Sepasang Ular Naga di Satu Sarang 01
Sepercik darah telah membasahi tahta Singasari, seperti juga saat tahta Tumapel jatuh ke tangan Ken Arok, yang kemudian berhasil mempersatukan Singasari dan menjadi seorang raja yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Kini Sri Rajasa telah disingkirkan dengan cara yang sama seperti ia menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung, meskipun dengan alasan yang agak berbeda oleh Anusapati.
Maka mulai terbuktilah ucapan Empu Gandring sebelum saat meninggalnya oleh tangan Ken Arok dengan keris buatannya sendiri, yang minta kepada Ken Arok itu supaya keris yang telah dilumuri dengan darah Empu Gandring itu sendiri sebaiknya dihancurkan saja, karena pada saat mendatang keris itu akan menjilat darah orang lain lagi. Dan orang itu adalah Ken Arok sendiri.
“Apakah keris itu sudah akan berhenti menitikkan darah?”
Tidak seorang pun yang mengetahuinya bahwa keris itu akan beruntun menghisap darah, sebab Ken Arok yang langsung mendengarnya dari Empu Gandring tidak mengatakannya kepada Anusapati pada saat terakhir.
Namun agaknya Anusapati sendiri selalu dibayangi oleh kecemasan dan keragu-raguan, apakah tidak ada dendam yang menyala, di dalam istana Singasari itu. Karena itu, maka keris itu pun disimpannya baik-baik.
Sebenarnyalah bahwa Tohjaya putra Ken Arok dari istrinya Ken Umang, yang kehilangan ayahandanya benar-benar telah dicengkam oleh dendam yang membara di dalam dadanya. Ia memutuskan di dalam hatinya, bahwa pengalasan Batil itu adalah utusan Anusapati yang kemudian dibinasakan sendiri untuk melenyapkan jejak pembunuhan itu.
Namun, untuk sementara Tohjaya tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus tunduk kepada keadaan. Ternyata bahwa pengaruh Anusapati cukup kuat untuk menguasai seluruh Singasari, meskipun hidupnya sendiri selalu dibayangi oleh kecemasan.
Dalam pada itu, Ken Umang yang menjadi sangat bersedih, bukan saja karena kematian Sri Rajasa, tetapi karena dengan demikian hilangnya semua harapannya untuk mengangkat Tohjaya menjadi putra mahkota, masih saja dibakar oleh nafsunya. Ia tidak menjadi putus asa, bahwa Tohjaya tidak akan dapat menduduki jabatan putra mahkota. Ken Umang sadar bahwa pada saatnya Anusapati tentu akan mengangkat anak laki-lakinya untuk jabatan itu, sehingga apabila ia lenyap dari pemerintahan, anak laki-lakinyalah yang akan menduduki tahta Singasari. Ia adalah keturunan Ken Dedes. Bukan keturunan Ken Umang.
Sedangkan anak laki-laki Anusapati yang bernama Ranggawuni itu setiap hari tumbuh dengan suburnya. Ia menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan kuat. Meskipun usianya masih sangat muda, namun ia mewarisi kelebihan ayahnya. Dengan pesat ia maju di dalam olah kanuragan dan ilmu kajiwan. Ia cepat menguasai segala macam tata gerak yang diajarkan, tetapi ia juga dengan cepat menguasai ilmu kesusastraan, ilmu cacah dan ilmu perbintangan.
Demikian juga adik sepupunya, yang meskipun agak lebih muda, tetapi nakalnya bukan main. Anak laki-laki Mahisa Wonga Teleng itu pun tumbuh cepat seperti Ranggawuni
Sejak masih kanak-kanak keduanya bagaikan tidak terpisahkan. Ranggawuni dengan Mahisa Cempaka. Bahkan keduanya seperti kakak beradik yang lahir berurutan. Bentuk tubuhnya, wajahnya dan kesenangannya hampir tidak berbeda.
Demikianlah, keduanya merupakan isi dari halaman istana Singasari yang mengasyikkan. Setiap prajurit yang bertugas di halaman istana, tentu akan tersenyum melihat keduanya berlari-lari berkejar-kejaran. Para pengasuh dan pengawalnya memandangnya saja dari kejauhan. Jika keduanya menjadi semakin jauh barulah mereka mengikutinya. Dan rasa-rasanya halaman Singasari itu adalah suatu daerah yang paling aman dan damai di permukaan bumi, sehingga keduanya tidak usah khawatir bahwa pada suatu saat mereka akan mengalami bencana.
Tetapi, sebenarnyalah tidak demikian. Di sebelah dinding yang memisahkan dua bagian istana Singasari, terdapat timbunan dendam yang menyala. Tetapi, Ken Umang dan anak-anaknya ternyata mampu mengendalikan diri. Di dalam kehidupannya sehari-hari seakan-akan mereka dengan ikhlas menerima kenyataan itu. Seakan-akan mereka sama sekali tidak mempunyai niat apapun juga sepeninggal Ken Arok. Namun sebenarnyalah bahwa Ken Umang telah menyusun rencana yang paling berbahaya bagi ke seluruhan Anusapati.
“Aku harus menempuh jalan lain,” berkata Ken Umang di dalam hati, “Jika aku tidak dapat lagi mengharap bahwa Tohjaya akan menduduki jabatan Putra Mahkota, maka jalan yang paling baik adalah menyingkirkan Anusapati. Tahta Singasari harus jatuh ke tangan Tohjaya dengan cara yang sama pula. Seperti jatuhnya tahta Tumapel dan Tahta Sri Rajasa.”
Tetapi Ken Umang tidak kehilangan akal dan berbuat tergesa-gesa. Ia cukup sabar menunggu saat-saat yang menguntungkan baginya dan bagi anaknya.
Karena itulah, maka yang tampak di dalam kehidupannya sehari-hari adalah sifat yang seakan-akan telah berubah sama sekali. Hampir seluruh penghuni istana dan para juru taman dan hamba yang lain menganggap bahwa Ken Umang telah berubah sama sekali.
“Kini ia menjadi seorang yang baik,” desis seorang juru panebah.
“Ya, Ia sekarang menumpang kamukten pada anak tirinya yang sebelumnya sangat dibencinya. Namun agaknya kebaikan hati Anusapati telah menyentuh perasaannya, dan ia tidak dapat berbuat lain daripada mengucapkan terima kasih kepadanya,” sahut seorang emban.
“Mudah-mudahan sifat itu tidak segera berubah lagi,” desis yang lain.
Demikianlah untuk beberapa lamanya, seakan-akan istana Singasari telah menjadi aman dan damai. Seakan-akan tidak ada persoalan lagi yang dapat membahayakan kesatuan dan kedamaian di seluruh negeri.
Dengan sepenuh hati rakyat Singasari dapat melakukan kerjanya sehari-hari. Yang bekerja di sawah dengan tekun mengerjakan sawah dan ladangnya. Beberapa orang yang merasa bahwa tanah garapan mereka menjadi kian sempit karena turun temurun yang lahir beruntun, segera memperluas tanah mereka dengan menebang hutan, sehingga dengan demikian maka seakan-akan Singasari menjadi semakin lama semakin luas.
Hutan belantara yang bertebaran hampir di seluruh negeri merupakan daerah perluasan yang tanpa merugikan pihak manapun juga. Usaha perluasan yang demikian bukannya usaha perluasan daerah dan jajahan. Tetapi perluasan yang benar-benar bersih dari perselisihan dan apalagi bentrokan berdarah karena hutan masih sangat luas dan tidak bertuan.
Namun, kadang-kadang dapat juga timbul persoalan. Apabila daerah itu merupakan sarang dari sekelompok penjahat yang tidak diketahui lebih dahulu. Namun perselisihan yang demikian biasanya akan segera dapat diselesaikan, karena apabila laporan tentang hal itu sampai di istana Singasari, maka Anusapati pun segera mengirimkan sepasukan prajurit untuk mengusir para penjahat itu.
Di halaman istana, kecerahan itu nampak pada kedua anak-anak yang sedang tumbuh dengan suburnya. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Seperti Anusapati, maka keduanya dekat dengan Mahisa Agni. Dan seperti Anusapati, keduanya pun mendapat tuntunan olah kanuragan dari Mahisa Agni pula.
Sesuai dengan usia mereka berdua, maka Mahisa Agni pun mulai dengan tata gerak yang nampaknya seperti permainan yang mengasyikkan. Permainan yang merupakan pendahuluan dari tata gerak yang sangat sederhana sebelum memulai dengan mempelajari ilmu olah kanuragan yang sebenarnya.
Dan ternyata tuntunan yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu sangat digemari oleh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu, sehingga hubungan mereka dengan Mahisa Agni seperti hubungan mereka dengan orang tua sendiri.
Tetapi, Mahisa Agni tidak selalu berada di Singasari. Ia masih memangku jabatannya yang lama. Setiap kali ia masih harus pergi ke Kediri. Namun tidak seperti pada jaman pemerintahan Sri Rajasa, maka ia kini dapat datang ke Singasari setiap saat, dan untuk waktu yang dikehendakinya. Meskipun demikian ia tidak mengabaikan tugasnya. Ia tetap melakukannya dengan sebaik-baiknya seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Ken Arok. Dan bagi rakyat Kediri pun sama sekali tidak menimbulkan persoalan, apalagi prasangka karena sikap Mahisa Agni itu.
Meskipun demikian, meskipun tidak setiap hari Mahisa Agni ada di Singasari, namun Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak pernah melupakan latihan-latihan yang telah diterimanya. Meskipun kebetulan Mahisa Agni tidak ada di Singasari, mereka berlatih terus di bawah pengawasan ayahanda mereka. Kadang-kadang Anusapati sendiri di dalam waktunya yang senggang. Kadang-kadang Mahisa Wonga Teleng.
Perkembangan kedua anak-anak itu di bidang kanuragan sangat memberi kebanggaan kepada orang tua masing-masing.
Namun dalam pada itu, dalam ketenangan dan kedamaian yang nampak, Anusapati selalu diliputi oleh kecemasan dan was-was. Bayangan kematian Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak dapat lenyap dari hatinya. Meskipun ia sama sekali tidak dengan pasti berusaha membunuh Sri Rajasa, namun ia merasa bahwa sebenarnyalah hasrat itu memang ada di dalam dirinya meskipun hanya sepercik kecil. Dan yang sepercik kecil itulah yang seakan-akan selalu mengejarnya sampai saat itu.
Akhirnya, Anusapati sendiri menemukan dan mengenal perasaannya itu, yaitu perasaan berdosa bahwa langsung atau tidak langsung ia telah meniadakan nyawa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu.
Tanpa disadarinya maka ia pun menjadi curiga kepada adiknya yang lahir dari Ken Umang, Tohjaya. Seakan-akan tatapan mata Tohjaya adalah tatapan mata yang memancarkan dendam di dalam hatinya. Namun seperti ibunya, Tohjaya pun cukup licik untuk menyimpan rencananya. Dengan rendah hati ia pasrah kepada kebijaksanaan Anusapati. Bahkan kadang-kadang seperti orang yang sedang meratap menyesali kesalahannya ia bersimpuh di hadapan kakak tirinya. Seakan-akan dengan setia ia bersedia menghambakan diri. Melakukan segala perintah, meskipun perintah yang paling hina sekalipun.
Dengan demikian maka luluhlah hari Anusapati. Perasaannya yang lembut membuatnya menjadi iba dan belas kasihan terhadap anak muda yang kehilangan ayahnya itu.
“Seperti aku, ia sudah tidak berayah lagi,” katanya di dalam hati, “selama ini ia adalah seorang anak yang manja. Sekarang ia berhasil menyadari keadaannya dan menerima pahitnya kehidupan ini dengan pasrah.”
Karena itulah maka Anusapati pun kemudian memberikan banyak keleluasaan kepada Tohjaya, yang sebenarnya sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan dirinya.
Namun demikian Anusapati masih tetap berhati-hati. Seperti bara yang panas, setiap saat apabila angin bertiup, bara itu masih akan dapat menyala.
“Mudah-mudahan ia tidak membuat kesulitan di Singasari yang mulai nampak tenang dan damai ini,” berkata Anusapati di dalam hatinya
Memang demikianlah yang nampak. Seperti yang diharapkan oleh Anusapati, Tohjaya memang tidak pernah berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, bukan saja Tohjaya dan ibundanya Ken Umang sajalah yang menjadi kecewa karena kematian Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, beberapa orang memang bersikap seperti Tohjaya. Mereka bahkan yakin bahwa Anusapati lah yang telah memerintahkan seseorang membunuh Ken Arok dan orang itu telah dibunuhnya pula.
Mereka adalah beberapa orang perwira yang memang mengharap Tohjaya dapat menggantikan kedudukan Anusapati. Mereka adalah para perwira yang telah pernah mendapatkan janji dari Tohjaya, maupun Ken Arok, bahwa mereka akan mendapat kedudukan yang lebih baik dari kedudukannya sekarang. Mereka akan mendapat kekuasaan yang mutlak pada suatu daerah yang luas untuk mengurus diri sendiri. Mereka hanya diwajibkan untuk hadir di dalam sidang-sidang agung yang diselenggarakan setahun sekali, dengan sekedar bulu bekti sebagai pengakuan atas kekuasaan Singasari yang menyeluruh. Namun mereka berhak mengurus diri mereka sendiri di dalam lingkungan mereka.
Janji itu memang sangat menarik. Kekuasaan itu tidak ubahnya kekuasaan seorang raja. Dan mereka pun berhak menyebut diri mereka raja di daerah kekuasaan mereka.
Orang-orang itulah yang tidak segera dapat melupakan harapan yang pernah tersangkut di dalam hati mereka. Karena itu, setiap kali mereka bagaikan mimpi meraih bulan yang mengambang di langit oleh harapan yang masih belum dapat dicapainya.
Di samping orang-orang yang kecewa itu, sebagian orang Singasari justru memiliki harapan lagi untuk mengenang suatu masa yang agung bagi mereka. Mereka adalah orang tua yang pernah mengenyam kenikmatan hidup di bawah kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung. Sebagian dari mereka mengetahui bahwa Anusapati sebenarnya adalah anak Tunggul Ametung, karena ia lahir pada jarak yang sangat pendek dari saat perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes yang baru saja ditinggal oleh suaminya yang mati terbunuh seperti Sri Rajasa kini.
“Mudah-mudahan Anusapati mengenang darah yang mengalir di tubuhnya,” hampir segenap hari dari golongan itu menggantungkan harapan itu kepada Anusapati.
Tetapi ternyata bahwa Anusapati dapat bersikap bijaksana. Ia tidak lagi mengingat siapa dan dari manakah ia hadir di muka bumi. Tetapi ia melihat segi-segi yang baik dan yang buruk dari pemerintahan di Singasari. Ia melihat kemungkinan yang dapat dilangsungkan dari cara pemerintahan Sri Rajasa. Tetapi Anusapati tidak segan mengubah sebuah cara yang tidak sesuai menurut pertimbangannya bagi perkembangan Singasari selanjutnya.
Namun dengan demikian, Anusapati justru telah mengecewakan beberapa pihak. Orang-orang yang menganggap bahwa Sri Rajasa adalah orang yang tidak tersentuh salah, menjadi kecewa atas perubahan-perubahan yang dilakukan meskipun tidak terlampau banyak. Tetapi mereka yang merindukan masa kejayaan Tunggul Ametung merasa kecewa bahwa Anusapati tidak mau dengan tandas membersihkan segala tata kehidupan yang berbau Sri Rajasa. Terlebih-lebih lagi adalah mereka yang memang telah berhubungan dengan Tohjaya dan Ken Umang dengan diam-diam. Mereka bukan saja sekedar kecewa, tetapi mereka justru telah menyiapkan sesuatu tindakan yang pasti apabila mereka mendapat kesempatan.
Di dalam pusaran itulah Anusapati harus berdiri. Dan hal itu disadarinya. Karena itu, maka ia pun menyadari bahwa ia harus berbuat sebaik-baiknya untuk mempertahankan kedamaian yang kini nampak di Singasari.
Namun, ternyata bahwa kekecewaan itu justru semakin lama bukan semakin mereda. Lambat, tetapi hampir pasti, Singasari akan dilanda oleh persoalan di antara mereka sendiri. Orang-orang yang kecewa itu semakin lama seakan-akan telah berdiri semakin jauh. Di antara mereka rasa-rasanya telah digali lubang yang semakin lama semakin dalam.
Mahisa Agni yang setiap kali datang mengunjungi istana Singasari tidak segera menangkap perkembangan itu, justru karena ia berada di dalam istana itu. Istana Singasari atau Kediri. Tetapi mereka yang berada di luar istana, akan dapat menangkap persoalan yang sedang berkembang. Apalagi mereka yang seakan-akan memiliki indera yang sangat peka seperti Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana.
Ternyata mereka tidak sampai hati untuk membiarkan perkembangan keadaan yang dapat membuat Anusapati mendapat kesulitan. Karena itu, maka mereka pun berusaha untuk menghubungi Mahisa Agni dan mengatakan, bahwa di daerah yang luas telah tersebar bibit perpecahan dari golongan-golongan di dalam masyarakat Singasari.
Mahisa Agni menyadari, betapa berbahayanya persoalan itu apabila tidak segera mendapat perhatian. Dan karena itulah maka berita itu pun segera sampai kepada Anusapati.
“Bagaimanakah pendapat Paman?” bertanya Anusapati
“Memang nampaknya gejolak itu masih belum mengguncang kedamaian di Singasari. Tetapi betapa tenangnya permukaan sebuah bengawan, tetapi jika di dalamnya bergolak arus yang deras, maka bengawan itu adalah bengawan yang berbahaya,” jawab Mahisa Agni.
“Ya, Paman. Dan apakah yang dapat kita lakukan?”
“Tuanku Maharaja di Singasari,” jawab Mahisa Agni yang harus menjunjung derajat Maharaja di Singasari, “menurut dugaan hamba, pertentangan itu bukan menjalar dengan sendirinya.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Mahisa Agni sejenak, lalu ia pun bertanya, “Jadi, apakah yang menyebabkannya menurut Paman?”
“Tentu ada pihak-pihak yang dengan sengaja membakar pertentangan ini,” jawab Mahisa Agni.
Jawaban Mahisa Agni itu membuat dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Hal semacam itulah yang dicemaskannya. Pertentangan segolongan rakyatnya dengan segolongan yang lain.
“Paman,” bertanya Anusapati kemudian, “pihak yang manakah yang menurut Paman, dengan sengaja ingin melihat kekeruhan itu menjalar.”
“Itu masih memerlukan pengamatan dengan seksama Tuanku. Dan sebaiknya kita tidak tergesa-gesa. Kita melakukan pengamatan dengan sebaik-baiknya, barulah kita bertindak.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Apakah kita perlu melepaskan beberapa orang petugas sandi untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya?”
“Hamba kira cara itu adalah cara yang sebaik-baiknya, Tuanku.”
“Baiklah. Aku akan berbuat demikian. Secepatnya.”
Demikianlah maka Anusapati pun segera melepaskan beberapa orang petugas sandi untuk mengetahui keadaan rakyatnya yang sebenarnya.
Laporan pertama yang diterima oleh Anusapati sama sekali tidak berbeda dengan keterangan Mahisa Agni. Memang ada semacam pertentangan dengan beberapa golongan di dalam lingkungan rakyat Singasari.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa ia sudah dapat menduga, golongan yang manakah yang sedang ditiup-tiup untuk memperluas pertentangan. Namun Mahisa Agni masih menugaskan petugas-petugas sandinya untuk mengetahui keadaan lebih jauh lagi.
“Bukan pertentangan itu sendiri,” katanya, “tetapi carilah sebab dari berkembangnya pertentangan itu. Jika kau berhasil dan menemukan pihak-pihak yang dengan sengaja membakar pertentangan itu, maka kita akan segera mendapat gambaran apakah yang sebaiknya kita lakukan.”
Para petugas sandi itu pun bekerja dengan sebaik-baiknya dan tidak mengenal lelah. Dengan tekun mereka berusaha untuk mengetahui, apakah memang ada pihak-pihak yang dengan sengaja mengobarkan pertentangan.
Dalam kesibukan yang diam itu, para petugas sandi memang melihat, bahwa sesuatu agaknya berkembang dengan tidak sewajarnya. Dan karena itulah, maka setiap orang yang mencurigakan, tidak lepas dari pengawasan mereka.
Di samping petugas-petugas sandi yang dengan sengaja dikirim oleh Anusapati, maka ada beberapa orang yang bekerja dengan sukarela atas kehendak mereka sendiri. Sedang hasilnya tidak kalah dengan usaha yang dilakukan oleh beberapa orang petugas sandi yang tepercaya itu.
Sementara itu, selagi para petugas sandi berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menangkap ketidakwajaran di dalam perkembangan keadaan, maka pihak-pihak lain yang juga tersembunyi sedang berusaha untuk membakar pertentangan itu. Bahkan jika perlu mereka berbuat kasar dan tidak tanggung-tanggung.
Demikianlah, maka pada suatu saat, kemudian yang tampak di permukaan wajah Singasari itu terguncang ketika seseorang menemukan mayat yang tergolek di pematang sawah.
Orang-orang yang kemudian mengerumuninya segera dapat mengenalnya sebagai salah seorang tertua padukuhannya. Orang yang hidup dari tanah persawahannya. Orang yang tidak banyak mempunyai sawah. Seakan-akan ia hidup hanya sekedar menunaikan kerjanya sehari-hari. Bercocok tanam dan sedikit ternak. Selebihnya, hidupnya diserahkan bagi kepentingan hidup berkeluarga dengan tetangga-tetangganya. Ia adalah orang yang suka menolong sesama yang mengalami kesulitan. Jika tidak dengan sedikit harta benda yang ada padanya, juga dengan nasihat dan ular-ular.
Karena itu kematiannya benar-benar mengguncangkan ketenangan hidup lingkungannya. Hampir setiap orang tidak mengerti, apakah sebabnya dan apakah alasan yang dapat dikemukakan oleh pembunuhnya
Namun dalam pada itu, selagi teka-teki itu masih belum terjawab, telah terjadi pula bencana yang sama. Di padukuhan yang lain telah terjadi kematian pula Seorang yang baru menginjak setengah umur. Seorang yang dengan gigih berusaha untuk mengembangkan kehidupan di padukuhannya. Seorang yang dengan penuh minat ingin mengembangkan segala segi kehidupan tetangga-tetangganya.
Guncangan yang telah terjadi akibat kematian yang berturut-turut itu membuat setiap orang menjadi curiga. Setiap orang telah membuat dugaan menurut sudut pandang mereka masing-masing.
Namun sebagian dari mereka berpendapat, bahwa kematian itu bukannya tidak ada hubungannya sama sekali.
Orang tua yang mati terbunuh itu, adalah seorang yang pernah mengalami suatu masa kejayaan Tunggul Ametung. Sikap dan kata-katanya kadang-kadang tidak terkendali, jika ia sedang bercerita tentang kejayaan masa itu. Bahkan kadang-kadang di luar sadarnya, ia tidak saja bercerita tentang masa-masa yang sudah silam itu, tetapi kadang-kadang ia bercerita tentang Akuwu Tunggul Ametung itu sendiri.
“Agaknya masa itu akan segera kembali,” katanya kepada seorang tetangganya, “bukankah Anusapati mempunyai hubungan yang erat dengan Akuwu Tunggul Ametung. Setiap orang tua tahu, bahwa saluran itu jelas ada. Dan tentu Tuanku Anusapati tidak akan menyimpang dari garis keturunannya.”
Ada yang tidak mengetahui maksud kata-kata orang tua itu. Tetapi ada yang dapat menangkapnya dengan jelas. Orang tua itu ternyata selalu merindukan masa-masa lampaunya.
Orang tua itu ingin agar suatu masa seperti masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu kembali. Dan karena Anusapati adalah seorang anak yang dikandung oleh Ken Dedes berdasarkan perkawinannya dengan Akuwu Tunggul Ametung, maka tentu Anusapati akan mengembalikan hari-hari depan Singasari ke dalam suatu naungan pemerintahan dari keturunan Akuwu Tunggul Ametung itu. Sehingga nama Akuwu Tunggul Ametung akan mengumandang lagi di atas langit Singasari.
Tetapi yang terjadi bukan demikian. Anusapati seakan-akan tidak menghiraukan lagi nama Akuwu Tunggul Ametung, sehingga karena itu, nampaknya ia tidak berusaha sama sekali untuk mengembalikan kejayaan nama itu di dalam kekuasaannya
Dalam pada itu, sebagian orang lain mengharap agar Pangeran Pati yang diangkat oleh Sri Rajasa itu akan melanjutkan perjuangan Ken Arok dan menyebut nama itu di atas segala nama yang pernah didengarnya menguasai kerajaan yang pernah ada. Mereka mengharap agar Anusapati yang kemudian benar-benar menjadi raja itu adalah keturunan yang baik dari Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Tetapi orang-orang itu pun menjadi kecewa karena Anusapati tidak berbuat demikian. Orang yang terbunuh itu adalah salah seorang dari mereka yang kecewa melihat cara Anusapati memerintah. Maharaja muda itu sama sekali tidak mengagungkan nama Sri Rajasa di atas segala nama.
“Ia menjadi deksura. Seakan-akan ia dengan sendirinya berada di atas jabatannya itu. Meskipun ia harus berjuang membunuh orang yang dengan licik membunuh Sri Rajasa, tetapi tanpa Sri Rajasa ia bukan apa-apa. Dan sekarang, ia hampir tidak pernah menyebut nama itu.”
Demikianlah dua golongan rakyat Singasari yang menjadi kecewa. Mereka sama-sama kecewa terhadap Anusapati, meskipun alasan mereka tidak sama.
Kematian orang tua yang baik itu telah menumbuhkan pertanyaan yang tajam di kalangan sanak keluarga dan orang-orang yang memiliki pendapat yang sama terhadap Akuwu Tunggul Ametung dan kemungkinan yang dapat dicapai oleh Anusapati. Apalagi dengan sadar mereka mengetahui, bahwa ada golongan lain yang masih terbius oleh kebesaran nama Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Demikian sebaliknya. Orang-orang yang tidak mau melihat kenyataan runtuhnya kekuasaan Ken Arok oleh kematiannya, dan mengharap Anusapati sebagai penerus yang dengan tegas mengagungkan namanya menjadi sangat terkejut dan bertanya-tanya tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas kematian salah seorang dari mereka. Mereka pun mengetahui, bahwa ada golongan yang seakan-akan merindukan suatu masa silam yang jauh, yaitu masa kejayaan nama Akuwu Tunggul Ametung.
Kematian kedua orang itu benar-benar telah menumbuhkan kecurigaan di antara mereka. Kecurigaan yang semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan di dalam lingkungan masyarakat Singasari kemudian timbul desas-desus yang semakin hangat tentang pertentangan antara golongan-golongan itu.
Dan itulah yang telah berhasil disadap oleh para petugas sandi yang sengaja disebar oleh Anusapati.
Ketika Anusapati mendengar laporan tentang hal itu, maka ia pun menjadi semakin prihatin. Seperti dugaan beberapa orang pemimpin Singasari, termasuk Mahisa Agni, maka hal itu bukannya suatu kebetulan saja.
“Tuanku,” berkata Mahisa Agni kepada Anusapati, “semakin lama persoalan ini akan menjadi semakin hangat. Bahkan apabila tidak segera mendapatkan penyelesaian, akan dapat membakar Singasari seluruhnya. Memang tidak dapat diingkari bahwa kedua nama yang pernah mengalami masa kejayaannya itu masing-masing akan mendapatkan pendukungnya yang kuat. Hamba pun akan mempunyai pilihan di dalam hati hamba. Tetapi sebenarnya rakyat Singasari akan mampu menilai keadaan yang sedang mereka hadapi. Yang penting bagi mereka, apakah yang sebaik-baiknya bagi kita sekarang. Tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian. Mereka bagaikan terbius oleh pemanjaan perasaan dan bahkan seakan-akan sebuah mimpi tentang masa lampau.”
“Ya, Paman,” sahut Anusapati, “aku menyadari bahwa itu merupakan bahaya yang besar bagi Singasari. Kenangan dan sikap itu sendiri sebenarnya tidak salah dan tidak perlu dicemaskan apabila dihayati dengan kesadaran yang bertanggung jawab. Tetapi jika yang tumbuh kemudian adalah dendam dan prasangka, maka keadaannya akan menjadi sangat berbeda.”
“Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “apakah Tuanku juga berkesimpulan, bahwa ada pihak yang dengan sengaja meniupkan pertentangan dan prasangka itu. Jika kedua golongan itu bertentangan semakin tajam, maka mereka yang meniupkan prasangka itu akan mendapat keuntungan bagi mereka sendiri?”
“Ya, Paman. Dugaan itu memang masuk akal. Tetapi soalnya, bagaimana kita dapat membuktikannya.”
“Tuanku, selain para petugas sandi yang memang sudah Tuanku sebar di lingkungan yang luas, maka kita pun dapat mempergunakan Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra yang dengan suka rela akan membantu memecahkan teka-teki ini.”
“Aku sangat berterima kasih kepada mereka.”
“Dan mereka kini sedang bekerja dengan sebaik-baiknya. Setiap kali mereka selalu menghubungi aku untuk menilai perkembangan keadaan dan kebenaran pengamatan mereka.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Menurut dugaan mereka, pihak itu adalah pihak yang paling berkepentingan agar pemerintahan sekarang ini selalu goyah.”
“Ya. Aku mengerti Paman.”
“Dan agaknya usaha mereka tidak akan sia-sia.”
Anusapati mengangguk lemah. Dan kelemahan hatinya pulalah yang membuatnya tidak dapat berbuat dengan tegas, meskipun ia memiliki dugaan yang kuat atas kejadian yang telah mengguncangkan pemerintahannya itu.
“Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian, “pada saatnya, Tuanku harus bertindak tegas, memang mungkin ada orang yang menyangka bahwa tindakan Tuanku itu hanya sekedar didasari oleh dendam dan sakit hati pada saat Tuanku Sri Rajasa masih bertahta di Singasari. Tetapi sebenarnyalah bahwa Tuanku telah mengemban suatu tugas yang agung sebagai seorang maharaja yang mementingkan kejayaan Singasari dari segalanya. Dugaan yang demikian lambat laun akan hilang dengan sendirinya apabila Tuanku kelak dapat membuktikan bahwa Tuanku bukannya seorang pendendam. Bahwa Tuanku telah bertindak sebagai seorang maharaja yang adil dan bijaksana.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah, semoga aku mendapatkan bukti yang kuat sebagai landasan tindakanku selanjutnya.”
Mahisa Agni membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan para petugas sandi atau Witantra dan kawan-kawannya dapat segera menemukannya.”
Dalam pada itu, penyelidikan tentang pertentangan yang serasa semakin lama menjadi semakin tajam itu pun dilakukan dengan cermat. Para petugas sandi mencoba menghubungi semua pihak dengan diam-diam dan tidak diketahui siapakah mereka itu. Tetapi amatlah sulit untuk menemukan jalur yang dapat menghubungkan mereka dengan pembunuhan yang telah terjadi.
“Bukan maksud kita untuk menentang kekuasaannya Tuanku Anusapati,” berkata seseorang yang merasa dirinya kehilangan orang tua yang baik, “tetapi kami memerlukan perlindungan. Kami adalah orang-orang yang lemah. Tetapi kami berhak untuk mengemukakan pendapat kami tentang keadaan yang kami hadapi sekarang ini. Juga tentang cara pemerintahan yang dilakukan Tuanku Anusapati.”
Kawan-kawannya yang duduk di sekitarnya menganggukkan kepalanya. Mereka sependapat dengan orang yang merasa kehilangan orang tua yang baik, yang hanya sekedar merindukan masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung pada diri Anusapati.
Tetapi jika ada orang baru di antara mereka, maka pembicaraan itu pun segera terputus. Orang-orang yang duduk di pojok padukuhan mereka itu pun segera mengalihkan pembicaraan mereka pada keadaan hidup mereka sehari-hari.
Di padukuhan yang lain, yang terjadi hampir serupa. Beberapa orang yang kehilangan orang yang menjelang setengah umur itu pun mengeluh. Orang itu adalah orang yang baik, yang bekerja untuk kepentingan padukuhannya. Yang dengan telaten mencoba membuat padukuhannya menjadi lebih baik dan mengalami kemajuan di bidang-bidang pertanian dan cara hidup sehari-hari.
“Tuanku Anusapati harus dapat berbuat sesuatu untuk melindungi kita. Ternyata orang-orang yang dahulu berdiam diri itu kini bangkit kembali sepeninggal Sri Rajasa. Dan mereka agaknya berusaha untuk membalas dendam kepada mereka yang setia kepada Sri Rajasa.”
“Tetapi mereka tidak akan dapat menentang kekuasaan Tuanku Anusapati sekarang ini. Kekuasaan itu seakan-akan tidak berselisih dengan kekuasaan Sri Rajasa sendiri,” jawab yang lain.
Namun seperti pembicaraan orang-orang yang merindukan pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, maka jika ada orang yang mereka curigai, atau yang kurang mereka pahami pendiriannya, maka mereka pun segera terdiam. Mereka takut mengalami nasib seperti orang yang terbunuh itu.
Tetapi mereka tidak dapat menolak, ketika seorang yang kurang mereka kenal telah mencoba mencari perlindungan kepada mereka. Seseorang yang tidak disangka-sangka datang pasrah diri, karena merasa hidupnya tidak tenteram di padukuhannya.
“Siapakah Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari orang-orang padukuhan itu.
“Namaku Supa,” jawab orang itu, “aku harus mencari perlindungan.”
“Kenapa?”
“Orang-orang di padukuhan telah dibakar oleh perasaan dendam atas kematian kawannya, seorang tua yang mereka anggap orang yang baik.”
“Oh,” desis yang lain, “apa hubungannya dengan Ki Sanak sehingga Ki Sanak mencari perlindungan kemari?”
“Aku mempunyai pendirian yang berbeda dari mereka.”
“Apa yang Ki Sanak lakukan?”
“Di luar sadarku aku telah mencela Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi sepatah kata di luar sadarku itu hampir saja menjerat leherku sendiri. Aku dituduh menjadi orang yang memusuhi mereka. Dan bahkan aku disangka telah menyebabkan kematian orang tua itu.”
“Ah,” desah salah seorang dari penghuni padukuhan itu, “Terlalu! Dendam mereka ternyata telah membakar hati mereka sendiri. Lalu bagaimana saudara dapat lepas dari dendam itu dan sempat melarikan diri?”
“Aku lari di malam hari ketika aku ditahan untuk menunggu saat pembalasan di pagi hari. Aku akan dihadapkan kepada orang-orang yang merasa kehilangan orang tua itu. Dan aku akan diserahkan kepada mereka, hukuman apakah yang pantas aku terima.”
“Terlalu sekali.”
“Namun dengan demikian aku menjadi yakin, bahwa sebenarnyalah pendirianku benar.”
“Bagaimanakah pendirianmu?”
“Seperti yang mereka sangka. Dan aku mendengar bahwa kalian adalah pendukung-pendukung Sri Rajasa yang baik.”
Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan. Dan tiba-tiba salah seorang berkata, “Dari siapa kalian mendengar bahwa kami adalah pendukung-pendukung Sri Rajasa?”
“Ah, kalian tidak usah menyembunyikan kenyataan itu. Hampir setiap orang di kota ini dapat melihat, siapa-siapakah yang berada di pihak yang satu, kemudian di pihak yang lain. Meskipun setiap orang agaknya berpihak di dalam hatinya, namun pada padukuhan ini, dan beberapa padukuhan di sekitar tempat ini, tampak lebih jelas. Apalagi setelah salah seorang dari kalian terbunuh.”
“Kami tidak akan ingkar,” sahut yang lain, “bahkan kami kadang-kadang bersikap terus terang, bahwa kami menganggap pemerintahan Sri Rajasa adalah pemerintahan yang baik. Sudah barang tentu kami tidak akan dapat mengharap Sri Rajasa yang meninggal itu bangkit lagi, seperti juga orang-orang yang menganggap Tunggul Ametung adalah cikal bakal dari negeri ini. Mereka tentu tidak akan mengharap Tunggul Ametung bangkit lagi dan memerintah Singasari. Dan ternyata bahwa Tuanku Anusapati pun tidak berkeberatan mendengarkan pendapat kami tentang sikap kami. Namun yang paling menyakitkan hati adalah sikap beberapa orang yang saling membenci. Ternyata seorang kawan kami terbunuh meskipun kami belum dapat meyakinkan diri kami, apakah ia mati karena sikapnya tentang pemerintahan, atau ia mati karena ia mencuri istri orang. Dan kami pun tidak akan bertindak tergesa-gesa. Kami serahkan semuanya kepada kebijaksanaan Tuanku Anusapati. Kami hanya sekedar memerlukan perlindungan. Perlindungan bagi diri kami, dan bagi keluarga kami.”
“Tetapi jika perlindungan itu tidak ada?”
“Kami akan melindungi diri kami sendiri tanpa berniat jahat kepada orang lain.”
“Bagus sekali. Di sinilah agaknya aku akan mendapat perlindungan. Aku memang hanya akan sekedar berlindung tanpa memusuhi orang lain.”
“Lalu, apa maksudmu?”
“Aku ingin ada di antara kalian untuk sementara, sehingga keadaan menjadi baik.”
“Baiklah. Tetapi kami masih harus membuktikan, apakah kau bukan orang yang sekedar ingin memancing di air keruh.”
“Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku akan pasrah diri apapun yang akan kalian lakukan atasku.”
“Kau dapat tinggal di sini,” berkata seseorang setengah tua yang bertubuh tinggi besar, “Tinggallah di rumahku. Aku hanya tinggal sendiri di rumahku yang besar sepeninggal istriku. Jika ternyata kau berkhianat, biarlah aku korban yang pertama, karena aku sudah tidak berkeluarga lagi.”
“Oh.”
“Anak-anakku ada di rumah kakeknya. Dan seorang di antara mereka sudah berumah tangga.”
“Terima kasih.”
“Tetapi ingat, jangan mencoba mempermainkan kami. Seorang keluarga kami yang baik, yang telah menjadi korban, agaknya sudah cukup.”
“Tentu, tentu. Aku datang kemari untuk menyelamatkan diri. Bukan untuk mencari kesulitan.”
Demikianlah orang yang menyebut dirinya Supa itu pun kemudian berada di dalam lingkungan mereka.
Dalam pada itu, hampir bersamaan waktunya, seseorang telah melakukan hal yang sama di antara orang-orang yang mimpi melihat keturunan Tunggul Ametung itu tampil di atas Singgasana dengan mahkota kebesaran ayahanda yang sebenarnya. Seorang yang menyebut dirinya bernama Raka telah datang kepada mereka untuk mengungsikan diri. Raka mengatakan dirinya bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh orang-orang yang masih memimpikan kekuasaan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
“Apakah kelebihan Ken Arok itu,” desis seseorang dari padukuhan itu, “meskipun kita tidak ingkar bahwa ia berhasil menyatukan Kediri, tetapi ia tidak asan dapat berbuat apa-apa tanpa modal yang menentukan. Tumapel.”
“Ya.”
“Kita tidak membencinya. Dan seandainya Tuanku Anusapati masih tetap menganggapnya sebagai ayahnya, kita pun tidak berkeberatan. Tetapi sudah selayaknya bahwa setiap orang harus mengakui, sebelum ada Singasari, Tumapel sudah ada lebih dahulu.”
“Ya, ya,” berkata Raka.
“Tetapi kita tidak akan berbuat sesuatu,” berkata orang yang lain, “kita adalah orang-orang yang sadar akan kemanusiaan kita. Kita bukan binatang buas di hutan liar yang masih menganggap bahwa kekuatan itu sama nilainya dengan kekuasaan. Kita menganggap bahwa kita memiliki akal, nalar dan perasaan. Karena itu, kita percayakan saja nasib kita kepada kebijaksanaan Tuanku Anusapati.”
Raka mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya, “Bagaimana jika tidak ada perlindungan bagi kita?”
“Apa maksudmu?”
“Bahwa tidak ada tindakan apapun juga yang dilakukan oleh para panglima?”
“Kita menunggu. Tetapi jika terpaksa kita akan membela diri kita.”
“Dan apakah aku diperkenankan berada di dalam lingkungan Ki Sanak di sini.”
“Kami sebenarnya menaruh curiga terhadapmu.”
“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan bahwa aku berkata sebenarnya?”
“Tingkah lakumu untuk waktu tertentu di sini. Jika kau orang yang baik, yang tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan, maka kami tidak akan berkeberatan kau tinggal bersama kami untuk melindungkan dirimu.”
Orang yang menyebut dirinya Raka itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jika itu yang harus aku lakukan, tentu aku lakukan. Aku tidak akan berbuat apa-apa, selain berlindung dari ancaman orang-orang yang tidak tahu menahu tentang gerak hatiku yang sebenarnya, karena aku sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu untuk memaksakan sikapku kepada siapa pun juga. Bahkan kepada lingkungan yang paling kecil sekalipun.”
“Baik. Ikutlah dan tinggallah bersamaku.”
Demikianlah sejak saat itu, ering menyebut dirinya Raka itu pun tinggal bersama orang-orang yang di dalam sikap batinnya merindukan disebutnya kembali nama Akuwu Tunggul Ametung justru karena yang memerintah kemudian adalah putranya, Anusapati.
Namun demikian orang itu sama sekali tidak pernah berbuat sesuatu, apalagi dengan kasar dan kekerasan, seperti juga orang-orang yang tidak mau melihat surutnya nama Sri Rajasa. Mereka hanya sekedar mengharap dan berbicara di antara mereka yang sependapat.
Namun seperti yang diduga oleh Mahisa Agni dan yang sedang diselidiki oleh beberapa orang petugas sandi, tentu ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin membakar perbedaan sikap itu menjadi perselisihan pendapat yang luas. Dan usaha itu ternyata masih berjalan terus. Dengan kematian yang tidak diketahui sebab-sebabnya itu, pertentangan di antara mereka sudah mulai memanjat. Tetapi karena tidak ada kejadian-kejadian yang menyusul, maka lambat laun hati mereka pun menjadi cair kembali.
Tetapi sikap itu pun kemudian berubah kembali, ketika tiba-tiba saja di malam hari yang sepi, beberapa orang bersenjata telah memasuki padukuhan orang-orang yang tidak mengehendaki nama Sri Rajasa surut. Orang-orang itu dengan kasar telah mengetuk setiap pintu rumah untuk mencari seseorang di antara penghuni padukuhan yang tidak terlalu banyak berbuat sesuatu untuk mempertahankan sikap mereka.
“He, di mana pemimpinmu?” bentak orang-orang bersenjata itu ketika mereka memasuki rumah seseorang yang bertubuh kurus.
“Pemimpin yang mana?” bertanya orang yang bertubuh kurus itu.
“Pemimpinmu, yang melanjurkan kalian untuk tetap setia kepada Sri Rajasa.”
“Tidak ada,” sahut orang yang kurus itu, “Kami hanya sama-sama bersikap demikian, yang tidak akan segera dapat melupakan kebesaran nama Sri Rajasa yang sudah mempersatukan Singasari, seperti juga tentu ada di antara orang-orang kota dan bahkan penghuni di sana, seperti Tuanku Tohjaya dan adik-adiknya yang lahir dari ibunda Ken Umang. Tetapi kami mengharapkan bahwa Tuanku Anusapati pun sebagai putranya bersikap demikian pula hendaknya.”
“Tetapi sikap yang paling tajam kami temukan di sini. Di tempat-tempat lain, di padukuhan lain dan di kota Singasari tidak kami temukan orang-orang yang keras kepala seperti kalian yang tinggal di pinggiran kota ini, justru kalian bukan orang kota tetapi tersentuh oleh peradaban kota.”
“Aku tidak mengerti,” berkata orang yang kurus itu.
“Orang-orang kota menyatakan sikapnya dengan terbuka. Diterima atau tidak diterima oleh orang lain. Tetapi kalian menyimpan sikap itu di dalam diri kalian dan ketika sikap itu tumpah, maka yang tampak adalah kekerasan dan kekasaran seperti yang kalian lakukan.”
“Apa yang pernah kami lakukan?”
“Jangan berpura-pura. Kami belum sempat membuat perhitungan. Kematian seorang di antara kami sangat menusuk hati kami.”
“Siapakah kalian?”
“Kalian tentu mengenal aku. Aku adalah orang-orang yang sekedar ingin mendengar nama Akuwu Tunggul Ametung disebut oleh anaknya yang sekarang menjadi Maharaja di Singasari. Tidak lebih. Kami tidak ingin mendapat perlakuan yang berlebih-lebihan dan tidak ingin mendapat keuntungan apapun dari sikap itu. Tetapi kalian telah membunuh orang tua yang kami hormati.”
“Oh,” orang yang kurus itu semakin heran, “aku tidak tahu apa yang kau katakan. Kamilah yang telah kehilangan seorang tetangga kami yang baik, yang bekerja untuk padukuhan kami ini.”
“Jangan mencoba mencari sasaran lain dari persoalan yang sebenarnya. Kalian telah membunuh orang tua yang kami hormati itu. Karena itu, kami akan mencari pemimpin kalian untuk mempertanggungjawabkannya.”
“Aku tidak mengerti, aku tidak mengerti.”
“Ternyata kalian berusaha untuk mengelakkan pertanyaan kami. Baiklah, kami akan mencarinya sendiri. Tetapi jika kami tidak berhasil, maka kami akan membawa siapa pun yang dapat kami temui.”
“Itu tidak mungkin. Kalian keliru. Kami tidak membunuh siapa pun, karena kami memang tidak biasa melakukan cara licik seperti itu.”
“Jangan banyak bicara. Kau jangan menganggap kematian seorang kawanmu itu adalah tebusan dari pembunuhan yang pernah kalian lakukan, karena kawanmu yang mati itu telah kalian bunuh sendiri. Jangan kira kami tidak tahu bahwa kawanmu yang mati itu adalah seorang pencuri yang tertangkap selagi ia mencuri.”
“Tidak, ia sama sekali bukan seorang pencuri. Justru orang tua yang kau katakan itu mati karena terlampau banyak minum tuak. Itulah yang akhir-akhir ini kita dengar. Bukan terbunuh seperti berita semula. Mabuk dan ia terperosok masuk ke dalam lumpur berair.”
Orang-orang bersenjata itu tertawa. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, orang yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu pun berkata, “Memang kalian orang-orang yang licik. Tetapi biarlah kami akan berusaha terus. Malam ini akan menangkapnya. Jika kami gagal, maka kami akan datang lain kali untuk menangkap siapa saja untuk pengganti orang tua yang kami hormati yang telah kalian bunuh itu.”
“Kami tidak membunuh. Kami memang bukan pembunuh.”
“Jangan ingkar. Terserah kepada kalian.”
Orang-orang bersenjata itu tidak menghiraukan orang yang kurus itu lagi. Mereka pun segera meninggalkan rumah itu dengan tingkah laku yang kasar.....
Di pagi harinya, ketika penghuni padukuhan itu keluar dari rumah masing-masing, maka mulailah cerita tentang orang-orang bersenjata itu tersebar. Ternyata beberapa buah rumah telah dimasukinya dan mengatakan ancaman yang serupa.
Beberapa orang di antara mereka, memandang Supa dengan penuh curiga. Tetapi orang yang menerima Supa di rumahnya meyakinkan kepada mereka, bahwa Supa malam itu ada di rumah bersamanya.
“Kita tidak dapat menuduhnya. Ia tetap berada di rumah malam itu,” berkata orang yang memberikan tempat kepada Supa.
“Ia dapat memberikan beberapa petunjuk kepada orang-orang yang tidak kita kenal itu.”
“Ternyata orang-orang bersenjata itu masih mencari-cari. Jika seseorang telah memberikan petunjuk kepada mereka, maka mereka tidak akan memasuki setiap rumah dan mengancam setiap orang.”
Mereka yang mencurigai Supa mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mulai mempercayainya, bahwa Supa memang tidak bersalah.
“Jika demikian, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kita bersiaga. Kita tidak mau menjadi sasaran tanpa bersalah dan tanpa berbuat sesuatu.”
“Ya. Kita harus bersiaga. Jika ia kembali lagi ke padukuhan ini, maka kita harus sudah siap mengusirnya.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepala. Dan mereka pun bersepakat untuk bersiaga menghadapi semua kemungkinan.
Namun dalam pada itu, Supa yang melihat orang di padukuhan itu mempersiapkan diri menghadapi kedatangan orang-orang bersenjata itu pun bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Kenapa kalian bersiaga dengan senjata?”
“Apakah kau tidak mendengar berita tentang orang-orang yang bersenjata itu?”
“Ya, aku mendengar.”
“Kenapa kau bertanya tentang kesiagaan ini?”
“Maksudku, aku ingin bertanya, apakah kita akan melawan dengan senjata?”
“Tentu. Kita tidak akan membiarkan diri kita mati tanpa berbuat sesuatu.”
“Tetapi bukankah kita pernah sependapat, bahwa kita mempercayakan diri kita kepada perlindungan Singasari?”
Orang-orang yang mendengar pertanyaan Supa itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, ”Tetapi apakah Singasari benar-benar akan melindungi kita?”
“Aku mengira demikian. Karena itu, sebaiknya salah seorang dari kita melaporkannya.”
“Kepada Tuanku Anusapati?”
“Tentu tidak perlu langsung kepada Tuanku Anusapati. Tentu ada pasukan yang mendapat tugas dan wewenang di daerah ini. Kita melaporkan kepada panglima yang memimpin pasukan pengamanan kota. Bukankah daerah ini sebenarnya masih berada di dalam lingkungan kota raja meskipun sudah di pinggiran?”
“Kita berada di luar dinding kota raja.”
“Lapis pertama. Lingkungan itu adalah lingkungan pusat pemerintahan. Tetapi bukankah gerbang di lapis kedua berada di luar daerah ini.”
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan melaporkannya kepada perwira yang berwenang di daerah ini. Namun demikian, apabila orang-orang itu datang sebelum prajurit sempat mengambil langkah tertentu, kita memang harus bersiaga seperlunya saja.”
Supa tidak dapat mencegahnya. Adalah wajar bahwa di dalam kecemasan yang demikian, orang-orang itu mempersenjatai diri.
Dalam pada itu, beberapa orang pun segera menjumpai perwira yang bertanggung jawab di daerah itu. Dengan singkat mereka melaporkan apa yang telah terjadi.
“Berapa orang menurut dugaanmu? “bertanya perwira itu.
“Kira-kira sepuluh orang.”
“Baiklah. Kami akan mengirimkan beberapa orang prajurit yang akan melindungi padukuhanmu dan mencegah pertumpahan darah.”
Orang itu pun kembali dengan hati yang lapang. Mereka percaya bahwa prajurit-prajurit Singasari itu akan segera datang memberikan perlindungan.
Tetapi sampai pada saatnya malam tiba, tidak seorang prajurit pun yang nampak. Karena itu, maka orang-orang di padukuhan itu menjadi cemas. Dan dalam kecemasan itulah mereka kembali mengambil senjata mereka untuk melindungi isi padukuhan itu dari sergapan orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu.
Hampir setiap laki-laki di dalam pendukuhan itu pun bersiaga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kita perlu memanggil kawan-kawan kita dari padukuhan lain.”
“Tidak. Tidak perlu. Kita cukup kuat. Tetapi jika kita tidak dapat menahan mereka yang barangkali akan datang dalam jumlah yang lebih besar, kita akan membunyikan isyarat.”
Dan kesiagaan itu telah mencemaskan Supa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan dengan ketakutan ia pun kemudian berada di lingkungan orang-orang bersenjata yang berkumpul di banjar padukuhan selain pengawas di pinggir padukuhan itu.
Dalam pada itu, selagi orang-orang di padukuhan tempat Supa berlindung itu bersiaga, maka di padukuhan yang lain, telah terjadi hal yang serupa. Beberapa orang bersenjata menjelang malam hari telah datang dan mengetuk beberapa pintu sambil membentak-bentak.
“Di mana pemimpinmu?”
“Pemimpin yang mana?” bertanya salah seorang dari penghuni padukuhan itu.
“Pemimpin kalian, yang ingin memaksakan kehendak kalian untuk memanjatkan kembali nama Akuwu Tunggul Ametung di dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Anusapati”
“Ah.”
“Berterus-teranglah.”
“Kami tidak pernah merasa bahwa kami telah melakukannya dengan kekerasan. Kami memang mengharap bahwa Tuanku Anusapati tidak melupakan lantaran kelahirannya. Karena kami anggap bahwa yang menurunkan Tuanku Anusapati, serta modal dari kelahiran Singasari adalah Tumapel, maka kami mempunyai keinginan agar kita tidak melupakan Akuwu Tunggul Ametung. Hanya itu. Tetapi kami sama sekali tidak mimpi untuk melakukan kekerasan atas keinginan tersebut. Sekedar keinginan seperti orang-orang lain mempunyai keinginan.”
“Omong kosong. Kalian sudah melakukan kekerasan. Tetangga kami yang paling baik sudah kalian bunuh.”
“He? Kamilah yang telah kehilangan. Orang tua yang sangat kami hormati telah terbunuh.”
“Omong kosong. Laki-laki itu mabuk tuak dan mati di dalam lumpur sawah. Jangan bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah terjadi.”
“Dan laki-laki yang kau sebut tetanggamu yang baik itu pun tidak mati terbunuh oleh orang lain. Ia terbunuh oleh tetangga-tetangganya sendiri karena mencuri.”
“Diam!” bentak orang-orang bersenjata itu, “jika aku tidak berhasil menemukan pemimpin kalian, maka kalian akan merasakan akibatnya. Aku dapat berbuat apa saja untuk melepaskan kekecewaan kami.”
Demikianlah maka orang-orang bersenjata itu pergi sambil melepaskan ancaman. Sehingga karena itu, maka orang-orang padukuhan yang merasa dirinya diancam itu pun segera mempersiapkan diri.
“Karena kita harus menyiapkan senjata?” bertanya Raka yang tinggal di antara mereka.
“Apakah kita harus menyerahkan leher kita.”
“Kenapa kita tidak melaporkannya kepada prajurit Singasari yang bertugas di daerah ini?”
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, ”Baik, baik. Kita akan melaporkannya agar dengan demikian nama kita akan terlindung dari ancaman hukuman bahwa kita sudah bertindak sendiri. Namun demikian kita pun harus bersiap jika terjadi sesuatu sebelum perlindungan itu datang.”
Raka tidak dapat mencegahnya pula ketika mereka kemudian menyiapkan senjata di tangan mereka, sementara beberapa orang datang kepada para prajurit Singasari yang bertugas.
“Baik, adalah tugas kami untuk melindungi kalian,” berkata perwira yang memimpin prajurit-prajurit itu.
Namun dalam pada itu, juga di padukuhan itu ternyata tidak mendapat perlindungan dari seorang prajurit pun.
Dengan demikian maka kedua padukuhan yang agak berjauhan letaknya itu telah menyiagakan diri. Bahkan kemudian dari hari ke hari kesiagaan itu telah menjalar. Padukuhan-padukuhan lain yang merasa mempunyai sikap dan pendirian yang sama, telah bersiap pula karena mereka pun akan dapat menjadi sasaran orang-orang bersenjata yang tidak mereka kenal. Namun masing-masing menganggap bahwa orang-orang bersenjata itu datang dari pihak yang lain, yang akan menuntut balas kematian-kematian yang pernah terjadi.
Dalam pada itu, suasana menjadi semakin lama semakin panas. Jika prajurit Singasari tidak mengambil sikap, maka akan dapat timbul perang di antara mereka. Perang yang tidak akan mendatangkan keuntungan bagi siapa pun juga, kecuali mereka yang memang menginginkan Singasari goyah dari dalam tubuhnya sendiri.
Tetapi ternyata prajurit Singasari yang sudah mendapat laporan tentang hal itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka sama sekali tidak meneruskan laporan itu kepada atasan mereka.
“Kita tinggal menunggu,” berkata salah seorang dari mereka, “jika hal itu sudah terjadi, barulah kita datang. Tetapi pertentangan itu tentu sudah akan meluas, dan dendam menjadi semakin dalam.”
“Ya. Dan itu akan segera terjadi. Singasari akan goyah. Dan Tuanku Anusapati akan kehilangan kewibawaan di mata rakyatnya.”
“Para panglima tidak akan mengetahui apa yang terjadi, karena kita di sini tidak meneruskan laporan itu.”
Prajurit-prajurit itu tertawa. Katanya, “Semua sudah ada di bawah pengaruh kita. Kita akan segera mendapatkan kesempatan yang sangat baik.”
“Tetapi bagaimana jika sampai saatnya kita berpindah tugas dari tempat ini ke tempat yang lain, tetapi perang di antara mereka itu belum terjadi? Dan mungkin pasukan yang menggantikan kita akan segera mengirimkan perlindungan kepada mereka kedua belah pihak?”
“Tentu kita tidak akan memberitahukan persoalan itu. Jika demikian suasananya akan lebih menguntungkan. Kita tidak bertanggung jawab sama sekali, dan pihak istana dan panglima akan menuntut pertanggungan jawab prajurit-prajurit yang menggantikan kita itu.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum.
Dalam pada itu, keadaan semakin lama memang menjadi semakin panas. Prajurit Singasari sama sekali tidak ada yang datang ke tempat yang telah mereka sanggupkan.
Dengan demikian maka orang-orang yang merasa dirinya terancam itu pun menjadi semakin cemas dan persiapan mereka untuk melindungi diri pun menjadi semakin kuat.
“Mereka masih menunggu,” berkata salah seorang prajurit.
“Kita harus memancing lagi,” berkata yang lain.
“Bagaimana pendapat pemimpin kita?”
“Belum ada perintah.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun semakin lama menjadi semakin gelisah, karena mereka belum melihat akibat yang terjadi setelah sekelompok orang-orang bersenjata mendatangi kedua belah pihak.
“Kita memang harus berbuat sesuatu,” berkata perwira yang memimpini prajurit-prajurit yang bertugas itu.
“Ya, jika tidak, maka mereka pun hanya akan menunggu.”
“Ambil seorang dari masing-masing pihak. Bawa kemari, atau kalian dapat membunuhnya, tetapi mayatnya jangan sampai ditemukan oleh pihak masing-masing. Dengan demikian mereka akan mencari dan bentrokan akan terjadi.”
“Kapan kita lakukan?”
“Malam nanti.”
Para prajurit itu pun kemudian bersiap. Sepuluh orang dengan pakaian yang beraneka warna akan mendatangi padukuhan-padukuhan yang sedang bertentangan itu dan mengambil seorang dari antara mereka, siapa pun juga.
Sementara itu, orang-orang yang bersikap melindungi diri masing-masing itu pun menjadi semakin gelisah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu, sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita berbuat suatu. Kita tidak dapat menunggu terus menerus sehingga rasanya kita seperti tersiksa siang dan malam berhari-hari.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Supa.
“Kita mencari orang-orang yang datang kemari itu.”
“Ke mana?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Ke padukuhan itu.”
“Dengan demikian tentu akan timbul benturan bersenjata. Dan kitalah yang akan dipersalahkan, karena kita yang datang seakan-akan menyerang ke padukuhan yang lain.”
“Tetapi aku menjadi gila menunggu. Di siang hari aku tidak dapat bekerja dengan tenang, dan di malam hari rasa-rasanya tidak dapat tidur sama sekali.”
“Bukankah kita sudah mengatur penjagaan? Kita percaya kepada diri kita. Kepada kawan-kawan kita yang bertugas. Bukankah jika kita berada di sawah, di ladang, di rumah dan di gardu, kita sudah bersenjata? Jika terjadi sesuatu, kita sudah siap untuk membela diri. Ingat, sekedar membela diri.”
Orang-orang tua di padukuhan itu pun ternyata sependapat dengan Supa, sehingga mereka pun mengangguk-anggukkan kepala ketika mereka mendengarkan pembicaraan itu.
Tetapi seseorang yang masih muda dan bertubuh kekar berkata, “Supa, kau adalah pendatang. Kami, orang-orang padukuhan ini berpendapat bahwa kami sebaiknya menyerang saja daripada tersiksa oleh waktu.”
Yang menjawab kemudian bukannya Supa, tetapi orang-orang tua. Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan tergesa-gesa. Kita harus waspada. Seandainya memang kita harus menyerang dan mencari orang-orang bersenjata yang telah mengejutkan kita, maka kita harus tahu, apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang padukuhan yang akan kita datangi. Jika mereka pun sudah bersiap dengan kekuatan yang jauh lebih besar, maka kedatangan kita akan sia-sia dan justru kitalah yang akan menyerahkan korban terlampau banyak. Apalagi dari sudut pandangan prajurit Singasari, kitalah yang telah bersalah, menyerang padukuhan lain dengan kekerasan senjata.”
Ternyata bahwa orang-orang yang kehilangan kesabaran itu pun terpaksa menurut dengan pendapat orang-orang tua. Mereka mengangguk betapapun hati mereka sebenarnya bergejolak.
Ternyata yang serupa, telah terjadi pula di padukuhan yang lain. Dengan susah payah Raka terpaksa membujuk mereka agar tidak melakukan kekerasan. Sebab dengan demikian maka yang terjadi tidak lebih dari pertumpahan darah. Sedang mereka tidak akan mendapatkan penyelesaian daripada persoalan yang sedang berkecamuk itu. Bahkan yang akan terjadi adalah dendam yang semakin membara
Agaknya kedua belah pihak masih menahan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui, bahwa apabila malam tiba, sekelompok orang-orang bersenjata akan melakukan kekerasan untuk memancing kekeruhan di antara mereka.
Demikianlah ketika malam turun perlahan-lahan, di kedua padukuhan itu telah siap beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan di setiap lorong. Beberapa orang bersenjata duduk di gardu sambil berbicara hilir mudik untuk mencegah kantuk yang mulai meraba-raba mata mereka.
“Beberapa lama lagi aku masih harus duduk di sini,” gumam salah seorang dari mereka.
“Tengah malam mereka akan menggantikan kita,” jawab yang lain.
“Dan tengah malam itu masih terlalu lama.”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka duduk bersandar di dinding gardu yang dibuat dari anyaman bambu. Sementara senjata mereka pun mereka letakkan di pangkuan.
Namun dalam pada itu, para prajurit yang akan memancing kekeruhan itu pun sudah siap. Para prajurit itu sudah mengetahui bahwa di kedua padukuhan itu diadakan penjagaan yang rapat. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang cukup berpengalaman.
Para prajurit itu mengetahui dengan pasti, bahwa orang-orang di kedua padukuhan itu mengawasi setiap jalan masuk ke dalam padukuhan masing-masing. Tetapi bagi para prajurit, jalan masuk bukannya regol-regol padukuhan itu saja. Tetapi dengan meloncati dinding padukuhan, mereka akan sampai juga di dalam.
Demikianlah ketika saatnya sudah tiba menjelang tengah malam, maka beberapa orang prajurit telah mengubah diri mereka masing-masing di dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari lima orang.
“Nah,” berkata perwira yang memimpin mereka, “setiap padukuhan harus didatangi oleh dua kelompok. Bukankah sudah cukup?”
“Cukup,” sahut seorang prajurit, “kita hanya akan menghadapi cucurut-cucurut kecil. Mereka akan segera lari ketakutan apabila kita sudah mulai bertindak. Mungkin perlu satu dua orang korban jatuh. Selain seorang yang harus hilang.”
“Kalian tidak perlu membunuh jika tidak perlu selain seorang itu. Kalian boleh melukai mereka. Akhirnya mereka akan saling membunuh sendiri tanpa kalian.”
“Tetapi,” tiba-tiba seorang prajurit berkata, “bagaimana jika para panglima mengetahui?”
“Tidak. Mereka tidak akan mengetahui.”
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya
“Nah, berangkatlah. Hati-hati. Kalian mengetahui apa yang harus kalian lakukan. Kalian memasuki padukuhan itu lewat dua jalan. Kemudian kalian berbuat sesuatu untuk mengacaukan orang-orang yang menurut perhitungan kalian bersenjata. Setelah jatuh satu dua orang korban, kalian segera melarikan diri. Dengan demikian maka dendam telah menyala di setiap dada. Dan mereka akan segera bertindak sendiri-sendiri.”
Demikianlah maka prajurit-prajurit yang sudah menyamar diri masing-masing itu pun segera berangkat, kelompok kecil menuju kedua padukuhan yang mereka anggap paling peka untuk menerima pancingan serupa ini.
Rasa-rasanya keempat kelompok yang dibagi menjadi dua arah itu menjadi semakin cepat maju ketika mereka menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang menjadi sasaran mereka masing-masing. Rasa-rasanya mereka ingin segera berbuat sesuatu. Jika usaha mereka berhasil, maka mereka akan mendapat hadiah yang tidak sedikit. Apalagi apabila Singasari benar-benar goyah dan kemudian terjadi perubahan pada pucuk pimpinan pemerintahan. Maka mereka pasti akan mendapat bukan saja hadiah harta dan benda, tetapi juga jabatan dan pangkat.
Demikianlah mereka menjadi semakin dekat dengan padukuhan-padukuhan itu. Sebelum mereka memasuki padukuhan-padukuhan itu dengan meloncati dinding, maka mereka lebih dahulu memperhatikan setiap regol pada jalur jalan yang memasuki padukuhan-padukuhan itu, terutama jalan induk.
Tetapi para prajurit yang menyamar itu menjadi heran. Ternyata pintu-pintu regol itu tetap terbuka, seolah-olah tidak terjadi sesuatu pada padukuhan-padukuhan itu.
“Aneh?” desis salah seorang dari mereka, “Rasa-rasanya mereka tidak menghiraukan apa yang dapat terjadi atas mereka.”
“Memang aneh. Tetapi aku melihat sendiri, semalam mereka masih tetap bersiaga di regol-regol. Pintu-pintu regol itu tertutup dan beberapa orang berjaga-jaga di gardu-gardu.”
“Lihat gardu-gardu itu!” perintah pemimpin kelompok. Dua orang kemudian merayap mendekati gardu di regol induk untuk melihat apakah ada beberapa orang peronda. Namun ternyata gardu itu kosong. Demikian juga di gardu induk padukuhan yang satu lagi.
“Aneh?” desis pemimpin kelompok yang mendapat laporan itu, “Aku tidak tahu, apakah artinya ini.”
“Memang aneh. Tetapi aku kira mereka benar-benar tidak ingin berkelahi.”
“Tetapi sampai semalam mereka benar-benar sudah bersiap meskipun mereka tidak mau menyerang.”
“Tetapi,” tiba-tiba salah seorang berkata, “apakah mereka tidak sabar menunggu, dan kini orang-orang di padukuhan ini mulai menyerang?”
Pemimpin kelompok itu berpikir. Namun kemudian, “Seandainya demikian, tentu regol-regol padukuhan itu ditutup dan dijaga sebaik-baiknya. Ternyata tidak seorang pun yang kelihatan.”
“Agaknya mereka berusaha menjebak kita.”
“Bagaimana mungkin mereka akan menjebak.”
“Kenapa tidak. Mereka menunggu kita masuk, kemudian mereka menyerang kita beramai-ramai.”
“Jika demikian mereka benar-benar bodoh. Apa mereka mengira dapat mengalahkan kita?”
“Mereka tidak tahu, bahwa kita adalah prajurit-prajurit.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jika demikian maka tentu hanya sebuah regol saja yang terbuka. Marilah kita melihat regol yang lain.”
Demikianlah prajurit-prajurit itu melihat regol-regol yang lain. Namun seperti regol di jalan induk itu, maka semuanya terbuka dan tidak seorang pun yang menjaganya.
“Aneh sekali. Dengan demikian, aku menjadi curiga.”
“Lalu?”
“Kita batalkan saja rencana yang lain, tetapi tetap mengambil salah seorang dari mereka. Orang yang kita ambil itu akan hilang. Dengan demikian maka mereka tentu akan mencarinya.”
“Kita tidak perlu melukai satu dua orang?”
“Jika terpaksa. Tetapi jika padukuhan itu memang kosong, atau orang-orangnya menjadi ketakutan, kita tidak perlu bersusah payah. Seorang sudah cukup untuk membakar dendam mereka.”
“Jadi kita masuk ke dalam padukuhan itu.”
“Tidak lewat jalur jalan. Kita meloncati dinding.”
Namun seseorang masih juga bertanya, “Jika mereka memang ketakutan, apa gunanya kita mengambil seorang dari mereka, dan membuat kesan bahwa orang itu hilang karena ia tidak pernah kembali dan tidak ditemukan mayatnya? Mereka yang ketakutan itu tentu tidak akan mencarinya.”
“Kita mengharap bahwa dendam mereka akan mengatasi ketakutan itu,” sahut pemimpin kelompok, “tetapi jika mereka tetap tidak berbuat apa-apa, kita akan memikirkan cara lain.”
Tidak ada yang bertanya lagi, sehingga pemimpin kelompok itu pun mulai membawa anak buahnya merayap maju mendekati dinding yang melingkari padukuhan.
Peristiwa yang serupa terjadi pula di padukuhan yang lain. Yang sengaja dibakar kemarahannya agar dendam menyala di antara kedua belah pihak.
Dalam pada itu, pada padukuhan tempat Supa berlindung, benar-benar sesepi padang di pinggir hutan. Tampaknya tidak ada seorang pun yang keluar rumahnya, sehingga regol-regol, gardu dan simpang-simpang empat yang sering dikunjungi beberapa orang sekedar untuk duduk dan berbicara tanpa ujung pangkal, benar-benar sunyi.
Demikian padukuhan yang menyimpan Raka di dalamnya. Tidak ada sesosok tubuh pun yang nampak di jalan-jalan padukuhan. Pintu-pintu rumah sudah ditutup rapat dan diselarak dari dalam.
Dalam pada itu, maka orang-orang bersenjata itu pun mulai berloncatan memasuki padukuhan. Sejenak mereka mengamati keadaan. Namun agaknya padukuhan itu benar-benar sepi.
“Apa yang akan kita lakukan. Tidak seorang pun yang kita jumpai.”
“Ya. Tetapi kita harus mengambil seseorang.”
“Siapa? Apakah kita akan mengambil Ki Buyut padukuhan ini, atau siapa?”
“Siapa saja. Marilah kita berjalan menyusuri jalan ini. Kita tidak perlu memisahkan diri. Biarlah kedua kelompok ini berjalan bersama. Kita mengambil orang dari rumah yang pertama kita jumpai.”
“Ya. Dan itu adalah nasibnya. Kita tidak menentukan siapa yang bernasib jelek itu.”
Demikianlah maka orang-orang bersenjata itu pun mulai menyusuri jalan di dalam padukuhan yang sepi itu. Sekali pemimpin kelompok itu tertegun ketika ia mendengar suara burung kedasih yang seakan-akan sedang meratapi nasibnya yang malang.
“Burung kedasih?” desis seorang prajurit yang menyamar.
“Ya, suara burung kedasih.”
“Pertanda kepedihan. Di padukuhan ini akan terjadi peristiwa yang sedih. Suara burung kedasih adalah pertanda tangis.”
“Apa boleh buat bahwa seseorang harus menitikkan air mata karena kehilangan.”
“Mungkin bukan hanya seseorang. Mungkin dua tiga orang. Istri dan anak-anaknya.”
“Dan akan disusul oleh tangis dan ratap di seluruh padukuhan. Manakah yang akan lebih dahulu menyerang melepaskan dendam. Padukuhan yang ini atau padukuhan yang lain, yang malam ini juga akan kehilangan salah seorang penghuninya. Mungkin malam ini juga terdengar suara burung kedasih di padukuhan itu,” gumam seorang di antara para prajurit itu.
Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab.
Dalam pada itu, mereka melangkah terus semakin dalam. Pada padukuhan yang sepi itu, mereka sudah memutuskan untuk memasuki rumah yang pertama dan mengambil penghuni laki-lakinya siapa pun orang itu.
Ketika mereka melihat sebuah regol halaman rumah digantungi oleh lampu minyak, maka seseorang berdesis, “Malanglah nasib penghuni rumah itu. Kita akan memasukinya dan membawa penghuninya.”
Demikianlah sekelompok prajurit itu pun kemudian berdiri di muka regol, sedang yang lain bertugas memasuki halaman rumah yang pertama-tama mereka jumpai itu.
“Kita tidak memilih,” desis seorang prajurit muda, “nasib kadang-kadang berbuat dengan kejam. Mimpi apakah gerangan laki-laki ini.”
“Ah kau. Jika kita terlampau banyak membuat pertimbangan maka kerja kita tidak akan dapat selesai.”
Prajurit muda itu terdiam. Tetapi ada sesuatu yang tidak mapan di dalam hatinya.
Sejenak kemudian maka pemimpin kelompok itu sudah mengetuk pintu. Perlahan-lahan, tetapi semakin lama semakin keras.
“Siapa?” terdengar suara seorang perempuan.
“Aku! Buka pintu!”
“Suamiku tidak ada di rumah,” jawab suara perempuan itu.
“Di mana?”
“Pergi, sejak sore hari.”
“Buka pintu!”
“Besok pagi sajalah.”
“Buka pintu!” pemimpin kelompok itu menjadi tidak sabar sehingga ia berteriak “jika kau tidak mau membuka, aku akan merusaknya.”
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian terdengar suara perempuan itu lagi, “Jangan, jangan kau rusak pintu. Aku akan membukanya.”
“Cepat!”
“Tunggu.”
Tetapi pemimpin kelompok itu menjadi curiga. Karena itu, maka tanpa berkata apapun lagi, ia pun segera mendorong pintu rumah itu.
Tetapi ternyata ia salah hitung. Pintu itu sama sekali tidak dipalang, sehingga karena dorongan kekuatannya sendiri ia pun kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab.
Tetapi orang yang terjatuh itu pun segera meloncat bangun dengan hati yang terbakar.
Dengan sorot mata yang bagaikan bara, orang yang terjatuh itu memandang seorang perempuan yang berdiri gemetar dengan menggendong seorang anak kecil. Ketakutan yang amat sangat membayang di wajah perempuan itu, sedangkan anak yang ada di dalam gendongannya itu pun sudah mulai terisak-isak. Tetapi seakan-akan anak itu mengetahui, bahwa ia tidak boleh menangis berteriak-teriak, sebab dengan demikian akan dapat membahayakan dirinya.
“Gila!” bentak orang yang terjatuh itu, “Kenapa kau tidak menyelarak pintu, sehingga aku terjatuh karenanya?”
“Aku, aku lupa,” jawab perempuan itu ketakutan.
“Persetan! Di mana suamimu?” bertanya pemimpin kelompok itu sambil menyeringai karena punggungnya terasa agak sakit.
“Suamiku pergi.”
“Ke mana?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ia pergi sejak sore. Mungkin ia pergi ke sawah karena tetangga-tetangga mengatakan bahwa parit mulai mengalir,” perempuan itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah maksud kalian mencari suamiku.”
“Jangan bohong! Di mana suamimu?”
“Pergi, aku bersumpah. Ia tidak ada di rumah.”
Pemimpin kelompok itu berpikir sejenak. Namun tiba-tiba ia memberi perintah kepada orang-orangnya, “Lihat seisi rumah!”
Serentak anak buahnya pun bergerak memasuki setiap bilik dengan senjata telanjang di tangan. Dilihatnya segenap sudut dan di bawah pembaringan. Tetapi mereka memang tidak menemukan seseorang.
“Tidak ada seorang laki-laki pun,” lapor salah seorang anak buahnya.
Pemimpin kelompok itu menggeram. Katanya kemudian, “Cari di halaman! Bawalah tiga orang dari kelompok yang ada di luar. Yang lain menjaga regol. Aku tetap di sini.”
Demikianlah orang-orang bersenjata itu pun segera memencar di halaman dan di kebun belakang. Mereka mencari ke dalam lumbung, kandang, dan di segala sudut. Tetapi mereka tidak menemukan yang dicarinya.
“Tidak ada, memang tidak ada. Mungkin perempuan itu memang tidak berbohong,” desis salah seorang prajurit yang menyamar itu.
“Jadi bagaimana?” sahut yang lain.
“Terserah kepada pemimpin kelompok. Mungkin kita harus memasuki rumah berikutnya. Jika kita menemukan laki-laki di sana, kita akan membawanya. Agaknya nasib laki-laki di rumah ini memang masih cukup baik.”
Kawannya tidak menyahut. Mereka pun kemudian menyampaikan hal itu kepada pemimpin kelompok yang ada dijalani rumah itu.
“Gila!” geramnya, “Jadi kita tidak menemukan laki-laki itu?”
“Mungkin ia ada di sawah,” sekali lagi perempuan itu menjelaskan dengan suara gemetar.
“Persetan!” tiba-tiba pemimpin kelompok itu membelalakkan matanya, “apa suamimu sudah tahu bahwa aku akan datang sehingga ia sengaja pergi mengungsi?”
“Tidak. Kami tidak tahu apa-apa. Yang aku dengar, suamiku berbicara tentang air.”
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin mengendapkan hatinya yang terbakar oleh kemarahan yang me-luap-luap.
“Ternyata suamimu masih sempat hidup,” pemimpin kelompok itu bergumam, lalu katanya kepada anak buahnya, “kita pergi ke rumah berikutnya.”
Demikianlah maka orang-orang bersenjata itu pun meninggalkan halaman rumah itu dengan hati yang kesal. Agaknya laki-laki yang tinggal di rumah itu masih belum sampai saatnya dijemput oleh maut.
Beberapa puluh langkah kemudian, mereka pun sudah berdiri di depan sebuah regol halaman. Halaman yang agak lebih luas dari halaman yang pertama.
“Kita masuk ke dalam!” perintah pemimpin kelompok, “Kita akan mengambil laki-laki yang ada di rumah ini. Ternyata laki-laki inilah yang sedang bernasib buruk. Jika kita menemukan laki-laki di ujung lorong itu, maka laki-laki penghuni rumah ini tidak akan diraba oleh maut.”
Demikianlah maka sekelompok dari orang-orang bersenjata itu tetap berada di luar agak terpencar, sedang sekelompok yang lain berdiri di muka pintu rumah itu.
Mereka tidak lagi mengetuk pintu dengan sabar. Tiba-tiba saja mereka memukul daun pintu dengan kerasnya.
“Cepat buka pintu!”
Sejenak mereka tidak mendengar jawaban.
“Cepat! Buka pintu!”
Lambat-lambat terdengar suara dari dalam, “Siapa?”
“Jangan bertanya lagi! Buka pintu! Atau aku akan membakar rumah ini.”
Terdengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu dan sejenak kemudian pintu itu pun terbuka. Seorang perempuan setengah tua berdiri ketakutan di muka pintu itu.
Pemimpin kelompok itu pun segera meloncat masuk diikuti oleh anak buahnya. Dengan garangnya ia bertanya, “Di mana suamimu?”
“Oh,” perempuan itu melangkah surut, “suamiku sudah meninggal lima tahun yang lalu.”
“Oh, di mana anak-anakmu. Atau siapa pun laki-laki di rumah ini.”
“Anakku laki-laki sedang pergi ke sawah. Ia mendengar parit sudah mengalir.”
“Gila! Siapa yang berkata tentang parit itu kepadamu?”
“Sore tadi bebahu padukuhan ini pergi berkeliling ke setiap rumah. Mereka memberitahukan bahwa parit sudah mengalir. Padi yang hampir kering itu harus diairi.”
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berteriak, “Bohong! Di mana laki-laki rumah ini?”
Perempuan itu menjadi ketakutan sekali. Dan dengan gemetar ia berkata terbata-bata, “Suamiku sudah mati lima tahun yang lalu. Aku mempunyai enam orang anak. Dua perempuan dan empat laki-laki. Tetapi semuanya sudah kawin dan berumah sendiri, kecuali anak laki-lakiku yang bungsu, yang kini sedang pergi ke sawah.”
Tetapi pemimpin kelompok itu berteriak, “Cari! Cari di seluruh ruangan dan cari di segenap sudut halaman.”
Orang-orangnya pun kemudian mencari di dalam rumah dan yang lain di luar rumah. Namun mereka tidak menemukan seseorang. Mereka memang menemukan pakaian seorang laki-laki bergantungan di dinding bambu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh perempuan itu, bahwa anaknya yang bungsu sedang pergi mengairi sawahnya.”
“Di mana letak sawah itu?” pemimpin kelompok itu pun akhirnya bertanya.
“Di sebelah selatan padukuhan ini. Sudah dua pekan bendungan rusak dan air tidak mengalir. Tanaman kami mulai menjadi kuning. Tenaga kami telah terperas habis untuk menaikkan air dengan timba. Dan siang tadi bendungan sudah dapat diselesaikan setelah seluruh isi padukuhan ini, laki-laki perempuan, tua muda bekerja memperbaikinya. Dan ternyata sore tadi air sudah naik dan parit sudah mengalir. Hampir setiap orang pergi ke sawah selain mengairi sawah, juga melihat hasil jerih payah kami. Tetapi aku tidak dapat pergi karena aku menunggui rumah ini.”
“Gila!” teriak pemimpin kelompok itu. Lalu tiba-tiba, “Kita pergi ke selatan padukuhan ini. Kita harus menemukan laki-laki.”
“Tidak semua laki-laki pergi ke sawah,” desis seorang prajuritnya, “tentu ada yang tinggal di rumah. Jika isi rumah terdiri dari beberapa orang laki-laki, maka mereka tidak akan pergi seluruhnya.”
“Mungkin sekali mereka pergi seluruhnya karena mereka ingin melihat hasil jerih payah mereka setelah memperbaiki bendungan. Karena itu, kita pergi ke sawah. Kita dapat mengambil tidak hanya seorang laki-laki.”
Prajuritnya tidak menyahut. Mereka pun kemudian meninggalkan halaman rumah itu dan menyusur jalan yang membelah padukuhan itu, pergi ke selatan untuk mencari dan kemudian mengambil salah seorang laki-laki dari padukuhan itu.
Ternyata bahwa regol padukuhan yang menghadap ke selatan pun kosong seperti regol-regol yang lain. Tidak seorang pun yang menjaganya dan dibiarkan pintu regol itu terbuka.
“Kita akan berhadapan dengan sejumlah penduduk,” berkata seorang prajurit.
Tetapi pemimpin kelompok yang marah itu menyahut, “Aku tidak peduli! Aku tidak akan menghindarkan diri dari pembunuhan yang mungkin harus kita lakukan. Adalah salah mereka, jika mereka berkumpul di sebelah selatan padukuhan ini, dan kemudian mereka harus melakukan perlawanan. Sebaiknya mereka menyerah dan membiarkan seseorang kita bawa. Baru kemudian mereka harus mencarinya di padukuhan yang lain itu. Demikian juga sebaliknya. Mudah-mudahan kawan-kawan kita yang memasuki padukuhan yang berlawanan itu berhasil membakar mereka pula.”
Para prajurit itu tidak menjawab lagi. Tetapi mereka mulai membayangkan sebuah pertempuran. Laki-laki padukuhan itu yang sedang berada di sawah, dan berkumpul dalam kelompok yang cukup, tentu tidak akan menyerah begitu saja. Apalagi agaknya mereka sudah beberapa lama mempersiapkan diri. Adalah kebetulan saja mereka lengah karena air yang mereka anggap sebagai sesuatu yang penting itu, baru saja mengaliri sawah mereka.
Demikian beberapa saat lamanya mereka menyusuri jalan di tengah-tengah sawah. Sejenak kemudian mereka sampai pada sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih.
“Agaknya inilah parit itu. Tetapi di manakah laki-laki yang sedang pergi ke sawah itu?” bertanya pemimpin kelompok..
Prajurit-prajurit itu pun tertegun sejenak. Tetapi mereka sama sekali tidak bertemu dengan seorang laki-laki pun. Yang tampak di hadapan mereka adalah padi yang tumbuh dengan suburnya. Tidak tampak tanda-tanda bahwa padi itu menjadi kekeringan air untuk waktu yang cukup lama.
“He, apakah kita sudah tertipu?” geram pemimpin kelompok itu.
“Ya, kita sudah tertipu. Tidak ada seorang laki-laki pun di sini. Tidak ada batang padi yang kering dan tidak ada apa-apa sama sekali,” sahut seorang prajurit yang sedang menyamar itu.
“Gila! Perempuan-perempuan itu sudah menipu kita.”
“Ya, mereka menipu kita.”
“Jahanam! Kita kembali kepada kedua perempuan itu. Kita paksa mereka mengaku di mana laki-laki di rumah mereka. Kita mengambil keduanya. Jika mereka tidak mengaku, biarlah kita bawa kedua perempuan itu. Aku tidak peduli.”
“Tetapi,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “kenapa mereka dapat menjawab serupa. Laki-laki mereka, apakah itu suaminya atau anaknya, pergi ke sawah karena air mulai mengalir?”
Pemimpin kelompok itu berpikir sejenak. Katanya “Ya, kenapa hal itu dapat terjadi.”
“Mungkin mereka tidak berbohong. Tetapi mereka salah mengatakan, bahwa bukan sawah di daerah ini yang pernah mengalami kekeringan itu.”
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Aku tidak peduli. Jika di dalam perjalanan kita kembali kedua rumah itu tidak menjumpai laki-laki, maka kita akan membawa dua orang perempuan gila itu. Mereka harus menunjukkan di mana suami atau anaknya. Jika kita tidak menemukan, apa boleh buat. Perempuan itu akan merupakan bahan yang lebih baik.”
Anak buahnya tidak mempersoalkannya lagi. Mereka memang harus berbuat sesuatu untuk membakar permusuhan antara dua golongan rakyat Singasari agar dengan demikian terjadi guncangan pada pemerintahan Anusapati. Jika mereka berhasil membenturkan dua padukuhan dari golongan yang berbeda itu, maka persoalannya tentu akan merambat, karena masing-masing akan menyeret golongannya ke dalam persoalan itu.
Demikianlah maka kelompok kecil prajurit yang menyamar itu dengan tergesa-gesa kembali memasuki regol padukuhan. Ternyata padukuhan itu masih saja sepi seperti ketika mereka melaluinya. Gardu di dalam regol itu tidak terisi oleh seorang pun, sedang pintu regol masih juga terbuka
Namun dalam pada itu, selagi mereka melalui lorong di dalam regol itu, mereka telah terkejut. Lamat-lamat mereka mendengar suara orang tertawa sehingga iring-iringan itu pun kemudian berhenti.
“He, apakah kau mendengar suara tertawa?” bertanya pemimpin kelompok itu kepada seorang prajuritnya.
“Ya. Aku mendengar,” sahut orang itu, “perlahan-lahan.”
“Jika demikian, ada orang di sekitar kita. Suara itu suara seorang laki-laki.”
“Mungkin masih ada orang yang berjaga-jaga di dalam rumah di sekitar tempat ini. Mungkin mereka sedang membicarakan masalah air, atau kepentingan yang lain.”
“Marilah kita cari. Aku yakin, bahwa aku mendengar suara tertawa.”
Sejenak mereka pun berdiam diri. Mereka ingin meyakinkan apakah mereka tidak salah dengar.
Sejenak kemudian maka mereka menjadi yakin. Mereka memang mendengar suara seorang laki-laki yang tertawa.
“Di arah timur. Benar?” bertanya pemimpin kelompok,
“Ya, di arah timur.”
Maka kelompok itu pun kemudian bersiap untuk mencari sumber suara itu ke arah timur. Namun ketika kaki mereka baru saja melangkah, maka mereka dikejutkan oleh suara tertawa itu pula. Tetapi justru di arah yang berlawanan.
“He, kau dengar? Suara itu tidak di arah timur, tetapi di arah barat.”
“Ya, di arah barat.”
“Jadi?”
“Kita yakinkan. Jika kita mendengar suara itu lagi.”
Sejenak mereka berdiam diri. Dan ternyata mereka pun kemudian mendengar suara itu. Memang di arah barat.
“Memang di arah barat.”
“Cepat. Kita harus menemukannya.”
Mereka pun segera dengan tergesa-gesa pergi ke arah barat. Namun Langkah mereka terpaksa terhenti ketika mereka mendengar suara tertawa itu lagi. Justru di arah yang lain.
“Gila!” pemimpin kelompok itu berteriak, “kita mendapat tantangan. Aku dengar suara itu. Dan alangkah bodohnya jika aku mencarinya di arah lain. Baik. Kita harus menjawab tantangan ini.”
Para prajurit itu pun kemudian menyadari bahwa mereka benar-benar mendapat tantangan dari orang yang tidak mereka kenal. Suara tertawa yang berpindah-pindah itu agaknya dengan sengaja agar mereka menjadi bingung, atau justru menakut-nakutinya. Tetapi para prajurit yang cukup berpengalaman itu menyadari bahwa mereka telah dihadapkan pada lawan yang tidak dapat diabaikan.
Dalam pada itu pemimpin kelompok itu pun berkata pula, “Kami menunggu di sini. Ayo, siapakah yang telah menantang kami dengan sikap yang terlampau sombong itu? Agaknya kalian dengan sengaja telah mencoba mempermainkan kami. Tetapi kalian akan menyesal, karena kami akan membalas sakit hati kami berlipat ganda.”
Masih belum ada jawaban.
“Cepat. Jawab kata-kata kami, atau kami harus memanggil kalian untuk datang kemari?”
Tidak ada jawaban.
Pemimpin kelompok itu pun menjadi sangat marah. Dengan suara gemetar ia berteriak, “Baik. Baik Jika tidak seorang pun yang datang, maka aku akan membakar gardu dan regol itu sekaligus. Apabila masih belum ada seorang pun yang datang, kami akan membakar rumah-rumah yang kami jumpai.”
Masih tetap belum ada jawaban yang mereka dengar, sehingga karena itu maka pemimpin kelompok itu menjadi sangat marah dan berteriak, “Kami akan melakukannya. Sekarang.”
Lalu ia pun berteriak kepada anak buahnya, “Cepat, buatlah api!”
Seorang anak buahnya pun segera mengambil sebuah batu yang berwarna keputih-putihan dari ikat pinggangnya. Dengan sepotong baja dan gelugut aren, maka ia pun mulai membuat api. Disentuhnya batu itu dengan sepotong besi baja. Sepercik api meloncat dan menyentuh gelugut aren yang sudah dikeringkan.
“Cari rerumputan dan kayu kering. Kita membuat api.”
Beberapa orang pun segera mencari rerumputan dan daun-daun kering. Gelugut aren yang sudah mulai membara itu pun ke-mudian dihembus-hembusnya pada rerumputan yang kering, sehingga api itu pun semakin lama menjadi semakin besar. Akhirnya, maka terjadilah nyala yang menjalar ranting-ranting kering yang sudah disediakan.
“Lemparkan ke gardu itu!” teriak pemimpin kelompok itu.
Karena masih belum ada seseorang yang datang, maka prajurit itu benar-benar melakukannya. Ranting-ranting yang mulai menyala itu pun kemudian dilemparkannya ke gardu di dekat regol yang terbuka.
Segumpal api telah meluncur dan jatuh di dalam gardu itu. Tetapi prajurit-prajurit yang menyamar itu terkejut, karena begitu api itu jauh, maka sebuah tangan telah meraihnya dan dengan tergesa-gesa melemparkannya ke tanah.
Sejenak api itu masih menyala. Dan karena nyala api itulah mereka kemudian melihat jelas seseorang berdiri di dekat gardu itu.
Prajurit-prajurit yang menyamar itu mematung sejenak. Dilihatnya seseorang berdiri dalam pakaian putih dan kerudung putih.
“Siapakah kau?” desis pemimpin kelompok prajurit itu. Terdengar suara tertawa itu. Seperti yang sudah mereka dengar sebelumnya.
“Siapa?” bentak pemimpin prajurit itu.
“Kalian tentu mengenal aku. Sudah lama aku tidak mengunjungi rakyatku yang dicengkam oleh kegelisahan seperti ini.”
“Siapa, siapa he?”
“Kau tidak mengenal aku? Mustahil.”
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Lalu terdengar suaranya berdesis, “Kesatria Putih?”
Orang berpakaian dan berkerudung putih itu tertawa. Katanya, “Nah, kau menyebutnya dengan tepat. Aku adalah Kesatria Putih. Kau ingin melihat kudaku yang putih? Aku mengikatnya di dalam kegelapan.”
“Bohong, kau bukan Kesatria Putih,” tiba-tiba pemimpin kelompok itu berteriak.
Suara tertawa itu terdengar lagi. Dan sekarang suara tertawa itu bagaikan semakin dalam mencekam jantung setiap prajurit yang menyamar.....
“Mengapa kau ragu-ragu? Sebagaimana kau lihat, aku adalah Kesatria Putih. Aku telah meninggalkan tahta sesaat karena aku telah menerima laporan tentang kalian. Jangan menyesal bahwa aku telah menyusupkan beberapa orang dari pasukan sandi ke dalam setiap kelompok prajurit. Dan di dalam kesatuanmu aku pun telah menanam prajurit-prajurit sandi itu. Dan dari mereka aku mendengar laporan, apa yang telah kalian lakukan di daerah ini. Menakut-nakuti, membiarkan mereka dalam ketakutan dan kemudian kalian kini berusaha memancing pertentangan itu.”
“Bohong! Bohong!”
“Selain prajurit-prajurit sandi di dalam pasukanmu, kau pun telah dijebak oleh petugas-petugas sandi yang lain. Di padukuhan ini pun aku mempunyai petugas sandi meskipun bukan prajurit. Dan sekarang ia akan membantuku menangkap kalian.”
“Omong kosong. Jangan menakut-nakuti aku. Jika benar kau Kesatria Putih, kenapa kau masih juga mempergunakan kerudung putih itu, karena setiap orang mengetahui bahwa Kesatria Putih adalah Tuanku Anusapati, yang sekarang sudah berada di atas tahta Singasari.”
“Sedang kalian usahakan, agar tahta itu berguncang. Begitu?”
“Bohong! Jika benar kau Tuanku Anusapati, bukalah kerudung putih itu.”
“Aku akan menangkapmu dan membawa langsung ke istana tanpa memberitahukan kepada perwira atasanmu yang telah menjerumuskan kalian ke dalam pengkhianatan ini.”
“Persetan! Jangan mengigau. Kami tidak percaya bahwa kau adalah Kesatria Putih. Kami tidak percaya apa yang kaukatakan itu seluruhnya. Mungkin kau adalah pemimpin yang sebenarnya dari golongan yang menentang Tuanku Anusapati di padukuhan ini dan beberapa padukuhan yang lain.”
“Terserah kepadamu. Percaya atau tidak percaya. Tetapi aku akan menangkapmu.”
“Jangan menakut-nakuti kami seperti menakut-nakuti anak-anak. Aku akan melakukan tugas yang dibebankan kepadaku sebaik-baiknya. Aku akan membunuhmu. Jangan menyesal bahwa kau tidak berhasil menakut-nakuti kami sehingga kami dengan begitu saja menyerahkan leher kami.”
“Oh, jadi kalian akan melawan?”
“Kami akan membunuhmu.”
Suara tertawa itu terdengar lagi. Kini sangat mengerikan, sehingga terasa bulu-bulu para prajurit itu meremang.
“Bedanya Kesatria Putih dahulu selalu seorang diri. Kini Kesatria Putih yang sudah duduk di atas tahta, tidak mau mengalami kesulitan karena usahanya melindungi rakyatnya. Itulah sebabnya Kesatria Putih sekarang dengan resmi membawa pasukan pengawal istana. Dan kau tentu sudah mengenal mereka itu.”
“Itu adalah pertanda bahwa kau bukan Kesatria Putih yang sebenarnya.”
“Justru sebaliknya. Para prajurit pengawal itu adalah pertanda kebesaran Kesatria Putih saat ini.”
Pemimpin kelompok itu menjadi ragu-ragu. Tetapi tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Ia tidak mau dicengkam oleh keragu-raguannya sendiri, sehingga ia seakan-akan menjadi lumpuh karenanya.
Demikianlah, maka yang terjadi di kedua padukuhan yang terpisah itu hampir serupa. Prajurit-prajurit yang bertugas di kedua tempat itu ternyata telah bertemu dengan Kesatria Putih. Tetapi ternyata bahwa kedudukan kedua Kesatria Putih itu agak berbeda meskipun membawa tugas yang serupa.
Kesatria Putih yang berada di padukuhan yang satu, dengan suara tertawanya yang bagaikan menusuk ulu hati, telah membuka kerudungnya. Ternyata ia benar-benar Anusapati yang telah duduk di atas tahta. Sehingga dengan demikian para prajurit yang menyamar itu sama sekali tidak dapat berbuat lain kecuali menyerahkan dirinya, karena Anusapati benar-benar membawa sepasukan pengawal yang cukup untuk menguasai prajurit-prajurit yang telah berkhianat itu. Sedang di padukuhan yang lain, Kesatria Putih itu tidak mau membuka kerudung putihnya.
Karena itu, maka ia masih harus membuktikan kemampuannya bertempur dibantu oleh beberapa orang dalam pakaian prajurit pengawal. Hanya tiga orang. Tetapi yang empat orang itu adalah Mahisa Agni. Witantra, Kuda Sempana, dan Mahendra. Sedangkan Supa dan Raka, petugas sandi itu pun telah melibatkan dirinya pula di dalam penangkapan itu.
Tetapi tugas Supa agaknya lebih ringan dari tugas Raka. Supa kebetulan berada di padukuhan yang didatangi langsung oleh Anusapati sendiri, sehingga prajurit-prajurit yang menyamar itu tidak berani melakukan perlawanan apapun. Sedang Raka berada di padukuhan yang lain. Di mana Kesatria berkerudung putih itu tidak mau membuka kerudungnya, sehingga telah terjadi pertentangan di antara mereka. Sepuluh orang prajurit melawan Kesatria Putih dibantu oleh tiga orang pengawalnya, dan kemudian Raka, seorang petugas sandi yang tidak diambil dari lingkungan keprajuritan itu pun harus bertempur pula.
Demikianlah maka Kesatria Putih yang tidak membuka kerudungnya itu masih harus bertempur. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Meskipun tidak dikehendaki, tetapi terpaksa telah jatuh korban pula dari antara prajurit yang menyamar itu. Seorang terluka parah dan tiga orang terluka ringan. Seterusnya, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah.
Malam itu juga, mereka telah dibawa langsung ke istana. Di tempat yang sudah ditentukan maka kedua orang yang menyebut dirinya itu Kesatria Putih, telah bertemu. Mahisa Agni yang mendahului tawanannya, segera membuka pakaian putih dan kerudungnya tanpa setahu mereka.
Demikianlah, ketika mereka memasuki halaman istana, maka bagi para tawanan itu hanya ada seorang Kesatria Putih,yang diiringi oleh beberapa orang pengawal.
Namun tugas Kesatria Putih itu ternyata masih belum selesai. Setelah menyimpan tawannya maka ia pun harus menyelesaikan induk pasukan prajurit-prajurit yang menyamar itu. Ia harus menangkap perwira yang tertinggi di antara mereka yang bertanggung jawab atas pengkhianatan itu.
Demikianlah maka Anusapati dengan pasukan pengawalnya diikuti oleh Mahisa Agni segera berangkat untuk tugas yang cukup berat bagi mereka.
Anusapati sengaja tidak membawa para panglima, agar persoalan itu tidak menjadi semakin tersebar. Ia hanya membawa sepasukan pengawal yang tepercaya dan seorang senapati agung yang bertugas di Kediri, yaitu Mahisa Agni. Sedangkan Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana mengikutinya dari kejauhan karena mereka bukan prajurit Singasari, agar kehadirannya tidak menimbulkan pertanyaan di antara para prajurit itu sendiri.
Demikianlah, dengan diam-diam sepasukan prajurit merayap di sepanjang jalan kota. Bahkan Anusapati telah membagi prajuritnya menjadi kelompok-kelompok kecil, agar tidak menimbulkan kegelisahan di antara rakyatnya.
Namun selain tidak menimbulkan kegelisahan di antara rakyat Singasari, maka kedatangan prajurit itu pun tidak segera diketahui oleh pasukan yang sudah dianggap berkhianat itu.
Tetapi bahwa kelompok-kelompok prajurit yang bertugas memancing pertentangan itu tidak segera kembali, maka perwira yang memimpin seluruh pasukan yang bertugas di daerah itu pun menjadi gelisah. Apalagi ketika waktu yang diperkirakan sudah jauh melampauinya.
Karena itu, maka dipanggilnya beberapa orang kepercayaannya untuk berbicara tentang pasukan yang mereka tunggu-tunggu itu.
“Seharusnya mereka sudah kembali,” desis perwira itu.
“Mungkin mereka menyingkirkan jejak.”
“Maksudmu orang yang diambilnya dari padukuhan itu?”
“Ya. Mereka harus melenyapkan bekas. Dalam hal ini mayat orang-orang yang mereka ambil.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata “Tetapi waktunya sudah cukup.”
“Jadi, bagaimana maksudmu? “bertanya perwira yang lain.
“Perintahkan dua orang penghubung untuk melihat apakah yang sudah terjadi atas mereka.”
Demikianlah maka dua orang penghubung berkuda segera bersiap untuk berangkat. Mereka mendapat tugas untuk melihat, apabila perlu mencari prajurit-prajurit yang sedang bertugas itu.
Namun tanpa mereka ketahui, saat itu, pasukan Anusapati telah mengepung mereka rapat-rapat. Karena itu, ketika dua orang penghubung berkuda itu hilang di gelapnya malam untuk menunaikan tugas mereka, maka ternyata mereka untuk selamanya tidak akan pernah sampai ke tujuan dan tidak kembali ke pangkalan, karena mereka pun telah tertangkap oleh Anusapati.
Tetapi Anusapati tidak sempat bertanya kepada tawanan-tawanannya. Yang penting baginya adalah menangkap perwira itu. Perwira yang bertanggung jawab itu tentu mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Mereka tentu mengerti, siapakah sebenarnya yang berada di belakang tingkah para prajurit yang telah memberontak terhadap kemantapan pemerintahan Anusapati itu.
Prajurit-prajurit yang berada di dalam kepungan itu pun menjadi semakin gelisah. Prajuritnya yang dikirim lebih dahulu tidak juga kembali, sedang para penghubung pun sama sekali tidak memberikan berita apapun. Apalagi ketika mereka melihat cahaya yang kemerah-merahan telah membayang di langit sebelah timur.
“Hampir fajar,” desis perwira itu.
“Ya,” sahut yang lain, “apakah kita sudah diketahui oleh Tuanku Anusapati, bahwa kita berbuat salah.”
“He, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut?”
“Bukan pengecut. Tetapi petugas sandi Tuanku Anusapati ternyata berserakan. Mungkin tingkah kita sudah diketahuinya. Mungkin ada petugas sandi di antara kita.”
Perwira itu menjadi tegang. Lalu, “Mustahil. Aku kenal anak buahku dengan baik. Seorang demi seorang.”
Perwira bawahannya itu tidak menyahut lagi. Tetapi ternyata bahwa wajahnya dicengkam oleh ketegangan. Bahkan kemudian ia pun melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
Perwira yang memimpin pasukan yang sedang berusaha mengguncang pemerintahan Anusapati itu pun menjadi semakin gelisah ketika langit menjadi semakin merah. Apalagi kedua penghubungnya pun sama sekali tidak menampakkan dirinya.
Untuk menghilangkan kegelisahan di dalam dirinya dan di dalam pasukannya, maka ia pun kemudian memanggil beberapa orang perwira bawahannya dan memerintahkan mereka untuk bersiaga.
“Memang mungkin ada di antara kita yang berkhianat. Karena itu bersiaplah menghadapi segala kemungkinan,” perintah pemimpin itu.
“Apakah yang akan terjadi?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita tidak tahu. Ternyata semuanya menjadi samar. Kitalah yang justru dihadapkan pada kebimbangan. Bukan orang-orang padukuhan itu.”
Perwira-perwira bawahan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kembalilah kepada kelompok masing-masing. Kalian harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan.”
Demikianlah prajurit yang gelisah itu mempersiapkan dirinya. Mereka tidak tahu apakah sebenarnya yang sedang mereka hadapi.
“Apakah kelompok-kelompok kecil itu telah terjebak,” desis seorang prajurit.
“Apakah tidak seorang pun berhasil lolos? Dan apakah mereka terjebak semuanya? Bukankah mereka bukannya pergi ke satu padukuhan? Seandainya padukuhan yang satu sempat menjebaknya, maka tentu yang lain tidak.”
“Siapa tahu. Kita berhadapan dengan orang-orang yang bersikap. Mungkin mereka benar-benar telah berkelahi sampai orang yang terakhir. Dan mungkin bahwa yang terakhir bagi kelompok yang telah kita kirim itu.”
“Mengerikan sekali. Apakah tidak sebaiknya kita pergi menyusul mereka?”
“Dan tidak kembali seperti mereka? Bukankah kita telah mengirimkan dua orang penghubung berkuda? Tetapi yang dua orang itu pun tidak kembali.”
“Langit menjadi semakin merah.”
“Sebentar lagi fajar akan naik.”
“Dan ada seribu kemungkinan dapat terjadi atas kita.”
Demikianlah para prajurit itu pun mencoba mengatasi kegelisahan dari mereka justru hanya mondar-mandir saja sambil mengacukan senjata di tangan.
Namun dalam pada itu, selagi mereka dengan gelisah menunggu tanpa mengetahui apa yang sedang mereka tunggu, barak itu telah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda di kejauhan.
“Dua orang penghubung itu datang,” desis seorang prajurit.
“Ya. Mereka ternyata datang.”
Beberapa orang prajurit yang gelisah itu pun kemudian melangkah mendekati regol halaman barak mereka. Bahkan perwira pemimpin dari barak itu pun telah keluar dan memandang ke kejauhan. Namun mereka belum melihat sesuatu.
Baru sejenak kemudian mereka melihat bayangan dua orang penunggang kuda mendekat. Namun kedua penunggang kuda itu ternyata berhenti di luar halaman.
Dua orang penjaga regol halaman itu pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapa?”
“Kami, utusan Tuanku Anusapati.”
Jawaban itu memang mengejutkan. Dan ternyata bahwa keduanya memang bukan penghubung yang telah mereka kirimkan keluar.
“Apakah maksudmu?” bertanya salah seorang dari kedua penjaga.
“Aku akan menemui pemimpinmu.”
“Apakah maksudmu? Kau belum menjawab.”
“Sudah. Aku akan menemui pemimpinmu. Itulah maksudku.”
Sebelum prajurit-prajurit yang bertugas di regol itu bertanya lagi, maka yang seorang dari kedua penunggang kuda itu menyambung, “Kami adalah utusan Tuanku Anusapati, Maharaja Singasari. Junjungan kami dan kalian. Kau terlampau kecil untuk mengetahui persoalan yang kami bawa untuk kami beri tahukan kepada pemimpinmu. Kau harus melihat pakaian kami dan tanda-tanda kebesaran yang ada pada kami. Meskipun fajar masih belum menyingsing, dan kalian masih belum melihat dengan jelas, tetapi sebagai seorang prajurit kalian harus segera dapat mengenal tanda kebesaran seorang prajurit. Aku adalah perwira utusan Tuanku Anusapati. Tugasmu membawa aku kepada pemimpinmu.”
Jawaban itu memang mendebarkan jantung. Prajurit yang bertugas di regol itu telah tertindih oleh wibawa kedua utusan Anusapati itu, sehingga mereka tidak segera dapat menyahut.
“Bawa mereka masuk!” perintah pemimpin mereka yang juga mendengar jawaban itu.
Kedua prajurit yang bertugas di regol itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka pun mempersilakan kedua orang berkuda itu masuk.
Tetapi ternyata bahwa kedua orang berkuda itu sama sekali tidak mau meloncat turun. Di muka pemimpin pasukan yang berada di barak, itu salah seorang berkata, “Aku adatah utusan Maharaja Anusapati, menyampaikan perintah, bahwa kalian harus meletakkan semua senjata dan mengikatnya menjadi satu.”
Perwira yang bertugas sebagai pemimpin pasukan di dalam barak itu menjadi berdebar-debar. Kini ia tahu, bahwa semua tingkah lakunya sudah diketahui oleh Anusapati. Bahkan Anusapati telah menjatuhkan perintah kepadanya untuk meletakkan senjata dan mengikatnya.
Untuk sesaat pemimpin pasukan itu termangu-mangu. Sebagai seorang prajurit, perintah itu mengandung wibawa yang tinggi, yang hampir tidak terlawan. Sebagai seorang senapati ia sadar, bahwa ingkar pada perintah adalah sama halnya dengan pemberontakan dan pengkhianatan. Tetapi ia juga menyadari bahwa ia memang sudah melakukannya. Dengan perbuatannya untuk memancing kekeruhan itu, sebenarnyalah ia memang sudah melawan pemerintahan Anusapati.
Perwira itu masih saja termangu-mangu. Terbayang kepadanya seorang yang dianggapnya akan dapat melindunginya jika pada suatu saat ia mengalami persoalan yang ternyata telah terjadi itu.
“Namun agaknya ia tidak akan dapat berbuat banyak,” berkata senapati itu di dalam hatinya, “ia hanya dapat menjanjikan pangkat yang tinggi apabila ia berhasil. Tetapi tentu di dalam keadaan serupa ini ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kekuatan yang disusunnya sama sekali tidak berbentuk, sedang guncangan-guncangan yang dipersiapkan agaknya telah gagal pada tahap yang pertama.”
Karena senapati itu tidak segera menjawab, maka utusan Anusapati itu pun mengulanginya, “Apakah kau tidak mendengar perintah yang sudah aku ucapkan?”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba ia menggeretakkan gigi sambil bertanya, “Apa sebabnya aku harus meletakkan senjata?”
“Kelak kau akan mendengar titah Tuanku Anusapati lebih lanjut.”
“Aku ingin mendengarnya sekarang.”
Kedua utusan itu termangu-mangu. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Itu bukan tugas kami. Yang harus kami sampaikan adalah perintah itu. Letakkan senjata dan ikat menjadi satu. Kalian, prajurit-prajurit yang ada di barak ini serta yang berpencaran di dalam tugasnya di daerah ini, ternyata mereka telah dicengkam oleh pengaruh yang tidak dikehendaki. Penjelasan lebih lanjut akan kau dengar kelak. Dan tentu saja siapa yang tidak bersalah tidak akan disertakan di dalam setiap tuntutan. Tetapi siapa yang bertanggung jawab, maka ialah yang akan dihadapkan kepada hukuman yang sewajarnya.”
Perwira pemimpin pasukan yang sebenarnya memang telah ingkar akan tugasnya itu menjadi berdebar-debar. Darahnya serasa menjadi semakin cepat mengalir, seperti jantungnya yang semakin cepat berdetak.
Sebuah kesadaran telah merayapi hatinya, ia tidak akan dapat mengingkari tanggung jawabnya. Karena itu, maka apapun yang akan dilakukannya, maka ia tentu akan dihadapkan pada sebuah hukuman yang berat.
Itulah sebabnya maka ia tidak akan dapat mengambil pilihan lain. Dan kemungkinan yang hanya satu-satunya itulah yang justru telah membakar dadanya.
Dengan dada tengadah maka Senapati itu pun kemudian berkata lantang “Dengarlah! Aku adalah seorang perwira. Seorang perwira yang kini memegang jabatan Senapati di daerah ini, memimpin sepasukan prajurit yang dengan patuh menjalankan tugasnya. Tentu kami tidak akan dapat dijebak dengan keterangan-keterangan yang tidak masuk akal itu. Kehadiranku di sini pun adalah karena tugasku, karena limpahan perintah Tuanku Anusapati. Karena itu tidak setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya atas kami di sini hanya dengan sekedar menyebut dirinya utusan Tuanku Anusapati. Karena itu, kembalilah! Kami akan melanjutkan tugas kami sebaik-baiknya. Kami hanya akan tunduk kepada perwira atasan kami. Kepada senapati yang lebih tinggi di daerah ini. Tidak kepadamu. Kepada orang yang tidak aku kenal. Pakaianmu adalah pakaian pasukan pengawal. Namun kau sama sekali belum pernah aku lihat.”
Kedua prajurit berkuda itu memandang perwira yang menentang perintahnya itu dengan tajam. Lalu katanya, “Mungkin kau mengenal setiap perwira yang selalu bertugas di dalam istana Singasari. Tetapi kami berdua adalah perwira yang sudah bertahun-tahun bertugas di Kediri. Itulah sebabnya kita jarang sekali bertemu.”
“Kau perwira dari pasukan pengawal Kediri?”
“Bukan. Kami adalah pasukan pengawal Singasari yang bertugas di Kediri. Kau tentu mengetahui bahwa di Kediri ada wakil Mahkota yang kebetulan kini sedang berada di Singasari. Kami adalah pasukan pengawal yang bertugas mengawal Tuanku Mahisa Agni.”
“Persetan! Kenapa kalian yang harus datang kepadaku? Bukan perwira dari pasukan pengawal yang bertugas di Singasari?”
“Tidak ada bedanya. Dan di belakangku adalah pasukan segelar sepapan. Pasukan pengawal dan beberapa kelompok dari kesatuan-kesatuan yang lain. Jika tidak mengindahkan perintah ini, maka pasukan yang bersiap itu akan menyerbu memasuki barak ini. Dengan demikian tentu jatuh korban. Dan itu berarti bahwa kesalahanmu menjadi semakin berat di hadapan Tuanku Anusapati. Dan janji pangkat serta kedudukan yang akan kau terima apabila kau berhasil dengan usahamu itu, tidak akan pernah kau nikmati. Kau mengerti? Selanjutnya, kelak kau akan mendengar sendiri.”
“Persetan dengan kicau yang gila itu. Aku berpegang pada perintah atas pasukanku. Aku bertugas di sini atas kekuasaan Tuanku Anusapati,” jawab senapati itu.
Jawaban itu telah membuat kedua perwira utusan Anusapati itu menjadi marah. Salah seorang daripadanya berkata, “Jadi kau menolak perintahku atas nama Tuanku Anusapati, bahwa kau dan pasukanmu yang ada sekarang menyerah?”
“Aku tidak menolak perintah Tuanku Anusapati,” jawab senapati itu, “tetapi aku tidak kenal padamu. Dan kau telah memalsukan diri dengan menyebut dirimu utusan Anusapati, karena itu kalian berdua ada di bawah kekuasaan kami.”
“Maksudmu?”
“Kami menangkap kalian berdua. Kami akan membawa kalian menghadap Tuanku Anusapati. Jika kau menolak perintahku, maka kalian berdua akan mati di sini.”
“Itu adalah suatu perbuatan gila. Kami berdua adalah utusan Maharaja Singasari. Jika kau bertindak atas utusan maharaja maka kau akan mengalami nasib yang malang.”
“Aku tidak peduli terhadap alasanmu. Tetapi aku tidak mau melihat kekuasaan Tuanku Anusapati dinodai oleh perwira-perwira palsu seperti kalian berdua.”
“Tegasnya?” geram kedua perwira berkuda itu.
“Turun dari kudamu, dan serahkan kedua pergelangan tanganmu. Kau berdua akan aku seret di belakang kuda sampai ke istana Tuanku Anusapati.”
“Dan menyerahkan lehermu di tiang gantungan.”
“Seandainya demikian, maka hukuman gantung itu tidak akan dapat diulang dua tiga kali betapapun besar kesalahanku. Meskipun aku membunuh sepuluh atau lima belas orang perwira sekaligus, maka hukuman gantung itu hanya dapat dilakukan satu kali.”
“Jadi kau akui bahwa kau telah memberontak dan sadar bahwa kau akan menerima hukuman gantung.”
“Gila! Aku tidak berkata begitu. Tetapi aku akan menangkapmu. Cepat, turun dari kudamu dan menyerahkan kedua lenganmu. Kamu akan mengikat pergelangan tanganmu.”
Kedua perwira di atas punggung kuda itu termangu-mangu sejenak. Ketika mereka menengadahkan kepalanya, maka mereka melihat langit yang semakin merah.
Dalam pada itu tiba-tiba saja salah seorang dari kedua perwira itu berkata, “Kau memang bernasib buruk sekali. Tentu tidak seorang pun dari anak buahmu yang bersedia melakukan perintahmu untuk menangkap kami berdua. Siapa yang ikut melakukannya, maka mereka pun akan mengalami hukuman yang luar biasa beratnya. Bahkan mungkin bukan sekedar hukuman gantung, hukum picis.”
“Omong kosong!” perwira ku membentak. Lalu dengan lantang ia berkata “Dengar, aku akan memerintahkan anak buahku untuk menangkap kalian.”
“Dan perintahmu akan lenyap seperti teriakan seorang kelana di tengah-tengah padang pasir yang luas dan kering.”
“Aku akan membuktikan.”
“Dan menyeret mereka ke dalam hukuman yang paling parah? Kau memang terlampau kejam. Kenapa kau tidak berani bertanggung jawab atas kesalahanmu? Dan kau akan membawa anak buahmu ke dalam kesulitan? Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak banyak mengetahui tentang usahamu itu. Dan mereka adalah prajurit-prajurit yang baik. Baik sebagai prajurit, dan baik sebagai seorang laki-laki. Anak-anak mereka akan terkejut apabila mendengar berita bahwa ayahnya dihukum gantung, apalagi dihukum picis karena memberontak terhadap rajanya. Suatu perbuatan yang tidak pernah terpikir oleh anak-anak mereka dan istri-istri mereka yang menunggu mereka dengan setia di rumah.”
“Diam! Diam! Kau mencoba mempengaruhi kejantanan seorang prajurit.”
“Kejantanan bukan kebodohan. Bukan berarti pula pemberontakan.”
“Diam! Diam! Diam!”
“Aku tidak akan diam. Dengar perintahku. Menyerahlah! “
Senapati itu menjadi kehilangan akal. Perintah itu bagaikan berdesing terus-menerus di dalam telinganya, sehingga akhirnya ia berteriak untuk mengatasi suara yang seakan-akan selalu didengarnya itu, “Tangkap kedua orang yang mengaku dirinya utusan Tuanku Anusapati ini. Tangkap mereka karena mereka melakukan jabatan perwira Singasari.”
“Perintahmu tidak meyakinkan,” sahut salah seorang dari kedua perwira berkuda itu.
“Jangan dengarkan. Cepat, tangkap orang itu!”
Perintahnya menggelegar di seluruh halaman. Namun ternyata prajuritnya menjadi ragu-ragu. Pembicaraan senapati dengan kedua perwira berkuda itu telah membuat mereka men-jadi ragu-ragu, bahkan menjadi bingung.
“Tangkap keduanya!” perintah itu terdengar lagi menggema di seluruh halaman. Tetapi prajurit-prajurit itu masih tetap termangu-mangu. Bahkan di antara mereka ada yang benar-benar telah terkenang kepada keluarganya di rumah. Jika ia tidak kembali dan istrinya serta anak-anaknya mendengar bahwa ia tertangkap apalagi terbunuh karena memberontak, maka istrinya akan menangis sepanjang malam. Bahkan sepekan. Dan istrinya serta anaknya itu akan tersisih dari pergaulan, karena suaminya memberontak. Tetapi jika ia mati di peperangan untuk menegakkan Singasari, maka istrinya akan dihormati oleh kawan-kawannya dan tetangga-tetangganya.
Dalam keragu-raguan itu, para prajurit yang berada di halaman barak itu melihat kedua perwira berkuda itu menggerakkan kudanya sambil berkata, “Baiklah. Jika kau tidak mau menyerah, aku akan menyampaikannya kepada Tuanku Anusapati. Siapa yang menyesal harap meninggalkan barak yang akan segera dihancurkan ini.”
Para prajurit masih tetap ragu-ragu. Dan senapati yang memimpin mereka itu pun berteriak lebih keras lagi, “Tangkap keduanya.”
Tetapi tidak seorang pun yang bergerak. Mereka hanya memandang saja kedua ekor kuda itu berjalan menyusup regol halaman. Bahkan prajurit yang bertugas di regol itu pun dengan termangu-mangu memandang saja dua orang perwira yang lewat dengan duduk di atas punggung kuda.
“Gila! Tangkap keduanya! Keduanya akan berkhianat terhadap kalian. Yang hitam dikatakan putih dan yang putih dikatakan hitam. Apalagi kita bersama-sama telah membuat kesalahan. Maka melawan atau tidak melawan kita akan digantung. Kita adalah prajurit-prajurit jantan, yang lebih baik mati dengan pedang di tangan apapun alasannya daripada mati di tiang gantungan.”
Kata-kata itu pun ternyata berpengaruh juga terhadap prajurit-prajuritnya. Mereka menjadi semakin bimbang. Dan agaknya mereka pun kemudian sependapat, bahwa lebih baik mati dengan pedang di tangan apapun alasannya dari para mati di tiang gantungan.
Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Mereka melihat senapatinya berlari-lari mengejar kedua perwira itu. Tetapi kuda itu sudah berderap semakin jauh, melesat seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.
“Gila! Gila! Kalian sudah gila!” teriak pemimpin prajurit itu, “kita sudah kehilangan mereka. Kita tidak tahu siapakah mereka berdua itu. Mungkin mereka berdua benar-benar perwira pasukan pengawal yang selama ini bertugas di Kediri yang sudah mendengar beberapa masalah tentang kita di sini. Tetapi mungkin justru mereka adalah orang yang sedang kita pancing, dan kini sedang memancing kita. Namun yang hampir dapat kita pastikan adalah usaha kita tentu gagal. Dan tidak ada cara lain daripada mempertahankan hidup ini dengan pedang.”
Beberapa orang prajurit menjadi ragu-ragu.
“Aku tahu bahwa kalian ragu-ragu. Memang kita tidak akan dapat melawan segenap prajurit Singasari. Tetapi Singasari tidak sesempit daun kelor. Kita dapat melarikan diri hidup di tempat yang tidak akan terjangkau oleh prajurit-prajurit Singasari dan bahkan prajurit sandi sekalipun.”
Prajurit-prajurit tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan timbul pertanyaan di dalam hati, “Lalu bagaimana dengan keluarga kita?”
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan namun senapati itu agaknya dapat menangkap maksud mereka. Maka katanya, “Kalian tentu mempersoalkan keluarga kalian. Biarlah mereka hidup dengan usaha mereka sendiri untuk beberapa lamanya. Prajurit Singasari tentu tidak akan mengganggu mereka. Pada saatnya, jika persoalan kita sudah dilupakan orang, kita akan datang menjemput mereka dan membawa ke tempat yang baru. Tetapi jika ada di antara mereka yang berkhianat dan kawin dengan orang lain, maka kita akan melupakan mereka.”
Prajurit-prajurit itu menjadi termangu-mangu. Dan pemimpinnya berkata selanjutnya, “Kita masih ada waktu. Aku akan pergi sekarang sebelum pasukan Singasari benar-benar datang. Jika tidak datang pun aku tidak akan kembali ke dalam lingkungan kesatuanku.”
Pemimpin prajurit itu segera melangkah memasuki baraknya dan mengambil beberapa benda yang terpenting saja. Sebilah keris, selain pedangnya yang sudah tergantung di lambung.
Namun prajuritnya masih saja termangu-mangu di tempatnya. Ketika senapati itu keluar dari baraknya maka ia pun berteriak, “Jangan berbuat bodoh! Kita adalah prajurit dan kita adalah laki-laki.”
Beberapa orang prajurit seakan-akan menyadari kejantanan dan harga dirinya. Memang mereka tidak ingin di giring ke alun-alun dan digantung berderet-deret. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka pun segera mulai bergerak diikuti oleh kawan-kawannya.
Sekelompok prajurit itu telah mengambil barang-barang yang paling berharga. Sebagian terbesar adalah pusaka-pusaka mereka. Kemudian mereka pun siap untuk meninggalkan barak itu.
Tetapi di samping mereka, ada juga prajurit-prajurit yang tidak beranjak dari tempatnya. Mereka lebih baik pasrah diri daripada menjadi manusia buruan yang terpisah dari sanak keluarga. Mereka yakin bahwa pimpinan pemerintahan di Singasari bukannya orang-orang yang haus darah dan mendambakan dendam di dalam hati. Sehingga karena itu, mereka tetap tidak mau pergi.
“Jangan pedulikan prajurit-prajurit itu!” teriak senapati itu, “Sekarang kita pergi. Semakin cepat semakin baik. Jika kita harus bertemu dengan pasukan Singasari, maka kita akan bertempur. Tujuan kita jelas, meloloskan diri dari tangan mereka. Kita tidak mau menjadi tontonan di alun-alun dan mungkin diperas untuk mengatakan siapakah orang yang ada di belakang kita. Mungkin perut kita akan dijepit atau tulang jari-jari kita diremukkan sekedar untuk mengaku, untuk mengatakan yang kita tidak mengetahui.”
Dengan demikian maka sebagian dari pasukan itu pun meninggalkan barak. Sebuah iring-iringan yang dengan tergesa-gesa menghindarkan diri dari kemungkinan yang mengerikan, tertangkap oleh pasukan Singasari selagi mereka melakukan pengkhianatan.
Sepeninggal pasukan yang menyingkirkan diri itu, para prajurit yang akan menyerah itu pun berkumpul di halaman. Seorang perwira rendahan segera maju ke depan sambil berkata, “Kita akan mengumpulkan senjata kita. Kita menyerah. Agaknya kita selama ini telah terseret oleh arus yang tidak kita ke-tahui arahnya.”
Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya. Seorang demi seorang telah melemparkan senjata mereka di dalam sebuah timbunan di tengah-tengah halaman.
Belum lagi mereka selesai, maka terdengar derap beberapa ekor kuda berlari-lari menuju ke barak itu. Bukan hanya satu dua ekor, tetapi pasukan berkuda meskipun tidak terlampau banyak.
Prajurit berkuda itu langsung memasuki halaman. Mereka melingkar di halaman dan sebagian yang lain di luar. Seorang perwira maju sambil berkata, “Kalian telah memilih sikap yang bijaksana. Agaknya kalian menyadari bahwa selama ini kalian telah salah jalan.”
Salah seorang dari para prajurit yang menyerah itu pun menjawab “Ya, kami telah menyerah.”
“Di mana senapatimu?”
“Meninggalkan barak ini bersama sekelompok prajurit. Mereka tidak ingin menyerahkan diri. Mereka ingin meninggalkan Singasari.”
Perwira prajurit berkuda itu tertawa. Katanya, “Tempat ini sudah terkepung rapat. Tidak seorang pun akan dapat lolos. Ke mana mereka pergi?”
Prajurit itu menunjukkan arah ke mana senapatinya pergi dengan sekelompok prajurit.
“Mereka akan terjebak. Tetapi biarlah mereka menjadi urusan kelompok yang lain. Sekarang, marilah, kalian yang menyerahkan diri memasuki barak ini dan tinggal di dalam untuk beberapa lamanya, sehingga kami akan memberikan perintah lain. Bagi kalian tentu akan ada perhitungan lain dengan mereka yang melarikan diri dan keras hati untuk melawan kekuasaan Tuanku Anusapati.”
Prajurit-prajurit yang menyerah itu pun kemudian masuk ke dalam barak mereka dengan meninggalkan senjata mereka di halaman.
Beberapa orang prajurit berkuda mengawasi mereka di seputar halaman depan dan belakang, sedang yang lain pun segera menyusul ke arah senapati itu melarikan diri.
Dalam pada itu, senapati yang melarikan diri bersama sekelompok prajuritnya itu, ternyata tidak mengambil jalan raya. Mereka turun ke sawah dan melintasi pematang menjauhi barak mereka. Senapati itu berharap bahwa mereka dapat melepaskan diri dari pengawasan para prajurit.
Tetapi para prajurit berkuda itu segera menemukan jejak mereka, ketika seorang petani yang tidak tahu menahu persoalannya menunjukkannya kepada prajurit berkuda itu, bahwa sekelompok prajurit yang lain telah melintasi bulak lewat jalan melintas, melalui pematang.
Namun sebenarnyalah bahwa barak itu sudah terkepung. Di setiap padukuhan di sekeliling barak itu telah di tempatkan sepasukan kecil prajurit. Sedang sepasukan berkuda akan selalu mondar-mandir di antara padukuhan-padukuhan itu untuk membantu prajurit-prajurit yang harus bertempur melawan pasukan yang melarikan diri itu.
Dalam pada itu, pasukan yang berada di sebuah padukuhan yang langsung menjadi arah senapati dan pasukannya itu pun telah melihat pasukan itu mendatangi lewat pematang. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Seorang penghubung berkuda segera menghubungi padukuhan di sekitarnya untuk menarik prajurit yang ada di padukuhan itu meskipun masih ada beberapa orang yang harus tinggal untuk selalu mengawasi keadaan.
Semakin lama prajurit yang melintasi pematang itu menjadi semakin dekat dengan sebuah padukuhan di depan mereka. Prajurit-prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa di padukuhan di hadapan mereka telah menunggu sekelompok prajurit untuk menangkap mereka.
Namun, ternyata bahwa prajurit-prajurit itu sudah hampir kehilangan akal sama sekali. Oleh putus asa dan merasa bersalah, maka mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, karena mereka tidak lagi mempunyai tujuan dari perjuangan mereka, selain menyelamatkan diri atau hancur bersama-sama dengan lawan.
Prajurit-prajurit itu maju dalam tiga iringan di tiga deret pematang. Seakan-akan mereka telah menyiapkan diri untuk menyerang dalam gelar perang yang khusus. Seakan-akan deretan yang di tengah itu akan segera berubah menjadi paruh dan tubuh gelar perang, sedang sebelah menyebelah akan menjadi sayap kiri dan sayap kanan.
Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa beberapa orang prajurit yang mendapat pemberitahuan tentang pasukan itu pun segera pergi ke padukuhan yang dituju oleh prajurit-prajurit yang melarikan diri itu. Namun sebelum mereka sampai, maka beberapa orang berkuda telah pergi lebih dahulu untuk menambah sekedar kekuatan selama beberapa saat mereka menunggu kedatangan prajurit-prajurit yang lebih kuat.
“Ternyata jumlah mereka cukup banyak,” desis seorang perwira yang memimpin para prajurit Singasari di padukuhan itu.
“Mereka lebih banyak dari prajurit yang ada di sini.”
“Sebentar lagi pasukan dari padukuhan sebelah itu akan datang, sementara kita bertahan di batas dinding padukuhan ini.”
“Bagaimana jika mereka melarikan diri, kembali ke bulak?” bertanya salah seorang prajurit.
“Kita akan mengejar mereka dan menangkap mereka. Tidak seorang pun dari mereka boleh lolos.”
“Dengan jumlah yang ada, tugas itu terlampau sulit.”
“Sudah aku katakan. Akan segera datang pasukan dari padukuhan sebelah menyebelah. Jika telah terjadi pertempuran, maka akan segera naik beberapa buah panah sendaren yang akan memberikan kabar kepada padukuhan-padukuhan yang agak jauh. Sementara itu kita dapat menahan mereka dalam pertempuran. Pasukan dari padukuhan yang agak jauh itu akan maju dan akan menjadi gelang yang rapat.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia agaknya kurang yakin akan ketepatan waktu meskipun sudah diperhitungkan baik-baik. Namun demikian, perintah itu memang berbunyi, ‘Jangan ada seorang pun yang lolos!’.
Tetapi setiap prajurit kini seakan-akan mengakui di dalam hati, bahwa kesatuan yang diikutsertakan di dalam tugas ini terlampau sedikit. Mereka menyadari, bahwa Anusapati yang memimpin langsung penangkapan prajurit-prajurit yang telah memberontak ini tidak ingin mengganggu keamanan Singasari dengan kegelisahan, jika ia menggerakkan pasukan yang besar. Tetapi ternyata bahwa ketika mereka berada di medan, pasukan yang ada telah terbagi menjadi kelompok-kelompok yang terlalu kecil untuk menahan gerakan pasukan yang cukup besar, meskipun menurut perhitungan mereka, pasukan-pasukan yang kecil itu akan dapat dengan cepat dihimpun jika arah gerak lawan sudah mereka ketahui dengan pasti.
Dan kini, arah gerak itu bukan saja sudah diketahui, tetapi pasukan itu sudah berada di depan hidung mereka.
Pasukan di dalam padukuhan itu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Senjata mereka telah menjadi telanjang, dan bahkan seakan-akan para prajurit itu pun telah menahan nafas menyongsong kedatangan kawan-kawan mereka yang telah sesat jalan.
Dalam pada itu, dari balik dinding padukuhan, seorang perwira meloncat ke atas dinding batu padukuhan itu sambil berteriak, “Berhenti di situ!”
Kehadiran perwira yang tiba-tiba saja itu telah mengejutkan para prajurit yang sedang berusaha melarikan diri itu, sehingga dengan serta-merta mereka pun berhenti.
“Nah, dengarlah. Kalian telah terkepung. Kami mengerti bahwa kalian sedang dalam usaha untuk melarikan diri. Tetapi itu tidak ada gunanya.”
Sapa itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Senapati pasukan yang berusaha melarikan diri itu tercengang sejenak. Namun ia tidak berhasil mengetahui berapa prajurit yang bersembunyi di balik dinding batu padukuhan di hadapannya itu.
“Lebih baik kalian menyerah,” perintah perwira di atas dinding batu itu.
“Persetan!” geram senapati itu, “kau hanya seorang diri. Bagaimana mungkin kau memerintahkan kami untuk menyerah?”
“Aku tidak gila. Karena itu aku tidak berada di sini seorang diri menghadang perjalananmu. Menyerahlah!”
“Jangan halangi kami. Kami mempunyai tugas tertentu. Minggirlah agar kalian tidak menyesal. Kami sedang mengejar perampok yang baru saja mengacaukan padukuhan-padukuhan di sekitar daerah tanggung jawabku.”
“Jangan mimpi. Kami sudah mengetahui yang kalian lakukan.”
“Kami akan lewat. Jangan ganggu kami!” teriak senapati yang marah itu.
Perwira yang ada di atas dinding batu itu terdiam sejenak. Dipandanginya prajurit-prajurit yang akan melarikan diri itu. Dari sikap mereka, tampaknya betapa mereka dicengkam oleh perasaan putus asa. Dan sikap yang demikian itu akan menjadi sangat berbahaya. Mereka akan menjadi buas dan liar. Bagi sekelompok prajurit yang kehilangan nilai-nilai perjuangannya dan kehilangan harapan untuk dapat hidup terus, maka mereka akan berbuat apa saja untuk melepaskan diri, atau untuk mati bersama-sama dengan korban yang sebanyak-banyaknya.
Karena itu, maka perwira yang berdiri di dinding batu itu kemudian berkata “Menyerahlah! Kami akan memperlakukan kalian dengan baik. Kami bukannya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai ketentuan hukum sehingga bertindak atas kehendak kami masing-masing. Kalian adalah prajurit-prajurit seperti kami, sehingga kalian pun tentu mengerti, apa yang akan kami lakukan terhadap prajurit-prajurit yang sudah menyerah. Terhadap lawan pun kami tidak akan memperlakukan sewenang-wenang. Apalagi terhadap kawan-kawan sendiri yang kami anggap sedang disaput oleh kegelapan dan lupa diri. Pada saatnya kalian akan menjadi sadar kembali.”
“Ya, kami akan menjadi sadar kembali setelah berdiri di bawah riang gantungan,” teriak senapati, “Tidak! Kami tidak mau. Kami akan tetap mempertahankan kemerdekaan.”
“Jangan bodoh!”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Mari kawan-kawan kita menerobos pasukan yang tipis ini. Jika mereka merintangi bukan salah kita jika kita telah membunuh mereka.”
“Tunggu!” perwira itu masih berusaha untuk memperpanjang waktu agar pasukan dari padukuhan sebelah menyebelah yang akan datang sudah berada di tempat, “Aku masih akan berbicara sebagai kawan di dalam lingkungan keprajuritan. Kami memang bukan dari pasukan pengawal. Kami adalah prajurit dari kesatuan tempur di Singasari. Memang sebagian kecil di antara kami adalah perwira dari pasukan pengawal. Tetapi kami mengerti apa yang harus kami lakukan terhadap kawan-kawan kami. Adalah salah jika kalian menganggap bahwa karena kami dari pasukan tempur kami akan melakukan kasar terhadap kalian.”
“Persetan! Bagi kami, kalian tidak ada bedanya. Pasukan pengawal, pasukan tempur, pasukan pengaman dan pasukan apa saja. Kami adalah prajurit-prajurit yang terlatih di dalam medan yang betapapun berat. Itulah sebabnya kami memperingatkan sekali lagi, minggir atau kami akan menggilas kalian.”
Perwira yang berdiri di dinding batu itu tidak sempat menyambut lagi ketika senapati itu mengangkat pedangnya di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri sambil meneriakkan aba-aba.
“Kita ingin tetap mempertahankan kebebasan kita. Cepat, sebelum mereka memanggil pasukan bantuan.”
Senapati itu segera meloncat berlari diikuti oleh prajurit-prajuritnya yang sudah tidak dapat berpikir lagi. Mereka pun segera mengacu-acukan senjata mereka sambil berteriak tidak menentu.
“Hati-hatilah!” desis seorang pemimpin kelompok kepada anak buahnya, “kita berhadapan dengan orang-orang gila.”
Demikianlah maka serangan itu datang seperti banjir. Bahkan mereka tidak lagi berlari-lari di pematang, tetapi sebagian mereka telah terjun ke dalam sawah berlumpur.
Dengan demikian maka yang datang itu seolah-olah adalah sebuah gelar perang yang telah disusun. Senapati itu memimpin induk pasukan yang ada di tengah, seakan-akan sebuah tubuh dari gelar yang mantap, sedang sebelah menyebelah adalah sayap-sayap yang dengan derasnya melanda dinding pasukan itu.
Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang ada di dalam padukuhan itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit karena pasukan bantuan itu belum juga datang, namun mereka dapat mempergunakan dinding batu itu sebagai penahan arus banjir bandang yang melanda mereka.
Prajurit-prajurit yang telah memberontak itu seakan-akan telah kehilangan perhitungan. Mereka berloncatan ke atas dinding batu padukuhan itu, dan tanpa perhitungan terjun ke dalam. Namun sebagian dari mereka ternyata tidak pernah mengalami pertempuran berikutnya, karena demikian mereka meloncat turun, maka ujung tombak lawannya telah menembus lambung. Namun sebagian dari mereka berhasil menghalaukan senjata-senjata lawan dan dengan garangnya menyerang membabi buta’
Pertempuran yang terjadi kemudian adalah perang yang bercampur baur. Hanya ciri yang khusus sajalah dapat membedakan mereka.
Seandainya pertempuran itu terjadi selagi matahari masih belum mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, maka prajurit-prajurit itu akan mengalami kesulitan untuk membedakan kawan dan lawan. Namun agaknya kini mereka sempat memperhatikan ciri-ciri khusus dari kesatuan masing-masing.
Ternyata bahwa prajurit-prajurit yang kehilangan pegangan itu bertempur tanpa menghiraukan nilai-nilai keprajuritan lagi. Mereka bertempur dengan hati dan mata yang gelap, sehingga tingkah laku dan sikap mereka menjadi liar.
Namun dengan demikian untuk beberapa saat kemudian mereka justru berhasil mendesak lawannya yang bertahan di bagian dalam dinding batu itu. Agaknya mereka masih harus berpikir berulang kali untuk melawan prajurit-prajurit yang bagaikan menjadi liar itu dengan cara yang sama, karena mereka ternyata masih cukup menyadari nilai-nilai keprajuritan mereka
Tetapi ketika mereka terdesak semakin jauh, dan bahkan senjata lawannya yang liar itu menjadi semakin berbahaya, maka mereka mulai berubah. Lambat laun, mereka pun telah terdorong pula untuk bertempur dengan kasar, karena hanya dengan demikian mereka akan berhasil mempertahankan garis pertempuran itu dan bahkan mempertahankan nyawa mereka.
Meskipun demikian, bagaimanapun juga pengaruh keadaan mereka sangat berbeda. Karena itulah maka mereka pun tidak akan sampai hati untuk berbuat sekasar pasukan yang menyerang mereka itu.
Dalam pada itu, ternyata prajurit yang berada di padukuhan itu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Lawannya semakin mendesak tanpa menghiraukan apapun juga, sehingga perkelahian itu menjadi semakin dalam masuk ke dalam padukuhan. Dengan demikian maka rakyat padukuhan itu pun menjadi kacau. Meskipun sejak semula perempuan dan anak-anak telah disingkirkan menjauh, namun karena perkelahian itu masuk semakin dalam, maka kegelisahan pun menjalar sampai ke ujung padukuhan.
Beberapa orang laki-laki yang semula masih tetap tinggal di rumah masing-masing pun terpaksa menyingkir. Mereka tidak berani ikut terjun di dalam perkelahian yang kisruh itu.
Dalam kesulitan itulah maka telah terdengar derap kaki kuda meskipun tidak begitu banyak. Ternyata penghubung berkuda yang memberitahukan kedatangan pasukan lawan itu telah kembali bersama penghubung-penghubung berkuda yang segera dapat memberikan sedikit bantuan.
Mereka pun segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka pun segera menerjunkan diri ke dalam pertempuran itu, setelah mereka melepaskan panah-panah sendaren untuk memberikan isyarat bahwa pertempuran telah menjadi semakin sengit, sehingga perlu dikirimkan bantuan lebih cepat lagi.....
Selanjutnya Baca
SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : JILID 02