Panasnya Bunga Mekar Jilid 06


“Aku tidak gila,” berkata kakek itu. Kemudian, “Aku tidak bermaksud demikian. Aku ingin meyakinkan, apakah kau termasuk orang yang berniat buruk itu. Jika demikian, aku sudah bertekad untuk melindungi cucuku”


“Kakek menantang aku? Baiklah. Aku adalah Mahisa Bungalan anak Mahendra. Marilah, dengan atau tidak dengan tuduhan itu”

Orang tua itu menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Bungalan sejenak. Namun tiba-tiba saja ia melihat bibir Mahisa Bungalan tidak dapat menahan senyum.

“Ah, kau anak muda. Kau bergurau?”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya “Kakek memang lucu. Kenapa tiba-tiba saja kakek menghubungkan aku dengan orang-orang yang berniat jahat itu?”

“Aku hanya berhati-hati ngger. Tetapi sejak semula aku menganggap, bahwa kau tentu bukan dari golongan mereka”

“Dan sekarang? Apakah kakek sudah yakin?”

“Nampaknya aku sudah yakin. Kau adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra. He, bukankah kau tadi mengatakannya demikian?”

“Ya. Aku adalah anak Mehendra. Apakah kakek kenal Mahendra?”

Orang tua itu menggelengkan kepalanya, katanya “Tidak ngger. Aku tidak mengenalnya. Tetapi dengan demikian aku bertambah yakin, bahwa kau bukan salah seorang yang sedang memburu cucuku itu”

“Jika kakek sudah yakin, nah, katakanlah. Apa yang harus aku lakukan”

“Aku ingin mendapat bantuanmu melindungi anak itu ngger”

“Kakek juga bergurau. Kakek tentu seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Kakek sudah melihat aku bertempur melawan dua orang itu. Tetapi seandainya aku adalah pemburu anak itu, maka kakek akan melawan aku”

“Itu adalah kewajibanku” gumam orang tua itu.

“Aku dapat membedakan getar suara kakek yang penuh dengan keyakinan. Seolah-olah kakek ingin mengatakan, bahwa jika aku hanya seorang diri, maka aku tidak akan dapat mengalahkan kakek yang tua ini. Nah, kakek, kakek jangan bersembunyi lagi. Aku tahu, kakek memerlukan seorang yang sakti. Mungkin benar kakek masih memerlukan seorang kawan karena kakek benar-benar menghadapi kekuatan yang luar biasa”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Kau bukan saja seorang yang berilmu tinggi. Tetapi kau adalah seorang anak muda yang cerdik?”

“Jangan memuji lagi, kek. Jika kakek memang mempercayai aku, katakan, kewajiban apakah yang harus aku lakukan”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan saksama, seolah-olah ia masih ingin melihat isi dada anak muda itu.

“Anak muda” desis orang tua itu “aku mempercayaimu. Karena itu, aku akan mohon kepadamu, bersamaku menyelamatkan anak itu”

“Ya. Apakah harus aku lakukan?”

“Untuk sementara tidak apa-apa. Belum saatnya kita berbuat sesuatu. Menurut penilaianku, belum ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui bahwa anak itu berada di sini”

Mahisa Bungalanlah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Sukurlah. Tetapi sampai kapan aku harus menunggu?”

“Angger Mahisa Bungalan. Kita akan menentukan suatu waktu untuk membawa anak itu pergi ke tempat yang tidak akan dijangkau lagi oleh orang-orang yang mendengkinya itu”

“Kemana kek?” bertanya Mahisa Bungalan.

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya “Aku belum perlu mengatakan, apakah sebab yang sebenarnya dan kemana aku akan membawanya”

“Aku mengerti” jawab Mahisa Bungalan “kecurigaan itu tentu masih ada”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan begitu ngger. Tetapi sebelum kita melakukannya, jika angger berkenan, aku ingin berbuat sesuatu”

“Apakah yang akan kakek lakukan?”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Lalu “Angger Mahisa Bungalan. Aku mohon maaf sebelumnya. Bukan karena aku deksura atau tidak tahu diri. Tetapi selama ini aku belum pernah melihat seorang anak muda yang memiliki kemampuan dan kecerdasan berpikir seperti angger Mahisa Bungalan. Karena itulah, maka aku ingin memberanikan diri untuk menawarkan sesuatu kepada angger”

Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.

“Angger. Aku melihat bahwa ilmu angger adalah ilmu yang lengkap dan matang. Namun betapapun juga, bahwa yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu dimiliki orang lain. Meskipun aku adalah orang yang tidak berarti, tetapi aku memiliki yang agaknya belum angger miliki, meskipun apa yang angger miliki sudah jauh lebih banyak dari yang aku miliki”

“Mahisa Bungalan. Aku telah menyiapkan sebuah parang bagi angger saat angger bertempur. Angger memiliki ilmu pedang yang luar biasa. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa yang di miliki oleh seseorang, belum tentu dimiliki oleh orang lain” orang tua itu berhenti sejenak lalu, “angger Mahisa Bungalan. Karena aku ingin minta tolong kepadamu, maka akupun ingin agar kau tidak mengalami sesuatu apabila bahaya yang sebenarnya itu datang. Jika angger tidak berkeberatan, maka aku ingin memperlengkap ilmu yang sudah angger miliki. Yang tinggi tingkatnya dan yang matang. Namun ternyata bahwa aku memiliki sesuatu yang baru sedikit angger miliki”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tawaran itu membesarkan hatinya. Tetapi iapun harus berhati-hati karenanya. Ia tidak boleh dengan begitu saja mempercayai seseorang.

Karena itu, maka iapun harus menjajaginya. Ilmu apakah yang akan diberikan oleh orang tua itu. Mungkin ilmu yang akan dapat meningkatkan pengabdiannya. Tetapi jika ilmu itu dijiwai dengan ilmu yang hitam, maka ia akan dapat terperosok ke dalam keadaan yang bertentangan dengan keinginannya.

Agaknya orang tua itu dapat melihat keragu-raguan pada wajah Mahisa Bungalan, sehingga iapun kemudian berkata “Angger Mahisa Bungalan. Sudah barang tentu segalanya tergantung kepadamu. Tetapi aku bermaksud baik. Mungkin agak aneh, bahwa seseorang dengan begitu saja bersedia memberikan ilmunya kepada orang lain jika tidak ada pamrih apapun juga. Dan akupun mengakui, dan memang sudah aku katakan, bahwa aku memang mempunyai pamrih. Dan pamrih itu Sudah aku katakan”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Di luar sadarnya iapun kemudian mengangguk-angguk kecil. Katanya “Tentu aku akan sangat berterima kasih, kek. Tetapi aku sebaiknya dapat melihat, apakah yang kakek maksudkan dengan kelebihan itu. Apakah yang ada pada kakek itu dapat menyatu dengan bekal yang memang sudah ada padaku. Jika keadaannya sebaliknya maka justru aku akan kehilangan. Benturan ilmu di dalam diriku, akan dapat membuatku menjadi orang yang paling dungu di muka bumi ini”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya “Angger benar. Dan setelah aku melihat ilmu yang ada padamu, maka aku kira, apa yang aku tawarkan padamu itu sama sekali tidak akan bertentangan. Namun demikian, ada baiknya aku mengetahui, jenis ilmu apa sajakah yang memang sudah ada padamu. Maksudku, bukan bentuk wantahnya, tetapi jiwa dari ilmu yang angger miliki itulah”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang tua itu berkata “Marilah ngger. Kita pergi ke kandang sebentar”

Mahisa Bungalan masih saja ragu-ragu. Tetapi orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah tanpa menghiraukan Mahisa Bungalan lagi.

Mahisa Bungalan pun kemudian berdiri mengikutinya. Mereka melingkari rumah dan menuju ke kandang. Tetapi mereka tidak memasuki kandang yang gelap.

“Kita masuk ke sebelah dapur itu ngger. Ruang itu adalah ruang yang jarang sekali dibuka. Udaranya mungkin terasa pengab. Bahkan cucuku itupun tidak pernah memasuki ruangan itu”

Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ada sepercik keragu-raguan di dalam hatinya. Namun iapun kemudian mengikuti orang tua itu memasuki sebuah pintu ke dalam. ruang yang gelap.

“Aku akan menyalakan lampu” berkata orang tua itu.

Mahisa Bungalan menunggu sejenak ketika orang tua itu meraba-raba dinding dan membawa sebuah lampu minyak keluar. Sejenak kemudian iapun telah kembali dengan lampu yang menyala.

Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun dapat melihat seluruh ruangan itu. Tidak ada yang menarik perhatiannya. Ruangan itu seolah-olah kosong. Tetapi Mahisa Bungalan melihat beberapa jenis senjata tersangkut di dinding, beberapa utas tali terentang antara tiang dengan tiang dan beberapa tonggak bambu yang tertanam dengan ketinggian yang tidak sama.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati “Ternyata orang tua ini memiliki sanggar yang tersembunyi”

Justru karena itu, maka Mahisa Bungalan pun menjadi lebih berhati-hati. Ia belum tahu pasti, apakah orang tua itu benar-benar dapat dipercaya.

“Silahkan duduk ngger” berkata orang tua itu.

Mahisa Bungalan termangu-mangu, ia tidak melihat sebuah amben atau dingklik kayu. Karena itu, maka ia tetap saja berdiri.

Namun iapun kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat orang tua itu mendekati sebuah tonggak bambu yang tertanam. Tonggak itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Tanpa menghiraukan Mahisa Bungalan, maka iapun kemudian duduk di atas tonggak bambu itu. Bukan dengan kaki yang berpijak lantai sanggar untuk menjaga menjaga keseimbangannya. Tetapi iapun telah mengangkat kedua kakinya dan disilangkannya seperti seorang yang sedang duduk bersila.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa orang tua itu memiliki keseimbangan tubuh yang baik sekali, sehingga ia dapat duduk dengan cara yang aneh itu.

“Hanya permainan keseimbangan” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

“Silahkan” sekali lagi orang tua itu mempersilahkan.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Apakah iapun akan melakukannya duduk di atas ujung tonggak bambu setinggi amben?.

Karena Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu, maka sekali lagi ia mempersilahkan “Duduklah ngger”

Mahisa Bungalan tidak tahan lagi, dengan nada yang dalam ia berkata “Jangan bermain-main demikian kek. Marilah kita bersikap seperti orang-orang yang telah dewasa. Aku tahu, kakek senang bergurau. Tetapi menghadapi persoalan yang sungguh-sungguh, maka sebaiknya kita bersikap bersungguh-sungguh pula”

“O” wajah orang tua itu berkerut “jadi kau tidak berani melihat sikapku ngger. Bahwa dalam usia setua aku, keseimbanganku masih tetap utuh”

“Aku cukup heran kakek. Bahwa dalam usia setua kakek, keseimbangan kakek masih tetap utuh”

Namun sekali lagi Mahisa Bungalan terkejut. Orang tua itu bagaikan berkisar. Yang dilihatnya kemudian, orang tua itu bergeser dan melenting beberapa jengkal. Ketika ia mencapai keseimbangannya lagi, maka ia sudah berdiri di atas lututnya pada ujung patok bambu itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mulai menjadi jengkel dengan sikap orang tua yang masih saja bergurau itu. Ketika sekali lagi orang tua itu melenting dan tiba-tiba saja ia bagaikan berputar di udara, dan melekat pada ujung patok bambu itu pada kepalanya. Mahisa Bungalan duduk memeluk lututnya di atas lantai. Ia bahkan menggeretakkan giginya ketika ia melihat orang tua itu bermain-main dengan kakinya. Kaki itu sekali terbuka kemudian terkatup kembali. Bahkan kadang-kadang diputarnya kedua kakinya searah dan berlawanan arah.

Mahisa Bungalan benar-benar menjadi jemu, bahkan muak. Tetapi ketika ia hampir saja berteriak, tiba-tiba saja wajahnya menjadi tenang.

Terlonjak Mahisa Bungalan berdiri. Selangkah ia maju. Diamat-amatinya patok bambu yang bertebaran di beberapa tempat dalam sanggar itu. Bahkan diluar sadarnya ia telah meraba dan mengguncang salah satu di antaranya. Tetapi patok itu benar-benar tertanam dalam lantai tanah sanggar itu.

Ketika kemudian orang tua itu melenting dan berdiri pada kedua kakinya, Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata “Maaf Kiai. Kini memang mempunyai cara tersendiri untuk meyakinkan orang lain bahwa Kiai adalah seorang yang luar biasa. Tetapi cara Kiai yang nampaknya hanya bergurau itu membuat aku kurang sabar menunggu”

Orang itu tersenyum. Katanya “Itulah kelebihanku dari padamu. Permainan keseimbangan. Seandainya angger Mahisa Bungalan dapat juga bermain keseimbangan, namun kelebihanku adalah, bahwa aku tidak segan-segan melakukannya, meskipun angger akan marah kepadaku”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat patok tempat orang tua itu bermain-main telah terhujam semakin dalam. Bahkan kemudian patok yang semula setinggi amben itu telah menghunjam sampai setinggi mata kaki.

“Adalah kekuatan yang luar biasa. Nampaknya ia tidak berbuat apa-apa. Tetapi ia dapat menekan patok itu sedemikian dalamnya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

“Nah ngger. Ini adalah suatu permainan yang barangkali tidak penting bagi angger. Namun demikianlah yang barangkali dapat aku tunjukkan pada permulaan rencanaku untuk membuat angger memiliki sesuatu yang belum angger miliki. Aku tahu bahwa angger telah memiliki kekuatan yang luar biasa, yang tersalur dalam ungkapan ilmu tanpa senjata, dan terpusat pada tangan angger, maka angger akan dapat memecahkan batu padas sebesar gubug di sawah. Kekuatan itu pernah kau lihat tersalur pada permainan pedang angger yang tidak ada duanya. Namun angger, dengan kekuatan dasar yang lebih besar dan kecepatan bergerak yang lebih tangkas, maka angger akan menjadi seorang yang memiliki bekal sangat besar. Kemudian dengan bekal yang terserahlah apa yang akan angger perbuat. Apakah angger akan berada di jalur jalan pengabdian, atau sekedar menuruti keinginan pribadi atau bahkan akan mempergunakan kelebihan itu untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan, itu sepenuhnya tergantung kepada angger sendiri, aku mohon, angger dapat membantuku, mambawa anak itu ke suatu tempat yang akan aku katakan kemudian”

Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia sudah dibekali ilmu oleh ayahnya, Mahendra, oleh pamannya Witantra dan Mahisa Agni, dan beberapa cabang perguruan yang luluh menjadi satu ilmu yang dahsyat. Tetapi agaknya orang tua itu tidak akan mempengaruhi ilmunya dengan unsur-unsur gerak. Tetapi dengan kemampuan dasar yang mengalami segala macam ilmu yang ada padanya.

Jika kekuatan dasarnya memang meningkat, maka dalam pemusatan dan pelepasan ilmu pamungkasnyapun tenaga itu tentu akan menjadi berlipat ganda. Demikian juga kemampuannya bergerak akan menjadi semakin cepat dan tangkas dalam puncak ilmunya.

“Angger Mahisa Bungalan” berkata orang tua itu, “segalanya itu masih merupakan satu tawaran. Kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Bahkan seandainya kau bersedia membantuku untuk mengantar cucuku, tetapi menolak keinginanku untuk menambah-sesuatu pada angger Mahisa Bungalan, akupun akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih, karena angger pun memang sudah memiliki ilmu yang memadai. Tetapi dengan demikian maka hutangku akan menjadi terlalu besar kepadamu. Apalagi jika pada Suatu saat di perjalanan, kau mengalami luka betapapun kecilnya karena kau sedang membantuku, maka hutangku tidak akan tertebus sepanjang sisa umurku yang mungkin sudah tidak sepanjang umurmu lagi”

“Kakek, apakah kakek yakin, bahwa dengan memiliki bekal tambahan yang dapat kakek berikan pada dasar kekuatan dan kecepatan bergerak, aku akan selamat dari segala gangguan di perjalanan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“O, tentu tidak ngger. Tentu tidak. Tetapi segala usaha itu akan baik dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak kita inginkan. Namun usaha itu merupakan suatu kewajiban bagi kita”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai yakin bahwa ilmu orang tua itu bukannya ilmu dari dunia yang hitam, yang dapat mempengaruhi sikap dan cara berpikir seseorang, sehingga pandangan hidupnyapun akan terpengaruh pula karenanya.

“Angger Mahisa Bungalan” berkata orang tua itu, “aku tidak tergesa-gesa. Aku menunggu kapan saja kau akan menjawab. Tetapi sekali lagi, aku hanya memiliki sesuatu yang barangkali tidak begitu berharga. Namun hal itu akan dapat membantu yang sudah ada pada diri angger”

“Aku akan memikirkan kakek. Besok aku akan mengatakan, apakah aku bersedia atau tidak” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, Lalu “tetapi kenapa kakek memilih aku?”

“Angger Mahisa Bungalan” jawab kakek itu “hampir setiap hari aku mencari seseorang yang dapat menolongku. Tetapi aku tidak pernah menjumpainya. Sekali-kali aku melihat satu dua orang anak muda yang dengan kepala tengadah memamerkan kemampuannya. Tetapi selain hanya kesombongan yang kosong. Adalah kebetulan sekali aku melihat angger mengalami bencana di perjalanan karena dua orang kasar itu. Namun semuanya telah teratasi”

“Dan karena itu kakek memilih aku?”

Orang tua itu mengangguk sambil menjawab “Ya ngger”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia memang tidak dapat menolak permintaan orang tua itu untuk menolongnya, mengantar cucunya ke tempat yang akan ditentukan kemudian. Namun mengenai ilmu itu sendiri, ia masih tetap ragu-ragu. Ia sudah memiliki dasar ilmu yang sangat dahsyat dari ayahnya, Mahisa Agni dan Witantra. Ia hanya tinggal mengembangkan kesempurnaannya saja di dalam dirinya, meskipun Mahisa Bungalan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang akan menjadi sempurna.

Orang tua yang mengetahui keragu-raguan Mahisa Bungalan itupun berkata “Marilah, kita akan beristirahat. Tetapi yang perlu angger ketahui adalah, bahwa yang dapat aku berikan kepadamu adalah sekedar dorongan kemampuan dan ilmu yang sudah ada pada angger sendir Pada saat-saat permulaan, angger dapat mengetahui, apakah yang akan aku berikan itu akan justru dapat menganggu ilmu yang sudah angger miliki, atau benar-benar dapat memacu untuk berkembang lebih cepat tanpa menyisipinya dengan unsur-unsur lain. Ilmu yang sudah ada pada angger itu akan tetap pada bentuk, ujud dan sifatnya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian “Baiklah kakek. Aku akan memberikan jawabannya besok”

Orang tua itu tersenyum. Katanya “Angger memang seorang yang cukup berhati-hati. Tetapi justru karena itu, aku semakin mengagumimu. Sekali lagi aku harus mengakui, bahwa pada dasarnya ilmu yang kau miliki adalah jauh lebih baik dari ilmuku sendiri. Tetapi hanya karena ketuaanku sajalah, maka aku dapat memberikan sesuatu yang belum angger miliki. Meskipun sebenarnya, banyak sekali yang angger miliki tetapi tidak aku punyai”

Dengan demikian, maka merekapun kemudian keluar dari sanggar yang tidak begitu luas itu setelah lampu dipadamkannya. Masing-masing segera pergi ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia mencoba untuk mengurai tawaran orang tua yang ternyata telah mendapat beban seorang cucu. Bukan saja dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari dari segi jasmani dan rohaninya, namun ternyata masih ada masalah lain yang harus diperhatikan, yaitu keselamatannya.

“Siapakah sebenarnya anak itu?” pertanyaan itu selalu menganggunya. Tetapi menilik ujud dan sikapnya, anak itu adalah anak yang baik dari lingkungan yang baik pula” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Beberapa hal yang dikenalnya dalam waktu dekat itu mulai diingat-ingatnya. Sikap, perkataan dan tingkah lakunya.

“Iapun orang tua yang baik. Aku tidak melihat tanda-tanda kekelaman hati. Entahlah jika mataku memang kabur memandanginya” desis Mahisa Bungalan.

Namun akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menjajagi ilmu orang tua itu. Apakah yang akan diberikan kepadanya.

“Jika ilmu itu bertentangan dengan sikap dan pandangan hidupku, maka aku akan menolaknya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Dengan keputusannya itu, maka akhirnya Mahisa Bungalan pun mulai merasa, matanya menjadi berat. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri “Jika ia berniat jahat kepadaku, maka nyawaku tidak akan diselamatkannya” Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia sadar bahwa orang tua itu telah menolongnya karena ia memerlukannya.

Tetapi akhirnya Mahisa Bungalanpun telah tertidur nyenyak. Ketika matahari mulai membayang di langit, maka isi rumah itupun telah terbangun pula. Seperti biasanya Mahisa Bungalan telah membantu pekerjaan mereka sehari-hari. Anak laki-laki yang disebut cucunya itupun dengan rajinnya menyapu halaman dan kebun di belakang.

Sehari itu, Mahisa Bungalan mencoba mengetahui sifat dan watak anak laki-laki itu. Ia ingin mengetahui serba sedikit latar belakang dari kehidupannya. Namun agaknya anak itu telah mendapat pesan dari kakaknya, bahwa ia harus berhati-hati. Karena tu maka anak itu nampaknya mempunyai perasaan yang tertutup. Ia tidak mudah mengatakan sesuatu.

“Pesan saja tidak cukup kuat untuk mengatupkan hatinya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “tentu ada sesuatu yang pernah terjadi atasnya, sehingga meskipun ia masih kanak-kanak, tetapi ia sudah mampu menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan keadaan dirinya dan bersikap sangat hati-hati. Tentu sesuatu yang terjadi itu benar-benar mengguncang perasaannya dan sangat berkesan di hatinya”

Tetapi Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk berbicara. Ia hanya sekali-kali saja bertanya sambil tersenyum. Namun jika kening anak itu mulai berkerut, Mahisa Bungalan segera mengalihkan pembicaraannya.

Meskipun Mahisa Bungalan tidak mendapatkan keterangan apapun juga tentang anak itu, namun ia mulai tertarik kepadanya. Anak itu ternyata adalah anak yang rajin. Rendah hati dan sama sekali tidak menunjukkan kemanjaannya. Adalah wajar sekali bahwa sekali-kali anak itu menginginkan sesuatu. Tetapi tidak berlebih-lebihan dan dengan pengertian yang tinggi terhadap kemampuan dan kemungkinan yang dapat diadakan oleh kakeknya yang tua dan miskin.

Ketika kemudian langit menjadi merah dan matahari tenggelam di Barat. Mahisa Bungalan mulai menilai dirinya sendiri. Ia menjadi berdebar-debar juga menghadapi ilmu yang akan diberikan oleh orang tua itu, meskipun secara kasar ia dapat merabanya. Seperti dikatakan oleh orang itu, bahwa ilmu itu akan berkisar kepada pernafasannya dan mengungkapkan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya.

Demikianlah, maka akhirnya Mahisa Bungalan pun bersedia untuk menerima ilmu orang tua itu, yang menurut pengakuannya, satu-satunya kemungkinan yang dapat diberikan kepada Mahisa Bungalan, karena pada bagian yang lain, justru Mahisa Bungalan telah memiliki jauh lebih lengkap Tetapi yang akan diberikan itu akan dapat menjadi alas dan pendukung dari setiap kemungkinan perkembangan ilmu Mahisa Bungalan.

Ketika malam kemudian turun, dan cucu kakek tua itu sudah tertidur, nyenyak, maka mulailah Mahisa Bungalan berada di ruang yang terasing itu. Seperti yang sudah di katakan oleh kakek tua itu, maka yang kemudian diberikan kepada Mahisa Bungalan adalah tuntunan pernafasan.

“Kau tentu sudah mempelajarinya dengan baik” berkata orang tua itu “tetapi ada kemungkinan untuk mengembangkannya dengan cara yang khusus. Cara yang kebetulan saja aku temukan di luar kehendakku sendiri, karena seseorang yang tidak banyak dikenal telah memberikannya kepadaku”

“Siapakah orang itu kakek?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku menemukan seorang tua yang sudah sangat lemah terbaring di hutan ilalang. Aku tidak tahu, apakah sebabnya dan siapakah orang tua itu?”

“Bukankah kakek dapat bertanya kepadanya?” Orang tua itu menggeleng. Jawabnya “Tidak banyak kata-kata yang dapat diucapkan. Ketika ia yakin, bahwa aku tidak berbuat jahat dan justru berusaha menolongnya, maka iapun memberikan beberapa petunjuk kepadaku tentang sebuah kitab rontal yang disimpannya. Agaknya ia juga berusaha memperkenalkan dirinya. Tetapi aku tidak jelas, siapakah orang itu dan darimana asalnya”

“Apakah ada tanda-tanda penganiayaan atau bekas-bekas perkelahian atau tindakan kekerasan yang lain?”

Orang tua itu menggeleng. Katanya “Nampaknya tidak. Orang itu memang sudah terlalu tua. Aku menduga, hanya sekedar menduga, karena aku tidak mempunyai saksi akan kebenarannya, bahwa orang tua itu telah duduk di sebuah batu hitam untuk waktu yang lama di tempat itu. Aku melihat sebuah batu hitam tidak jauh dari tempat orang itu terbaring. Aku melihat beberapa buah lubang di seputar batu itu, nampaknya seperti bekas jari-jari tangan”

“Bekas jari-jari tangan?”

“Bayangkan, betapa besar kekuatannya. Orang itu duduk bertapa di atas sebuah batu, sementara tangannya menyentuh batu hitam itu dengan meninggalkan bekas-bekas jari. Agaknya hal itu dilakukannya di saat-saat terakhir dari hidupnya, sebelum ia dengan ikhlas, berbaring di rerumputan ilalang di saat terakhir. Namun sebelum ia meninggalkan segala-galanya, ia masih menunggu seseorang untuk menguasai ilmunya yang luar biasa itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata “Dan kakek menguasai isi kitab rontal itu?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah mencobanya. Tetapi bekalku terlampau sedikit, sehingga yang aku capaipun tidak memadai. Meskipun demikian ada sebagian daripadanya yang benar-benar aku pahami. Yaitu dasar dari segalanya yang dapat memberikan landasan pada ilmu yang manapun juga, karena sifat dan wataknya yang hanya merupakan pendukung saja”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam, “Orang tua itu tentu orang tua yang luar biasa.”

“Ya. Tetapi bahwa ia kemudian terasing itulah yang mengherankan. Sampai saat ini aku tidak mengetahui, apakah ia mempunyai satu dua orang murid yang tidak dapat ditemuinya di saat terakhirnya, atau orang tua itu memang tidak mempunyai seorang murid pun sehingga ia menyerahkan kitab itu kepada orang yang terakhir ditemui di saat ia menjelang kembali ke Tuhan Yang Maha Agung”

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya “Kek. Apakah isi yang lain dari kitab itu?”

Orang tua itu termangu-mangu. Katanya kemudian “Ada, bermacam-macam ngger. Tetapi yang lain akan dapat menumbuhkan persoalan yang memerlukan banyak pertimbangan. Mungkin dapat menumbuhkan pertentangan di dalam diri. Mungkin dapat menimbulkan benturan dan pergolakan di dalam tubuh dan penyaluran ilmu yang berbeda. Meskipun jika seseorang yang sudah memiliki pengamatan yang kuat, akan segera mengetahui, apakah dasar-dasar ilmu yang ada dan yang akan diserap itu dapat atau tidak dapat saling mengisi atau luluh sama sekali. Bahkan seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna akan dapat memanfaatkan ilmu yang bagaimanapun juga jauh berbeda sifat dan wataknya untuk mengisi sudut-sudut yang kosong dari ilmunya sendiri. Karena itulah, maka seseorang yang sudah berilmu tinggi, ilmunya justru akan lebih cepat berkembang”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa bukan wewenangnya untuk bertanya lebih jauh tentang kitab itu. Jika hal itu bukan suatu pantangan, orang tua itu tentu akan mengatakannya atau bahkan menunjukkannya.

Namun yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan adalah “Kek, dengan rontal itu di tangan kakek apakah persoalannya tidak bergeser dari persoalan yang kakek katakan. Apakah yang kakek sembunyikan dan yang ingin kakek sampaikan ke tempat yang belum kakek katakan itu justru kitab rontal itu, dan bukan cucu kakek”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Bukan ngger. Bukan. Aku berkata sebenarnya, bahwa cucukulah yang harus aku selamatkan. Kitab itu tidak seorangpun yang mengetahuinya, selain kau. Namun kemudian terserah kepadamu, apakah kau akan mengaduk ketenangan dengan berceritera tentang kitab rontal itu, sehingga banyak orang yang akan mengaku berhak memilikinya karena mereka adalah murid orang tua yang meninggalkan kitab rontal itu kepadaku”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah orang itu. Nampaknya ia bersungguh-sungguh. Bukan sekedar bergurau seperti yang sering dilakukannya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menjawab, “Apakah untungnya aku berbuat demikian? Seandainya aku ingin membuat kisruh, aku tidak akan berceritera kepada siapapun tentang kitab itu. Dan akulah orang pertama-tama akan mengaku bahwa aku adalah murid dari orang tua yang meninggal itu. Bahkan jika kakek tidak memberikan juga kitab itu, aku dapat memanggil beberapa orang yang dapat membantuku”

Orang tua itu tersenyum. Jawabnya “Aku percaya kepadamu ngger. Justru karena kepercayaanku itulah, aku mengatakan kepadamu serba sedikit tentang kitab rontal itu” ia berhenti sejenak, Lalu “Nah, sekarang bersiaplah. Aku ingin mulai dengan bentuknya yang paling sederhana dari ungkapan kekuatan raksasa yang ada di dalam dirimu yang akan dapat mendorong kekuatanmu berlipat. Apalagi dengan kekuatan cadanganmu”

Mahisa Bungalanpun segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian maka keduanya telah tenggelam dalam pemusatan pikiran dengan mengatur pernafasan mereka, sesuai dengan petunjuk dari orang tua itu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah mulai dengan sangat berhati-hati. Ia mulai dengan menjajagi kemungkinan yang tidak dikehendakinya yang dapat terjadi atasnya.

Namun ternyata bahwa dasar-dasar pengungkapan kekuatan yang diberikan orang tua itu, sama sekali tidak menumbuhkan gangguan di dalam dirinya. Sehingga dengan demikian, Mahisa Bungalanpun telah meningkatkan penempaan dirinya sesuai dengan petunjuk orang tua itu.

Beberapa saat telah dilaluinya. Cara yang dilakukan oleh orang tua itu, tidak terlalu berbeda dengan cara-cara yang telah dipelajari oleh Mahisa Bungalan. Namun ada beberapa hal yang menyimpang dan seolah-olah memberikan tekanan yang mendalam pada bagian-bagian tertentu dari cara-cara yang pernah dipelajarinya.

Untuk beberapa saat lamanya, maka Mahisa Bungalan pun duduk dengan menyilangkan tangan di dadanya berhadapan dengan orang tua itu. Dengan kalimat-kalimat pendek sambil memejamkan matanya orng tua itu memberikan tuntunan. Terus menerus.

Di luar sadar, maka Mahisa Bungalanpun telah sampai pada kemungkinan berikutnya. Seolah-olah di luar kehandaknya, maka iapun mulai berdiri karena petunjuk orang tua itu. Kata demi kata diucapkan, seolah-olah mencengkam kesadaran Mahisa Bungalan sehingga anak muda itu melakukan apa saja yang dikehendaki oleh kakek itu.

Sejenak keduanya telah berdiri berhadapan dengan tangan bersilang di dada. Kemudian keduanya mulai membuat gerakan-gerakan keseimbangan.

Mahisa Bungalan telah mempelajari ilmu kanuragan dengan lengkap sebelumnya. Karena itu, gerak-gerak keseimbangan itu sama sekali tidak ada yang baru baginya.

Namun demikian, dengan petunjuk-petunjuk khusus dari orang tua itu, seakan-akan ada yang mengalir di sepanjang urat darahnya. Namun Mahisa Bungalan cukup berhati-hati. Ia tidak dengan begitu saja menerima yang baru di dalam dirinya. Demikian ia merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya, maka iapun segera memusatkan pikirannya untuk membangun kembali kesadarannya seutuhnya. Ia mulai menjajagi perasaan yang asing itu, apakah mempunyai pengaruh yang tidak dikehendakinya.

Namun rasa-rasanya yang asing itu justru dapat sejalan dengan ilmu yang telah ada padanya. Yang asing itu tidak banyak menumbuhkan masalah di dalam dirinya, karena yang baru itu bagaikan menempatkan diri sebagai kekuatan yang mengalami kemampuan yang memang sudah ada dalam dirinya.

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tetap berhati-hati. Ia tidak menerima terlalu banyak pada hari pertama. Sehingga karena itulah, maka lewat tengah malam iapun menyatakan kepada orang tua itu, untuk menghentikan penyaluran ilmu itu.

“Aneh” berkata orang tua itu “kau sudah lelah?”

Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya “Aku harus menilai, apa yang telah terjadi dalam diriku. Sebelum aku dapat memutuskan apakah aku akan melanjutkannya besok malam”

Orang tua itu mengangguk-angguk Ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan memang cukup berhati-hati”

Karena itu. maka orang tua itupun tidak memaksanya. Iapun kemudian menghentikannya, dan mengajak Mahisa Bungalan keluar dari sanggarnya.

Orang tua itu pun mengerti, bahwa Mahisa Bungalan Ingin menjajagi perkembangan di dalam dirinya. Karena itu, maka dibiarkannya Mahisa Bungalan melakukan apa saja yang ingin dilakukannya. Ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak segera dapat tidur malam itu. Setelah membersihkan dirinya di pakiwan, maka iapun memasuki biliknya. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak untuk beberapa saat lamanya, meskipun pintu biliknya sudah ditutupnya.

Sambil berdiri tegak, Mahisa Bungalan seolah-olah meneliti seluruh bagian tubuhnya. Ia mencoba mengungkapkan segala macam ilmu yang pernah dimilikinya lebih dahulu. Luluhnya ilmu yang diterima dari ayahnya dan pamannya Witantra yang bersumber pada perguruan yang sama, serta ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni.

Namun seperti yang dirasakannya sebelumnya, segalanya tidak terganggu. Bahkan ia merasa, bahwa yang dilakukannya bersama orang tua itu, seolah-olah telah memberikan kemantapan pada setiap unsur ilmu di dalam dirinya.

“Aku harus mencoba dengan tata gerak” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Sehingga karena itulah, maka dimalam yang kelam itupun, dengan sangat hati-hati, agar tidak mengejutkan anak yang sedang tidur, iapun pergi keluar rumah.

Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu sendiri tentu belum tidur pula, dan mengetahui bahwa ia telah pergi keluar rumah. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mempedulikannya.

Ketika ia sudah berdiri di kebun belakang, di tempat yang terlindung, ia berdiri tegak sambil menjajagi pernafasannya. Sedikit demi sedikit, ia memusatkan segenap perasaan dan pikirannya. Dengan sangat hati-hati ia merasakan pada setiap tarikan dan pelepasan nafasnya.

Namun yang terasa, seakan-akan pernafasannya menjadi semakin lancar dan ruang-ruang di dalam rongga paru-parunya seakan-akan menjadi bertambah lapang. Sehingga dengan demikian, maka dukungan pernafasannya pada dasar ilmunya terasa menjadi semakin mantap.

Perlahan-lahan Mahisa Bungalan pun kemudian menggerakkan tangannya. Kedua tangannya diangkatnya tinggi. Kemudian direntangkannya ke samping dan dijulurkannya ke depan. Demikian dilakukannya beberapa kali, semakin lama semakin cepat.

Mahisa Bungalan sama sekali tidak merasakan hambatan apapun juga. Bahkan pernafasannya yang lapang, seakan-akan membuat gerakan tangannya semakin ringan dan cepat.

Beberapa saat kemudian, iapun berhenti. Yang kemudian digerakkannya adalah kakinya. Sebelah kakinya, kemudian berganti dengan kakinya yang lain. Akhirnya Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia berkata kepada diri sendiri “Aku menemukan sesuatu di sini”

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan memutuskan untuk mengikuti latihan-latihan berikutnya dari orang tua itu meskipun ia masih harus tetap berhati-hati. Ia tidak boleh lengah, bahwa tiba-tiba saja telah disusupi dengan ilmu yang akan dapat menghambat, bahkan mengganggu ilmu yang telah ada dalam dirinya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan telah duduk di serambi untuk mengeringkan keringatnya setelah ia mencuci kaki dan tangannya. Udara malam yang sejuk dan semilirnya angin yang dingin, membuat tubuh Mahisa Bungalan terasa menjadi segar.

Namun dengan demikian, akhirnya Mahisa Bungalan pun menjadi mengantuk. Karena itu, maka ia pun kemudian memasuki rumah dan biliknya. Sejenak ia berbaring, sehingga akhirnya iapun tertidur dengan nyenyaknya.

Di malam berikutnya, ia telah berada pula di dalam sanggar kecil itu bersama kakek penghuni rumah itu. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan menerima petunjuk-petunjuknya dan melakukannya. Setingkat demi setingkat. Namun, karena pada dasarnya, Mahisa Bungalan telah memiliki bekal yang cukup, maka segalanya dapat dilakukannya dengan lancar. Ia memiliki keseimbangan dan ketahanan tubuh yang sudah dalam tingkat yang tinggi. Karena itulah, maka ia sama sekali tidak mengalami kesulitan apapun juga untuk menerima ilmu yang pada hakekatnya, hanyalah merupakan alas dan dukungan dari ilmu yang telah ada padanya.

Demikianlah Mahisa Bungalan telah melakukannya, untuk beberapa lamanya. Setiap malam ia telah berada di dalam sanggar itu bersama dengan orang tua yang menuntunnya dalam latihan-latihan yang khusus, tetapi yang setelah ditekuninya, sangat bermanfaat bagi dirinya dan ilmunya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun akhirnya percaya, bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk. Ia benar-benar telah memberikan sesuatu yang berguna baginya dan bagi masa depannya.

“Yang aku alami di sini, jauh lebih bermanfaat dari yang pernah aku alami di kedua padepokan kecil itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun apabila ia teringat kepada seorang gadis padepokan Kenanga, maka hatinya pun menjadi berdebar-debar. Wajah itu seolah-olah masih saja melekat di rongga matanya, dan setiap kali telah kembali di dunia angan-angannya.

“Apakah aku masih mungkin kembali kepadanya” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya.

Dalam pada itu, maka kemampuan Mahisa Bungalan telah meningkat. Ia dapat bergerak jauh lebih cepat dari yang dapat dilakukannya sebelumnya. Dan kekuatannya pun seakan-akan telah berlipat pula. Apalagi jika ia telah mengerahkan kekuatan cadangannya, maka Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang memiliki kekuatan bagaikan raksasa.

Dengan kecepatan bergerak dan kekuatan yang berlipat, maka Mahisa Bungalan benar-benar telah menjadi seorang yang pilih tanding.

Ternyata bahwa Mahisa Bungalan mengalami penempaan diri untuk beberapa hari lamanya. Pekan pertama dilaluinya dengan peningkatan kecepatan geraknya, sementara pada pekan kedua, Mahisa Bungalan telah membentuk dirinya menjadi seorang yang mempunyai kekuatan seekor gajah. Dan pada pekan ketiga Mahisa Bungalan telah berhasil mengetrapkan kecepatannya bergerak dan kekuatannya yang berlipat pada alas dari ilmunya dengan mapan.

“Luar biasa” desis orang tua itu “kau sekarang menjadi seorang anak muda yang jarang ada bandingnya”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam penuh kesungguhan ia berkata “Aku mengucapkan banyak terima kasih, kakek”

Orang tua itu tertawa. Jawabnya “Apa yang kau dapatkan adalah hasil kerjamu sendiri. Aku hanya mengarahkannya dan memberikan petunjuk jalan yang harus kau tempuh”

“Dan aku telah menemukan sesuatu yang sangat berharga bagiku”

“Tetapi, bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku mempunyai suatu permintaan setelah kau meningkatkan ilmumu pada alas dan dukungan yang telah berhasil kau kuasai itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat ingkar janji. Orang tua itu telah berterus terang sejak semula, bahwa ia memerlukan pertolongannya untuk mengantarkan cucunya ke tempat yang belum dikatakannya.

Karena itu, maka katanya kemulian “Kek. Aku sama sekali tidak berkeberatan untuk melakukannya, selama permintaan kakek itu tidak bertentangan dengan hati nuraniku”

“Aku mengerti ngger. Aku sudah mencoba mengenalmu sejak pertama kita bertemu. Kau tentu bukan seorang yang mudah goyah dalam sikap dan pendirian. Karena itu. Aku pun telah mempertimbangkan segala-galanya. Juga permintaanku kali ini”

“Apakah yang harus aku kerjakan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku memerlukan seorang kawan untuk mengantarkan cucuku kepada ayahnya. Itu adalah yang sebenarnya. Aku tidak berpura-pura atau menutupi keadaan yang memang telah dibebankan kepadaku”

“Apakah aku dapat mengerti, kemana kita akan pergi?”

“Cucuku itu adalah putera seorang Pangeran di Kediri. Pangeran Kuda Padmadata. Seorang Pangeran yang memiliki beberapa pucuk senjata pusaka yang menjadi rebutan beberapa orang keluarga istana Kediri. Diantaranya sebuah tombak bernama Kiai Saptapratala dan sepucuk keris, Kiai Rontek. Beberapa orang keluarga Pangeran Kuda Padmadata ingin mendapatkan kedua pusaka itu, sementara cucuku adalah pewaris dari kedua pusaka itu yang sah. Jika cucuku masih tetap hidup, maka ialah yang akan mewarisi pusaka-pusaka itu. Sehingga dengan demikian, maka beberapa orang telah berusaha untuk melenyapkannya”

“Apakah Pangeran Kuda Padmadata sama sekali tidak berbuat sesuatu dengan sikap dan perbuatan beberapa orang atas anak laki-lakinya itu?”

“Pangeran Kuda Padmadata tidak mengetahuinya”

“Bagaimana mungkin?”

Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian “Itu adalah nasib buruk dari anak perempuanku. Ketika ia didatangi oleh seorang laki-laki yang lelah dalam perburuan bersama dua orang pengiringnya, maka anak perempuanku telah memberikan apa yang dibutuhkannya, terutama minum dan makan. Ternyata laki-laki itu adalah Pangeran Kuda Padmadata, yang mengambil anak perempuanku menjadi isterinya. Ketika ia kembali ke Kediri, maka ditinggalkannya salah seorang pengiringnya, yang kelak akan menjadi saksi, bahwa anak yang bakal lahir dari perempuan itu adalah anaknya. Tetapi yang terjadi adalah tidak seperti yang diharapkan. Adik Kuda Padmadata ingin mewarisi semua peninggalan kakaknya kelak. Dengan diam-diam ia berusaha melenyapkan keturunan Pangeran Kuda Padmadata. Untunglah bahwa cucuku masih sempat di selamatkan. Tetapi anak perempuanku, hilang tanpa aku ketahui dimana ia sekarang. Apakah ia sudah mati atau masih hidup, tidak seorang pun yang mengetahui kecuali mereka yang telah datang ke rumahnya di malam yang buta itu dengan maksud yang sangat jahat”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mempercayai ceritera orang tua itu. Orang tua itu tentu tidak membohonginya.

“Aku sudah mengira bahwa anak kecil itu bukan keturunan pidak pedarakan” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu, orang tua itupun berkata selanjutnya, “Sekarang, aku ingin membawa anak itu kepada ayahnya. Meskipun saksi yang seorang itu telah terbunuh, namun aku masih mempunyai satu macam bukti yang akan dapat aku tunjukkan kepada Pangeran Kuda Padmadata”

“Apakah bukti itu kek?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kalung yang dipakainya. Kalung itu adalah cincin ibunya. Cincin yang diberinya pengikat yang dapat dipergunakannya sebagai kalung di lehernya. Pengikat itu sama sekali tidak berharga. Tetapi cincin yang terikat itulah yang akan dapat dipakainya sebagai bukti kenyataan dirinya, bahwa ia adalah anak Pangeran Padmadata”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan demikian berarti bahwa ia harus pergi ke Kediri. Ke daerah yang berada di bawah kekuasaan Singasari.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia sudah mengenal daerah yang pada suatu saat telah dikalahkan oleh seorang Akuwu Singasari yang bernama Ken Arok. Yang untuk seterusnya, masih tetap berada di bawah kekuasaan Singasari yang kini diperintah oleh dua orang bersaudara yang digelari Dua Ekor Ular di Satu Sarang.....
“Apakah angger ragu-ragu” bertanya orang tua itu.

“Tidak kakek. Aku tidak ragu-ragu. Aku bersedia membantu kakek, membawa anak itu ke Kediri. Menyerahkannya kepada Pangeran Padmadata”

“Terima kasih ngger. Tetapi tantangannya tentu akan berat sekali. Mungkin saat ini, satu dua orang sedang mengintai anak itu. Karena orang-orang yang menginginkan kematiannya, tentu tidak akan berhenti mencarinya” orang tua itu berhenti sejenak, Lalu “tetapi agaknya sampai saat ini, mereka belum menemukan anak itu di sini”

“Mudah-mudahan mereka tidak menemukannya, dan kita dapat membawanya tanpa gangguan di perjalanan” berkata Mahisa Bungalan.

“Mudah-mudahan. Tetapi kita harus berhati-hati. Segala kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan yang buruk atas kita berdua dan anak yang tidak tahu menahu itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia pun sudah membayangkan, bahwa kemungkinan yang paling buruk itu pun akan dapat terjadi.

“Menurut Kakek, kapan kita akan berangkat ke Kediri?” bertanya Mahisa Bungalan kemudian.

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia sedang mencoba merenungi keadaan. Namun akhirnya ia menggeleng sambil berkata “Aku tidak pasti ngger. Aku akan mencoba melihat keadaan. Meskipun aku sudah mendapat seorang kawan yang dapat aku percaya, namun aku tidak boleh meninggalkan sikap berhati-hati” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Angger Mahisa Bungalan” berkata orang tua itu “selain membawa anak itu kepada ayahnya, sebenarnya aku masih juga berniat untuk menemukan ibu anak itu. Jika ia mati, aku dapat mengetahuinya dengan pasti. Jika ia masih hidup, mungkin kita masih akan dapat menyelamatkannya”

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.

“Tetapi untuk menyelidikinya, tentu akan merupakan suatu kerja yang sangat rumit” berkata orang tua itu pula.

“Kek” berkata Mahisa Bugalan “manakah yang lebih dahulu dikerjakan. Membawa anak itu kepada ayahnya kemudian mencari ibunya, atau berusaha menemukan ibunya dan jika ia masih hidup, membawanya bersama-sama kepada ayahnya”

“Itulah yang membingungkan ngger” jawab orang tua itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan bertanya, “Kek, apakah Pangeran Kuda Padmadata itu benar-benar tidak pernah menengok atau sekedar mendengar kabar berita dari isteri dan anaknya?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengerti ngger. Mungkin Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah melupakan isteri dan anaknya. Justru orang-orang lainlah yang ingat akan hal itu. Adik laki-lakinya adalah sumber dari perbuatan jahat ini. Di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata juga mempunyai seorang isteri yang setataran dalam jajaran kebangsawanan. Agaknya isterinya yang tidak mempunyai seorang anak laki-laki, ikut serta dalam rencana jahat ini, agar semua warisan Pangeran Kuda Padmadata tidak diwarisi oleh anak laki-laki satu-satunya, tetapi adik laki-lakinya saja, yang tentu masing-masing akan mendapat bagian karena jasanya. Dan bukan mustahil bahwa sebenarnya antara adik laki-laki Pangeran Kuda Padmadata dan isteri Pangeran itu ada hubungan khusus yang tidak pantas dilakukan oleh para bangsawan. Bahkan oleh setiap orang yang telah bersuami isteri”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Dengan ragu-ragu iapun bertanya “Kini sudah banyak mengetahui tentang mereka?”

“Sebelum terjadi peristiwa yang pahit itu bagi anakku, beberapa hal tentang keluarga Pangeran Kuda Padmadata pernah aku dengar dari pengikutnya yang ditinggalkannya itu. Ialah yang pada saat-saat tertentu datang ke Kediri untuk mengambil bekal hidup bagi dirinya sendiri dan bagi anak dan cucuku”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Nasib itu ternyata merupakan nasib yang kurang baik. Tetapi yang lebih parah lagi adalah, sikap adik dan isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

“Agaknya Pangeran itu sendiri berhati lemah” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya” sahut orang tua itu “ia memang seorang Pangeran yang berhati lemah”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “apakah kakek bermaksud untuk melihat-lihat keadaan lebih dahulu? Jika demikian, sebelum kakek memutuskan untuk pergi ke Kediri, apakah aku dapat melihat-lihat tempat tinggal anak perempuanmu itu sebelum ia hilang?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kerja itu akan mengandung bahaya yang sangat besar. Orang-orang yang berbuat jahat itu benar-benar orang yang tidak berperi-kemanusiaan”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa kek. Kecuali jika terpaksa aku harus membela diri”

Orang tua itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata “Jika angger ingin berjalan lewat tempat itu, aku persilahkan. Tetapi kau tidak perlu berbuat apa-apa. Banyak masalah yang dapat timbul. Mungkin ada orang di antara mereka yang pernah melihat angger di sekitar tempat ini. sehingga hal itu merupakan jalan bagi mereka untuk mencari cucuku di daerah ini”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti keberatan orang tua itu. Agaknya yang dihadapi benar-benar sekelompok orang-orang jahat yang liar dan buas.

“Baiklah, kek” berkata Mahisa Bungalan “aku berjanji untuk tidak berbuat apa-apa. Aku akan berjalan melewati tempat itu sebagaimana seorang perantau yang lewat”

“Baiklah ngger. Sebelum lenyap, anakku tinggal di padukuhan Rambi di daerah Badas Selatan. Hutan di daerah Badas Selatan adalah hutan perburuan bagi para bangsawan di Kediri. Di hutan itulah Pangeran Kuda Padmadata berburu dan singgah sejenak di padukuhan Rambi”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dari orang tua itu ia mendapat beberapa petunjuk arah. Sebagai seorang perantau, maka iapun segera dapat mengingat mengetahui, kemana ia harus pergi.

“Hutan di daerah Badas Selatan itu akan dapat memberikan perlindungan kepadaku” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi berhati-hatilah ngger. Aku tidak mengira, bahwa kau akan memberikan pertolongan sedemikian jauh, sehingga kau sama sekali tidak memperhitungkan bahayanya”

“Sudah aku katakan, kek. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku sudah berjanji untuk membantu membawa cucu kakek ke Kediri. Agaknya itulah tugas yang terpenting bagiku, sementara perjalananku ke Rambi adalah sekedar untuk melengkapi pengertianku tentang daerah ini dan hubungan antara padukuhan itu dengan cucu Kakek”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “kita harus bergantian berada di sisi anak ini. Jika angger sudah kembali, barulah aku dapat melihat, apakah jalan ke Kediri dapat diselusupi”

“baiklah Kakek. Aku tidak akan terlalu lama. Mudah-mudahan aku tidak mengalami sesuatu di perjalanan”

Demikianlah, di hari berikutnya Mahisa Bungalan meninggalkan rumah kakek tua itu, menuju ke tempat yang sangat berbahaya bagi laki-laki yang telah kehilangan ibunya itu. Sesuai dengan petunjuk kakek tua yang telah menolong mengobatinya, maka Mahisa Bungalan pun berjalan menyusuri bulak-bulak panjang sebagai seorang perantau.

Padukuhan yang ditujunya adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan terletak di dekat hutan perburuan. Tetapi padukuhan itu jaraknya cukup panjang. Ia harus bermalam semalam di perialanan. Baru di senja berikutnya ia akan sampai padukuhan Rambi dan daerah Badas Selatan.

Agaknya kakek tua itu berusaha untuk bersembunyi di tempat yang tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Tetapi karena ia hanya seorang diri, maka ia tidak dapat berbuat sesuatu, la tidak berani meninggalkan cucunya yang selalu diintai oleh bahaya. Karena itu, maka ia terpaksa membiarkan anak perempuannya hilang tanpa bekas.

Tidak banyak hal yang menarik di perjalanan. Mahisa Bungalan sama sekali tidak singgah di rumah siapapun atau di banjar-banjar padukuhan. Ketika malam turun, Mahisa Bungalan justru bermalam di sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat.

Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah mencuci mukanya pada sebuah parit yang berair bening. Kemudian ia pun melanjutkan perjalanannya yang masih cukup panjang.

Di sebuah padukuhan Mahisa Bungalan melihat beberapa orang sedang berselisih. Bahkan mereka saling berkelahi Tetapi karena menurut pengamatan Mahisa Bungalan tidak membahayakan jiwa mereka, apalagi beberapa orang berusaha melerainya, maka ia sama sekali tidak mencampurinya, agar ia tidak terlibat ke dalam persoalan yang tidak diketahuinya.

Menjelang tengah hari, maka Mahisa Bungalan pun singgah di sebuah kedai kecil di pinggir sebuah pasar. Seorang perempuan tua menunggui kedai kecil yang miring dan hampir tidak terawat Pada kedai itu hanya didapatkannya minuman semelak pace dengan gula kelapa. Beberapa potong ketela pohon dan ubi.

Namun ternyata semelak pace itu terasa segar sekali di kerongkongan Mahisa Bungalan yang haus. Kemudian beberapa potong ubi telah dimakannya pula.

“Apakah hutan itu termasuk hutan perburuan?” bertanya Mahisa Bungalan kepada perempuan tua pemilik kedai kecil itu.

Perempuan itu menggeleng. Jawabnya “Bukan, bukan hutan perburuan. Hutan itu adalah hutan peliharaan di bagian tepi, dibatasi oleh sebuah sungai yang lebar. Hutan yang diambil beberapa macam getah dari beberapa jenis pohon yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan. Bahkan ada di antaranya getahnya yang berbau harum dan dapat dipergunakan untuk mengharumkan ruangan dengan dibakar. Di ujung adalah pohon yang justru dipagari, karena terdapat beberapa jenis pohon cendana”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya “Siapakah yang memelihara hutan itu nek?”

“Para bangsawan dari Kediri”

“Apakah mereka sering datang kemari?”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya Katanya “Tidak. Atau katakanlah, jarang sekali. Tetapi mereka menanam orang yang mengawasi hutan itu dan menyerahkan hasilnya setiap selapan sekali”

“Ke Kediri?”

“Ya. Ke Kediri”

“Dan di mana letak hutan perburuan itu?”

“Masih agak jauh, ngger. Aku tidak tahu pasti di mana letaknya. Tetapi aku memang pernah mendengar bahwa di daerah Badas Selatan, terdapat hutan perburuan”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ketika ia menengadahkan wajahnya maka dilihatnya matahari berada di puncak langit. Karena itu, maka Badas Selatan memang masih agak jauh.

Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan mengetahui, bahwa para bangsawan Kediri yang seolah-olah sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi untuk memerintah, karena mereka telah berada di bawah kekuasaan Singasari, telah mempunyai kesibukannya sendiri. Mereka menghabiskan waktunya dengan berburu atau kepentingan-kepentingan lain bagi diri mereka sendiri.

Dalam pada itu, pasar kecil di sebelah kedai itu pun telah menjadi sepi. Tidak banyak lagi orang yang berjual beli. Tetapi di sudut pasar itu, seorang pandai besi masih sibuk mengerjakan pekerjaannya. Agaknya ia menerima pesan perkakas pertanian yang tergesa-gesa untuk dipergunakan.

“Pandai itu sibuk sekali” desis Mahisa Bungalan.

“Ya” jawab perempuan tua itu, “kasihan”

“Kenapa?”

“Ia harus mengerjakan pekerjaan yang sama sekali tidak disukainya”

“Kenapa? Bukankah ia memang seorang pandai besi?”

“Dua orang memaksanya untuk membuat senjata. Meskipun pandai besi itu dapat mengerjakannya, tetapi hal itu tidak biasa dilakukan. Apalagi ia tahu, bahwa jika senjata itu selesai, ia tidak akan menerima upah sekeping uang pun”

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Dua orang itu sangat ditakuti oleh siapapun juga di daerah ini?”

“Siapakah mereka? Apakah mereka memang penduduk daerah ini?”

“Bukan. Mereka adalah pengawal-pengawal yang ditugaskan untuk mengawasi pohon-pohon cendana itu”

“Apakah mereka sudah lama di sini?”

“Belum terlalu lama. Dahulu, pengawasannya tidak pernah dilakukan dengan cara seperti itu”

Keterangan itu sangat menarik perhatian Mahisa Bungalan. Karena itu, ia bertanya lebih banyak lagi tentang pandai besi dan pembantunya yang masih bekerja keras itu “Apakah ada perubahan yang terjadi pada cara pengawasan hutan cendana dan kayu yang menghasilkan getah berharga itu?”

“Ya. Tetapi aku tidak tahu pasti”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia masih meneguk semelak pacenya yang segar dengan sepotong ubi. Baru kemudian, setelah ia membayar harganya, maka iapun minta dirikepada perempuan tua itu.

“Sudahlah nek. Terima kasih. semelak pace dengan gula kelapa itu segar sekali”

“Jika kau lewat anak muda, singgahlah barang sebentar”

Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya “Besok saatnya aku kembali melalui jalan ini, aku akan singgah Mungkin nenek menemukan pace sukun. Tentu akan semakin segar”

“Di sini jarang sekali ada pace sukun” sahut nenek itu.

Mahisa Bungalan pun kemudian melangkah pergi meninggalkan nenek tua itu. Tetapi ia tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dengan ragu-ragu ia mendekati pandai besi yang masih bekerja keras dengan pembantunya itu.

“Paman sangat sibuk nampaknya” sapa Mahisa Bungalan ketika ia sudah berdiri beberapa langkah di dekat perapian pandai besi itu.

Pandai besi yang rambutnya sudah mulai disulam warna putih itu berpaling, tetapi hanya sejenak. Iapun segera tenggelam kembali ke dalam kerjanya. Namun demikian, ia masih sempat menjawab “Aku harus menyelesaikan dua pucuk pedang ini segera, agar aku dapat bekerja seperti biasa untuk makan anak dan isteriku”

“O, paman membuat pedang?”

“Hampir sepekan aku mengerjakannya. Hanya sekali-sekali aku berhenti mengerjakan pekerjaan kecil yang segera dan ditunggui oleh sanak yang membutuhkan. Selebihnya waktuku habis untuk menempa pedang yang sangat besar dari baja yang sangat keras ini”

“Pedang siapakah yang paman kerjakan itu?”

Sambil bekerja terus orang itu menjawab “Pengawal hutan itu”

“Di manakah rumah mereka?”

“Juga di dalam hutan itu”

Menarik sekali bagi mahisa Bungalan. Pengawal yang tinggal di hutan dan berbuat sewenang-wenang kepada orang yang lemah.

Tetapi seperti yang dikatakan, bahwa Mahisa Bungalan tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan permasalahan dalam perjalanannya. Apalagi ia tidak berkepentingan dengan pengawal-pengawal itu.

Namun diluar kehendaknya, tiba-tiba saja bertanya “Paman, apakah paman mengetahui, siapakah yang telah nyengker beberapa jenis tanaman berharga itu?”

Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya “Aku tidak tahu pasti ngger. tetapi dahulu daerah ini dimiliki oleh para bangsawan dari Kediri seperti daerah di ujung Selatan yang menjadi daerah perburuan. Bahkan beberapa jenis kayu-kayuan di hutan itu telah diberi landa dan patok-patok siapakah yang memilikinya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya “Jadi tidak hanya satu orang sajalah yang memilikinya”

“Tepat” jawab Pandai besi itu.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hampir saja ia bertanya, dua orang pengawal itu, menunggu hutan milik siapa. Tetapi niatnya diurungkannya, karena Pandai Besi itu tentu tidak mengetahuinya pula.

Agar perjalanannya tidak terganggu, yang mungkin akan dapat mengganggu seluruh rencana perjalanannya, maka Mahisa Bungalan pun segera meninggalkan tempat itu. Ia ingin segera sampai ke daerah hutan perburuan bagi para bangsawan Kediri.

“Nampaknya sangat aneh, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak mengetahui nasib anak dan isterinya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Ada sedikit kecurigaan pada Pangeran itu, bahwa sebenarnya iapun terlibat pula dalam rencana yang jahat itu.

“Ah” desahnya “aku hanya berprasangka. Mungkin Pangeran itu memang seorang yang berjiwa lemah, yang berada di bawah kuasa isterinya, sehingga meskipun ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus mengikhlaskan anak dan isterinya yang di ambilnya dari padukuhan itu menjadi korban ketamakan isteri bangsawannya dan bahkan juga adiknya sendiri”

Sambil melangkah meninggalkan pasar itu, Mahisa Bungalan selalu berpikir tentang dua orang pengawal yang garang itu.

Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Tiba-tiba saja ia bertemu dengan dua orang yang agak lain dari orang-orang padukuhan. Meskipun kedua orang itu berpakaian seperti kebanyakan orang-orang di daerah itu, namun ada beberapa perbedaan yang nampak pada keduanya.

Di luar sadarnya Mahisa Bungalan mendatangi orang-orang itu. Namun iapun terkejut ketika salah seorang dari keduanya membentak “He, anak gila. Apa yang kau lihat?”

Mahisa Bungalan menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun segera menundukkan kepalanya sambil bergeser menjauh.

Tetapi salah seorang dari kedua orang itu mendekatinya. Tiba-tiba saja kakinya telah menendang Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak bertahan dan membiarkan tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan jatuh terguling di tanah.

Beberapa orang yang melihatnya menahan nafas. Anak itu nampaknya bukan orang jahat. Bahkan nenek tua pemilik kedai di sebelah pasar itu. Ia masih melihat anak yang baru saja berhenti di kedainya itu terjatuh.

Kedua orang yang berpapasan dengan Mahisa Bungalan itu memandanginya sejenak. Keduanya tiba-tiba saja tertawa meledak. Salah seorang dari keduanya berkata “Anak setan. Aku kira kau bukan pengemis gila seperti itu. Pergilah, agar aku tidak mencekikmu”

Mahisa Bungalan tertatih berdiri. Tiba-tiba saja ia meloncat berlari meninggalkan kedua orang itu.

Keduanya tertawa semakin keras, tetapi mereka tidak mengejar Mahisa Bungalan.

Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berlari terlalu jauh. Beberapa puluh langkah ia berdiri. Nampaknya ia kelelahan, sehingga nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ketika ia berpaling dilihatnya kedua orang itu telah melangkah menuju ke pandai besi yang sedang menggarap pedang.

“Hem” Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, “nampaknya kedua orang itulah pengawal hutan dari para bangsawan di Kediri itu. Nampaknya mereka memang garang dan menakut-nakuti orang. Tetapi, agaknya keduanya bukan orang yang memiliki kemampuan yang sebenarnya”

Tetapi seperti yang dikatakan kepada kakek yang ditinggalkannya, Mahisa Bungalan tidak ingin membuat perkara. Karena itu ia tidak kembali dan mempersoalkan kedua orang itu.

“Aku akan meneruskan perjalananku. Jika ada waktu aku memang wajib membebaskan orang-orang padukuhan di sekitar hutan itu dari tingkah laku kedua orang pengawal yang gila itu. Tetapi jika dengan demikian, dendam kawan-kawannya justru tertuju kepada orang-orang padukuhan itu, akan membuat keadaan mereka semakin buruk”

Mahisa Bungalan kemudian meneruskan perjalanannya. Ia menuju ke tempat yang ditunjuk sebagai hutan perburuan itu. Dari sana ia dapat melihat, mungkin juga mendengar ceritera tentang isteri seorang Pangeran yang ditinggalkan suaminya dan kemudian justru hilang dari rumahnya.

Perjalanan Mahisa Bungalan selanjutnya tidak mengalami gangguan apapun juga. Sebelum gelap ia sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Karena ia tidak ingin menginap di rumah seseorang atau di banjar padukuhan, maka iapun langsung menuju ke hutan perburuan di dekat padukuhan Rambi di daerah Badas bagian Selatan.

Mahisa Bungalan sempat beristirahat sejenak. Untunglah bahwa pada saat itu tidak ada seorang pun yang sedang berburu di hutan itu.

“Seharusnya Pangeran itu sering berburu di hutan ini sambil menengok isteri dan anaknya. Kecuali jika ia menjadi kecewa dan menyesal, bahwa ia sudah kawin dengan seorang gadis padesan” desis Mahisa Bungalan.

Kecurigaannya kepada Pangeran Kuda Padmadata menjadi semakin tajam, justru karena Pangeran itu tidak berbuat apa-apa dan nampaknya justru tidak tahu apa-apa.

Ketika malam menjadi semakin larut, maka Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan hutan itu, menuju ke padukuhan. Dengan hati-hati ia mendekati dinding padukuhan dan ketika ia yakin tidak seorang pun yang melihatnya, maka iapun segera meloncat masuk.

Mahisa Bungalan sengaja tidak melalui regol padukuhan, agar tidak seorang pun yang mempersoalkan kehadirannya. Biasanya di dekat regol terdapat gardu dan anak-anak muda yang meronda.

Di dalam padukuhan yang sepi itu, Mahisa Bungalan segera mencari rumah seperti yang disebutkan oleh kakek tua yang kehilangan anak perempuannya itu. Satu-satu ia mengenal pertanda yang diberikan kepadanya. Pohon nyamplung yang besar di sudut padukuhan. Kemudian jalan menyilang di bawah sebatang pohon preh yang sudah sangat tua, yang di bawahnya terdapat mata air kecil, tetapi merupakan sumber air bagi padukuhan itu. Meskipun sumber air itu tidak begitu besar, tetapi air itu tidak pernah kering di sepanjang musim.

Setelah beberapa kali ia memotong jalan dan menyusuri dinding halaman, sampailah ia ke sebuah rumah yang agak besar dengan halaman yang cukup luas.

“Inilah rumahnya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hati. Tetapi rumah itu memang sepi. Tidak ada sebuah obor atau lampu pun yang terpasang. Di luar atau di dalam rumah.

“Seperti rumah hantu” desis Mahisa Bungalan sambil merayap mendekati. Dengan ketajaman pendengarannya ia mencoba mengetahui, apakah ada seseorang yang berada di dalam rumah itu.

Namun menurut pendengaran Mahisa Bungalan, rumah itu benar-benar telah kosong. Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian memberanikan diri untuk menyusup masuk. Dengan hati-hati ia membuka pintu belakang. Ternyata pintu itu memang tidak diselarak.

“Gelap sekali” desisnya.

Karena itu, maka iapun menunggu sejenak. Setelah matanya terbiasa, maka mulailah ia melihat dalam keremangan. Tetapi mata Mahisa Bungalan adalah mata yang terlatih baik, sehingga meskipun tidak jelas, tetapi ia dapat melihat bayang-bayang.

Beberapa langkah ia masuk ke ruang dalam. Tetapi rumah itu benar-benar sepi. Beberapa macam perabotnya masih berserakkan. Agaknya sejak rumah itu ditinggalkan dalam hiruk-pikuk, tidak seorang pun yang memeliharanya. Apalagi ketika kemudian Mahisa Bungalan menyentuh sarang laba-laba bergelantungan di dalam rumah itu.

“Rumah ini benar-benar tidak pernah diambah orang” katanya di dalam hati. Namun karena itu, maka iapun berniat untuk tetap berada di rumah itu. Bukan saja malam itu, tetapi juga di esok hari.

“Tidak ada yang akan memasuki rumah ini” desisnya. Ia yakin hal itu, karena sarang laba-laba yang menyangkut di wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan tidak berniat meninggalkan rumah itu. Bahkan iapun kemudian masuk ke dalam bilik dan mendapatkan sebuah pembaringan.

Tetapi karena pembaringan itu ternyata kotor sakali ketika tangannya meraba, Mahisa Bungalan tidak bermaksud untuk tidur di pembaringan itu. Yang dilakukannya kemudian adalah justru duduk lantai sambil bersandar dinding. Namun dengan cara demikian ia pun dapat tidur dengan nyenyak.

Menjelang fajar, Mahisa Bungalan telah bangun, cahaya pagi mulai menyusup lewat lubang-lubang dinding. Namun justru karena itu, maka ia mulai melihat dengan jelas. betapa kotornya rumah yang kosong itu. Bahkan beberapa, bagian dari dindingnya telah miring. Yang lain berlubang itu sebagian lagi telah runtuh.

“Aku tidak meraba bagian yang runtuh itu semalam” berkata Mahisa Bungalan.

Tetapi dengan bekas-bekas itu, ia semakin yakin, bahwa pernah terjadi pergulatan di dalam rumah itu.

“Agaknya pengawal yang setia itu berusaha bertahan dan melarikan cucu kakek tua itu” berkata Mahisa ungalan di dalam hatinya.

Ketika Mahisa Bungalan bangkit dan mengibaskan pakaiannya, maka debu pun menghambur sehingga Mahisa ungalan terpaksa melangkah berpindah tempat.

Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Bungalan tidak berbuat sesuatu. Ia membersihkan sebuah dingklik kayu dan duduk sambil merenungi isi rumah itu. Beberapa macam perabotnya, temasuk perabot rumah yang baik. Tetapi sama sekali tidak nampak lagi ujud yang sebenarnya karena tidak pernah diraba oleh perawatan tangan.

Ketika matahari semakin tinggi, Mahisa Bungalan justru menjadi bingung. Ia tidak dapat keluar dari rumah itu. Jika seseorang melihatnya, maka akan timbul kecurigaannya, sehingga mungkin akan dapat mendatangkan persoalan baginya.

Karena itu, ia justru merasa terbelenggu oleh kehadirannya di dalam rumah itu.

“Nanti malam aku harus meninggalkan rumah ini” geramnya, “aku menyesal bahwa aku sudah berada di dalamnya hingga pagi”

Karena itulah maka Mahisa Bungalan telah menghabiskan waktunya dengan melihat-lihat isi rumah itu. Ia menemukan beberapa macam senjata dari kayu. Sebuah gerobag kecil yang agaknya ditarik oleh seekor kambing.

Di dalam geledeg justru ia masih menemukan beberapa potong pakaian yang telah menjadi rapuh. Beberapa macam barang yang berserakan. Agaknya sebelum meninggalkan tempat itu, beberapa orang telah mencari sesuatu atau sengaja menghamburkan seluruh isi rumah itu.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak menemukan sesuatu yang dapat memberikan suatu petunjuk apapun mengenai hilangnya anak perempuan kakek yang malang itu. Namun pada suatu sudut yang kotor, Mahisa Bungalan melihat sesuatu. Ia melihat bekas darah menitik. Namun iapun melihat sepotong ujung pedang yang nampaknya telah patah. Meskipun ujung pedang itu tidak terlalu panjang, dan barangkali tidak berarti sama sekali bagi pedang yang patah, namun hal itu telah menarik perhatiannya.

“Pengawal hutan itu menyuruh seorang pandai besi membuat pedang” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Namun Mahisa Bungalan telah berbantah dengan dirinya sendiri. Mereka telah menyuruh pandai besi itu membuat dua buah pedang. Tidak hanya satu.

Tetapi menurut pertimbangan Mahisa Bungalan, mungkin saja yang seorang ingin juga mempunyai sebilah pedang yang baru.

Berbagai macam pertimbangan telah berkecamuk di kepala Mahisa Bungalan. Ia memutar balik segala ke mungkinan. Namun ia tidak menemukan kepastian, selain dugaan-dugaan.

“Meskipun demikian, aku akan mencobanya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak dapat segera keluar dari rumah itu. Ia harus menunggu sampai gelap dan padukuhan itu menjadi sepi.

Demikian padukuhan itu menjadi sepi, maka Mahisa Bungalan pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Dengan hati-hati ia merayap agar tidak seorang pun melihatnya. Ujung pedang yang patah itu telah dibawanya. Mungkin ada gunanya untuk mengetahui masalah yang sedang diamatinya.

Malam itu, meskipun Mahisa Bungalan telah berhasil keluar dari padukuhan itu, namun ia masih bermalam di hutan perburuan. Di rumah yang kosong itu, ia masih menemukan beberapa ontong jagung. Namun ia berbuat cukup berhati-hati, sehingga api yang dinyalakan tidak akan nampak dari kejauhan.

Dalam dinginnya malam ia sempat membakar beberapa ontong jagung. Meskipun jagung itu terlalu tua dan keras, tetapi Mahisa Bungalan dapat sekedar mengisi perutnya. Dengan memotong beberapa jenis pohon merambat, Mahisa Bungalan mendapatkan air jernih untuk dapat di minumnya, meskipun hanya beberapa tetes saja.

Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan pun melangkah kembali, menempuh perjalanan pada arah yang berlawanan. Sebagai seorang perantau, maka iapun dapat mengenal jalan dengan baik, sehingga ia tidak tersesat ke jalan yang berbeda.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat pasar yang dilaluinya. Ia sudah memperhitungkan waktu, bahwa ia akan sampai ke tempat itu, menjelang pasar menjadi sunyi, tetapi masih belum kosong sama sekali, sehingga ia masih dapat menemui nenek tua dan pandai besi yang sedang bekerja keras itu.

Ketika nenek tua penjual semelak itu melihat Mahisa Bungalan, maka dengan serta merta ia bertanya “Apakah kau mau minum lagi anak muda?”

Mahisa Bungalan tersenyum. Namun katanya “Nanti Nek. Aku belum punya uang. Aku ingin menjual sesuatu kepada pandai pandai besi itu dahulu”

Nenek tua itu mengerutkan keningnya. Namun katanya “Apakah ia akan dapat membelinya, la tidak mendapat upah apapun dari kedua orang yang memesan pedang kepadanya itu”

“Siapa tahu. Barang yang akan aku jual adalah barang yang mungkin berharga baginya”

Nenek tua itu mengangguk-angguk. Namun katanya “Anak muda. Jika kau ingin minum, minumlah meskipun kau tidak mempunyai uang. Aku tidak akan menjadi lebih miskin lagi dengan memberimu minum barang seteguk”

“Terima kasih nek, terima kasih. Tetapi biarlah aku mencoba menghubungi pandai besi itu lebih dahulu”

Nenek tua itu tidak menahannya. Ia hanya memandangi saja ketika Mahisa Bungalan kemudian mendekati pandai besi yang berkeringat itu.

Sejenak Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia melangkah setapak maju.

“Kau mau apa anak muda?” bertanya pandai besi

“Paman” berkata Mahisa Bungalan “aku ingin menjual sesuatu pada paman”

Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Kemudian tiba-tiba saja ia membentak “Jangan ganggu aku. Kau lihat aku bekerja keras tanpa mendapat upah. Aku harus menyelesaikan kerja ini segera, karena aku harus makan dengan seluruh keluargaku”

“Tetapi barang yang aku miliki adalah barang yang barangkali penting bagi paman”

“Pergi” bentak pandai besi itu “jangan ganggu aku. Sehari ini aku tidak sempat mengerjakan pekerjaan yang lain kecuali menyelesaikan pedang ini, karena terdapat beberapa hal sesuai dengan keinginan pemiliknya, Aku masih harus membawanya kepada seseorang yang dapat memberikan hulu berukir sebelum menyerahkannya kepada pemiliknya. Karena itu kesempatanku untuk mencari makan dalam beberapa hari ini sangat sempit. Dan kau datang untuk mengganggu aku”

“Maaf paman. Tetapi aku mempunyai bahan yang barangkali dapat paman pergunakan untuk membuat pedang itu”

“Kau gila. Pedang ini sudah tidak memerlukan bahan lagi. Aku tinggal menyelesaikannya. Kedua orang itu masih saja selalu mencela, bahwa buatanku adalah buatan yang sangat kasar. Tentu saja, pandai besi di kota-kota itu dapat bekerja jauh lebih baik, lebih halus dan lebih tekun, karena mereka mendapat upah yang cukup dan bahan yang memang bagus”

“Tetapi paman, aku juga membawa bahan yang sangat bagus. Aku persilahkan paman untuk melihatnya” berkata Mahisa Bungalan.

Tanpa menunggu jawaban orang itu, maka Mahisa Bungalanpun mengambil potongan pedang yang diketemukannya di dalam rumah kotor itu. Dengan ragu-ragu ditunjukkannya potongan pedang itu sambil berkata “Inilah paman. Paman dapat membelinya dengan harga sekehendak paman”

Pandai besi itu memandang sepotong ujung pedang di tangan Mahisa Bungalan. Tiba-tiba saja ia membentak “Anak dungu. Buat apa sepotong ujung pedang itu bagiku Aku tidak memerlukannya. Apa lagi membelinya”

Tiba-tiba saja pandai besi itu melangkah ke belakang perapian. Dipungutnya sebilah pedang yang patah ujungnya dan melemparkannya kepada Mahisa Bungalan “Nih, kalau kau mau beli, belilah. Pedang itu masih jauh lebil panjang dari potongan pedangmu”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia memungut pedang itu sambil berguman “Pedang ini buntung paman”

“Itu lebih panjang dari potongan pedangmu”

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Dengar tangan bergetar ia mencoba untuk menghubungkan kedua potongan pedang yang patah itu.

Hatinya bergejolak ketika ternyata bahwa potongan pedang yang diketemukannya itu adalah potongan pedang yang dilemparkan oleh pandai besi itu. Karena itu, dengan serta rnerta ia bertanya “Apakah pedang ini milik salah seorang dari kedua orang yang memesan pedang kepada paman”

“Ya. Aku harus membuat pedang seperti itu” Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Jadi paman tidak memerlukan potongan pedangku meskipun hanya sekedar diambil sebagai bahan. Mungkin tidak untuk membuat pedang, tetapi untuk membuat kejen bajak atau tajam parang”

“Cukup. Kau sudah mengganggu aku. Pergilah”

Mahisa Bungalan meninggalkan pandai besi itu setelah menyerahkan pedang yang patah. Tetapi ujung pedang itu masih juga dibawanya. Selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati nenek tua penjual semelak itu. Kemudian duduk dengan lemahnya di sisi perempuan tua itu.

“Bagaimana?” bertanya perempuan tua itu.

“Paman pandai besi itu tidak mau membelinya nek” jawab Mahisa Bungalan.

“Tidak apa. Minumlah jika kau ingin minum semelak Aku mengambil buah pace di kebun sendiri”

“Tetapi gula kelapanya?”

“Gula kelapanya tidak terlalu mahal ngger. Marilah minumlah” berkata nenek itu sambil memberikan semangkuk semelak.

Mahisa Bungalan tidak dapat menolak belas kasihan nenek tua itu. Iapun menerima semangkuk semelak sambil berkata “Aku mengucapkan banyak terima kasih, nek”

Nenek tua itu tersenyum. Sekali lagi ia memersilahkan “Minumlah”

Mahisa Bungalan pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon dadap di sisi warung yang miring itu. Nampaknya ia sedang menikmati semelak pace yang segar di panasnya siang hari.

Namun Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang yang dijumpainya ketika ia berangkat. Dua orang yang sedang memesan dua bilah pedang kepada pandai besi yang malang itu.

“Yang seorang dari keduanya masih berpedang” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya “sedang yang seorang membawa senjata yang lain. Sebuah tongkat besi. Orang itulah agaknya yang pedangnya patah”

Sambil meneguk semelaknya Mahisa Bungalan berpikir tentang kedua orang itu, tentang pedang yang patah dan ujung pedang yang diketemukan, dan tentang isteri Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu. Ia mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa yang nampaknya berdiri sendiri-sendiri. Tetapi yang ternyata yang satu berkait dengan yang lain.

“Nek” bertanya Mahisa Bungalan kemudian “apakah kedua orang itu yang kemarin mendorong aku jatuh?”

“Ya ngger. Karena itu, duduk sajalah disini. Mudah-mudahan ia tidak memperhatikanmu”

“Bagaimana kalau mereka melihatku?”

“Asal kau tidak berbuat sesuatu, maka mereka tentu akan membiarkanmu duduk sambil minum”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Kedua orang itu sudah berdiri di dekat pandai besi yang sedang menyelesaikan pedang yang dipesan oleh kedua orang itu.

Meskipun lamat-lamat, namun ketika kedua orang itu membentak, Mahisa Bungalan dapat mendengarnya “He, ternyata kasar sekali. Yang harus kau kerjakan adalah pedang Bukan parang pembelah kayu. Mengerti?”

“Ya, ya tuan. Aku mengerti”

“Jika sekali lagi aku datang, dan kau belum berhasil membuat pedang seperti yang aku pesankan, maka kepalamu akan aku penggal di sini”

“Ya, ya tuan. Tetapi kemampuanku sangat terbatas. Mungkin jauh di bawah kepandaian pandai besi di kota-kota besar, tuan”

“Persetan. Lakukan perintahku”

“Ya, ya tuan”

Mahisa Bungalan berdesis sambil meletakkan mangkuknya “Nek, mungkin salah seorang dari kedua orang tua itu bersedia membeli sepotong besi baja”

“Apa maksudmu?” bertanya nenek tua itu.

“Aku mempunyai sepotong besi baja. Aku akan menjualnya kepada kedua orang itu”

“Jangan kau lakukan ngger. Lihat, orang itu sedang marah-marah. Seandainya ia memerlukan barangmu, maka barang itu tentu akan diambilnya saja tanpa memberimu sekeping uang pun”

“Ah, aku akan mencoba nek. Jika nasibku baik”

“Jika nasibmu buruk?”

“Apaboleh buat. Barang ini hanya aku dapatkan di pinggir jalan. Aku tidak akan kehilangan”

“Tetapi jangan sekarang” berkata nenek tua itu. Namun Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Bahkan katanya “Jika aku mendapat uang, aku akan membeli semelakmu lagi nek”

Nenek tua itu mencoba mencegahnya “Jangan anak muda. Jangan mencari perkara”

Tetapi Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Iapun kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah kedua orang yang sedang marah-marah itu.

Beberapa langkah di hadapan pandai besi itu ia berhenti. Namun kemudian ia maju lagi sambil berkata “Tuan, apakah tuan memerlukan sesuatu yang barangkali penting bagi tuan”

Kedua orang yang sedang mengamat-amati pedang yang belum siap seperti yang mereka kehendaki sambil menggeremeng itu berpaling. Mereka heran melihat Mahisa Bungalan mendekatinya.

“He, pengemis yang malas. Apa maumu?” bertanya salah seorang dari keduanya.

“Tuan, apakah tuan bersedia membeli sepotong besi baja?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Bodoh” pandai besi itulah yang berteriak “pergi, pergi”

Kedua orang itu termangu-mangu. Salah seorang dari keduanya bertanya “Apa yang kau maksud?”

Mahisa Bungalan mengeluarkan sepotong besi baja ujung sebilah pedang yang patah sambil berkata “Apakah tuan mau membeli sepotong besi baja yang barangkali dapat tuan pergunakan untuk membuat senjata? Aku memerlukan uang untuk membeli semelak, tuan”

Ketika keduanya melihat ujung pedang itu wajah mereka menegang. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya membentak “He, darimana kau dapatkan barang itu he?”

Sebelum Mahisa Bungalan menjawab, pandai besi itu sudah mendahului berteriak “Pergi. Pergilah cepat”

Tetapi Mahisa Bungalan tidak segera pergi. Bahkan ia masih berkata “Tuan. Aku menemukan ujung pedang ini di sebuah rumah di padukuhan Rambi di daerah Badas Selatan. Apakah tuan kenal rumah itu? Pedang tuan yang patah itu ternyata pangkal dari ujung pedang yang aku ketemukan”

Wajah kedua orang itu menegang. Sementara Mahisa Bungalan berkata seterusnya “Nah, apakah kata tuan?”

Kedua orang itu masih diam mematung memandangi ujung pedang yang dibawa oleh Mahisa Bungalan itu. Namun dalam pada itu, pandai besi yang menjadi sangat cemas melihat nasib Mahisa Bungalan segera mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya yang besar sambil berkata “Ini, aku mempunyai sekeping uang. Pergilah, cepat pengemis dungu”

Mahisa Bungalan tersenyum melihat wajah pandai besi yang tegang itu. Katanya “Paman sangat baik. Ternyata hati paman lembut meskipun paman nampaknya kasar. Tetapi paman tidak usah mencemaskan nasibku. Aku memang ingin tahu, apakah kedua orang ini mengetahui asal usul potongan pedang yang sesuai dengan pangkal pedang dari salah seorang di antara meraka”

“Siapa kau he?” tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu menggeram.

“Aku adalah seorang perantau, tuan. Aku menemukan ujung pedang ini. Nah, aku kira pedang tuan tidak patah dengan sendirinya. Tentu ada sebabnya. Apakah tuan dapat mengatakan, apakah sebabnya? Justru di rumah yang kini kosong, karena menurut para tetangganya, penghuni rumah itu telah hilang dalam satu keributan?”

“Diam” teriak salah seorang dari keduanya.

Teriakan itu benar-benar telah menggetarkan seisi pasar. Pandai besi itu menjadi pucat. Dan penjual semelak itu menjadi gemetar.

“O, ngger. Kenapa kau tidak pergi saja” gumamnya. Tetapi yang hanya dapat didengarnya sendiri.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan kemudian “sebaiknya kau beli ujung pedang ini dengan sebatang pohon cendana yang sudah cukup besar, yang dapat aku buat menjadi sebuah peti sebesar geledeg untuk menyimpan pakaian. Atau barangkali kau mempunyai pendok emas atau timang tretes berlian. Jika kau tidak mau memberikan tebusan itu, aku akan menghadap Pangeran Kuda Padmadata dan menyampaikan masalah hilangnya isteri dan anaknya”

Wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Salah seorang dari keduanya menggeram “Apakah kau sudah gila? Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?”

“Ya. Aku tahu pasti, dengan siapa aku berbicara. Kalian adalah orang-orang yang telah datang ke rumah isteri pangeran Kuda Padmadata. Bertempur dengan pengawalnya yang pilih tanding, sehingga pedangmu patah. Pengawal itu sempat membawa putera Pangeran itu lari. Tetapi kalian sempat menyusulnya dan membunuh pengawal itu”

“Gila” kedua orang itu menggeram “kau harus mati”

“Jangan kau bunuh aku. Beri aku tebusan untuk membungkam mulutku”

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja diluar dugaan, salah seorang dari keduanya itu berteriak, “Membungkam mulutmu dengan cara yang paling baik adalah ini”

Mahisa Bungalan sudah mengira. Karena itu, ia sudah bersiap. Ketika orang itu dengan tiba-tiba menarik pedangnya dan menusuk dadanya, ia sempat meloncat menghindar.

Nenek tua penjual semelak itu terpekik. Ia memejamkan matanya dan dengan serta merta memutar tubuhnya, membelakangi peristiwa yang mengerikan itu. Sementara pandai besi itupun berdiri gemetar sambil kebingungan. Namun ia masih sempat melihat Mahisa Bungalan menghindarkan dirinya.

“Jangan marah Ki sanak” berkata Mahisa Bungalan, “aku hanya ingin beberapa keping uang, atau sepotong emas dan beberapa butir berlian. Kenapa kau marah dan akan membunuhku?”

Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menyerang Mahisa Bungalan dengan kasar. Bahwa Mahisa Bungalan sempat menghindarkan dirinya pada serangannya yang pertama, agaknya telah memperingatkannya, bahwa anak itu bukan seorang pengemis sewajarnya.

Mahisa Bungalan kemudian meloncat ke balik perapian tiba-tiba saja telah memungut pedang yang patah ujungnya. Sambil mengacungkan pedang itu ia berkata “Bukan aku yang mulai dengan pertengkaran ini. Tetapi adalah kebetulan sekali. Sebenarnya aku tidak ingin terlibat ke dalam persoalan-persoalan yang kurang aku pahami ujung dan pangkalnya. Tetapi akupun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini”

Kedua orang itupun kemudian berpencar. Mereka melangkah mendekati Mahisa Bungalan dari dua arah. Namun Mahisa Bungalan pun kemudian bergeser menjauhi pandai besi itu, agar jika benar-benar ia harus bertempur, ia mendapat kesempatan yang cukup.

Ternyata bahwa kedua orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan serta merta keduanya telah menyerang Mahisa Bungalan. Yang seorang dengan pedang, yang lain dengan sepotong besi.

Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan kedua orang itu sama sekali tidak mengenainya. Ia sempat mengelak, dan bahkan iapun telah mulai dengan serangan-serangannya.

Ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang cekatan dan tangkas. Ia bukan saja hanya mampu menghindar, tetapi serangan-serangannya kemudian telah membuat lawannya menjadi bingung. Sejenak kemudian pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Ternyata anak muda yang disangkanya pengemis itu adalah anak muda yang luar biasa.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang mendapat alas bagi ilmunya dari kakek anak laki-laki yang terancam jiwanya itu, ternyata benar-benar menjadi semakin perkasa. Geraknya menjadi semakin cepat, kekuatannya pun seolah-olah menjadi berlipat dalam ilmu yang memang sudah dimilikinya.

Sejenak pandai besi itu berdiri kebingungan. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak mengerti bagaimana ia harus menilai anak muda dungu yang akan menjual sepotong ujung pedang kepadanya itu.

Namun dalam pada itu ternyata bahwa anak muda yang disangkanya perantau dungu itu dapat menempatkan diri untuk melawan dua orang penjaga hutan peliharaan itu, dua orang yang selama itu telah menjadi hantu yang sangat ditakuti orang-orang di sekitarnya. Kalau ia ingin makan, maka tidak ada kedai yang berani memaksanya untuk membayar harga makanan yang dimakannya. Kalau ia menghendaki, apapun akan diberikan oleh orang-orang di sekitar hutan itu. Bahwa seandainya kedua orang itu memerlukan anak atau isteri mereka.....

Tetapi kini dua orang itu berhadapan dengan seorang anak muda yang tidak dikenal sebelumnya. Anak muda yang disangka seorang perantau yang tidak mampu berbuat sesuatu kecuali minta-minta kepada siapapun yang mempunyai belas kasihan.

Dengan wajah yang tegang dan tubuh gemetar, pandai besi itu di luar sadarnya telah menyaksikan perkelahian yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dua orang yang menjadi hantu di daerah itu, adalah dua orang luar biasa. Keduanya memiliki kekuatan yang tidak ada taranya sementara keduanya memiliki ilmu pedang yang tidak ada duanya.

Tetapi lawannya adalah anak muda yang tangkas dan ternyata memiliki tenaga raksasa. Sekali-sekali senjata mereka saling bentur. Namun ternyata bahwa yang telah patah itu benar-benar merupakan senjata yang sangat mengerikan bagi kedua lawanya.

Semakin lama kemudian semakin nampak, bahwa kecepatan bergerak Mahisa Bungalan sulit diimbangi oleh kedua orang itu. Dengan demikian, maka keduanya pun semakin lama menjadi semakin terdesak.

Meskipun demikian, keduanya adalah orang yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam kemungkinan. Karena itu, untuk bertahan lebih lama lagi, merekapun telah bertempur semakin lama semakin garang, kasar dan bahkan keduanya seakan-akan menjadi buas.

Namun bagaimanapun juga, mereka berdua tidak dapat mengatasi kemampuan Mahisa Bungalan. Meskipun keduanya berusaha menyerang anak muda itu dari arah yang berlawanan, namun keduanya tidak berhasil membuat Mahisa Bungalan menjadi bingung dan apalagi dengan ujung senjata, berhasil menyentuh tubuh anak muda itu.

Yang kemudian justru terjadi adalah sebaliknya. Ketika Mahisa Bungalan menjadi muak terhadap kebuasan dan keliaran kedua lawannya, maka ia tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Dengan garang, iapun kemudian menyerang dengan senjatanya yang telah patah. Dengan loncatan-loncatan cepat ia membuat kedua lawannya kadang-kadang kehilangan arah. Selagi Keduanya kebingungan, maka terdengar salah seorang dari kedua orang itu mengeluh. Orang yang bersenjata sepotong besi itu terdesak surut. Ternyata bahwa lengannya telah tersobek oleh ujung senjata yang telah patah itu.

“Gila” geram orang bersenjata tongkat besi itu.

Tetapi ia tidak sempat mengumpat untuk kedua kalinya, karena sekali lagi senjata Mahisa Bungalan menyobek pundaknya.

Yang terdengar sekali lagi adalah rintihan kesakitan. Namun agaknya orang itu masih berusaha untuk melawan. Namun Mahisa Bungalan ternyata benar-benar mampu bergerak cepat Serangannya sempat mendesak salah seorang lawannya yang bersenjata pedang, sementara iapun kemudian meloncat dan memukul tengkuk lawannya yang telah terluka itu, tidak dengan tajam pedangnya, tetapi justru dengan tangkainya.

Terhuyung-huyung orang itu jatuh di tanah. Ia sama sekali tidak menyadari lagi, apa yang telah terjadi, Dunia menjadi gelap dan iapun telah menjadi pingsan.

Sementara itu Mahisa Bungalan tinggal menghadapi seorang lawannya. Karena itu, maka pekerjaannya tidak terlalu berat lagi. Ketika lawannya menyerangnya dengan ujung pedang, Mahisa Bungalan sengaja tidak menghindarnya. Dibiarkannya pedang lawannya terjulur, namun tiba-tiba saja ia telah menangkis dangan pedang patahnya dan memutar menghentak. Demikian cepat dan kuatnya, sehingga lawannya tidak mampu lagi bertahan. Rasa-rasanya pedangnya telah terputar dan tangannya bagaikan tersentuh bara api. Dengan demikian maka pedangnya itu pun telah terlepas dari tangannya dan jatuh di tanah.

Tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertahan. Karena itu maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh, kecuali melarikan diri. Tetapi demikian ia meloncat, terasa tengkuknya tersentuh sesuatu. Ketika ia mencoba untuk melenting menghindari sentuhan berikutnya, terasa tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga seolah-olah tulang-tulangnya telah terlepas dari kulitnya.

Orang itupun tiba-tiba telah terjatuh. Ketika ia berusaha untuk berdiri, maka tubuhnya bagaikan menjadi timah yang sangat berat, sedangkan kekuatannya bagaikan telah lenyap sama sekali.

“Kau akan lari?” terdengar suara Mahisa Bungalan. Orang itu masih dapat bergerak. Ia masih berdiri tegak. Tetapi kemampuannya bergerak menjadi terbatas sekali.

“Kau tidak akan dapat lari. Aku telah menyentuh pusat syarafmu, sehingga sebagian dari kekuatanmu telah membeku” berkata Mahisa Bungalan.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, kekuatannya tidak mampu lagi untuk melakukan sesuatu.

“Tetapi kau masih dapat berjalan sampai ke tempat persembunyianmu. Tunjukkan, dimanakah isteri Pangeran Kuda Padmadata itu kau sembunyikan”

“Aku tidak tahu. Aku tidak kenal Pangeran Kuda Padmadata”

“Kau benar-benar tidak mengenalnya?”

“Tidak. Aku adalah abdi seorang Pangeran yang lain, yang memiliki beberapa batang pohon cendana di hutan itu, serta beberapa jenis pohon yang getahnya berbau wangi”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang itu orang yang sedang pingsan itu berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia bergumam, “Baiklah kau memang tidak tahu menahu, biarlah aku pergi”

Tetapi ketika Mahisa Bungalan melangkah, orang itu hampir berteriak “He, kau tinggalkan aku dalam keadaan begini?”

“Kenapa?”

“Aku hidup tidak, matipun tidak. Jika kau ingin membunuhku, bunuhlah. Tetapi jangan kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini”

“Itu urusanmu” jawab Mahisa Bungalan “ kalau kau memang ingin mati, kau dapat membunuh dirimu. Kau dapat terjun ke dalam sumur, atau menggantung diri, atau masuk ke dalam perapian yang sedang menyala”

“Tidak. Jangan tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini” minta orang itu.

“Aku tidak peduli” jawab Mahisa Bungalan.

Tetapi orang itu masih saja berteriak “Bunuhlah aku”

“Aku tidak akan membunuhmu, Tetapi aku akan menyembuhkanmu jika kau mengatakan yang sebenarnya tentang isteri Pangeran Kuda Padmadata”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika Mahisa Bungalan melangkah menjauh, orang itu berteriak “Kembalilah. Aku akan mengatakannya “

Mahisa Bungalan kemudian melangkah kembali mendekati orang itu. Lalu katanya “Nah, sekarang katakanlah apa yang kau ketahui tentang puteri itu”

“Ia sudah mati”

Seperti warna merah membayang di wajah Mahisa Bungalan. Namun kemudian katanya “Kau jangan ber bohong”

“Aku berkata sebenarnya”

“Dimana ia kau bunuh?”

“Bukan aku. tetapi kawan-kawanku”

“Ya, dimana”

“Di rumahnya”

“Dan mayatnya?”

“Kami tinggalkan di rumahnya”

Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa. Katanya di antara suara tertawanya “Kau ingin menipu aku lagi. Jika mayat itu kau tinggalkan, tentu tetangganya akan mengurusinya. Menyelenggarakannya sebagaimana mestinya. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui tentang mayat itu”

“Tentu tidak ada yang mengetahuinya. Tidak ada yang berani memasuki rumah itu sepeninggal kami”

“Jadi mayat itu masih tetap berada di dalam rumah?”

“Ya”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Kemarahannya tiba-tiba saja telah membakar jantungnya sehingga tangannya telah terayun menghantam wajah orang itu.

Orang itu melihat tangan Mahisa Bungalan bergerak. Ia masih manyadari akibatnya, sehingga orang itupun berusaha untuk menghindar.

Tetapi rasa-rasanya tubuhnya tidak lagi dapat dikuasainya. Ia sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri. Justru usahanya untuk menghindar, serta dorongan tangan Mahisa Bungalan yang sebenarnya tidak begitu keras itu telah melemparkannya jatuh di tanah.

“Berdiri” bentak Mahisa Bungalan, “atau aku akan menginjak perutmu”

Tertatih-tatih orang itu berdiri. Betapa sulitnya. Namun akhirnya ia berhasil tegak. Meskipun demikian kakinya terasa gemetar karena tubuhnya yang menjadi sangat berat.

“Sudahlah. Jangan banyak bicara. Aku menjadi muak. Karena itu lebih baik aku pergi saja”

“Jangan, jangan pergi” orang itu berteriak pula.

“Tidak ada gunanya aku menungguimu disini”

Ketika Mahisa Bungalan melangkah, orang itu berteriak lagi sambil berkata “Baiklah. Baiklah aku berkata sebenarnya”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan geram ia berkata, “Jangan memperbodoh aku. Jika mayat itu tetap berada di dalam rumah, tentu aku sudah menemukannya. Sekarang, katakan yang sebenarnya. Aku benar-benar sudah muak melihat wajahmu dan mendengar suaramu”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu “Ia berada di hutan itu. Kami telah menyembunyikannya”

“Kau tidak berbohong?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tidak. Aku tidak berbohong”

“Tetapi kenapa ia tidak kau bunuh saja?” bertanya Mahisa Bungalan.

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya “Kau tidak mau mendengar jawabanku bahwa ia sudah aku bunuh”

“Aku tidak perlu jawabanmu, tetapi aku perlu kenyataan. Ia pasti masih hidup. Tetapi kenapa kau tidak membunuhnya, atau orang yang memerintahkanmu tidak membunuhnya?”

Orang itu menjadi bingung. Ia sadar, bahwa pada suatu saat tentu akan sampai sebuah pertanyaan kepadanya, siapakah yang telah memerintahkannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hidup dalam keadaan seperti yang dialaminya adalah hidup yang paling menderita. Keadaan tubuhnya tidak akan lebih baik dari pada orang yang cacat paling parah.

“Ia masih hidup” desisnya “sepengetahuanku, ia masih diperlukan untuk memancing agar anak laki-lakinya dapat ditangkap pula. Mungkin ia masih dapat dipergunakan dengan cara apapun juga untuk mempertemukannya dengan anak laki-lakinya”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya “Marilah, antarkan aku kepadanya. Biarlah kawanmu tetap disini. Pandai besi itu akan mengikatnya erat-erat”

Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan kemudian mendorongnya sehingga orang itu hampir saja jatuh terjerembab, justru karena tubuhnya rasa-rasanya tidak dapat dikuasainya lagi.

“Berjalanlah” perintah Mahisa Bungalan

“Kakiku berat sekali”

“Aku dapat membuatmu lumpuh sama sekali dan aku akan dapat meninggalkan di pinggir hutan, sehingga anjing liar akan menerkammu selagi kau masih hidup, tetapi lumpuh”

Orang itu menjadi ngeri. Tetapi ia percaya bahwa anak muda itu dapat memperlakukannya demikian. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia berjalan betapapun beratnya menuju kehulan peliharaan yang di dalamnya terdapat beberapa batang pohon cendana.

Dalam pada itu sepeninggal Mahisa Bungalan, maka pandai besi itupun telah melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Orang yang pingsan itupun diikatnya erat-erat pada sebatang pohon, agar apabila ia sadar, ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Sementara itu, Mahisa Bungalan pun menjadi semakin dekat dengan hutan peliharaan. Namun ia tidak percaya sepenuhnya kepada orang yang telah tidak mampu berbuat apa-apa itu lagi. Ia masih tetap berhati-hati. Mungkin di hutan itu terdapat beberapa orang kawan-kawannya yang mengawal isteri Pangeran Kuda Padmadata yang berasal dari padukuhan itu.

Tertatih-tatih orang itupun berjalan memasuki hutan. Sikapnya yang nampak ragu-ragu dan gelisah, membuat Mahisa Bungalan semakin berhati-hati. Beberapa langkah di dalam rimbunnya dedaunan pada hutan peliharaan yang nampak teratur pada bagian tepinya itu. Mahisa Bungalan melihat jalan setapak. Menurut pengamatan Mahisa Bungalan, jalan itu adalah jalan yang sering diambah kaki manusia yang hilir mudik masuk dan keluar hutan itu.

“Tentu bukan jalan yang hanya dilalui oleh dua orang saja” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Semakin dalam ia masuk, maka ia semakin memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika ia mendengar orang itu berkata agak keras, “Kau jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti”

“Aku hanya menghendaki kau berjalan di depanku. Setiap saat aku akan dapat membunuhmu dengan mudah, tetapi jika seseorang membunuhku lebih dahulu dari arah yang tidak aku ketahui, maka untuk seluruh sisa hidupmu, kau akan mengalami nasib yang buruk dengan keadaan seperti yang kau alami sekarang. Tidak seorang pun yang akan dapat membebaskanmu selain orang-orang dari perguruanku. Padahal, aku adalah satu-satunya murid guruku, sementara guruku tidak akan dapat kau jumpai dimanapun juga orang mencarinya”

Orang itu menjadi tegang. Tetapi ia masih berpengharapan bahwa kawan-kawannya dapat menolongnya. Menangkap Mahisa Bungalan dan memaksanya mengobatinya, membebaskannya dari kekangan syaraf yang gila itu. Karena itu, maka katanya “Kau jangan berbuat terlalu kejam kepadaku Ki Sanak. Tetapi jika kawan-kawanku memaksamu, apakah kau juga tetap akan ingkar? Seandainya hidupmu ditukar dengan pembebasan syarafku, apakah kau bersedia?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya berbisik “Aku mendengar sesuatu. Aku tahu, kau sedang memberikan aba-aba kepada kawan-kawanmu yang ada di sekitar tempat ini, agar mereka tidak membunuhku”

“Jangan berprasangka buruk” orang itu berkata semakin keras “aku bermaksud baik”

Tetapi pendengaran Mahisa Bungalan yang tajam tidak dapat dikelabuinya. Karena itu. ia berbuat sesuatu agar ia tidak terjerat kepada tindakan biadab orang-orang itu. Jika orang-orang di hutan itu mengetahui persoalannya dengan pasti, maka orang itu tentu tidak akan segan-segan mempergunakan isteri Pangeran Kuda Padmadata untuk memaksanya menyerah.

Karena itu, maka katanya kemudian perlahan-lahan “Kau cerdik. Aku telah terjebak ke dalam satu lingkungan. Tetapi kau masih tetap lumpuh meskipun tidak mutlak”

“Kau akan dipaksa untuk membebaskan aku” katanya semakin berani.

Mahisa Bungalan menyadari, pendengarannya yang tajam telah menduga suara di sekitarnya. Dengan demikian ia dapat menduga bahwa lebih dari dua orang yang sudah mengepungnya.

“Tiga atau empat orang. Aku tidak boleh berbuat terlalu baik hati kepada mereka, jika aku sendiri tidak ingin terjebak dan mati”

Karena itu, seolah-olah Mahisa Bungalan menggenggam pedang patah yang ternyata dibawanya itu semakin erat. Pedang itu akan sangat berguna baginya, jika keadaan memang memaksanya berbuat demikian.

Beberapa langkah kemudian Mahisa Bungalan berkata “Kita berhenti disini. Marilah kita menyelesaikan masalah kita. Aku tidak tahu, kemana kau akan membawa aku”

Orang itu termangu-mangu. Namun katanya “Aku akan membawamu sesuai dengan permintaanmu, karena orang itu…..”

Kata-katanya terputus. Mahisa Bungalan tahu, bahwa orang itu akan memberikan isyarat, tentang apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Uungalan telah menyentuh bagian bawah telinga orang itu dengan ibu jarinya, sehingga iapun telah terdiam. Rasa-rasanya mulutnya manjadi kejang dan ia tidak dapat lagi mengucapkan kata-kata, kecuali hanya sekedar menggeram.

Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan tajamnya. Dangan nada dalam ia berkata hampir berbisik

“Itulah yang kau kehendaki. Kau sekarang tidak dapat mengucapkan kata-kata. Aku masih dapat berbuat lebih buruk lagi dengan mengganggu pendengaran dan penglihatanmu. Jika perlu aku terpaksa melakukannya”

Orang itu akan menjawab, tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkan. Dalam pada itu, seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, bahwa beberapa orang sedang mengintipnya, ternyata tidak salah.

Pada saat yang sudah diperhitungkan, maka orang-orang itupun benar-benar telah berloncatan mengelilinginya dengan pedang terhunus.

“Tiga orang” desis Mahisa Bungalan.

Ketiga orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan sorot mata penuh kemarahan. Bahkan salah seorang dari mereka tidak sabar lagi melihat keadaan kawannya. Dengan serta merta ia bertanya “Apa yang telah terjadi denganmu?”

Tetapi ketiga orang itu terkejut, bahwa kawannya sama sekali tidak menjawab. Ia hanya dapat memberi mereka isyarat dengan tangannya. Tetapi tidak jalas, apakah yang dimaksudkannya.

“Ia memang bisu” berkata Mahisa Bungalan.

“Tidak mungkin. Aku masih mendengar suaranya ketika ia memasuki hutan ini” jawab salah seorang dari mereka.

“O, apakah begitu? tetapi sejak aku mengantarkannya, aku mengira ia memang bisu”

“Kau mencoba untuk membohongi kami” berkata salah seorang dari mereka.

“Kenapa aku membohongimu. Lihatlah, kau dapat menyaksikannya sendiri. Ia benar-benar bisu”

Sikap Mahisa Bungalan membuat orang-orang itu semakin marah. Ketiganya menganggap, bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali membunuh anak muda itu.

Karena itu, maka salah seorang dari mereka, yang agaknya adalah orang tertua diantara mereka berkata, “tidak ada kesempatan bagi anak gila ini untuk keluar dari hutan ini hidup-hidup. Ia harus kita bunuh dan mayatnya akan kita lempar ke hutan yang dihuni oleh binatang buas itu”

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjawab “Jika hal itu kau lakukan, maka nasib kawanmu inilah yang paling buruk. Tidak ada orang yang akan dapat menyelamatkannya dari keadaannya”

“Guru tentu dapat mengobatinya. Kami sudah mengira bahwa kaulah yang telah membuatnya demikian”

“Hanya aku yang dapat menyembuhkan gangguan syaraf itu. Tidak ada orang lain”

“Persetan” geram yang tertua, “bunuh orang itu”

Mahisa Bungalanpun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Agaknya orang-orang itu bukannya orang-orang yang dapat diajaknya berbicara.

Sejenak kemudian, maka salah seorang dari ketiga orang itu telah meloncat mendekat sambil menjulurkan senjata, sementara yang lain telah menyerang Mahisa bungalan dari arah belakang.

Tetapi Mahisa Bugalan telah bersiap. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindar. Sekali ia berputar setengah lingkaran. Namun tiba-tiba senjata pun telah menyambar dengan cepatnya.

Tetapi serangan Mahisa Bugalan itu bukannya serangan yang sebenarnya. Ketika lawannya meloncat menghindar, maka ia pun segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang lebih berat, karena ketiga orang lawannya itupun tentu akan menyerangnya bersama-sama.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan seakan-akan telah mengerahkan landasan ilmunya. Terasa sesuatu telah menjalari seluruh urat nadinya, sehingga sekejap kemudian, maka rasa-rasanya seluruh tubuhnya telah dialiri oleh nafas kemampuannya yang jarang ada duanya.

Dengan demikian, maka ketika kemudian Mahisa Bungalan meloncat, terasa betapa tubuhnya menjadi ringan, namun kekuatannya bagaikan berlipat ganda.

Karena itulah, maka perlawanan Mahisa Bungalan pun menjadi semakin sengit. Ia berloncatan bagaikan sikatan. Namun sentuhan senjatanya melontarkan kekuatan seperti seekor gajah.

Tetapi ketiga orang lawannya adalah orang-orang yang telah kaya dengan pengalaman. Mereka adalah orang-orang yang hampir di segenap umurnya dikerumuni oleh kekerasan dan perkelaian. Karena itu maka dengan garangnya mereka melawan Mahisa Bungalan yang bertempur seorang diri melawan mereka bertiga.

Seorang dari antara mereka yang seakan-akan telah menjadi bisu itu menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tenaganya seakan-akan telah lenyap sementara mulutnya bagaikan menjadi kejang. Dengan demikian maka yang dapat dilakukannya hanyalah menyaksikan apa yang akan terjadi.

Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jika dipasar ia bertempur melawan dua orang lawan, kini ia berhadapan dengan tiga orang yang memiliki kemampuan setingkat. Karena itu, maka. ia harus bertempur dengan hati-hati serta mengerahkan kemampuannya agar ia tidak menjadi korban.

Tetapi akibatnya, bahwa Mahisa Bungalan pun tidak dapat mengamati diri, bahwa ia tidak akan melakukan pembunuhan. Dalam perang yang seru, maka seseorang akan sulit untuk menguasai diri sebaik-baiknya agar tidak melakukan sesuatu yang dapat merampas jiwa seseorang.

“Aku masih terlalu muda untuk mati” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya “karena itu, semoga Tuhan Yang Maha Penyayang melindungi aku”

Tetapi ketiga orang lawan Mahisa Bungalan itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Pengalaman mereka menghadapi berbagai macam lawan, telah menempatkan mereka pada arah yang berbeda. Mereka menyerang berganti-ganti, susul menyusul dari segala arah. Namun Mahisa Bungalan memang memiliki kecepatan dan ketangkasan bergerak, sehingga serangan-serangan itu tidak mengenainya.

Namun demikian, ketiga orang lawannya tidak mengurangi tekanannya. Mereka mempergunakan berbagai cara untuk membuat Mahisa Bungalan menjadi kebingungan.

Ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka ketiga orang lawannya itupun telah bertempur dalam satu lingkaran yang bergerak. Di antara pepohonan hutan, ketiga orang itu seakan-akan telah berputar mengitari Mahisa Bungalan sambil menyerang berganti-ganti.

Sejenak Mahisa Bungalan tergetar. Putaran itu membuatnya menjadi gelisah. Namun kemudian, iapun berhasil menyesuaikan diri. Justru Mahisa Bungalanpun mulai bergerak agar lawannya tidak selalu berada pada putaran yang tetap.

Ketika Mahisa Bungalan berloncatan di antara putaran lawannya, kadang-kadang putaran itu memang terganggu. Serangan yang memusat pada salah seorang di antara mereka, kadang-kadang telah menghentikan putaran itu. Namun kedua orang lawannya segera berhasil menolong kawannya yang didesak oleh Mahisa Bungalan dan sejenak kemudian mereka telah berada dalam putarannya kembali.

“Gila” desis Mahisa Bungalan.

Di luar sadarnya, kemarahan yang menghentak di dalam dirinya telah memeras segenap kemampuannya. Ternyata pada keadaan yang demikian, alas pada kecepatan bergerak dan kekuatan tenaganya menjadi semakin berkembang. Mahisa Bungalan seakan-akan menjadi semakin ringan, namun tenaganya menjadi semakin besar berlipat ganda.

Karena itu, maka pedangnya yang telah patah pada ujungnya itu berputar semakin cepat. Kemampuan kakinya yang melontarkan tubuhnya menyusup pepohonan seakan-akan tidak terbatas lagi. Bahkan kemudian putaran lawannya bukannya merupakan persoalan yang membingungkannya lagi.

Kecepatan bergerak Mahisa Bungalan ternyata telah berhasil melontarkannya keluar dari kepungan yang berputar itu. Bahkan dengan perhitungan yang matang, Mahisa Bungalan lah yang berlari-larian memutari ketiga orang itu. Demikian cepatnya, sehingga ketiga orang itu justru merasa terkepung oleh beberapa orang bersenjata pedang yang patah.

“Gila” geram mereka hampir bersamaan.

Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya, salah seorang dari mereka telah memotong gerak Mahisa Bungalan, sementara kedua orang kawannya telah menyerangnya bersama-sama.

Tetapi serangan itu justru telah mengejutkan ketiga orang itu sendiri. Mahisa Bungalan yang terpotong putarannya, justru meloncat ke samping. Dengan putaran yang cepat dan loncatan selangkah surut, Mahisa Bungalan telah mengambil ancang-ancang. Karena itu, ketika ia kemudian meloncat maju. maka ayunan pedangnya mengarah ke kening salah seorang lawannya yang telah memotong geraknya.

Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak sempat mengelak. Yang dilakukannya adalah menyilangkan pedangnya untuk menangkis pedang Mahisa Bungalan.

Tetapi yang dilakukan Mahisa Bungalan benar-benar diluar perhitungan mereka. Ayunan pedangnya itu ternyata telah ditariknya. Mahisa Bungalan yang kemudian merendah pada lututnya itupun melenting dan berputar, justru menyerang orang yang berada selangkah di sampingnya. Pedang patahnya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya.

Dengan tangkasnya lawannya telah menangkis serangan Mahisa Bungalan dengan memukul pedang patah itu. Mahisa Bungalan tidak menahan pukulan itu. Bahkan ia mempergunakan dorongan pedang lawannya untuk kemudian memutar pedangnya dan sekali lagi menyerang lawannya itu.

Yang dilakukan adalah demikian cepatnya. Namun lawannya berusaha untuk menangkis sekali lagi.

Tetapi Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya dan kecepatannya bergerak. Ketika lawannya menangkis, maka ia sempat memutar pedangnya sehingga pedang lawannya justru tidak menyentuh pedangnya. Tetapi pada saat yang demikian, dada lawannya telah terbuka.

Namun Mahisa Bungalan tidak dapat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat ia menusuk dada lawannya, maka seorang lawannya yang lain telah menyerangnya pula, sehingga Mahisa Bungalan harus menghindar.

Karena itulah, maka serangannya pun tidak berhasil mengenai dada lawannya. Namun sebuah goresan kecil telah menyobek kulit lawannya itu pada lengannya.

Terdengar orang yang terluka itu menggeram. Sementara Mahisa Bungalan sudah meloncat dan berkisar menghadapi lawan-lawannya yang lain, “Anak iblis” desis seorang lawannya.

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara orang yang tidak berdaya di pinggir arena itu pun menjadi berdebar-debar juga. Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan sangat berbahaya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sepatah katapun kepada kawan-kawannya untuk memperingatkan mereka agar mereka lebih berhati-hati menghadapi anak muda itu. Di pasar, seorang kawannya telah pingsan sementara ia sendiri telah kehilangan tenaga dan suaranya. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah berdesah dan kebingungan.

Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Sementara itu, kekuatan yang terungkap oleh kemampuan ilmu Mahisa Bungalan terasa menjadi semakin mapan. Kecepatan bergerak dan kekuatan tenaganya justru semakin lama menjadi semakin bertambah-tambah. Sementara lawannya menjadi semakin telah karena mereka telah mengerahkan segenap kemampuan.

Betapa tinggi daya tahan ketiga orang lawannya, namun melawan Mahisa Bungalan dengan mengerahkan segenap kemampuannya tenaganya seakan-akan semakin terhisap habis.

Yang tergores lengannya, merasa lukanya semakin pedih. Apalagi karena luka itu telah tersentuh keringatnya yang bagaikan diperas dari tubuhnya. Namun demikian luka itu sama sekali tidak mengganggunya. Ia masih mampu bertempur seperti kedua orang kawannya yang lain.

Sementara ketiga orang kawannya bertempur, orang yang seakan-akan menjadi bisu di pinggir arena itu mencoba berpikir. Tiba-tiba saja ia berniat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Meskipun ia tidak bertenaga, tetapi orang lain tentu tidak mengetahuinya selain Mahisa Bungalan sendiri, dan ketiga orang kawannya.

Karena itu, maka timbullah niatnya untuk kembali ke gubugnya di tengah-tengah hutan. Ia akan membawa perempuan yang disembunyikan di dalam gubug itu kepada ketiga orang kawannya. Dengan isyarat ia akan memaksa Mahisa Bungalan menyerah. Jika tidak, maka ia akan membunuh perempuan itu, atau salah seorang dari kedua orang kawannya itu tentu akan dapat melakukannya.

Oleh pikiran itu, maka iapun kemudian beringsut selangkah demi selangkah. Ia masih mampu berjalan menuju ke gubugnya. Kemudian memaksa perempuan itu berjalan dengan ancaman pedang pada punggungnya

“Tidak ada pedang lagi digubug itu” desisnya di dalam hati “pandai besi itu lamban benar menyiapkan pedang kami”

Namun orang itu mengharap bahwa mereka akan dapat menemukan senjata. Mungkin parang, mungkin cundrik atau jenis senjata apapun juga.

Namun ternyata Mahisa Bungalan melihatnya berkisar. Bahkan Mahisa Bungalan melihat orang itu meninggalkan arena.

“Gila” desis Mahisa Bungalan “kenapa aku tidak melumpuhkannya saja?”

“Tetapi ia masih harus berhadapan dengan ketiga orang lawannya. Kegelisahannya kemudian telah menumbuhkan hentakan kekuatan sehingga ilmu yang dipelajarinya dari orang tua itu, yang seolah-olah menjadi alas kemampuannya, ternyata semakin kuat berpengaruh atas dirinya.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun seolah-olah mampu bergerak seperti loncatan kilat di langit. Menyambar dengan dahsyatnya. Pedangnya, meskipun sudah patah, namun merupakan isyarat maut yang setiap saat berputar menghampiri ketiga orang lawannya berganti-ganti.

Ketika orang yang berjalan tertatih-tatih itu sudah tidak nampak lagi, maka kegelisahan Mahisa Bungalan pun meningkat. Namun dengan demikian, yang tidak begitu dikenalnya pada dirinya sendiri, telah muncul dari dalam dirinya. Justru ilmu yang mengalasi ilmu yang pernah dimilikinya lebih dahulu.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan kadang-kadang masih keheranan terhadap kemampuannya sendiri. Namun yang semakin lama semakin mapan dan dikenalnya dengan baik.

Bahkan kemudian Mahisa Bungalan dengan sengaja telah menghentakkan kecepatan dan segenap kekuatannya. Ia ingin menjajagi. sampai dimanakah puncak kemampuan yang sebenarnya dimiliki atas alas dari ilmunya.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan benar-benar merupakan seekor burung sikatan yang bergerak secepat kilat, namun juga seekor gajah yang kekuatannya tidak terkira.

Ternyata kemudian, ketiga orang lawannya tidak mampu lagi mengimbangi ilmu Mahisa Bungalan yang dahsyat itu. Mereka sama sekali tidak berhasil terus menerus menghindari kecepatan bergerak Mahisa Bungalan yang selalu mengejarnya. Karena itu, maka dalam keadaan yang tidak dapat dihindari lagi, senjata Mahisa Bungalan telah menggores pada tubuh lawannya pula. Bukan sekedar segores kecil, tetapi ternyata pundak lawannya telah disobeknya.

Belum lagi gema teriakannya lenyap, maka yang lain telah mengaduh pula. Mahisa Bungalan yang marah itupun telah berhasil melukai dada lawannya yang lain.

Dalam pertempuran berikutnya, maka Mahisa Bungalan tidak lagi membuat pertimbangan-pertimbangan khusus bagi lawangnya. Apalagi karena orang yang sudah dibuatnya tidak berdaya itu, bagaikan hilang dibalik rimbunnya dedaunan hutan. Dengan demikian, maka yang ingin dilakukannya, adalah menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Kemudian menyusul orang yang telah melarikan diri itu.

“Ia tidak akan dapat pergi jauh” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Demikianlah, dalam puncak kemarahan dan kegelisahannya. Mahisa Bungalan telah bertempur dengan segenap kemampuan dan kekuatannya. Seorang demi seorang, ketiga lawannya telah dilukainya. Bahkan sejenak kemudian, seorang lawannya yang tidak dapat lagi bertahan karena darahnya yang mengalir bercururan dari lukanya telah kehilangan segenap kekuatannya dan jatuh terkulai bersandar sebatang pohon yang besar.

Dua orang lawannya tidak banyak berarti lagi bagi Mahisa Bungalan yang kemampuannya seakan-akan sama sekali tidak susut. Bahkan pedangnya mampu bergetar lebih cepat dan lebih kuat, menebas lawannya seorang demi seorang, sehingga akhirnya ketiga-tiganya telah roboh di tanah.

Demikian ketiga lawannya telah dilumpuhkan, maka Mahisa Bungalan pun dengan tergesa-gesa berlari mencari orang yang telah hilang itu. Namun Mahisa Bungalan ternyata masih sempat berpikir. Ia sadar, bahwa orang itu tidak akan berbahaya lagi bagi siapapun juga. Seandainya ia menemukan sebuah pisau belati sekalipun, ia tidak akan mempunyai kekuatan cukup untuk menusuk seseorang sehingga membahayakan jiwanya.

Karena itu, Mahisa Bungalan justru tidak ingin segera menangkapnya. Bahkan ketika ia sudah berhasil menemukan jejaknya pada rerumputan dan ranting-ranting yang patah terseret kakinya, maka iapun hanya mengikutinya saja.

Seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, maka gubug orang itu sudah tidak terlalu jauh. Dari antara semak-semak Mahisa Bungalan kemudian melihat orang itu tertatih-tatih menuju ke pintu sebuah gubug kecil.

Namun Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar dengan sebilah bindi di tangan. Dengan dada tengadah ia memandang orang yang datang tertatih-tatih.

“He, kenapa kau?”

Orang itu tidak dapat mejawab. Ia mencoba memberikan isyarat. Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu tidak segera menangkapnya.

“Di mana kawan-kawanmu he?” Orang itu bertanya lebih keras. Tetapi yang ditanya tidak dapat menjawab.

“Apa kau menjadi tuli? Atau bisu?”

Orang bertubuh tinggi besar itu terkejut karena kawannya itu mengangguk sambil menunjuk mulutnya.

“Kau bisu? Kenapa?”

Orang itu ternyata dapat memberikan isyarat yang lain. Ia mencoba menunjuk bagian di bawah telinganya yang ditetak dengan jari oleh Mahisa Bungalan.

Orang itu mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju dan kemudian mengamat-amati bagian yang ditunjuk oleh orang yang menjadi bisu itu.

Dengan jari-jarinya ia mencoba meraba. Kemudian memijit dan menekan. Namun ia tidak berhasil membebaskannya dari gangguan syaraf yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan.

Karena itu, maka orang itu pun menggeram. Sejenak ia memandang ke sekelilingnya. Sementara orang yang menjadi bisu itu mencoba menunjuk ke arah arena pertempuran yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan itu.

Agaknya orang itu mengerti, bahwa orang yang telah menjadi bisu itu menunjuk ke tempat yang gawat. Karena itu, maka iapun segera meloncat sambil berkata “Jaga perempuan itu”

Orang yang bisu itu tidak dapat menjawab. Ia hanya melihat kawannya yang bertubuh raksasa itu meninggalkannya menuju ke tempat yang ditujunya.

Mahisa Bungalan membenamkan diri di tempat persembunyiannya. Ia tidak ingin dilihat oleh orang bertubuh raksasa itu, karena, ia belum yakin, bahwa di gubug itu tidak ada orang lain lagi yang akan dapat mencelakai perempuan yang disebutnya.

Demikian orang bertubuh raksasa itu hilang, maka Mahisa Bungalan pun segera meloncat dari balik gerumbul dan langsung berlari ke pintu gubug itu.

Betapa terkejutnya orang yang telah terganggu syarafnya itu. Namun ia benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menyaksikan Mahisa Bungalan berlari memasuki gubug kecil di dalam hutan itu.

Sejenak kemudian terdengar jerit tertahan. Ketika Mahisa Bungalan mendorong pintu yang diselarak dari luar, maka seorang perempuan telah berdiri ketakutan di sudut sambil berteriak “Pergi, pergi”

Mahisa Bungalan tertegun. Ia sadar, bahwa perempuan itu telah mengalami tekanan jiwa yang luar biasa. Adalah masuk akal bahwa perempuan itu tidak dibunuh karena anak laki-lakinya masih belum dapat diketemukan. Mungkin perempuan itu masih akan dapat dipergunakan untuk umpan agar anak laki-lakinya dapat ditangkapnya. Tetapi apabila anak laki-lakinya itu sudah berada di tangan orang-orang yang liar dan buas itu, maka nasib mereka berdua tentu akan menjadi sangat buruk. Apalagi nasib perempuan yang ada di dalam bilik itu. Perempuan yang tidak terlalu buruk. Bahkan wajah itu pernah memikat seorang Pangeran yang sedang pergi berburu.

Karena Mahisa Bungalan masih tetap di tempatnya, maka sekali lagi perempuan itu berteriak “Pergi, pergi. Atau bunuh aku sama sekali”

Mahisa Bungalan yang masih memegang sebilah pedang itupun maju selangkah. Namun agaknya perempuan itu salah paham. Karena itu sekali lagi ia menengadahkan dadanya sambil berkata “Bunuh aku. Bunuh saja”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Baru sejenak kemudian ia berkata “Aku tidak bermaksud buruk”

“Omong kosong. Kembalikan anakku atau bunuh aku”

“Cobalah dengar kata-kataku” berkata Mahisa Bungalan “aku bukan dari antara orang-orang yang telah menangkapmu. Aku adalah orang yang datang dengan maksud yang lain”

“Omong kosong”

“Aku akan membuktikan. Kau lihat pedangku yang merah karena darah. Aku sudah bertempur melawan beberapa orang yang barangkali mendapat tugas menjagamu dan sekaligus mencari anakmu yang diselamatkan oleh kakeknya itu. Jangan takut. Mungkin kau perlu berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Lalu “Siapa kau?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Lalu “Aku utusan Pangeran Kuda Padmadata. Keadaanmu sudah didengarnya. Karena itu, maka Pangeran sudah mengutus aku untuk melihat keadaanmu”

Wajah orang itu nampak berubah. Tetapi kemudian ketakutan itu telah menjalar lagi di hatinya. Dengan suara nyaring ia berteriak “Jangan menipu aku. Aku belum pernah melihatmu”

“Aku memang seorang anak padesan. Aku mendapat perintah dari kakek tua yang menyembunyikan cucunya setelah mengalami keadaan yang pahit, mereka berhasil berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, saluran perintah yang sampai kepadaku, sebenarnyalah perintah Pangeran Kuda Padmadata”

Perempuan itu masih ragu-ragu.

“Kakek tua itu tentu ayahmu. Dan cucu laki-lakinya itu tentu anakmu. Mereka masih selamat. Mereka menunggumu sebelum mereka dan kau akan bersama-sama menghadap Pangeran Kuda Padmadata”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak “Kau akan menjebakku. Pangeran Kuda Padmadata sudah bersiteri di Kediri. Seorang puteri bangsawan. Jika kau membawaku ke sana maka aku akan dibunuhnya”

“Mungkin Pangeran Kuda Padmadata dapat mengingkarimu. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia akan dapat mengingkari anaknya sendiri”

“Justru anak itu adalah sasaran yang utama. Anak itulah yang akan dibunuhnya. Aku bukan apa-apa bagi mereka. Tetapi anak itu”

Mahisa Bungalan menjadi gelisah. Nampaknya perempuan yang dicengkam oleh ketakutan itu tidak lagi dapat mudah mempercayai seseorang.

Sementara itu, ketika Mahisa Bungalan berlari memasuki gubug kecil itu, orang yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi dan menjadi bisu itu, telah berusaha dengan secepat dapat dilakukan, menyusul orang yang bertubuh tinggi kekar. Tertatih-tatih ia berjalan di antara semak-semak. Betapa letih dan penat tulang-tulangnya tidak dihiraukannya.

Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi dan kekar itu telah sampai kearena pertempuran yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan. Yang ditemuinya adalah tiga orang kawannya yang telah terbaring diam. Karena darah yang mengalir tidak tertahankan, maka mereka tidak dapat bertahan lebih lama lagi, sehingga maut ternyata telah menjemputnya.

“Gila” teriak orang bertubuh tinggi kekar itu.

Namun ia tidak melihat seorang pun di sekitarnya. la sadar bahwa orang yang telah berhasil membunuh ketiga orang kawannya itu telah meninggalkan mereka.

Betapa hatinya menjadi panas bagaikan disentuh bara. Meskipun orang yang telah membunuh kawannya itu tentu orang yang luar biasa, namun orang bertubuh raksasa itu merasa, bahwa apabila ia sempat bertemu, maka ia akan mencoba apakah orang itu dapat mengalahkannya.

Selagi ia termangu-mangu di antara beberapa sosok mayat itu, maka orang yang bisu itu datang berlari kecil sambil terhuyung-huyung. Hanya itulah yang mampu dilakukannya.

“He, apa yang kau lihat?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

Dengan nafas terengah-engah kawannya yang telah menjudi bisu itu memberikan isyarat sambil menunjuk ke arah gubug yang ditingalkannya.

“la pergi ke sana?” orang bertubuh tinggi itu bertanya.

Orang yang bisu itu mengangguk. Tidak perlu keterangan lebih banyak lagi. Orang bertubuh raksasa itupun berlari kembali ke gubug yang ditinggalkannya. Sementara orang yang telah kehilangan sebagian besar dari kemampuannya itu tiba-tiba saja telah terjatuh karena kelelahan. Nafasnya menjadi tersengal-sengal dan badannya seakan-akan menjadi lumpuh sama sekali. Dalam keadaannya, ia telah melakukan sesuatu yang melampaui kekuatan yang ada padanya.

Dalam pada itu, maka orang bertubuh raksasa itupun dengan tangkasnya meloncati gerumbul-gerumbul perdu menuju ke gubug yang ditinggalkannya.

Mahisa Bungalan yang masih berada di dalam gubug itu pun segera mendengar langkah orang berlari. Dengan gelisah ia berkata “Nah, dengar. Salah seorang dari mereka telah datang. Itu berarti bahwa aku harus bertempur lagi. Aku harus membunuh atau dibunuh”

Perempuan itu menjadi semakin pucat. Tetapi ia masih tetap dicengkam dalam kebingungan.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian, ia mendengar derak pintu patah. Meskipun pintu depan gubug itu terbuka, tetapi orang bertubuh raksasa itu telah menerjang uger-uger pintu itu, sehingga pecah berserakan.

Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan melihat seorang bertubuh raksasa itu telah berdiri di muka pintu. Dengan suara yang gemuruh ia berteriak “Menelungkuplah. Aku akan memecahkan kepalamu dengan bindiku ini”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Sementara perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan, sehingga di luar sadarnya ia telah jatuh terduduk.

“Cepat, sebelum aku marah. Jika aku marah, maka aku tidak akan segera memecahkan kepalamu. Tetapi aku akan memecahkan kakimu, tanganmu dan tulang-tulang igamu. Kau akan bertahan hidup dalam keadaan yang demikian barang tiga empat hari”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah dengan sengaja memasuki sarang serigala. Karena itu, maka aku akan bertahan atas segala akibat yang dapat terjadi. Aku sudah melumpuhkan lima orang kawanmu. Sekarang kau tinggal seorang diri”

“Persetan, tetapi aku seorang diri tidak kalah dengan lima orang kawanku yang telah kau bunuh itu”

Mahisa Bungalan pun melihat, bahwa orang itu adalah seorang yang tentu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tubuh raksasanya telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu tentu memiliki kekuatan yang sangat besar.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun harus berhati-hati Ia tidak boleh gagal, jika ia gagal, maka bukan ia sendirilah yang akan menjadi korban, tetapi juga perempuan yang ke takutan itu tentu akan mengalami akibat yang sangat buruk.

“Aku sudah berjanji kepada kakek tua itu untuk tidak mencari perkara. Tetapi aku tidak akan dapat melewatkan kesempatan untuk menolong perempuan itu”

Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi besar itu pun tidak sabar lagi. Selangkah ia maju dengan bindi yang besar mulai terayun di tangannya.

“Kau akan bertempur di tempat yang sempit ini?” bertanya Mahisa Bungalan.

Tetapi orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja bindinya terayun deras sekali mengarah ke pundak Mahisa Bungalan. Agaknya orang itu benar-benar belum ingin memecahkan kepalanya. Tetapi sekedar ingin melumpuhkannya, meskipun Mahisa Bungalan percaya bahwa orang itu pasti akan membunuhnya pula pada akhirnya. Tetapi dengan cara perlahan-lahan.

Ayunan bindi yang besar itu sama sekali tidak mengecilkan hati Mahisa Bungalan. Meskipun Mahisa Bungalan pun menyadari, bahwa yang dilakukan oleh orang itu bukannya batas kemampuannya.

Dengan mudah Mahisa Bungalan dapat menghindarinya, tetapi yang kemudian ternyata mengejutkannya adalah akibat ayunan bindi yang tidak mengenainya itu. Bindi itu ternyata telah menyentuh tiang gubug kecil itu. Demikian keras ayunannya, sehingga tiang gubug itu telah terangkat dengan derasnya dan terlempar ke samping. Dengan demikian maka dinding gubug itupun telah berderak dan terbuka. Bahkan ternyata kemudian karena tiangnya terangkat dan terlempar, maka atapnya pun telah runtuh karenanya meskipun tidak dengan serta merta.

Terdengar perempuan itu memekik. Mahisa Bungalan yang ada di dalam gubug itu pula bergeser selangkah. Ternyata bahwa tidak seluruh atapnya runtuh, karena masih ada beberapa tiang yang lain yang tetap berdiri.

Namun dengan demikian, gubug itu telah menjadi berserakan. Dengan tangkasnya Mahisa Bungalan meloncat menyusup diantara reruntuhan atap itu menuju ke pintu.

“Jangan lari” teriak raksasa itu.

Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Iapun meloncat dengan cepat keluar gubug yang runtuh itu, sementara lawannya telah mengejarnya. Demikianlah yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan Di tempat tarbuka ia berhenti sambil mengacukan pedangnya yang sudah patah sambil berkata “Kemarilah. Kita mendapat tempat yang lebih baik di sini untuk bermain-main”

Orang bertubuh raksasa itu melangkah mendekat. Wajahnya menjadi tegang oleh kemarahan. Ternyata Mahisa Bungalan sama sekali tidak gentar melihat sikapny4a.

“Jangan menyesal bahwa kau akan mengalami nasib yang sangat buruk disini “ orang itu menggeram.

“Kau atau aku? Jika kau mampu melakukan apa saja untuk menyakiti korbanmu, kau kira aku tidak? Beruntunglah kawan-kawanmu yang aku bunuh dengan cepat, tetapi, terhadapmu mungkin aku mempunyai pertimbangan lain seperti orang yang aku buat setengah lumpuh dan bisu itu”

“Persetan” orang itu berteriak “akulah yang akan membunuhmu”

Tetapi ternyata Mahisa Bungalanpun berteriak lebih keras “Aku yang akan membunuhmu. Aku akan membawa perempuan itu karena aku memerlukannya”

“Gila” orang itu memekik tinggi.....

PANASNYA BUNGA MEKAR : JILID 07

LihatTutupKomentar