Sepasang Ular Naga di Satu Sarang 34


Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dan ternyata pada akhirnya Ki Buyut dapat juga melihat kesalahan anak-anak muda di padukuhannya. Meskipun ia sangat mengharapkan agar anak-anak muda itu tidak mengalami sesuatu meskipun ia sadar, bahwa tingkah laku mereka yang sesat, namun Ki Buyut pun tidak akan dapat ingkar, bahwa anak-anaknya itu benar-benar sudah melampaui batas hubungan baik antara sesama.

Sejenak kemudian Mahendra pun mohon diri bersama kawan-kawannya meninggalkan banjar itu, setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih.

Ternyata Ki Buyut masih sempat minta maaf atas perlakuan anak-anaknya yang tidak terkendali itu. sehingga mereka terpaksa pergi dari Banjar sebelum waktu yang mereka rencanakan.

Dalam perjalanan melintas bulak, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendapat beberapa keterangan yang lebih banyak tentang sikap dan tingkah laku orang-orang yang sudah terpengaruh oleh Empu Purung. Menurut penilaian Mahendra, maka kegiatan padepokan Empu Purung itu sudah benar-benar merupakan persiapan kekuatan untuk menghadapi Singasari pada saat yang akan mereka tetapkan, mengingat kekuatan lain yang bergerak bersama-sama.

“Kita akan mempercepat sebelum mereka benar-benar bersiap” berkata Ranggawuni kemudian, “aku tidak melihat jalan lain kecuali menyiram api yang sudah mulai menyala dengan air.”

Mahisa Agni, Witantra, Mahendra serta kedua anaknya dapat memahami keterangan itu. Dan mereka pun memang tidak melihat cara lain kecuali menghancurkan kekuatan mereka.

Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah menjadi semakin dekat dengan barak para prajurit Singasari. Mahisa Bungalan yang melihat mereka dari kejauhan, menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan tergesa-gesa ia menjumpai Senopati Singasari yang memimpin prajurit di barak itu. Dengan singkat ia memberitahukan, bahwa yang datang itu tentu tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Apakah benar-benar mereka?” Senopati itu menjadi berdebar.

“Ya. Tetapi jangan kau beritahukan prajurit-prajuritmu lebih dahulu. Mungkin itu tidak dikehendaki oleh tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.” berkata Mahisa Bungalan

“Jadi?”

“Siapkan mereka, terserahlah, apa saja alasanmu. Kita akan menerima mereka di barak ini.”

Senopati itu mengerutkan keningnya.

“Kumpulkan para prajurit. Letakkan mereka di tempat. yang sudah ditentukan. Kau tidak usah memberikan isyarat bagi prajurit-prajuritmu yang tersembunyi, karena kau masih mempunyai waktu memerintahkan dua orang penghubung datang kepada mereka.”

“Dan kau?”

“Aku akan menjemput mereka.”

Senopati itu termenung sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mempersiapkan para prajurit tanpa alasan sekalipun”

Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan Senopati itu dan bergegas menyongsong iring-iringan kecil yang menuju ke Barak itu.

Dalam pada itu, anak-anak muda yang mengalami perlakuan kurang baik dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah sampai kepadepokan Empu Purung. Kepada pemimpin kelompok mereka melaporkan apa yang telah mereka alami.

Pemimpin kelompoknya menjadi marah karena penghinaan itu. Apalagi ketika para cantrik mendengarnya pula bahwa dua orang anak muda sudah melukai tujuh orang yang pernah mendapat latihan-latihan olah kanuragan di padepokan mereka.

“Siapakah mereka itu?” bertanya seorang cantrik.

“Pedagang, keliling. Mereka menjual dan membeli benda-benda berharga, pusaka-pusaka dan batu-batu bertuah semacam akik dan sehagainya.”

Cantrik yang mendengar jawaban itu pun termangu-mangu sejenak. Namun terasa darahnya mulai memanas. Sebagai seorang cantrik pada sebuah padepokan yang disegani, maka yang terjadi itu benar-benar merupakan sebuah penghinaan yang tidak dapat dimaafkan.

Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Apakah kalian bertujuh benar-benar tidak berdaya menghadapi kedua orang, anak muda itu. sehingga keduanya dapat berbuat sesuka hatinya atasmu?”

“Mereka benar-benar luar biasa.”

“Bodoh. Bukan mereka yang luar biasa. Kalianlah yang dungu, atau kalian memang sudah menjadi pengecut.”

Ketujuh orang anak muda itu terdiam. Mereka melihat wajah cantrik itu semakin tegang.

“Kita akan menyelesaikan mereka” berkata cantrik itu.

“Mereka tidak hanya berdua. Masih ada beberapa orang kawan mereka yang pada saat itu tidak berbuat apa-apa meskipun kedua kawannya berkelahi melawan tujuh orang.” berkata anak muda yang bertubuh kekar.

“Mereka terlalu yakin akan kemampuan anak-anak muda itu. Karena itu, kita harus berbuat sesuatu, agar tidak menimbulkan salah mengerti, seolah-olah padepokan kita adalah padepokan sarang orang-orang yang lemah dan membiarkan dirinya dihina oleh pedagang-pedagang akik itu.”

Anak muda bertubuh kekar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia dengan ragu-ragu memperingatkan, “Maksudku, jika dua orang saja di antara mereka tidak dapat kami kalahkan meskipun kami bertujuh, maka jika mereka semuanya melibatkan diri, maka kekuatan mereka perlu dipertimbangkan.”

“Kau benar-benar telah menjadi seorang pengecut” bentak cantrik itu, sehingga anak muda bertubuh kekar itu pun menundukkan wajahnya, sementara cantrik itu melanjutkan, “kalian harus melihat, bahwa aku akan membuat mereka jera.

Tetapi sudah tentu aku tidak akan pergi sendiri.”

Cantrik itu pun kemudian menghubungi beberapa orang kawannya yang dianggapnya mempunyai kemampuan yang seimbang. Dengan dada tengadah ia berkata, “Aku tidak mau membuat keributan di padepokan ini. Biarlah kalian tidak menceriterakan kepada cantrik-cantrik yang lain, sehingga hati mereka pun akan terbakar pula. Kami akan menyelesaikan hal ini dengan diam-diam.”

“Apakah kami akan ikut serta?” bertanda anak muda bertubuh kekar itu.

“Itu tidak perlu” jawab cantrik itu.

Namun tiba-tiba terasa sesuatu menggelitik hati anak-anak muda yang telah menjadi merah biru dan bengkak bengkak di wajahnya itu. Bahkan di antara mereka terdengar seseorang berbisik, “Para cantrik itu agaknya juga mengingini barang-barang yang dibawa oleh pedagang itu, sehingga mereka tidak akan pergi bersama kawan-kawannya yang lain, agar barang-barang itu tidak jatuh ke tangan orang-orang yang terlalu banyak jumlahnya”

Tetapi yang lain menyahut, “Masih harus diperhitungkan, apakah mereka akan berhasil mengalahkan pedagang-pedagang itu.“

Mereka tidak mempercakapkannya lebih lanjut karena cantrik-cantrik itu berkata, “Jangan membuat ribut. Jangan kau ceriterakan kepada orang lain lagi apa yang telah kalian alami. Kamilah yang akan menyelesaikan mereka”

Anak-anak muda itu tidak menyahut, kecuali menganggukkan kepala. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa, karena para cantrik itu mempunyai wewenang jauh lebih banyak dari mereka.

Dalam pada itu, diam-diam beberapa orang cantrik telah pergi ke Banjar. Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh anak-anak muda itu, mereka memang ingin membatasi jumlah kawan mereka, agar dengan demikian mereka akan mendapatkan sesuatu yang berharga dari antara barang-barang pedagang yang sudah menghina padepokan mereka itu.

Tetapi mereka menjadi kecewa, ketika di banjar mereka tidak menjumpai seorang pun. Para pedagang itu ternyata sudah pergi.

Dengan wajah yang merah, mereka langsung pergi ke rumah Ki Buyut, karena para cantrik itu telah mendengar, bahwa Ki Buyut ada di banjar, saat ketujuh anak-anak muda yang berada di padepokan itu mengalami perlakukan yang tidak menyenangkan.

Ki Buyut sudah mengira, bahwa tentu akan datang sekelompok orang padepokan mencarinya. Karena itulah, ia sama sekali tidak terkejut ketika beberapa orang cantrik itu datang kepadanya.

“Dimana orang-orang itu kau sembunyikan Ki Buyut?” bertanya seorang cantrik dengan kasarnya.

Ki Buyut menjawab dengan tenang, “Aku tidak menyembunyikan mereka. Mereka sendirilah yang bersembunyi.”

“Ya. Dimana mereka bersembunyi?”

“Mereka pergi ke barak prajurit-prajurit Singasari. Mereka mencoba mencari perlindungan di antara para prajurit itu.”

Wajah para cantrik itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian dengan lantang salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kau tidak berbohong? Ki Buyut, kami akan pergi ke barak itu. Jika Ki Buyut berbohong, maka Ki Buyut akan menyesal. Tetapi jika benar-benar mereka ada di barak, kami akan menuntut agar mereka diserahkan kepada kami.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, apakah para cantrik itu benar-benar berani datang ke barak prajurit-prajurit Singasari dan menuntut agar orang-orang yang berlindung di barak itu diserahkan kepada mereka.

Jika demikian, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh para prajurit Singasari itu?

Selagi Ki Buyut itu termangu-mangu, maka para cantrik itu pun menjadi tidak sabar. Salah seorang dari mereka membentak “He, kenapa kau termenung? Apakah kau telah membohongi kami?”

“Tidak” sahut Ki Buyut, “aku tidak bohong. Aku berkata sebenarnya bahwa mereka ada di barak.”

Seorang cantrik yang berwajah kasar berkata, “Marilah, kita buktikan, apakah orang-orang itu benar berada di barak. Jika benar, apa salahnya kita minta mereka karena kita mempunyai persoalan dengan mereka.”

“Tetapi jika tidak” desis yang lain, “maka aku tidak akan dapat memaafkan Ki Buyut. Meskipun ia dianggap orang tua di padukuhan ini, namun ia sama sekali tidak pantas untuk dihargai.”

Ki Buyut menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali

Sejenak kemudian beberapa orang cantrik yang memiliki ilmu cukup dari padepokan Empu Purung itu telah meninggalkan Ki Buyut. Menurut pengamatan Ki Buyut kemudian, mereka benar-benar telah pergi ke barak, untuk menuntut agar para pedagang itu diserahkan kepada mereka.

Seperti yang mereka katakan, maka para cantrik itu memang benar-benar pergi ke barak. Ketika mereka melihat dua orang penjaga bersenjata telanjang dimuka barak itu, salah seorang berkata, “Mereka hanya berdiri untuk menakut-nakuti orang lewat. Tidak ada yang mereka lakukan di sana. Prajurit-prajurit itu kerjanya hanyalah makan, tidur dan bergurau tanpa henti-hentinya. Mereka tidak mempunyai pekerjaan lain. Aku tidak percaya bahwa mereka memiliki keberanian untuk menolak permintaan kita jika benar-benar orang-orang itu ada dibarak.”

Yang lain mengangguk-angguk sambil tertawa. Katanya, “Mereka adalah orang-orang malas yang bodoh. Singasari pun terlalu bodoh untuk mengangkat mereka menjadi prajurit. Mereka hanya menghabiskan makan dan belanja mereka tanpa berbuat apa-apa.”

Yang lain masih tertawa. Seorang cantrik yang kurus menyambung, “Kita akan mengambil semua barang yang mereka bawa. Jika mereka sudah menyembunyikan di barak itu, mereka harus mengambilnya.”

“Tentu. Dan anak-anak padukuhan yang malang itu tentu akan menjadi iri, karena mereka tidak berhasil merampas barang-barang bertuah dari para pedagang itu.”

Para cantrik itu tertawa semakin keras. Mereka sudah membayangkan, betapa wajah anak pedukuhan yang biru bengkak itu akan menjadi merah oleh perasaan iri.

Namun sejenak kemudian langkah mereka mulai tertegun. Mereka melihat sikap prajurit yang bertugas itu agak berbeda dari kebiasaan mereka. Nampaknya keduanya berjaga-jaga dengan sungguh-sungguh. Tidak dengan malas dan seakan-akan tanpa gairah sama sekali.

“Mungkin karena ada beberapa orang yang minta perlindungan kepada mereka” berkata salah seorang dari para cantrik itu.

“Persetan” geram cantrik yang tertua, “aku akan memaksa mereka untuk menyerahkan orang-orang itu.”

Sejenak kemudian mereka telah menjadi semakin dekat Agaknya prajurit yang sedang bertugas dengan senjata telanjang itu telah melihat para cantrik itu mendekat.

Dengan wajah yang, tegang, maka kedua penjaga pintu gerbang halaman barak itu pun kemudian menghentikan mereka sambil bertanya, “Siapakah kalian, dan apakah yang kalian kehendaki?”

Sekelompok kecil para cantrik itu termangu-mangu. Namun orang tertua di antara mereka pun segera melangkah maju sambil bertanya, “Ki Sanak. Apakah ada beberapa orang pedagang yang tadi datang kemari?”

Prajurit-prajurit yang sedang bertugas itu termenung sejenak. Mereka sudah mengetahui serba sedikit persoalan yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka pun menjawab, “Ya. Kami sudah tahu persoalannya. Pedagang-pedagang yang akan dirampok itu memang ada di sini.”

“Dirampok? Siapakah yang akan merampok mereka?”

“Anak-anak muda dari padepokan Empu Purung. Apakah mereka kawan-kawan kalian?”

Para cantrik itu tidak mengira, bahwa prajurit-prajurit itu akan langsung sampai ke pokok persoalannya, sehingga sejenak mereka termangu-mangu.

“Nah, apakah maksud kalian? Minta maaf atau apa?”

Cantrik yang tertua di antara mereka itu pun tergetar hatinya mendengar kata-kata para prajurit yang tidak disangkanya. Mereka mengira prajurit-prajurit itu akan mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum. Mempersilahkan mereka dan bertanya dengan leher berkerut, apakah yang mereka kehendaki.

Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk menunjukkan pengaruhnya, “Kami memang mencari pedagang-pedagang itu karena kami memerlukan mereka.”

“Untuk apa? Itulah yang kami tanyakan. Sebab menurut. perhitungan kami akan dapat terjadi dua kemungkinan. Kalian akan minta maaf atas perlakuan kawan-kawan kalian atau justru akan berusaha merampok mereka”

Para cantrik itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun mereka masih tetap merasa bahwa prajurit-prajurit itu tidak akan berani melawan pengaruh padepokan Empu Purung. sehingga karena itu, justru cantrik yang tertua itu pun masih juga menjawab dengan lantang, “Apapun yang akan kami lakukan. Atas nama padepokan Empu Purung, serahkanlah orang-orang yang telah menghina kawan-kawan kami.”

“Menghina?” prajurit yang bertugas itu memandang cantrik itu dengar tajamnya, “kenapa pedagang-pedagang itu menghina kawan-kawanmu? Bohong, Kawan-kawanmulah yang akan merampok mereka. Tetapi, tujuh orang di antara kalian tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menghadapi dua dari tujuh orang pedagang itu. Untunglah mereka masih tetap berperikemanusiaan. Jika tidak, maka leher ketujuh orang kawanmu itu sudah dipenggalnya sebagaimana ia menghadapi perampok-perampok di sepanjang perjalanan mereka.”

Hati para cantrik itu tergetar. Bukan saja karena sikap prajurit-prajurit Singasari yang tidak diduganya, tetapi juga karena ceritera prajurit-prajurit itu tentang para pedagang yang melarikan diri dari banjar dan mencari perlindungan di barak itu.

Sekilas teringat oleh para cantrik itu, bahwa seorang dari kawannya pernah mencari perkara melawan seorang prajurit muda di pasar. Tetapi kawannya itu sama sekali tidak berdaya.

“Tetapi prajurit-prajurit itu harus menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Empu Purung yang dengan jari-jarinya dapat menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan” geram cantrik itu di dalam hatinya.

Namun agaknya prajurit-prajurit itu bersikap keras. Karena itulah maka cantrik yang tertua itu mulai mengancam, ”Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak menyerahkan orang-orang itu dari pada kalian harus berhadapan dengan Empu Purung dan pasukannya. Ki Sanak harus mengetahuinya, bahwa kekuatan Empu Purung tentu berlipat ganda dari sejumlah kecil prajurit yang ada di barak ini.”

“Mungkin kau benar. Tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk melindungi orang-orang yang merasa dirinya terancam oleh kejahatan seperti para pedagang itu.”

“Tetapi itu berarti bahwa kalian telah mengorbankan diri kalian, karena kalian mendengarkan fitnah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah kalian kenal itu.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun yang seorang lagi tiba-tiba- berkata, “Kami tidak berkeberatan jika kalian hanya sekedar ingin bertemu. Tetapi di dalam barak ini dan di bawah saksi prajurit-prajurit Singasari.”

Wajah para cantrik itu menjadi merah. Dengan suara parau cantrik tertua itu bertanya, “Kalian tidak mempercayai kami?”

Dan jawaban prajurit itu pun tegas, “Tidak, kami tidak mempercayai kalian.”

Wajah para cantrik yang merah itu menjadi semakin merah. Apalagi ketika prajurit itu pun kemudian berkata, “Nah sekarang kami persilahkan kalian masuk menjumpai para pedagang itu.”

Namun cantrik yang tertua itu pun mencoba untuk berkata setegas para prajurit, “Tidak. Aku tidak akan memasuki barak prajurit Singasari. Aku memerlukan pedagang-pedagang itu.”

“Masuklah.” prajurit itu mendesak.

“Tidak.”

Namun para cantrik itu terkejut. Beberapa orang prajurit bersenjata tiba-tiba saja telah keluar dari regol sambil berkata, memandang mereka dengan tajamnya. Salah seorang dari mereka berkata lantang, “Masuklah. Kau dengar perintah kami.”

Cantrik yang tertua itu menjadi gemetar menahan marah. Dipandanginya prajurit-prajurit itu dengan nyala di sorot matanya. Dengan suara yang tidak kalah lantangnya ia berkata, “Kalian tidak dapat memaksa kami. Empu Purung akan menjadi marah dan membakar barak kalian dengan sorot matanya.”

“Tidak akan berarti apa-apa” sahut pemimpin sekelompok prajurit itu, “Senopati kami mampu menyiram api yang betapapun besarnya dengan air terlontar dari mulutnya.”

“Gila. Itu tidak mungkin.”

“Kau menggigau juga tentang kemampuan Empu Purung. Sekarang masuklah. Kalian akan bertemu dengan pedagang-pedagang yang kalian cari.”

“Persetan.”

“Cepat” tiba-tiba pemimpin kelompok itu mengacungkan senjatanya, “kami dapat memaksa kalian meskipun kalian murid Empu Purung.”

Cantrik-cantrik itu tidak dapat membantah lagi. Mereka pun dengan segan terpaksa memasuki halaman barak itu dan dengan diiringi oleh sekelompok prajurit mereka langsung dibawa ke halaman belakang.

Beberapa orang agaknya lelah menunggu kedatangan mereka. Di antaranya adalah Mahendra dan kedua anak-anaknya.

“Ha. itulah mereka” tiba-tiba saja Mahisa Murti berteriak.

Para cantrik itu memandang orang-orang itu dengan mata yang menyala. Di luar sadarnya salah seorang bergumam, “Kaliankah pedagang-pedagang gila itu?”

“Ya. Kami telah mencari perlindungan disini. Sekarang, katakan, apa maksud kalian? Menuntut balas atau juga akan merampok kami seperti kawan-kawanmu yang menjadi merah biru itu” jawab Mahisa Pukat.

Wajah para cantrik itu menjadi merah membara. Ingin mereka meloncat dan mencekik kedua anak muda itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Di sebelah menyebelah mereka prajurit-prajurit Singasari siap bertindak.

Namun agaknya prajurit Singasari benar-benar telah mendapat keputusan untuk bertindak selelah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka melihat sendiri perkembangan padepokan Empu Purung yang dapat dijadikannya gambaran bagi beberapa padepokan yang lain, yang juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan gerakan serentak dalam kesatuan perintah Empu Baladatu.

Karena itulah, maka tiba-tiba pemimpin kelompok kecil prajurit yang memaksa para cantrik itu masuk maju selangkah. Diluar dugaan para cantrik, tiba-tiba saja ia menangkap lengan salah seorang dari mereka dan menariknya dengan serta merta.

“He” cantrik itu berteriak, “apa maksudmu?”

“Kau menjadi tawanan kami. Bawalah kawan-kawanmu yang akan merampok para pedagang ini. Jika mereka telah datang, barulah yang seorang ini aku lepaskan.”

“Tetapi mereka bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri” berkata cantrik yang bertubuh kekar.

“Aku tidak peduli. Sekarang kalian boleh pergi. Tetapi untuk melepaskan yang seorang, ini, tujuh orang yang berusaha merampok pedagang-pedagang ini harus kalian serahkan.”

Anak muda bertubuh kekar di antara para cantrik itu mendesak maju. Matanya bagaikan menyala. Kata-katanya gemetar karena marah, “Itu bukan persoalan kami. Kami tidak tahu menahu tentang mereka.”

“Bohong. Kedatangan kalian adalah karena ketujuh orang yang menjadi merah biru itu tentu melaporkan kepada kalian. Semula kami tidak ingin mempersoalkannya lagi, karena mereka sudah cukup mendapat hukuman oleh kekalahan mereka. Tetapi kedatangan kalian membuat kami marah.”

Wajah para cantrik itu menjadi merah padam. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ternyata sikap para prajurit itu berbeda dengan dugaan mereka. Jika mereka menyebut diri mereka para cantrik dari padepokan Empu Purung, maka semua kata-kata mereka akan dipenuhi dengan wajah yang terang dan senyum di bibir.

Tetapi ternyata bahwa para prajurit Singasari itu telah berbuat lain. Mereka justru menangkap seorang dari antara mereka.

Sejenak para cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian cantrik yang tertua di antara mereka berkata, “Ki Sanak. Kalian jangan bermain-main dengan Empu Purung. Tindakan kalian dapat memancing kemarahannya.”

“Ia tidak akan marah” jawab pemimpin kelompok kecil itu, “apalagi jika kau berkata dengan jujur, bahwa beberapa orang anak muda dari padepokan itu telah berusaha merampok para pedagang batu bertuah.”

Jawaban itu benar-benar telah menggetarkan dada para cantrik itu. Rasa-rasanya dada mereka akan retak. Meskipun demikian mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka berada di-tengah-tengah barak prajurit Singasari. Meskipun nampaknya para prajurit yang lain, yang lalu lalang di halaman itu tidak menghiraukan mereka kecuali yang sedang bertugas, namun mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu.

Karena itu, yang dapat dilakukan oleh cantrik yang tertua adalah sekedar mengumpat dan mengancam, “Kalian benar-benar orang yang tidak tahu diri. Kalian berada di daerah kekuasaan Empu Purung. Jika kalian mencoba mengganggu kuasanya, maka kalian tentu akan menyesal. Berapa jumlah prajurit Singasari yang ada disini. Di padepokan Empu Purung tersimpan kekuatan empat lima kali lebih besar dari kekuatan prajurit disini.”

“Aku tidak peduli” jawab pemimpin prajurit itu.

“Dan kalian akan hancurkan lumat karena kekuatan yang tidak terlawan. Janganlah kalian, sedangkan gunung akan runtuh dan lautan akan kering.”

“Sudah berapa kali kau katakan. Dan sudah berapa kali aku katakan, bahwa aku tidak percaya.”

Wajah para cantrik bagaikan terbakar oleh kemarahan. Namun yang dapat mereka lakukan adalah dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman barak itu sambil berkata kepada kawannya yang harus tinggal, “Sebentar lagi aku akan datang. Kau akan kami bebaskan, dan para prajurit akan menyesali tingkah lakunya. Sebaiknya mereka tidak mencampuri persoalan kami dengan para pedagang itu.”

Para prajurit itu tidak menjawab. Namun cantrik yang seorang itu pun segera dibawa ke dalam sebuah bilik kecil, di tutup pintunya dan diselarak dari luar.

Dalam pada itu, barak kecil itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan. Tetapi itu merupakan suatu isyarat dari kerja yang besar yang akan dilakukan di seluruh Singasari.

Dua orang, prajurit telah berpacu menuju ke Kota Raja. Mereka akan mengalirkan perintah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sesudah dibicarakan dengan Mahisa Agni dan Witantra serta Senopati prajurit Singasari yang ada di dalam barak itu, bahwa sudah waktunya Singasari mengambil sikap. Sebab semakin lama kekuatan-kekuatan itu tentu akan menjadi semakin besar.

Tetapi, di samping perintah itu, Singasari pun telah mengeluarkan perintah untuk mengamati tingkah laku orang-orang Mahibit dan jalur yang telah mereka pasang pula.

Prajurit yang berpacu ke kota Raja itu telah mendapat perintah pula, bahwa untuk sementara pemerintahan akan di kendalikan langsung lewat perintah-perintah yang akan dikeluarkan oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari tlatah Alas Pandan, berdasarkan atas keterangan yang setiap saat harus disampaikan kepada mereka mengenai perkembangan Singasari. Terutama padepokan-padepokan yang harus segera dihancurkan dan orang-orang Mahibit serta jalur yang sampai kepada beberapa orang Akuwu dan pemimpin pemerintahan yang lain.

Dalam pada itu, seperti yang sudah diperhitungkan, maka para cantrik itu menjadi sangat marah. Mereka menyampaikan persoalan mereka kepada kawan-kawan mereka, sehingga persoalan itu segera didengar oleh setiap orang di dalam padepokan Empu Purung.

“Kita laporkan kepada kakang Putut Sanggawerdi” berkata seorang cantrik.

“Ya. Laporan itu tentu akan sampai kepada Empu Purung” sahut yang lain.

Beberapa orang Cantrik pun segera menemui Putut Sanggawerdi. Dengan membumbui persoalannya di beberapa bagian, mereka berhasil membuat wajah Putut itu menjadi merah padam.

“Tadi seorang kawanmu masih ada di barak itu?” Putut itu bertanya.

“Ya kakang. Kami tidak dapat berbuat apa-apa, karena prajurit Singasari di seluruh barak itu telah mengepung kami” jawab cantrik yang tertua di antara mereka yang pergi ke barak.

“Suatu penghinaan yang tidak pantas. Kita akan membalas penghinaan itu dengan penghinaan yang lebih besar. Bukan saja kepada para pedagang, tetapi kepada seluruh isi barak. Kita akan datang dan membakar barak itu. Menangkap semua prajurit dan mengaraknya di sepanjang jalan ke Singasari. Kita akan menukarkan prajurit-prajurit itu dengan tebusan yang paling berharga bagi kami.” geram Putut Sanggawerdi.

“Ya” sahut beberapa orang cantrik sekaligus, “kita akan berbuat sesuatu yang dapat membersihkan nama kita dari penghinaan itu.”

“Aku akan menghadap Empu Purung” berkata Putut Sanggawerdi.

Para cantrik itu pun berharap, agar Empu Purung dapat mendengarkan keinginan mereka. Prajurit-prajurit di barak itu memang sangat memuakkan. Apalagi cantrik yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Bungalan dan cantrik yang telah pergi kebarak itu.

Pulut Sanggawerdi diterima oleh Empu Purung dengan hati yang berdebar-debar. Menilik wajahnya yang tegang dan sorot matanya yang menyala, tentu ada persoalan penting yang akan disampaikannya.

“Duduklah” berkata Empu Purung kepada Putut Sanggawerdi.

“Empu” berkata Putut itu, “ada sesuatu yang penting Terjadi. Mungkin berada di luar persoalan yang sebenarnya di kehendaki oleh Empu Baladatu. Tetapi sudah tentu bahwa persoalan tidak akan kita abaikan.”

“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Empu Purung. Putut itu pun mulai berceritera. Ternyata ceritera yang sudah dibumbui oleh para cantrik itu, masih dibumbui lagi oleh Putut Sanggawerdi agar Empu Purung menjadi marah dan segera mengeluarkan perintah untuk menghancurkan barak itu.

Ternyata usaha Putut itu berhasil. Wajah Empu Purung pun menjadi merah dan sorot matanya bagaikan api yang menyala.

Tetapi Empu Purung ternyata masih mempergunakan nalarnya. Ia tidak seperti anak-anak muda yang mudah terbakar dan melakukan tindakan di luar perhitungan yang matang.

“Tingkah laku para prajurit itu memang sudah memuakkan” berkata Empu Purung.

Putut Sanggawerdi menjadi berdebar-debar. Ia menunggu perintah yang jatuh dari Empu Purung untuk menyerang dan menghancurkan barak kecil itu.

Tetapi ternyata Empu Purung berkata, ”kita harus berbuat sesuatu untuk membebaskan anak kita. Tetapi kita tidak boleh mengorbankan usaha besar dari seluruh Singasari.”

“Apakah yang Empu maksud?”

“Rencana Empu Baladatu dalam keseluruhan.”

“Tetapi penghinaan itu tidak akan dapat kita biarkan. Semakin lama penghinaan itu akan menjadi semakin tajam, sehingga akhirnya datang waktunya, mereka akan memasuki padepokan ini dan membakar semua isinya, sementara kita masih tetap menunggu perintah dari Empu Baladatu.”

“Tetapi kita yang berada di daerah kecil ini harus memperhitungkan semua usaha yang tersebar di daerah yang jauh lebih luas.”

“Empu” berkata Putut Sanggawerdi, “kita akan bertindak secepatnya. Sementara itu kita mengirimkan petugas yang harus menghubungi Empu Baladatu. Kita akan mengatakan selengkapnya tentang penghinaan yang tidak dapat kita biarkan. Sementara itu, Empu Baladatu sebaiknya mengambil keputusan dengan cepat. Yang ada biarlah digerakkan. Singasari yang lengah tidak akan dapat berbuat banyak. Mungkin di setiap daerah terpencil terdapat barak-barak kecil seperti barak prajurit itu. Tetapi seperti barak itu juga maka para Empu di padepokan akan dengan mudah dapat menghancurkan mereka.”

Empu Purung termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Putut Sanggawerdi dengan tajamnya. Namun dari wajah itu ia hanya dapat melihat dendam dan kebencian yang menyala

Sejenak Empu Purung termenung. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, “Baiklah. Aku akan mengirimkan dua orang penghubung untuk melaporkan kepada Empu Baladatu bahwa kita disini sudah tidak dapat menunda lagi. Benturan kekuatan sudah terjadi karena penghinaan yang tidak dapat kita maafkan lagi.”

“Demikian penghubung itu berangkat, demikian kita mulai bergerak.”

“Putut Sanggawerdi. Aku pun terbakar mendengar pengaduan itu. Tetapi kita tidak boleh bertindak tergesa-gesa agar langkah kita tidak sesat.”

“Apalagi yang harus dipertimbangkan Empu?” bertanya Putut Sanggawerdi.

“Kita harus mengumpulkan semua kekuatan yang ada. Kita harus membagi diri dan menyusun rencana penyergapan yang serbaik-baiknya. Sebagian akan datang dari bagian depan, yang lain akan menyerang dari arah belakang. Berarti sekelompok dari kita akan naik ke lereng pegunungan kecil dan turun bagaikan batu-batu yang runtuh melanda barak itu.”

“Semuanya akan berjalan lancar jika perintah telah jatuh.”

Empu Purung termangu-mangu. Namun kemudian ia pun memerintahkan Putut Sanggawerdi untuk memanggil dua orang penghubung yang akan pergi kepadepokan Empu Baladatu.

“Katakan, bahwa kita di sini tidak dapat menunggu lagi. Meskipun alasannya agak berbeda dengan yang sebenarnya, tetapi kita harus segera mulai.”

“Apakah kami harus mengatakan bahwa Empu sudah mulai?” bertanya penghubung itu.

“Ya. Karena demikian kau berangkat, maka kami akan menyusun rencana yang akan segera kami lakukan. Hari ini juga.”

Kedua orang penghubung itu mengangguk-angguk. Perjalanan ke padepokan Empu Baladatu bukannya perjalanan yang pendek. Mereka akan sampai lewat dua hari semalam perjalanan berkuda dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Tetapi kedua orang penghubung itu tidak membantah, mereka segera minta diri. Sejenak mereka masih harus mengumpulkan bekal perjalanan. Kemudian mereka pun segera berpacu di atas punggung kuda mereka yang kuat dan tegar menuju kepadepokan Empu Baladatu.

Sementara itu, sepeninggal kedua penghubung itu, Empu Purung pun segera mempersiapkan diri. Dipanggilnya beberapa orang cantrik tertua di samping Putut Sanggawerdi dan Putut yang masih lebih muda, Putut Kuda Widarba.

“Kila sudah disudutkan untuk mulai dengan sebuah perjuangan yang besar” berkata Empu Purung di hadapan orang-orang terpenting dari padepokannya.

Kedua orang Putut dan para cantrik yang paling berpengaruh di padepokannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka semuanya sudah mendengar apa yang sudah terjadi. Seorang cantrik telah ditawan oleh para prajurit, yang menurut pengertian mereka tanpa sebab.

“Kita tidak boleh membiarkan penghinaan itu terjadi. Kita harus mulai bergerak di sini. Prajurit-prajurit itu harus kita hancurkan mutlak sehingga tidak seorang pun yang tinggal dan sempat melaporkan kepada pimpinan mereka di Singasari. Dengan demikian, maka jalur gerakan prajurit Singasari akan terhambat. Tanpa laporan dari barak yang akan kita hancurkan, mereka tidak akan mengambil tindakan secepatnya. Sementara itu Empu Baladatu tentu akan menyadari bahwa ia harus bergerak cepat di seluruh daerah yang sudah sepakat untuk bergerak menentang Singasari.”

Kedua orang Putut dan para cantrik yang dianggap tertua di padepokan itu pun mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang siapkan seluruh kekuatan kita menjadi dua kelompok besar. Yang sekelompok akan menyerang barak itu dari depan, sedang yang lain akan menyerang dari arah lereng bukit-bukit kecil di belakang barak itu. Di dalam kelompok besar itu akan bergerak kelompok-kelompok kecil dari para cantrik dan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang sudah bersedia bergabung dengan kita.”

“Kita akan membunyikan isyarat memanggil setiap laki laki yang berada di bawah pengaruh padepokan ini.” seorang cantrik berkata lantang.

“Bodoh kau” bentak Empu Purung, “isyarat itu akan mengisyaratkan pula kepada para prajurit Singasari untuk bergerak. Jika mereka merasa lemah, mereka akan meninggalkan tempatnya. Jika mereka merasa kuat, mereka akan menyusun pertahanan.”

“Jadi?” bertanya cantrik itu.

“Kalian harus bergerak cepat. Kalian akan memanggil setiap orang. Hubungan itu harus berlangsung cepat dan berantai. Menjelang senja, semuanya harus sudah berkumpul. Kita akan bergerak di malam hari. Besok, ketika fajar menyingsing, kita akan mulai bergerak menyerang barak itu. Yang menyerang dari depan, akan datang lebih dahulu. Yang lain menyusul di saat kekuatan prajurit itu sudah tertumpah pada pertempuran di bagian depan. Kelompok yang turun lereng bukit, akan menghancurkan dinding barak yang lemah di bagian belakang dan menduduki barak itu. Menangkap semua orang yang ada dan membunuhnya sekaligus tanpa ampun. Juga para pedagang yang berlindung di dalam barak itu.”

Para cantrik mengangguk-angguk. Mereka telah memahami apa yang harus mereka lakukan. Karena itulah, maka mereka pun segera berpencar memanggil setiap orang yang akan ikut serta dalam pertempuran yang akan terjadi melawan prajurit Singasari yang telah melindungi para pedagang dan telah menawan seorang cantrik.

Dengan segera panggilan bagi setiap laki-laki yang berada di bawah pengaruh Empu Purung itu pun menjalar ke segenap penjuru. Dari mulut kemulut, maka setiap orang yang berkepentingan pun segera mendengar perintah Empu Purung.

Sepercik kegembiraan telah melanda hati mereka. Telah cukup lama mereka menempa diri dalam olah kanuragan. Tetapi mereka belum pernah mendapat kesempatan untuk mengukur kemampuan mereka.

Tiba-tiba kini datang kesempatan itu. Mereka akan bertempur melawan prajurit-prajurit Singasari yang jumlahnya tidak terlampau banyak.

“Untuk pengalaman pertama, maka tugas ini cukup berat” desis salah seorang dari mereka.

Yang lain mencibirkan sambil berkata, “Hampir tidak ada gunanya. Para cantrik sudah akan berebut dahulu mencincang prajurit-prajurit yang jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari sebelah tangan itu.”

“Jangan menganggap mereka semacam patung. Mereka telah mendapat latihan-latihan yang masak untuk bertempur. Mungkin mereka memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dari kita semuanya.” desis salah seorang dari mereka.

Beberapa orang tertawa serentak. Salah seorang berkata, “Kau memang pengecut. Tetapi baiklah. Lebih baik berhati-hati daripada terperosok ke dalam kesulitan. Tetapi kau harus percaya kepada diri sendiri, bahwa prajurit-prajurit Singasari yang ada di barak itu tidak lebih dari pemalas dan pemabuk.”

“Kau telah melupakan apa yang pernah terjadi” orang itu masih berusaha untuk membantah, “seorang dari antara kita telah mengalami nasib buruk di tengah-tengah pasar. Untunglah bahwa ia masih selamat. Kemudian tujuh orang yang datang menjumpai pedagang yang sekarang berada di antara para prajurit itu pula. Mereka menjadi merah biru dan bahkan telah kehilangan hentuk.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Yang dikatakan itu sebenarnyalah telah terjadi.

Namun salah seorang dari mereka menjawab, “Dihadapan para cantrik, terutama dihadapan Putut Sanggawerdi dan Putut Kuda Widarba, mereka tidak akan berarti apa-apa. Terlebih lagi, Empu Purung sendiri akan turun ke medan menghancurkan mereka sehingga lumat menjadi debu.”

Kawan-kawanuya mengangguk-angguk. Jika Empu Purung sendiri turun kemedan, maka prajurit-prajurit Singasari itu memang tidak akan ada artinya.

Karena itulah, maka dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, pasukan Empu Purung itu pun telah siap pada waktunya. Menjelang senja mereka telah berada di sekitar padepokan.

Putut Sanggawerdi dan Putut Kuda Widarba sibuk membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang tidak terlalu besar. Di setiap kelompok terdapat anak-anak muda dari padukuhan di sekitar padepokan dan beberapa orang cantrik. Seorang cantrik yang tertua di antara mereka, akan menjadi pemimpin kelompok dan bertanggung jawab terhadap salah seorang dari kedua Putut yang ada di padepokan itu.

“Kita mempunyai dua belas kelompok” berkata Putut Sanggawerdi.

“Ya” sahut Putut yang lebih muda, “tujuh kelompok akan menyerang dari depan, dan lima kelompok yang lain akan menghancurkan barak itu dari belakang.”

Empu Purung yang mendapat laporan bahwa pasukannya telah siap, segera mengadakan penelitian terakhir, la melihat dengan teliti kedua belas kelompok yang akan berangkat kebarak yang tidak terlalu jauh. Selebihnya dari kedua belas kelompok itu harus berjaga-jaga di padepokan dan mengawasi setiap perkembangan keadaan.

“Rata-rata tiga orang Empu, tetapi ada juga yang hanya dua orang.” jawab Putut Sanggawerdi.

Empu Purung mengerutkan keningnya. Sementara Putut Sanggawerdi melanjutkan, “Tetapi dua kelompok di antara kedua belas kelompok itu terdiri seluruhnya anak-anak muda pilihan dan tiga orang cantrik pilihan pula. Mereka akan berada di paling depan dari kedua arah yang sudah ditentukan.”

Empu Purung mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Salah seorang di belakang. Aku akan ikut serta dalam sergapan dari depan.”

Kedua Putut itu mengangguk-angguk.

“Putut Sanggawerdi yang sudah lebih tua dan mempunyai lebih banyak pengalaman akan berada di dalam pasukan yang akan menyergap dari belakang.”

Pulut Sanggawerdi mengangguk-angguk. Katanya, “Baik Empu Aku akan menyesuaikan diri.”

Empu Purung mengangguk-angguk pula. Nampaknya ia puas dengan pasukannya, sehingga ia pun berkata, “Kita akan segera berangkat. Aku akan menyertai pasukan yang terdiri dari tujuh kelompok. Tetapi kita tidak akan menyergap sebelum langit di Timur berwarna merah.”

Para Putut, Cantrik dan anak-anak muda itu seakan-akan tidak sabar lagi menunggu. Mereka ingin segera menyergap prajurit-prajurit yang menurut pertimbangan mereka tentu sudah tidur nyenyak.

Bahkan para prajurit yang malas itu tidak akan terbangun seandainya mereka mendengar bukit kecil di sebelah barak mereka itu runtuh.

Jantung mereka mulai bergejolak ketika mereka mulai bergerak dari padepokan mereka. Kelompok-kelompok yang terbagi menjadi dua bagian itu pun segera memisahkan diri. Yang di pimpin oleh Empu Purung sendiri bersama Putut Kuda Widarba langsung menuju ke barak itu, sementara yang lain melingkar dan akan turun dari bukit kecil menyerang dari arah belakang.

“Hati-hati. Meskipun mereka pemalas, tetapi jika kebetulan ada di antara mereka yang berkeliaran di malam hari dan melihat pasukan kita, maka mereka tentu akan mempersiapkan diri. Bersiap untuk lari, atau mencoba untuk melawan kekuatan kita yang tentu akan berada di luar kemampuan mereka.” pesan Empu Purung kepada pasukannya, terutama yang akan menyerang dari belakang.

“Kita akan melontarkan isyarat dengan panah-panah api berkata Empu Purung selanjutnya” baru kalian meluncur turun.”

Dengan hati-hati pasukan Empu Purung itu merayap semakin dekat. Tetapi mereka tidak langsung menyerang. Mereka terhenti beberapa puluh langkah dari barak itu dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul kecil dan tanaman hijau di sawah.

“Kita menunggu fajar” desis Empu Purung kepada Putut Kuda Widarba, “jika langit menjadi merah, maka kita akan menyerang. Prajurit-prajurit itu tentu masih belum terbangun dari tidur yang paling nyenyak.”

“Tetapi fajar masih lama” desis Putut Kuda Widarba.

“Beristirahatlah. Jika sempat, tidurlah beberapa saat. Aku akan mengawasi barak itu.”

Putut Kuda Widarba pun kemudian memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membagi orang-orangnya. Mereka yang masih sempat untuk tidur, biarlah mereka tidur. Tetapi di antara mereka di dalam kelompok itu harus ada yang tet jaga dan siap menerima perintah. Terutama pemimpin kelompok.

Waktu yang tidak terlalu lama itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh anak-anak muda itu untuk tidur barang sekejap. Tetapi yang dapat mereka lakukan adalah sekedar memejamkan mata. Tetapi kegelisahan dan ketidak sabaran telah mengganggu ketenangan mereka, sehingga jarang di antara mereka yang benar-benar dapat tertidur.

Bahkan beberapa orang di antara mereka, benar-benar telah merasa tertekan oleh perasaan menunggu. Seolah-olah dada mereka menjadi pepat dan sesak.

Namun demikian mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, Empu Purung dengan saksama, memperhatikan barak prajurit Singasari itu dari kejauhan. Tidak nampak tanda-tanda apapun yang dapat mencemaskannya. Obor yang terpasang adalah obor yang menyala seperti biasanya. Obor minyak di depan regol halaman, dan di sudut-sudut dinding kayu yang mengitari halaman barak itu. Bahkan rasa-rasanya barak itu rampak lebih suram dari biasanya. Cahaya lampu minyak yang menyala di dalam barak, nampak redup dan barak kecil itu benar-benar merupakan sasaran yang menyenangkan bagi nafsu membunuh dari orang-orang di padepokan Empu Purung itu.....

Agaknya Empu Purung pun benar-benar memahami perjalanan bintang di langit, sehingga ia dapat menghitung waktu dengan tepat. Ketika bintang gubug penceng telah jauh condong ke Barat, serta bintang Panjer Rina nampak bagaikan menyala di Timur, maka mulailah Empu Purung memberikan isyarat agar orang-orangnya mempersiapkan diri.

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing” berkata tnPu Purung,, “waktu yang paling nyenyak bagi orang-orang malas itu. Jika kita menyerang mereka akan terkejut dan bangkit dengan mata setengah terpejam. Mungkin mereka sempat meraih senjata mereka, tetapi mereka tidak sempat membedakan yang manakah lawan-lawan mereka karena kantuk yang masih mencengkam.”

Orang-orangnya menjadi berdebar-debar. Para cantrik yang merasa memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang ikut di dalam pasukan itu pun akan mencoba menunjukkan kelebihan mereka. Meskipun lawan mereka adalah prajurit-prajurit Singasari, tetapi kemampuan para cantrik itu akan dapat mengimbanginya.

Sejenak kemudian, maka pasukan Empu Purung, itu telah bersiap untuk menyergap. Lewat para pemimpin kelompok Empu Purung memberikan pesan-pesan terakhir.

“Separo dari kita sudah siap untuk menyergap dari belakang” berkata Empu Purung, “semuanya akan berjalan lancar. Dan kita akan membinasakan setiap yang hidup di dalam barak itu.”

Dengan isyarat, maka pasukan itu pun segera bergerak maju. Dalam cahaya kemerah-merahan mereka melihat barak yang sepi, seolah-olah sama sekali tidak berpenghuni. Cahaya lampu masih menyala di regol dan di sudut-sudut dinding halaman. Namun tidak seorang pun yang nampak selain dua orang penjaga yang berjalan hilir mudik.

“Kita akan menyergap. Penjaga itu akan berteriak. Tetapi kesempatan mereka sangat sedikit” desis Empu Purung.

Perlahan-lahan pasukannya pun bergerak maju. Semakin dekat mereka dengan barak itu, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika menurut pengamatan mereka dalam keremangan dini hari, barak itu tetap sepi.

Empu Purung dan orang-orangnya tertegun sejenak, ketika mereka mendengar suara burung tuhu di kejauhan. Suaranya bagaikan menyobek hati.

“Lambang kematian” desis salah seorang cantrik, “suara burung tuhu adalah suara maut.”

“Tetapi tidak terdengar suara burung kulik. Biasanya suara burung tuhu di dahului suara burung kulik yang memekik-mekik tinggi.” desis yang lain.

“Keduanya memang panggilan maut. Tetapi suara burung tuhulah yang menentukan. Kulik sekedar memberikan pertanda.”

Namun dalam pada itu, Empu Purung yang berada di antara pasukannya menjadi tegang. Ia adalah seorang yang memiliki pendengaran yang tajam. Sehingga karena itu maka dengan tegang ia bertanya kepada Putut Kuda Widarba, “Kau dengar suara burung tuhu?”

“Ya Empu.”

“Bagaimana menurut pendengaranmu?”

Putut itu pun termasuk anak muda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Inderanya menjadi bertambah tajam. Karena itulah maka di telinganya, suara burung tuhu itu pun terdengar agak aneh.

“Empu” Jesis Putut Kuda Widarba, “apakah itu benar-benar suara burung hantu?”

“Tidak. Kita sudah diketahui oleh orang-orang di dalam barak itu. Suara itu adalah suara isyarat. Karena itu kita yang terlambat. Kita harus segera menyergap Sekarang.”

Putut Kuda Widarba mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menyadari apa yang akan terjadi. Karena itulah, maka ia pun segera mengacukan pedangnya tinggi-tinggi sambil berteriak nyaring. Suaranya memukul tebing dan melontarkan gema yang seakan-akan berputaran di udara.

Aba-aba itulah yang ditunggu oleh para cantrik dan anak-anak muda yang ikut serta di dalam pasukan itu. Demikian mereka mendengar aba-aba itu, maka mereka pun serentak meloncat berlari menyerang barak yang nampaknya sangat sepi. Tetapi oleh latihan-latihan yang matang, maka mereka sama sekali tidak terpecah dari kelompok masing-masing dan kedudukan yang sudah ditentukan. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka telah membentuk sebuah gelar kecil, Garuda Nglayang. Empu Purung sendirilah yang menjadi paruh gelar, di belakangnya selangkah Putut Kuda Widarba dan dua orang cantrik terpercaya. Kemudian bertebaran sayap sebelah menyebalah dipimpin oleh pemimpin kelompok masing-masing. Sementara sekelompok yang lain berada tepat di belakang paruh gelar itu, sebagai ekornya yang siap membantu apabila pimpinan gelar mengalami kesulitan. Tetapi juga merupakan perisai yang akan dapat melindungi pimpinan gelar jika ada serangan tiba-tiba dari arah belakang.

Empu Purung yang memimpin sergapan itu langsung mendekati barak yang sepi. Mereka tidak berniat untuk langsung memasuki barak, karena menurut pendapat mereka, prajurit yang ada di barak itu sudah mengetahui, bahwa lawan akan segera datang.

Empu Purung yang memimpin sergapan itu langsung menuju ke pintu gerbang, sementara saja gelarnya menebar di sepanjang dinding halaman barak.

Beberapa Langkah dari dinding barak, Empu Purung memberikan isyarat agar pasukannya berhenti sejenak untuk mengamati keadaan.

Tetapi barak itu benar-benar sepi. Bahkan kedua penjaga yang semula hilir mudik di pintu gerbang itu pun sudah tidak nampak lagi.

Empu Purung menjadi termangu-mangu sejenak. Ia tidak melihat prajurit-prajurit Singasari itu menjengukkan kepala mereka dan melontar anak panah untuk mempertahankan barak mereka.

“Sepi sekali” desis Empu Purung, “mereka sama sekali tidak menampakkan diri.”

“Mereka menunggu di halaman” desis Kuda Widarba.

“Pintu barak itu ditutup, sementara penjaganya telah hilang di dalam.” sahut Empu Purung.

“Kita pecahkan pintu gerbang. Jika di depan pintu gerbang itu berkumpul prajurit-prajurit Singasari, maka kita akan memancing mereka keluar, atau kita akan memanjat dinding.”

“Tetapi berhati-hatilah. Siapkan senjala kalian. Mungkin prajurit-prajurit itu siap menyambut kalian dengan anak panah pada jarak yang cukup di dalam dinding.”

Putut Kuda Widarba ragu-ragu. Ia tidak dapat mengintip keadaan di dalam halaman karena halaman barak itu masih cukup gelap, sementara lampu-lampu obor tiba-tiba saja telah padam.

”Apakah kita menunggu terang” desis Putut Kuda Widarba.

“Tidak. Kita akan memecahkan pintu seperti yang kau katakan.” geram Empu Purung.

Empu Purung pun kemudian bersama beberapa orang cantrik telah bersiap mendorong pintu yang tertutup itu. Namun tiba-tiba Empu Purung berkata “Minggirlah. Aku sendirilah yang akan memecahkannya.”

Para cantrik itu pun menjadi terheran-heran. Dengan ragu-ragu mereka bergeser menjauh, sementara Empu Purung melangkah mendekat sambil mempersiapkan diri.

Sejenak Empu Purung memusatkan segenap kekuatannya. Dipandanginya pintu gerbang yang tertutup itu dengan tajamnya. Kemudian, sambil berteriak nyaring Empu Purung meloncat sambil menghantam pintu gerbang itu dengan kedua belah tangannya lurus kedepan.

Orang-orang yang menyaksikan hentakan kekuatan itu pun menahan nafas. Di ujung suara teriakan Empu Purung terdengar pintu gerbang itu berderak. Selarak pintu yang besar telah patah, dan pintu itu pun telah pecah berkeping-keping.

Para cantrik dan anak-anak muda yang menyaksikannya menjadi tegang. Mereka telah sering menyaksikan kemampuan Empu Purung yang mengherankan bagi mereka. Dan kini sekali lagi mereka mclihat,betapa Empu Purung mampu melakukan sesuatu di luar kemampuan orang kebanyakan.

Dalam pada itu, Empu Purung yang berdiri tegang, memandang halaman barak yang sepi itu. Setelah pintu gerbang itu pecah, maka mereka pun dapat melihat halaman dan barak yang Seakan-akan memang tidak berpenghuni itu.

“Aneh” desis Empu Purung, “ternyata halaman ini memang sepi.”

“jadi, kemanakah mereka itu Empu?” bertanya Putut Kuda Widarba.

Empu Purung menggelengkan kepalanya. Sejenak ia teringat kepada suara yang baru saja didengarnya. Suara burung tuhu.

“Agaknya isyarat itu memberitahukan kehadiran kita, sehingga para prajurit Singasari itu telah melarikan diri dari barak ini” berkata Empu Purung kemudian.

“Tetapi jika demikian, tentu mereka masih belum terlalu jauh.” sahut Putut Kuda Widarba

“Ya. Tetapi mungkin hanya sebagian kecil atau bahkan hanya kedua penjaga itu sajalah yang masih ada di barak ini di saat terakhir, sehingga jika kita mengejarnya maka hanya dua orang itu sajalah yang akan dapat kita tangkap” jawab Empu Purung.

“Apakah kita akan memeriksa barak itu?”

Empu Purung termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Kita akan memasuki setiap barak dengan senjata terhunus. Meskipun kita yakin bahwa prajurit-prajurit itu adalah pengecut, namun kita harus tetap berhati-hati.”

Demikianlah maka Empu Purung pun telah membawa orang-orangnya memasuki barak itu. Dengan senjata di tangan mereka memasuki setiap ruangan dalam barak itu. Namun mereka tidak menemukan seorang pun dari prajurit Singasari yang tersisa.

“Gila” geram Empu Purung, “ternyata mereka dapat mencium gerakan kita. Mereka sempat melarikan diri di luar pengamatan kita. Dengan dua orang penjaga yang masih dipasang di depan regol, kita semuanya telah tertipu.”

Putut Kuda Widarba pun menggeretakkan giginya pula. la pun merasa sangat kecewa, bahwa pasukannya yang telah di persiapkan baik-baik itu tidak dapat menghancurkan prajurit Singasari yang telah menghina mereka.

“Jadi seorang kawan kita telah mereka bawa” geram Putut Kuda Widarba.

“Ya.” desis seorang cantrik, “kita harus menemukan nya.”

Empu Purung memotong, “Kau memang dungu. Mereka sudah lari jauh sekali. Sejak para cantrik itu meninggalkan barak saat seorang kawan mereka ditahan oleh para prajurit, kemudian disusul oleh persiapan yang barangkali dapat dilihat oleh petugas sandi prajurit Singasari itu, maka mereka telah mengambil keputusan untuk melarikan diri sambil membawa seorang kawan kita. Tetapi bahwa sekarang mereka telah jauh sekali, adalah sulit untuk mengetahui dan apalagi menemukannya.”

“Kita menyusul mereka ke Kota Raja” teriak seorang cantrik yang lain.

Betapapun kemarahan membakar jantung, Empu Purung namun ia masih sempat melihat kenyataan, bahwa pergi ke Kota Raja bukannya pekerjaan yang mampu mereka lakukan.

Karena itu maka jawabnya, “Kau tidak tahu, apa yang ada di Kota Raja. Jika kita memasuki Kota Raja untuk mencari seorang kawan kita tanpa mempersiapkan diri, terutama kekuatan yang telah dihimpun Empu Baladatu dalam keseluruhan, maka kita bagaikan sulung memasuki api. Kita akan binasa tanpa arti apa-apa.”

“Tetapi apakah itu berarti bahwa kita akan membiarkan kawan kita dibawa oleh para prajurit itu?” bertanya sc orang cantrik yang lain.

“Di sinilah letak kepentingan kita dengan rencana besar Empu Baladatu. Jika Empu Baladatu telah bersiap dan mulai dengan gerakannya di segala tempat, maka persoalannya tentu akan menjadi lain. Mungkin kita akan dapat memasuki Kota Raja dengan persetujuan Empu Baladatu, jika pasukan Singasari telah tersebar. Dengan demikian pertahanan di Kota Raja akan menjadi lemah.”

Para cantrik itu rasa-rasanya tidak lahan lagi menunggu. Namun demikian penjelasan Empu Purung itu dapat mereka mengerti, sehingga karena itu, rasa-rasanya dada mereka sajalah yang menjadi pepat oleh kemarahan.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan persoalan yang mereka hadapi, tiba-tiba saja mereka melihat isyarat dari arah belakang barak itu pada jarak yang agak jauh. Isyarat yang terlontar ke udara dari arah pasukan yang dipimpin Pulut Sanggawerdi.

“Panah api” desis Empu Purung.

Putut Kuda Widarba dan para cantrik terkejut karenanya. Panah api itu berasal dari pasukan yang dipimpin oleh Putut Sanggawerdi yang seharusnya menunggu isyarat untuk menyerang dari arah belakang.

“Ada yang kurang wajar telah terjadi” desis Empu P rung, “mungkin kita semuanya sudah tertipu. Prajurit Singasari ternyata sangat licik.”

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Putut Kuda Widarba.

“Aku tidak tahu. Tetapi agaknya prajurit-prajurit Singasari sudah menjebak mereka.” jawab Empu Purung, “kita harus segera menyusul dan menyelamatkan mereka dari jebakan yang licik itu.”

Empu Purung pun kemudian dengan tergesa-gesa memberikan pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok, bagaimana mereka harus menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga itu.

“Kita akan memecah seluruh pasukan kita” berkata Empu Purung, “kita akan naik keatas bukit itu dari dua arah. Aku akan berada di sebelah kiri, dan Kuda Widarba di sebelah kanan.”

Pasukan yang ada itu pun kemudian telah dibagi. Sebagian mengikuti Empu Purung lewat sebelah kiri arah isyarat, yang lain di bawah pimpinan Putut Kuda Widarba melingkar di sebelah kanan.

Dengan demikian mereka telah mencoba untuk tidak terjebak dalam perangkap yang mungkin dipasang orang-orang Singasari. Seandainya sebagian dari mereka tiba-tiba saja disergap, maka yang lain masih mungkin memberikan bantuan untuk melepaskan diri. Apalagi jumlah mereka memang lebih banyak dari jumlah para prajurit itu.

Dalam pada itu, di luar dugaan, ternyata pasukan yang dipimpin oleh Putut Sanggawerdi telah terjebak dalam kepungan prajurit Singasari yang telah berada di luar barak. Bagi prajurit Singasari kehadiran pasukan Putut Sanggawerdi itu pun merupakan suatu hal di luar perhitungan. Mereka hanya memperhitungkan bahwa serangan Empu Purung akan datang dari depan, tetapi ternyata bahwa pengawas prajurit Singasari itu melihat, sekelompok dari pasukan lawan telah mendahului dan melingkari barak itu.

Dengan cepat, prajurit Singasari mengambil sikap. Mereka justru memperhitungkan kemungkinan lain dari rencana mereka.

“Pasukan itu akan kita hancurkan dahulu” berkata pemimpin prajurit Singasari.

Mahisa Bungalan memandang Mahisa Agni sejenak. Meskipun pimpinan prajurit Singasari tetap berada, di tangan Senopatinya, namun kehadiran Mahisa Agni dan Witantra yang mengawal kedua orang pemimpin tertinggi dari Singasari itu tentu saja akan dapat menentukan.

Tetapi agaknya Mahisa Agni pun memerlukan pertimbangan Ranggawuni atau Mahisa Cempaka. Meskipun agaknya keduanya mempercayai Senopati yang sudah di perintahkan untuk memimpin pasukan kecil itu, namun agaknya setiap orang menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan.

Agaknya Ranggawuni melihat keragu-raguan itu. Karena itu maka katanya, “Semuanya ada di tangan Senopati yang sudah ditunjuk. Ia tentu mempunyai perhitungan yang lebih cermat karena ia lebih menguasai medannya. Justru kami menunggu apakah yang harus kami lakukan selaku prajurit.”

Senopati itu justru merasa dadanya bergetar. Tanggung jawab itu terasa terlalu berat baginya. Tetapi ia merasa bahwa itu adalah kewajaran tugasnya.

Dengan keyakinan penuh, maka ia pun kemudian berkata

“Kita akan menjebak pasukan yang memanjat tebing itu. Mungkin mereka akan memberikan isyarat bagi pasukan yang lain. Tetapi agaknya kita sudah akan dapat mengurangi jumlah mereka dengan sergapan itu.”

Yang lain mengangguk-angguk. perintah itu pun diteruskannya

“Tuanku berdua dan para pengawal akan berada di luar lingkaran pertempuran. Sekelompok kecil akan berada di antara mereka. Sementara pengawas yang lain akan melihat kehadiran pasukan-pasukan yang terpisah itu.”

Senopati itu pun kemudian telah menunjuk sekelompok kecil prajurit untuk melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka jika terjadi sergapan yang tiba-tiba. Sedangkan sekelompok kecil yang lain akan menghambat pasukan yang tentu akan datang membantu pasukan yang dijebaknya.

“Jumlah kita lebih sedikit. Itulah sebabnya kita harus mengurangi jumlah lawan dengan sergapan yang tiba-tiba, meski pun itu bukan berarti membunuh.”

Perintah itu sudah jelas. Kelompok-kelompok itu pun kemudian menempatkan dirinya. Induk pasukan prajurit Singasari itu telah bersiap di tempat yang paling menentukan, selagi pasukan Putut Sanggawerdi memanjat tebing.

Selagi pasukan Putut Sanggawerdi itu memanjat naik untuk menempatkan diri di atas barak yang akan dihancurkan itu, maka tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh sergapan yang tiba-tiba. Meskipun Putut Sanggawerdi mendengar desir langkaih mereka, namun semuanya telah terlambat.

Yang dapat dilakukannya adalah meneriakkan perintah, agar pasukannya bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Ada lawan di sekitar kita” teriak Putut Sanggawerdi, “bersiaplah untuk bertempur sekarang.”

Orang-orangnya yang semula tidak menyadari keadaan, tiba-tiba saja telah terkejut mendengar perintah itu. Dengan serta merta mereka menarik senjata dalam genggaman. Dan sekejap kemudian, yang, dikatakan oleh Putut Sanggawerdi itu pun lelah terjadi.

Belum lagi orang-orang di dalam pasukan Putut Sanggawerdi itu menyadari apa yang telah mereka hadapi, tiba-tiba saja prajurit Singasari telah menyergap mereka dari segala penjuru.

Sejenak kemudian pertempuran pun telah terjadi. Ternyata bahwa prajurit Singasari tidak hanya berjumlah dua puluh atau duapuluh lima seperti yang mereka duga.

Sebenarnyalah prajurit Singasari yang berada di barak itu telah bergabung dengan prajurit-prajurit cadangannya, sehingga jumlah mereka telah menjadi berlipat dari jumlah yang diperkirakan oleh Empu Purung. Namun demikian jumlah itu masih jauh lebih sedikit dari jumlah orang-orang Empu Purung dalam keseluruhan.

Karena itulah, maka adalah kebetulan sekali bagi Prajurit Singasari bahwa Empu Purung telah memecah pasukannya.

Putut Sanggawerdi telah bertempur dengan gigihnya. Dengan dahsyatnya ia mengayunkan senjatanya menyerang orang-orang yang terdekat.

Namun, yang dihadapi oleh Putut Sanggawerdi dan anak buahnya itu adalah prajurit-prajurit Singasari. Itulah sebabnya maka pada benturan pertama telah terasa bahwa tekanan lawan nya terasa sangat berat.

Jika semula Putut Sanggawerdi dan orang-orangnya, terutama para cantrik, merasa memiliki kemampuan olah kanuragan yang tiada tandingnya, maka di hadapan para prajurit, barulah mereka merasa, bahwa ilmu mereka bukannya ilmu yang tidak terlawan.

Dalam pertempuran yang kemudian terjadi dengan sengitnya, ternyata bahwa Putut Sanggawerdi lelah berhadapan dengan Senopati prajurit Singasari yang ada di barak yang akan mereka hancurkan itu. Seorang Senopati yang memiliki bekal yang cukup bagi jabatannya yang berat itu.

Pertempuran yang terjadi antara kedua pimpinan pasukan itu pun telah menggetarkan hati mereka yang menyaksikannya. Senopati prajurit Singasari itu memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sementara Putut Sanggawerdi pun merupakan seorang Putut yang dapat bergerak dengan cekatan. Ayunan senjatanya berdesing dengan dahsyatnya, sementara tata geraknya kadang-kadang membuat lawannya termangu-mangu.

Tetapi Senopati dari Singasari itu pun memiliki pengalaman yang luas. Ia segera dapat menempatkan dirinya, sehingga pertempuran di antara keduanya pun segera menjadi semakin sengit.

Namun dalam pada itu, para cantrik dan anak-anak muda yang berada di dalam pasukan Putut Sanggawerdi itu pun segera merasa, bahwa tekanan prajurit Singasari itu tidak akan dapat mereka lawan. Karena itulah maka mereka pun segera melepaskan isyarat bagi pasukan yang dipimpin langsung oleh Empu Purung dan Putut Kuda Widarba, yang jumlahnya lebih banyak dari pasukan yang dipimpin oleh Putut Sanggawerdi itu.

Namun isyarat yang dilepaskan keudara itu, telah memberikan perintah pula kepada prajurit Singasari agar segera menyelesaikan tugasnya. Mereka sadar, bahwa isyarat itu merupakan undangan bagi hadirnya kekuatan yang lain, yang mungkin lebih besar jumlahya.

Dalam pada itu, pasukan cadangan yang sudah dipersiap kan untuk menunggu kedatangan bantuan itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka justru berusaha menyongsong pasukan lawan yang tentu akan memanjat tebing mendekati arena pertempuran itu.

Tetapi jumlah kelompok cadangan itu terlalu kecil untuk melawan pasukan yang besar yang akan segera datang

Sementara itu Empu Purung dengan tergesa-gesa telah mendekati arena. Dari arah yang lain Putut Widarba pun lelah merayap pula naik bersama pasukannya pula.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa prajurit-prajurit Singasari telah berhasil melumpuhkan sebagian besar dari lawannya. Para cantrik dan anak-anak muda yang bertempur dengan kasar itu telah terdesak. Sebagian besar mereka telah terluka, sedangkan yang lain, meskipun prajurit Singasari menghindari sejauh mungkin Kematian, namun dalam pertempuran yang sengit itu, korban tidak dapat dihindarkan lagi.

Pada dasarnya pasukan Putut Sanggawerdi itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka sudah berputus asa, sementara Putut Sanggawerdi sendiri sudah terdesak. Ia pun tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan pertempurannya melawan Senopati prajurit Singasari itu.

Dengan putus asa, hampir saja Putut Sanggawerdi meneriakkan aba-aba agar pasukannya yang masih tersisa melarikan dliri dari arena, la merasa bahwa agaknya isyarat yang diberikan oleh anak buahnya, tidak terlihat oleh Empu Purung yang sama sekali tidak menyangka, bahwa justru merekalah yang harus memanjat naik.

Namun sisa-sisa pasukan yang lumpuh itu bersorak ketika mereka mendengar kedatangan pasukan Empu Purung dari satu sisi yang dipimpin sendiri oleh Empu Purung. Dengan bersorak pula, mereka menyerang pasukan yang masih terlibat, dalam perkelahian itu.

Sementara langit pun menjadi semakin jernih. Bintang-bintang telah tenggelam dalam kecerahan pagi yang kemerah-merahan. Namun di arena perkelahian itu, warna-warna merah darah telah mendebarkan setiap jantung.

Pasukan cadangan yang tidak begitu banyak jumlahnya itu pun segera menyongsong pasukan yang datang itu. Karena Senapatinya sedang bertempur, maka Mahisa Bungalan lah yang ada di antara mereka.

Empu Purung yang marah, melihat pasukan cadangan yang kecil itu memotong jalan. Dengan geram ia pun meneriakkan aba-aba, agar pasukannya membinasakan kelompok kecil yang menyongsongnya.

Mahisa Bungalan yang berada di antara pasukan itu menjadi berdebar-debar. Pasukannya memang terlalu kecil, jika ia tidak mendapat bantuan dari induk pasukannya maka pasukan kecil itu pun akan segera mengalami kesulitan.

Namun dalam pada itu, pasukan Putut Sanggawerdi benar-benar telah hampir lumpuh sama sekali. Itulah sebabnya, maka sebagian dari mereka segera meninggalkan lawan yang sudah hampir tidak berdaya itu, bergabung dengan Mahisa Bungalan.

Dengan demikian maka pasukan Empu Purung itu pun segera tertahan. Lawan semakin lama jumlahnya menjadi semakin banyak.

Ternyata bahwa prajurit-prajurit Singasari yang dengan cepat telah berhasil melumpuhkan pasukan Putut Sanggawerdi itu justru bertempur semakin sengit. Peluh dan darah telah membakar jantung mereka. Kemarahan yang meluap-luap telah memanaskan darah mereka.

Empu Purung bertempur dengan garangnya di paling depan. Seakan-akan tidak ada orang yang akan dapat menahan kemarahannya. Senjatanya terayun-ayun bagaikan getaran maut yang tidak tertahankan.

Mahisa Bungala melihat kemarahan Empu Purung, Dan seorang petugas sandi prajurit Singasari ia mendapat bisikan, bahwa orang itulah Empu Purung yang memimpin padepokan yang sedang dalam pengamatan prajurit-prajurit Singasari.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan dada yang bergetar ia maju selangkah demi selangkah di antara prajurit Singasari yang bertempur dengan sengitnya.

Empu Purung pun kemudian melihat kehadiran seorang anak muda di antara para prajurit itu. la segera mengetahui, bahwa agaknya anak muda itulah yang menjadi pusat kekuatan lawannya.

Dengan darah yang mendidih di dalam jantungnya, ia pun segera meloncat kehadapan Mahisa Bungalan sambil berteriak, “He, anak muda. Apakah kau Senapati dari Singasari?”

Mahisa Bungalan menarik nafas. Sekilas ia melihat prajurit Singasari yang bertempur dengan gigihnya.

“Aku bukan Senapati” jawab Mahisa Bungalan, “aku adalah anak pedagang yang akan dirampok oleh cantrik-cantik mu.”

“He” wajah Empu Purung menjadi merah padam.

“Senapati prajurit Singasari sedang bertempur dengan pemimpin cantrik-cantrikmu yang terjebak karena kebodohannya. Lihat,” berkata Mahisa Bungalan lebih lanjut, “pasukanmu yang terdahulu telah binasa. Satu dua orang di antara mereka yang masih mampu bertempur, tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sementara yang lain telah lumpuh dan menyerah.”

“Persetan.” geram Empu Purung, “kau belum mengenal aku. Aku akan membinasakanmu dalam sekejap. Sebut namamu sebelum kau menjadi debu.”

“Mahisa Bungalan. Akulah yang disebut orang pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

Wajah Empu Purung tiba-tiba menegang. Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan dengan Mahisa Bungalan. Aku akan membunuhmu.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak, la melihat sorot mata Empu Purung yang membara. Namun ketika ia melihat pertempuran yang semakin sengit katanya, “Aku memang pernah mendengar bahwa Empu Purung mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan dengan ujung jarinya. Sekarang, cobalah melakukannya sebelum cantrik-cantrikmu kehilangan kepercayaannya kepadamu.”

Empu Purung tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Mahisa Bungalan dengan dahsyatnya.

Tetapi Mahisa Bungalan yang digelari pembunuh orang-orang berilmu hitam itu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, ketika Empu Purung menyerangnya, maka ia pun dengan cepat telah bergeser menghindarkan diri.

Pertempuran antara prajurit Singasari melawan pasukan Empu Purung itu pun segera berkobar dengan serunya. Bagian pertama prajurit Empu Purung yang telah disergap dengan tiba-tiba itu telah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melawan. Mereka seakan-akan telah lumpuh dan kehilangan kekuatan sama sekali. Putut Sanggawerdi yang tidak memiliki pasukan lagi, masih bertempur dengan gigihnya melawan Senapati dari Singasari. Namun ketika ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak, maka ia pun mencoba bergeser mendekati Empu Purung.

Namun, jarak mereka masih beberapa puluh langkah. Prajurit-prajurit Singasari tidak membiarkannya untuk melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Empu Purung yang lain. Karena itu, maka tiba-tiba saja beberapa orang prajurit telah mengurungnya.

Putut Sanggawerdi menghentakkan segenap kekuatannya. Namun semuanya itu tidak berarti lagi. Segores demi segores senjata lawannya telah melukainya, sehingga akhirnya ia pun tidak mampu untuk mengingkari kenyataan, bahwa lukanya bagaikan arang keranjang.

Tetapi prajurit Singasari tidak membunuhnya. Mereka berusaha untuk dapat menangkapnya hidup-hidup.

Dalam pada itu, yang tidak diduga oleh prajurit Singasari adalah kedatangan bagian pasukan Empu Purung yang lain, yang dipimpin oleh seorang Putut yang masih muda.

Putut Kuda Widarba sadar, bahwa ia datang, agak lambat dibandingkan dengan Empu Purung. Jalan yang dilaluinya memang agak lebih panjang, sementara ia tidak berusaha untuk berjalan lebih cepat.

Namun dengan demikian ia berharap bahwa kedatangannya akan dapat mengejutkan lawannya yang sudah terlanjur menumpahkan semua kekuatannya untuk melawan Empu Purung.

Dalam pada itu, pasukan Singasari memang telah memusatkan perhatiannya kepada pasukan yang dipimpin oleh Empu Purung. Mahisa Bungalan yang berhadapan dengan Empu Purung telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Masing-masing memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga karena itulah maka benturan kekuatan antara keduanya bagaikan benturan antara dua buah gunung.

Empu Purung ternyata benar-benar seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Ia bukan saja memiliki kekuatan wadag. yang dapat melumatkan batu-batu padas dengan hentakkan tangannya, tetapi ia pun memiliki ilmu yang mampu menggetarkan jantung lawannya dengan getaran suara tertawanya.

Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar Empu Purung itu tiba-tiba saja tertawa. Suaranya bagaikan melingkar di dalam relung dadanya, menghantam pusat jantungnya.

Mahisa Bungalan pun kemudian harus berjuang dengan ilmunya pula untuk menutup pendengaran batinnya, sehingga suara Empu Purung yang dilontarkan dengan ilmu Gelap Ngampar itu tidak menembus hati.

Karena Mahisa Bungalan agaknya tidak terpengaruh oleh suara tertawanya, maka Empu Purung pun terpaksa menghentikannya. Apalagi karena Mahisa Bungalan justru memperdahsyat serangannya pada saat Empu Purung memusatkan segenap kekuatannya lahir dan batin pada lontaran ilmunya Gelap Ngampar.

Mahisa Bungalan pun ternyata telah mempelajari, bagaimana ia menghadapi ilmu seperti yang dilontarkan oleh Empu Purung lewat getaran di dalam dirinya yang mampu menyangkut di pendengaran batin seseorang. Dengan menyesuaikan tingkat getarannya, maka Empu Purung mampu menyerang lawannya dengan suaranya. Bahkan bukan saja tertuju kepada seseorang. Ia dapat mencari dengan pertimbangan rabaannya berdasarkan atas ilmunya, lapisan yang paling tepat untuk menyerang pada tataran yang berbeda-beda.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat mempergunakannya untuk melemahkan perlawanan prajurit-prajurit Singasari, justru karena Mahisa Bungalan. Ketika Mahisa Bungalan menyadari bahwa suara tertawa lawannya itu dapat berbahaya bagi prajurit Singasari di sekitarnya, maka ia pun langsung berusaha untuk menghentikan sumber getaran yang menusuk-nusuk hati itu.

Serangannya yang bagaikan angin prahara telah merusakkan pemusatan ilmu Empu Purung untuk mendapatkan cukup kekuatan bagi usahanya untuk mcnggoncangkan isi dada lawannya.

Sambil mengumpat Empu Purung terpaksa menahan serangan-serangan Mahisa Bungalan, yang meskipun masih dalam tataran serangan wadag, namun sangat berbahaya baginya. Ia harus meloncat surut ketika bagaikan gulungan asap senjata Mahisa Bungalan melandanya.

Sementara itu, Putut Kuda Widarba telah membuat kejutan baru bagi prajurit Singasari. Dalam pertempuran yang sengit, maka Senapati yang, memimpin pasukan Singasari itu menjadi agak bingung. Ketika lawannya, Putut Sanggawerdi tidak berdaya lagi, dan dalam keadaan luka parah ia telah menjadi tawaran, maka Senapati itu telah menceburkan diri dalam pertempuran yang sengit, melawan anak buah Empu Purung yang langsung dipimpinnya itu.

Selagi para pemimpin itu termangu-mangu. maka pasukan itu telah menjadi semakin dekat. Bahkan beberapa orang di antara mereka telah berlari dengan senjata teracu langsung menyerang sekelompok prajurit Singasari yang melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Senapati itu pun kemudian tidak dapat membut pertimbangan lebih panjang. Ia pun kemudian meloncat berlari sambil memberikan aba-aba kepada kelompok kecil prajurit itu untuk mengikutinya menyongsong- Putut Kuda Widarba.

Tetapi jumlah lawan terlalu banyak. Kelompok kecil itu tentu tidak akan banyak berarti bagi lawannya. Meskipun setiap prajurit memiliki kemampuan lebih baik dari para cantrik apalagi anak-anak muda di dalam pasukan lawan, tetapi jumlah mereka terlalu banyak bagi kelompok kecil prajurit itu.

Sementara itu prajurit-prajurit yang lain masih terlibat dalam pertempuran yang sengit, yang jumlahnya pun cukup banyak untuk mengikat para prajurit Singasari dalam pertempuran itu.

Sementara itu, ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah menjadi gelisah. Jika semula mereka memandang pertempuran dengan hati yang berkembang melihat kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh prajuritnya, maka kini mereka menjadi gelisah, apakah prajurit Singasari akan dapat bertahan.

“Paman” desisnya di telinga Mahisa Agni, “apakah kita akan tetap bersilang tangan, sementara darah prajurit kita sudah mulai mengalir?”

“Tetapi sebaiknya tuanku berdua tidak ikut terlibat dalam pertempuran ini. Biarlah prajurit-prajurit itu berusaha untuk menyelesaikan tugas mereka. Aku kira mereka akan dapat mengatasi keadaan.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya. Ia memandang prajurit-prajuritnya yang bertempur mati-matian, sementara yang lain telah mulai terlibat dalam pertempuran melawan para cantrik dan anak-anak muda yang dipimpin oleh Putut Kuda Widarba.

“Paman Mahisa Agni” berkata Ranggawuni, “apakah menurut perhitungan paman, prajurit-prajurit yang sedikit sekali jumlahnya itu akan dapat bertahan?”

“Memang terlalu berat tuanku. Tetapi sebaiknya tuanku berdua tetap berada di dalam pengawalan beberapa orang prajurit. Biarlah aku, Witantra, Mahendra dan pengawal yang lain melibatkan diri dalam pertempuran itu.”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak mau terlibat dalam pembicaraan yang berkepanjangan justru saat pertempuran sudah membakar seluruh arena.

“Baiklah paman” berkata Ranggawuni, “aku dan Mahisa Cempaka akan tetap berada di sini.”

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Kemudian diperintahkannya tiga orang prajurit untuk tetap tinggal bersama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Selain tiga orang prajurit itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. pun diperintahkannya menemani kedua orang pemimpin tertinggi pemerintahan Singasari itu.

Sesaat Mahsa Agni memandang pertempuran yang sudah menjalar kesegala sudut arena. Sekelompok kecil prajurit yang menahan pasukan yang dipimpin oleh Putut Kuda Widarba itu pun segera terdesak, karena jumlah mereka sama sekali tidak seimbang.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “mumpung korban belum jatuh.”

Witantra dan Mahendra tidak menyahut. Ketiga orang-orang tua itu pun kemudian dengan tergesa-gesa menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.

Kehadiran mereka mula-mula telah mengejutkan Senapati prajurit Singasari yang memimpin sekelompok kecil pasukannya. Namun ia sadar, bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang luar biasa, sehingga meskipun mereka hanya bertiga tetapi kemampuan mereka melampaui sekelompok prajurit-prajurit pilihan.

Demikianlah, maka kehadiran Witantra, Mahendra dan Mahisa Agni telah mempengaruhi arena pertempuran itu. Namun demikian, karena jumlah lawan yang jauh lebih banyak. maka di bagian lain dari arena itu, prajurit Singasari masih mengalami kesulitan. Dan itulah sebabnya, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah mempergunakan cara yang lain untuk mengurangi kegelisahan para prajurit. Mereka tidak bertempur di satu tempat melawan lawan yang menyerang mereka. Tetapi mereka bagaikan burung elang yang berterbangan di langit yang biru. Sekali-kali menyambar, kemudian terbang tinggi di sela-sela awan.

Kehadiran Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra. meskipun hanya bertiga, ternyata telah membuat lawan mereka menjadi bingung. Beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan melampaui anak-anak muda yang lain, berusaha berada di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menahan serangan-serangan yang dahsyat itu. Tetapi tiba-tiba saja ketiga orang-orang tua itu telah bersama-sama menyerang, sehingga kelompok kecil itu pun telah terpecah bercerai berai.

“Gila” geram Putut Kuda Widarba. Namun ia tidak dapat berbuat banyak, karena Senapati yang telah berhasil melumpuhkan Putut Sanggawerdi itu telah berada di dalam libatan perkelahian melawannya.

Dalam pada itu, di arena yang lain, yang langsung berada di bawah pimpinan Empu Purung dan Mahisa Bungalan, pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya. Meskipun pasukan Empu Purung jumlahnya lebih banyak dari prajurit Singasari. namun imbangannya tidak seperti di arena yang lain, sehingga prajurt Singasari yang pada dasarnya memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih besar, segera mampu menguasai keadaan.

Sementara itu Empu Purung sendiri ternyata terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Mahisa Bungalan. la tidak mendapat kesempatan untuk membantu pasukannya dengan caranya, dengan ilmu-ilmunya yang dapat dilontarkan lewat berbagai macam cara, bukan saja dengan wadagnya Setiap ia berusaha membangunkan ilmu yang dapat dilontarkan lewat suaranya, Mahisa Bungalan telah menyerang dengan dahsyatnya, sehingga ia harus memusatkan perlawanannya terhadap serangan-serangan wadag Mahisa Bungalan yang dapat membahayakan jiwanya.

Sebenarnyalah Mahisa Bungalan pun telah hampir sampai ke puncak ilmunya. Ia masih belum berusaha mengakhiri pertempuran karena ia memang sedang menjajagi kemampuan lawannya, yang agaknya masih membagi perhatiannya antara Mahisa Bungalan dan usahanya membantu orang-orangnya.

Namun Mahisa Bungalan pun sadar, jika sampai saatnya, lawannya mengerahkan puncak ilmunya, maka ia pun harus berjuang dengan segenap ilmu yang ada padanya.

Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang muda itu menjadi kian gelisah. Ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeretakkan giginya, maka Ranggawuni pun berkata, “Apakah kita akan tetap berdiam diri?”

Prajurit yang mendengar gumam itu pun segera menyahut, “Ampun tuanku. Sebaiknya tuanku tetap berada di luar pertempuran yang sedang menyala itu.”

Ranggawuni mendekati prajurit itu sambil tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Tetapi aku berpendirian lain.”

Prajurit itu termangu-mangu. Ia tidak segera mengetahui maksud Ranggawuni yang tidak dalam pakaian kebesaran sebagai seorang Maharaja di Singasari.

Tetapi Ranggawuni yang berpakaian seperti orang kebanyakan itu berkata, “Aku akan ikut serta dalam pertempuran itu.”

“Jangan tuanku. Tuanku adalah Maharaja di Singasari. Seharusnya tuanku tidak ikut dalam pertempuran itu?”

“Seorang Raja adalah seorang Panglima, dan seorang Maharaja adalah seorang Panglima Agung. Meskipun aku bukan Senopati yang memimpin pasukan Singasari di daerah ini, tetapi karena aku juga seorang prajurit, maka aku wajib ikut serta dalam pertempuran sekarang ini.”

“Tuanku memang seorang prajurit. Tetapi tuanku juga seorang Maharaja. di sini tidak ada lawan yang pantas bagi tuanku, sehingga jika terjadi kecelakaan kecil atas tuanku, maka hal itu akan dapat menyuramkan wibawa tuanku.”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku tidak dalam kedudukanku sebagai seorang Maharaja. Atau katakanlah aku siapa saja. Tetapi aku ingin ikut membantu prajurit Singasari yang berada dalam kesulitan. Aku, adinda Mahisa Cempaka beserta kedua putera paman Mabendra akan dapat menambah kekuatan Singasari yang terdesak di satu sudut pertempuran itu. Masih ditambah lagi kalian bertiga. Nah, dengan demikian, keseimbangan pertempuran itu segera akan berubah.” Ranggawuni berhenti sejenak sambil memandang ke arena pertempuran. Pasukan yang berada di bawah pimpinan Mahisa Bungalan yang langsung bertempur melawan Empu Purung itu nampaknya tidak begitu sulit. Tetapi pasukan yang melawan pasukan Empu Purung yang di bawah pimpinan Putut muda itu, agaknya telah mengalami tekanan yang, sangat besar-meskipun setiap saat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra hadir di sekitar mereka dan agak memperingan tekanan itu.

Tetapi ternyata bahwa lawan memang terlalu banyak.

Dalam pada itu, ternyata bahwa prajurit-prajurit yang mengawal Ranggawuni tidak lagi dapat mencegah keinginannya untuk terjun ke dalam arena. Bahkan ketika prajurit itu masih saja menahannya, Ranggawuni berkata, “Dengarlah perintahku, Maharaja Singasari. Ikutlah aku terjun kedalam pertempuran itu.”

Prajurit-prajurit yang mengawalnya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus tunduk kepada perintah itu, sehingga bagaima na pun juga mereka harus membiarkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendekati garis perang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan hati-hati Ranggawuni berusaha agar kehadirannya tidak menarik perhatian Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra. Namun bagaimanapun juga, ternyata Mahisa Agni melihatnya pula. Tetapi ketika ia meloncat mendekati Ranggawuni, maka Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Murti dan Mahisa Pu kat telah berada di arena. Beberapa orang lawan justru telah menyerangnya.

Mahisa Agni yang telah berhasil mendekati Ranggawuni segera bertanya sambil berbisik, “Kenapa tuanku hadir di peperangan?”

Ranggawuni tidak menyahut. Tetapi ia tersenyum sambil memberikan isyarat, bahwa ia akan melayani lawan-lawannya yang telah menyerangnya.

Mahisa Agni termangu-mangu. Namun dengan demikian, maka ia pun telah terikat, ia tidak sampai hati untuk melepaskan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk bertempur seperti kebanyakan prajurit yang lain.

Mahendra yang melihat kedua pemimpin Singasari dan kedua anaknya turun ke arena, telah mendekat pula. Seperti Mahisa Agni, maka keduanya seakan-akan bertempur dalam tugasnya yang khusus, melindungi anak-anak muda yang darahnya masih terlalu mudah mendidih itu

Tetapi ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak ragu-ragu melibatkan dirinya di peperangan itu, seperti juga Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Dengan tengadah mereka langsung menusuk ke dalam induk pasukan lawan, disertai oleh ketiga prajurit pengawalnya dengan dibayangi oleh Mahisa Agni dan Mahendra.

Sementara itu, Witantra masih tetap memelihara keseimbangan di sudut yang lain. Ia tidak ikut serta mendekati Ranggawuini dan Mahisa Cempaka, karena dengan demikian, maka di sudut lain, tekanan lawan akan menjadi sangat terasa.

Kehadiran Ranggawuni dan beberapa orang lain di arena itu benar-benar telah merubah keadaan. Meskipun Ranggawuni hanya bertujuh, tetapi ternyata bahwa anak-anak muda itu telah bertempur bagaikan banteng terluka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memiliki kelincahan yang kadang-kadang dapat membingungkan lawan, sementara Ranggawuni dan Mahisa Campaka dengan kemampuannya telah membuat lawan-lawannya bagaikan kehilangan pegangan.....

Semula kehadiran mereka tidak begitu menarik perhatian, karena mereka adalah anak-anak muda dalam pakaian orang kebanyakan, yang dikira tidak memiliki kemampuan seorang prajurit. Tetapi selelah anak-anak muda itu bertempur beberapa saat. maka ternyata kemampuan mereka telah benar-benar mengejutkan.

Dengan demikian, maka kekuatan lawan kemudian sebagian lelah terhisap dengan kehadiran anak-anak muda itu, apalagi Mahisa Agni dan Mahendra membayangi mereka pula, sehingga tekanan di sudut yang lain pun menjadi agak berkurang.

Witantra yang masih bertempur seperti burung elang, banyak pula menumbuhkan persoalan di pihak lawan.

Para cantrik yang semula yakin akan dapat mengalahkan para prajurit, dan bahkan sudah membayangkan bagiamana mereka akan menghinakan mereka, tiba-tiba saja telah terbentur pada kenyataan lain. Prajurit-prajurit Singasari seakan-akan lelah menemukan kekuatannya yang baru dengan hadirnya beberapa orang anak muda itu.

Semakin lama semakin ternyata bahwa para prajurit Singasari akan berhasil menguasai keadaan. Mahisa Agni yang berada di dalam satu kelompok bersama Mahendra dan anak-anak muda itu, seakan-akan merupakan kelompok hantu yang lapar, yang menyebarkan maut di segenap penjuru. Setiap sudut yang mereka dekati, maka nafas kematian bagaikan dihembuskan di udara di atas arena pertempuran itu.

Empu Purung yang bertempur di bagian lain melawan Mahisa Bungalan pun menjadi gelisah. Perhitungannya atas kekuatan Singasari ternyata lelah keliru. Usahanya memecah pasukannya yang akan menyerang barak dari bagian depan dan bagian belakang, ternyata telah menjebak pasukannya sendiri. Pasukan yang dipimpin Putut Sanggawerdi telah dihancurkan oleh prajurit Singasari yang jumlahnya ternyata lebih banyak dari dua puluh orang saja, karena Empu Purung tidak mengetahui adanya pasukan cadangan yang tersembunyi. Selebihnya Empu Purung tidak memperhitungkan orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dari sekelompok kecil prajurit Singasari seperti lawan yang sedang dihadapinya, Mahisa Agni dan kelompok mautnya, Witantra dan kemampuan prajurit Singasari yang seorang demi seorang jauh berada di atas kemampuan anak-anak muda yang sedang belajar olah kanuragan di padepokanan Empu Purung.

Namun Empu Purung masih mempunyai harapan. Ia ingin membinasakan Mahisa Bungalan, sehingga dengan demikian, maka ia akan dapat mengitari seluruh arena, karena Empu Purung pun masih belum mendapatkan ukuran kemampuan lawannya yang sebenarnya.

Tetapi Mahisa Bungalan ternyata tidak segera dapat di kalahkan. Bahkan ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, tandang Mahisa Bungalan pun menjadi semakin mantap.

Tangannya yang basah oleh keringat, bagaikan mendapatkan kekuatan baru yang dahsyat untuk mengayunkan senjatanya.

Namun Empu Purung pun memiliki kemampuan yang tinggi. Sudah beberapa kali ia mengatakan kepada para cantrik, bahwa ia mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan dengan jari-jarinya.

Meskipun tidak sebenarnya demikian yang dimaksudkan nya, namun Empu Purung memang mempunyai ilmu yang maha dahsyat- Ia mampu memecahkan jantung lawan dengan suara tertawanya. Tetapi di hadapan Mahisa Bungalan ia tidak mendapat kesempatan untuk memusatkan kemampuan ilmunya itu.

Namun Empu Purung tidak berkecil hati. Ia harus menghancurkan Mahisa Bungalan, kemudian ia akan dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan ilmunya itu, dan dengan kemampuan wadag yang sukar dimengerti oleh orang-orang yang tidak berilmu tinggi.

Menghadapi Mahisa Bungalan Empu Purung menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang tuntas kawruh lahir dan batin. Namun Empu Purung masih ingin mencoba, apakah Mahisa Bungalan mampu bertahan terhadap sentuhan ilmu puncaknya, Aji Bajraketi. Aji yang memiliki kekuatan yang dahsyat sekali, seolah-olah merupakan semburan lidah api yang dapat membakar lawannya sampai hangus.

Ketika Empu Purung sudah tidak melihat jalan lain, maka ia pun segera meloncat surut. Dengan kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya atas lambaran ilmunya, maka Empu Purung pun telah membangunkan kemampuannya yang terdahsyat itu pada telapak tanganya.

Wajah Empu Purung menjadi merah, sementara tangannya telah berubah bagaikan bara. Empu Purung justru memindahkan senjatanya di tangan kirinya, sementara tangan kanannya telah siap diayunkannya dengan kekuatan ilmu puncaknya.

Mahisa Bungalan terkejut melihai sikap itu. Ia sadar, bahwa ia akan berhadapan dengan kemampuan aji yang dahsyat. Apalagi ketika terlihat olehnya wajah Empu Purung yang merah dan tangannya yang bagaikan bara api.

Tidak ada kemungkinan lain bagi Mahisa Bungalan dari pada mempersiapkan diri dengan sepenuh kemampuannya. Ia sudah mempelajari berbagai macam ilmu dan menguasai kemampuan beberapa macam aji. Dari ayahnya, dari pamannya dan bahkan dari Mahisa Agni ia telah mempelajari berbagai macam unsur kekuatan.

Menghadapi kekuatan lawan yang nampaknya tidak dapat diabaikan, Mahisa Bungalan telah mengerahkan daya tahannya. ia masih belum mempergunakan ilmunya untuk menyerang. Tetapi ia sekedar membangunkan kekuatan getaran ilmu di seputar dirinya sehingga seolah-olah Mahisa Bungalan telah dikelilingi oleh selapis baja yang tebalnya sejengkal.

Meskipun masih ada juga keragu-raguan apakah daya tahannya akan dapat bertahan atas kekuatan Empu Purung, namun kemudian ia menemukan keyakinan bahwa seandainya lawannya dapat menembus ilmunya, maka kekuatan yang berhasil menerobos daya tahannya itu, tentu tinggal kekuatan yang tidak akan dapat berpengaruh lagi atas dirinya, dalam keadaan wajar sekalipun.

Karena itu, ketika ia melihat Empu Purung bersikap, Mahisa Bungalan justru berdiri diam dengan tangan bersilang di dada.

Saat-saat yang tegang itu pun telah mencengkam arena peperangan. Beberapa orang yang melihat kedua pemimpin dari kedua belah pihak itu bersikap seolah-olah berusaha untuk men hindarkan diri dari pertempuran barang sejenak. Karena kedua belah pihak bersikap serupa, maka perkelahian di arena itu pun seakan-akan telah mereda. Masing-masing ingin menyaksikan apakah yang bakal terjadi, jika Empu Purung telah melepaskan kemampuan ilmu pamungkasnya.

“Gunung akan runtuh dan lautan akan kering,” desis beberapa orang cantrik, “apalagi tubuh manusia yang terdiri dari tulang dan daging yang lunak. Tentu tubuh itu akan hancur menjadi debu.”

Sejenak kemudian, maka arena itu benar-benar telah dicengkam oleh ketegangan. Saat-saat Empu Purung bersiap untuk meloncat.

Para cantrik yang menyaksikan bagaikan membeku. Seandainya pada saat-saat itu lawan mereka menyerang, mereka tidak akan sempat melawan karena mereka ingin menyaksikan ayunan tangan Empu Purung yang bagaikan membara itu.

Mahisa Bungala pun telah siap pula membentengi diri nya. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindar atau membenturkan serangan kemampuan ilmu puncaknya. Namun dengan demikian, Empu Purung benar-benar telah dibakar oleh kemarahan, karena ia menganggap sikap Mahisa Bungalan adalah sikap yang sangat sombong.

Sekejap kemudian, maka setiap orang telah menahan nafasnya. Para cantrik dan bahkan para prajurit Singasari. Mereka dengan tegang menunggu, apakah yang akan terjadi.

Yang terdengar kemudian adalah teriakan nyaring. Empu Purung, telah meloncat sambil mengayunkan tangannya menghantam dahi Mahisa Bungalan.

Setiap orang merasa seolah-olah arus darah di tubuhnya telah berhenti. Dengan tatapan mata yang tidak berkedip mereka menyaksikan, hantaman tangan Empu Purung yang langsung mengenai dahi Mahisa Bungalan.

Ternyata kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat. Mahisa Bungalan yang telah menjajagi ilmu lawannya, dan yang meyakinkan dirinya akan mampu bertahan atas serangan ilmu tertinggi lawannya, telah terkejut. Ternyata ilmu Empu Purung telah melontarkannya sehingga Mahisa Bungalan jatuh terguling di tanah, meskipun ia sadar, bahwa yang terjadi adalah sekedar kekuatan dorongan yang besar. Tetapi sama sekali tidak melukainya-

Dengan serta merta Mahisa Bungalan meloncat berdiri dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Namun demikian, karena serangan lawan langsung menghantam dahinya, terasa juga kepalanya menjadi pening. Matanya bagaikan melihat beribu bintang yang berputaran.

Dengan mengerahkan daya lahir dan batinya, Mahisa Bungalan telah berdiri tegak untuk menghadapi setiap serangan yang bakal datang.

Tetapi ternyata bahwa Empu Purung tidak dapat menyerangnya dengan serta merta. Benturan serangan kekuatan puncaknya atas perlindungan kekuatan yang melindungi tubuh Mahisa Bungalan telah menghentakkannya. Tangannya yang memukul dahi Mahisa Bungalan rasa-rasanya bagaikan menghantam besi baja, sehingga justru karena itu, ia pun telah terpental beberapa langkah surut.

Namun perasaan sakit yang tidak terhingga telah menyengat tangannya yang membara. Ternyata bahwa kekuatan puncaknya tidak berhasil menembus daya tahan Mahisa Bungalan, meskipun ia berhasil melemparkan Mahisa Bungalan sehingga jatuh terguling.

Meskipun demikian, Empu Purung itu pun sadar, bahwa ia telah berhasil mendorong kekuatan Mahisa Bungalan. Itulah sebabnya, maka ia pun segera berusaha memusatkan kemampuannya pada ilmunya kembali. Ia ingin melepaskan aji puncaknya itu sekali lagi, pada saat ketahanan ilmu Mahisa Bungalan belum sepenuhnya dapat dibangunkan kembali.

Namun agaknya Mahisa Bungalan pun menyadari. Ia tidak mau dilemparkan sekali lagi oleh lawannya. Jika pemusatan daya tahannya belum sampai kepuncaknya, maka serangan yang sama akan dapat meretakkan tulang kepalanya.

Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan tidak mau lagi sekedar bertahan saja menghadapi Empu Purung. Pada saat Empu Purung mempersiapkan serangannya yang kedua, maka Mahisa Bungalan pun telah bersiap pula.

Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan benturan kekuatan itu pun rasa-rasanya lelah membeku. Kepala mereka menjadi pening, seolah-olah kepala merekalah yang telah membentur kekuatan tangan Empu Purung.

Namun dalam pada itu, para cantrik pun telah dihinggapi oleh keheranan yang tajam, melihat Mahisa Bungalan yang masih mampu bangkit dan bersiap untuk bertempur. Mereka mengira bahwa kepalanya tentu akan pecah, seperti pecahnya pintu gerbang barak para prajurit Singasari. Apalagi serangan itu telah dilambari oleh kekuatan yang tentu lebih dipersiapkan.

“Agaknya Empu Purung menganggap lawannya terlampau lemah” berkata para cantrik, “sehingga ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya.”

“Ya. Dan agaknya Empu Purung akan mengulanginya. Yang kedua itulah yang akan menentukan. Anak itu tentu tidak hanya sekedar terlempar dan terbanting jatuh. Tetapi ia akan pecah menjadi potongan tulang, dan seonggok daging yang akan menjadi makanan binatang buas di malam hari.”

Sekali lagi ketegangan telah memuncak. Para prajurit Singasari pun menjadi ragu-ragu terhadap kemampuan daya tahan Mahisa Bungalan.

Sejenak kemudian arena pertempuran itu telah dicengkam oleh suasana yang tegang. Kedua orang yang berhadapan itu telah memusatkan segenap ilmunya. Ternyata bahwa Empu Purung tidak berbasil menyerang saat-saat Mahisa Bungalan masih belum siap melawannya. Justru nampaknya Mahisa Bungalan telah mendahului lawannya, bersiap untuk bukan saja bertahan, tetapi bahkan menyerang.

Sesaat kemudian, maka setiap jantung rasa-rasanya telah berhenti berdetak. Mahisa Bungalan sengaja menunggu saat Empu Purung yang disebut memiliki kemampuan yang dapat menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan itu meloncat menyerangnya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Pada saat itu pulalah Mahisa Bungalan telah meloncat pula.

Sekejap kemudian, maka terjadilah benturan yang dahsyat antara dua kekuatan puncak dari dua orang yang memiliki kemampuan jauh di atas orang kebanyakan. Benturan yang bagaikan guruh bersabung di udara.

Mahisa Bungalan yang membentur kekuatan Empu Purung dengan kekuatan yang dipersiapkan untuk menyerang, nampaknya masih terdorong pula beberapa langkah surut. Tetapi ia tidak lagi jatuh dan berguling di tanah. Bahkan ia masih dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia masih tetap berdiri tegak meskipun terasa tubuhnya tiba-tiba saja menjadi gemetar. Kekuatan yang kurang dikenalnya, tetapi sebagai bara yang menjalar dari titik sentuhan kekuatannya dengan kekuatan Empu Purung menelusur di sepanjang urat-urat darahnya.

Mahisa Bungalan sadar, bahwa kekuatan itu tentu kekuatan yang berbahaya, yang akan dapat menghanguskan jantung, Cepat atau lambat. Karena itu, maka ia pun kemudian justru meloncat surut. Dikerahkannyalah daya tahan tubuhnya untuk melawan arus yang akan dapat mencelakakannya, bahkan mungkin nyawanya.

Terasa bahwa dengan mengerahkan daya lahannya, getaran panas itu menjadi semakin lambat, dan bahkan kemudian berhenti. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan berusaha untuk mendorong kekuatan yang memanasi jalur darahnya itu kembali ke tempatnya untuk kemudian dilontarkannya keluar.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan dengan cemas berusaha menguasai getaran panas di daiam dirinya, maka Empu Purung sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Benturan itu ternyata telah melemparkannya beberapa langkah surut. Bukan saja tangannya yang menjadi sakit karena daya tahan Mahisa Bungalan, tetapi hentakan kekuatan Mahisa Bungalan yang menyerangnya telah menghantam tubuhnya, menggetarkan isi dadanya. Rasa-rasanya jantungnya telah rontok dan tulang-tulang iganya berpatahan.

Beberapa saat ia masih dapat bertahan berdiri di atas kedua kakinya. Tetapi rasa-rasanya kakinya sudah tidak bertulang lagi. Perlahan-lahan ia terjatuh pada lututnya, sementara itu, dan mulutnya telah meleleh darah yang merah menitik di atas tanah.

Empu Purung terbatuk beberapa kali. Ternyata bahwa ia tidak lagi dapat melawan hadirnya maut yang merenggut nyawanya. Ia tidak berhasil menghancurkan lawannya, tetapi justru sebaliknya. Mahisa Bungalan yang masih muda itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak dapat dilawannya. Kekuatan ilmunya, yang diharapkan akan dapat menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan, ternyata hancur luluh terbentur kekuatan ilmu anak muda itu.

Empu Purung itu pun kemudian bersandar pada kedua tangannya. Namun hanya beberapa saat. Ia masih sempat memandang Mahisa Bungalan dengan sorot mata kemarahan dan dendam. Namun mata itu pun kemudian redup dan padam.

Empu Purung jatuh terbaring di atas tanah. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Mati.

Sejenak para cantriknya bagaikan dicekik oleh kejutan yang tidak disangka-sangkanya sama sekali.

Empu Purung, orang yang mereka anggap tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapun juga itu, kini terkapar di tanah tanpa dapat bergerak lagi.

Mahisa Bungalan masih berdiri sesaat memperbaiki keadaan tubuhnya. Perlahan-lahan ia pun kemudian berhasil melontarkan getaran panas dari dalam dirinya, sehingga tubuhnya terasa menjadi segar kembali meskipun di beberapa bagian masih terasa sakit-sakit yang menyengat.

Sejenak kemudian, maka para prajurit yang melihat kenyataan itu pun segera menyadari keadaan. Dengan sigapnya mereka kembali mengacukan senjatanya.

Namun dalam pada itu, para cantrik serta anak-anak muda yang berada di bawah pengaruh Empu Purung, rasa-rasanya tidak lagi mempunyai kekuatan. Sandaran mereka seolah-olah telah patah, sehingga karena itu, maka mereka masih saja berdiri termangu-mangu. Dibagian lain mereka melihat Putut Snggawerdi yang tersandar pada sebatang pohon tanpa dapat berbuat sesuatu lagi, sementara Putut yang masih muda, Kuda Widarba telah kehilangan kesempatan untuk menang.

Kekalahan Empu Purung ternyata telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Dibagian lain dari arena itu, Putut Kuda Widarba pun melihat dan mendengar sorak prajurit Singasari yang meneriakkan kematian Empu Purung, sengaja untuk mempengaruhi perlawanan para cantrik.

“Apakah kau akan melawan terus?” bertanya Senapati prajurit Singasari yang bertempur melawan Putut yang muda itu.

Putut Kuda Widarba termangu-mangu. Ia benar-benar sudah kehilangan harapan. Di arena pertempuran yang lain, tidak ada kekuatan lagi sementara ia serdiri harus menghadapi tekanan Senapati prajurit Singasari yang tidak dapat dilawannya. Apa lagi jika ia melihat anak-anak muda yang aneh yang bertempur melawan para cantrik di dalam lingkaran perkelahiannya.

“Mereka tentu memiliki kemampuan yang tidak terhingga, sehingga mereka dengan mudah bertahan dan bahkan menghalau lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak” berkata Putut Muda Widarba itu di dalam hatinya.

“He, kenapa kau menjadi bingung?” bertanya Senapati prajurit Singasari, “pemimpinmu, Empu Purung telah terbunuh dalam pertempurannya melawan Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam. Nah, apakah kau akan tetap berkeras untuk bertempur terus, sehingga kau akan mengalami nasib seperti kawanmu yang tersandar sebatang pohon tidak berdaya lagi itu? Atau barangkali kau ingin menyusul Empu Purung?”

Putut Kuda Widarba menarik nafas dalam-dalam Kemudian sambil memberikan isyarat kepada orang-orangnya ia melepaskan senjatanya. Katanya “Aku menyerah. Aku sudah kehilangan semua kesempatan.”

Senapati prajurit Singasari itu mengangguk-angguk. Katanya

“Perintahkan setiap orang di dalam pasukanmu meletakkan senjatanya. Perintahkan mereka berkumpul dan tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan salah paham.”

Putut Kuda Widarba pun kemudian memanggil semua orang-orangnya yang tersisa, memerintahkan mereka meletakkan senjata dan berkumpul di tempat terbuka.

Sejenak para prajurit mengumpulkan senjata mereka dan kemudian dengan senjata telanjang berdiri melingkari orang-orang yang sudah menyerah dan dikumpulkan di tempat terbuka. Para tawanan itu harus duduk beradu punggung dalam dua baris melingkar bersusun semakin kecil kedalam.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengamati mereka dengan kerut merut di kening. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu di sebelahnya.

“Aku belum berbuat apa-apa” bisik Mahisa Pukat di telinga Mahisa Murti, “tiba-tiba saja mereka sudah menyerah.”

Ternyata Ranggawuni yang juga masih muda itu mendengarnya. Sambil tersenyum ia berkata perlahan-lahan, “Lain kali kau akan mendapat kesempatan. Tetapi di tempat yang lain.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun wajahnya yang kemerah-merahan itu pun tertunduk dalam-dalam.

Mahisa Agni yang kemudian berdiri di sebelah para tawanan itu pun memberikan sedikit keterangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi, ia berusaha untuk menyentuh perasaan tawanan-tawanannya, bahwa yang mereka lakukan selama itu adalah langkah yang keliru.

Ternyata sebagian besar dari mereka tidak tahu pasti apakah yang sebenarnya mereka lakukan. Namun dengan demikian mereka menyadari, bahwa langkah mereka adalah langkah yang sebenarnya sangat berbahaya.

“Tugas kami sudah selesai di tempat ini. Tetapi belum di tempat lain” berkata Mahisa Agni, “karena Empu Baladatu telah mempersiapkan tindakan-tindakan serupa dengan banyak tempat”

Para tawanan itu mengangguk-angguk.

“Nah, kita akan bersama-sama pergi ke Kota Raja. Perjalanan yang agak jauh, tetapi mungkin akan sangat menarik. Tidak semua dari kalian akan pergi. Anak-anak muda yang sesat langkah akan kami serahkan kembali kepada Ki Buyut untuk mendapat kesempatan memperbaiki kesesatannya. Kami akan meninggalkan lima enam orang prajurit untuk ikut mengatur kalian.” berkata Mahisa Agni, “tetapi kalian harus sadar, bahwa kalian harus membantu para prajurit itu di dalam usahanya. Karena prajurit-prajurit itu adalah kekuatan Singasari sendiri. Setiap sentuhan terhadap mereka dengan kekerasan, akan menghadapkan kekuatan itu kepada kekuatan prajurit Singasari.”

Para tawanan itu mengangguk-angguk.

“Kami akan berada di sini untuk satu dua hari. Kami akan bersama-sama dengan Ki Buyut, memilih di antara kalian, siapakah yang harus mempertanggung jawabkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara yang lain akan mendapat perlakuan yang khusus” Mahisa Agni meneruskan.

Sementara itu, selagi para cantrik dan anak-anak muda yang berada di bawah pengaruh mereka mendapat penyelesaian sesuai dengan tingkat perbuatan masing-masing, maka di beberapa tempat lain, orang-orang yang menghubungi Empu Baladatu telah menyampaikan persoalannya, bahwa di Alas Pandan benturan kekuatan tidak mungkin dapat ditunda lagi.

Empu Baladatu memandang penghubung itu dengan wajah yang tegang. Dengan suara yang bernada dalam ia berkata, “Kesalahan itu akan berpengaruh besar sekali. Aku harus bertindak tergesa-gesa. Jika tidak, maka semuanya akan hancur sama sekali.”

Penghubung itu sama sekali tidak menyahut. Mereka menyadari keadaan sepenuhnya. Apalagi ketika kemudian Empu Baladatu memberikan alasan-alasan yang masuk akal atas rencana yang besar.

“Tetapi itu sudah terjadi” geram Empu Baladatu, “kekasaran sifat Empu Purung dan cantrik-cantriknya telah menyeret aku kedalam kesulitan. Aku sekarang harus menyesuaikan diri. Semua persiapan harus dipercepat, dan gerakan dalam keseluruhan harus mulai mengguncang Singasari meskipun rencana di dalam keseluruhan belum masak. Aku dengan tergesa-gesa harus mengatur hubunganku dengan Linggapati, orang Mahibit itu.”

Penghubung itu masih tetap berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan, karena ia hanya sekedar membawa pesan dari Empu Purung untuk Empu Baladatu.

Penghubung itu mengerutkan keningnya ketika Empu Baladatu kemudian berkata, “Kembalilah secepatnya. Jika kau sudah tidak lelah lagi dan kudamu sudah cukup beristirahat. Katakan kepada Empu Purung, bahwa kami tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti ketergesa-gesaan itu. Tetapi jaga sebaik-baiknya agar Empu Purung dapat menyelesaikah tugas sampai tuntas di daerahnya. Tidak seorang, prajurit Singasari pun yang boleh tetap hidup. Dengan demikian maka waktu akan bertambah panjang satu dua hari.”

Demikianlah penghubung yang membawa pesan Empu Purung itu pun kemudian minta diri setelah beristirahat secukup nya. Ia tidak menghitung kelelahan yang akan mencengkamnya, karena ia sadar, bahwa tugas yang dibawanya adalah tugas yang penting.

“Kita dapat beristirahat di jalan apabila kuda-kuda kita menjadi sangat lelah” berkata salah seorang dari para penghubung itu.

Yang lain tidak membantah, sehingga mereka pun tidak menunggu terlampau lama. Setelah semua pesan diberikan oleh Empu Baladatu, maka para penghubung itu pun segera kembali kepadepokan Empu Purung.

Namun sementara itu, padepokan Empu Purung telah kosong. Ketika mereka mendekati padepokan itu dari perjalanan jauh yang ditempuh dalam waktu yang cukup panjang, dengan melalui malam-malam di perjalanan, ternyata mereka tidak menemukan lagi kekuatan yang mereka banggakan saat mereka berangkat. Prajurit Singasari telah membawa sebagian dari kawan-kawan mereka ke Singasari, justru orang-orang terpenting. Sedang yang lain, setelah melalui beberapa pilihan, mereka ditinggalkan dengan pengawasan yang saksama.

“Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya penghubung itu kepada seorang cantrik yang tetap ting gal di padukuhan.

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi.” jawab cantrik itu, “ada beberapa orang prajurit tinggal di banjar”

“Beberapa orang?”

“Lima orang.” jawab cantrik itu.

“Hanya lima orang. Kita akan dapat membinasakannya.”

Tetapi cantrik itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan semudah itu. Lima orang itu adalah lima orang yang tinggal di sini. Jika terjadi sesuatu, maka kita semua akan binasa, karena Singasari akan mengirimkan kekuatan yang berlipat seratus kali”

“Bodoh kau. Kita bunuh mereka, sementara itu kita meninggalkan padepokan ini dan bergabung dengan kekuatan Empu Baladatu.”

Cantrik itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita sama sekali tidak mempunyai kekuatan apapun lagi di sini.”

“Ada beberapa orang masih tinggal di padepokan. Dan apakah semua pengikut kita yang lain dibunuh?”

“Tidak. Ada di antara kita yang terbunuh dalam peperangan. Diantara yang tidak tertolong lagi adalah Empu Purung sendiri. Ada pula di antara kita yang terlawan dan di bawa ke Kota Raja. Putut Sanggawerdi yang terluka parah dan Putut Kuda Widarba termasuk di antara mereka.”

“Jadi tentu ada yang tinggal bersamamu di sini selain yang ada di padepokan. Anak-anak muda padukuhan dapat kita gerakkan.”

Cantrik itu menggeleng. Katanya, “Jangan ganggu mereka lagi. Mereka masih terlalu muda. Biarlah mereka menemukan jalan hidup yang wajar. Peristiwa ini agaknya telah memberikan kesadaran baru bagi mereka.”

“O” desis salah seorang dari penghubung itu, “kau sangka kau sekarang sudah menjadi seorang pendeta yang menekuni tingkah laku seseorang dan membedakan baik dan buruk?”

“Aku tidak. Aku masih tetap seorang yang berlumuran dengan noda. karena aku sudah terlampau sulit uniuk membersihkan diri. Tetapi anak-anak muda itu masih mempunyai kesempatan.”

“Apa peduliku dengan kesempatan-kesempatan itu. Itu adalah omong kosong. Kau mengira bahwa dengan demikian kau akan menjadi pahlawan yang tegak membela kebaikan melawan keburukan.”

“Tidak. Sudah aku katakan, tidak berlaku bagiku sendiri.”

“Persetan. Aku akan menemui mereka seorang demi seorang. Aku akan mengajak mereka membunuh kelima orang prajurit itu. Kemudian kami semuanya akan melarikan diri dan berpihak di satu medan dengan Empu Baladatu yang mulai menggerakkan semua pengikutnya di seluruh Singasari.”

“Tidak ada gunanya. Beberapa kali prajurit-prajurit itu sudah memberikan pengertian yang mendasar kepada mereka. Kau akan datang ke sasaran yang salah, karena mereka segera akan melaporkan kau kepada para prajurit.”

Wajah penghubung itu menjadi merah padam. Dengan marah salah seorang dari mereka menggeram, “Kau mencoba menakut-nakuti aku pengkhianat. Kenapa kau sendiri tidak membantuku, justru berusaha mencegahku?”

“Kau jangan salah paham. Jika kau melakukannya, maka kau akan kehilangan waktu dan tenaga sia-sia, bahkan akan dapat membahayakan jiwamu dan yang masih tersisa di padepokan ini.”

Ketegangan di wajah para penghubung itu menjadi semakin memuncak. Dengan kasar salah seorang berkata, “Aku tidak peduli. Aku akan membunuh kelima orang prajurit yang teiah menghancurkan padepokan ini.”

Kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Para penghubung yang baru datang dari padepokan Empu Baladatu itu tidak melihat sendiri apa yang telah terjadi. Karena itu agaknya sulit bagi mereka untuk membayangkan, bagaimana mungkin prajurit Singasari yang jumlahnya hanya sedikit di barak itu dapat menghancurkan seluruh kekuatannya. Dan dalam waktu yang sangat dekat sudah berubah sikap para cantrik dan anak-anak muda di Alas Pandan.

“Aku akan bertindak segera” berkata salah seorang penghubung itu, “jika kita bertindak cepat, mungkin kita masih dapat menyelematkan kawan-kawan kita yang, mereka bawa ke Singasari.”

“Jangan bermimpi” jawab cantrik itu.

“Kau memang pengecut. Lihat, jejak orang-orang Singasari itu tentu masih jelas. Mereka belum terlalu jauh. Jika kita mampu mengatur diri, kita tentu akan dapat berbuat banyak.”

“Kau mengigau.”

“Kaulah yang pengecut” bentak penghubung itu.

“Apakah kau tidak mempercayai kami, bahwa kami telah bertempur sebaik-baiknya melawan prajurit Singasari? Apa kah kau tidak mempercayai lagi Empu Purung yang terbunuh di peperangan itu? Ia sendirilah yang memimpin kami dan mengatur gelar yang kami pergunakan untuk menyergap prajurit-prajurit Singasari. Tetapi justru kamilah yang telah masuk kedalam suatu keadaan yang tidak menguntungkan.”

Para penghubung itu termangu-mangu.

“Nah, aku peringatkan, kau harus menyadari, bahwa Empu Purung sendiri tidak mampu berbuat apa-apa. Pasukan Singasari itu aku kira memang belum terlalu jauh. Jika kau memaksa diri untuk menyusul mereka, sebentar saja kau tentu sudah berhasil. Tetapi jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka nyawamu akan segera tercabut dari tubuhmu.”

Penghubung itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Aku memang tidak dapat menyusul mereka. Tentu jumlahnya terlalu banyak. Aku akan membunuh yang lima orang, yang mereka tinggalkan di banjar.”

“Itu pun tidak ada gunanya. Kau tidak akan berhasil.”

“Aku akan berhasil. Lihatlah. Jika kau benar-benar berhati kerdil, jangan ikut campur. Tetapi jangan pula berkhianat dengan menyampaikan rencanaku kepada mereka”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Daerah ini baru saja ditinggalkan oleh prajurit-prajurit Singasari. Setiap orang mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat menempuh kehidupan baru, termasuk anak-anak muda itu.”

“Termasuk kau” potong salah seorang penghubung itu.

“Ya. Termasuk kami di sini., “jawab cantrik itu, “karena itu jangan kau guncang lagi daerah ini dengan tingkah lakumu yang tidak menentu itu.”

Para penghubung itu menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika kau tidak berani berbuat sesuatu, tidur sajalah. Tetapi jangan memperkecil arti kedatanganku sekarang ini. Aku akan membangunkan yang rasaanya telah pingsan.”

Baiklah. Aku akan berdiam diri di padepokan bersama beberapa orang yang telah melihat sendiri peristiwa yang telah terjadi tanpa memperkecil arti Empu Purung yang telah terbunuh di pertempuran.”

Kedua orang yang baru datang dari padepokan Empu Baladatu setelah menempuh perjalanan yang panjang itu menggeram. Ternyata cantrik itu sama sekali tidak dapat diharapkan nya lagi.

“Kita menunggu saat yang sebaik-baiknya” berkata salah seorang dari penghubung itu.

“Jika malam mulai gelap, kita akan menghubungi anak-anak muda yang masih tersisa. Jumlah mereka tentu masih cukup banyak untuk melawan lima orang prajurit itu”

Dendam yang membara agaknya telah membakar jantung para penghubung itu, sehingga mereka tidak dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain daripada membunuh kelima orang prajurit yang tinggal di banjar.

Demkianlah, ketika malam tiba, maka kedua orang penghubung itu meninggalkan padepokannya Mereka pergi ke padukuhan untuk menghubungi anak-anak muda yang masih tinggal. Yang terlepas dari maut di medan pertempuran, namun yang tidak ikut dibawa oleh prajurit-prajurit Singasari.

Hanya nama-nama mereka sajalah yang dapat diberikan oleh cantrik yang tinggal di padepokan. Selebihnya, para cantrik itu tidak mau ikut campur lagi.

Tetapi nama-nama yang didapatkan oleh kedua penghubung itu adalah nama-nama mereka yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk ikut serta dalam gerakannya membunuh kelima orang prajurit itu. Meskipun demikian, mungkin anak-anak muda itu dapat membantunya menemukan orang-orang yang dibutuhkan nya.

“Mungkin cantrik itu telah menyembunyikan sesuatu agar usaha kita gagal” berkata salah seorang penghubung itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka berpengharapan bahwa jika mereka sempat menemui salah seorang, dari anak-anak muda di padukuhan, mungkin mereka akan mendapat jalan yang lebih baik.

Dengan ragu-ragu mereka mendatangi salah seorang anak muda yang namanya disebut oleh cantrik yang tinggal di padepokan. Anak muda yang lolos dari maut, dan tidak ikut serta dibawa oleh prajurit Singasari.

Tetapi ternyata cantrik itu menjadi heran ketika ia bertemu dengan anak muda itu. Jauh dari harapannya yang semula masih tersimpan di dalam dadanya.

Ketika para penghubung itu mengetuk pintu, mereka masih berpengharapan bahwa rencananya akan berjalan lancar. Tetapi ternyata, ketika pintu itu terbuka, ia melihat seorang anak nuda yang berwajah pucat dan lesu. Matanya redup penuh tekanan batin.

“Kau Laleyan “ bertanya salah seorang penghubung itu Anak muda itu mengangguk. Jawabnya dengan suara yang dalam, “Ya. Aku Laleyan.”

“Apakah kau masih mengenal aku?” bertanya penghubung itu.

“Ya. Aku masih mengenalmu. Kau adalah cantrik peng hubung yang mendapat tugas pergi kepadepokan Empu Baladatu”

Penghubung itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Bagus-Kau masih ingat. Karena itu agaknya kesadaranmu masih utuh.”

“Ya. Aku tidak gila” sahut anak muda yang bernama Laleyan itu.

“Maksudku, kau tentu masih seorang anak muda yang perkasa.”

“Maksudmu?”

“Aku sudah mendengar semuanya tentang peristiwa pedih yang terjadi atas padepokan Empu Purung. Bahkan Empu Purung sendiri telah terbunuh.”

“Ya. Empu Purung telah terbunuh.”

“Benar. Dan sekarang, apakah yang akan kita perbuat justru saat Empu Purung sudah terbunuh?” bertanya salah seorang penghubung itu.

Anak muda itu menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya

“Apa yang harus kita lakukan? Justru Empu Purung sudah tidak ada lagi, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”“

“Tidak” sahut salah seorang penghubung itu, “kita masih mempunyai kesempatan untuk melepaskan dendam kita. Bukankah kelima prajurit itu ditinggalkan.”

“Ya. Prajurit-prajurit Singasari baru saja meninggalkan padukuhan dan padepokan kita. Lima orang di antara mereka tetap tinggal untuk membantu kita semuanya memulihkan keadaan di daerah ini.”

“Memulihkan keadaan?” bertanya penghubung itu.

“Ya. Memulihkan keadaan. Selama ini keadaan kita di sini tidak menentu. Kami tidak pernah melakukan tugas kami selaku anak-anak muda di padukuhan. Kami seolah-olah telah melupakan diri kami sendiri dan terbenam kedalam sikap dan tingkah laku yang tidak kami mengerti”

“Laleyan,” potong salah seorang dari penghubung itu, “ternyata dugaanku salah. Aku kira kau benar-benar masih menyadari dirimu sebagai seorang murid Empu Purung. Tetapi ternyata kau tidak lebih dari seorang pengecut, yang licik. Kau sama sekali tidak merasa kehilangan atas gugurnya Empu Purung yang selama ini menjadi tumpuan kita semuanya.”

Anak muda yang bernama Laleyan itu termangu-mangu. Tetapi ketika di dalam samarnya sinar lampu minyak ia melihat sorot mata kedua penghubung itu bagaikan menyala, maka hatinya menjadi kecut.

“Laleyan” berkata salah seorang penghubung ilu, “aku tidak mau melihat salah seorang murid Empu Purung bersikap seperti perempuan cengeng. Kau harus berani membalas dendam atas kematian maha gurumu. Kelima prajurit itu harus kita binasakan. Kita adalah murid-murid dari seorang maha guru yang perkasa Karena itu, kita tidak boleh takut dan cemas menghadapi siapapun juga.”

“Laleyan” berkata salah seorang penghubung itu, “akan tetapi ternyata bahwa maha guru kita telah terbunuh. Ternyata bahwa kemampuan maha guru kita tidak dapat menyamai kemampuan prajurit Singasari. Apalagi kita, mungkin kalian masih memiliki kelebihan. Tetapi aku?”

Wajah kedua penghubung itu menegang. Mereka, memang tidak dapat ingkar, bahwa Empu Purung telah terbunuh. Empu Purung yang semula mereka anggap dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan dengan kekuatan jari-jarinya, ternyata telah mati di bunuh oleh prajurit Singasari. Jika benar Empu Purung memiliki kemampuan yang sedahsyat itu, maka betapa besar kemampuan prajurit Singasari yang berhasil membunuhnya.

Kedua penghubung itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian yang seorang menggeram, “Itu hanya suatu kebetulan. Mungkin Empu Purung lengah, atau menganggap lawannya terlampau lemah, sehingga ia tidak mempergunakan semua kekuatan dan aji serta ilmunya.”

“Pertarungan itu dahsyat sekali” jawab Laleyan, “adalah kebetulan bahwa aku dapat menyaksikannya. Kedua telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada. Benturan ilmu yang berulang, kali, membuat Empu Purung menjadi semakin lemah sehingga akhirnya ia terjatuh tidak berdaya.“

“Gila. Kau mengigau.” bentak salah seorang dari ke dua penghubung itu.

“Aku berkata sebenarnya. Aku tidak dapat mengatakan, apakah ilmu prajurit-prajurit yang tinggal di banjar itu sedikitnya menyamai ilmu prajurit yang telah membunuh Empu Purung itu.”

“Tetapi tidak. Orang itu tentu Senapati tertinggi dari Singasari.”

“Bukan. Senapati pasukan kecil prajurit Singasari itu telah bertempur dan melumpuhkan Putut Sanggawerdi, kemudian langsung melawan Putut Kuda Widarba.”

“Gila, gila. Kau bermimpi buruk anak muda” penghubung itu membentak. Baiklah. Aku tidak akan dapat bekerja bersama dengan seorang pengecut. Nah, sebut sajalah beberapa nama orang-orang yang berani berbuat sesuatu.”

Laleyan memandang kedua penghubung itu dengan hati yang berdebaran. Rasa-rasanya, sepeninggal pasukan Singasari setelah padepokan Empu Purung dilumpuhkan, padukuhan itu mulai merasakan sejuknya ketenangan dan kedamaian hati. Namun kedatangan kedua orang penghubung itu agaknya mulai memanaskan suasana lagi.

Tetapi, Laleyan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak berani mencegah rencana kedua penghubung itu untuk membunuh prajurit Singasari yang ada di banjar.

Selanjutnya Laleyan hanya dapat memandang kedua penghubung itu pergi meninggalkan rumahnya. Dengan nada geram salah seorang dari keduanya berkata, “Aku akan pergi kerumah Sempati.”

Laleyan tidak menjawab. Dibiarkannya saja keduanya menuju kerumah Sempati meskipun hatinya menjadi berdebar-debar.

Menurut pengenalannya Sempati anak muda yang berani. Tetapi agak kurang perhitungan. Ia termasuk salah seorang dari anak-anak muda yang masih hidup.

Laleyan yang kemudian menutup dan menyelarak pintu itu pun kembali kepembaringannya Namun ia tidak dapat segera tidur. Rasa-rasanya ada sesuatu yang memberati perasaannya. Seakan-akan ada yang mendorongnya untuk pergi kerumah Sempati.

“Jika aku pergi, mungkin akan terjadi salah paham” berkata Laleyan, “kedua penghubung itu dapat menyangka bahwa aku akan membujuk Sempati untuk menolak ajakan ke duanya. Biar sajalah apa yang akan dilakukan oleh Sempati. Ia cukup dewasa untuk menentukan sikapnya sendiri”

Betapapun kegelisahan membelit hatinya, namun akhirnya Laleyan tertidur juga dengan nyenyaknya.

Tetapi di pagi hari ia terkejut ketika terjadi keributan di muka rumahnya. Ia mendengar beberapa anak-anak muda berdatangan dan berbicara dengan riuhnya.

Dengan tergesa-gesa, bahkan tanpa mencuci muka Laleyan turun kehalaman menjumpai kawan-kawannya yang nampak kebigungan.

“Ada apa?” bertanya Laleyan terbata-bata.

Kawan-kawannya yang melihatnya turun dari rumahnya bekata, “Sempati terbunuh”

“Sempati?” bertanya Laleyan.

“Ya. Ia diketemukan mati di luar dinding halaman ramahnya. Agaknya lelah terjadi perkelahian yang sengit. Tetapi beberapa tusukan terdapat di tubuhnya, sehingga ia tidak dapat diselamatkan.”

“Siapakah yang membunuhnya?” bertanya Laleyan

“Tidak seorang pun yang mengetahuinya.” Laleyan menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat akan kedua orang penghubung yang datang kepadanya. Mereka tentu langsung menemui Sempati.

Karena Laleyan termenung untuk beberapa saat, maka kawan-kawannya pun bertanya, “Apakah kau mengetahui sesuatu tentang Sempati “

“Tidak, aku tidak mengetahui apa-apa.”

Kawannya termangu-mangu- Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah. Kita memberitahukan kepada yang lain.”

“Aku akan mandi dulu. Pergilah. Aku akan langsung pergi kerumah Sempati.”

Sepeninggal kawan-kawannya Laleyan segera mempersiapkan diri. Setelah mandi dan berpakaian, maka ia pun segera berangkat kerumah Sempati.

Dimuka pintu biliknya ia termangu-mangu. Namun kemudian ia meraih pisau belati yang tergantung di dinding, dan menyisipkan di bawah kain panjangnya.

Dengan tergesa-gesa Laleyan pergi kerumah Sempati. Beberapa orang telah sibuk menyelenggarakan tubuhnya yang membeku. Beberapa buah luka terdapat menganga di tubuh yang diam itu.

Laleyan menggeretakkan giginya, la sadar, tidak ada orang lain yang telah melakukannya, kecuali kedua penghubung yang tidak senang melihat ketenangan di padukuhan yang terletak di sekitar padepokan Empu Purung yang telah tidak lagi memancarkan pengaruh apapun sepeninggal Empu Purung sendiri.

Tetapi Laleyan tidak dapat segera berbuat sesuatu, la harus berhati-hati karena ia telah melihat akibatnya. Agaknya Sempati yang kurang perhitungan itu langsung melawan kedua penghubung yang pada masa hidupnya Empu Purung, merupakan cantrik yang termasuk dekat dan memiliki ilmu yang cukup.

“Tetapi apakah anak-anak muda padukuhan ini akan berdiam diri dan membiarkan seorang demi seorang terbunuh?” berkata Laleyan kepada diri sendiri.

Semakin lama rumah Semepati menjadi semakin ramai. Anak-anak muda mulai berdatangan. Baik mereka pernah berada dalam pengaruh Empu Purung, maupun yang tidak. Tetapi anak-anak muda itu sudah mengetahui, bahwa Sempati sudah berjanji untuk merubah tata hidupnya.

Tetapi ia tidak sempat menjalani hidupnya yang sudah dilandasi dengan kesadaran, karena ia telah mendahului kawan-kawannya.

Ibunya menangis meraung-raung. Sempati masih terlalu muda untuk mati. Jika Yang Maha Agung masih niembiarkannya hidup, maka Sempati masih mempunyai banyak kesempatan di hari mendatang.

Tetapi ia sudah mati. Dan ia tidak akan dapat bangkit kembali.

Pada saat-saat penyelenggaraan mayat Sempati, maka Laleyan mencari kesempatan untuk dapat berbicara dengan beberapa orang kawan-kawannya. Bahkan kemudian Laleyan tidak dapat menyembunyikan keadaan yang diketahuinya, bahwa dua orang penghubung telah datang kepadanya untuk mencari dukungan atas sikapnya.....

SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : JILID 35

LihatTutupKomentar