Sepasang Ular Naga di Satu Sarang 19


Kedua anak-anak muda itu rasa-rasanya merasakan sentuhan yang sejuk. Rasa-rasanya kuwajiban yang terberat telah lampau.

Meskipun begitu keduanya mengerti bahwa kewajiban itu sebenarnya tak akan berkurang beratnya. Selagi masih ada persoalan yang tumbuh dalam lingkungannya, maka selama itu kewajibannya justru masih akan berkembang.

“Hubungan yang tali temali itulah.” berkata anak-anak muda itu di dalam dirinya.

Namun mereka pun mengerti, bahwa pada Suatu saat, mereka harus berhasil melihat jarak antara dunia di dalam dirinya, dunia kecil dari keseluruhan pribadinya, dengan dunia yang luas, sehingga mereka masing-masing akan dapat menempatkan diri pada tempat yang benar. Pada waktu dan tempat yang tepat dan seimbang.

Dan ayahnya pun pernah berkata, “Dengan demikian, meskipun kalian tidak akan dapat memecah diri dari kesatuan lingkungan dunia yang luas. karena kalian memang merupakan bagian mutlak daripadanya, namun kalian bukan sekedar permainan putaran dunia yang luas. Jika kalian berhasil, maka kalian justru akan menjadi penggerak dari putaran dunia yang luas di sekelilingmu menurut irama dan nada yang kau kehendaki. Dengan demikian maka kalian akan disebut menjadi orang besar.”

Kedua anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun ayahnya berkata, “Tetapi mungkin hanya ada satu orang di setiap jaman, seseorang disebut orang besar yang karena pengaruh pribadinya justru menjadi penggerak dari dunia luas. Karena itu kalian tidak usah memaksa diri untuk mendapatkan gelar itu. Namun setidak-tidaknya kalian menyadari perjalanan hidup kalian dunia kecil di dalam arus putaran dunia yang besar. Dengan tekun kalian harus berusaha mengurai ikatan tali temali itu, sehingga kalian adalah pribadi-pribadi yang sadar sepenuhnya akan kedudukan kalian, pada waktu dan tempat disatu saat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa sulit bagi mereka untuk dapat menguasai saluruhnya seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tetapi semisal orang berjalan, maka ia telah mendapat petunjuk arah yang harus mereka tempuh.

Namun dalam pada itu, Mahendra masih selalu menyisihkan waktu bagi dirinya sendiri dan bagi kedua anaknya itu untuk menyempurnakan ilmu mereka. Mahendra berusaha untuk menumbuhkan pengalaman bagi anak-anaknya sehingga sifat dan watak dari ilmunya akan segera luluh dalam sikap pribadinya masing-masing.

Dengan demikian maka dalam lingkungan kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap saat telah tumbuh menjadi semakin dewasa dan masak.

Tetapi pada suatu saat, kedua anak-anak muda itu tidak dapat lagi menahan keinginan mereka, sehingga Mahisa Murti telah memberanikan diri bertanya kepada ayahnya. “Ayah, kapan kita pergi menyusul kakang Mahisa Bungalan?”

Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jawabnya, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukankah kalian mendengar sendiri pesan pamanmu Mahisa Agni. Selama ini ayah harus sering menghadap ke istana Singasari. Agaknya Singasari kini memang sedang dibayangi oleh kemuraman. Meskipun Singasari masih ada Senapati yang pilih tanding, tetapi pertimbangan orang lain, seperti ayah yang tinggal di daerah terpencil dan kecil inilah yang tidak dimiliki oleh mereka yang tinggal di Kota Raja. “

Kedua anak-anaknya menjadi kecewa, tetapi mereka tidak dapat memaksa ayahnya untuk pergi menyusul Mahisa Bungalan ketempat yang tidak diketahui, karena mereka memang mendengar pesan Mahisa Agni itu kepada ayahnya.

“Baiklah pada waktu yang dekat kalian akan aku bawa saja ke Kota Raja. Tetapi hati-hatilah. Kalian pernah mengalami perlakuan yang berbahaya. Untunglah kalian masih dapat mempertahankan diri karena orang itu terlampau bodoh. Tetapi peristiwa itu merupakan pengalaman, bukan saja pengalaman bagimu, namun juga pengalaman bagi orang yang sampai saat terakhir tidak diketahui maksudnya dan dari pihak yang mana.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.

Namun demikian Mahisa Pukat masih juga berdesis, “Aku sudah pernah melihat Kota Raja. Sebenarnya perjalanan ke Kota Raja adalah perjalanan kecil dan terlampau dekat.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kau ingin berjalan jauh sekali? Baiklah. Tetapi lain kali, pada kesempatan yang tepat.”

Mahisa Murti yang kecewa tidak menyambung. Tetapi wajahnya nampak suram, betapapun ia berusaha untuk menghapus kesan itu.

Pada saat yang direncanakan, maka Mahendra pun kemudian bersiap-siap membawa kedua anaknya pergi ke Singasari. Tetapi tidak ada yang menarik bagi keduanya. Kota Raja itu pernah di lihatnya. Ramai dan banyak barang-barang yang tidak pernah dilihatnya di daerah kecil itu. Tetapi sebagai pedagang, ayahnya sering membawa barang-barang itu bagi mereka, jika ayahnya pulang dari perjalanan dagangnya.

“He, kenapa kita tidak minta saja kepada ayah untuk ikut berdagang? Dengan demikian kita akan dapat melihat daerah yang jauh dan sekaligus kita belajar membantu ayah.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi ayah sekarang jarang-jarang pergi. Bahkan terikat kepada pesan paman Mahisa Agni.” jawab Mahisa Pukat.

“Tentu tidak, Ayah tentu masih akan selalu pergi mengurus pekerjaannya, meskipun harus dilakukan sambil melakukan pesan paman Mahisa Agni, karena keduanya dapat dilakukan bersama-sama.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menyahut.

Tetapi semuanya itu masih merupakan keinginan bagi kedua anak muda itu. Keduanya masih belum dapat mengatakannya kepada ayahnya, bahwa mereka ingin ikut dalam setiap perjalanan, agar mereka dapat melihat tempat-tempat yang jauh.

Agaknya Mahendra dapat menangkap perasaan kedua anaknya, bahwa ada sesuatu yang tersimpan di dalam hati. Menilik sikap dan kadang-kadang pembicaraan yang terputus, Mahendra menduga bahwa anak-anaknya ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi keduanya tidak berani menyatakannya.

“Tentu bukan keinginan mereka untuk menyusul Mahisa Bungalan.” berkata Mahendra di dalam hati, “Hal itu sudah dikatakannya.”

Tetapi karena Mahendra telah menolak permintaan itu, maka agaknya keduanya tidak berani menyatakan keinginannya yang lain, yang barangkali serupa saja.

Meskipun demikian Mahendra berusaha untuk mengetahui keinginan anaknya itu. Katanya, “Mahisa Murti dan Ma bisa Pukat. Dengan menyesal ayah tidak dapat membawa kalian pergi jauh seperti yang kalian inginkan. Setiap kali ayah harus menghadap ke Singasari sesuai dengan pesan pamanmu Mahisa Agni, dan di hari-hari yang terluang, ayah harus mengurus pekerjaan ayah. Meskipun pekerjaan itu tidak seberat pada saat-saat ayah merintis hubungan dagang dengan orang-orang tertentu, tetapi ayah juga tidak akan dapat mengabaikannya sama sekali, agar hubungan itu tetap terjalin. Tetapi barangkali kalian berdua masih mempunyai keinginan lain yang barangkali dapat aku penuhi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan ragu-ragu Mahisa Murti berkata, “Ayah, memang ada keinginan kami untuk memohon sesuatu kepada ayah. Tetapi kami agak takut, karena persoalannya memang hampir serupa dengan keinginan kami untuk pergi jauh sekaIi, tidak sekedar pergi ke Kota Raja.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Katakan. Barangkali aku dapat mempertimbangkan.”

“Ayah.” berkata Mahisa Murti. Namun nampaknya ia masih saja ragu-ragu. “Apakah ayah dapat mempertimbangkan, agar kami pada suatu saat diperkenankan mengikuti ayah dalam perjalanan dagang. Bukankah dengan demikian kami akan dapat mempelajari seluk beluknya dan pada suatu saat dapat membantu ayah?”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kalian memang cerdik. Tetapi perjalanan ayah adalah jarang sekali ayah lakukan. Seperti kalian mengetahui ayah hanyalah pedagang perantara yang membawa barang-barang berharga dan batu-batu yang bernilai tinggi itu dari mereka yang memperdagangkannya di satu tempat ke tempat yang lain dengan sekedar mendapat pembagian keuntungan?”

“Tetapi itu adalah tugas yang berat ayah. Bukankah pada suatu saat ayah datang lagi kepada orang itu untuk mengambiI sisa barang yang tidak terjual dan uang hasil penjualan itu atau barang-barang lain yang bernilai sama?” sahut Mahisa Pukat.

Mahendra masih tertawa.

“Ternyata kau sudah mengetahui serba sedikit pekerjaan ayah.”

“Ya. Itu adalah tanggung jawab yang kadang-kadang harus dilambari dengan kemampuan bertempur.”

“Ah.” potong Mahendra, “Itu tidak mutlak. Jika kita pandai membawa diri, maka kemungkinan terjadi kekasaran itu kecil sekali. Ayah berhubungan dengan orang-orang yang sudah ayah kenal dengan baik dan dapat dipercaya, sehingga perselisihan mengenai hal itu dapat dibatasi sampai sekecilnya, bahkan hampir dapat dikatakan, bahwa ayah tidak pernah melakukan kekerasan dalam persoalan ini. Bahkan pada saat-saat tertentu, jika ayah terlibat dalam persoalan yang memerlukan waktu yang agak panjang, bersama paman-pamanmu Mahisa Agni dan. Witantra, persoalan barang-barang itu tidak pernah menimbulkan kesulitan apapun.”

“Tetapi di perjalanan ayah dapat bertemu dengan penyamun.” potong Mhisa Murti.

“Ya.” Mahendra mengangguk-angguk.

“Karena itulah, maka jika ayah mengijinkan, kami ingin ikut dalam perjalanan ayah itu. Barangkali kami pada suatu saat dapat membantu ayah. Jika kami sudah dikenal oleh kawan-kawan ayah itu, maka kami berdua dapat melakukan sebagian kecil dari tugas ayah.”

“Kalian memang cerdik.” berkata Mahendra, “Baiklah. Pada suatu saat kalian akan aku bawa.”

“Pada suatu saat.” desis Mahisa Pukat.

Mahendra tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan kecewa. Pada suatu saat yang pendek. Setelah aku menghadap ke Singasari aku akan pergi. He. apakah kalian jadi ikut ke Kota Raja?”

Kedua anak-anak muda itu menggeleng, seolah-olah mereka telah bersepakat.

Tetapi tiba-tiba saja terbersit kekhawatiran di hati Mahendra meninggalkan kedua anak laki-lakinya. Orang-orang berilmu hitam yang kehilangan orang-orangnya, dan tentu mereka telah mendengar pula sebutan pembunuh orang berilmu hitam bagi Mahisa Bungalan, akan dapat membahayakan anak-anaknya. Karena itu maka katanya kemudian, “Sebaiknya kalian ikut bersamaku ke Kota Raja.”

“Kami menunggu ayah di rumah.” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimana jika ayah langsung pergi mengurusi pekerjaan ayah itu agar ayah dapat menghemat waktu dan perjalanan?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Desisnya, “Apaboleh buat.”

Mahendra tidak dapat menahan tertawanya pula. Katanya, “Aku tidak memaksa. Kalian dapat memilih.”

Kedua anak-anaknya itu berpikir sejenak. Mahisa Murti lah yang kemudian menyahut, “Baiklah ayah, kami akan ikut ke Kota Raja, tetapi dengan harapan untuk terus pergi ke tempat yang jauh. Adalah menyenangkan sekali jika kami akan menyusul kakang Mahisa Bungalan.”

Mahendra pun mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Baiklah. Aku tidak ingin terlalu banyak membuat kalian menjadi kecewa.”

Demikianlah maka Mahendra pun segera mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Kota Raja. Meskipun sebenarnya ia tidak perlu tergesa-gesa, namun ia tidak mau melihat anaknya menjadi jemu di rumah dan berbuat sesuatu yang tidak dikehendakinya.

“Lebih baik aku membawa mereka pergi, daripada mereka pergi tanpa minta ijin terlebih dahulu.” pikir Mahendra.

Perjalanan berkuda yang kemudian mereka tempuh adalah perjalanan yang sama sekali tidak menarik bagi kedua anak muda itu. Seperti orang-orang lain yang bepergian untuk keperluan yang wajar, mereka pergi ke Kota Raja. Bahkan rasa-rasanya perjalanan itu hanya membuang-buang waktu saja.

Di sepanjang jalan, mereka memandang tanah persawahan dengan hati yang kosong. Persawahan yang hampir setiap kali dilihatnya. Bahkan ketika mereka memasuki hutan pun , mereka sama sekali tidak tertarik kepada kicau burung liar yang berterbangan dari dahan ke dahan.

Mahendra dapat mengerti perasaan kedua anaknya. Karena itu ia pun tidak banyak berbicara, karena setiap kali kedua anaknya hanya menjawab dengan kalimat-kalimat yang pendek.

Pada saat Mahendra dan kedua anak-anaknya mendekati Kota Raja maka di tempat yang agak tersembunyi, beberapa orang sedang berkumpul. Agaknya mereka dengan sengaja mengadakan sebuah pertemuan yang tidak boleh dihadiri oleh orang-orang lain yang bukan lingkungan mereka.

“Jadi orang yang kemudian menyebut dirinya Tapak Lamba itu sudah datang kepadamu?” bertanya seseorang yang agak kekurus-kurusan.

“Ya.” jawab Ki Buyut di Pengasih, “Aku.tidak dapat menahannya lebih lama lagi, karena agaknya ia mempunyai pembicaraan tersendiri dengan orang yang disebutnya bernama Linggapati dan Linggadadi.”

Orang yang agak kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk.

“Menurut orang yang kemudian menyebut dirinya Tapak Lamba itu, Linggadadi adalah orang yang memiliki ilmu yang tiada taranya. Bahkan ia menyebut-nyebut kemungkinan bahwa ilmu orang itu sebanding dengan ilmu orang-orang terkemuka di Singasari.”

Orang yang kekurus-kurusan itu tertawa. Katanya, “Itu sudah berlebih-lebihan. Jika yang dimaksud adalah para Senapati dan Panglima muda yang sekarang sedang berkembang di dalam lingkungan keprajuritan Singasari aku percaya. Tetapi jika yang dimaksud adalah para Senapati dan pimpinan keprajuritan yang tua, seperti Mahisa Agni, Panji Pati-pati dan sebagainya, maka ceritera itu adalah ceritera khayalan saja.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudain katanya, “Aku memang sedang mencoba memperbandingkan. Di padukuhanku pernah hadir orang-orang berilmu hitam. Menurut Tapak Lamba, orang-orang berilmu hitam itu tentu tidak akan dapat mengalahkan Linggadadi, sehingga dengan demikian aku mendapat gambaran kemampuannya.”

“Kau percaya? Apakah orang-orang berilmu hitam itu memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari kemampuanmu dan orang yang kemudian mengganti namanya dengan Tapak Lamba itu?”

“Ya. Meskipun mungkin aku masih dapat mempertahan diri melawan mereka seorang demi seorang. Tetapi setelah mereka bergabung menjadi satu, maka mereka yang berjumlah tiga orang itu benar-benar merupakan kekuatan yang mengerikan sekali.”

“Bagaimana mungkin kau dapat menyelamatkan dirimu dari mereka bertiga?”

“Seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan telah hadir dengan kebetulan. Anak muda itulah yang membinasakan ketiga orang berilmu hitam itu.”

“Mahisa Bungalan anak Mahendra?”

“Ya.”

“Yang kemudian disebut Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu hitam?”

“Ya. Aku juga mendengar bahwa orang berilmu hitam yang berada di dalam Kota Raja ini pun telah dibunuhnya.”

“Dan kau tahu siapa Mahendra?”

“Pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya surut, namanya memang pernah disebut-sebut diantara nama Mahisa Agni dan Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati.”

“Nah. ternyata ingatanmu baik sekali. Bukankah dengan demikian kau dapat membuat perbandingan antara orang orang berilmu hitam, Linggadadi menurut ceritera Tapak Lamba dan Mahendra yang berada dalam satu jenjang dengan Mahisa Agni?”

“Ya.” Ki Buyut mengangguk-angguk, “Aku menjajarkan Linggadadi dengan Mahisa Bungalan. Tidak dengan Mahisa Agni.”

“Nah apa kataku. Tentu harus diperbandingkan dengan anak-anak muda yang sedang berkembang sekarang yang agaknya akan dapat menggantikan kedudukan mereka yang menjadi semakin tua seperti Mahisa Agni. Betapapun saktinya orang itu, dan bahkan dapat disejajarkan dengan tuanku Sri Rajasa, namun ia tidak akan dapat melawan umurnya, sehingga pada suatu saat ia akan menghadapi maut yang dipaksakan oleh ketuaannya, kapan pun saat itu baru akan datang.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia berdesis, “Semuanya telah berkembang dan melimpah kepada yang muda. Tetapi aku belum berbuat apa-apa sekarang ini.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan?”

“Berbuat sesuatu untuk yang muda di padukuhan. Maksudku aku belum mempunyai arti apapun bagi anak-anak kita karena selama ini aku tidak mempunyai suatu kesempatan. Bukan karena aku selalu sibuk, tetapi justru karena aku tenggelam dalam perbuatan yang tidak berarti sama sekali bagi masa depan anak-anak kita.”

“Lalu.”

“Jika saja aku dapat menebus kelambatan itu. Meskipun hanya setitik kecil dari curahan hujan yang deras dari langit, agaknya aku akan merasa berbahagia.” berkata Ki Buyut di Pengasih, “Nah, apakah kalian mengerti? Dan apakah kalian mempunyai perasaan yang sama seperti aku?”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

“Mungkin pada suatu saat Tapak Lamba akan datang kepada kalian dan mengajak kalian ikut didalam gerakan Linggadadi seperti yang pernah dikatakan kepadaku. Memang perbuatan itu mengandung harapan. Bukan saja buat diri sendiri dan masa depan anak-anak kita. Tetapi yang akan terjadi adalah justru pertentangan dan bahkan mungkin pertumpahan darah. Nah. apakah kita masih haus melihat darah tertumpah? Di padukuhanku, saat aku masih berada dibawah pengaruh orang-orang berilmu hitam hidupku benar-benar dilumuri dengan darah sesama, sehingga aku menjadi seperti orang yang tidak mempunyai kesadaran lagi. Lebih berbahaya dari orang gila, karena aku masih sempat mempergunakan akal untuk menjebak orang lain dan memeras darahnya.”

“Kau tentu sudah muak melihat darah.” desis salah seorang kawannya.

“Ya.”

“Tetapi kita adalah prajurit.” berkata yang lain, “Pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya, aku adalah seorang Senapati.”

“Tetapi masa itu sudah lampau, dan kita tidak akan dapat kembali lagi dan merindukannya. Marilah kita melihat masa kini dan masa depan. Apakah kita masih saja bersifat kekanak-kanakan dengan segala macam tingkah. Kita bukan lagi anak-anak muda yang bangga karena telah berani melanggar ketentuan dan larangan-larangan. Kita bukan anak-anak muda yang dengan dada tengadah melihat pertentangan yang tumbuh karena sikap kita yang dungu.”

Kawannya mengyangguk-angguk. Salah seorang dari mereka bertanya, “Jadi apakah yang kau harapkan dari kita?”

“Kawan-kawan.” berkata orang itu, “Kita pertama-tama merasa bersukur bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka tidak dilambari dengan perasaan dendam di dalam hati, selagi mereka memegang pimpinan pemerintahan sekarang ini. Karena itu, kita tidak merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh kecemasan dan ketakutan.”

“Ya. Tetapi kau belum mengatakan maksudmu yang sebenarnya. Mungkin kami dapat mempertimbangkan dengan sebaiknya.”

“Baiklah.” berkata Ki Buyut, “Aku sekarang adalah seorang Buyut disebuah padukuhan terpencil. Semula aku memang bersembunyi di padukuhan itu. Aku menutupi ketakutan itu dengan perbuatan yang aneh-aneh. Yang barangkali sudah aku katakan, melampaui orang gila.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekarang aku seolah-olah sudah terbangun dari mimpi yang mengerikan itu. Dan aku mempunyai keinginan, padukuhanku menjadi padukuhan yang baik. Wajar dan tidak lagi digenangi dengan darah.”

“Apa yang dapat kami lakukan?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku mengharap kalian bersedia tinggal bersamaku. Katakanlah, bersembunyi bersama aku. Tetapi aku percaya bahwa padukuhan akan menjadi padukuhan yang tenang dan damai meskipun sebagian dari penghuninya adalah prajurit-prajurit. Bahkan Senapati-senapati seperti kalian.” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kami akan kembali menjadi manusia-manusia yang kasar dan barangkali liar, dalam sikap yang lain. Kami akan melakukan kekerasan senjata jika ada orang lain yang mengusik padukuhan yang kita bina dengan cita-cita damai dan tenang itu.”

Beberapa orang mengangguk-angguk.

“Aku melihat bahwa kalian masih tetap merasa terasing dan bahkan bersembunyi disini. Tempat yang kita tentukan sebagai daerah pertemuan yang tersembunyi masih saja kalian pertahankan sampai saat ini, setelah sekian lamanya wajah Singisari berubah. Nah katakan, sampai kapan kita akan bertahan dengan keadaan seperti ini?”

Salah seorang dari pada Senapati itu berdesis, “Aku mengerti arah pembicaraanmu. Kau mempunyai daerah baru yang dapat kita jadikan tempat menumbuhkan harapan bagi masa depan kita dan anak-anak kita. Memang kita tidak dapat hidup dalam persembunyian semacam ini terus menerus.”

“Nah. Terserah kepada kalian, apakah kalian dapat menerima tawaranku. Tanah masih cukup luas, karena padukuhanku yang terpencil, yang pernah disebut daerah bayangan hantu itu masih dikelilingi oleh hutan yang lebat dan luas, yang akan dapat dijadikan lapangan penghidupan yang penuh harapan bagi masa depan. Jika kalian bersedia, marilah kita jadikan padukuhan yang dipercayakan kepadaku itu sebagai tanah yang akan kita jadikan Iandasan hidup kita di masa depan. Yang akan kita bina bersama, tetapi juga akan kita pertahankan bersama. Aku menjadi berbesar hati bahwa kita adalah prajurit. Meskipun mungkin seorang-orang kami tidak melampaui kemampuan orang kebanyakan, tetapi bersama-sama kita akan merupakan kekuatan yang tidak terpatahkan. Dan aku yakin bahwa kita tidak akan pernah berbenturan dengan prajurit Singasari.”

Bekas prajurit Singasari pada masa pemerintahan Tohjaya itu merenung sejenak. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diharapkannya.

“Kapankah orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba itu akan datang kepada kami?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku tidak tahu pasti.” jawab Ki Buyut, “Tetapi sudah aku katakan, harapan yang harus dibasahi dengan darah. Dan aku memang sudah muak melihat darah. Kecuali jika terpaksa untuk mempertahankan pedukuhan yang selama ini aku bangun itu.”

Para bekas prajurit itu termangu-mangu.

“Jika kalian ragu-ragu, kalian dapat melihat daerah itu lebih dahulu. Jika kalian ternyata bersikap lain. aku tidak berkeberatan.”

“Ki Buyut.” salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kau bukan sekedar sedang mencari korban untuk menyempurnakan ilmu hitam itu.”

“Apakah masih nampak pada wajahku kebuasan serupa itu? Jika kalian tidak percaya, bahwa aku adalah calon korban dari ilmu itu, yang berhasil diselamatkan oleh Mahisa Bungalan anak Mahendra, bertanyalah kepadanya. Ia tentu masih mengenal aku.”

Bekas prajurit yang mendengarkannya mengangguk-angguk.

“Nah, siapakah yang akan bersedia pergi bersamaku untuk melihat tanah yang akan dapat kalian jadikan tanah harapan itu? Mungkin tiga atau empat orang atau bahkan kalian bersama-sama?”

“Tentu akan menimbulkan kecurigaan.”

“Sudah tentu, seorang demi seorang, atau dua orang berjalan bersama-sama keluar regol Kota Raja. Aku akan menunggu kalian di tempat yang kita tentukan kemudian jika kalian setuju.”

Para Senapati itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Aku bersedia melihat padukuhan itu lebih dahulu bersama beberapa orang kawan.”

“Terima kasih. Aku adalah taruhannya. Jika ternyata kata-kataku ini tidak benar, aku bersedia dipenggal leherku.”

“Jangan berkata demikian. Sebab jika kata-katamu itu tidak benar, kami tidak akan sempat memenggal lehermu, karena kulit kamilah yang. sudah terkelupas lebih dahulu, dan darah kami akan menjadi penyegar ilmu hitam itu.”

Ki Buyut di Pengasih menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil mengangguk ia berkata, “Aku berterima, kasih atas kepercayaan kalian. Baiklah besok kita akan berangkat. Kita tidak akan bersama-sama keluar dari regol Kota Raja agar kita tidak dicurigai.”

Demikianlah di pagi hari berikutnya, Ki Buyut di Pengasih lelah meninggalkan Kota Raja. Berurutan dengan beberapa orang bekas prajurit yang mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka telah menentukan tempat untuk bertemu dan bersama-sama pergi kepadukuhan Pengasih yang pernah disebut daerah bayangan hantu.

Sementara itu, Mahendra dengan kedua anak-anaknya telah berada di Kota Raja. Mereka telah berkesempatan untuk menghadap Maharaja dan Ratu Angabhaya. Tetapi karena tidak ada peristiwa-peristiwa yang penting, sehingga tidak banyak yang mereka perbincangkan selain pesan dari tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agar Mahendra sering datang menghadap untuk kadang-kadang berbicara tentang perkembangan keadaan sebelum Mahisa Agni dan Wirantra kembali. Pendapat Mahendra yang kadang-kadang terasa dekat sekali dengan pikiran-pikiran Mahisa Agni, masih diperlukan oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka di samping pendapat dan pikiran-pikiran para Panglimanya, karena Mahendra adalah orang yang langsung melihat segi-segi kehidupan di luar lingkungan istana dan daerah yang agak jauh karena pekerjaannya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak tertarik hatinya untuk berjalan-jalan berkeliling kota seperti yang pernah dilakukan. Ia tidak mau menjadi sebab timbulnya keributan di dalam kota seperti yang pernah dialaminya. Sehingga dengan demikian, maka mereka hanya mau keluar halaman istana bersama dengan ayahnya.

“Aku mempunyai beberapa keperluan di dalam kota ini.” berkata ayahnya.

“Bukankah ayah sudah menghadap?”

“Tidak dengan Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Lalu.”

“Ayah akan membicarakan masalah pekerjaan ayah dengan beberapa saudagar. Jika kalian ingin ikut, marilah.”

Kedua anaknya mengikutinya saja meskipun mereka tidak begitu berminat. Namun dengan demikian mereka pun telah mulai mengenal beberapa orang langganan ayahnya dan pekerjaan yang dilakukannya.

“Lusa kita lanjutkan perjalanan ini.” berkata ayahnya, “Aku akan pergi ke tempat yang agak jauh. Ke Kediri.”

“Kami ikut ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Bukankah kalian akan mengetahui pekerjaan ayah dan pada suatu saat akan menggantikannya?”

Yang lebih menarik bagi kedua anak-anaknya adalah perjalanan itu sendiri. Meskipun demikian mereka pun senang pula mengenal beberapa orang yang selalu berhubungan dengan ayahnya didalam masalah pekerjaan dagangnya.

“Tetapi tidak terlalu lama. Aku harus segera berada di Kota Raja ini pula.” berkata ayahnya.

Kedua anak Mahendra itu merasa gembira bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk melihat-melihat daerah yang lebih luas. Mereka merasa lebih senang jika ayahnya kemudian mengambil keputusan untuk, menyusul Mahisa Bungalan.

Tetapi Mahendra sudah berkata kepada mereka, bahwa ia harus segera berada di Kota Raja kembali menghadap Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka.

Namun demikian, perjalanan itu sudah cukup memberikan kesegaran baru kepada mereka yang sudah menjadi jemu oleh keadaan mereka sehari-hari yang seolah-olah tidak mengalami perubahan apapun juga.

Sementara Mahendra dan kedua anak-anaknya berkuda ke Kediri, maka Ki Buyut di Pengasih bersama beberapa orang kawannya telah berada kembali di padukuhannya. Dengan bangga ia memperlihatkan sawah yang mulai menghijau meskipun belum begitu luas.

“Sawah ini akan segera berlipat ganda luasnya jika kalian berada di padukuhan ini dan bersedia bekerja keras.” berkata Ki Buyut.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Barangkali itu lebih baik daripada harus bersembunyi tanpa dapat berbuat apa pun juga.”

“Sebenarnya kalian tidak perlu bersembunyi.” berkata Ki Buyut, “Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka tidak berbuat apa-apa atas kita.”

Seorang kawannya menyahut, “Tetapi agaknya memang lebih senang hidup disini.”

“Aku mengharapkan kesediaan kalian tinggal disini. Ada banyak keuntungan. Bagi kalian dan bagi kami yang sudah lebih dahulu tinggal di padukuhan kecil terpencil ini.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

“Padukuhan ini semula merupakan tempat tertutup. Karena aku pun berpendapat seperti kalian. Bersembunyi. Apalagi ketika orang-orang berilmu hitam itu ada disini. Jika kelak kalian tinggal bersama kami, maka padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang terbuka dan akan menjadi semakin lama semakin besar. Kami akan mengembangkannya dan mempertahankannya dengan senjata jika ada pihak yang manapun yang akan mengganggu kami.”

“Baiklah.” seorang bekas Senapati yang bertubuh tinggi kekar berkata, “Aku menyatakan diri untuk tinggal bersamamu disini. Aku akan menjemput keluargaku.”

“Kita akan bekerja keras.”

“Kami menyadari bahwa kami harus mulai dengan kerja keras disini. Tetapi kami pun menyadari bahwa kerja keras itu pada hakekatnya adalah untuk anak-anak kami.”

Dengan demikian maka para bekas prajurit itu pun bersepakat untuk menjemput keluarga masing-masing dan mengajak beberapa orang kawan yang lain untuk tinggal di padukuhan terpencil yang masih akan berkembang.

“Jika kita tidak menutup diri. maka kemungkinan untuk menjadi besar selalu terbuka, apabila mengingat kesadaran kalian untuk bekerja keras dan berjuang bagi padukuhan ini.” berkata Ki Buyut di Pengasih.

Ternyata rencana mereka itu mendapat sambutan yang baik dari beberapa orang kawan mereka yang masih saja bersembunyi dan menyamar diri. Dua belas orang bekas prajurit Singasari di masa pemerintahan Tohjaya, telah berpindah tempat dan linggal di padukuhan Pengasih bersama keluarga mereka.

Diantara mereka terdapat beberapa orang perwira dan Senapati yang selalu dibayangi oleh kecemasan. Namun agaknya mereka telah menemukan tempat sebagai tempat tinggal mereka yang baru meskipun mereka masih belum dapat melepaskan diri dari sikap hati-hati. Karena itulah maka ditempatnya yang baru mereka tidak mempergunakan nama mereka masing-masing.

“Aku masih mengharap Tapak Lamba akan datang pula kemari.” berkata Ki Buyut, “Tetapi sudah barang tentu tidak dengan orang yang bernama Linggadadi itu, agar kedamaian kami tidak terusik.”

“Ya.” sahut salah seorang dari mereka, “Sudah waktunya bagiku untuk memilih hidup dalam ketenangan. Tetapi seperti yang sudah kita janjikan, aku pun tidak berkeberatan mempergunakan senjata untuk mempertahankan ketenangan yang sudah kita tumbuhkan.”

Demikianlah maka mereka dengan tekun mulai dengan suatu kehidupan baru, Mereka dengan penuh gairah telah menebang hutan dan memperluas tanah persawahan. Sebelum tanah itu menghasilkan apa-apa, maka makan mereka sekeluarga telah di bebankan kepada seluruh padukuhan.

Ternyata di samping membuka hutan, para bekas prajurit iru sempat juga membantu anak-anak muda untuk berlatih olah kanuragan. Selama ini mereka seolah-olah dengan membabi buta berlatih memegang senjata. Hanya kadang-kadang saja Ki Buyut sempat memberikan tuntunan. Namun sebagian yang lain adalah karena kemauan mereka sendiri, dengan petunjuk-petunjuk singkat dari Ki Buyut, berlatih menggerakkan berbagai macam senjata.

Dalam pada itu, ternyata dikaki Gunung Lawu, orang-orang yang hidup dalam bayangan ilmu hitam telah mengetahui pula apa yang terjadi di Kota Raja, meskipun mereka masih harus memperbincangkannya. Tetapi nama Mahisa Bungalan telah mereka dengar lagi di antara ceritera-ceritera tentang kematian dua orang di antara mereka itu.

“Mahisa Bungalan lagi.” desis Empu Baladatu.

“Ada beberapa desas desus mengenai kematian kawan-kawan kami guru.” berkata salah seorang muridnya, “Yang lain mengatakan bahwa kawan-kawan kami mati oleh seseorang bernama Linggadadi. Tetapi bahwa pada saat itu Mahisa Bungalan hadir, agaknya memang benar, meskipun ia tidak berada dipihak Linggadadi.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia pun telah banyak mendengar tentang kematian dua orang yang dipercayainya untuk memasuki Kota Raja, dan bahkan apabila mungkin membawa orang orang yang mereka kehendaki hidup-hidup kekaki Gunung Lawu, yang akan dipergunakannya sebagai korban untuk menyegarkan ilmu mereka yang hitam.

Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan maksud mereka. Kedua orang itu justru telah terbunuh di Kota Raja.

“Bagaimanapun juga, Mahisa Bungalan telah melukai hati kita semuanya.” geram Empu Baladatu. Lalu, “Aku masih belum berbicara tentang orang yang mengaku bernama Linggadadi, karena seribu nama tidak akan ada artinya tanpa pengenalan lebih jauh.”

“Jadi bagaimana maksud guru?” bertanya salah seorang muridnya.

“Kedua saudara seperguruanmu yang terbunuh itu adalah orang-orang penting dan terpercaya. Tetapi mereka telah terbunuh. Dengan demikian kalian harus lebih berhati-hati menghadapi orang yang bernama Mahisa Bungalan itu. Bahkan ada beberapa orang yang menyebutnya pembunuh orang berilmu hitam.”

Tetapi beberapa orang muridnya tertawa pendek. Salah seorang berkumis lebat menyahut, “Tidak banyak orang yang berkesempatan untuk mendapatkan ilmu yang dahsyat ini. Di padepokan ini tinggal tidak lebih dari dua belas orang dalam tingkatan yang berbeda. Kemudian beberapa orang calon murid yang masih dibawah asuhan murid-murid yang terpercaya. Karena itu, kita tidak mau menjadi semakin berkurang lagi. Dua orang saudara kami itu sudah cukup mahal dipertaruhkan untuk menangkap Mahisa Bungalan.”

“Jadi?” bertanya Empu Baladatu.

“Sebaiknya kita pergi bersama-sama.”

“Kita? Kalian dan aku?”

Orang itu menggeleng. “Tentu saja guru tidak harus selalu ada di antara kami, karena di padepokan ini masih ada beberapa orang calon murid. Namun jika guru berkenan bersama kami, maka beberapa orang calon murid itu dapat diserahkan kepada murid-murid yang sudah dapat dipercaya untuk membimbing mereka.”

Empu Baladatu tiba-tiba saja tertawa keras-keras sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang muridnya menjadi heran. Namun yang lain menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Ternyata orang itu bodoh sekali. Guru melihat, betapa penakutnya orang itu.”

“Kau tentu sudah tahu sifat dan wataknya,” desis yang lain, “Paguh adalah orang yang ujudnya dapat menakut-nakuti anak yang betapapun beraninya. Tetapi hatinya adalah hati yang sangat lentur.”

“Katakan saja, ia seorang pengecut.” sahut yang lain, “Adalah gila untuk mengajak guru bersama mencari Mahisa Bungalan. Bagaimana mungkin Paguh itu dahulu sempat berada diperguruan yang tidak ada duanya ini?”

Sementara itu, Paguh sendiri masih saja menjadi bingung melihat sikap gurunya. Namun barulah kemudian ia menyadari kesalahannya ketika gurunya bertanya, “Paguh, apakah kau sudah memikirkan kata-katamu?”

“Maksud guru ?”

“Kau sebenarnya tidak pantas berada di antara murid-muridku yang perkasa.” tiba-tiba saja suara gurunya meninggi, “He, kau tahu apakah artinya kata-katamu itu he tikus yang dungu?”

Paguh menjadi gemetar. Wajah Empu Baladatu menjadi merah oleh kemarahan yang tiba-tiba saja menjalari kepalanya, “Kita sudah kehilangan dua orang dari antara kita. Sebelumnya tiga orang yang dibunuh Mahisa Bungalan karena kebodohannya. Sekarang salah seorang dari kita telah berbuat lebih bodoh dan pengecut. Ketiga saudara-saudaramu yang lari itu memang bodoh, tetapi mereka adalah orang-orang yang berani sehingga saat matinya. Tetapi kau Paguh?”

Paguh semakin gemetar.

“Sebentar lagi, lima hari lagi, adalah saatnya kita menyegarkan ilmu kita dengan darah. Saat purnama naik dan musim yang kering.”

“Guru ?”

“Kebodohanmu dapat mencelakakan dirimu.”

“Maksud guru.” suara Paguh menjadi parau.

“Kau berkewajiban mendapatkan korban yang bakal kita persembahkan bagi pelindung ilmu kita. Korban darah itu harus berlangsung dengan sebaik-baiknya. Jika kau gagal maka darahmu lah yang akan tertumpah di atas jambangan terpuji itu. Meskipun darah pengecut, tetapi ilmu yang ada di dalam dirimu akan mengalir kedalam diri kami dan menjadikan kekuatan kami akan bertambah.”

“Jadi ?”

“Pergilah. Kau tidak usah membawa Mahisa Bungalan. Tetapi namamu akan dicuci oleh hasil kerjamu kemudian. Jika kau berhasil dengan baik, maka kau akan mendapat kepercayaan tertinggi diperguruan ini, tetapi kepercayaan sekedar menangkap kelinci.” suara tertawa Empu Baladatu meledak sehingga rasa-rasanya Gunung Lawu ikut terguncang.

Paguh menjadi bingung. Tetapi ia sadar, bahwa perintah itu harus dijalankan. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu atas Mahisa Bungalan. maka ia sudah mendapatkan tugas yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

“Tetapi tugas ini tugas yang tidak berat.” katanya di dalam hati, “Tetapi untuk menyenangkannya, aku harus mendapatkan korban yang berkenan di hati guru. Muda, tampan dan barangkali sedikit mempunyai ilmu. Dan untuk mendapatkannya tidak akan makan waktu satu hari.”

Meskipun demikian, ia masih tetap gelisah, karena agaknya sikap gurunya masih ada yang kabur baginya.

Namun demikian yang pasti adalah, ia harus menebus kesalahannya, yang memberikan kesan kepada gurunya, bahwa ia adalah seorang pengecut.

“Guru keliru.” berkata Paguh di dalam hatinya, “Aku bermaksud untuk menyelesaikan persoalannya sampai selesai Dan itu tidak akan dapat dilakukan tanpa guru. Tetapi guru menganggap bahwa aku menjadi ketakutan.”

Demikianlah maka Paguh itu pun kemudian pergi meninggalkan padepokannya yang tersembunyi. Dengan menyandang tugas yang diduganya tidak terlalu berat, ia berjalan menjauhi padepokannya. Seperti yang dipesankan oleh gurunya, bahwa setiap murid harus mendapatkan korban bagi ilmunya ditempat. yang jauh, agar dengan demikian dapat menghilangkan jejak dari perguruan mereka.

“Aku akan berjalan tanpa tujuan. Kemana aku akan pergi, aku tidak peduli, karena dimanapun tentu akan aku jumpai seorang laki-laki muda yang tampan.”

Tetapi sepeninggal Paguh dari padepokannya, ternyata gurunya tidak membiarkan melepaskannya sendiri. Bukan karena ia sayang bahwa muridnya akan mengalami kesulitan. Tetapi ia justru cemas, bahwa muridnya yang dianggapnya pengecut itu lidak akan berhasil pada waktunya dan karena itu, ia pun tidak lagi berani kembali ke Padepokan. Jika demikian maka ia harus mengorbankan siapa pun yang diketemukannya tanpa memilih.

“Itu tidak boleh terjadi lagi.” berkata Empu Baladatu, “Pelindung ilmu kita yang dahsyat ini akan kecewa. Jika itu terjadi berulang kali, maka pelindung kita akan marah. Dengan demikian, kita akan dilepaskannya dari perlindungannya dan mengalami kesulitan untuk seterusnya.”

Murid-muridnya mengangguk-angguk.

“Karena itu pergilah. Susullah Paguh dan kalian harus bertindak cepat untuk membantunya mendapatkan korban. Jika kalian gagal sama sekali, bawa Paguh kembali kepadepokan ini. Aku memang sudah muak melihatnya. Kecuali jika ia dapat merubah sifat pengecutnya itu. Tetapi aku sama sekali tidak menyesal bahwa ia harus dikorbankan karena sifatnya itu.”

Beberapa orang yang ditunjuk itu pun sebera meninggalkan padepokan menyusul Paguh. Karena waktunya tidak terpaut banyak, maka mereka pun tidak kehilangan jejaknya dan di tempat yang terbuka di sebelah hutan yang rindang, mereka telah melihat Paguh berjalan seenaknya menyusuri jalan yang sempit yang berdebu.

Tetapi seperti ada yang memberi tahukan ditelinganya, maka diluar sadarnya Paguh berpaling. Dadanya bergejolak ketika ia melihat empat orang kawannya berjalan mengikutinya.

“Apakah guru sudah mengambil keputusan.” ia berkata kepada diri sendiri, “Jika guru mengirimkan keempat saudara seperguruanku itu untuk membunuhku, dan mengorbankan darahku lima hari lagi, maka apa boleh buat. Aku tidak mau menjadi pangewan-ewan. Diikat dihadapan saudara-saudara seperguruan dan kemudian menjadi korban yang mengerikan itu. Lebih baik aku mati di sini.”

Tetapi Paguh sama sekali tidak menunjukkan sikap yang mencurigakan meskipun ia selalu bersiaga. Bahkan kemudian ia berhenti menunggu keempat kawannya yang berjalan semakin dekat.

“Agaknya sikap mereka pun tidak mencurigakan.” berkata Paguh di dalam hatinya.

Namun demikian, banyak kemungkinan yang dapat terjadi sehingga ia tidak boleh menjadi lengah karenanya.

Semakin dekat dengan Paguh, maka keempat orang itu pun rasa-rasanya menjadi semakin lambat. Sambil mengusap peluh di kening salah seorang berkata, “Lebih baik membantunya mendapatkan seorang korban daripada harus membawanya kembali.”

“Ya. Paguh cukup baik kepadaku. Ia sering memberikan rangsumnya jika ia sudah mendapatkan makan di luar padepokan.”

“Dan itu sering dilakukannya.”

Yang lain hanyalah mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka pun sependapat karena mereka sudah lama tinggal bersama. Betapapun kelam hati mereka, namun nampaknya mereka merasa satu pula dengan kawan-kawan mereka yang berhati kelam pula.

Paguh yang melihat saudara seperguruannya mendekatinya itu pun bertanya dengan nada yang datar, “Kenapa kalian menyusul aku?”

“Guru memerintahkannya.” sahut salah seorang dari mereka.

“Apakah kalian membawa pesan baru bagiku?”

“Tidak.” sahut yang lain, “Tetapi kami harus pergi bersamamu. Menurut guru, tidak mudah untuk mendapatkan korban seperti yang dikehendaki. Selebihnya, guru tidak sampai hati membiarkan kau pergi sendiri.”

“Guru tidak percaya bahwa aku akan kembali membawa korban itu?”

“Bukan tidak percaya. Tetapi meragukannya karena dunia di luar padepokan kita adalah luas.”

“Atau barangkali guru cemas bahwa aku tidak akan kembali sama sekali.”

“Jangan mengada-ada.” sahut kawannya yang lain, “Marilah. Kita pergi bersama-sama. Jika kau menimbulkan persoalan di dalam hatimu sendiri, maka semuanya akan menjadi kabur. Juga persaudaraan kita.”

Paguh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk kecil.

“Baiklah.” katanya, “Kita akan pergi bersama kalian untuk melaksanakan tugas itu.”

Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan. Keempat orang saudara seperguruan Paguh sama sekali tidak menunjukkan sikap yang meragukan, karena mereka memang tidak bermaksud apa-apa terhadap saudara seperguruannya yang sedang menjalani hukuman itu.

“Dengan sikap ini, kami tidak melanggar perintah guru.” berkata saudara-saudara seperguruannya kepada diri mereka masing-masing, karena gurunya tidak mengharuskan mereka untuk tidak membantu Paguh. Mereka hanya bertugas untuk membawanya kembali, jika perlu dengan paksa apabila Paguh tidak berhasil membawa seorang korban yang baik untuk ilmu perguruan mereka, dan yang kemudian berusaha untuk melarikan diri.

“Guru sama sekali tidak melarang kami untuk membantunya.” mereka mencoba menegaskan kepada diri sendiri.

Karena itulah maka mereka berempat pun berjalan beriringan dengan Paguh tanpa menumbuhkan kesan yang mencurigakan.....
“Dimana kita mengambil korban itu?” tiba-tiba saja Paguh bertanya, “Diujung padukuhan itu kita dapat menunggu satu dua orang lewat.”

“He, bukankah kita baru berjalan setengah hari?” bertanya seorang kawannya.

“Apakah kita belum cukup jauh?”

“Sama sekali; belum. Kita akan berjalan sehari semalan. Baru keesokan harinya kita menangkap satu dua orang yang pantas kita jadikan persembahan kepada pelindung ilmu kita yang agung.”

Paguh mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tidak menaruh kecurigaan sama sekali.

Dengan demikian mereka meneruskan perjalanan meskipun tidak terlampau cepat. Tetapi jasmaniah mereka adalah orang yang kuat oleh latihan-latihan yang berat. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak nampak letih setelah menempuh perjalanan yang jauh.

Mereka pun kemudian tidak lagi melintasi hutan-hutan yang rindang maupun yang lebat, karena mereka memilih menyusuri jalan yang cukup banyak dilalui orang.

“Meskipun kita masih belum berjalan satu hari satu malam, jika kita menjumpai satu dua orang yang pantas, maka kita akan menangkapnya.” desis salah seorang dari kelima orang itu.

“Kita hanya memerlukan satu orang.” desis Paguh.

“Tidak. Semakin banyak semakin baik. Jika kita mendapatkan beberapa orang sekaligus, maka purnama naik di bulan depan kita tidak usah mencarinya lagi.”

“Jika kita dapat memeliharanya sampai bulan depan.” Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan terus menuju kota yang lebih ramai.

“Kita menuju ke kota.” desis Paguh kemudian, “Apakah kita akan mencari korban kita di dalam kota?”

“Bukankah kita dapat memilih lebih baik.” sahut kawannya, “Kali ini kita memasuki sebuah kota kecil. Lain kali kita akan memilih korban kami ke Kota Raja.”

“Kita mencari kesulitan saja.” desis Paguh.

Kawannya mengerutkan keningnya. Mereka bertanya kepada diri sendiri. “Apakah Paguh memang seorang pengecut.”

Tetapi mereka tidak mengucapkan pertanyaan itu.

Demikianlah mereka pun berjalan terus. Sekali-sekali mereka berhenti untuk beristirahat. Bahkan ketika malam menjadi gelap maka mereka pun tidak segan-segan memasuki rumah-rumah yang mereka duga dapat memberikan makan kepada mereka. Dengan paksa mereka mengambil apa saja yang dapat mereka jadikan bekal mereka di perjalanan. Adalah menyenangkan sekali jika pada suatu saat mereka menemukan sebuah warung makanan yang masih terbuka pintunya sesudah senja.

Tidak seorang pun berani melawan mereka berlima. Meskipun orang-orang yang menjadi korban itu tidak mengetahui siapakah mereka itu, namun menilik sikap dan tatapan mata mereka maka orang-orang itu pun mengerti, bahwa mereka dihadapkan pada kekerasan jika mereka melawan.

Di malam hari mereka hanya beristirahat sebentar. Masing-masing mencoba memejamkan matanya hanya untuk sesaat. Kemudian mereka pun segera terbangun dan meneruskan perjalanan. Menurut perhitungan mereka, maka perjalanan kembali tentu akan memerlukan waktu lebih panjang, karena mereka akan membawa satu atau dua orang dengan paksa. Sedangkan waktu tinggal sedikit. Lima hari sejak mereka berangkat.

“Kita akan tiba kembali di padepokan paling lambat sehari sebelum saat itu tiba.” berkata salah seorang dari mereka, “Orang-orang yang akan kita bawa tentu tidak akan dapat berjalan secepat dan sekuat kita.”

“Ya. Besok kita harus mendapatkan orang itu. Dan kita akan segera menempuh perjalanan kembali.” sahut yang lain.

Ternyata bahwa perjalanan mereka cukup cepat. Sebelum langit menjadi merah, mereka sudah berada di kota kecil yang pertama mereka lalui.

“Kita masih sempat beristirahat.” desis salah seorang.dari kelima orang itu.

“Bagaimana kita akan menangkap korban kita?” desis yang lain.

“Kita tangkap saja mereka. Jika perlu kita pergunakan kekerasan.”

“Dihadapan orang banyak.”

“Apa salahnya? Kita akan membunuh mereka yang melawan. Dan kita tentu akan mendapatkan yang masih hidup diantara sekian banyak orang.”

“Apakah kota itu tidak mempunyai pengawal?”

“Tetapi mereka tidak berarti. Prajurit Singasari tidak akan sampai ke tempat terpencil ini.”

Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu, namun mereka percaya, bahwa prajurit Singasari tidak akan ditugaskan di dalam kota kecil yang masih agak jauh dari Kota Raja itu.

Demikianlah kelima orang itu pun kemudian beristirahat dip inggir kota kecil yang masih samar-samar. Di beberapa rumah yang berdiri di pinggir jalan, masih nampak cahaya lampu minyak yang menyala di regol halaman.

Tetapi jalan-jalan yang menyilang kota kecil itu ternyata sudah mulai dijalari oleh beberapa orang yang membawa barang-barangnya menuju ke pusat keramaian kota.

“Mereka pergi ke pasar.” desis Paguh kepada kawahnya.

“Ya. Agaknya pasar kota kecil ini cukup ramai. Mereka membawa hasil kebun yang akan mereka tukarkan dengan barang-barang buatan kota kecil ini. Mungkin alat-alat pertanian dari besi atau barangkali barang-barang tenun.”

Yang lain mengangguk-angguk saja. Mereka masih dipengaruhi oleh perasaan lelah dan kantuk. Bahkan salah seorang dari mereka, menyandarkan dirinya pada dinding batu dan di luar kehendaknya, matanya telah terpejam.

“Kita juga pergi ke pasar.” berkata salah seorang dari mereka.

“Tetapi pasar masih sepi. Nanti, jika matahari naik sepenggalah, maka pasar itu akan penuh dengan orang-orang yang datang dari berbagai penjuru.”

“Kita akan mengambil satu atau dua orang dari pasar itu. Kita akan menggiringnya kembali kepadepokan tanpa ada yang dapat merintanginya. Jika pengawal-pengawal kota ini akan menghambat perjalanan kita, kita akan membunuhnya atau menggiringnya sama sekali. Jika kita mendapat empat atau lima orang sekaligus, maka untuk beberapa bulan kita tidak perlu mencarinya lagi.”

“Tetapi lebih sulit memelihara orang dari pada memelihara ternak, karena orang mempunyai pikiran dan usaha untuk melarikan diri.”

“Kita ikat tangan dan kakinya kecuali saat-saat mereka makan.”

“Mereka dapat membunuh diri sebelum saatnya.”

“Bagaimana mungkin jika mereka terikat.”

“Mereka tidak makan dan tidak minum. Tujuh hari tujuh malam, maka mereka akan mati dengan sendirinya.”

“Kita akan memasukkan makanan dan minuman dengan paksa ke dalam mulut mereka.”

Yang lain tertawa. Rasa-rasanya memang aneh untuk memelihara seseorang karena akan dapat menumbuhkan persoalan yang bermacam-macam. Jauh lebih rumit dari memelihara seekor kerbau.

Namun sementara itu, seorang kawan mereka masih tetap tertidur sambil bersandar. Bahkan nampaknya tidurnya semakin menjadi nyenyak.

Tetapi ia segera terbangun ketika kawan-kawannya kemudian memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu, menuju ke pasar yang tentu sudah menjadi semakin ramai.

“Sebelum kita mengambil korban, kita akan makan dahulu dan melihat-lihat. Barangkali kita akan mendapatkan korban dari jenis yang lain.” desis seorang diantara kelima orang itu yang bertubuh kekar.

“Maksudmu?” bertanya Paguh.

“Tentu dipasar itu ada gadis-gadis cantik pula.”

“Kau masih saja selalu dihinggapi penyakit gila itu. Kau dapat tertimpa malapetaka karena sifatmu yang satu itu.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “ Kalian akan menggiring korban itu. Dan aku akan membawa korbanku sendiri.”

“Kepadepokan?”

“Tidak. Aku akan meninggalkannya di luar kota.”

Yang lain tidak menghiraukannya lagi. Mereka membenahi pakaian mereka sejenak. Kemudian mereka pun berjalan menuju ke pasar yang memang sudah menjadi semakin ramai, karena matahari pun mulai terbit di punggung pegunungan.

Dengan sikap yang sangat menarik perhatian kelima orang itu masuk ke dalam pasar. Mereka sama sekali tidak menghiraukan berpasang-pasang mata memandang mereka dengan hati yang berdebar-debar.

“Kita makan saja lebih dahulu.” desis Paguh. Yang lain mengangguk-angguk.

Tanpa menghiraukan siapa pun juga, maka kelima orang itu pun kemudian menuju ke sebuah warung di pinggir pasar itu. Dengan kasar mereka pun segera duduk dan memesan beberapa mangkuk minuman dan makanan.

Sejenak mereka masih sempat bergurau sambil menyumbat mulut masing-masing dengan beberapa potong makanan sebelum mereka menghabiskan beberapa mangkuk nasi dan lauk pauknya.

Penjualnya merasa cemas sejak kelima, orang itu memasuki warungnya. Ia sudah menduga, bahwa kelima orang itu bukannya langganannya yang selalu datang, setelah mereka menjual dagangannya dan menukarkannya dengan kebutuhan mereka di padukuhan.

Ternyata dugaannya tidak salah. Setelah kelima orang itu kenyang maka mereka pun segera berdiri. Dengan mengangguk dalam-dalam, orang yang bertubuh kekar itu pun berkata, “Terima kasih paman dan bibi. Kami sudah kenyang. Kebaikan hati paman dan bibi tidak akan dapat kami lupakan.”

Penjual makanan itu hanya dapat menahan hati. Suami isteri itu sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang tidak dapat diajak berbicara dengan kata-kata. Jika mereka berani menanyakan harga makanan dan minuman yang telah dimakan mereka itu, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali.

Karena itulah, maka kehadiran kelima orang itu, telah menimbulkan kecemasan yang meluas di antara mereka yang berada di dalam pasar itu.

Tetapi tidak seorang pun yang berani menegur kelima orang itu- Bahkan orang-orang yang ada di dalam pasar itu justru melemparkan pandangan mereka jauh-jauh, jika kelima orang itu lewat di dekat mereka.

“Menyenangkan sekali.” desis salah seorang dari kelima orang itu. “Banyak perempuan cantik di dalam pasar ini.”

“Aku belum melihat satupun.” desis yang bertubuh kekar, “Agaknya matamu memang mata yang sangat buruk untuk melihat perempuan.”

Paguh tertawa. Ia pun kemudian menyahut, “Penilaian kalian yang berbeda. Tetapi nampaknya kalian sama sekali tidak tertarik kepada anak-anak muda itu.”

Mata kawan-kawannya pun tiba-tiba telah terbelalak. Mereka melihat dua orang anak muda yang sedang duduk di dalam sebuah warung kecil di sudut pasar yang telah menjadi ramai itu.

“Tampan sekali.” desis Paguh, “Aku kira mereka tentu anak orang yang memiliki tata cara hidup yang baik dan teratur. Menilik pakaian yang mereka kenakan, dan menilik cara mereka mengangkat mangkuk minuman dan menyuapi mulut mereka dengan makanan.”

“Dan agaknya mereka benar-benar hanya berdua Tidak ada orang lain di dalam warung itu.”

“Mungkin mereka sedang menunggu seseorang yang meninggalkan keduanya di dalam warung itu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang lari mereka berkata, “Masih terlalu muda. Apakah kita tidak dapat menemukan orang yang lebih tua. Lebih baik kita membawa orang yang sudah melampaui masa dewasanya. Mereka sudah cukup masak untuk dijadikan korban.”

Paguh mengangguk-angguk. Katanya, “Anak-anak itu memang masih terlampau muda. Tetapi jika tidak ada yang lain, keduanya akan dapat menyenangkan hati guru. Bahkan mungkin darahnya jauh lebih bersih dari seorang yang sudah melampaui usia mudanya.”

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian Paguh berkata, “Marilah kita duduk saja di sini sambil mengawasi anak-anak itu. Jika kita menemukan yang lain, kita biarkan anak-anak itu pergi dan bertemu lagi di-tahun-tahun mendatang.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Karena itulah maka mereka pun kemudian duduk di pinggir pasar sambil mengamat-amati dua orang anak-anak muda yang berada di dalam warung itu.

Namun tiba-tiba saja Paguh menggamit kawannya sambil menunjuk tiga orang yang sedang memasuki pasar itu. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang datang dari daerah yang agak jauh.

“Mereka bukan orang-orang di sekitar daerah ini.” desis Paguh.

“Ya. Dan minilik sikap mereka, maka mereka pun bukan orang kebanyakan.”

“Menyenangkan sekali kami dapat bertemu dengan ketiga orang itu. Kita akan membawa mereka semuanya kembali ke padepokan. Guru tentu akan senang sekali.”

“Yang tua itu?”

“Ya, sudah terlalu tua. Tetapi yang dua masih belum. Mereka masih cukup muda meskipun sudah bukan anak-anak muda lagi. Tubuhnya meyakinkan dan mungkin mereka juga mempunyai ilmu yang memang diperlukan bagi korban-korban.”

“Kita tidak usah banyak pertimbangan. Lihat, mereka sudah berada di antara orang di dalam pasar ini. Sebelum kita kehilangan mereka, marilah kita menemuinya dan berkata berterus terang. Jika mereka bersedia, dengan baik-baik kita mempersilahkan mereka singgah di padepokan, meskipun dengan menyesal, kita tidak akan pernah memberikan kesempatan mereka untuk keluar dari padepokan kita.”

Paguh yang merasa dirinya mendapat tugas langsung, merasa wajib untuk mengambil sikap. Karena itulah maka ia pun segera melangkah mendekati ketiga orang yang sedang melihat-melihat beberapa macam barang yang dijajakan di dalam pasar itu.

Orang yang paling tua diantara ketiga orarg itu terkejut ketika ia merasa seseorang telah menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya lima pasang mata sedang menatapnya dengan tajamnya, diantara orang-orang yang berada di dalam pasar itu.

“Ki Sanak.” berkata Paguh, “Aku mempunyai keperluan sedikit dengan Ki Sanak.”

“O.” desis orang tua itu, “Siapakah kalian?”

“Marilah kita menepi. Mungkin kita dapat berbicara beberapa saat.”

Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menggamit kedua kawannya dan mengatakannya, bahwa kelima orang itu ingin bertemu dengan mereka.”

Kedua orang yang lebih muda itu pun sama sekali tidak berkeberatan, sehingga mereka pun kemudian pergi beriringan menepi. Namun demikian, agaknya beberapa orang masih saja mengawasi mereka dengan cemas. Bahkan seseorang berbisik, “Aku merasa seolah-olah udara di dalam pasar ini menjadi panas dengan kehadiran orang-orang itu.”

“Ya. Aku akan pulang saja.”

Orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya tanpa mempedulikan kawamnya.

Beberapa orang yang lain pun ternyata menjadi gelisah pula. Dengan diam-diam mereka pun membenahi barang-barangnya pula dan memasukkannya ke dalam keranjang. Jika sesuatu terjadi, maka dengan mudah ia menyingkirkan dagangannya yang sudah berada di dalam keranjang itu.

Ketiga orang itu ternyata tanpa keberatan apapun menurut saja permintaan Paguh untuk menepi. Bahkan nampaknya mereka sama sekali tidak bercuriga.

Sejenak kemudian, maka kelima orang berilmu hitam itu pun telah berdiri mengelilingi ketiga orang yang sama sekali tidak menduga, apakah yang akan terjadi atas diri mereka.

“Ki Sanak.” berkata orang yang paling tua diantara ketiga orang itu, “Kami belum mengenal Ki Sanak berlima. Karena itu, sebenarnya kami agak terkejut ketika Ki Sanak mengajak kami menepi untuk sedikit membicarakan sesuatu.”

Paguh tertawa. Katanya, “Memang kau benar kakek tua. Kami belum mengenal kalian seperti kalian belum mengenal kami. Tetapi kami terpaksa mengajak kalian menepi, karena ada persoalan yang sangat penting.”

“Persoalan apa Ki Sanak.”

“Kami ingin mempersilahkan kalian singgah di rumah kami sejenak.”

“Apakah keperluannya?”

“Nanti kalian akan mengetahuinya.”

Orang yang paling tua diantara ketiganya itu pun memandang kedua kawannya yang masih lebih muda daripadanya, seolah-olah ia minta pertimbangan dari keduanya.

“Maaf Ki Sanak.” berkata salah seorang dari yang masih muda itu, “Kami tidak mempunyai banyak waktu. Jika kalian mempunyai kepentingan apapun juga, sebaiknya kalian memberitahukan kepada kami sekarang saja.”

Paguh mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kalian jangan membantah. Ada sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat aku katakan disini.”

“Ah, itu aneh sekali.” jawab yang paling muda diantara ketiga orang itu, “Tentu dapat kalian katakan dimana pun juga jika memang kalian tidak mempunyai maksud tertentu.”

“Kau mudah menjadi curiga. Tetapi itu dapat dimengerti. Tetapi bagaimana pun juga, kami tetap minta kalian untuk singgah.”

“Maaf Ki Sanak.” jawab yang lebih tua, “Kami tidak mempunyai waktu.”

“Kami tidak bertanya apakah kalian mempunyai waktu atau tidak. Baiklah, aku akan berkata menurut caraku. Marilah, ikuti kami sebelum kami memaksa.”

“Apakah sebenarnya maksud kalian.” yang paling tua mengerutkan keningnya, “Maaf. Kami tidak mau dipaksa meskipun dengan kekerasan.”

Yang paling muda diantara ketiga orang itu agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi yang lebih tua menggamitnya sambil memberikan isyarat.

Yang paling muda menarik nafas dalam sekali, seakan-akan ia berusaha untuk mengendapkan kembali gejolak hatinya yang hampir meluap.

“Kalian jangan keras kepala.” berkata Paguh, “Dengan demikian kalian akan menyesal.”

“Sayang sekali.”

Paguh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia melangkah beberapa langkah.

Ketiga orang yang diajaknya menepi itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa maksud orang itu. Namun kemudian mereka menjadi berdebar-debar ketika Paguh dengan serta merta menarik lengan seorang anak muda yang sedang berdiri dimuka barang-barang besi yang sedang ditawarnya.

Anak muda itu terkejut. Dengan serta merta ia meronta. Tetapi pegangan tangan Paguh bagaikan besi yang menjepit lengannya itu.

“Jangan ribut anak muda.” berkata Paguh.

“Lepaskan, apakah kau gila.” geram anak muda itu.

“Tidak. Aku tidak gila.”

Ternyata anak muda itu tidak sendiri. Dua orang kawannya yang sebaya dengan anak muda itu pun segera mendekatinya sambil bertanya, “Apakah salahnya kawanku.”

“Ia tidak bersalah sama sekali. Tetapi aku memerlukannya. Aku ingin membunuhnya.”

“Gila.” anak muda itu berteriak. Sedang kedua kawannya pun membelalakkan matanya.

“Apa maksudmu dengan leluconmu itu?” bertanya salah seorang dari kedua kawannya.

“Bukan sekedar lelucon. Tetapi aku akan melakukannya.”

“Jangan gila.” sekali lagi anak muda itu meronta. Namun ia tidak berhasil melepaskan dirinya.

Karena itu, maka ia tidak tahan lagi. Dengan serta merta ia menyerang Paguh dengan kakinya. Sementara kedua orang kawannya segera membantunya.

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan sama sekali. Dengan tangan kirinya Paguh memukul kedua kawannya itu sehingga mereka terpelanting jatuh dan langsung menjadi pingsan.

Sementara itu, pasar itu pun menjadi ribut. Beberapa orang berIari-Iarian menyingkir, karena ternyata perkelahian tidak dapat dihindarkan meskipun mereka tidak tahu sebab musababnya.

Anak muda yang seorang masih di dalam genggaman Paguh. Dengan suara yang menggeletar Paguh berkata, “Nasibmu memang buruk anak muda. Aku akan membunuhmu dan mengelupas kulitmu seperti kulit pisang.”

Kata-kata itu telah mengejutkan ketiga orang yang berdiri kebingungan. Bahkan dengan serta merta yang paling muda di antara mereka bertanya, “Jadi kau benar-benar akan membunuhnya dan mengelupas kulitnya seperti kulit pisang?”

“Ya. Aku akan memberikan sekedar contoh kepadamu, bahwa aku pun dapat berbuat demikian atas kalian bertiga.”

“Tetapi orang itu tidak bersalah.”

“Terserah kepadamu. Jika kau bersedia mengikuti aku, maka anak muda ini akan tetap hidup. Jika kau menolak, maka aku tidak sekedar menakut-nakutinya saja.”

Ketiga orang itu berpikir sejenak. Tawaran itu sama seka li tidak dimengerti makmudnya.

“Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang yang kau tangkap itu. Aku tidak perduli apakah ia akan kau bunuh sekali, kau kelupas kulitnya, atau kau cincang sampai lumat. Tetapi sudah tentu kau tidak akan dapat berbuat demikian atas kami bertiga.”

Paguh membelalakkan matanya. Dengan gigi yang gemeretak ia menggeram, “Kau kira aku tidak sanggup melakukannya atasmu?”

“Tentu tidak. Nah, lakukanlah apa yang akan kau lakukan atas orang yang tidak aku kenal itu. Meskipun seandainya kau bunuh seisi pasar ini, apa peduliku?”

Mata Paguh menjadi merah. Ternyata orang itu pun orang yang berhati batu. Ia tidak menghiraukan sama sekali apapun yang akan dilakukannya.

Tetapi Paguh adalah orang yang bukan saja berhati batu. Tetapi bahkan ia sama sekali tidak mempunyai pertimbangan perasaan. Karena itu, maka ia pun perlahan-perlahan mengambil pisau belatinya yang tajam mengkilap.

“Jangan, jangan.” teriak orang yang masih saja dipegang lengannya itu.

“Bukan salahku. Salah ketiga orang yang tidak mau singgah ke rumahku itu.”

“Jangan bunuh aku.” orang itu meronta-ronta.

“ Diam. Mintalah kepada ketiga orang itu.”

Orang yang paling tua dari ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun yang muda segera berkata, “Bunuhlah. Aku akan senang sekali melihat caramu mengelupas kulit manusia.”

Benar-benar perbuatan gila yang tidak disangka-sangka oleh Paguh. Dua orang yang lebih muda itu pun kemudian berjongkok dengan tenangnya. Salah seorang berkata, “Tontonan yang jarang sekali dapat dilihat dimanapun juga selain di daerah ini.”

“Gila, gila.” teriak Paguh, “Kalian bertigalah yang akan segera mengalami nasib serupa.”

Ketiganya sama sekali tidak menjawab.

Kemarahan Paguh benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Tiba-tiba saja tangannya terayun kearah perut orang yang di dalam genggamannya itu.

Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika terdengar suara di kejauhan, “Jangan. Jangan kau lakukan.”

Paguh berpaling. Kawan-kawannya pun berpaling. Demikian juga ketiga orang yang tidak menghiraukan apapun juga atas kematian yang hampir menerkam orang yang tidak tahu apa-apa itu.

Yang mereka lihat adalah dua orang anak muda yang berada di dalam warung. Dengan tergesa-gesa mereka melangkah mendekati orang-orang yang justru menjadi heran melihat kehadiran mereka.

Sementara itu, pasar itu pun benar-benar telah bubar. Hanya beberapa orang saja yang masih berkerumun di kejauhan untuk melihat apa yang bakal terjadi.

Dua orang anak muda yang mendekati Paguh itu pun kemudian berhenti beberapa langkah daripadanya. Dengan cemas, salah seorang dari keduanya bertanya, “Apakah salahnya orang itu? Apakah ia, telah mencuri milikmu?”

Paguh memandang kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu dengan heran. Justru keduanyalah yang mula-mula ingin dijadikan korban untuk ilmu hitamnya.

“Menurut penglihatanku.” berkata anak muda itu selanjutnya, “Orang itu sama sekali tidak bersalah. Ia hanya sekedar menjadi korban perselisihanmu dengan orang lain. Kenapa kau telah mengambilnya dan menjadikannya semacam contoh untuk menakut-nakuti orang lain, sedangkan yang kau takut- takuti sama sekali tidak menjadi takut karenanya?”

Paguh membelalakkan matanya, sementara anak muda itu masih berbicara terus, “Apakah sebenarnya kaulah yang takut kepada tiga orang itu, sehingga kau terpaksa berbuat aneh-aneh agar kau nampak menjadi seorang yang gagah berani.”

“Tutup mulutmu.” bentak Paguh.

“Maaf Ki Sanak.” sahut anak muda itu, “Aku mohon. Janganlah mengorbankan orang lain yang sama sekali tidak bersalah. Berbuatlah langsung kepada tiga orang yang barang kali sudah mempunyai persoalan lama dengan kalian. Bukankah kau sekarang berlima?”

“Anak muda.” tiba-tiba saja yang tertua dari ketiga orang itu menjawab, “Kami tidak mempunyai persoalan sebelumnya. Kami baru saja mengenal mereka sekarang ini. Namun nampaknya mereka sudah akan menunjukkan kuasanya atas kami.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebaiknya kalian tidak usah turut campur. Orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak mengerti arti hubungan antara manusia sewajarnya. Ketahuilah anak-anak muda, bahwa kelima orang ini adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Mereka sering mengorbankan darah bagi kesegaran ilmunya. Itulah sebabnya mereka mempersilahkan kami untuk singgah di rumah mereka. Tetapi dengan demikian maka akan berarti bahwa kami telah memasuki sarang semut. Betapapun juga, kami tidak akan dapat keluar lagi jika kami dikerumuni oleh puluhan bahkan mungkin ratusan semut-semut seperti kelima orang ini.”

“Gila, anak setan bekasakan.” Paguh mengumpat sejadi-jadinya. “He, darimana kau dapat menyebut kami orang-orang berilmu hitam?”

Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjawab sareh, “Kalian memang bodoh. Juga gurumu, ternyata bodoh karena telah mengirimkan kalian untuk mencari korban. Dengan kalimat-kalimat yang khusus diucapkan oleh orang-orang berilmu hitam, setiap orang akan segera mengenal kalian.”

Paguh dan kawan-kawannya serentak menggeram. Bahkan mereka pun segera mempersiapkan diri, karena mereka sadar bahwa tidak ada lagi jalan kembali. Ketiga orang itu ternyata mengetahui dengan pasti, apa yang sedang mereka lakukan.

Karena itulah, maka Paguh pun kemudian menggeretakkan giginya sambil berkata, “Sekarang tidak ada pilihan lain bagi kami dan bagi kalian. Kalian memang harus mengikuti aku. Kalian adalah korban yang paling mengasyikkan.”

“Tetapi Ki Sanak.” berkata salah seorang dari yang muda, “Bukankah korban darah itu harus menitik dari orang yang masih hidup? Jika kalian berlima membunuh kami, maka itu tidak akan ada artinya sama sekali bagi korban yang akan kau berikan.”

“Kami akan menangkap kalian hidup-hidup.”

“Itu tidak mungkin, karena kami akan melawan sampai mati atau kalian berlima yang akan mati.”

“Gila. Kami mempunyai kemampuan untuk membuat kalian membeku. Kalian memang seperti mati, tetapi kalian masih tetap hidup, dan darah kalian masih tetap, cair.”

Tetapi yang paling muda dari ketiga orang itu tertawa. “Ilmu kalian memang bermacam-macam. Tetapi kalian tidak akan dapat menangkap kami, karena kalian akan mati.”

“Persetan.” Paguh berteriak, “Lihat, apa yang dapat aku kerjakan. Jika terpaksa kami membunuh kalian, maka kami tidak akan menyesal, karena masih banyak orang yang dapat dikorbankan. Tetapi jika kalian ingin melihat cara kami membunuh, maka kami akan mempertunjukkannya kepada kalian.”

Anak muda yang di dalam genggaman Paguh itu meronta sekali lagi. Ia merasa bahwa ia akan tetap dijadikan tontonan yang paling mengerikan.

Tetapi sekali lagi Paguh menggeram ketika ia melihat ketiga orang itu sama sekali tidak mengacuhkan kata-katanya. Bahkan yang paling muda dari mereka itu pun berkata, “Sudah aku katakan. Lakukan yang akan kalian lakukan. Aku tidak peduli. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang itu.”

“Tolong. Tolonglah aku.” teriak anak muda yang akan dijadikan contoh cara-cara pembunuhan yang paling mengerikan.

Paguh ternyata sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia ingin menunjukkan kepada ketiga orang yang sangat memuakkan itu, cara-cara yang paling baik untuk membunuh perlahan-lahan.

“Uh, aku akan mengelupas kulitnya. Ia tidak akan segera mati. Ia akan mati perlahan-lahan. Demikianlah yang akan berlaku atasmu.” geram Paguh.

“Tolong, tolong.” teriak orang itu.

Tetapi ketiga orang itu justru tersenyum-senyum saja melihatnya. Yang muda berkata pula, “Aku memang ingin belajar serba sedikit, bagaimana caranya menguliti seseorang, tetapi orang itu tidak mati.”

Paguh benar-benar bagaikan dibakar isi dadanya. Dengan serta merta ia pun mengayunkan pisau belatinya mengarah ke dada orang yang masih di dalam pegangannya itu.

“Aku akan menyobek kulit dadanya sampai kepunggungnya.” geramnya.

Namun tiba-tiba saja terasa tangannya bagaikan tersentuh api. Pisau ditangannya itu pun terlepas dan bahkan terlempar beberapa langkah dari padanya.

Paguh terkejut bukan buatan. Lemparan itu tidak berasal dari ketiga orang yang sedang menonton itu. Bahkan ternyata ketiga orang itu pun terkejut pula melihat pisau Paguh, terpelanting dari tangannya.

“E, maaf Ki Sanak.” berkata salah seorang dari kedua anak-anak muda itu. “Aku terpaksa mengganggu, karena aku tidak senang melihat kematian yang sia-sia. Kalau kau akan membunuh, seharusnya kau tidak membunuh anak muda yang sama sekali tidak tahu menahu itu. Sebaiknya kau langsung berurusan dengan ketiga orang yang nampaknya telah bersiap melawanmu dan kawan-kawanmu. Itu baru disebut jantan. Bukan membunuh orang yang sama sekali tidak berarti apa-apa.”

Wajah Paguh menjadi merah. Dengan suara yang tertahan-tahan karena gejolak di dadanya ia berkata, “Jadi agaknya lebih baik kau berdua sajalah yg. aku pergunakan untuk contoh kematian yang mengasyikkan.”

“Itu pun sikap pengecut. Ambil salah seorang dari ketiga orang itu. Mereka pun agaknya orang-orang yang keras seperti kau dan kawan-kawanmu meskipun mereka tidak berilmu hitam. Ternyata bahwa mereka sama sekali tidak menaruh iba melihat orang yang kau pegangi itu meronta-ronta ketakutan.”

Paguh menggeram dengan nada yang berat. Matanya menjadi semakin merah.

Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang itu pun berkata, “Kau jangan membuat persoalan-persoalan baru disini anak muda. Baiklah, katakan kami tidak menaruh belas kasihan. Tetapi sikapmu seharusnya agak lebih baik dari yang kau tunjukkan itu.”

“Kami minta maaf.” jawab salah seorang dari kedua anak muda itu, “Seharusnya kami memang berbuat demikian. Tetapi kami harap bahwa kalian tidak membiarkan sikap yang gila itu terjadi lagi.”

Orang yang paling tua dari ketiga orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkala, “Baiklah anak muda. Kau benar. Seharusnya kami tidak membiarkan orang-orang itu berbuat sewenang-wenang. Nah baiklah. Aku akan mencegahnya.”

Kedua kawannya memandanginya dengan heran. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Baiklah. Kami memang harus berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Sekarang atau nanti.”

Kemarahan Paguh pun kemudian telah memuncak sampai keujung ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat ketiga orang yang semula dengan acuh tak acuh melihat orang yang meronta-ronta di tangannya itu sudah mempersiapkan diri untuk berkelahi.

Paguh tidak dapat tetap memegangi orang yang sudah hampir pingsan ketakutan itu. Tetapi ia adalah orang yang benar-benar tidak mempunyai perasaan. Karena itu, maka ia tidak hanya sekedar melepaskan orang itu dari genggamannya, tetapi orang itu telah dikibaskannya, sehingga ia terpelanting.

Jika kepalanya membentur dinding batu, maka, kepala itu tentu akan pecah, dan orang itu tidak akan mampu untuk bangkit kembali.

Tetapi untunglah, bahwa ia terlempar beberapa langkah dari salah seorang anak muda yang sudah menjadi semakin dekat itu. Dengan lincahnya, salah seorang dari kedua anak muda itu meloncat menyambarnya. Meskipun ia pun kemudian terdorong beberapa langkah, dan bahkan menjadi terhuyung-huyung, namun ia berhasil untuk menahan orang itu, sehingga kepalanya tidak terbentur apa pun juga.

Pada saat itu. kawan Paguh yang bertubuh kekar, menjadi sangat marah pula. Selagi anak muda itu menolong orang yang terpelanting, maka orang bertubuh kekar itu meloncat mendekatinya, dan siap untuk menyerang anak muda yang sedang sibuk menolong orang yang terpelanting itu.

Tetapi pada saat yang bersamaan, anak muda yang seorang lagi telah siap pula meloncat menghadapi orang bertubuh kekar itu.

Pada, saat itu, ketiga orang yang semula diharapkan untuk dijadikan korban itu pun telah siap pula. Dua orang yang lebih muda berdiri berjajar dekat sekali.

Yang seorang sempat berbisik, “Jangan lupa kau sebut namamu.” desisnya.

Yang muda mengerutkan keningnya, “Kenapa? Orang-orang berilmu hitam tentu sudah mengenal namaku. Aku menyebut namaku pada saat aku bertempur melawan salah seorang dari mereka di Kota Raja.”

“Kita akan menempuh perjalanan yang panjang. Jika orang-orang berilmu hitam itu mengenal bahwa kaulah yang bernama Linggadadi, maka kemana pun kau pergi, maka kau akan menjadi buruan mereka, dan itu akan sangat mengganggu, karena akan menjauhkan kita dari sarang mereka.”

“Kitalah yang akan datang ke sarang mereka.”

“Mereka akan menjebak kita. Justru karena mereka tahu bahwa kau bernama Linggadadi. Karena itu, jangan sebut namamu. Kita harus melawan kelimanya dan membunuhnya sampai orang yang terakhir agar tidak ada laporan yang terperinci mengenai diri kita masing-masing.”

“Banyak saksi yang melihat peristiwa ini.”

“Dari kejauhan. Dan mereka tidak akan dapat menyebut kita dengan ciri-ciri yang cermat.”

Yang paling muda. yang ternyata darahnya paling panas mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser menjauhi kakaknya Linggapati yang sudah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Pasar itu pun telah benar-benar menjadi bubar. Orang yang berada di kejauhan pun menjadi semakin menebar. Sementara itu, ketiga orang itu pun telah berdiri menghadap ketiga arah, sementara kelima orang lawannya telah mengepungnya.

Namun Paguh masih sempat bertanya, “He, anak-anak muda yang gila, anak bekasakan. Apakah kau ingin ikut kami bantai disini?”

“Nanti sajalah.” jawab yang muda dari kedua orang anak muda itu, “Berilah kesempatan kami menonton perkelahian yang tentu akan sangat menarik. Tiga melawan lima.”

“Anak setan.” Paguh menggeram. Tetapi ia tidak memperhatiannya lagi. Agaknya ia pun mengerti, bahwa kedua anak muda itu sama sekali bukan kawan dari ketiga orang yang akan ditangkapnya untuk dijadikan korban itu.

“Kami akan membunuh ketiga orang ini lebih dahulu.” geram Paguh di dalam hatinya, “Jika mungkin kami akan menyisakan seorang untuk dijadikan korban. Jika tidak, maka kedua anak-anak muda itu pun memadai. Meskipun nampaknya mereka masih terlalu muda, tetapi mereka agaknya telah memiliki ilmu yang dapat mereka banggakan.”

Demikianlah maka kelima, orang yang mengepung ketiga orang itu pun mulai bergerak dan merapat. Mula-mula mereka hanya maju selangkah demi selangkah. Namun agaknya mereka tidak mau berlama-lama.

“Kita langsung membantai mereka.” terdengar suara orang bertubuh kekar itu.

“Ya.” desis Paguh, “Tetapi jika mungkin salah seorang dari mereka pantas juga untuk dijadikan korban. Semakin tinggi ilmu mereka, maka mereka akan merupakan korban yang lebih baik.”

Yang terdengar adalah Linggadadi mengumpat, “Aku akan membunuh kalian berlima. Meskipun aku tidak biasa mengorbankan darah, maka aku akan memotong kepala kalian dan menggantungkannya di pintu gerbang empat penjuru kota kecil ini. Yang satu akan aku gantung di tengah-tengah kota atau di pintu gerbang pasar ini.”

Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi kemarahan mereka terungkap pada sebuah teriakan nyaring.

Tetapi ketiga orang itu telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan Linggadadi rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi. Di Kota Raja ia merasa kehilangan lawan berilmu hitam karena hadirnya Mahisa Bungalan. Dan kini ia bertemu lagi dengan orang berilmu hitam.

“Meskipun mereka berjumlah lima orang, tetapi dengan kakang Linggapati dan paman Daranambang, maka kelima orang itu tentu akan dapat kami kalahkan.” berkata Linggadadi di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka perkelahian pun tidak dapat di hindarkan lagi. Kelima orang itu mulai menyerang Linggapati dan kedua kawannya yang telah bersiaga pula menghadapinya.

Beberapa orang yang masih berkerumun di kejauhan, melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa orang pun segera berlarian memanggil beberapa orang pengawal kota di gardu mereka.

“Mereka tentu orang-orang gila yang berkelahi dalam kelompok-kelompok.” desis salah seorang pengawal.

“Mungkin anak-anak muda yang tidak mempunyai kesibukan mudah sekali terlibat dalam perselisihan berkelompok. Persoalan-persoalan kecil akan mekar menjadi sebab perkelahian yang hampir tidak terkendali.” berkata seorang pengawal yang lain.

“Marilah kita lihat.” desis seorang pengawal.

“Kita akan pergi bertiga. Anak-anak itu pada suatu saat harus dibikin jera.”

“Tetapi mereka bukan anak-anak.” berkata orang yang melaporkan perkelahian itu, “Memang ada diantara mereka yang terlibat dalam perselisihan itu masih muda. Tetapi ada pula yang sudah tua.”

“Siapapun mereka.” berkata salah seorang pengawal.

Demikianlah ketiga orang pengawal itu dengan tergesa-gesa pergi ke pasar. Dengan kemarahan yang menyesak dadanya, mereka berniat untuk menangkap mereka yang menjadi sebab perkelahian itu, karena perkelahian di antara anak-anak muda nampaknya akan menjadi kegemaran. Perkelahian antara anak-anak muda dari satu padukuhan dengan padukuhan yang lain. Bahkan kadang-kadang tanpa sebab. Mereka berpapasan di jalan, saling memandang dan kemudian mereka pun berkelahi. Ekor dari perkelahian itu adalah anak-anak muda sepadukuhan ikut serta berramai-ramai.

Ketika mereka mendekati gerbang pasar, maka beberapa orang yang berkerumun di kejauhan itu pun segera menyibak untuk memberi jalan kepada ketiga orang pengawal itu.

Namun demikian ketiga pengawal itu memasuki gerbang pasar yang sepi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dari pintu gerbang ia melihat sekelompok orang yang sedang berkelahi.

Ketiga pengawal itu pun menjadi termangu-mangu. Seperti bermimpi ia melihat perkelahian yang sedang berlangsung dipinggir pasar itu. Demikian dahsyatnya, sehingga ketiga orang pengawal kota kecil itu tidak dapat menilai, apakah yang sedang dihadapi.

“Mereka memang berkelahi berkelompok.” desis salah seorang pengawal itu.

“Tetapi yang mana melawan yang mana?” desis yang lain.

Ketiganya menjadi bingung. Mereka belum pernah melihat perkelahian yang demikian dahsyatnya.

“Apakah kita akan mendekat dan menangkap mereka?” bertanya salah seorang dari ketiganya itu dengan tiba-tiba.

Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kita akan mampu berbuat sesuatu atas mereka? Mereka memang bukan anak-anak muda yang sedang berkelahi karena mereka berpapasan di jalan dan saling memandang.”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam.

Seorang yang menonton perkelahian itu dari luar pasar, memberanikan diri mendekati ketiga pengawal itu sambil berbisik, “Apakah mereka akan ditangkap?”

“Kau gila.” geram pengawal itu, “Hanya para Senapati dari Singasari sajalah yang mampu melerai mereka dan menangkapnya.”

“Jadi?”

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa.”

Dengan demikian, maka tidak ada seorang pun yang berani mengganggu perkelahian itu. Semakin lama justru menjadi semakin dahsyat.

Dalam pada itu kedua anak-anak muda yang mendekati mereka yang sedang berselisih itu pun masih melihat perkelahian itu dari dekat. Bahkan nampaknya perkelahian itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga karena itu, maka keduanya seolah-olah telah terpesona oleh tata gerak dan ilmu yang dilihatnya pada setiap orang yang sedang bertempur mati-matian itu.

Paguh dan kawan-kawannya yang berjumlah lima orang itu segera, berusaha untuk berkelahi dalam sebuah lingkaran mengurung ketiga orang lawannya.

Tetapi ketiga orang lawannya itu sudah mengerti sepenuhnya cara orang berilmu hitam itu bertempur di saat-saat mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka akan segera berlari-lari mengelilingi lawannya dan menyerang dengan cepatnya sambil bergeser dalam putaran.

Linggadadi pernah menceriterakan, apa yang dilihat dan dialaminya. Meskipun saat itu ia berhadapan dengan seorang saja, namun cara yang akan dipergunakan oleh kelompok itu tentu tidak akan jauh berbeda. Apalagi setelah Linggadadi melihat kelima orang itu berada di dalam lingkaran yang mulai bergerak pelahan-lahan.

Agaknya Linggapati harus menghadapi lawan-lawannya dengan hati-hati. Itulah sebabnya, ia pun segera memegang pimpinan dalam kelompok kecil yang terdiri hanya oleh tiga orang itu.

Dengan isyarat-isyarat ia mulai mengatur perlawanan. Linggadadi yang pernah melihat cara orang berilmu hitam itu bertempur dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan seperlunya, sehingga kadang-kadang mereka bertiga dapat mendahului tata gerak dari lawannya.

“Gila.” desis Paguh, “Mereka tentu pernah melihat salah seorang dari keluarga kami dalam pertempuran yang sesungguhnya.”

Dalam pada itu tiba-tiba saja salah seorang berkata, “Apakah salah seorang dari ketiga orang ini bernama Mahisa Bungalan yang mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam?”

“Atau Linggadadi yang disebut pula telah membunuh orang berilmu hitam di Kota Raja?”

“Salah satu dari keduanya, Mahisa Bungalan atau Linggadadi. Dan keduanya bukannya kawan sekelompok.” desis kawannya yang lain.

Namun akhirnya Paguh menggeram, “Siapapun mereka itu, namun kita akan memusnakannya atau menangkapnya untuk dijadikan korban.”

Sementara itu kedua anak-anak muda yang melihat perkelahian itu pun berbisik, “Kita tahu pasti. Tidak seorang pun dari ketiga orang itu yang bernama Mahisa Bungalan, anak Mahendra yang mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam. Karena itu, jika benar salah seorang dari mereka pernah bertempur melawan orang berilmu hitam, maka salah seorang dari ketiga orang itu tentulah Linggadadi, karena salah seorang yang masih hidup telah menyebut namanya sendiri, Linggadadi saat terjadi perkelahian di rumah saudagar itu.”

“Ya. Salah seorang dari mereka tentulah Linggadadi itu. Atau orang yang berhubungan erat dengan Linggadadi.” sahut yang lain.

Meskipun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit, namun kedua anak muda itu sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Bahkan mereka seolah-olah mendapat tontonan yang amat mengasyikkan. Sekali-kali mereka saling menebak gerak dari kedua belah pihak. Namun kemudian mereka mulai menilai, siapakah yang akan segera dapat menguasai lawannya.....

Seperti yang diduganya, maka kelima orang berilmu hitam itu mulai bergerak dalam putaran. Semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian, gerakan mereka mulai membingungkan.

“Mereka mulai dengan ilmu mereka yang sebenarnya.” desis salah seorang dari kedua anak muda itu.

“Nah, apakah yang akan dilakukan oleh lawannya.”

Kedua anak muda itu menjadi tegang. Namun sekilas mereka masih sempat melihat orang-orang yang dengan cemas menyaksikan perkelahian itu. Bahkan ia masih melihat para pengawal melambai kepada mereka, dan memberikan isyarat agar mereka meninggalkan perkelahian itu.

Kedua anak muda itu tersenyum. Bahkan salah seorang dari keduanya sempat menggelengkan kepalanya.

Demikianlah mereka kembali menyaksikan perkelahian yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Orang-orang berilmu hitam itu mulai berputaran semakin cepat.

Namun tiba-tiba putaran itu menjadi terputus oleh gerakan orang-orang yang ada di dalam kepungan itu. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka dengan tangkasnya justru menyerang Paguh menurut arah putarannya. Selagi Paguh merasa terganggu tiba-tiba saja yang lain meloncat pula cepat dimuka Paguh. Dengan demikian maka putaran itu terputus karenanya. Orang yang berada di belakang Paguh hampir saja kehilangan keseimbangan arah. Tetapi ternyata bahwa orang itu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Demikian Paguh terhenti, maka ia pun segera meloncat memasuki lingkaran dengan serangan beruntun kepada orang yang telah mengganggu Paguh dengan serangan menurut arah geraknya.

Tetapi agaknya semuanya sudah diperhitungkan. Orang yang mengganggu Paguh itu adalah Linggadadi sendiri. Sedangkan orang yang telah meloncat memutuskan gerak lingkaran di depan Paguh adalah Linggapati. Sementara itu, orang yang paling tua diantara ketiga orang itu, telah siap mengamati segala sesuatu yang dapat berkembang dalam perkelahian itu.

Dengan demikian, maka Linggadadi yang mendapat serangan langsung dari orang yang berputar di belakang Paguh itu pun segera melayaninya. Sementara itu Linggapati dengan lincahnya langsung melawan Paguh yang menggeram menahan kemarahan yang memuncak.

“Kalian dapat memecahkan lingkaran kami.” geram Paguh, “Tetapi itu belum berarti kalian dapat memecahkan ilmu kami yang selengkapnya. Seorang-seorang kami adalah penakluk dari segala ilmu. Meskipun seandainya kau adalah Mahisa Bungalan yang disebut pembunuh orang berilmu hitam namun kau tentu tidak akan dapat membunuh aku dan memecahkan perlawanan kami bertiga.”

Linggapati tidak menjawab. Ia menyerang Paguh dengan lincahnya, sehingga Paguh pun terpaksa meloncat surut.

Ternyata perkelahian itu benar-benar telah berubah wajahnya. Orang-orang berilmu hitam itu tidak lagi dapat membuat sebuah lingkaran, karena Linggadadi dan Linggapati telah berhasil bergeser saling menjauhi.

Namun dalam pada itu, yang segera berada di dalam kesulitan adalah Daranambang. Karena kedua kawannya masing masing bertempur melawan seorang, maka yang tersisa dari lima orang itu telah bersama-sama mengurungnya.

“Gila.” desis Daranambang, “Nafasku adalah nafas tua. Dan aku harus bertempur melawan tiga orang sekaligus. Tetapi asal saja mereka tidak berbuat curang, maka aku kira aku akan dapat bertahan sampai salah seorang dari kedua bersaudara itu sempat membunuh lawannya.”

Karena itu, maka Daranambang pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi setiap kemungkinan. Dengan cermat ia menghadapi ketiga lawannya yang mulai berusaha untuk berputar di sekelilingnya.

Linggadadi dan Linggapati melihat kesulitan yang akan menerkam Daranambang. Agaknya orang berilmu hitam itu telah dengan sengaja membagi kekuatannya dengan cara yang tidak seimbang. Dengan demikian, mereka akan dapat dengan mudah membunuh lawannya. Mereka yang bertempur bersama sama bertiga, dengan cepat akan dapat menyelesaikan orang tua itu. Selebihnya, mereka akan membunuh seorang lawannya lagi, sementara yang lain harus bertahan untuk beberapa saat. Namun agaknya cara itu akan berlangsung lebih cepat daripada cara yang lain, karena mereka masing-masing yakin bahwa lawannya tidak akan mampu mengalahkan mereka.

Namun saat itu, ternyata bahwa lawan kelima orang berilmu hitam itu adalah Linggadadi dan Linggapati serta seorang kepercayaannya meskipun sudah menjadi semakin tua, Daranambang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang memiliki kelebihan dari ilmu kebanyakan orang.

Meskipun demikian, baik Linggadadi maupun Linggapati harus bertempur dengan sekuat tenaga agar mereka dapat dengan cepat mengalahkan lawannya. Harus lebih cepat dari ketiga orang yang bertempur bersama-sama melawan Daranambang.

Tetapi mengalahkan orang berilmu hitam itu pun tidak mudah. Mereka memiliki kelincahan dan kekasaran yang dengan tanpa ragu-ragu berusaha memeras darah lawannya.

Betapapun juga kematangan ilmu Daranambang, namun ia tidak dapat mencegah ketiga lawannya yang mulai bergerak melingkarinya. Ia tidak dapat meloncat seperti Linggadadi dan Linggapati memotong gerak lawannya, karena dengan demikian akan sangat berbahaya baginya justru lawannya adalah tiga orang.

“Aku harus memecah lingkaran itu, dan meloncat keluar.” katanya, “Kemudian dengan cara yang khusus aku harus mencegah mereka untuk membentuk lingkaran semacam ini lagi.”

Tetapi Daranambang cukup masak, justru karena umurnya yang telah menjadi semakin tua. Ia tidak menjadi gelisah dan bertindak dengan tergesa-gesa. Untuk sejenak, ia masih membiarkan ketiga orang itu mulai berputaran. Bahkan kemudian ia masih tetap tenang ketika salah seorang dari ketiganya mencoba menyerangnya.

Daranambang merendahkan dirinya pada lututnya.

Kemudian tanpa diduga sama sekali oleh lawannya, Daranambang berteriak nyaring. Sebuah kejutan telah menghentakkan kepungan itu. Dengan tangkasnya Daranambang memusatkan serangannya kepada salah seorang dari ketiga orang yang mengepungnya, mengikuti arah putarannya.

Namun dalam saat-saat yang gawat itu, Darnambang tidak meloncat memotong putaran itu, tetapi ia meloncat lebih jauh lagi, memecahkan kepungan itu dan sejenak kemudian ia sudah berada di luar.

Sesaat keriga orang berilmu hitam itu termangu-mangu. Namun ternyata mereka pun mampu bergerak cepat. Sebelum Daranambang mampu memperbaiki keadaanya, dan berusaha untuk mencegah kepungan berikutnya, ternyata ketiga orang itu telah berada ditiga penjuru. Mereka melangkah perlahan-lahan mendekatinya dari tiga arah. Salah seorang dari mereka berkata, “Kau memang luar biasa orang tua. Kau mampu memecahkan putaran kami. Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga, betapapun tinggi ilmumu.”

“Mungkin.” jawab Daranambang dengan tenang. “Tetapi sebentar lagi, aku pun akan bertempur bertiga. Kedua kawanmu yang bertempur masing-masing melawan seorang kawanku itu tidak akan mampu bertahan lagi. Agaknya aku akan berhasil berkelahi lebih lama dari kedua kawanmu. Nah, akibatnya kalian dapat membayangkan.”

Sekilas ketiga orang itu mencoba melihat perkelahian antara kedua kawannya melawan Linggadadi dan Linggapati. Ternyata ucapan orang tua itu bukan sekedar untuk menakutinya saja. Tetapi kedua kawannya memang telah terdesak.

Namun salah seorang dari ketiga orang itu masih berkata, “Tentu kematianmu akan datang lebih cepat. Betapa tinggi ilmumu, kau tidak akan dapat melawan kami bertiga. Apalagi kami telah bertekad membunuh kau lebih dahulu dan kekalahan yang mungkin menerkam kawan-kawanku.”

Daranambang tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk melawan ketiga lawannya. Ternyata sulit sekali baginya untuk mencegah kepungan yang sudah mulai merapat.

“Aku harus memecah kepungan itu setiap kali untuk memperpanjang perlawananku.” katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan Linggapati dan Linggadadi segera berhasil.”

Daranambang kembali merendahkan dirinya pada lututnya ketika ia melihat ketiga orang itu mulai bergerak mengelilinginya. Tetapi mereka pun telah bersiap pula menghadapi kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang tua itu.

Daranambang mengerutkan keningnya. Ia melihat ketiga orang itu menjadi lebih berhati-hati, sehingga kemungkinan baginya untuk memecah putaran itu tentu akan menjadi semakin sulit.

Bahkan kemudian Daranambang itu sampai pada kemungkinan yang dapat terjadi padanya dengan pasrah. Katanya kepada diri sendiri, “Aku sudah berpuluh tahun bertualang. Pada hari tuaku, aku masih harus mengulanginya, sehingga agaknya aku telah melihat hampir semua segi kehidupan. Dengan demikian, jika kematian datang, aku tidak akan menyesal lagi.”

Karena itu, justru ia menjadi semakin tenang. Dengan saksama ia melihat semua gerak dari ketiga lawannya.

“Sebutlah nama anak cucumu.” desis salah seorang lawannya.

Daranambang tidak menyahut. Tetapi ketika ia sempat melihat perkelahian Linggadadi dan Linggapati melawan masing-masing seorang berilmu hitam, ia pun dapat mengharap babwa mereka akan dapat segera memenangkan perkelahian.

“Tetapi jika aku mati lebih dahulu, maka keseimbangan itu pun tentu akan berubah, karena masing-masing harus melawan dua dan tiga orang. Atau barangkali salah seorang dari kedua kakak beradik itu harus melawan empat orang sekaligus agar cepat dapat diselesaikan.” berkata Daranambang di dalam hati.

Namun dalam pada itu, selagi ia dengan berdebar-debar menunggu saat yang paling menegangkan itu, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berkata, “He, itu tidak adil. Seorang yang sudah lanjut usianya justru harus melawan tiga orang meskipun orang tua itu berilmu tinggi, dan bahkan ilmunya menjadi semakin matang.”

Semua orang yang mendengar suara itu pun segera berpaling, bahkan juga Linggadadi, Linggapati dan lawan-lawannya.

Daranambang menjadi heran. Salah seorang dari kedua anak muda yang tidak mau menyingkir dari arena itulah agaknya yang telah berbicara.

“Pergilah.” teriak Daranambang dari dalam lingkaran lawangnya.

“Tidak. Aku tidak akan pergi. Meskipun aku kecewa melihat sikapmu bertiga pada saat kalian tidak berbuat apa-apa ketika orang berilmu hitam itu akan membunuh orang yang tidak bersalah, namun aku pun sekarang tidak dapat melihat kelicikan ini.”

“Jangan membuat kami bertambah marah.” geram salah seorang dari mereka yang berilmu hitam itu.

“Kalian membuat aku marah sejak semula.” jawab anak muda yang lain, “Karena itu berhentilah berkelahi. Atau berkelahilah seorang lawan seorang. Setidak-tidaknya dua orang saja dalam satu lingkaran. Bukan dengan licik bertiga melawan satu orang agar dapat dengan cepat membunuh lawan, untuk berbuat licik pula terhadap lawan yang lain.”

“Tutup mulutmu anak gila. Nanti aku akan membuat perhitungan dengan kau berdua jika kau berdua tidak pergi dari tempatmu.”

Tetapi kedua anak-anak muda itu tertawa. Yang lebih kecil berteriak, “Aku akan menunggu disini. Ah. Tidak. Aku tidak hanya akan sekedar menunggu. Tetapi aku akan melawan ketidak adilan itu. Aku akan bertempur bersama ketiga orang yang meskipun belum aku kenal, tetapi agaknya masih agak lebih baik dari kelima orang berilmu hitam itu.”

“Persetan.” teriak Paguh.

Tetapi Linggapati pun menggeram, “Kau tidak usah ikut campur tikus sombong.”

“Itu urusanku.” jawab anak muda itu, “Atau barang kali urusanku adalah mencampuri urusanmu karena aku tidak dapat melihat ketidak adilan. Jika orang tua itu mati terbunuh dihadapanku dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menyesal untuk waktu yang sangat lama.”

“Gila.” teriak orang berilmu hitam yang bertempur melawan Daranambang, “Aku akan membunuhmu.”

Tiba-tiba saja orang itu meloncat sambil menyerang salah seorang dari kedua anak muda itu sambil berteriak, “Aku akan membungkammu lebih dahulu sebelum aku mengelupas kulit orang tua ini.”

Tetapi ternyata kedua anak muda itu sudah bersiap. Serangan itu tidak berhasil menyentuh pakaiannya. Bahkan sambil meloncat anak muda itu masih berkata, “Kita akan bertempur seorang lawan seorang. Setelah kelima orang berilmu hitam itu habis, terserahlah kepada kalian bertiga yang masih tetap hidup Apakah kalian tetap akan membuat perhitungan justru karena kami telah mencampuri urusan kalian atau tidak.”

Linggapati menyahut, “Jika kalian mau mendengar kata-kataku, pergilah. Orang-orang berilmu hitam bukan sekedar kawan bermain-main.”

“Aku tidak sedang bermain-main.” jawab anak muda yang lain, “Tetapi aku ingin berlatih.”

Jawaban itu pun telah membuat orang-orang berilmu hitam itu menjadi semakin marah. Seorang lagi dari mereka telah meninggalkan Daranambang. Dengan demikian maka lingkaran perkelahian itu pun kemudian berubah menjadi semakin luas, karena yang terjadi kemudian adalah perkelahian di lima lingkaran.

“Bagus.” teriak anak muda yang seorang, “Jika kalian tidak menyerang kami, maka kamilah yang akan menyerang kalian dan memecahkan kepungan kalian.”

Orang-orang berilmu hitam itu menjadi semakin marah. Apalagi yang langsung bertempur melawan kedua anak-anak muda itu. Salah seorang dari mereka pun kemudian menggeram, “Aku benar-benar akan mengelupas kulitmu seperti pisang.”

Tetapi anak muda itu masih sempat tertawa. Katanya, “Kau tidak mengelupas kulit lawanmu di dalam perkelahian. Jika lawanmu sudah tidak berdaya lagi, barulah kau melakukannya.”

“Persetan. Kau akan melihat.” geram Paguh, “Lawanku akan segera terlempar dari putaran ilmu dengan kulit terkelupas.”

“Bukan terkelupas. Aku tahu yang sebenarnya. Lukanyalah yang arang kranjang, sehingga seolah-olah seperti terkelupas kulit lawanmu, maka tentu kau akan melemparkan kulit lawanmu seperti selembar baju yang merah oleh darah. Bukankah tidak begitu?”

“Tidak ada bedanya luka-luka arang kranjang. Tidak ada sejemput kulit pun yang tidak terluka oleh senjataku.”

Tetapi anak muda itu menggeleng. Katanya, “Kau tidak akan melakukannya atas lawanmu. Aku yakin, sebentar lagi kau akan terdesak. Dan agaknya lawanmu itu pun dapat melakukan seperti yang kau lakukan. Melukai kulitmu arang kranjang sehingga tubuhmu kemudian bagaikan tidak berkulit lagi.”

Paguh menggeram. Tetapi ia masih tetap bertempur melawan lawannya yang memang tangguh. Apalagi Linggapati memang sudah berniat untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan menumpas lawannya sampai orang yang terakhir.

Hadirnya dua orang anak-anak muda yang tidak mereka kenal, merupakan persoalan tersendiri bagi Linggapati dan kedua kawannya. Tetapi mereka sama sekali tidak mencegah, ketika kedua lawan mereka sedang marah telah melawan kedua anak muda itu.

Bahkan kemudian Linggapati menjadi heran. Anak yang masih muda itu sama sekali tidak sekedar bergurau dengan kata-katanya. Mereka bukannya sekedar anak-anak yang sombong dan tidak mengerti bahaya yang sedang mengancam.

Ketika kedua anak-anak muda itu sudah bertempur ternyata bahwa keduanya memang memiliki bekal yang cukup untuk melawan orang-orang berilmu hitam itu, sehingga keduanya akan mampu mempertahankan diri masing-masing.

Sementara itu, Linggapati dan Linggadadi pun segera dapat mendesak lawannya. Bagi Linggadadi yang pernah bertempur melawan orang berilmu hitam di Kota Raja, menganggap bahwa lawannya kali ini masih belum setingkat ilmunya dengan orang yang terbunuh di Kota Raja. meskipun orang yang dilawannya saat itu pun cukup berbahaya.

Sementara itu, Linggapati pun telah mendesak lawannya pula. Paguh segera mengalami beberapa kesulitan. Ia tidak dapat mempergunakan ilmunya yang dapat membingungkan lawannya, karena loncatan-loncatan Linggapati yang memotong geraknya justru membuatnya bingung sendiri.

Meskipun demikian, baik Linggadadi, Linggapati maupun Daranambang mengakui, meskipun hanya di dalam hati, jika kedua orang anak muda itu tidak datang mengganggu, mungkin keadaannya akan berbeda. Daranambang tidak akan dapat bertahan cukup lama, sepanjang yang dapat diberikan oleh Paguh dan seorang kawannya. Jika Daranambang tidak lagi mampu melawan, maka akan segera datang giliran Linggapati dan Ling gadadi yang harus bertempur melawan dua dan tiga orang.

Sementara itu, kedua anak-anak muda itu pun bertempur dengan lincahnya. Seperti Linggadadi dan kedua kawannya, maka kedua anak-anak muda itu pun mampu mengimbangi ilmu lawannya. Agaknya ilmu lawan mereka memang masih belum setingkat pula dengan orang berilmu hitam yang terbunuh di Kota Raja oleh Mahisa Bungalan.

Semakin lama perkelahian itu berlangsung, Linggadadi menjadi semakin heran melihat kedua anak-anak muda itu. Mereka seolah-olah sempat membuat latihan-latihan di dalam tata gerak mereka justru dalam keadaan yang sangat berbahaya.

“Aneh.” desis Linggadadi, “Kedua anak-anak muda itu mempunyai sikap dan tingkah laku mirip dengan Mahisa Bungalan.”

Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya, “Mungkin memang demikianlah kebiasaan anak-anak muda. Ia ingin banyak mengetahui. Juga tentang lawannya, sehingga kadang-kadang mereka menjadi kurang berhati-hati. Mereka ingin mencoba sejauh mungkin setiap tata gerak yang pernah dipelajarinya.”

Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, meskipun kemudian nampak bahwa setiap orang berilmu hitam itu telah terdesak oleh lawan-lawan mereka masing-masing.

“Gila.” geram Paguh yang sama sekali tidak mengira bahwa di kota kecil itu akan dijumpai orang-orang yang ternyata memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari yang diduganya. Mereka bukan sekedar pengawal-pengawal kota kecil yang pingsan melihat tata gerak mereka yang pertama. “Siapakah sebenarnya orang orang gila yang berilmu iblis ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Namun Paguh pun tahu, bahwa kedua anak-anak muda itu datang kekota kecil itu tanpa ada hubungannya dengan ketiga orang yang menjadi sasaran pilihan mereka untuk dijadikan korban di hari-hari yang sudah ditentukan, disaat purnama naik beberaapa hari lagi.

Tetapi pada saat yang tentu tidak terduga-duga itu, mereka telah menggabungkan kekuatan mereka, untuk bersama-sama melawan kekuatan dari orang-orang yang disebut berilmu hitam.

Sekali lagi Paguh menggeram. Namun dalam pada itu, tumbuhlah suatu kesadaran pada dirinya, bahwa kelompok orang-orang yang disebut berilmu hitam itu telah dimusuhi oleh setiap orang. Pihak-pihak yang saling bermusuhan dan bersaing, akan bergabung menjadi satu, dengan memadukan kekuatan mereka untuk melawan orang-orang yang disebut berilmu hitam itu.

“Kami adalah orang yang paling dibenci oleh siapapun juga.” berkata Paguh di dalam hatinya. Dan ia pun tahu, apa sebabnya.

“Kami telah mengorbankan darah manusia untuk kesegaran ilmu kami. Itu adalah alasan yang paling kuat dari setiap orang untuk membenci kami.”

Tetapi Paguh adalah orang yang berhati batu. Kesadaran itu justru membuatnya bagaikan gila. Kebencian orang lain kepada dirinya dan kawan-kawannya telah membakar jantungnya dan membuatnya semakin kehilangan pertimbangan.

“Orang-orang ini harus mati. Aku dan setiap orang dalam lingkungan tidak boleh ragu-ragu untuk membunuh. Dan aku bersama-sama dengan kawan-kawanku akan membunuh semua orang di kota kecil ini.”

Dengan demikian maka Paguh pun kemudian bertempur bagaikan orang yang kehilangan akal. Kasar dan bahkan buas. Ia berteriak-teriak nyaring sambil meloncat-loncat menyerang. Namun melawan Linggapati ia tidak dapat mempergunakan tata geraknya yang dapat membuat lawannya menjadi bingung dan kemudian pening.

Setiap ia. berusaha melingkari lawannya, dengan tangkasnya Linggapati telah mendahuluinya dan memotong tata geraknya, sehingga akhirnya Paguh sendirilah yang menjadi bingung.

Dengan tenang Linggapati mendesak lawannya terus. Demikian pula Linggadadi dan Daranambang. Sedangkan kedua anak muda yang ikut bertempur pula itu, benar-benar sedang mencoba menjajagi ilmu lawannya dengan caranya, meskipun kadang-kadang membahayakan jiwanya.

“Anak-anak itu memang gila.” desis Linggadadi di dalam hatinya, “Seperti Mahisa Bungalan anak-anak itu mempertaruhkan nyawa dalam suatu kemanjaan sikap dan kurang berhati-hati.”

Namun ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu masih tetap bertahan terus, meskipun kadang-kadang mereka harus meloncat jauh surut untuk memperbaiki kedudukannya yang menjadi kacau.

Tetapi terhadap anak-anak muda itupun, lawannya yang berilmu hitam tidak berhasil berlarian untuk mengitarinya. Anak-anak muda itu pun mampu meloncat dengan cepat dan tangkas, sehingga setiap kali tata gerak orang-orang berilmu hitam itu pun terpotong.

Dengan demikian, maka semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa kelima orang berilmu hitam itu sama sekali tidak dapat mengimbangi lawan masing-masing. Apalagi Paguh yang harus melawan Linggapati. Dengan cemas ia harus mengerahkan semua kemampuannya, sampai batas yang paling kasar sekalipun.

Namun ia tetap tidak berhasil. Linggapati tetap mendesaknya terus. Bahkan kemudian nyawa Paguh pun telah mulai terancam.

Dengan mengimbangi lawannya yang bersenjata pisau-pisau panjang, Linggapati mempergunakan sebilah keris. Dengan keris itulah ia siap untuk menikam lawannya sampai mati.

Dan ternyata bahwa Linggapati tidak berkhayal. Sejenak kemudian ia benar-benar telah mendesak Paguh yang tidak mampu lagi melawan dengan cara apapun. Betapa ia berteriak-teriak dan melonjak-lonjak dengan kasarnya, namun dengan pasti Linggapati telah mendesaknya sampai kebatas kemampuannya yang terakhir.

Ketika Paguh kemudian terdorong sampai ke dinding batu rendah yang melingkari pasar itu, maka ia tidak dapat melangkah surut lagi. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk meloncati pasar itu dan bertahan di luar dinding.

Namun tepat pada saat ia meloncat naik, maka tikaman keris Linggapati tidak dapat dihindarinya lagi. Ujung keris itu telah menembus lambungnya yang tersobek karenanya.

Paguh mengeluh panjang. Ia terduduk di atas dinding batu rendah itu. Dengan tangannya ia bertahan, agar ia tidak terjatuh.

Namun pada saat yang bersamaan ia sempat mendengar teriakan lain. Dengan menahan sakit Paguh masih sempat berpaling dan melihat kearah suara itu. Ternyata bahwa seorang kawannya telah terlempar dari arena perkelahian dengan ujud tubuh yang sangat mengerikan.

Tubuhnya seolah-olah telah terkelupas. Darahnya melumuri setiap lubang-lubang bulunya, sehingga tubuh itu bagaikan sudah tidak berbentuk lagi.

“Gila.” teriak Paguh. Namun kemudian ia pun telah terjatuh ke tanah. Sesaat ia menggeliat sambil bergumam, “Kau mati dengan cara itu?”

Kata-katanya pun telah terputus. Sedangkan dibagian lain, seorang kawannya pun mati dengan luka-luka yang menganga di seluruh tubuhnya.

Linggapati memandang adiknya dengan tatapan mata yang bagaikan menusuk sampai kepusat jantung. Tatapan mata yang seolah-olah menuntut pertanggungan jawab atas tingkah laku adiknya itu.

“Kau bunuh ia dengan biadab.” geramnya.

Linggadadi memandang kakaknya dengan heran. Justru karena kakaknya nampak tidak senang melihat kemenangannya.

“Kenapa kakang?” ia bertanya.

“Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk membunuh lawanmu?”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Cara ini adalah cara yang paling baik bagi orang-orang berilmu hitam.” Ia berhenti sejenak untuk menebarkan tatapan matanya. Ia melihat Daranambang dan kedua anak muda itu masih bertempur meskipun pertempuran itu agaknya terganggu juga oleh kematian Paguh dan seorang kawannya dengan cara yang sangat mengerikan. Lalu, “Kakang agaknya terlampau sopan menghadapi orang-orang seperti kelima orang itu. Bahkan aku ingin menganjurkan, agar yang tiga itu pun dibunuh dengan cara yang sama.”

“Kau gila Linggadadi. Aku juga seorang pembunuh seperti kau dan orang-orang berilmu hitam. Tetapi tidak dengan cara itu.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab. Kakaknya akan dapat menjadi semakin marah kepadanya. Meskipun kakaknya pasti tidak akan berbuat apa-apa, tetapi mungkin sekali ia akan mengirimkannya kembali, dan meneruskan perjalanannya hanya dengan Daranambang.

Daranambang yang melihat pembunuhan itu pun merasa ngeri. Tetapi ia masih terikat dalam perkelahian sehingga perhatiannya pun seluruhnya terpusat kepada lawannya.

Sementara itu kedua anak-anak muda itu pun masih juga bertempur. Agaknya kematian salah seorang berilmu hitam itu sangat mempengaruhi perasaan mereka, sehingga justru karena itu, mereka tidak lagi mempunyai kegembiraan. Semula mereka berkelahi sambil mencoba ilmunya dalam berbagai cara dan bentuk untuk mencari penyesuaian dalam perlawanannya terhadap ilmu hitam itu. Namun kematian yang mengerikan itu membuat mereka bertempur dengan bersungguh- sungguh.

Ketiga orang berilmu hitam yang masih tinggal hidup itu pun menjadi ngeri melihat seorang kawannya yang mati dengan cara yang biasa mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak tersentuh perasaannya, apabila mereka melihat orang lain yang mati dengan cara yang kadang-kadang masih lebih mengerikan lagi. Jika mereka berhasil menangkap korbannya hidup-hidup, namun mereka tidak memerlukan korban bagi ilmu mereka, maka mereka beramai-ramai mengupas kulit lawannya. Benar-benar mengupas kulitnya. Seperti mengelupas kulit pisang, bukan seperti mengelupas kulit waluh.

Tetapi ketika kematian yang serupa, meskipun bukan terkelupas kulitnya seperti kulit pisang, telah terjadi atas seorang kawannya, maka perasaan ngeri itu pun telah menyengat jantung mereka.

Tetapi mereka sudah terlanjur berada dimedan yang parah. Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi dapat mundur. Mereka harus bertempur sampai batas kemampuan mereka.

Namun dalam pada itu, Linggapati yang merasa dirinya dan kedua orang yang bersamanya itulah yang menjadi sasaran pilihan dari orang-orang berilmu hitam itu, maka ia pun mendekati kedua anak-anak muda yang masih bertempur itu sambil berkata, “Kami berterima kasih kepadamu anak-anak muda. Kalian telah mengurangi beban kami, disaat-saat kami dalam kesulitan. Sekarang, dua, orang lawan kami telah mati. Karena itu, berikanlah lawanmu kepadaku. Aku yakin bahwa jika kalian bersungguh-sungguh, maka lawan-lawanmu akan segera dapat kau binasakan. Tetapi ternyata kalian benar-benar sedang bermain-main. Karena itu, biarlah kami menyelesaikan tugas kami atas dua orang berilmu hitam itu.”

Kedua anak-anak muda itu masih bertempur terus. Namun Linggapati mendesaknya lagi, “Tinggalkan mereka. Aku dan adikku akan menyelesaikannya.”

“Katakan dahulu, siapakah kalian.” tiba-tiba saja salah seorang dari kedua anak-anak muda itu bertanya.

“Itu tidak penting. Sekarang, biarlah kami bertempur melawan kedua orang itu.”

“Hanya ada dua orang yang berpengalaman melawan orang berilmu hitam di Kota Raja. Menurut pendengaran kami, mereka adalah Linggadadi dan dari sumber lain mengatakan Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam. Nah, siapakah diantara kalian salah seorang dari kedua orang itu?”

“Aku.” teriak Linggadadi, “Aku adalah Mahisa Bungalan.”

“O.” salah seorang dari kedua anak muda itu menjawab sambil bertempur, “Jika demikian, biarlah kami menyelesaikan pertempuran ini.”

“Jangan membuat kami marah anak sombong.”

“Apa yang akan kalian lakukan jika kalian marah?”

“Bergabung dengan orang-orang berilmu hitam itu dan membunuh kau berdua. Baru kemudian aku akan membunuh orang orang berilmu hitam itu.”

“Bagus sekali. Seperti yang pernah dilakukan oleh Linggadadi. Ia melepaskan lawannya yang berilmu hitam dan membiarkan orang berilmu hitam itu bertempur mewalan Mahisa Bungalan.”

“He, darimana kau tahu.” teriak Linggadadi.

“Bukankah demikian menurut ceritera orang? Katakan Mahisa Bungalan, apakah ceritera itu benar?”

Linggadadi termangu-mangu. Ia memperhatikan kedua anak-anak muda itu bertempur dengan lincahnya meskipun mereka sudah tidak mempertaruhkan perkelahian itu untuk menjajagi kemampuan ilmu mereka.

Dalam pada itu Linggapati pun masih saja termangu-mangu. Ia mencoba menebak siapakah kedua anak muda itu. Namun ternyata ia tidak mendapat gambaran sama sekali tentang keduanya.

Namun karena itu, maka ia pun mencoba mengambil cara lain untuk melepaskan kedua anak muda itu dari arena. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata dengan nada yang lunak, “Anak muda. Seperti yang sudah aku katakan, aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas bantuanmu. Tanpa kalian berdua, mungkin akhir perkelahian ini akan menjadi berbeda.”

“Tidak.” potong Linggadadi, “Kami akan tetap berhasil membunuh mereka berlima.”

Linggapati mengerutkan keningnya. Namun ia berkata selanjutnya, “Karena itu anak muda, biarlah kami menyelesaikan persoalan kami dengan orang-orang berilmu hitam itu. Bantuan kalian sudah cukup bagi kami.”

“Dan kalian akan membunuh orang-orang berilmu hitam ini dengan cara yang biadab itu?”

“Tidak. Aku akan mengingatkannya, agar tidak lagi melakukan pembunuhan seperti itu. Tetapi kami akan tetap membunuhnya. Dengan cara wajar.”

“Persetan.” teriak orang berilmu hitam, “Kalian menyangka bahwa kami ini sekedar barang yang dapat kalian serah terimakan begitu saja tanpa berbuat apa-apa?”

“Jangan hiraukan.” desis Linggapati.

“Kami ragu-ragu.” jawab salah seorang dari kedua anak muda itu sambil bertempur, “Aku akan dapat membunuhnya. Sama sekali tidak dengan cara biadab itu.”

“Kami juga.”

“Dan orang yang mengaku bernama Mahisa Bungalan itu?”

“Ia juga tidak.”

Tetapi Linggadadi sendiri tidak menyahut. Bahkan mulutnya yang terkatup rapat-rapat itu seolah-olah menyimpan kemarahan yang melonjak-lonjak di dadanya.

“Anak-anak itu memang harus dibunuh pula.” katanya di dalam hati.

Sejenak kedua anak-anak muda itu masih bertempur. Namun kemudian mereka berkata, “Aku akan menyerahkan keduanya. Tetapi kalian tidak akan berbuat dengan biadab seperti yang sudah terjadi.”

Gigi Linggadadi terdengar gemeretak, tetapi ia tidak menjawab. Linggapat ilah yang menjawab, “Kami berjanji.”

Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun kemudian menyerahkan kedua lawannya kepada Linggapati dan Linggadadi. sementara Linggapati berpesan, “Jangan melanggar perintahku.”

Linggadadi tidak menjawab. Tetapi wajahnya memancarkan kemarahan yang tidak tertahankan.

Kedua orang berilmu hitam itu pun menggeram. Mereka benar-benar merasa terhina oleh sikap lawan-lawannya. Kedua anak-anak itu pun menganggap mereka tanpa arti, yang kemudian dengan seenaknya menyerahkannya kepada orang lain.

Meskipun demikian, orang yang kebetulan harus bertempur melawan Linggadadi menjadi agak ngeri juga. Kawannya telah terbunuh dengan cara yang justru sering dilakukan oleh kawan-kawannya yang disebut oleh orang lain berilmu hitam.

Tetapi, kematian yang memang sudah membayang itu, tidak akan dapat mereka terima sambil menundukkan kepala.

“ Melawan atau tidak melawan, aku akan mati.” geram lawan Linggadadi di dalam hatinya.

Apalagi ketika Linggadadi telah menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan meskipun dengan cara yang tidak meyakinkan. Maka orang-orang berilmu hitam itu pun rasa-rasanya memang sudah berada diambang pintu maut.

Ketika kedua orang itu baru saja mulai bertempur melawan Linggadadi dan Linggapati, maka telah terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata lawan Daranambang pun telah terlempar dari arena pertempuran. Dadanya memancarkan darah yang tumpah dari lukanya. Tetapi Daranambang tidak membunuh lawannya dengan cara yang mengerikan seperti yang dilakukan oleh Linggadadi.

Daranambang berdiri termangu-mangu di samping mayat lawannya. Ia memalingkan wajahnya ketika diluar sadarnya terpandang olehnya mayat yang kulitnya bagaikan terkelupas oleh luka yang tidak terhitung jumlahnya. Bukan saja luka tusukan, tetapi juga goresan yang menyilang dada, punggung dan lambung silang menyilang.

Daranambang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian perlahan-lahan mendekati kedua anak muda yang menonton di pinggir arena.

“Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa.” berkata Daranambang.

“Ah.” desis yang tua.

“Semuda kalian, kalian telah menunjukkan ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang-orang berilmu hitam itu. Bahkan lebih tinggi dari padaku. Kalian dapat bertempur sambil bergurau dan seolah-olah sekedar menjajagi kemampuan lawanmu. Tetapi aku harus mengerahkan semua kemampuan yang ada padaku.”

“Kau memuji.”

“Aku berkata sebenarnya. Dan aku kagum atas kalian. Apakah kalian dapat mengatakan, siapakah kalian itu?”

Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah benar orang itu bernama Mahisa Bungalan?”

Daranambang termangu-mangu sejenak. Sekilas diamatinya Linggadadi yang sedang bertempur dengan keras dan penuh dendam.

Akhirnya dengan ragu-ragu Daranambang berkata, “Ya. Orang itu adalah Mahisa Bungalan.”

“Yang disebut pembunuh orang berilmu hitam?” bertanya anak muda yang lain.

“Ya.” Daranambang masih ragu-ragu.

Namun kemudian Daranambang terkejut ketika ia mendengar kedua anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang dari kedua anak itu berkata, “Salah kakek. Atau kakek sengaja membohongi kami. Karena itu, kami pun tidak akan mengatakan siapakah kami sebenarnya.”

“Anak setan.” Daranambang mengumpat. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Kalian sangat menarik perhatianku. Menyenangkan sekali Baiklah aku berkata terus terang. Aku memang berbohong. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat mengatakan tentang orang itu.”

“Seperti kami juga tidak dapat mengatakan tentang diri kami.”

“Baiklah. Kita sama-sama tidak mau menyebut diri kita masing-masing. Tetapi tidak apalah.” Daranambang berhenti sejenak, lalu, “Tetapi siapa pun kalian, aku tetap mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian. Seperti yang dikatakan anakku yang tua, tanpa kalian mungkin pertempuran ini akan berakhir lain sekali. Aku sependapat, meskipun orang yang bernama Mahisa Bungalan itu berpendapat lain.”

“Jangan sebut Mahisa Bungalan. Bukankah kakek berbohong?”

Kedua anak-anak itu tertawa. Namun suara tertawanya pun segera terputus ketika mereka mendengar pekik kecil. Sejenak kemudian maka mereka pun melihal lawan Linggapati terdorong surut. Perlahan-lahan ia terjatuh pada lututnya.

“Ia akan mati.” desis Daranambang.

“Ya. Ia akan mati. Yang seorang itu pun akan mati.”

Daranambang tidak menyahut. Tetapi seperti yang dikatakannya, maka lawan Linggapati itu pun kemudian jatuh terbujur di tanah. Mati.

Sementara itu Linggapati pun segera mendekati arena perkelahian adiknya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Biarlah ia hidup.”

“Aku akan membunuhnya.” desis Linggadadi.

“Kita memerlukan beberapa keterangan tentang orang-orang berilmu hitam. Jika ia tetap hidup, maka kita akan mendapat bahan-bahan yang kita perlukan.”

“Kenapa bukan lawanmu yang kau biarkan hidup?”

Linggapati mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Lawanku sudah terlanjur mati. Aku tadi tidak ingat, bahwa jika kita dapat membiarkan salah seorang dari mereka hidup, maka kita akan mendapatkan banyak keterangan tentang keadaan mereka.”

Linggadadi tidak segera menjawab. Tetapi ia masih tetap bertempur dengan garangnya.

“Dengarlah perintahku.” berkata Linggapati kemudian.

Jika Linggapati sudah berkata demikian, maka Linggadadi tidak akan dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera mengekang dirinya dan untuk beberapa saat ia melangkah surut mendekati kakaknya.

“Marilah, kita menangkapnya bersama-sama.” berkata Linggapati kepada Daranambang.

Orang tua itu pun kemudian bergerak pula. Bersama Linggapati dan Linggadadi, maka mereka bertiga pun segera mengepung lawannya.

“Gila.” teriak orang berilmu hitam itu, “Kalian akan mencoba menangkap aku hidup-hidup dan memeras keteranganku?”

Linggapati lah yang menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami ingin kau tetap hidup. Jika kau tidak melawan kehendak kami, maka kau akan menjadi orang yang sangat penting di dalam lingkungan kami, karena setiap kata-kata dan keteranganmu akan merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi kami.”

“Kau sangka aku tidak tahu, bahwa aku akan kalian ikat pada sebuah tiang. Aku harus menjawab setiap pertanyaan kalian, tahu atau tidak tahu? Jika aku tidak menjawab, maka kalian akan memaksa dengan cambuk, rotan atau bahkan pisau dan air belimbing wuluh bercampur garam?”

“Kau salah. Kami mempunyai kebiasaan yang lain dari kalian. Kami bukan orang-orang berilmu hitam yang harus melihat darah.”

“Bohong. Lihat, apa yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku bernama Mahisa Bungalan itu? Ia adalah pembunuh orang yang disebutnya berilmu hitam. Dan aku tahu sekarang, bahwa ia relah menirukan cara kami untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.”

“Tutup mulutmu.” teriak Linggadadi, “Kau akan kami tangkap dan kami perlakukan menurut kebutuhan kami. Jika kau tidak mempersulit tugas kami, maka kami akan bersikap baik terhadapmu. Tetapi jika sebaliknya, maka nasibmu memang buruk sekali. Mungkin benar seperti yang kau katakan. Segores luka dan setitik air belimbing wuluh arau jeruk pecel dan garam.”

Tiba-tiba saja kengerian yang sangar telah mencengkam orang berilmu hitam itu. Karena itu, maka ia pun menggeram, “Aku akan melawan kalian bertiga sampai mari. Mati adalah pelepasan yang paling baik bagiku dari pada segores demi segores luka di tubuhku dan air belimbing wuluh.”

Linggadadi mendesak maju. Ia menyerang bagaikan badai yang menghantam tebing pegunungan, sehingga oleh serangan itu maka orang berilmu hitam itu pun terdorong surut.

Sementara itu, Linggapati pun telah siap pula Ia ingin menyerang orang berilmu hitam itu sehingga ia menjadi pingsan Kemudian mengikatnya dan jika ia sadar, maka ia akan menjadi sumber keterangan.

Orang berilmu hitam itu benar-benar telah kehilangan setiap harapan untuk dapat meloloskan diri. Orang yang sudah tua diantara ketiga lawannya itu pun masih juga mampu bertempur seperti seekor harimau.

“Aku tidak mau jatuh ketangan mereka.” berkata orang berilmu hitam itu di dalam hatinya.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka semua sifat dan kegarangannya seolah-olah telah larut sama sekali. Ia tidak lagi dapat membayangkan, betapa ia bersama dengan kawan-kawannya menghadapi korban yang harus menitikkan darah bagi kesegaran ilmunya. Ia tidak lagi dapat menengadahkan wajahnya sambil menginjakkan kakinya ke atas dada korbannya yang bagaikan terkelupas kulitnya di arena pertempuran.

Tetapi orang berilmu hitam itu bagaikan berubah menja di seekor tikus yang malang dikelilingi oleh tiga ekor tikus yang garang.

Ketiga orang berilmu hitam itu benar-benar sudah merasa kehilangan setiap kemungkinan untuk melepaskan diri, maka ia pun tiba-tiba saja telah menjadi putus asa. Dalam keputus-asaan itu pun ia mengambil keputusan yang mengejutkan.

Tiba-tiba saja, diluar dugaan Linggapati, Linggadadi dan Daranambang, maka orang berilmu hitam itu mengayunkan senjata pendeknya langsung menghunjam ke dalam dadanya sendiri.

“Gila.” teriak Linggapati.

Tetapi suara Linggapari itu bagaikan kejutan yang justru mendorong tangan orang berilmu hitam itu semakin kuat menghunjamkan senjatanya.

Sejenak kemudian, maka tubuh itu pun jatuh terguling di tanah. Masih terngiang suaranya yang terputus, “Pilihan yang barangkali lebih baik dari jatuh ketangan kalian.”

Linggadadi benar-benar telah dicengkam oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi ketika ia meloncat mendekati mayat itu, Linggapati telah membentaknya, “Biarkan ia dalam keadaannya.”

Linggadadi menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat melanggar perintah itu. Namun demikian ia berkata, “Ia menyakiti hatiku. Lebih baik ia aku lumatkan.”

“Jangan berbuat sesuatu lagi.”

Linggadadi menghentakkan tangannya. Tetapi ia pun kemudian berpaling memandang dua orang anak muda yang masih berdiri termangu-mangu.

Sejenak sorot matanya yang bagaikan membara itu menatap keduanya berganti-ganti. Kemudian terdengar suaranya yang geram, “Kalian berdua adalah sasaran berikutnya.”

Kedua anak muda itu menjadi tegang. Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari keduanya bertanya, “Apa maksudmu Mahisa Bungalan?”

Linggadadi tercenung sejenak mendengar nama itu. Tetapi kemudian ia pun berkata lantang, “Kalian berdua pun harus dibunuh seperti orang-orang berilmu hitam itu.”

“Kenapa?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.

“Kalian telah menghina kami. Kalian menyangka, bahwa kami tidak akan dapat menyelesaikan tugas kami sebaik-baiknya tanpa bantuan kalian.”

Tetapi sebelum kedua anak muda itu menjawab, terdengar suara Linggapati, “Kau benar-benar telah menjadi gila.”

Tetapi Linggapati melangkah mendekati kedua anak muda itu sambil berkata, “Menyingkirlah. Bau darah telah membuat seseorang kehilangan pengamatan diri.”

“Kenapa aku harus menyingkir?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.

“Agar tidak timbul persoalan-persoalan baru disini. Aku tidak ingin melihat persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tetapi justru dapat menumbuhkan korban yang tidak berarti.”

“Kau mengancam kami?”

Linggapati mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.”

“Begitulah caranya?”

Daranambanglah yang kemudian mendekati keduanya sambil berkata, “Sudahlah ngger. Kami benar-benar berterima kasih kepadamu. Aku mencoba berbuat jujur kali ini, meskipun biasanya aku tidak berbuat demikian.”

SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : JILID 20
LihatTutupKomentar