ke segala arah. Justru merekalah yang kemudian seolah-olah telah terkepung.
Namun pengalaman mereka berada diberbagai medan yang paling berat, segera menempatkan mereka pada kedudukan yang paling mungkin untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam medan yang sempit itu, prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Mahisa Bungalan itu telah membentuk gelar bulat memanjang. Dengan demikian, maka sebagian lawan mereka yang berusaha mengepung pasukan itu, telah berada di pinggir tebing yang meskipun tidak sangat linggi, tetapi seseorang yang terlempar akan berguling dan jatuh di lembah yang memungkinkan mereka menjadi luka-luka pada kulit dan daging. Mungkin luka itu tidak terlalu parah. Namun luka-luka itu akan dapat mengganggu kemampuan tempur mereka.
Sebenarnyalah, bahwa medan yang sempit itu membuat orang-orang yang bertempur sambil berdesak-desak an itu menjadi kebingungan. Adalah satu perhitungan yang mapan, bahwa setiap kali pasukan Mahisa Bungalan yang berada disayap itu telah berusaha mendesak lawan mereka. Satu dua diantara mereka berguling ke bawah.
Dengan mendesak mereka maka mereka tidak akan dapat bertahan lagi. Mereka lebih baik berguling-guling di lereng itu, dari pada perut mereka dilubangi dengan ujung pedang prajurit dan pengawal dari Kediri yang ternyata memiliki ketrampilan yang luar biasa dalam ilmu pedang.
Namun serangan gerombolan itu bagaikan gelombang yang menghempas pantai. Bergulung-gulung susul menyusul. Jika lapisan pertama berhasil disapu oleh prajurit dan pengawal itu, mati terluka atau terguling di jurang, maka lapisan berikutnya telah menghantam mereka dengan ujung senjata teracu.
Dalam pada itu, orang-orang yang terguling di tebing itu tidak lagi berusaha untuk memanjat. Sambil menyeringai menahan pedih mereka pun segera bangkit dan menggabungkan diri dengan kawan-kawan mereka yang berada di bawah, bertempur melawan induk pasukan Mahisa Bungalan. Mereka menganggap bahwa lawan terlalu sedikit di induk pasukan itu, sehingga mereka akan dengan mudah dapat segera menumpas mereka sampai orang terakhir
Tetapi demikian mereka mendekat, maka mereka mulai melihat satu kenyataan yang sama sekali lain dengan yang mereka duga. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun kawan-kawan gerombolan yang sudah berada di hadapan pasukan yang sedikit itu sama sekali tidak berhasil mendesak maju. Bahkan satu dua orang di antara mereka terlempar dia ntara kawan-kawan mereka yang berdesakan. Yang lain merangkak sambil mengerang. Sementara yang lain lagi terkapar tidak bergerak.
“Luar biasa” desis salah seorang dari mereka, “tentu ada di antara mereka yang memiliki ilmu iblis”
Dalam pada itu, maka dua orang di antara mereka yang datang menyerang itu benar-benar mendebarkan jantung. Ternyata bukan saja Rajawali Penakluk yang mampu berbuat sesuatu di luar nalar mereka. Para prajurit dan pengawal sudah membuat mereka berdebar-debar. Apalagi kedua orang itu. Mereka mampu berbuat sesuatu seperti yang pernah diperlihatkan oleh Rajawali Penakluk itu.....
Karena itulah, maka kedua orang itu benar-benar menjadi hantu di medan pertempuran yang makin dahsyat itu. Keduanya benar-benar mampu menyapu lawan yang mengepung mereka. Meskipun luka-luka senjata yang tergores di tubuh lawannya, bukan goresan dan tikaman yang membunuh, namun mereka benar-benar telah berhasil melumpuhkan lawan yang tidak terhitung jumlahnya. Jika diantara mereka ternyata ada satu dua orang yang terbunuh, agaknya bukan itulah tujuan mereka.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Witantra dan Mahisa Bungalan takkan dapat menghindarkan diri dari pembunuhan. Lawan demikian banyak yartg datang dari segala arah. Karena itu, maka kadang-kadang yang terjadi tidak lagi dapat dihindarinya. .
Dalam pada itu pertempuran di sebelah menyebelah masih berlangsung dengan sengitnya pula. Pasukan induk yang jumlahnya tidak begitu banyak itu harus bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Tetapi pada umumnya mereka adalah orang-orang terpilih yang bersenjata pedang dan perisai sehingga orang-orang dari gerombolan yang datang membantu dan menyerang pasukan induk itu dari arah belakang, terkejut karenanya, karena seolah-olah mereka telah membentur kekuatan yang tidak akan tertembus.
Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Matahari yang kemudian memanjat langit, bagaikan semakin memanasi arena yang terbakar oleh kemarahan, dendam dan kebencian.
Mereka yang bertempur itu telah basah oleh keringat. Tetapi ada pula diantara mereka yang menjadi basah oleh darah yang mengalir dari luka.
Yang terdengar di arena pertempuran itu adalah teriakan-teriakan kemarahan, hentakan senjata dan umpatan-umpatan kasar. Namun kadang-kadang juga lengking kesakitan dan kejutan dari mereka yang tergelincir ke dalam jurang.
Orang-orang yang berada di dalam sarang gerombolan itupun sudah seluruhnya ikut melibatkan diri. Mereka yang semula melemparkan batu dan lembing, telah berlari-lari menuruni tebing dan melibatkan diri malawan pasukan induk Mahisa Bungalan, sehingga seperti pasukan yang berada di sayap, mereka berhadapan dengan lawan yang datang dari arah yang berlawanan.
Namun kekuatan yang turun dari barak itu pun telah membentur kekuatan yang seakan-akan tidak tergoyahkan. Mereka membentur prajurit dan pengawal terpercaya yang bersenjata pedang dan perisai.
Bagi para prajurit, maka adalah kebetulan sekali bahwa lawan merekalah yang justru menuruni tebing. Karena itu maka mereka tidak perlu lagi memanjat, menghadapi hujan batu, lembing dan anak panah.
Sementara itu, di sayap pasukan Mahisa Bungalan, pertempuran pun berlangsung dengan garangnya. Masing-masing pihak telah mengerahkan segenap kemampuan. Para prajurit dan pengawal yang sudah mendengar isyarat untuk bertempur dengan kemampuan tertinggi, tidak ragu-ragu-lagi untuk mengayunkan senjata mereka, meskipun akan berakibat kematianbagi lawannya.
Untuk waktu yang cukup lama, pertempuran itu masih belum dapat dinilai dengan cermat.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan tidak ingin menjadi korban. Dengan demikian, maka sejak ia mulai menggerakkan pedangnya, ia sudah bertekad untuk menvurangi lawan sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun ia tetap berdiri di atas landasan bahwa kedatangannya bukan untuk membunuh. Kematian yang timbul adalah akibat yang memang tidak dapat. dihindari dalam satu peperangan betapapun kecilnya.
Dua gerombolan yang terhitung kuat itu telah mengerahkan segenap orang yang ada di antara mereka. Terlebih-lebih lagi, gerombolan yang baraknya telah diserang oleh Mahisa Bungalan itu. Meskipun masih ada satu dua orang yang tersisa di dalam goa untuk melindungi barang-barang mereka, tetapi selebihnya telah dikerahkan semuanya di dalam arena pertempuran.
Bahkan pada saat-saat terakhir, telah terdengar suara kentongan yang memanggil semua orang dimanapun mereka sedang berada untuk menghadapi para prajurit dan pengawal yang datang menyerang itu.
Sampai saatnya matahari mendekati puncaknya pertempuran itu masih berlangsung terus. Para prajurit dan pengawal yang berada disayap benar-benar telah terkepung. Namun mereka masih tetap bertahan di tempat mereka. Arena yang sempit di pinggir jurang, sehingga setiap saat, mereka dapat melontarkan lawan mereka menggelinding di tebing yang meskipun tidak begitu tinggi, namun batu-batu padasnya sempal mengelupas kulit diheberapa bagian tubuh.
Ternyata kedua belah pihak merasa, bahwa kekuatan lawan mereka melampaui perhitungan. Para prajurit dan pengawalpun merasa telah terperosok ke dalam kekuatan yang memaksa mereka mengerahkan segenap kekuatan di saat-saat pertama benturan itu terjadi. Sementara orang-orang di dalam kedua gerombolan yang melihat jumlah lawan mereka tidak terlalu banyak, namun ternyata memiliki kekuatan yang mengejutkan.
Di saat matahari melampaui puncak langit, kekuatan di kedua belah pihak telah menurun. Gerombolan yang bertempur dengan keras dan kasar itu telah banyak kehilangan kekuatan mereka. Beberapa orang terbaring sambil mengerang. Sementara yang lain masih juga bertempur meskipun dari tubuhnya telah menitik darah. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang sudah tidak dapat ditolong lagi jiwanya.
Pada para prajuritpun telah jatuh korban. Tetapi terlalu sedikit dibanding dengan lawan mereka. Para prajurit dan pengawal itu memiliki kemampuan pribadi dan kerja sama yang jauh lebih baik dari lawan mereka, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit.
Pada saat-saat yang demikian, maka Mahisa Bungalan dan Witantrapun mengambil kesimpulan bahwa di sarang itu tentu tidak ada orang yang disebut Rajawali Penakluk.
Jika orang itu ada, ia tentu terjun ke arena. Seandainya tidak diinduk pasukan, tentu berada di sayap pasukan. Mahisa Bungalan telah memberikan pesan, jika orang itu muncul di manapun, maka agar para prajurit dan pengawal memberikan isyarat agar ia segera dapat mengambil tindakan sebelum orang itu menelan banyak korban.
Tetapi isyarat itu belum terdengar.
Karena itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun mengambil kesimpulan, bahwa orang itu tidak ada di barak itu.
Dengan demikian, maka keduanya berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran. Tetapi tidak mudah untuk melakukannya. Kedua belah pihak telah terlibat terlalu jauh dalam perang brubuh.
Ketika Witantra kemudian mendekati Mahisa Bungalan, maka katanya, “Aku akan mencoba untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi”
“Apa yang akan paman lakukan?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Menemui pemimpin perampok ini” jawab Witantra.
“Menurut pengamatanku, ada dua gerombolan yang kita hadapi. Kalengahanku ternyata telah menyeret pasukan ini ke dalam pertempuran yang berat, dan menyebabkan korban semakin banyak jatuh dari kedua belah pihak” berkata Mahisa Bungalan.
“Aku akan naik. Tentu pemimpin gerombolan ini masih ada di atas” desis Witantra.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada paman”
Witantra pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ketika ia siap meninggalkan arena diinduk pasukan, iapun telah berpesan, “Hati-hatilah. Aku akan memanjat”
Mahisa Bungalan mengangguk. Namun iapun segera tenggelam ke dalam pertempuran yang riuh.
Witantra pun kemudian bergeser meninggalkan arena pertempuran itu. Sesaat dipandanginya tangga yang memanjat naik. Namun ternyata Witantra lebih senang memanjat tebing tidak melalui tangga itu.
Tidak ada lagi orang yang sempat melontarkan batu atau lembing atau senjata apapun juga karena pertempuran di sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendekati sarang. Sehingga dengan demikian, maka Witantra pun segera dapat naik sampai ke depan barak.
Sejenak ia mengamati pertempuran. Namun kemudian iapun berteriak nyaring sambil meloncat berdiri di atas sebuah batu padas, “He, pemimpin gerombolan yang sedang mempertahankan baraknya. Apakah kau dengar suaraku?”
Beberapa orang yang bertempur tidak terlalu jauh daripadanya telah tertegun Melihatnya. Namun seolah-olah mereka merasa wajib untuk tidak berbuat sesuatu atas orang itu.
“Dengarlah, he, pemimpin gerombolan ini” teriak Witantra pula.
Seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berwajah kasar telah berjalan mendekatinya sambil menjawab, “Untuk apa kau cari pemimpinku”
“Aku ingin berbicara. Apakah kau pemimpin gerombolan ini?“ bertanya Witantra.
“Bukan aku. Tetapi ia akan mendengar kata-kataku. Apakah maksudmu. Apakah kau dan orang-orangmu akan menyerah?“ orang itu ganti bertanya.
“Itu tidak akan terjadi” jawab Witantra, “sebentar lagi kami akan menyapu semua orang-orangmu dan gerombolan yang justru datang dari arah belakang kami”
“Omong kosong. Jadi kau mau apa?“ bertanya orang itu.
“Aku ingin berbicara dengan pemimpinmu” jawab Witantra.
“Bicaralah cepat, sebelum aku membunuhmu” geram orang itu.
Witantra termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendesak, meskipun lapis demi lapis masih harus dihadapi, karena banyaknya jumlah lawan dibanding dengan para prajurit dan pengawal.
“Dengarlah” berkata Witantra, “apakah kalian tidak cemas melihat korban yang jatuh tanpa hitungan di pihak kalian?“
Orang itu menggeram. Sekilas ia melayangkan pandangannya karena yang semakin dahsyat di sekitarnya. Ia melihat apa yang sedang terjadi. Namun ia mencoba untuk berkata dengan garang, “Orang-orangmu akan segera tumpas”
”Orang-orangku atau orang-orangmu akibatnya adalah hilangnya berpuluh-puluh nyawa” sahut Witantra, “mana pemimpinmu. Aku kira ia akan dapat mempertimbangkan, sebaiknya kalian menyerah”
“Persetan“ orang itu berteriak, “aku akan membunuhmu”
”Jangan bodoh. Katakan kepada pemimpinmu” sahut Witantra.
Tetapi orang itu tidak mendengarkannya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang. Senjatanya yang dahsyat, canggah dengan tajam eri pandan tiba-tiba saja telah mengarah keleher Witantra. Jika canggah itu berhasil menjepit lehernya, maka leher itu tentu akan terkerat dengan urat dan daging tersayat.
Tetapi Witantra sama sekali tidak terkejut melihat serangan itu. la mengelak dengan gerak yang sederhana, sementara canggah itu meluncur dekal telinga kanannya.
Namun dengan tangkasnya Witantra memukul canggah itu dengan pedang yang dibawanya. Demikian kerasnya sehingga canggah itu bagaikan direnggut oleh kekuatan raksasa, dan terlepas dari tangannya.
Orang bertubuh tinggi kekar itu terkejut. Orang yang dihadapinya itu tubuhnya tidak terlalu besar. Tidak sebesar dirinya. Tetapi ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa.
“Kau ingin mengambil senjata?“ geram Witantra, “Ambillah. Aku takkan menghalangimu”
Orang itu berdiri termangu-mangu.
”Cepat. Aku ingin membuktikan kepadamu, bahwa kau tidak berarti apa-apa bagiku. Juga orang-orang yang lain. Yang sebenarnya ingin aku cari adalah Rajawali Penakluk yang menurut keterangan yang aku dapat, ia berada di antara sarang-sarang gerombolan perampok, sehingga aku akan menyusuri tempat-tempat yang tersembunyi namun yang mungkin sekali menjadi tempat persembunyian Rajawali Penakluk”
Orang itu menjadi semakin tegang. Dengan nada rendah ia berkata, “Rajawali Penakluk tidak ada disini”
“Aku sudah mengira. Karena itu, katakan kepada pemimpinmu sebelum kalian semuanya menjadi punah. Para prajurit dan pengawal sudah mendapat perinlah untuk bertempur dalam tataran tertinggi, sehingga sulit untuk mengendalikannya” berkata Witantra.
Orang itu berdiri kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya senjata yang tergolek disamping Witantra. Namun kemudian Witantra itu berkata sekali lagi, “Ambil senjatamu. Kita akan bertempur”
Orang itu justru semakin kebingungan. Berapa orang yang melihat peristiwa itupun merasa aneh. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa orang itu sedang mencari Rajawali Penakluk.
“Cepat” geram Witantra, “atau kau panggil saja pemimpinmu. Aku akan berbicara dengan orang itu tentang kematian-kematian yang tidak berarti dari orang-orang gerombolan ini dan gerombolan yang telah berhasil kalian hubungi. Tetapi kehadirannya telah membuat prajurit dan -pengawal yang berada di dalam pasukan kami bertempur dalam tataran tertinggi”
Sejenak orang itu masih berdiri mematung. Namun tiba-tiba seseorang meloncat disampingnya sambil berkata, “Aku pemimpin gerombolan ini. Kau sudah datang mengganggu ketenangan kami disini. Karena itu, kalian semuanya harus dimusnakan”
“Terima kasih, bahwa kau bersedia menemui aku“ sahut Witantra, “tetapi jangan mencoba membutakan diri terhadap kenyataan. Aku melihat kesulitan pada gerombolanmu dan gerombolan yang datang membantumu”
“Omong kosong” geram orang itu.
“Dengarlah. Aku datang untuk memburu Rajawali Penakluk. Aku ingin menangkapnya hidup atau mati. Karena itu, tidak sewajarnyalah jika jatuh korban tidak terhitung, sementara orang yang aku cari tidak ada disini”
“Kalau kalian menjadi ketakutan, menyerahlah“ berkata pemimpin gerombolan itu.
“Jangan main-main” berkata Witantra, “aku minta kau menarik pasukanmu dengan isyarat apapun yang dapat kau berikan. Aku berjanji untuk tidak membunuh lebih banyak lagi. Kami akan meninggalkan gerombolan ini dan melanjutkan perjalanan kami, memburu orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk”
“Jangan sombong. Orang itu memiliki kemampuan seperti kuasa dewa-dewa dilangit” berkata orang yang menyebut dirinya pemimpin gerombolan itu.
“Aku akan menangkapnya” berkata Witantra.
Pemimpin gerombolan itu menggertakkan giginya. Katanya, “Kau terlalu sombong. Aku akan membunuhmu, mencincangmu dan melemparkan sayatan kulit dagingmu kepada orang-orangmu”
“Jangan mimpi. Menyerahlah” geram Witantra. Orang itu menjadi semakin marah. Tetapi Witantra berkata lebih lanjut, “Ambil senjatamu. He raksasa dungu. Bersama pemimpinmu, buktikan bahwa aku benar-benar mampu menangkap Rajawali Penakluk itu jika ia berada disini”
Tetapi pemimpin gerombolan itu tidak menunggu kawannya mengambil senjatanya. Dengan pedangnya ia meloncat menyerang. kitatan cahaya yang terpantul pada batang pedangnya bagaikan nyala yang meloncat dari matahari itu sendiri.
Witantra melihat serangan yang dahsyat itu. Namun sebenarnyalah tidak lebih dari lontaran kekuatan wadag yang kosong. Karena itu, maka Witantra dengan sengit telah menangkis serangan itu dengan membenturkan pedangnya pula.
Benturan yang keras telah terjadi. Namun ternyata bahwa benturan itu telah mengejutkan pemimpin gerombolan yang menyangka bahwa ia mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Dalam pada itu, demikian kerasnya benturan itu terjadi, sementara Witantra dengan sengaja ingin menunjukkan, bahwa ia benar-benar ingin menangkap Rajawali Penakluk, maka pedang di tangan pemimpin gerombolan itu tidak dapat diselamatkan lagi. Bukan saja senjata itu terlepas dari tangannya, tetapi senjata itu telah terloncat beberapa langkah dari padanya.
Sejenak pemimpin gerombolan itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menyadari keadaannya. Dengan gigi gemeretak ia meloncat beberapa langkah surut. Sambil mengumpat ia menyambar pedang seorang gerombolan yang berdiri kehingungan melihat pedang pemimpinnya yang terlempar beberapa langkah itu.
Dengan pedang yang bergetar di tangannya orang itu melangkah mendekati Witantra lagi ia menggeram, “Anak Setan. Kau kira apa yang kau lakukan itu dapat menakut-nakuti aku he?“
“Cobalah” jawab Witantra, “sebaiknya kau mencoba meyakini apa yang aku katakan. Panggil Rajawali Penakluk, atau jika ia tidak ada disini, menyerah sajalah. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami cari adalah Rajawali Penakluk itu”
Pemimpin gerombolan itu tidak menghiraukannya. Langkah demi langkah ia maju. Pedangnya pun kemudian terjulur lurus kedepan.
Tetapi Witantra pun seolah-olah tidak menghiraukannya. Bahkan iapun kemudian memungut canggah yang tergolek di tanah. Sambil melemparkan canggah itu ia berkata kepada orang bertubuh tinggi tegap, “Pakailah senjatamu. Bantu pemimpinmu. Aku memang ingin meyakinkan, bahwa perlawanan kalian akan sia-sia”
Sambil menangkap senjatanya orang- bertubuh tinggi tegap itu menggeram.
“Marilah. Kalian harus yakin bahwa kalian memang harus menyerah sebelum orang-orangmu tuntas habis” desis Witantra.
Kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. Seperti berjanji, maka keduanyapun kemudian mengambil arah yang berbeda. Bahkan dua orang yang lainpun telah mendekat pula. Mereka telah bersiap pula membantu pemimpinnya.
Sementara itu. di sekitar tempat itu pertempuran menjadi semakin seru. Sayap pasukan Mahisa Bungalanpun menjadi semakin mendekati barak. Mereka berusaha mendesak lawan mereka dari barak itu, sementara mereka pun berusaha menghalau serangan gerombolan yang datang membantu, sambil bergeser.
Sebenarnyalah seperti ymg dikatakan oleh Witantra. Prajurit Singasari dan pengawal, dan Kediri telah bertempur tanpa pengekangan diri. justru karena lawan mereka terlalu banyak. Namun dengan demikian, maka korban di antara gerombolan itupun menjadi semakin banyak pula.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di sekitar Witantrapun telah siap menyerangnya. Namun Witantra pun telah siap sepenuhnya. Bahkan iapun kemudian berkata, “Marilah. Mulailah”
Hampir berbareng orang-orang itupun menyerangnya. Namun betapa mereka terperanjat. Dengan satu ayunan, dua diantara senjata lawannya telah terlempar. Bahkan dengan ayunan berikutnya, maka sekali lagi pedang di tangab pemimpin gerombolan itupun terlepas pula. Dengan putaran berikutnya, maka canggah yang mulai bergetar di tangan orang bertubuh tinggi tegap itupun telah terlempar pula.
Tetapi Witantra tidak berhenti, ia benar-banar ingin memaksa pemimpin gerombolan itu menyerah. Karena itu, maka tiba-tiba saja ujung pedangnya telah menyentuh pundak lawannya. Segores luka telah memerah pada kulitnya.
“Aku baru memberimu peringatan” berkata Witantra, “jika aku bersungguh-sungguh, maka pundakmu akan patah”
Pemimpin gerombolan yang kehilangan senjatanya itu meloncat mundur. Dirabanya pundaknya. Dan terasa di tangannya, darah telah menitik dari luka itu.
“Menyerahlah” geram Witantra. Pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.
“Aku memperingatkan sekali lagi. Jika kau tidak mendengarkan peringatanku ini, maka kami akan benar-benar mengambil sikap untuk mengakhiri pertempuran ini dengan memusnahkan kalian semuanya, karena di sini kita tidak menemukan Rajawali Penakluk”
Pemimpin gerombolan itu berdiri tegak seperti patung. Sementara Witantra berkata, “Berilah isyarat agar pemimpin gerombolan yang menyerang kami dari luar kepungan inipun menyadari bahwa mereka tidak akan berarti apa-apa lagi, selain sekedar mengotori senjata kami”
Nampaknya memang tidak ada jalan untuk menghindar. Ketika sekali lagi pemimpin gerombolan itu memandang berkeliling, maka dilihatnya orang-orangnya menjadi semakin terdesak meskipun jumlahnya masih memadai. Tetapi lambat laun jumlah itu akan cepat menjadi susut, tiga empat kali lipat dari jumlah susut para prajurit dan pengawal.
“Nah. apakah kau akan mengorbankan semua orang-orangmu?“ bertanya Witantra.
Pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.
“Kami tidak akan berbuat apa-apa terhadap kalian” berkata Witantra, “karena yang kami perlukan adalah Rajawali Penakluk itu”
Pemimpin gerombolan itu masih diam dicengkam oleh kebingungan.
Tetapi Witantra sengaja memberinya waktu. Ia tidak berbuat apa-apa ketika pemimpin gerombolan itu sekali lagi memperhatikan arena pertempuran yang semakin gawat mereka orang-orangnya.
“Kau yakin sekarang?“ bertanya Witantra.
Sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan itu pun tidak dapat ingkar melihat medan yang gawat itu. Ia melihat orang-orangnya yang terluka mengerang kesakitan, merangkak-rangkak dan berusaha menghindar dari pertempuran.
“Pasukan kami dapat membunuh setiap orang di dalam gerombolanmu dan gerombolan yang datang membantumu” berkata Witantra, “tetapi apakah itu perlu kami lakukan?”
Pemimpin gerombolan itupun kemudian bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan jika kami menyerah”
“Tidak apa-apa” berkata Witantra, “selain menuntut agar kalian merubah cara hidup kalian yang sesat ini”
“Omong kosong” geram orang itu.
”Apa gunanya aku menipumu, karena aku yakin bahwa kami akan dapat memusnahkan kalian dalam sehari ini” jawab Witantra.
Orang itu tercenung sejenak. Namun akhirnya iapun percaya bahwa pasukan yang datang itu akan dapat menusnakan orang-orangnya dalam sehari itu.
Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Pemimpin gerombolan itupun memperhitungkan bahwa pemimpin gerombolan yang lain, yang datang menolongnya, tidak melihat keadaan sejelas seperti yang dilihatnya, karena orang itu berada di dalam kelompok yang menghadapi induk pasukan para prajurit dan pengawal.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan itu pun mengetahui keadaan yang dihadapinya. Ternyata bahwa induk pasukan lawan yang nampaknya hanya terdiri dari sejumlah kecil parajurit dan pengawal, namun ternyata mereka mempunyai kekuatan yang tidak diduganya.
Namun demikian, karena ia tidak dapat melihat pertempuran itu dalam lingkup yang lebih luas, maka ia tidak dapat mengambil sikap.
Sementara itu, pemimpin gerombolan yang tinggal di dalam barak yang didatangi oleh Mahisa Bungalan dan pasukannya itu tidak dapat ingkar lagi, bahwa pasukannya sendiri dan gerombolan yang datang untuk membantunya itu tidak dapat bertahan lebih lama. Karena itulah, maka ia pun kemudian berkata kepada pengawalnya yang paling dipercaya, “Bunyikan isyarat”
“Isyarat apa?“ pengawalnya bertanya.
“Bodoh kau. Kita hentikan perlawanan” berkata pemimpin gerombolan itu.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kita dapat mempercayainya?”
“Aku percaya kepadanya” jawab pemimpin gerombolan itu. Lalu, “Terkutuklah jika ia berbohong”
“Aku berkata sebenarnya” sahut Witantra, “jika kau berniat memenuhi permintaanku untuk menyerah, aku akan turun dan berada dipasukan induk untuk memberikan perintah, agar para prajurit dan pengawalpun menghentikan pertempuran”
“Kami akan menghentikan perlawanan” berkata pemimpin gerombolan itu.
Witantra kemudian meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa-gesa iapun menuruni lereng yang tidak terlalu dalanwintuk menemui Mahisa Bungalan.
“Mereka akan menyerah” berkata Witantra.
“Apakah mereka tidak akan menipu kita?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku kira tidak” jawab Witantra, “jika mereka dengan licik menjebak kita, maka kita tidak akan mengampuni setiap orang yang ada di dalam barak itu”
Sejenak kemudian, ternyata mereka telah mendengar isyarat. Dengan kentongan pemimpin gerombolan itu memerintahkan orang-orangnya untuk menghentikan perlawanan. Sementara Mahisa Bungalan pun telah menyiapkan isyarat pula dengan panah sendaren, agar para prajurit dan pengawal juga menghentikan pertempuran.
Beberapa orang prajurit telah melepaskan anak panah keudara berturut-turut pada jarak yang agak jarang. Susul menyusul untuk waktu yang agak panjang.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah mendapat aba-aba dari induk pasukan masing-masing untuk menarik diri dari benturan senjata. Bahkan gerombolan yang datang membantu itu pun mengerti pula isyarat itu, sehingga merekapun kemudian telah bergeser menjauh.
Sementara para prajurit dan pengawal juga tidak memburu mereka.
Sementara itu, maka masih terdengar pula isyarat, bahwa gerombolan itu ternyata telah menyerah.
Mahisa Bungalan dan Witantra pun kemudian naik tebing untuk menemui pemimpin gerombolan itu. Mereka masih minta agar pemimpin gerombolan itu memerintahkan anak buah mereka untuk meletakkan senjata.
Meskipun agak ragu, tetapi perintah itu pun telah diberikan lewat suara kentongan. Sehingga dengan demikian maka orang-orangnya telah mengumpulkan senjata mereka dan sama sekali mengakhiri perlawanan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka pun menyadari, bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melawan pasukan yang dipimpin oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.
Sesaat kemudian, medan yang semula hiruk pikuk oleh suara dentang senjata, sorak kemenangan dan jerit kesakitan, telah menjadi hening. Orang-orang yang berdiri tegak bagaikan patung yang membeku. Mereka menunggu perintah apa lagi yang harus mereka lakukan.
Mahisa Bungalan pun kemudian memerintahkan kepada para pemimpin kelompok untuk menarik pasukan mereka dalam himpunan gelar masing-masing. Sementara beberapa orang dari mereka pun telah berusaha menolong kawan-kawan mereka yang terluka.
Namun sekali-sekali masih juga terdengar gemeretak gigi, bahwa beberapa orang terpaksa menjadi korban. Bukan hanya terluka parah, tetapi ada di antara mereka yang harus melepaskan nyawanya.
Tetapi korban di pihak gerombolan ternyata bagaikan tidak terhitung lagi. Yang luka dan yang terbunuh berserakkan silang melintang.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian memanggil kedua orang pemimpin gerombolan yang menyerah itu. Katanya, “Kita akan berbicara. Kumpulkan orang-orangmu dan lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan terhadap orang orang kalian yang terluka. Kumpulkan mereka untuk mendapat pengobatan”
Kedua orang itu pun kemudian mengikuti Mahisa, Bungalan dan Witantra sesudah mereka memerintahkan pengawal kepercayaannya untuk mengurus orang-orangnya. Mengumpulkan mereka yang tidak cidera, tetapi juga yang terluka dan terbunuh.
Di tempat yang terpisah, Mahisa Bungalan dan Witantra berbicara langsung dengan kedua orang pemimpin gerombolan yang sudah menyerah itu. Apa yang harus mereka lakukan, dan apa yang mereka kehendaki.
“Kami masih menyayangkan jiwa orang-orang yangt tidak tahu pasti, apa yang sedang mereka lakukan“ berkata Mahisa Bungalan.
“Apakah kami semuanya akan ditangkap?“ bertanya pemimpin gerombolan yang tinggal dibarak itu.
“Apakah ada yang lebih baik dari menangkap kalian” bertanya Mahisa Bungalan.
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun keduanya tidak dapat mengatakan sesuatu. Agaknya mereka memang menganggap bahwa menyerah akan lebih baik dari membunuh diri bersama-sama dalam jumlah yang besar.
Karena kedua orang itu tidak menjawab, maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Aku akan berada disini sampai besok, Kami akan mengambil keputusan, apa yang sebaiknya kami lakukan. Aku minta, kalian dan orang-orang kalian tidak melakukan sesuatu yang akan mencelakakan kalian semuanya”
“Kami akan mengatur mereka” jawab pemimpin gerombolan yang datang untuk membantu, namun yang ternyata mereka pun telah dijebak oleh kekalahan yang gawat.
Setelah memberikan beberapa janji, maka Mahisa Bungalan dan Witantra pun meninggalkan kedua orang itu untuk mengatur pasukannya. Mereka kemudian ditarik beberapa puluh langkah dari barak. Namun pasukan itu masih tetap mengawasi barak itu dari segala arah. Sementara beberapa orang petugas khusus telah berusaha untuk menolong orang-orang yang terluka dan mengumpulkan beberapa orang yang gugur di peperangan itu.
Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang di dalam barak gerombolan itu, Mereka pun mengumpulkan korban yang berserakan. Sementara beberapa orang di antara mereka pun berusaha menolong kawan-kawan mereka yang terluka.
Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal telah mengumpulkan senjata orang-orang yang menyerah itu dan menimbunnya di bawah pengawasan. Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal akan yakin, bahwa orang-orang dari gerombolan itu tidak akan melakukan perbuatan yang dapat menjerat mereka ke dalam keadaan yang lebih gawat lagi.
Dalam suasana yang muram, para prajurit dan pengawal terpaksa menguburkan kawan-kawan mereka yang terluka senjata di tempat itu. Tetapi mereka berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik dan ditandai dengan ciri yang akan mudah mereka kenal, sehingga apabila pada suatu saat akan dilakukan upacara bagi mereka, maka mereka akan segera dapat mengenal kembali kubur itu.
Malam itu, Mahisa Bungalan. Witantra dan beberapa orang perwira telah mengadakan pembicaraan. Mereka kemudian sepakat untuk tidak menangkap semua orang. Hanya pemimpin mereka sajalah yang akan dibawa ke Kediri, sementara orang-orangnya yang lain harus menghentikan kegiatan mereka yang merugikan orang lain itu.
“Tentu akan merupakan satu kesulitan untuk membawa mereka semuanya” berkata salah seorang perwira, “sementara beberapa orang masih ada di padepokan itu. Namun agaknya cara itulah yang paling baik. Kita akan dapat mengancam mereka, jika ternyata mereka masih melakukan kegiatan serupa, maka mereka akan kita tumpas habis di saat lain”
“Aku sependapat” berkata perwira yang lain, “kini mereka nampaknya harus melihat kenyataan. Korban terlalu banyak jatuh di antara mereka, sehingga kekuatan, mereka telah susut jauh dari kekuatan mereka sebelumnya.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka tidak mempunyai keberatan, meskipun ada juga semacam dendam yang membara di hati mereka, karena beberapa kawan mereka, yang berangkat bersama-sama, ternyata tidak dapat kembali bersama dengan pasukan itu.
“Apaboleh buat” desis mereka. Dan mereka pun mengerti, bahwa akibat seperti itu akan dapat terjadi terhadap setiap prajurit dan pengawal yang mengemban tugas.
Demikianlah, maka pasukan yang dibawah pimpinan Mahisa Bungalan itu telah mengambil satu sikap terhadap gerombolan yang nyaris mereka hancurkan. Dengan demikian, maka pada pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah menemui kedua orang pemimpin gerombolan itu. Kepada mereka disampaikan, hasil pembicaraan yang menyangkut kedua orang pemimpin gerombolan itu.
“Kalian berdua dan orang-orang terpenting dari gerombolan kalian akan kami bawa ke Kediri” berkata Mahisa Bungalan.
“Kami tidak akan membantah” jawab salah seorang dari kedua orang itu, “tetapi kamipun mohon agar nasib kami mendapat perlindungan”
“Aku akan berusaha” jawab Mahisa Bungalan, “sebentar lagi kami akan meninggalkan tempat ini. Kumpulkan orang-orangmu. Aku ingin berbicara kepada mereka”
Demikianlah, maka di hadapan orang-orang yangj semula termasuk dalam gerombolan yang terhitung kuat itu, Mahisa Bungalan telah memberikan beberapa petunjuk agar mereka meninggalkan cara hidup mereka yang hitam itu.
“Kalian akan dapat mencari jalan lain untuk memberi makan dan pakaian keluarga kalian” berkata Mahisa Bungalan, “apa yang kalian lakukan selama ini adalah perbuatan yang tercela. Kalian telah membuat orang lain menjadi korban untuk kepentingan kalian”
Orang-orang itu pun mendengarkan keterangan itu dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak dapat berbuat lain. Seandainya mereka masih menggenggam senjata, mungkin mereka akan bersikap lain. Mungkin mereka akan berteriak untuk membungkam mulut Mahisa Bungalan. Katau Mahisa Bungalan masih juga berbicara, mereka akan dapat membungkam dengan cara lain, dengan ujung senjata kalian.
Tetapi senjata mereka telah mereka serahkan Mereka sudah tidak berdaya lagi. Dengan demikian, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain daripada mendengarkan keterangan Mahisa Bungalan itu.
Namun Mahisa Bungalan pun menyadari. Orang-orang yang untuk waktu yang lama hidup dalam lingkungan yang seolah-olah tidak terjamah oleh tata kehidupan dan pergaulan antara manusia yang berusaha meningkatkan peradaban mereka, tentu tidak akan dengan mudah menerima pengertian-pengertian yang dikatakannya. Karena itu, aka iapun kemudian juga mempergunakan bahasa orang-rang yang sedang dihadapinya. Katanya, “Kali ini kalian kami ampuni. Tetapi kami berharap, bahwa pesan-pesan kami dapat kalian lakukan. Jika tidak dan ternyata kami masih melihat dan menjumpai kalian dalam tingkah laku kalian sekarang ini, maka kami tidak akan dapat mengampuni kalian lagi. Kami akan menumpas setiap orang yang tertibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan tata hidup yang tertib dan saling menghormati”
Terasa juga jantung mereka tersentuh oleh kata-kata itu. Ancaman itu harus mereka pertimbangkan. Dan agaknya ancaman itu terpahat lebih dalam di hati mereka dari pada beberapa pengertian tentang tata kehidupan dan pergaulan antar manusia, karena sebenarnyalah mereka masih terlalu sulit untuk mengerti, bahwa merugikan orang lain itu adalah salah satu perbuatan yang harus dikutuk.
Karena bagi mereka, kekuatan memiliki kemungkinan terbesar di dalam hubungan antar manusia. Yang menanglah yang menentukan atas yang lemah.
Beberapa kali Mahisa Bungalan menekankan pesan-pesannya. Sehingga Mahisa Bungalan yakin, bahwa orang-orang itu benar-benar mengerti yang dimaksudkan, dan benar-benar ngeri mengalami hukuman yang bakal dijatuhkan kepada mereka, apabila mereka melanggar pesan pesan itu.
Setelah selesai dengan pesan-pesannya, maka Mahisa Bungalan pun kemudian minta diri. Dua orang pemimpin mereka dari dua lingkungan akan dibawa oleh pasukan Mahisa Bungalan bersama dua orang terpenting dari lingkungan masing-masing. Sehingga dangan demikian, maka Mahisa Bungalan akan menjadi lebih yakin lagi, bahwa gerombolan itu tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa.
Selain segala macam pesan itu, Mahisa Bungalan masih mengambil satu sikap yang sebenarnya sangat berat bagi mereka. Semua harta kekayaan yang ada dan bernilai tinggi akan dibawa oleh pasukan itu untuk diserahkan kepada pimpinan di Kediri. Adalah sangat baik apabila barang-barang itu dapat diserahkan kembali kepada yang memilikinya. Tetapi jika hal itu tidak mungkin lagi dilakukan, karena pemiliknya sudah tidak dapat mengenali orang-orang mereka yang sudah terlalu lama hilang, atau karena sebab-sebab lain, sehingga barang-barang itu tidak dapat lagi sampai kepada para pemiliknya, maka barang-barang itu akan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang lebih berarti bagi Kediri.
Demikianlah, maka ketika matahari naik lebih tinggi lagi, pasukan itu meninggalkan barak gerombolan yang dianggap paling kuat di daerah yang luas, yang seolah-olah jarang sekali dapat dijangkau oleh tangan-tangan pasukan yang dapat memberikan perlindungan kepada rakyat yang lemah.
“Kita akan menyusun rencana baru” berkata Mahisa Bungalan kepada Witantra, “tetapi pada dasarnya, aku akan datang ke setiap sarang seperti yang sudah kita lakukan”
“Apakah tidak ada cara lain” bertanya Witantra kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum mengucapkan pertanyaan itu kepada siapapun juga. rencanakan, dan yang sudah disepakati bersama dengan Pangeran Kuda Padmadata”
Witantra mengangguk-angguk. Tetapi ia pun sadar, bahwa perburuan ini tentu akan memakan waktu, beaya dan korban yang tidak sedikit.
Ketika iring-iringan pasukan itu sampai di padepokan kecil, yang seakan-akan merupakan pangkalan samentara di daerah yang jauh itu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun telah berada di padepokan itu pula. Pengalaman pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata itu pun hampir bersamaan dengan yang terjadi atas Mahisa Bungalan. Meskipun sebelumnya mereka tidak berjanji, tetapi keputusan yang mereka ambil pun jampir bersamaan pula. Seperti Mahisa Bungalan, maka Pangeran Kuda Padmadata tidak membawa semua orang yang tergabung dalam gerombolan yang didatanginya.
“Aku mencoba untuk memberikan peringatan-peringatan keras terhadap mereka” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “hanya tiga orang yang aku bawa bersama kami“
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Mudah-mudahan mereka menepati janji. Jika tidak, kami terpaksa melakukan seperti apa yang telah kami katakan kepada mereka”
“Ya” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “untuk menegakkan wibawa Singasari dan Kediri. Tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang selaku diancam oleh ketakutan”
Untuk beberapa hari, maka pasukan yang di padepokan itu beristirahat. Mereka menunggu kawan-kawan mereka yang terluka menjadi sembuh kembali, atau setidak-tidaknya luka-luka itu menjadi bertambah ringan.
Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata masih dalam pendirian mereka, bahwa perburuan harus dilanjutkan.
Witantra yang sempat berbicara dengan Mahisa Agni, Mahendra dan Ki Wastu menjadi prihatin. Jika usaha itu dilanjutkan dengan cara yang sama, maka korban tentu akan menjadi semakin banyak. Setiap kali Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata mendatangi sarang-sarang gerombolan, maka tentu ada satu dua orang prajurit dan pengawal yang gugur. Meskipun mereka juga akan berhasil membunuh jauh lebih banyak. Namun kematian yang demikian seharusnya dapat dihindari, karena yang mereka cari sebenarnya adalah Ki Dukut Pakering.
Tetapi ketika hal ini mereka sampaikan kepada Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata, maka sikap keduanya pun hampir sama.
“Paman” berkata Mahisa Bungalan kepada Witantra, “bukankah dengan demikian kita akan mendapi hasil ganda. Selain mencari Ki Dukut Pakering kita sudah berbuat sesuatu bagi keamanan di daerah ini. Bukankah dengan demikian kita sudah menghancurkan sarang-sarang gerombolan yang bengis bagi rakyat di sekitarnya. Bukankah dengan demikian kita dapat merampas kembal apa yang pernah mereka rampas dari rakyat? Usaha kita bukan sekedar mencari dan membunuh Ki Dukut Pakering. Tetapi sekaligus dengan tugas yang tidak kalah pentingnya dari mencari Ki Dukut itu sendiri”
Orang-orang tua yang menyertai mereka sampai ke padepokan itu tidak dapat membantahnya. Yang dikatakan anak-anak muda itu memang tidak terlalu salah. Tetapi apakah tidak ada cara yang lebih baik agar korban dapat dikurangi sejauh-jauhnya.
Namun orang-orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala, ketika anak-anak muda itu berbicara di hadapan para prajurit dan pengawal. Mereka telah berhasil menempa hati para prajurit dan pengawal, sehingga merekapun justru mengharap, kapan mereka akan berangkat lagi untuk menumpas tindakan-indakan terkutuk dari orang-orang yang sama sekali tidak bertumpu pada peradaban manusia itu.
Akhirnya, datang pula saatnya Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata berangkat lagi dalam tugas mereka. Dari orang-orang yang tertawan mereka mendapat petunjuk-petunjuk tempat-tempat lain yang mungkin menjadi tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.
Karena itu, maka pada saatnya, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah menyiapkan pasukan masing-masing. Seperti sebelumnya, maka merekapun menuju ke sasaran yang berbeda. Dan seperti yang pernah mereka lakukan, orang-orang tua pun tidak sampai hati melepaskan mereka pergi tanpa pangawasan.
Witantra tetap pada pasukan Mahisa Bungalan, dan Mahisa Agni tetap pada pasukan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara Mahendra, anak-anaknya yang lain dan Ki Wastu tetap berada di padepokan.
Sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendesak ayahnya sekali lagi, agar mereka diperkenankan mengikuti perjalanan kedua yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Namun seperti yang terdahulu, ayahnya tetap berkeberatan untuk melepaskan mereka pergi, karena menurut ceritera yang didengarnya, maka medan yang di hadapi oleh pasukan-pasukan itu adalah medan yang cukup berat.
“jadi kapan kita akan pergi?“ bertanya Mahisa Murti.
“Kita tidak pergi bertamasya” jawab ayahnya, “aku akan memberitahukan kepada kalian, jika menurut perhitunganku hal itu memungkinkan. Tetapi jika tidak, maka kita akan tetap menunggu di sini. Itu bukan berarti bahwa kita tidak berbuat apa-apa. Di sini kita mambantu menjaga para tawanan. Bahkan mungkin Ki Dukut Pakering yang kita cari kemana-mana itu justru datang kemari dengan maksud yang paling buruk yang pernah direncanakan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memaksa. Karena itu, betapapun mereka sangat kecewa, mereka harus tetap tinggal di padepokan itu bersama ayahnya dan beberapa orang prajurit dan pengawal yang mengawasi beberapa orang tawanan bersama para cantrik padepokan itu.
Tetapi yang terjadi kemudian pun tidak berbeda dengan yang baru saja dilakukan oleh Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata. Mereka hanya menemukan sarang gerombolan tanpa orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk. Mereka pun hanya menemukan kematian tanpa arti, karena mereka tidak berhasil menangkap buruan mereka.
Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata masih merasa bahwa mereka telah berbuat sesuatu. Mereka telah berhasil membuat orang-orang itu mengakui dan menyesali kesalahan mereka, sehingga mereka berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Dalam pada itu, daerah yang bagaikan diaduk oleh prahara karena kehadiran pasukan Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata di daerah yang luas, telah menjadi perhatian beberapa orang yang meskipun tidak langsung, namun ikut berkepentingan. Orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup, namun yang telah memilih daerah hitam sebagai arena hidup mereka.
Yang memperhatikan segala peristiwa itu dengan darah yang mendidih adalah Ki Dukut Pakering sendiri. Meskipun ia tidak berada di antara orang-orang yang dihancurkan oleh pasukan Singasari dan Kediri itu, namun ia mendengar apa yang telah terjadi. Pasukan yang telah dikumpulkannya untuk mendukung usahanya itu ternyata telah hancur berserakan.
Tetapi itu adalah suatu hal yang sangat wajar. Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan terhadap pasukan Kediri, apalagi pasukan Singasari.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ada orang-orang yang lebih baik yang dapat dihubungi oleh Ki Dukut Pakering. Namun dengan demikian, Ki Dukut harus berjuang mengatasi hambatan dari dalam dirinya sendiri.
“Aku harus terjun ke dalam warna yang kelam itu pula” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Tetapi ia sudah tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang dilakukan selama ini, sebenarnyalah bahwa tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di dunia yang hitam.
Karena itu, maka Ki Dukut pun segera memutuskan bahwa ia akan berada di tengah-tengah orang-orang yang disebut golongan hitam.
“Aku akan hadir di antara mereka” berkata Ki Dukut, “meskipun mungkin memerlukan pengorbanan perasaan”
Demikianlah, maka Ki Dukut pun telah membulatkan tekadnya. Berita kehancuran dari gerombolan-gerombolan yang pernah menjadi tempat penyangga niatnya itu pun merupakan dorongan baginya untuk memilih tempat, karena tidak ada tempat lain yang akan dapat menerimanya lagi.
“Kepada penjahat-penjahat kecil aku dapat memberikan janji-janji kecil” berkata Ki Dukut kepada dirinya sendiri, “mereka sudah berangan-angan dan berpengharapan jika aku berbicara tentang istana Pangeran Kuda Padmadata yang menyimpan beberapa puluh keping emas, berlian dan pusaka-pusaka. Tetapi kepada orang-orang yang jauh lebih besar, akupun harus memberikan harapan-harapan yang besar”
Karena itu, maka yang kemudian akan disebut-sebut oleh Ki Dukut dengan orang-orang yang dianggapnya cukup besar dilingkungan orang-orang berilmu hitam, adalah Kediri itu sendiri.
“Kita sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan Singasari” berkata Ki Dukut Pakering dengan seorang yang dikenal bernama Macan Wahan.
Macan Wahan itu tertawa. Katanya, “Apa yang dapat kita lakukan?“
“Kau berhati kerdil” berkata Ki Dukut yang datang ke padepokan Macan Wahan.
“Jangan berkata begitu Ki Dukut” jawab Macan Wahan, “kau yang telah terusir dari istana muridmu itu, nampaknya menjadi sakit hati dan berusaha untuk mendapatkan dukungan yang kuat agar kau dapat membalas dendam”
“Pandanganmu cukup tajam” jawab Ki Dukut, “tetapi ada yang kurang. Kau belum menyebut apakah kepentinganku dengan kedua orang muridku itu”
“Katakan“
“Niatku untuk merebut Kediri dari tangan Singasari itulah yang membekali aku untuk memasuki lingkungan para bangsawan di Kediri” berkata Ki Dukut, “tetapi aku gagal, karena seorang dari muridku itu ternyata seorang pengecut”
“Kuda Padmadata?“ bertanya Macan Wahan.
“Ya. Adiknya memiliki keberanian yang dapat aku banggakan. Aku berusaha untuk memupuknya. Tetapi keberanian itu telah terbentur pada sikap kakaknya. Bahkan kakaknya telah sampai hati menjerumuskan adiknya ke lubang kematian”
“Kau berkata sebenarnya?“ bertanya Macan Wahan.
Ki Dukut menjadi berdebar-debar. Menurut djgaannya, tidak banyak orang yang mengetahui persoalan yang sebenarnya antara dirinya dengan Pangeran Kuda Padmadata. Tidak banyak orang yang tahu persoalan yang timbul antara dirinya dengan seorang perempuan yang ternyata anak Ki Wastu yang kemudian diperisterikan oleh Pangeran Kuda Padmadata.....
Karena itu, maka iapun mencoba menjajagi, “Menurut pendapatmu. apakah aku telah berdusta?“
“Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi kau dapat saja membuat ceritera yang sangat menarik tentang dirimu sendiri dan murid-muridmu itu” jawab Macan Wahan.
Ki Dukut tidak segera menjawab. Ia masih tetap bimbang, apakah sebenarnya Macan Wahan sudah mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya.
Namun Ki Dukut Pakering itu menarik nafas dalam-dalam ketika Macan Wahan itu berkata, “Ki Dukut. Tentu aku tidak akan dapat mempercayai ceritera yang tersebar di Kediri, bahwa kematian Pangeran Kuda Rukmasanti itu karena satu kecelakaan. Karena ada perampok yang memasuki istana. Bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Tetapi sudah tentu bahwa aku pun tidak dapat langsung mempercayai segala macan ceriteramu tentang kedua murid-muridmu itu”
Ki Dukut pun kemudian tertawa. Katanya, “Memang aneh. Aku sudah barang tentu akan tertawa mendengar ceritera tentang perampok-perampok itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata memiliki kecakapan yang licik untuk membunuh adiknya. Ada beberapa alasan. Ia merasa iri, bahwa adiknya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi yang lebih parah adalah perasaan cemburu yang membakar jantungnya. Namun ada pula perselisihan pendapat di antara mereka tentang masa depan Kediri”
“Kau kira aku berkepentingan dengan masa depan Kediri dan Singasari” bertanya Macan Wahan.
“Ada atau tidak ada, tetapi apakah kira-kira sama sekali tidak ada rasa tanggung jawabmu barang setitik terhadap tanah kelahiranmu?“ bertanya Ki Dukut.
“He, kau kira aku lahir dimana?“ tiba-tiba Macan Wahan tertawa, “aku tidak lahir di tlatah Kediri atau Singasari”
“Dimana kau lahir?“ bertanya Ki Dukut.
“Aku lahir diatas tanah perdikan. Seperti sekarang aku merasa tidak berada di bawah pemerintahan Kediri maupun Singasari” jawab Macan Wahan.
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Tetapi bagaimanapun juga. sebenarnya kau dapat berbuat sesuatu. Aku masih akan selalu berusaha, agar Kediri dapat bangkit untuk melepaskan diri dari Singasari. Bahkan aku ingin mengembahkan kebesaran Kediri dengan Menghapuskan arti Singasari dan menjadikan kembali sebagai Tanah Pakuwon. dibawah pimpinan seorang Akuwu”
“Kau sedang bermimpi” desis Macan Wahan.
“Tidak. Orang-orang Kediri sekarang sedang tidur nyenyak. Soalnya, bagaimana membangunkan mereka. Aku sama sekali tidak mempunyai satu keinginan intuk mendapatkan derajad atau pangkat apapun juga, selain didorong oleh satu perasaan tanggung jawab terhadap bumi kelahiranku” berkata Ki Dukut., “orang yang akan bangkit untuk mengedalikan pemerintahan di Kediri. Semula aku telah mempersiapkan kakak beradik Kuda Padmadata dan Kuda Rukmasanti untuk mengimbangi dua orang saudara sepupu yang memerintah di Singasari. Aku yakin, kedua Pangeran dari Kediri itu akan mempunyai Pengaruh jauh lebih besar di Kediri itu sendiri, sehingga kekuatan di Kediri akan bangkit. Tetapi sayang, salah seorang dari kedua Pangeran itu ternyata tidak jujur” desis Ki Dukut.
“Apakah kau masih mungkin dapat berhubungan dengan para bangsawan di Kediri?“ bertanya Macan Wahan.
“Aku yang tidak percaya lagi kepada para bangsawan. Mereka masih tetap hidup senang dalam keadaan yang seperti sekarang ini. Itulah kelicikan orang-orang Singasari, sehingga para bangsawan di Kediri seolah-olah telah tertidur karenanya di atas alas keresahan rakyatnya.
Macan Wahan mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengetahui arah pembicaraan Ki Dukut Pakering, Meskipun ia tidak segera bertanya, tetapi terasa oleh Ki Dukut, bahwa pertanyaan itu telah menyangkut di hatinya,
“Kita harus lebih teliti melihat kenyataan yang terjadi di daerah Kediri” berkata Ki Dukut kemudian, “karena itu aku menganggap bahwa kekuatan yang terbaik tidak terletak pada para bangsawan yang telah dibius dengan hidup bermewah-mewah oleh orang-orang Singasari. Tetapi kita harus menggerakkan rakyat yang hampir kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya oleh penderitaan yang tidak tertanggungkan.”
Macan Wahan mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Aku menjadi semakin bingung. Apakah keresahan di antara rakyat Kediri itu terasa ditumbuhkan oleh sikap para bangsawan. He, apakah kau tidak mendengar, betapa para perampok-perampok kerdil telah menggelisahkan rakyat di padesan. Bukankah Kediri justru merasa wajib untuk menindas para perampok di tlatah Kediri seperti yang terjadi akhir-akhir ini?“
Jantung Ki Dukut berdesir. Ia mengerti, bahwa Singasari dan Kediri agaknya sudah mengambil sikap tegas terlalu, ”kenapa kau datang kemari” bertanya Macan Wahan.
“Kita dapat berbicara tentang masa depan Kediri” jawab Ki Dukut.
Macan Wahan tertawa pula. Katanya, “Kau memang orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan Kediri”
“Aku sudah tidak mempunyai pamrih apapun bagi diriku sendiri” sahut Ki Dukut.
“Terserah kepadamu” gumam Macan Wahan, “tetapi agaknya aku memang berbeda. Jika aku berbuat sesuatu, tentu aku mempunyai pamrih”
“Untuk perbuatan yang lain dari ungkapan rasa tanggung jawab terhadap bumi kelahiran, terserah. Tetapi apakah kau juga mempunyai pamrih pribadi jika kau berbuat sesuatu atas Kediri” bertanya Ki Dukut.
“Tentu. Apalagi aku memang merasa bukan orang yang lahir dalam lingkup kekuasaan Kediri” jawab Macan Wahan.
“Jika pamrih pribadi itu ada, apakah kau dapat menyebutkannya?” bertanya Ki Dukut.
“Tentu. Misalnya, bahwa aku akan dikukuhkan kedudukanku sebagai pemimpin atas tanah yang aku anggap tanah perdikan ini. Bahwa dengan daerah yang dua tiga kali lebih luas dari yang aku kuasai sekarang. Mungkin seluas Tanah Pakuwon atau mendekati kekuasaan seorang Akuwu di atas tanah yang tidak di bawah perintah” berkata Macan Wahan.
“Itu berlebih-lebihan. Kekuasaanmu akan melampaui kekuasaan-seorang Akuwu” desis Ki Dukut.
“Apa pedulimu? Tetapi sudahlah, jangan bermimpi. Aku juga tidak ingin mimpi. Marilah kita berbicara tentang persoalan-persoalan yang sewajarnya kita hadapi”
“Persoalan Kediri itupun persoalan wajar. Tetapi aku kira yang kau katakan itu pun tidak mustahil, asal kita sendiri dapat ikut menentukan jalannya pemerintahan kelak” berkata Ki Dukut.
“Maksudmu?“ bertanya Macan Wahan.
”Kita harus mempunyai pengaruh yang kuat terhadap para perampok yang telah digerakkannya dengan nama Rajawali Penakluk”
Namun ia berkata, “Perampok-perampok yang malang, tetapi kau tahu, apakah sebenarnya yang telah memaksa mereka menjadi perampok? Memang agak berbeda dengan apa yang kau lakukan. Kau tidak dapat disebut perampok seperti mereka, karena kau memang tidak merampok dan menyamun dalam pengertian sewajarnya”
“Jangan menyinggung perasaanku” potong Macan Wahan.
“Bukan maksudku. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa perampok-perampok kerdil yang tumbuh dimana-mana di tlatah Kediri itu adalah gambaran keresahan rakyat. Mereka tidak lagi mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itulah, maka mereka pun dengan mudah dipengaruhi oleh beberapa orang penjahat kecil. Mereka telah dibakar dengan keterangan-keterangan yang memang dapat membangkitkan kedengkian dan iri hati. Perampok-perampok kecil itu dengan tajam telah memberikan gambaran yang tajam tentang perbedaan tataran kehidupan rakyat Kediri. Karena itu maka mereka yang Kehilangan nalar, akan dengan cepat mengambil keputusan, benar atau salah”
“Lalu, apakah kau akan berbuat serupa?“ beritanya Macan Wahan.
“Ya. Tetapi untuk kepentingan yang besar bagi kejayaan Kediri” jawab Ki Dukut, “kita harus menggerakkan mereka”
“Mereka siapa?“ bertanya Macan Wahan.
“Rakyat Kediri yang malang” jawab Ki Dukut.
Macan Wahan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Dukutpun melanjutkannya, “Rakyat harus berbuat sesuatu tidak sebagai perampok-perampok kecil yang justru merugikan rakyat Kediri sendiri. Bukan harus saling memeras, saling menghisap dan saling merampas. Tetapi mereka harus bangkit untuk membangunkan para bangsawan yang telah tertidur. Barulah, jika para bangsawan itu telah terbangun dari mimpi mereka yang nikmat, maka Kediri akan bangkit kembali untuk menghancurkan Singasari yang semula tidak lebih dari sebuah Pakuwon, yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, dan yang kemudian direbut oleh anak perampok bernama Ken Arok itu”
“Lalu apa keuntungannya?“ bertanya Macan Wahan.
“Kau ikut menjadi penentu. Karena itu, marilah kita berdiri di depan. Kita akan dapat menentukan ujud yang paling baik dari Kediri mendatang. Para bangsawan yang terbangun dari mimpi itu, akan terterima kasih kepada kita jika kelak mereka berhasil. Dengan demikian, meskipun kita tidak berdiri di paling depan, juga tidak mungkin untuk berada di atas tahta, namun kita telah ikut membuat pola dari satu pemerintahan yang besar di Kediri. Kita akan dapat ikut menantukan, siapakah yang sudah dianggap berjasa, dan mendapat imbalan yang sepadan. Mungkin tanah perdikan yang luas. Mungkin pangkat dan derajad, sebagai Akuwu misalnya. Atau imbalan-imbalan lain yang memadai”
“Apakah modal kita? Padepokan kecilku ini?“ bertanya Macan Wahan.
“Ya. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan berbuat bodoh. Kita akan mulai dengan perbuatan-perbuatan kecil yang akan dapat menarik perhatian. Mungkin kita akan dapat menghimpun orang-orang sesat yang menjadi perampok-perampok kerdil itu”
“Untuk apa?“ bertanya Macan Wahan.
“Ada dua keuntungan” jawab Ki Dukut, “Pertama kita akan mendapat kekuatan. Kedua, rakyat akan berterima kasih kepada kita, karena kita berhasil menghentikan kelakuan mereka”
Macan Wahan tertawa. Katanya, “Orang-orang Kediri telah melakukannya lebih dahulu. Mereka telah menyapu para penjahat kecil itu”
“Tidak apa. Biarlah mereka melakukannya sekarang. Tetapi kita akan dapat melakukannya dengan cara lain. Kekerasan akan menumbuhkan dendam. Dan orang-orang yang mendendam itu akan kita pergunakan. Selebihnya, bukankah kita mempunyai beberapa orang kawan yang tinggal di padepokan-padepokan yang terpencar?“ bertanya Ki Dukut.
“Padepokan yang mana?“ bertanya Macan Wahan.
“Hanya mereka yang mampu berpikir” jawab Ki Dukut, “aku sudah mencoba berhubungan dengan beberapa padepokan. Ternyata mereka lebih senang tidur mendekur seperti para bangsawan”
Macan Wahan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Kau nampaknya tidak berhasil mempengaruhi beberapa orang pemimpin padepokan. He, bukankah pendengaranku tidak salah? Kau pernah berusaha melakukannya sebelum kau datang kemari?“
“Ya. Aku telah menghubungi beberapa orang pemimpin padepokan untuk memulai dengan rencana besarku sebelum orang-orang Kediri membersihkan para perampok yang menurut pendengaranku dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu” berkata Ki Dukut kemudian, “tetapi aku gagal, karena tidak ada keberanian sama sekali di antara pemimpin padepokan yang berjiwa kerdil itu”
“Kaulah yang bodoh” berkata Macan Wahan sambil tertawa, “siapa yang telah kau datangi? Dan kenapa kau tidak lebih dahulu datang kepadaku?“
“Aku masih memilih. Aku ingin bekerja bersama dengan pemimpin padepokan yang tidak berhaluan hitam seperti kau. Tetapi ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa” berkata Ki Dukut Pakering.
Macan Wahan menegang sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Sekarang kau datang juga kepadaku. He, apakah kau baru melihat, bahwa kekuasaan ilmuku memiliki banyak kelebihan dari orang yang mengatakan dirinya bersumber pada ilmu putih. Siapakah yang menyebut ilmu hitam dan ilmu putih itu? Mungkin cara kita meneguk ilmu berbeda. Tetapi jika yang putih itu yang baik dan yang hitam itu yang buruk, maka sekarang kau ternyata telah datang kepada yang buruk”
“Semula aku memang menganggap begitu” jawab Ki Dukut, “menurut pendengaranku, cara yang kalian pergunakan untuk menyadap ilmu sangat mengerikan. Bahkan kadang-kadang tidak menghiraukan lagi nilai dan martabat manusia”
“Itu hanya dugaan. Mungkin menurut pendapat orang yang tidak menyukai perkembangan cabang ilmu dari perguruanku dan kawan-kawanku yang disebutnya berilmu hitam” berkata Macan Wahan. Lalu, “Tetapi kami memang mempunyai batasan dan ketentuan yang berat dan ketat. Ada beberapa keharusan yang tidak dapat disingkirkan dari perguruan kami. Tetapi maksudnya adalah, bahwa setiap orang yang menyelesaikan penyadapan ilmu di perguruan ini, benar-benar memiliki ilmu yang berbobot. Dan barangkali cara dan keharusan- keharusan itulah yang menyebabkan orang lain menilai cara-cara yang kami tempuh melanggar nilai dan peradaban manusia”
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin begitu. Tetapi aku tidak peduli cara yang kau tempuh. Aku hanya ingin kau bekerja bersama aku menegakkan kewibawaan Kediri kembali. Aku mempunyai cara dan jalan yang dapat ditempuh. Kau mempunyai kekuatan yang dapat disusun berdasarkan hubungan kita yang luas”
“Aku akan melihat, apa yang akan kau lakukan. Untuk sementara aku akan memberikan tempat kepadamu di padepokan ini. Mungkin aku dapat membantumu dalam beberapa hal. Aku dapat berhubungan dengan kawan-kawanku. Tetapi aku belum menentukan dengan pasti, apa yang akan aku lakukan” berkata Macan Wahan.
“Terserah kepadamu. Tetapi kita tidak boleh terlambat. Apakah kau tidak dapat mencium kelicikan orang-orang Singasari pada saat-saat terakhir? Mereka telah mengikut sertakan beberapa orang prajurit untuk membantu para pengawal dari Kediri melakukan tugasnya, terutama atas orang-orang yang tidak dikehendaki. Bukankah dengan demikian akan berarti kekuatan Singasari di Kediri akan semakin bertambah-tambah” berkata Ki Dukut, “tetapi yang lebih parah bukannya jumlah pasukan Singasari yang semakin banyak di Kediri. Tetapi bahwa rakyat Kediri akan merasa berterima kasih kepada orang-orang Singasari. Dengan demikian maka Kediri akan semakin lelap tertidur”
Macan Wahan tertawa. Katanya, “Aku akan memikirkannya bersama beberapa orang kawan. He, Ki Dukut. Jika semula kau curiga terhadap kami, sehingga kau lebih senang memilih orang-orang yang kau anggap berilmu putih, apakah tidak sewajarnya jika akupun mencurigaimu. Mungkin kau sekarang dapat bekerja bersama dengan kami yang kau sebut berilmu hitam. Tetapi jika Kediri telah tegak, dan kau berhasil menghimpun kekuatan dan membangunkan para bangsawan yang kau katakan tidur lelap itu, maka kaupun mulai bergerak. Tidak untuk memulihkan kebesaran Kediri dengan menggulung semua pengaruh Singasari, tetapi kau mulai dengan melenyapkan pengaruh kekuatan yang kau sebut ilmu hitam”
“Kau berprasangka” desis Ki Dukut.
“Tentu, seperti juga kau berprasangka” jawab Macan Wahan.
“Terserahlah atas penilaianmu. Aku bersedia menunggu di sini, meskipun akupun sadar, bahwa mungkin satu dua orang kawan-kawanmu akan berpendapat lain. Mungkin satu dua orang kawanmu justru ingin menangkap aku, memeras darahku untuk mencuci tangan mereka, agar kekuatan mereka bertambah-tambah karena mereka menganggap kemampuanku dan kesempurnaan ilmuku akan berpengaruh terhadap mereka” desis Ki Dukut.
Tetapi Macan Wahan tertawa. Katanya, “Itu adalah pengertian yang salah. Agaknya pengertian yang demikianlah, maka orang-orang diluar lingkungan kami menganggap bahwa ilmu kami adalah ilmu hitam”
“Apakah hal itu tidak pernah terjadi? Korban darah?“ bertanya Ki Dukut.
“He, kau ingin berbicara tentang Kediri atau tentang korban darah yang kau salah artikan itu?“ bertanya Macan Wahan yang masih juga tertawa.
Ki Dukut terdiam sejenak. Namun wajahnya nampak tegang. Sesaat ia memandang Macan Wahan yang tertawa. Sebenarnyalah, bahwa mungkin saja dapat terjadi seperti yang dikatakannya sendiri hampir diluar sadarnya itu.
“Tetapi aku bukan golek kayu yang dapat diperlakukan menurut kehendak mereka” berkata Ki Dukut yang merasa juga mempunyai kemampuan yang tidak kalah dari orang-orang yang berilmu hitam itu, “jika mereka memaksa aku berkelahi, maka aku akan mati bersama sedikitnya tiga atau empat orang di antara mereka”
Demikianlah, atas persetujuan Ki Dukut sendiri, maka ia telah berada di padepokan Macan Wahan. Sementara itu Macan Wahan telah memanggil beberapa orang kawannya yang terpilih untuk membicarakan persoalan yang dihadapi oleh Ki Dukut Pakering.
Ketika satu-satu mereka berdatangan, maka Ki Dukut itu pun menjadi cemas. Jika ada satu saja di antara mereka yang mengetahui dengan pasti persoalan yang tumbuh antara dirinya dengan muridnya yang kini tentu sedang memburunya itu, atau ada seorang di antara mereka yang mengetahui bahwa Ki Dukut adalah juga orang yang bernama Rajawali Penakluk, maka pembicaraannya dengan Macan Wahan yang nampaknya sudah mulai mengena itu, tentu akan pecah lagi. Bahkan mungkin nasibnya akan menjadi lebih buruk lagi daripada apabila ia jatuh ke tangan muridnya.
“Apapun yang akan terjadi” berkata Ki Dukut. Sebenarnyalah, ketika empat orang telah berkumpul maka Macan Wahan telah mempersilahkan Ki Dukut hadir di antara mereka. Melihat wajah-wajah yang buram dan kelam, ada juga sedikit keragu-raguan di hati Ki Dukut.
“Jika hati mereka benar-benar tercermin pade wajah-wajah itu, sebenarnya mereka orang-orang berhati hitam” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “ternyata Macan Wahan yang garang itu termasuk wajah yang paling jernih di antara mereka”
Tetapi Ki Dukut agak merasa lega, ketika ia melihat pengaruh Macan Wahan yang besar atas keempat orang kawan-kawannya. Ia telah memberikan penjelasan menurut pendengarannya dari Ki Dukut. Dan selebihnya, ia telah mempersilahkan Ki Dukut untuk berbicara langsung kepada mereka.
Namun tanggapan yang pertama sangat mengecewakan. Seorang berwajah cacat dibawah telinga kirinya berkata dengan nada kasar, “jangan umpankan kami. Kami mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan hidup kami”
Macan Wahan tertawa. Katanya, “Kami sudah memilih dunia kami sendiri. Tetapi kadang-kadang kami terpaksa berpikir juga tentang anak cucu. Apakah kita akan tetap menimangi mereka di dalam dunia kita ini, atau memberikan nafas yang lebih baik bagi kehidupan mereka kelak”
“Kau mulai menjadi cengeng Macan Wahan“ berkata seorang yang berkumis dan barjambang lebat hampir menutupi mulutnya yang besar. Matanya nampak liar dan kemerah-merahan. sementara keningnya digores oleh bekas luka yang menyilang sampai ke dahi.
“Mungkin aku sudah menjadi cengeng” sahut Macan Wahan, “tetapi cobalah renungkan”
“Aku tidak sempat merenungi masalah-masalah cengeng seperti itu” sahut orang yang cacat dibawah telinga kirinya.
“Baiklah” berkata Macan Wahan, “terserah kepada kalian. Tetapi aku mempunyai anak dan cucu. He, siapakah di antara kalian tidak mempunyai anak dan cucu?”
“Anakku laki-laki telah memiliki kemampuan tingkat keenam belas dari perguruan kami” geram orang yang berbekas luka di kening.
“Apakah ukuran tingkat di dalam perguruanmu” bertanya Ki Dukut tiba-tiba.
Macan Wahanlah yang menyahut, “Kau akan dapat menafsirkan lain. Seperti yang kau sebut dengan korban darah itu”
“Aku ingin tahu, bagaimanapun juga aku menafsirkan” jawab Ki Dukut.
“Sulit untuk mengatakannya tanpa memberikan peragaan” jawab orang yang wajahnya berbekas luka itu., “Tetapi sebagai gambaran kasar. Baiklah aku sebutkan saja, bahwa ia telah berhasil membunuh dengan cara tertentu sesuai dengan tingkatannya”
“Bagaimana?“ desak Ki Dukut.
Macan Wahan tertawa. Katanya, “Kau mencari perkara Ki Dukut”
“Aku akan mengatakannya” sahut orang itu, “anakku telah berhasil membunuh lawannya dengan jari-jarinya langsung menusuk sampai ke jantungnya dan mengambilnya dari dadanya”
Terasa bulu tengkuk Ki Dukut meremang. Tetapi ia masih bertanya, “Siapa yang dibunuh dalam pendadaran untuk menentukan tingkat seperti itu?“
Orang yang terluka di kening itu tertawa berkepanjang an. Katanya, “Dapat terjadi pada setiap orang yang kami tangkap sengaja atau tidak. Mungkin seorang yang nasibnya memang sangat buruk. Dalam kesempatan yang pendek karena didesak oleh waktu, kami bertemu dengan seseorang, siapapun mereka. Laki-laki atau perempuan”
”Mungkin dapat terjadi atasmu“ tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk menyambung sambil tertawa pula.
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia bertanya, “Kau memakai cara yang sama?“
Orang bertubuh gemuk itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak mau mempergunakan cara yang setengah-tengah seperti itu. Aku memilih cara yang pasti, menyakinkan dan akan diterima dengan baik oleh sesembahan kami”
Jantung Ki Dukut serasa berdenyut semakin cepat. Yang dihadapinya saat itu adalah benar-benar orang yang tidak dapat dikatakan lain, kecuali disebut orang-orang gila yang berhasil memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka mereka justru adalah orang-orang yang sangat berbahaya.
Bagi Ki Dukut, di antara mereka. Macan Wahan adalah orang yang paling jernih nalarnya. Yang masih sempat berpikir bagi masa yang lebih panjang.
Dalam pada itu, Macan Wahan pun berkata, “Sebaiknya kita berbicara tentang Kediri. Tidak tentang cara kita menyadap ilmu kita masing-masing. Kita mempunyai cara yang berbeda-beda. Kita tidak usah mencampurinya. Apapun yang kita lakukan, sepenuhnya adalah hak kita”
“Berbicaralah tentang Kediri” berkata orang yang bertubuh gemuk, “aku sudah puas dengan kebanggaanku sendiri”
“Apakah tidak sebaiknya kita berbicara tentang satu masa yang lebih panjang dari umur kita sendiri” berkata Macan Wahan.
“Sudah aku katakan” desis orang yang wajahnya terluka dan berkumis dan berjambang lebat, “aku tidak mau berbicara tentang masalah-masalah cengeng seperti itu. jika aku tahu, bahwa di sini kita hanya disuguhi dengan masalah-masalah yang tidak berarti, kami tidak akan datang”
“Kalian orang-orang yang tidak mau berpikir” berkata Macan Wahan, “masalahnya bukan tidak berarti, tetapi justru sebaliknya. Mungkin bagi kalian terlalu berarti, sehingga kalian tidak mampu menjangkau jarak waktu yang diperlukan untuk memperhitungkan persoalan ini. Karena hidup kalian adalah masa kini. Tanpa masa depan.
“Sudah cukup” potong orang yang bertubuh gemuk, “sebenarnya apa yang terjadi atasmu Macan Wahan. Kau seperti orang yang sedang kesurupan. He, apakah orang ini yang telah berhasil merubah caramu berpikir?”
“Aku berpikir sejak semula. Terasa di hatiku sejak aku belum bertemu dengan Ki Dukut, bahwa hidup kita tidak terbatas pada batas umur kita sendiri” berkata Macan Wahan.
“Macan Wahan” berkata orang yang cacat dibawah telinga kirinya, “kau agaknya sudah terbius oleh bujukan orang ini. Apakah sebenarnya yang dikehendakinya? Buat apa kita berbincang dengan orang yang tidak tahu diri itu? Sebaiknya orang yang demikian itu hanyalah sekedar untuk menjajagi ilmu murid-muridku, sampai ditingkat mana ia berhasil menyadap ilmu diperguruanku. Ternyata disini. ia mendapat tempat yang agaknya sangat terhormat. He, apakah ia pamanmu, kakakmu atau siapa dan dalam hubungan yang bagaimana?”
“Ia bukan sanak bukan kadangku. Ia termasuk orang yang berilmu meskipun cara penyadapannya agak berbeda dengan kita. Dalam hubungan itulah kita berbicara“ jawab Macan Wahan.
Orang yang cacat dibawah telinga kirinya itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak yakin bahwa ia memiliki ilmu yang memadai untuk berbicara dengan kita. Sebaiknya kita pergi saja daripada membuang waktu. Jika kami tidak menghormatimu Macan Wahan. maka orang ini tentu sudah aku tangkap dan aku hadapkan kepada murid-muridku untuk melihat tingkat kemampuan anak-anak itu”
“Kau salah menilai orang ini” jawab Macan Wahan, “tetapi jika kau perlu meyakinkannya, terserah kepada Ki Dukut. Apakah ia bersedia untuk memberikan keyakinan kepada kalian, bahwa ia mempunyai hak untuk berbicara dengan kita dalam tataran ilmu yang setingkat”
“Jangan mencelakai tamumu yang nampaknya sangat kau hormati itu Macan Wahan. Biarlah kami pulang meskipun sambil mengumpat di dalam hati” berkata orang yang cacat itu.
Tetapi orang yang berkumis dan berjambang lebat serta segores bekas luka dikeningnya itu berkata, “Aku sudah terlanjur bernafsu untuk menjajagi ilmunya. Mungkin ia memiliki sesuatu yang menarik. Aku kira aku memerlukannya. Tentu saja jika Macan Wahan mengijinkannya”
“Jawablah Ki Dukut” berkata Macan Wahan.
Ki Dukut lah yang mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia pun seorang yang yakin akan ilmunya. Meskipun ia merasa ngeri melihat wajah-wajah itu, serta ngeri mendengar apa saja yang pernah mereka lakukan, namun berhadapan dangan mereka. Ki Dukut sama sekali tidak menjadi gentar.
Karena itu, Ki Dukut pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan memenuhi keinginan kalian. Siapa yang ingin menjajagi kemampuanku agar kalian yakin bahwa aku dapat berbicara sesuai dengan tingkat kemampuanku di antara kalian. Siapa yang harus berdiri menjadi lawanku? Kalian dapat mengajukan diri, tetapi dengan keikhlasan untuk mati tanpa dendam”
“Gila” geram orang yang bertubuh gemuk, “ternyata orang ini sangat sombong”
“Sombong atau tidak sombong, tetapi kita harus berjanji. Janji jantan. Siapa yang memasuki arena, bersedia untuk mati. Kematian itu sudah disepakati bersama dibawah saksi kita semua yang masih sempat hidup, bahwa kematian itu tidak akan menyeret persoalan-persoalan lain. Sementara kita yang masih hidup akan berbicara tentang Kediri” jawab Ki Dukut.
“Aku akan memilin lehernya sampai putus” geram orang bertubuh gemuk itu.
“Serahkan kepadaku” berkata orang yang cacat dibawah telinga kirinya, “aku ingin memeras darahnya sampai kering. Mungkin darahnya akan bermanfaat bagiku”
“Tidak akan berharga sama sekali” geram yang berkumis dan berjambang lebat serta segores bekas luka dikening, “tetapi biarlah aku mencincang dengan tanganku”
Dalam pada itu, Ki Dukut dengan-hati yang berdebar-debar menunggu, siapakah di antara mereka yang di sepakati untuk berperang tanding.
Sementara itu, ketiga orang kawan Macan Wahan itu masih berebut untuk menjadi lawan Ki Dukut. Mereka menganggap bahwa dengan membunuh orang yang juga memiliki ilmu, akan dapat menambah ilmu mereka sendiri. Bahkan kadang-kadang dengan cara yang aneh, yang mengerikan, sehingga mereka disebut orang berilmu hitam. Akhirnya ketiga orang itu menemukah satu cara untuk menentukan, siapakah yang akan bertempur melawan Ki Dukut. Orang yang bertubuh gemuk itu kemudian mengajak kedua orang kawannya berdiri saling berhadapan.
“Kita akan mengangkat tangan kita dan mengucapkannya kedepan. Terlentang atau menelungkup” berkata orang yang gemuk itu, “siapa yang paling berbeda dari yang lain, maka ialah yang menang dan berhak untuk membunuh dan menghisap darah orang dungu itu”
“Baik” desis orang yang cacat dibawah telinga kirinya, “kita akan segera mulai. Waktuku sudah tersia-sia. He, bagaimana dengan kau Macan Wahan?”
Macan Wahan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak ragu-ragu lagi atas orang yang memang sudah aku kenal ini. Ia memiliki ilmu yang pantas, sehingga ia akan dapat berbicara diantara kita. Jika ada diantara kalian yang masih ingin menjajaginya, silahkan. Tetapi aku setuju, bahwa siapa yang turun kegelanggang akan mengikhlaskan kematiannya. Apakah Itu Ki Dukut Pakering, atau salah seorang dari kalian bertiga yang beruntung mendapat kesempatan berperang tanding”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar sudah menjadi cengeng. Tetapi baiklah jika kau tidak ingin ikut dalam kegembiraan ini” berkata orang yang berjambang dan berkumis lebat serta segords bekas luka dikening.
“Terserah. Tetapi aku sebagai tuan rumah memang tidak ingin merebut kegembiraan tamu-tamuku. Jika dengan membunuh orang itu kalian mendapat kegembiraan, maka silahkan. Lakukanlah. Aku akan ikut bergembira jika tamu-tamuku bergembira” jawab Macan Wahan.
“Gila, jangan hiraukan orang itu“ geram orang yang gemuk, “marilah kita mulai”
Ketiganya pun kemudian berdiri melingkar. Orang yang gemuk itupun mulai menghitung, “Satu, dua, tiga”
Orang bertubuh gemuk itu mengumpat. Ternyata telapak tangannya menelungkup seperti tangan orang yang cacat dibawah telinga kirinya.
“Kau bodoh. Kenapa kau samai aku, sehingga dengan demikian aku kehilangan kesempatan untuk melumatkan perut orang tua yang dungu itu” geram orang yang gemuk itu.
“Kau yang bodoh” sahut orang yang cacat dibawah telinganya itu.
“Jangan ribut” berkata orang yang berjambang dan berkumis lebat serta segores bekas luka menyilang di kening, “akulah yang mendapat kesempatan. Aku akan membunuhnya dengan caraku. Aku ingin mambuktikan, bahwa aku memiliki ilmu yang sempurna. Macan Wahan boleh percaya atau tidak. Tetapi segalanya akan tergantung kepada orang tua yang malang itu. Semakin tinggi kemampuannya mengimbangi ilmuku, maka ilmuku itupun akan nampak semakin sempurna. Tetapi jika ilmu orang itu hanya setataran alas dari ilmu pamungkasku, maka ilmuku tidak akan sempat nampak betapa agung dan angkernya”
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalian sudah menentukan. Marilah. Kita akan melihat, apakah aku akan mati, atau aku akan mendapat kesempatan berbicara tentang Kediri. Akupun sadar, tanpa membuktikah, bahwa aku memiliki kemampuan yang cukup untuk menempatkan diriku dijajaran orang-orang seperti kalian, aku memang harus membuktikan”
“Kita akan turun ke halaman” berkata orang berjambang dan berkumis lebat, “biarlah murid-muridmu menjadi saksi Macan Wahan. Tetapi mereka yang belum sampai pada tataran yang memungkinkan, jangan kau beri kesempatan untuk melihat. Mareka tentu akan pingsan karena aku akan menunjukkan satu ungkapan ilmuku yang paling dahsyat”
Macan Wahan tertawa. Katanya, “Mulailah. Aku mengenalmu seperti kau juga mangenal aku. Yang belum kau kenal adalah bakal lawanmu itu”
“Persetan” geram orang berkumis dan berjambang lebat itu.
“Apakah kita akan bersenjata atau tidak?“ bertanya Ki Dukut tiba-tiba.
Orang berjambang lebat itu tertawa. Katanya, “Itulah ukuranmu? Kau masih bertanya tentang senjata? Jika kau mau memakai senjata, pakailah segala jenis senjata. Tanganku lebih berbahaya dari senjata apapun juga”
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Orang itu terlalu yakin akan dirinya. Namun dengan demikian Ki Dukut memang harus berhati-hati menghadapinya. Mungkin orang itu memang memiliki ilmu iblis yang menggetarkan.
“Bilkiah” berkata Ki Dukut kemudian, “kita berjanji, bahwa kita masing-masing tidak akan mempergunakan senjata apapun juga kecuali tangan kita. Marilah. Aku sudah siap untuk mulai dengan permainan ini. Sekali lagi aku katakan, kita akan bertempur sampai kematian merenggut salah seorang di antara kita dari arena perang tanding. Tanpa dendam, tanpa persoalan samping yang akan dapat tumbuh. Yang berada diluar arena akan menjadi saksi”
Orang berjambang dan berkumis lebat itu tertawa berkepanjangan. Diantara suara tertawanya terdengar Orang itu berkata, “Kau tidak ubahnya seperti orang yang menggapai-menggapai menjelang tenggelam di dalam arus putaran. Tetapi baiklah katakan apa yang ingin kau katakan. Mungkin kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi”
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap sepenuhnya. Meskipun lawan Ki Dukut itu masih saja tertawa, namun ia sudah mulai bersungguh-sungguh mengamati sikap Ki Dukut.
Ki Dukut pun segera bersikap. Ia berdiri tegak menghadap lawannya. Kemudian satu kakinya melangkah setengah langkah ke depan. Baru kemudian ia merendah sambil memiringkan tubuhnya. Kedua tangannya pun terangkat dan bersilang di dadanya.
Lawannyapun telah bersiap pula. Sambil berteriak nyaring ia meloncat menyerang Ki Dukut Pakering.
Ki Dukut bergeser sedikit. Ia mengerti bahwa lawannya masih belum bersungguh-sungguh. Namun demikian ia tidak boleh lengah. Kekalahan dalam perang tanding itu berarti mati.
Karenanya serangannya tidak mengenai sasarannya, maka lawan Ki Dukut itu pun segera meloncat berbalik. Tetapi ternyata Ki Dukut bersikap sangat berhati-hati. Ia tidak segera menyerang, tetapi bersiap-siap untuk menerima serangan berikutnya.
Sebenarnyalah orang itu pun telah sekali lagi menyerang. Kakinya terjulur lurus menyamping, Ketika Ki Dukut menghindar setengah langkah, tiba-tiba saja lawannya berputar. Sekali lagi kakinya yang lain terjulur lurus mengarah lambung.
Hampir saja tumit orang itu menyentuhnya. Namun Ki Dukut masih sempat menarik tubuhnya selangkah surut. Bahkan kemudian dengan serta merta ia menghantam kaki lawannya yang terjulur.
Tetapi lawannya cepat menarik kakinya. Setengah langkah ia meloncat. Terdengar ia berteriak nyaring sambil merendah pada lututnya. Kedua kakinya yang renggang seakan-akan menggeletar. Sementara jari-jari kedua tangannya tiba-tiba saja telah mengembang, seperti jari-jari seekor harimau yang siap menerkam dan merobek tubuh mangsanya.
Ki Dukut mengerutkan keningnya, ia melihat satu tingkat perkembangan ilmu lawannya. Ia pun mulai melihat kegarangan ilmu orang berkumis dan berjambang lebat itu.
“Jari-jari tangannya itu tentu berbahaya” berkata Ki Dukut.
Sebenarnyalah bahwa orang itu telah berteriak sekali lagi. Dengan garangnya ia meloncat menerkam dengan jari-jari tangannya yang mengembang.
Ketika Ki Dukut mengelak, maka lawannya itu pun segera memburunya. Menerkamnya pula dengan loncatan panjang.
Beberapa kali Ki Dukut memang harus berloncatan menghindar. Ia masih ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh lawannya yang garang itu. Loncatan-loncatan dan teriakan-teriakan panjang dengan jari-jari tangan yang mengembang.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu mulai menjadi berdebar-debar. Namun orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinga kirinya itupun mengumpat. Yang gemuk berteriak, “Tikus kecil. Nasibnya sangat malang. Ia hanya mampu berloncatan menghindar. He, jangan segera bunuh orang tua sombong itu. Biarlah ia mengetahui, bagaimana perasaan seseorang yang menjadi sangat ketakutan menghadapi maut”
Sementara kawannya berkata lantang, “Nasibkulah yang buruk. Kenapa aku tidak mendapat kesempatan dengan permainan yang mengasikkan ini. Tentu senang sekali dapat melubangi dadanya dengan tangan dan mengambil jantungnya yang masih basah”
Macan Wahan lah yang berdiri diam sambil mengerutkan keningnya. Iapun menjadi kecewa. Ia ingin melihat Ki Dukut bertempur dengan garang. Meskipun seandainya ia akan kalah dan mati dibantai lawannya, namun perlawanannya yang kuat akan menyelamatkan tanggapan kawan-kawannya terhadap dirinya. Karena dengan demikian, ia tidak dapat dianggap mengotori diri berhubungan dengan orang yang tidak berarti sama sekali itu.
Tetapi perhatian orang-orang yang mengitari arena itu tersentak ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Ki Dukut lah yang menyerang. Tidak terlampau garang, tetapi kecepatannya bergerak benar-benar mengejutkan.
Dengan jantung yang berdebaran, lawannya berusaha mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil berteriak nyaring, lawannya telah membalas menyerang dengan jari-jarinya yang mengembang itu.
Ki Dukut yang gagal mengenai lawannya berputar. Ia tidak mengelakkan serangan lawannya. Tetapi dengan kakinya ia justru menghantam siku tangan lawannya yang sedang terjulur.
Sekali lagi lawannya terkejut. Dan sekali lagi terdengar teriakan nyaring. Lawannya tidak sempat mengelak lagi. Tetapi ia berusaha untuk menarik serangannya dan menghentakkan sikunya melawan serangan lawannya.
Ketika terjadi sebuah benturan, maka keduanya menyeringai menahan sakit. Namun ternyata Ki Dukut lebih cepat menguasai diri. Satu putaran kaki telah menyambar lawannya yang sedang berusaha menahan sakit pada sikunya.
Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu mengumpat sambil meloncat surut. Namun Ki Dukut cepat memburu dan mengayunkan tangannya.
Serangan Ki Dukut tidak dapat mengenai sasarannya karena lawannya masih sempat bergeser. Bahkan orang berjambang dan berkumis lebat itulah yang kemudian menyerang Ki Dukut dengan garangnya. Seolah-olah jari-jarinya yang mengembang ingin mencengkam isi dada Ki Dukut Pakering dan meremasnya sampai lumat.
Ki Dukut menyadari, jari-jari itu tentu akan sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk selalu menghindari. Bahkan kemudian iapun telah memutuskan untuk mempergunakan jari-jarinya. Namun cara Ki Dukut agak berbeda. Keempat jari-jari Ki Dukut merapat dengan ibu jari yang agak ditekuk ke dalam.
Dengan ujung jari-jarinya itulah maka Ki Dukut lah yang kemudian meloncat menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan. Ujung jari-jarinya langsung menusuk, menghantam pundak lawannya.
Ternyata kecepatan yang tidak terduga-duga itu tidak dapat diimbangi oleh lawannya. Karena lawannya tidak sempat mengelak, maka ia berusaha menangkis serangan itu. Tetapi ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari ujung jari Ki Dukut Pakering. Karena itulah, maka ujung keempat jari yang merapat itu meskipun tidak mengenai sasarannya, namun telah menyentuh lengan orang berjambang dan berkumis lebat itu.
Akibatnya sangat mengejutkan. Lengan orang berjambang itu bagaikan terkelupas. Perasaan pedih telah menyengat ketika darah mulai meleleh dari luka itu.
“Gila” geram orang berjambang dan berkumis lebat itu, “kau telah menitikkan darah dari tubuhku. Itu akan berakibat gawat bagimu”
Tetapi Ki Dukut justru tertawa. Katanya, “Sejak perkelahian ini dimulai, aku sudah bersiap menghadapi keadaan yang paling gawat sekalipun. Marilah, kau sudah mulai terluka. Titik darah yang mengalir dari lukamu, berarti susutnya ilmu iblis yang kau miliki dengan cara yang sebaliknya. Setitik darah yang kau hisap dari korbanmu, telah menambah kekuatan ilmu iblismu. Dan sebaliknya, setitik darah yang keluar dari tubuhmu, akan berakibat berkurangnya kemampuan dan kekuatanmu”
“Tutup mulutmu” teriak lawannya.
Tetapi Ki Dukut masih tertawa. Katanya, “Agaknya memang demikian anggapan orang-orang dungu seperti kau. Tetapi ketahuilah, bahwa titik darah itu tentu akan melepaskan kekuatan dan ketahanan seseorang. Dengan atau tidak dengan ilmu iblis”
Orang berjambang dan berkumis lebat itu berteriak keras-keras. Satu loncatan panjang yang tiba-tiba telah melontarkannya menyerang Ki Dukut. Tetapi Ki Dukut sempat mengelak. Namun lawannya yang bagaikan gila itu memburunya dengan jari-jari tangannya yang mengembang.
Ki Dukut menjadi semakin berdebar-debar. Lawannya benar-benar telah menjadi wuru. Agaknya ia sudah menggapai ilmu puncaknya yang diwarnai dengan kekuatan hitam kelam.
Sebenarnyalah bahwa orang berjambang dan berkumis lebat itu menjadi semakin liar. Matanya menjadi merah membara, sementara mulutnya nampak membusa, Namun yang mendebarkan jantung Ki Dukut adalah bahwa seolah-olah dari hidung orang itu telah membayang semacam asap yang kekuning-kuningan.
“Itu adalah kekuatan iblisnya” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Namun Ki Dukut pun mempunyai andalan ilmu puncaknya. Keempat jari-jarinya yang merapat itulah yang ke mudian bergetar. Seolah-olah tangannya itu mampu menentukan arah geraknya sendiri, sementara keempat jari-jarinya yang merapat menjadi sedikit lengkung pada ruas-ruasnya.
Ketiga orang yang memiliki kemampuan tertinggi dalam ilmu hitam yang menyaksikan pertempuran itu benar-benar menjadi berdebar-debar. Beberapa orang cantrik padepokan Macan Wahan pun sempat menyaksikan pertempuran itu. Mereka menjadi bingung, bagaimana mereka harus menilai kemampuan masing-masing.
Orang yang bertubuh gemuk itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi berkeringat. Ternyata bahwa orang yang bernama Ki Dukut itu memiliki ilmu yang cukup untuk melawan ilmu kawannya yang dianggapnya sebagai seorang diantara mereka yang memiliki ilmu terbaik, setingkat dengan Macan Wahan.
Kawannya, yang cacat dibawah telinga kirinya pun setiap kali menggeram. Ki Dukut benar-benar jauh melampaui dugaannya.
Sementara itu, pertempuran pun berlangsung semakin sengit. Masing2 telah mencapai puncak ilmu yang jarang ada bandingnya. Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu telah mengerahkan segenap kekuatan cadangannya dialasi dengan ilmu iblisnya. Kekasaran dan kebuasan nya menjadi semakin nampak pada puncak kemarahannya.
Sementara itu Ki Dukut pun. telah memutuskan untuk bertempur dengan segenap kemampuannya. Lawannya benar-benar seorang yang memiliki ilmu iblis yang berbahaya. Ketika tubuh Ki Dukut berhasil disentuh jari-jari lawannya yang mengembang, betapa perasaan panas telah menyengat kulitnya. Ujung jari-jari lawannya itu bagaikan bara api yang panasnya tidak terkira. Bekas sentuhan jari-jari itu pun kemudian menjadi hangus seperti benar-benar tersentuh api.
”Inilah ilmu iblisnya itu” geram Ki Dukut di dalam hatinya.
Karena itulah, maka Ki Dukut benar-benar bertempur dengan segenap kemampuan ilmu dan nalarnya. Ia mempergunakan perhitungan yang cermat. Kekasaran lawannya telah diperhitungkannya sebaik baiknya, karena bagaimanapun juga, kemampuan tenaga seseorang akan sampai ke batasnya.
Tetapi daya tahan orang berjambang dan berkumis lebat itu memang luar biasa, sehingga seolah-olah tenaganya sama sekali tidak menjadi susut.
Semuanya itu telah diperhitungkan sebaik-baiknya oleh Ki Dukut Pakering. Karena itu, maka ia pun bertempur dengan mantap dan tenang. Kekasaran dan kekerasan Lawannya sama sekali tidak mengejutkannya, dan apalagi membuatnya bingung.
Kecepatan bergerak. Ki Dukut lah yang membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung. Ki Dukut Pakering yang pernah disegani di Kediri, karena ia adalah guru sepasang kakak beradik trah bangsawan tertinggi di Kediri, benar-benar seorang yang pilih tanding.
Dengan kecepatan geraknya ia dapat menghindari hampir setiap serangan lawannya. Namun satu dua kali, ujung jari-jari tangan lawannya itu pun sempat juga membakar kulitnya, sehingga di beberapa tempat di tubuh Ki Dukut nampak luka-luka bakar yang kehitam-hitaman.
”Setan ini harus segera dimusnahkan” geram Ki Dukut didalam hatinya.
Dengan demikian, maka geraknya pun semakin bertambah cepat. Meskipun jari-jarinya tidak dapat membakar kulit seperti lawannya, namun setiap sentuhan jari tangan Ki Dukut yang merapat itu, seolah-olah sentuhan ujung senjata tajam yang dapat merobek kulit.....
PANASNYA BUNGA MEKAR : JILID 15