Sepasang Ular Naga di Satu Sarang 14


Prajurit-prajurit yang bertugas di pintu-pintu gerbang kota menjadi bukan saja berlipat jumlahnya, tetapi juga kekuatannya.
Di setiap pintu gerbang ditugaskan satu atau dua orang Senapati yang mampu mengatasi kesulitan apabila timbul setiap saat. Senapati yang memiliki kemampuan tempur yang tinggi dan dapat dipercaya.

“Setiap orang yang lewat di pintu gerbang harus mendapat mengawasan yang seksama meskipun tidak perlu seorang demi seorang dihentikan dan diberi bermacam-macam pertanyaan.” perintah para pemimpin di Singasari.

Dengan demikian, meskipun nampaknya Singasari tetap tenang, namun bagi para prajurit, rasa-rasanya Singasari telah menjadi semakin hangat oleh peristiwa yang menimpa kedua anak-anak Manendra.

Dalam pada itu, ketiga orang yang melarikan diri pada saat beberapa orang prajurit sedang mendekati arena perkelahian itu, sempat menghindarkan diri dari penglihatan mereka.
Dengan tangkas mereka berlari melintasi pagar dan dinding batu. Menyeberangi halaman dan jalan-jalan sempit di dalam pedukuhan. Akhirnya ketiganya seolah-olah telah hilang dari antara orang-orang yang kebingungan melihat tingkah laku mereka.

“Kita bersembunyi lebih dahulu.” berkata yang tertua.

Kedua orang yang lain menggeram. Dengan tergesa-gesa mereka memasuki sebuah halaman sempit yang rimbun dan kotor.

“Kita menunggu sampai kita mendapat kesempatan untuk lolos ke luar kota.” berkata yang tertua pula.

Dengan nafas terengah-engah mereka mengetuk pintu rumah bambu di tengah-tengah halaman yang kotor itu.

“Siapa?” terdengar suara dari dalam.

Ketiga orang yang di luar tidak usah menjawab. Mereka mengetuk pintu rumah itu sekali lagi dengan hitungan yang sudah mereka setujui sebelumnya. Dua-dua tiga kali ganda.

Pintu itu pun kemudian terbuka. Seorang tua yang bertubuh kurus menjengukkan kepalanya.

“Marilah. Kalian cepat datang.”

Ketiganya tidak menjawab. Mereka pun kemudian menyusup masuk ke dalam rumah itu.

Salah seorang dari ketiga orang itu menghentakkan kakinya sambil berkata, “Gila. Kami menemukan dua orang anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa.”

“Apa yang kalian lakukan?” bertanya orang yang bertubuh kurus itu.

“Kami ingin menimbulkan kekacauan, ketakutan dan kesan bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka bukan orang-orang yang pantas ditakuti.”

“Apa yang kalian lakukan?”

“Maksud kami, kami akan membunuh siapa pun dan melemparkannya ke jalan kota.”

Orang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk.

“Tetapi kami telah gagal.”

“Kenapa?”

Orang tertua dari ketiga orang yang gagal itu pun menceriterakan pengalaman pahit yang baru saja dialaminya bersama kedua kawan-kawannya.

“Ternyata kedua anak itu adalah anak Mahendra.”

“Anak Mahendra?”

“Ya.”

Orang bertubuh kurus itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalian memang sial. Meskipun aku belum melihat, tetapi anak Mahendra itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk melindungi dirinya. Apalagi ternyata kalian adalah orang-orang yang mudah dibayangi oleh kecemasan yang tumbuh dari diri kalian sendiri.”

“Maksudmu?”

“Tentu nama Mahendra telah membuat kalian ketakutan dan kehilangan keberanian untuk bertempur seterusnya.”

“Sama sekali tidak. Nama Mahendra telah membakar niat kami untuk membunuh anaknya, karena kami tahu, bahwa Mahendra adalah salah seorang dari mereka yang ikut memimpin perlawanan terhadap tuanku Tohjaya.”

Tetapi orang bertubuh kuius itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kalian dapat bersembunyi di sini untuk satu atau dua hari. Tetapi kemudian kalian tidak harus menunjukkan kepadaku, yang manakah anak-anak muda yang kalian maksud itu.”

“Mereka bukan anak kota ini. Mereka anak-anak padesan yang pergi kekota karena ayahnya ikut menyelenggarakan jenazah Ken Dedes.”

“Tetapi anak itu tentu akan berjalan-jalan di dalam kota meskipun pada saat yang lain ia akan diiringi oleh beberapa orang pengwal. Atau dibawa oleh ayahnya sendiri.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku belum tahu.”

“Kau tidak perlu bersusah payah mencari anak-anak itu di dalam kota ini. Jika kau memang berkepentingan, kau dapat mencari ke rumahnya. Bukankah kau dapat menemukan padukuhan Mahendra? Kau tentu dapat menemukan anak-anak itu di sana beberapa hari lagi, satelah mereka kembali.”

Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Kalian akan aku bawa berjalan-jalan berganti-ganti. Jika kita bertemu dengan anak-anak itu, kalian harus memberitahukan kepadaku. Mungkin aku tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi mungkin akan tumbuh rencanaku yang lain.”

“Apakah kau merasa bahwa dirimu mampu mengimbangi kemampuan Mahendra?”

“Aku tidak mengatakan begitu. Aku hanya mengatakan, bahwa aku ingin melihat kedua anak-anak itu.”

“Baiklah.” jawab orang tertua dari ketiga orang itu, “Kami akan membawamu berjalan-jalan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan anak itu di sepanjang jalan kota. Tetapi jika tidak, maka kau dapat mencarinya di padukuhan tempat tinggalnya. Itu bukan pekerjaan yang sulit.”

Orang bertubuh kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Kota ini memang sudah terlampau lama terasa tenang dan damai, seolah-olah setelah tata pemerintahan berpindah dari tangan tuanku Tohjaya ketangan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, keadaan menjadi semakin baik. Aku sependapat bahwa kesan ini harus berubah. Singasari harus tetap kisruh dan kehilangan pengaruh bagi rakyat dan daerah-daerahnya yang terpencar.”

Ketiga orang yang bersembunyi di rumah orang bertubuh kurus itu tidak menjawab lagi. Mereka tidak dapat mengingkari, bahwa dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan dari pada mereka.

“Sekarang, kalian tidur sajalah.” berkata orang itu.

“Kau mau kemana?”

Orang bertubuh kurus itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku adalah penghuni rumah ini. Karena itu aku akan turun ke halaman dan membersihkannya.”

Orang yang kurus itu pun segera turun ke halaman dengan sebuah sapu lidi di tangannya.

Ia berjalan terbungkuk-bungkuk ke regol ketika ia melihat beberapa orang lewat.

“Kalian mencari apa anak-anak?” bertanya orang kurus itu.

“Apakah ada tiga orang yang lewat jalan ini?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tiga orang? Orang-orang muda atau sudah tua?”

“Kami tidak melihatnya. Tetapi ada orang yang mengatakan kepada kami, bahwa ada tiga orang yang mencurigakan memasuki daerah ini.”

“Siapakah mereka menurut kata orang tadi?”

“Orang itu juga tidak mengetahuinya. Tetapi beberapa orang lewat mengatakan, bahwa baru saja ada keributan. Dua orang anak-anak muda telah berkelahi melawan tiga orang yang dengan tiba-tiba saja menyerang mereka tanpa sebab.”

“O.” orang kurus yang tiba-tiba menjadi terbungkuk-bungkuk itu mengangguk-angguk, “Jadi tiga orang itu dicurigai karena ada kemungkinan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkelahi itu? Bukankah begitu?”

“Ya. Barangkali begitu.”

“Sayang. Sejak tadi aku membersihkan halaman. Tetapi aku tidak melihat seorang pun lewat.” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah mereka melalui jalan ini?”

“Kami tidak melihatnya. Hanya suatu kemungkinan. Tiga orang itu lari dari arena dan hilang begitu saja.”

Orang yang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika nanti aku melihatnya, biarlah aku hentikan mereka dan aku akan membawa kepada kalian.”

Beberapa, orang di antara orang-orang yang lewat itu tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan Kek,nanti kau akan dicekiknya sampai mati.”

“Uh, kenapa aku akan dicekiknya? Apa salahku?”

Orang-orang itu. tidak menanggapinya lagi. Mereka berjalan terus menyusuri jalan sempit itu dengan berbagai macam senjata di tangan masing-masing.

Namun dalam pada itu, orang bertubuh kurus itu mengerti bahwa berita tentang perkelahian itu sudah tersebar ke seluruh kota. Sehingga dengan demikian ketiga orang itu memang harus menjadi sangat berhati-hati.

Karena itu, maka ia pun segera masuk kembali ke dalam rumahnya dan menemui ketiga orang yang sedang berbaring di ruang belakang.

“Kalian sedang dicari.” berkata orang berubuh kurus itu.

“Siapa yang mencari kami?” bertanya yang tertua di antara ketiga orang itu.

“Anak-anak muda padukuhan ini.”

Ketiga orang itu tertawa. Salah seorang berkata, “Apakah aku harus membantai mereka semuanya.”

“Bukan itu soalnya. Tentu yang mencarimu bukan saja anak-anak muda. Tetapi prajurit-prajurit pun akan berusaha untuk menemukan kalian. Prajurit-prajurit disetiap gerbang kota tentu sudah mendapat perintah untuk mengawasi orang-orang yang lewat. Apalagi mereka yang lewat bersama-sama, bertiga.”

“Bodoh sekali.” desis yang tertua dari ketiga orang itu.

“Kenapa?”

“Apakah kami bertiga itu tidak akan dapat saling berpisah. Aku dapat lewat melalui gerbang sebelah Utara. Yang lain lewat Selatan dan yang lain lagi lewat gerbang sebelah Timur atau Barat.”

“Tetapi bagaimana jika kebetulan kedua anak-anak muda itu ada di pintu gerbang dan melihat salah seorang dari kalian?”

“Kami dapat membuat sedikit perubahan pada wajah kami.” jawab salah seorang dari ketiganya, “Atau kami dapat menunggu pada hari ketiga, keempat atau kelima.” tiba-tiba ia berhenti sejenak, lalu, “he, bagaimana dengan rencanamu untuk mencari atau sesuatu ketika bertemu dengan anak-anak muda itu dengan membawa salah seorang dari kami berganti-ganti?”

“Seperti yang kau katakan. Kau dapat merubah wajahmu sedikit, sehingga dengan pakaian yang berbeda, anak itu tidak akan dapat mengenalmu lagi.”

Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan salah seorang dari mereka berkata, “Biarlah mereka mencari kita. He, bukankah kita akan tidur sejenak?”

“Ya. Aku lelah sekali.”

Orang bertubuh kurus itu tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian kembali ke halaman dengan membawa sapunya. Jalan kecil di muka rumahnya itu sudah menjadi sepi. Dan tidak ada lagi anak-anak muda yang lewat bergerombol dengan senjata di tangan mencari tiga orang yang mereka anggap dapat membuat kekacauan di kota raja yang sedang berkabung itu.

Dengan demikian maka ketiga orang itu pun dapat tidur dengan nyenyaknya tanpa ada yang mungusiknya lagi.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit penghubung masih hilir mudik menyampaikan perintah untuk berhati-hati dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk pintu gerbang kota. Mereka pun ternyata sadar, bahwa yang menjadi pegangan dari setiap pengamatan bukannya harus berjumlah tiga orang, karena jumlah itu dapat bertambah dan berkurang setiap saat.

Di istana, kesibukan para petugas pun rasa-rasanya menjadi semakin meningkat. Jenazah Ken Dedes memang tidak akan segera diperabukan, karena masih harus dipersiapkan banyak sekali kelengkapannya yang mungkin baru dapat siap dalam waktu setengah atau satu tahun. Namun tingkat pertama dari penyelenggaraan jenazah itu adalah mempersiapkan penyimpanannya sebaik-baiknya.

Selagi orang-orang tua sibuk dengan tugas masing-masing, maka kedua anak Mahendra menjadi semakin jemu untuk tinggal di dalam bangsal saja. Tetapi mereka tidak berani melanggar perintah ayahnya untuk tetap tinggal di bangsal itu.

“Sampai kapan kita berada di sini.” bertanya Mahisa Murti.

“Aku menyesal, bahwa kita tidak menyerah saja kepada prajurit-prajurit itu sejak mula-mula. Jika demikian, kita masih berada di luar istana. Ternyata kita di sini seakan-akan berada di dalam tahanan juga.” sahut Mahisa Pukat.

Kakaknya tidak menjawab. Tetapi seperti kata adiknya, mereka merasa sangat jemu untuk tinggal saja di bangsa itu tanpa berbuat apa-apa.

“Apakah kita tidak boleh berjalan-jalan ke luar?” bertanya Mahisa Pukat yang menjadi semakin jemu.

Mahisa Murti pun meresa tidak tahan lagi untuk tetap berada di bangsal itu. Maka karena itu ia pun berkata, “Apa salahnya kita berada di muka bangsal ini. Asal kita tidak mengganggu orang lain, aku kira, tidak akan terjadi sesuatu.”

“Bagaimana jika ada orang yang tiba-tiba saja menyerang kami seperti yang telah terjadi itu di dalam halaman istana ini? Persoalannya tentu akan menjadi semakin berat. Semua orang di dalam istana ini akan ikut campur, dan prajurit-prajurit yang bertugas di dalam istana ini tentu prajurit-prajurit terpilih.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, biarlah kita tidur saja. Kita tidak akan dapat berbuat apapun juga.”

Ternyata bahwa kedua anak-anak itu benar-benar tidak berani melanggar pesan ayahnya, sehingga dengan demikian, maka keduanya pun tetap berada di dalam bangsal. Dengan jemunya keduanya berbaring beberapa lama. Kemudian bangkit dan berjalan hilir mudik. Namun kemudian keduanya pun mencoba untuk dapat tidur.

Dalam pada itu, ketika keadaan menjadi tenang, maka orang bertubuh kurus, yang rumahnya menjadi tempat persembunyian tiga orang yang telah menyerang anak-anak Mahendra itu pun mulai merencanakan usaha untuk dapat bertemu dengan anak-anak Mahendra. Kepada ketiga orang yang berada di rumahnya ia berkata, “Aku harus dapat berbuat sesuatu atas anak-anak itu. Kegagalan kalian memberikan kesan, bahwa yang terjadi benar-benar hanya sebuah kekacauan kecil yang ditimbulkan dari penjahat-penjahat kecil saja. Ternyata usaha yang kalian laku kan dapat digagalkan hanya oleh anak-anak.”

“Maksudmu?”

“Kalian sudah mulai dengan usaha pengacauan itu. Kesan kekacauan yang sebenarnya harus timbul pada saat ini.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Marilah, salah seorang dari kalian akan berjalan-jalan bersamaku. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan anak-anak itu dimanapun juga. Mereka tentu akan berjalan-jalan lagi melihat-melihat kota meskipun harus dengan pengawal.”

“Apa yang dapat kau lakukan?”

“Aku mempunyai senjata yang dapat membunuh mereka dari jarak jauh. Tongkatku adalah sebuah sumpit. Aku dapat menyumpitnya dengan duri beracun. Jika keduanya atau salah seorang dari mereka benar-benar mati, maka orang Singasari benar-benar akan terbangun. Bahwa ada kekuatan yang perlu diperhitungkan di luar kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

“Rencanamu tidak mudah dilakukan.”

“Jika aku menemui kesulitan, aku dapat mengurungkan atau menundanya tanpa menimbulkan kesan apapun, karena aku tidak berbuat apa-apa.”

“Kenapa kita tidak mencari sasaran yang lain saja? Bukankah hal itu dapat kita lakukan terhadap siapa saja? Tidak harus anak Mahendra?”

“Tetapi kau sudah terlanjur mulai dengan anak Mahendra. Jika kita tidak dapat menyelesaikan yang sudah kau mulai, maka kau, kita semuanya adalah penjahat-penjahat kecil yang tidak berarti apa-apa.”

Salah seorang dari ketiga orang yang gagal membunuh anak-anak Mahendra itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengikutimu.”

“Kita pergi ke daerah di sekitar istana. Mungkin kita akan duduk di depan gerbang. Atau barangkali kita akan masuk ke dalam.”

“Masuk? Apakah hak kita untuk masuk? Pintu gerbang itu tentu dijaga sebaik-baiknya.”

“Bodoh. Kita tidak akan melalui gerbang.”

“Memanjat?”

“Usaha kita akan mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya jika kita dapat membunuh anak-anak itu di dalam halaman istana.”

Ketiga orang yang berada di rumah orang bertubuh kurus itu mengerutakan keningnya. Memasuki halaman istana bukan pekerjaan yang mudah. Tentu setiap jengkal dinding istana mendapat pengawasan yang saksama. Apalagi setelah terjadi percobaan pembunuhan itu.

“Jangan ragu-ragu.” berkata orang bertubuh kurus itu, “Supaya kita tidak disangka, pencopet kecil atau pencuri ayam yang mencoba-coba merampas permainan dua orang anak-anak.” ia berhenti sejenak, lalu, “Setiap orang Singasari harus mendapat kesan, sekelompok kekuatan sedang mengancam kedudukkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang menyahut. Namun kemudian salah seorang dari ketiga orang yang telah mencoba membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berkata, “Kenapa kita tidak mencoba saja melakukan atas orang lain?”

“Itulah yang aku cemaskan. Apabila kalian telah dihinggapi pikiran yang demikian, maka benarlah dugaanku, bahwa kalian adalah sekelompok pencuri ayam kemalaman.”

Tidak ada yang menyahut. Mereka tidak mau disebut sekelompok pencuri ayam. Karena itu, maka mereka menyerahkan semua rencana kepada orang bertubuh kurus itu.

Dengan demikian, maka ketika orang bertubuh kurus itu mengajak salah seorang dari mereka pergi ke istana, maka orang itu pun tidak dapat membantah lagi.

“Kau harus memakai pakaian yang lain dari yang kau pakai saat kau mencoba membunuh kedua anak-anak itu.” berkata orang bertubuh kurus itu, “Aku sudah menyediakan apa saja yang sekiranya akan kita butuhkan. Pakaian, senjata dan bahkan senjata-senjata rahasia seperti tongkatku ini.”

Demikianlah, maka kedua orang yang sudah mempersiapkan diri itu pun meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju kepusat kota. Orang bertubuh kurus itu berjalan terbungkuk-bungkuk bertelekan pada sebatang tongkat. Sedang kawannya berjalan disisinya dengan pakaian seorang pedagang yang cukup rapi. Wajah yang bersih dan sebilah keris di punggung tanpa pedang di lambung.

“Kita pergi ke istana. Kita akan mengamati pintu gerbang untuk beberapa saat lamanya. Jika gelap malam mulai turun, kita akan mengawasi keadaan, apakah kita kira-kira akan dapat masuk.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar.

Keduanya pun kemudian tidak banyak lagi berbicara. Tidak banyak yang mereka perbincangkan, dan seolah-olah mereka berdua sama sekali tidak mengacuhkan apapun yang mereka jumpai di perjalanan.

Sebagaimana keduanya tidak memperhatikan apapun juga di sepanjang perjalanan, maka tidak ada orang yang menaruh perhatian khusus kepada keduanya. Jika ada orang berpaling maka orang itu sekedar memandang langkah orang yang bertubuh kurus agak terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangan. Selebihnya tidak ada yang diperhatikannya lagi. Tongkat di tangan orang bertubuh kurus itu tidak menarik sama sekali.

Setelah berjalan beberapa lamanya, maka akhirnya mereka pun sampai ke alun-alun Singasari. Untuk beberapa lamanya orang bertubuh kurus itu ragu-ragu. Namun kemudian katanya kepada kawannya, “Kita berteduh di bawah pohon rindang itu.”

“Beberapa langkah di sebelah pohon itu adalah regol yang dijaga kuat.”

“Justru karena kita berada dekat dengan para prajurit, kita tidak akan dicurigai.”

Keduanya pun kemudian duduk seenaknya di bawah sebarang pohon rindang di depan pintu gerbang. Dengan seksama gerbang itu. Karena tidak banyak orang yang lewat melalui mereka memperhatikan setiap orang yang keluar masuk pintu pintu itu, maka setiap orang dapat diperhatikannya dengan saksama.

“Mereka tidak akan keluar.” berkata kawan orang bertubuh kurus itu.

“Kita akan berjalan mengelilingi dinding istana nanti menjelang malam jika keduanya atau salah seorang dari mereka tidak nampak keluar. Kita melihat kemungkinan, apakah kita dapat meloncat masuk.”

“Bagaimana kita tahu, bahwa di dalam dinding itu ada satu atau dua orang prajurit yang berjaga-jaga? Sedang mereka tidak dapat kita lihat dari luar?”

“Kita memang tidak tahu. Tetapi kita akan dapat menduga tempat-tempat yang berada di luar pengawasan. Jika dugaan kita salah, kita akan ditangkap dan dibantai di tengah-tengah alun-alun itu. Apakah kau takut?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ia bukan seorang penakut. Bahkan ia bertekad untuk membunuh prajurit-prajurit yang mencoba mengejarnya jika dengan sengaja mereka membunuh di tengah-tengah kota.

Tetapi kemudian timbul pertanyaan, “Apakah hal itu dapat dilakukannya atas prajurit pilihan yang bertugas mengawal istana?”

“Kau nampak ragu-ragu.” berkata orang bertubuh kurus itu.

Kawannya tidak dapat ingkar. Maka sambil mengangguk ia menjawab, “Ya. Aku memang ragu-ragu. Apakah kita tidak sedang membunuh diri jika kita melakukan cara yang kau katakan itu.”

Orang bertubuh kurus itu pun memandangi kawannya dengan tegang. Namun kemudian ia tertawa sambil berkata, “Jika benar kita sedang membunuh diri, maka cara yang kita tempuh ada cara yang paling mengagumkan. Tentu akan banyak orang yang akan menirunya kelak.” Kawannya tidak menjawab.

Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Mereka memandangi regol istana dengan perasaan yang berbeda.

Sementara itu, dengan gelisah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbaring di dalam bangsal Mahisa Agni. Sekali-sekali mereka bangkit. Berjalan mondar mandir. Namun kemudian mereka kembali mencoba untuk dapat tidur.

“Panas sekali. Aku tidak biasa tidur di siang hari,” geram Mahisa Pukat.

“Marilah kita bermain macanan,” desis Mahisa Murti. Keduanya pun kemudian pergi ke halaman belakang bangsal itu. Mereka membuat goresan di tanah. Kemudiam memetik beberapa lembar daun untuk bermain macanan.

Tetapi beberapa kali saja mereka bermain, mereka pun segera menjadi jemu.

“Kapan ayah kembali ke bangsal ini.” tiba-tiba Mahisa Pukat bergumam.

“Aku tidak tahu.” desis kakaknya.

“Menjemukan sekali. Aku akan pergi.”

“Kemana?”

“Berjalan-jalan.”

“Jangan. Nanti terjadi sesuatu lagi atas kita.”

“Di dalam istana saja. Tentu tidak akan terjadi sesuatu. Kita berjalan-jalan di halaman bangsal ini. Paling jauh kita akan berada di taman. He, kau pernah mendengar nama seorang juru taman yang baik. Ia adalah sahabat ayah.”

“Ya, aku pernah mendengar ceritera tentang paman Sumekar, juru taman di istana ini.”

“Marilah. Kau ikut aku atau tidak?”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Lebih baik kita berada di bangsal ini saja. Kita dapat tidur.”

“Menjemukan sekali.”

“Kau sudah makan?”

“Sudah. Dan udara terasa bertambah panas karenanya.”

“Kau terlampau banyak makan daging kambing.”

“Karena itu, aku akan pergi berjalan-jalan di bawah pohon-pohon rindang di taman.”

Mahisa Murti tidak dapat menahan adiknya lagi, sehingga akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Tetapi jangan keluar dari halaman istana.”

Kedua anak-anak muda itu pun segera membenahi pakaiannya.

Dengan ragu-ragu mereka turun ke halaman bangsal. Dilihatnya beberapa orang prajurit yang bertugas berjalan melintas. Sedang dua orang yang lain berdiri di depan bangsal itu.

Keduanya melangkah mendekati kedua prajurit yang bertugas itu. Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Aku akan pergi berjalan-jalan sebentar.”

“Kemana?” bertanya salah seorang prajurit itu.

“Hanya berjalan-jalan.”

“Sebaiknya kalian tidak keluar lebih dahulu. Apakah kalian tidak jera? Yang menyerang kalian untuk yang pertama kali itu dapat kalian atasi. Tetapi bagaimanakah kiranya jika mereka mempersiapkan orang-orang yang lebih kuat dari ketiga orang itu? Kau menyangka bahwa kau tidak mempunyai persoalan apapun dengan mereka. Tetapi dapat terjadi, bahwa mereka merasa ada persoalan yang gawat dengan kau atau ayahmu.”

Kedua anak-anak itu mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun kemudian menjawab, “Aku hanya akan berjalan-jalan di dalam halaman istana saja.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi sebaiknya kalian tidak keluar dari halaman.”

“Ya. Aku tahu, bahwa halaman ini terlindung dari mereka yang berniat buruk.”

Kedua kakak beradik itu pun kemudian berjalan melintasi halaman menuju ketaman. Ketika mereka melihat dua orang prajurit berjalan dengan senjata di tangan, maka keduanya pun mendekati sambil bertanya, “Dimana ayah dan paman Mahisa Agni menyelenggarakan jenazah tuan puteri?”

“Dibangsal induk. Tetapi tidak semua orang dapat masuk. Kau tentu tidak akan boleh memasukinya. Untuk tiga hari bangsal itu ditutup.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka berjalan lagi dari satu tempat ketempat yang lain.

“Jika datang saat jenazah itu diperabukan, maka tempat ini akan menjadi semakin ramai” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Mudah-mudahan kita diperbolehkan ikut pula.” Kakaknya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah kita kembali ke bangsal. Tidak ada yang menarik di sini, Semuanya sudah pernah kita lihat.”

“Kita lewat pintu gerbang halaman depan.” jawab adiknya.

“Untuk apa?”

“Hanya lewat saja. Dari gerbang itu kita dapat melihat keluar.”

“Semuanva sudah pernah kita lihat.”

“Kita dapat melihat yang agak lain daripada dinding batu yang tinggi di sekitar halaman istana ini.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Tetapi ingat. Jangan meninggalkan halaman istana.”

“Sudah aku katakan.” sahut Mahisa Pukat, “Aku hanya akan melihat dari dalam pintu gerbang.”

Keduanya pun kemudian melangkah ke pintu gerbang, Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa di luar pintu gerbang itu ada dua orang yang menunggunya dengan penuh kesabaran.

Dengan gembira Mahisa Pukat mendekati sekelompok prajurit yang berada di gardu tugasnya. Sambil duduk di antara mereka ia berkata, “Aku akan ikut berjaga-jaga di sini.”

Pimpinan prajurit yang sedang bertugas itu telah mengenal kedua anak-anak muda itu. Karena itu dibiarkannya keduanya berada di gardunya.

“He, apakah kedua orang prajurit yang berdiri di pintu gerbang itu bertugas dari pagi sampai sore?” Mahisa Pukat bertanya.

“Tidak.” jawab pemimpin prajurit itu, “Sehari dibagi menjadi empat kali pertukaran.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Menjemukan sekali. Berdiri dengan senjata di tangan seperempat hari penuh.”

“Jika kau menjadi seorang prajurit, mungkin kau akan mendapat tugas serupa itu.” berkata Mahisa Murti.

Pemimpin prajurit itu tersenyum sambil bertanya, “Kau akan menjadi apa?”

“Aku akan menjadi seorang pedagang. Tidak seperti ayah. Tetapi seorang pedagang besar.”

“Apa ayahmu seorang pedagang?”

“Ternyata ayah bekerja tanggung-tanggung. Pedagang bukan, petani juga bukan.” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi aku akan melepaskan sama sekali pekerjaan petani.”

“Aku tidak mau menjadi pedagang.” potong seorang prajurit, “Lebih baik berdiri dimuka gerbang seperempat hari daripada harus mengalami kerugian berpuluh-puluh duwit.”

“Ah, tentu pedagang yang tidak rugi.” potong Mahisa Pukat, “Seorang pedagang dapat menjadi kaya raya.”

“Tetapi juga dapat kehilangan semua miliknya.” Mahisa Murtilah yang menyahut, “Karena itu sebaiknya kita menggarap sawah kita sebaik-baiknya.”

“Petani akan tetap miskin.” bantah adiknya.

“Tentu tidak.” sahut pemimpin prajurit, “Petani yang cakap dan menanam jenis tanaman yang tepat, dapat menjadi kaya.”

“Yang akan tetap miskin adalah prajurit?” sambung seorang prajurit, “Dan kami akan tetap saja bertugas di muka gerbang seperti sekarang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ketika mereka memandang prajurit itu, nampaklah ia tertawa.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Bahkan kemudian Mahisa Pukat pun berdiri dan berjalan mendekati dua orang prajurit yang bertugas di muka pintu gerbang.

“Jangan ganggu mereka.” berkata pemimpin prajurit di dalam gardu, “Mereka sedang melakukan tugasnya.”

“Tidak.” sahut Mahisa Pukat, “Aku hanya akan melihat ke luar sejenak.”

Prajurit-prajurit itu tidak melarang kedua anak-anak muda itu pergi ke pintu gerbang karena mereka sudah mengenal putera Mahendra itu dengan baik, yang meski pun baru beberapa hari di istana, namun seakan-akan semua orang sudah dikenalnya.

Pada saat itu, selagi keduanya berdiri di tengah-tengah pintu gerbang, dua orang yang berada di alun-alun memperhatikannya dengan saksama. Orang yang sudah mengenal kedua anak muda itu, dan yang bahkan telah bertempur melawannya itu pun segera menggamit kawannya sambil berkata, “Itulah mereka. Akhirnya keinginanmu untuk melihat mereka terpenuhi.”

Orang bertubuh kurus itu pun menganggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi anak-anak ingusan itulah yang telah mengalahkan kalian bertiga?”

“Agaknya ia memiliki ilmu ayahnya.”

“Kaulah yang gila. Ilmu ayahnya memang luar biasa. Tetapi betapa tinggi ilmu anak-anak itu, namun kalian pasti akan dapat mengalahkannya jika kalian tidak dibebani oleh perasaan takut kepada ayahnya.”

“Sungguh bukan perasaan itu.” jawab orang yang gagal membunuh kedua anak-anak Mahendra itu, “Tetapi keduanya memang memiliki kelebihan.”

Orang bertubuh kurus itu pun mengusap tongkatnya. Sejenak ia termangu-mangu. Karena ternyata tidak ada orang di sekitarnya, maka ia pun berkata, “Agaknya mereka tidak memperhatikan arah ini. Kebetulan sekali. Mudahkan sumpitku dapat menjangkaunya dengan duri-duri beracun itu. Jika duri-duri itu dapat menyentuh kulitnya, maka kedua anak-anak itu akan mengalami bencana yang sesungguhnya, karena mereka akan segera mati.”

Perlahan-lahan orang bertubuh kurus itu mengangkat tongkatnya. Ia bergeser mendekati sebatang pohon yang dapat melindunginya Terutama dari perhatian para prajurit.

Tetapi ia tidak segera dapat melontarkan duri-duri beracun dari sumpitnya. Setiap kali anak muda itu bergerak, dan kadang-kadang mereka terlindung oleh prajurit yang sedang bertugas di depan pintu.

Dalam pada itu, selagi orang bertubuh kurus itu mencari kesempatan, kawannya dengan gelisah bertanya, “Jika kau mengenainya, apakah para prajurit itu akan diam saja tanpa berbuat sesuatu?”

“Duri-duri yang terlontar dari sumpitku tidak akan menimbulkan perasaan sakit. Mungkin kedua anak-anak itu akan terkejut seperti disengat lebih kecil saja. Tetapi mereka tidak akan mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi. Sesaat mereka tidak merasakan pengaruh racun itu. Kesempatan itu dapat kita pergunakan untuk meninggalkan tempat ini. Baru kemudian keduanya akan merasakan kelainan pada tubuh mereka, sementara kami sudah jauh. Baru beberapa lama sesudah itu mereka akan mati.”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi nampak kegelisahan membayang di wajahnya.

“Ternyata kau seorang pengecut.” berkata orang bertubuh kurus itu. Lalu, “Nampaknya kau sangat ketakutan.”

Kawannya tidak menjawab. Dengan nafas yang tidak teratur ia memandangi kedua anak-anak muda yang nampaknya sedangg bergurau di pintu gerbang dengan seorang prajurit. Bahkan, kedua prajurit yang sedang bertugas pun kadang-kadang terpengaruh pula oleh mereka itu.

“Gila.” desis orang bertubuh kurus itu, “Aku tidak segera mendapat kesempatan. Jika keduanya masuk ke dalam, maka kesemptan seperti ini belum pasti akan datang dalam sepekan ini.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia bertambah tegang. Namun dalam pada itu, selagi keduanya menunggu dengan nafas yang berdesakan oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa di belakang mereka.

Serentak mereka berpaling. Darah mereka tersirap ketika mereka melihat seseorang duduk memeluk lutut di belakang mereka tanpa mereka ketahui, kapan orang itu datang.

“Siapa kau.” desis orang yang bertubuh kurus.

“Kau belum mengenal aku?”

“Belum.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Pantas. Kau memang terlampau picik untuk mengenal aku.”

Wajah orang bertubuh kurus itu menjadi merah. Katanya, “Jangan menghina. Mungkin kau memiliki kelebihan, karena kau dapat mendekati aku tanpa setahuku. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku menjadi ketakutan dan berlutut dihadapan mu.”

Orang itu tertawa. Tidak terlalu keras, tetapi sangat menyakitkan hati.

“He, apakah kau juga mengenal aku?” bertanya orang bertubuh kurus itu.

“Kau belum pantas untuk dikenal. Terlebih-lebih karena kau akan melakukan perbuatan yang sangat bodoh.”

“Gila.” geram orang bertubuh kurus, “Jika tidak di hadapan prajurit-prajurit yang sedang bertugas itu, aku remas mulutmu.”

Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Jangan cepat marah. Sebaiknya kau pertimbangkan semua perbuatanmu. Apakah kau kira, dengan membunuh kedua anak-anak itu kau akan mendapatkan keuntungan?”

“Persetan.”

“Dengarlah. Jika kau berhasil menyumpit kedua anak-anak itu dan kemudian membuat mati, maka seluruh Singasari akan bangkit dalam kesiagaan. Kau tahu apa artinya kedua anak-anak itu?”

“Persetan dengan kesiagan Singasari. Kami ingin menunjukkan bahwa kami memiliki sesuatu yang dapat kami banggakan.”

“O, kalian berbangga dengan membunuh anak-anak Mahendra itu? Alangkah piciknya. Kalian baru dapat berbangga, jika kalian dapat membunuh Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni. Bukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

“Siapakah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat?”

“Kedua anak-anak itu.”

Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Dendam kami akan memusnakan semuanya. Anak-anak itu dan kemudian Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni. Bukan saja mereka, tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

“Bukan main. Suatu cita-cita yang melambung seperti gelembung-gelembung getah jarak. Kau pernah melihat anak-anak bermain getah jarak. Jika getah itu dihembus, maka akan timbullah gelembung-gelembung yang akan segera hanyut dibawa angin. Melambung tinggi, seolah-olah akan terbang ke Matahari. Tetapi gelembung-gelembung itu akan segera pecah dan hilanglah bekasnya. Hilang sama sekali.”

“Gila. Jangan mencoba menghalangi. He, apakah kau seorang prajurit sandi dari Singasari? Jika demikian, maka kau harus mati.”

Suara, tertawa orang itu meninggi. Tetapi perlahan-perlahan saja. Katanya, “Kau mulai ketakutan. Karena itu, Jangan marah kepadaa kawanmu, pengecut itu. Kau sendiri agaknya seorang pengecut.”

“Tutup mulutmu.”

“Kau tidak akan berani berbuat apa-apa atasku di hadapan prajurit-prajurit yang bertugas itu.”

Orang bertubuh kurus itu termangu-mangu sejenak. Dengan tegang ia berpaling, memandang prajurit yang ada dipintu gerbang. Namun ia sudah tidak melihat lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“He, kemana anak-anak itu?” ia menggeram.

Kawannya pun kemudian memandang pintu gerbang itu, dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata kedua anak-anak muda itu memang sudah tidak nampak lagi.

“Gila. Aku telah kehilangan korbanku.” lalu dipandangi orang yang duduk dengan acuh tidak acuh saja itu. “Kaulah yang menyebabkan aku gagal kali ini. Karena itu, maka kau akan menjadi penggantinya.”

“Sudah aku katakan. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di sini. Di pintu gerbang itu ada prajurit yang dapat menangkapmu beramai-ramai dan mencincangmu di alun-alun ini. Bahkan mungkin kau akan dihukum picis, hukuman yang paling terkutuk itu.”

Orang bertubuh kurus itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Aku dapat membunuhmu dengan racun. Sementara kau sekarat, aku sudah jauh dari tempat ini.”

Tetapi orang itu justru tertawa. Katanya, “Sebelum sekarat aku sempat berteriak. He, bukankah aku tahu, bahwa sumpitmu itu beracun. Selagi kau mengacungkan tongkat pun aku sudah berteriak keras-keras. Nah, kau mau apa.”

“Pengecut. Licik. Gila.”

“Masih ada lagi.”

Orang bertubuh kurus itu menghentakkan kakinya. Kemarahannya telah memuncak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh orang yang tidak dikenalnya itu, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.

Beberapa saat lamanya ia berpikir, Apakah yang sebaiknya dilakukan.

Tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar. Aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi siapakah sebenarnya kau? Prajurit sandi atau keluarga anak-anak muda yang dengan sengaja melindunginya.”

Orang itu menggeleng. “Bukan kedua-duanya.”

“Kenapa kau menghalangi aku?”

“Aku sama sekali tidak sedang menyelamatkan kedua anak itu. Tetapi aku mencegah kau berbuat bodoh dengan membunuhnya.”

“Kenapa?”

“Sudah aku katakan. Aku tidak ingin ada kesiagaan di Singasari. Dengan demikian, maka mata pencaharianku akan berganggu.”

“Kau seorang pencuri, perampok, atau penyamun.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tertawa pendek.

“Siapa?”

“Kau tidak perlu mengetahui, siapakah aku sebenarnya. Mungkin kau benar, bahwa aku salah satu di antara tebakanmu itu.”

“Persetan. Siapa namamu?”

“Panggil saja aku Awan Hitam.”

“He.” orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya, “Kau gila. Apakah benar namamu segila itu?”

“Bukan. Namaku tentu bukan Awan Hitam. Tetapi aku senang dipanggil seperti itu. Kawan-kawanku membuat nama-namanya aneh. Ada yang ingin disebut Sepasang Mata Api. O, ada yang lebih gila lagi, kawanku yang kurus kering, bermata suram ingin disebut Bulan Purnama.”

“Gila. Cukup dengan igauanmu yang paling gila itu.”

“Nah, siapa namamu?” tiba-tiba orang itu bertanya. Orang bertubuh kurus itu berpikir sejenak. Tiba-tiba saja ia menjawab, “Tongkat Beracun. Namaku Tongkat Beracun.”

Orang yang duduk dengan seenaknya itu tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Kedua tangannya menutup mulutnya, agar suara tertawanya tidak berpencaran sampai ketelinga para prajurit.

“Kau sudah kejangkitan penyakit gila itu. Kau mempunyai tongkat yang dapat kau pergunakan sebagai sumpit dengan duri-duri beracun. Tiba-tiba saja kau menyebut namamu Sumpit, eh, Tongkat beracun. Lucu sekali. Bukankah dengan demikian kau pun sudah menjadi gila?”

“Gila. Memang gila. Namaku Tapak Lamba. Itu namaku yang sebenarnya.”

“Nah, begitulah. Jangan terkena penyakit gila seperti kawanku yang membuat nama menurut selera sendiri.”

“Aku tidak peduli. Nah, sekarang apa maumu. Kau sudah mengagalkan rencanaku sekarang ini. Kau membuat aku marah sekali. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.”

Orang itu masih tertawa. Katanya, “Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menggagalkan kesalahan yang akan kau lakukan. Sekarang kau menyesal, tetapi nanti, jika kau sempat merenungkannya, maka kau akan berterima kasih kepadaku.”

“Lalu sekarang, kau mau apa?”

“Aku akan pergi.”

Orang bertubuh kurus itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, “Itu lebih baik bagimu.”

“Terima kasih. Aku sudah berhasil, sementara kau melasa gagal. Tetapi besok kau akan tertawa karenanya.”

Orang yang menyebut darinya Awan Hitam itu tidak menunggu lagi. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah meninggalkan kedua orang yang memandanginya dengan penuh kebencian.

Namun Awan Hitam itu tidak mendengar ketika orang bertubuh kurus itu berbisik, “Kita ikuti. Kita bunuh dia.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Ia agaknya ragu-ragu akan bisikan orang bertubuh kurus itu. Karena itu, ia tidak segera menjawab.

Tapak Lamba agaknya mengetahui bahwa kawannya itu ragu-ragu. Maka katanya mengulang, “Kita ikuti, dan kita bunuh orang yang menyebut dirinya dengan nama yang paling gila itu.”

“Kenapa orang itu harus dibunuh?” bertanya kawannya.

“Aku tidak yakin bahwa pada suatu saat ia tidak membuat kesulitan bagi kita. Tentu ia tidak hanya sekedar menggagalkan niat kita kali ini dengan alasan yang dikatakannya, agar prajurit Singasari tidak tergugah karenanya dan mengadakan kesiagaan di mana-mana.”

“Memang meragukan.”

“Mungkin orang itu mempunyai maksud yang lebih jauh daripada itu. Karena itu, daripada kita selalu berteka-teki, kita bunuh saja. Kita akan dapat tidur nyenyak nanti malam, sementara besok kita mulai lagi dengan usaha yang gagal pada hari ini.”

“Jadi kita mengurungkan usaha kita memasuki halaman istana.”

“Untuk malam ini kita urungkan saja. Mungkin besok jika kita gagal lagi.”

Kawannya tidak menyahut, sementara orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu berjalan semakin jauh.

“Aku tidak mau kehilangan orang gila itu.” berkata Tapak Lamba.

Ia pun dengan segera melangkahkan kakinya mengikuti orang yang menyebut dirinya bernama Awan Hitam itu dari kejauhan, sementara kawannya pun berjalan disisinya.....
“Pada suatu saat, ia akan sampai ke daerah yang sepi.” berkata Tapak Lamba.

“Tetapi apakah kau yakin bahwa ia seorang diri?”

“Kita akan dapat melihat, apakah ia seorang diri atau tidak.”

“Sulit untuk mengetahui. Kita tidak tahu pada saat ia datang dan duduk di belakang kita.”

“Uh, kau memang pengecut. Kau berani menengadahkan dada sambil berkata, “Aku bunuh prajurit-prajurit Singasari.” Tetapi ternyata kau sudah ketakutan sekarang melihat seseorang menyebut dirinya dengan nama yang aneh.”

“Tetapi kenapa kita tidak mendengar langkahnya jika ia bukan orang yang memiliki kelebihan.”

“Sebut namaku. Kau tahu, siapa aku. Dan aku pun tahu bahwa kau bukan anak ingusan. Kau memiliki kemampuan bertempur yang cukup meskipun kau gagal membunuh anak Mahendra. Sekarang kau gemetar karena kau tidak mendengar langkah orang itu saat ia mendekati kita.” Tapak Lamba berhenti sejenak, lalu, “Dengar, saat itu kita terlampau terikat kepada kedua anak-anak muda di pintu gerbang itu, sehingga kita sama sekali tidak sempat membagi perhatian kita.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang begitu. Tetapi kita wajib berhati-hati.”

“Sudah tentu kita harus berhati-hati. Tetapi kita, pengikut setia Tuanku Tohjaya, tidak akan membiarkan Singasari berdiri tegak dengan tenang. Apapun yang dapat kita lakukan, akan kita lakukan. Sekarang kita membunuh orang gila itu. Besok kedua anak-anak Mahendra. Kemudian kita akan membunuh Mahendra itu sendiri, Witantra dan Mahisa Agni. Selebihnya maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bukan orang yang harus diperhitungkan.”

Kawannya mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab.

Ketika keduanya memandang ke depan, maka dilihatnya orang yang msnyebut dirinya Awan Hitam masih berjalan terus tanpa berpaling. Agaknya ia sama sekali tidak mengetahui bahwa dua orang sedang mengikutinya.

“Lihat.” berkata Tapak Lamba, “Ia berjalan ke pategalan yang kosong itu. Pategalan yang sepi, yang baru disiapkan untuk menjadi sebuah padesan.”

“Ya.”

“Kesempatan bagi membunuhnya. Tentu tidak ada seorang pun yang mengetahui. Kemudian mayatnya kita lempar ke jalan, agar dapat diketemukan oleh seseorang. Itu adalah pertanda, kita mulai dengan gerakan kita. Kita harus membuat hati orang-orang Singasari ketakutan.” ia berhenti sejenak, lalu, “Kita tidak dapat mundur, karena kau sudah memulainya dengan sebuah kegagalan.”

Kawannya tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat sehingga jarak mereka dengan orang yang menyebut dirinya bernama Awan Hitam itu menjadi semakin dekat.

“Jangan lepaskan orang itu.” geram Tapak Lamba.

Namun ternyata bahwa Awan Hitam itu tanpa disadarinya telah berpaling. Nampak wajahnya menjadi tegang, justru karena kedua orang yang mengikutinya sudah semakin dekat.

Tiba-tiba saja orang yang menyebut dirinya bernama Awam Hitam itu mempercepat langkahnya, seolah-olah ia ingin menyelamatkan diri dari kedua orang yang mengikutinya.

“Ia akan lari.” berkata Tapak Lamba, “Nah kau tahu bahwa ia menjadi ketakutan. Ia bukan apa-apa sebenarnya, hanya memanfaatkan hadirnya para prajurit di gerbang itu.”

Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab, karena ia harus berkata lantang, “Lihat, ia benar-benar lari.”

“Kita harus menangkap dan membunuhnya.” sahut Tapak Lamba sambil berlari pula mengejarnya.

Ternyata Awan Hitam benar-benar telah berlari secepat dapat dilakukannya, sedang Tapak Lamba mengejarnya bersama kawannya.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berkejaran. Sekali-sekali orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu berpaling. Dan setiap kali ia melihat Tapak Lamba semakin dekat, maka ia pun berusaha untuk berlari lebih cepat.

Tetapi ternyata bahwa Tapak Lamba dapat berlari lebih cepat. Jarak mereka semakin lama menjadi semakin dekat.

Karena ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu tidak dapat mempercepat larinya, dan merasa bahwa ia tidak akan dapat lolos lagi jika ia tetap berlari di sepanjang jalan, maka tiba-tiba ia pun segera meloncat masuk ke dalam pategalan yang sepi dan luas.

“Awas.” teriak Tapak Lamba, “Jangan sampai lolos.”

Ia pun kemudian meloncat masuk ke dalam pategalan pula disusul oleh kawannya. Keduanya benar-benar tidak mau melepaskan buruannya.

Untuk beberapa saat Awan Hitam masih dapat berlari berputaran di antara pepohonan. Tetapi tiba- tiba Tapak Lamba berkata kepada temannya di belakangnya, “Kita berpencar.”

Dengan demikian, maka orang yang menamakan dirinya Awan Hitam itu pun segera kehilangan kesempatan. Kawan Tapak Lamba berhasil mencegatnya, sehingga Awan Hitam karus berhenti dengan nafas terengah-engah. Ketika ia akan berlari membalik, Tapak Lamba suda ada di belakangnya.

“Nah.” berkata Tapak Lamba. Ternyata nafasnya pun mulai berkejaran lewat rongga hidungnya, “Kau tidak akan dapat lepas lagi dari tangan kami.”

“Kenapa kalian mengejar aku.” suara Awan Hitam menjadi gemetar.

“Kau tidak usah bertanya lagi.” jawab Tapak Lamba, “Kau memang pantas untuk dibunuh.”

“Tetapi aku tidak bersalah.”

“Aku tidak mengerti, kenapa kau masih dapat menyebut dirimu tidak bersalah. Kau telah menggagalkan usahaku untuk membunuh kedua anak-anak muda, itu.”

“Maksudku baik bagimu dan bagiku.”

“Gila. Sudah aku katakan, kau telah membuat kami marah sekali. Saat itu, aku membenarkan katamu, bahwa kami tidak akan dapat berkuat apa-apa dihadapan para prajurit Singasari. Tetapi sekarang, kita tidak berada di dekat para prajurit itu lagi.”

“Tetapi aku tidak berbuat apa-apa atasmu berdua.”

Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba berkata, “Kita tidak perlu banyak berbincang lagi. Apakah yang sebaiknya kita lakukan, marilah kita lakukan.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk sambil memandang orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu dengan tajamnya. Kemudian ia pun menggeram, “Awan Hitam yang malang. Kami akan segera membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke jalan raya agar pada suatu saat mayat itu dapat diketemukan seseorang. Dengan demikian kita sudah membuat kesan yang pertama akan ketidak tenangan Singasari. Kemudian akan disusul dengan mayat-mayat berikutnya yang berserakan di dalam dan di luar kota raja ini.”

“Jangan. Jangan.” Awan Hitam mundur selangkah, “Sudah aku katakan. Kesan yang demikian tidak menguntungkan sama sekali. Prajurit-prajurit Singasari akan segera bersiaga dan menempatkan diri disemua sudut negeri ini. Itu sangat merugikan pekerjaan kami dan semua kawan-kawan kami.”

“Persetan dengan pekerjaanmu. Kau agaknya pencuri ayam atau jemuran di siang hari. Aku tidak peduli. Kau harus mati. Cepat, tundukkan kepalamu, agar aku dapat memancung lehermu dengan mudah.”

Awan Hitam mundur lagi selangkah, “Itu, itu tidak mungkin. Aku hanya berbuat sesuatu yang menurut pendapatku baik. Tetapi kenapa sekarang aku harus menghadapi maut.”

“Jangan menyesal. Cepat. Bungkukkan badanmu. Akulah yang akan memenggal lehermu.” berkata kawan Tapak lamba sambil melangkah maju.

Tapak Lamba pun menyambung, “Barangkali kau akan menempuh cara lain yang lebih baik bagimu? Kau akan membunuh diri dengan keris atau dengan membenturkan kepalamu pada sebatang pohon?”

Awan Hitam memandang kedua orang itu berganti-ganti. Tetapi agaknya mulutnya sudah tidak dapat mengucapkan kata-kata apapun lagi.

“Cepat, pilihlah jalan kematianmu yang paling baik menurut seleramu.”

Orang itu tidak menjawab.

“Ia tidak mempunyai pilihan.”

“Ya. Kitalah yang harus menentukan.” berkata Tapak Lamba sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Lalu katanya, “Aku akan membunuhnya dengan racun. Jika ia terkena duri beracunku yang terlontar dari tongkatku, ia masih sempat berjalan sendiri sampai ke jalan raya.”

“Bagus sekali.” desis kawannya.

Namun tiba-tiba Awan Hitam menyahut, “Bagaimana jika, aku memilih dipancung saja? Tetapi agaknya kalian tidak membawa pedang. Apakah kalian dapat memancung kepalaku dengan keris yang terlalu kecil itu?”

Pertanyaan itu ternyata membuat kedua orang yang akan membunuh Awan Hitam itu terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu memandanginya dengan penuh keheranan.

Selagi kedua orang itu termangu-mangu, maka terdengarlah Awan Hitam itu tertawa. Semakin lama semakin keras sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

Tapak Lamba dan kawannya itu menjadi semakin heran. Orang yang bernama Awan Hitam itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin asing bagi mereka karena suara tertawanya dan sikapnya.

Ketika Tapak Lamba menyadari keadaan itu, maka tiba-tiba saja ia membentak sekeras-kerasnya, “Diam. Diam.”

Awan Hitam terdiam sejenak. Dipandanginya Tapak Lamba dengan tatapan mata yang aneh. Kemudian katanya, “Kau tidak berhak menghentikan suara tertawaku. Aku ingin tertawa lepas sepuas-puasnya. Aku melihat lelucon yang sangar menarik di sini.”

“Apa yang kau maksud?”

“Kalian berdua.”

“Gila.” Tapak Lamba menggeram. Rasa-rasanya telinganya bagaikan disentuh dengan api.

Dan Awan Hitam pun mulai tertawa lagi sambil berkata, “Itulah agaknya maka kalian tidak akan pernah dapat menyelesaikan pekerjaan kalian dengan baik, karena kalian terlalu banyak berbicara, tanpa ujung dan pangkal.”

“Persetan. Sekarang aku akan membunuhmu.”

Tapak Lamba yang merasa terhina, tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia pun kemudian mengacukan tongkatnya dan melekatkan ujung tongkatnya pada mulutnya.

Degan sekuat tenaganya ia meniup sumpitnya dan melontarkan sepucuk duri yang tajam beracun pada jarak yang tidak terlalu jauh dari sasarannya.

Tetapi pada saat yang bersamaan, Awan Hitam berputar setengah lingkaran sambil memiringkan tubuhnya. Namun ternyata gerak yang sederhana itu telah membebaskannya dari ujung duri sumpit Tapak Lamba.

“Gila.” geram Tapak Lamba, “Kau dapat mengelakkan senjataku.”

Awan Hitam tertawa. Katanya, “Senjatamu sudah jauh ketinggalan jaman. Sampai habis nafasmu, kau tidak akan dapat mengenai sasaran. Karena itu, buang sajalah senjata itu.”

Awan Hitam masih akan berbicara Lagi. Tetapi suaranya terputus. Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba telah meloncat menyerang dengan ujung kerisnya.

Dengan mudah pula Awan Hitam meloncat menghindari sambil berdesis, “Agaknya kau mampu berkelahi pula. Sayang bahwa kau masih terlampau lamban untuk dapat mengalahkan kedua anak-anak Mahendra itu. Kau bertiga memang bukan lawan kedua anak-anak Mahendra. Baru kau bertiga melawan seorang saja dari mereka, agaknya perkelahian akan seimbang. Namun belum menjamin bahwa kalian akan memenangakan perkelahian itu.”

Tapak Lamba dan kawannya seolah-olah telah terbangun dari mimpinya. Mereka mulai menyadari, bahwa sebenarnya mereka sedang berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka Tapak Lamba pun kemudian tidak lagi berbuat dengan tergesa-gesa. Ia sendiri adalah orang yang cukup berilmu. Kelengahanyalah yang membuatnya seolah-olah sedang menunjukkan kebodohan yang tidak ada taranya dihadapan orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.

Sambil menarik nafas Tapak Lamba pun kemudian justru meletakkan tongkat. Kemudian katanya dengan sareh, “Kau benar Awan Hitam. Kau memang sedang melihat satu lelucon yang sangat menarik. Aku adalah orang yang sangat bodoh pada hari ini. Dan kau memang berhak menertawakannya sepuasmu. Tetapi, jika kau sudah puas, maka kita akan berhadapan dengan cara yang lain.”

Awan Hitam mengerutkan keningnya. Justru ia tidak tertawa lagi. Dipandanginya wajah Tapak Lamba dengan tatapan mata yang tajam.

“Aku mengerti. Dan kau mulai bersungguh-sungguh sekarang.”

“Ya. Sekarang aku tidak dapat berkata, bahwa aku akan membunuhmu. Tetapi marilah kita berkelahi. Siapakah di antara kita yang akan terbunuh mati hari ini.”

Awan Hitam menarik nafas pula. Katanya, “Apakah itu perlu?”

“Kita sudah terlanjur saling membenci. Dan karena sikapmu, maka aku menjadi tidak percaya lagi kepadamu apapun yang akan kau katakan. Agaknya kau memang seorang petugas yang sedang berusaha melindungi kedua anak-anak muda itu. Karena itulah, maka kita akan berkelahi sampai mati. Kau atau aku.”

“Kau boleh tidak percaya kepadaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa maksudku hanya sekedar menggagalkan usahamu membunuh kedua anak Mahendra dengan alasan seperti yang sudah aku katakan. Aku mempunyai rencana yang jauh lebih besar dari sekedar membuat Singasari menjadi kacau.”

“Aku tidak perduli rencanamu. Aku berhak menantang kau berperang tanding sekarang. Harga diriku benar-benar telah tersinggung karena sikapmu.”

“Apakah aku dapat minta maaf?”

“Tidak. Bersiaplah. Barangkali kita memerlukan waktu yang agak panjang.”

Awan Hitam menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku memang suka bermain-main dengan cara itu.”

“Tetapi tidak dengan aku.”

Orang yang menamakan dirinya Awan Hitam itu termangu-mangu sejenak. Dengan sorot mata yang sukar diduga maknanya ia berkata, “Aku menyesal bahwa aku telah mempergunakan cara yang tidak kau sukai. Tetapi sayang, itu adalah kebiasaanku.”

“Persetan.” sahut Tapak Lamba, “Jika demikian, maka kita akan mempergunakan cara kita masing-masing. Cara yang paling kita sukai menurut selera kita sendiri-sendiri.”

“Seharusnya kau tidak bersikap demikian.”

“Apa boleh buat.”

Orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu pun menarik nafas sambil berkata, “Jika itu pilihanmu, terserahlah.”

Tapak Lamba pun bergeser setapak maju. Kemarahannya sudah tidak dapat disabarkannya lagi. Dengan wajah yang tegang itu pun segera mempersiapkan dirinya.

Kawannya, berdiri termangu-mangu beberapa langkah daripadanya. Namun agaknya Tapak Lamba ingin menyelesikan persoalan itu seorang diri, sehingga ia pun masih tetap berdiri saja ditempatnya.

Awan Hitam pun segera bersiap pula. Beberapa langkah ia bergeser kesamping. Nampak wajahnya menegang, dan keningnya berkerut merut.

Ternyata sikap Tapak Lamba yang meyakinkan, membuatnya harus berhati-hati.

“Masih ada kesempatan untuk bersikap lebih baik.” berkata Awan Hitam.

Tapak Lamba tidak menyahut. Ia pun melangkah maju, dengan sebelah tangan terjulur lurus ke depan, sedang tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.

“Kau sudah tidak mau mempertimbangkan kata-kataku lagi?” Awan Hitam masih akan bertanya lebih banyak, tetapi Tapak Lamba pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Ternyata bahwa Tapak Lamba memiliki kemampuan yang mengagumkan. Serangannya jauh lebih cepat dari serangan kawannya. Dalam keadaan yang demikian, ia justru tidak mempergunakan sumpitnya lagi.

Awan Hitam tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun harus melayani Tapak Lamba yang sudah mulai menyerangnya.

Dengan cepat, Awan Hitam pun mengelakkan serangan itu. Ia meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga serangan lawannya lewat beberapa jari saja dari dadanya.

Tetapi Tapak Lamba belum melakukan serangan yang sebenarnya. Seolah-olah ia sedang menjajagi kemampuan lawannya yang baru dikenalnya itu. Namun, ketika serangannya yang pertama tidak menyentuh sasaran, maka ia pun segera meloncat seolah-olah melenting dengan serangan barunya. Kakinya berputar mendatar menyambar lambung lawannya yang sedang bergeser ke samping.

Tetapi Awan Hitam pun mampu bergerak secepat lawannya Demikian kaki itu menyambar lambunganya, ia pun telah meloncat surut pula.

Tapak Lamba tidak mau melepaskan lawannya. Dengan serta merta ia pun memburunya. Serangan berikutnya datang bagaikan angin prahara. Ia melangkah maju dengan pukulan tangan lurus kedepan, disusul dengan tangan yang lain.

Namun, sekali lagi serangannya tidak mengenai sasaran. Awan Hitam masih sempat menghindari pukulan tangannya yang dapat merontokkan tulang iga itu.

Tapak Lamba menjadi semakin marah karenanya. Serangannya yang beruntun itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Karena itu, maka ia pun mempercepat tata geraknya dan menyerang lebih dahsyat lagi. Bertubi-tubi seperti badai yang bertiup dengan dahsyatnya menghantam tebing pegunungan, tanpa ada hentinya.

Namun Awan Hitam benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan yang tinggi. Ternyata serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

“Gila.” Tapak Lamba menggeram, “Apakah kau mempunyai ilmu iblis atau sebangsanya?”

“Apakah kita akan berbicara?” tiba-tiba saja Awan Hitam bertanya.

“Persetan.” Tapak Lamba pun menyerang semakin dahsyat.

Tetapi serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh lawannya, apalagi mengenai dan melukainya.

Kawan Tapak lamba yang menyaksikan perkelahian itu mengerutkan keningnya. Ia pun menjadi tegang dan kadang-kadang bingung melihat gerak Awan Hitam itu. Seolah-olah ia dapat melakukan gerakan yang tidak masuk akal. Sekali-sekali kakinya bergeser ke kiri, namun tiba-tiba saja tubuhnya telah melenting ke kanan.

Kawan Tapak Lamba itu pun akhirnya tidak dapat berdiam diri. Ia melihat kesullitan yang dialami oleh Tapak Lamba. Sehingga karena itu, ia mulai mempertimbangkan untuk turut serta dalam perkelahian itu.

Namun demikian, ada satu hal yang menarik perhatiannya. Dalam keadaan yang tegang itu, seakan-akan hanyalah Tapak Lamba sajalah yang selalu menyerang. Awan Hitam sama sekali tidak membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula.

“Apakah demikian derasnya serangan Tapak Lamba sehingga Awan Hitam sama sekali tidak berkesempatan untuk membalas dengan serangan pula?” bertanya kawan Tapak Lamba itu di dalam hatinya.

“Aku tidak peduli.” Sambungnya, “Aku harus melibatkan diri agar pekerjaan ini cepat selesai.”

Untuk beberapa saat kawan Tapak Lamba itu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tekatnya pun menjadi bulat. Meskipun ia tahu, orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu memiliki kelebihan, bahkan kadang-kadang sempat membuatnya kebingungan, namun ia pun mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa ia mempunyai bekal untuk membantu Tapak Lamba itu.

Karena itu, maka beberapa langkah ia maju mendekati arena. Kemudian dengan keris di tangan ia meloncat masuk ke dalam lingkaran pertempuran.

“He, kau ikut serta?” bertanya Tapak Lamba. Orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi seperti Tapak Lamba ia pun langsung menyerang dengan sengitnya.

Awan Hitam bergeser surut beberapa langkah. Kedua lawannya ternyata telah benar-benar sampai kepuncak ilmunya.

“Jadi kalian berdua sudah tidak dapat diajak berbicara iagi?” Awan Hitam masih bertanya.

Sama sekali tidak ada jawaban. Tapak Lamba dan kawannya benar-benar sudah menjadi mata gelap. Mereka menyerang beruntun dengan dahsyatnya.

Awan Hitam terpaksa bergeser beberapa kali. Ternyata untuk melawan dua orang yang memiliki ilmu yang cukup itu, ia harus memusatkan perhatiannya dan bersikap bersungguh-sungguh.

Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun nampaknya menjadi semakin seru. Awan Hitam yang masih saja selalu mengelak, akhirnya menjadi jemu.

“Jika kalian memang tidak dapat diajak berbicara, maka aku pun akan mempergunakan cara yang telah kalian pilih.” berkata Awan Hitam.

Tapak Lamba dan kawannya sama sekali tidak menghiraukannya, dan bertempur dengan sengitnya.

Sejenak, Awan Hitam masih dalam sikapnya. Setiap kali ia harus menghindarkan diri dari serangan Tapak Lamba dan ujung keris lawannya.

Tetapi, disaat berikutnya. Awan Hitam mulai mempersiapkan serangan-serangannya sambil berkata, “Menjemukan sekali. Kalian harus sedikir belajar melihat kenyataan ini.”

Dengan demikian, maka Awan Hitam mulai melawan kedua orang itu, bukan saja sekedar mengelak dan melangkah surut tetapi ia pun mulai menyerang dengan gerak yang sangat cepat.

Hampir diluar akal, bahwa Awan Hitam masih selalu dapat mengelakkan kedua serangan yang kadang-kadang datang bersamaan dengan dahsyatnya, dan bahkan kemudian dengan tangkasnya ia masih berhasil menyentuh lawannya dengan serangan yang mulai dilontarkannya.

“Benar-benar gila.” desis Tapak Lamba, “Apakah aku berhadapan dengan Mahendra itu sendiri yang menyamar? Atau Witantra atau Mahisa Agni?”

Namun pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Tidak. Aku sudah pernah melihat mereka, dan bagaimana pun juga ia mengenakan samaran, aku akan tetap mengenalnya.”

Namun lawannya itu pun benar-benar orang yang pilih tanding, yang tidak dapat disentuh oleh serangan-serangannya bersama kawannya. Bahkan kadang-kadang serangan Awan Hitam itulah yang dapat mengenainya.

Meskipun demikian Tapak Lamba masih bertempur terus. Ia masih belum berputus asa, karena ia pun merasa dirinya memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Tetapi ia tidak dapat ingkar, ketika terasa nafasnya mulai mergganggu. Ia menjadi semakin heran terhadap dirinya sendiri. Ia pernah bertempur sehari penuh tanpa berhenti sebelum lawannya tergolek di tanah dengan darah yang memancar dari lukanya. Namun kini, tiba-tiba saja tenaganya seperti terhisap habis oleh tata gerak dalam puncak ilmunya yang diperas dalam perlawanannya atas orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.

“Apalagi ketika sentuhan.” serangan lawannya semakin sering mengenai tubuhnya. Lengannya bagaikan dicengkam oleh perasaan nyeri karena pukulan Awan Hitam, dan tulang pahanya serasa menjadi retak ketika tumit lawannya itu mengenainya.

“Uh, gila. Tenagaku bagaikan terhisap habis.”

Tetapi perkelahian itu masih berlangsung terus.

Awan Hitam memperhatikan keadaan lawannya dengan saksama. Dengan jari-jarinya ia berhasil menyakiti hampir seluruh tubuh kawan Tapak Lamba, sehingga diluar sadarnya, ia selalu meloncat menjauhi orang yang menyebut dirinya Awan Hitam. Dengan demikian, perlawanannya hampir tidak berarti sama sekali. Sedang Tapak Lamba pun menjadi semakin lama semakin lemah pula. Perasaan sakit dan nyeri telah menyentuh seluruh tubuhnya.

Meskipun Awan Hitam tidak bersenjata, tetapi jari-jari tangannya, tumit dan sikunya, serta ujung jari kakinya, seolah-olah merupakan senjata yang tidak kalah dahsyatnya dengan tajamnya ujung keris.

Ada semacam penyesalan yang merambat di hati Tapak Lamba. Jika ia tidak terburu nafsu, dan membiarkan orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu pergi, maka ia tidak akan terlibat dalam perkelahian yang sangat menyakitkan itu. Menyakitkan hati, dan menyakitkan tubuh.

Tiba-tiba saja, dalam keadaan itu, Awan Hitam menggeram, “Bukankah kita sudah berjanji untuk menyelesaikan perkelahian ini dengan kematian? Nah, aku akan melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.”

Ancaman itu benar-benar telah menggetarkan hati Tapak Lamba dan kawannya Tetapi ternyata mereka pun bukan seorang yang lekas berputus asa dan kehilangan harga diri. Apalagi Tapak Lamba, yang sama sekali tidak berhasrat untuk melarikan diri dari arena. Apalagi ia menyadari, bahwa lari pun tidak akan ada artinya. Jika lawannya akan membunuhnya, maka ia pun tentu akan mati. Dan dalam saat-saat terakhir itu, ia masih akan tetap menengadahkan dadanya, bahwa ia mati sebagai seorang laki-laki.

Demikianlah perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin tidak seimbang. Tapak Lamba yang dengan heran merasa seolah-olah tenaganya terhisap habis beserta kawannya yang juga tidak berdaya itu, dengan tabah menunggu kematian yang sudah mulai membayang.

Namun pada saat keduanya tidak dapat mengelak lagi, terasa tubuh mereka terdorong dengan kerasnya, sehingga mereka berdua terbanting beberapa langkah surut. Tetapi mereka masih tetap merasa, bahwa mereka masih belum mati terbunuh.

Dengan susah payah kedua berusaha bangkit. Tetapi rasa-rasanya tulang-tulang mereka telah terlepas dari tubuh, sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah duduk bertelekan tangan.

“Nah, alangkah mudahnya membunuh kalian berdua sekarang.” berkata Awan Hitam. Wajahnya yang tiba-tiba telah berubah nampak tegang dan garang. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang berwajah pucat dan berlari-lari menghindari Tapak Lamba dan kawannya yang terpancing sampai ke pategalan itu. Tetapi ia adalah seorang laki-laki yang memancarkan pengaruh yang tidak dapat disebutnya dengan kata-kata.

Tetapi Tapak Lamba tidak mau mengorbankan harga dirinya pada saat terakhir. Apapun yang dilakukannya, ia merasa bahwa kematian sudah akan menjemputnya. Karena itu, ia memilih saat kematian yang paling baik bagi seseorang yang pernah menjadi seorang Senopati perang di masa pemerintahan Tohjaya yang hanya sesaat itu.

“Kalau kau akan membunuh kami, bunuhlah. Tetapi sebelum kami mati, kami ingin mengetahui, siapakah kau yang sebenarnya. Apakah kau Mahendra itu sendiri yang menyamar, atau orang lain yang dengan sengaja melindungi kedua anak-anak Mahendra itu?”

“Kalian memang dungu. Sudah tentu aku bukan Mahendra atau orang yang melindungi anaknya. Aku adalah orang lain. Sudah aku katakan, namaku Awan Hitam. Aku memang mempunyai kepentingan dengan menggagalkan usahamu membunuh siapa pun juga sekarang ini. Aku tidak mau Singasari terbangun dari mimpinya dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Aku ingin Singasari tetap tidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak.”

“Siapa kau sebenarnya? Apakah kau tidak berani mengatakannya?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Baiklah. Aku tidak mau membuat kalian kecewa disaat menjelang kematian. Aku adalah Linggadadi, adik Linggapati dari Mahibit.”

“He.” Tapak Lamba terkejut. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku pernah mendengar nama Linggapati. Aku pernah membicarakan dengan beberapa orang kawan untuk membuat hubungan dengan Linggapati di Mahibit. Tetapi kini kita bertemu sebagai lawan, dan kita sudah berjanji untuk saling membunuh. Nah, sekarang bunuhlah. Aku mengerti kenapa kau berusaha untuk membuat Singasari tetap tertidur.”

“Kenapa kau berusaha membuat hubungan dengan Mahibit yang dipimpin oleh kakang Linggapati?”

“Terasa ada kekuatan yang asing bagi Singasari di Mahibit. Adalah karena firasat kami, orang-orang yang merasa terancam karena terbunuhnya Tohjaya, bahwa pada suatu saat kekuatan di Mahibit akan bertambah besar.”

Linggadadi tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Apakah kau sekedar ingin menyambung umurmu?”

“Tidak. Aku sudah mengatakannya. Bunuhlah jika kau mau membunuh kami.”

Linggadadi justru menjadi ragu-ragu. Lalu ia pun bertanya, “Apakah kau berkata dengan jujur, bahwa kau memang akan membuat hubungan dengan kakang Linggapati?”

“Pikiran itu ada pada kami. Tetapi kami belum membuat langkah-langkah yang nyata dan pasti untuk itu.” ia berhenti sejenak, “Tidak ada gunanya kau bertanya lagi. Sekarang, bunuhlah jika kau ingin membunuh. Salamku buat Linggapati.”

“Kau memang gila. Linggapati bukan sederajadmu. Ia adalah kakakku, dan memiliki banyak kelebihan dari aku. Nah, kau dapat membayangkan. Kau berdua tidak dapat melawan aku seorang diri, apalagi kakang Linggapati.”

“Aku tidak perlu menghormati orang yang akan membunuhku.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sikapmu sangat menarik. Kau tidak begitu banyak menyimpan ilmu. Terapi hatimu keras seperti batu.” ia berhenti sejenak, lalu, “Sudah barang tentu bahwa Mahibit masih memerlukan banyak sekali kekuatan untuk dapat membayangi Singasari. Karena itu agaknya kami masih memerlukan waktu. Dan selama ini Singasari harus aman tenteram, dan dengan demikian maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan tertidur nyenyak.”

“Demikian juga orang yang kau sebut bernama Mahendra, kemudian Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.” ia berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau mengetahui bahwa masih ada anak Mahendra yang lain, yang bernama Mahisa Bungalan?”

“He?” sahut Tapak Lamba, “Aku tidak mengetahui. Kedua anak yang ada di istana itu pun aku tidak mengetahui sebelumnya.”

Orang yang menyebut dirinya bernama Linggadadi itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ternyata kau tidak banyak mengetahui tentang Singasari meskipun aku tahu pasti, bahwa kau adalah bekas prajurit Singasari pada masa pemerintahan Tohjaya yang hanya sekejap. Memang Tohjaya tidak akan dapat memerintah Singasari dengan baik, karena ia tidak berbekal apapun. Pengetahuan kajiwan apalagi. Sedangkan kanuragan pun ia tidak cukup mumpuni untuk seorang raja.”

“Jangan menghina. Jika kau mau membunuh kami, lakukanlah.” geram Tapak Lamba.

Linggadadi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “He, apakah kau masih tetap pada rencanamu untuk berhubungan dengan Kakang Linggapati? Tentu saja dalam hubungan yang sesuai dengan tingkat dan derajadmu?”

“Apa maksudmu?”

“Apakah kau benar-benar ingin menghambakan diri kepada Kakang Linggapati?”

“Persetan. Bunuh kami. Kami bukan budak-budak yang hanya sekedar mencari hidup dengan menghambakan diri.”

Linggadadi tertawa. Katanya, “Itu memang sangat menarik. Tetapi tidak ada jalur hubungan yang pantas bagimu di hadapan Kakang Linggadadi daripada menghambakan diri.”

“Tidak. Bunuh kami jika kau ingin membunuh.”

“Baiklah. Jika kau tidak mau mendengarkan tawaranku, kau memang sebaiknya dibunuh. Aku dan sudah barang tentu kakang Linggapati tidak akan membutuhkan orang seperti kau berdua. Orang yang tidak tahu diri dan dengan demikian tidak dapat menempatkan dirinya sendiri.”

“Cukup, cukup.” teriak Tapak Lumba.

Linggadadi tertawa. Katanya, “Baik, baik. Memang sudah cukup. Kini bersiaplah untuk mati. Jika kau ingin mati dengan cepat, sayang, aku tidak dapat menolongmu. Aku akan mempergunakan sumpitmu saja. Aku akan menyumpit kau dengan duri-duri yang kau sediakan.”

“Gila.”

“Aku juga mengerti serba sedikit tentang racun semacam itu.”

“Gila ,gila.”

Linggadadi tertawa berkepanjangan. Sifat-sifatnya menjadi berubah sama sekali. Ia benar-benar iblis yang sangat mengerikan.

Tetapi suara tertawanya pun terputus ketika ia mendengar seseorang mendehem dibalik gerumbul perdu yang rimbun. Tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri.

Linggadadi pun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.

Tetapi ketika seseorang muncul dari balik gerumbul itu, Linggadadi justru tertawa. Katanya, “Kakang, kau membuat aku terkejut. Apakah urusanmu sudah selesai di istana?”

Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku belum dapat berbuat apa-apa. Orang-orang itu kini sedang berkumpulan, sehingga sangat berbahaya untuk berbuat sesuatu meskipun hanya sekedar melihat-lihat.”

“Nah, aku telah menangkap dua ekor kelinci. Aku sedang bersiap untuk membunuhnya.”

Tetapi Linggapati menggelengkan kealanya. Katanya, “Jangan. Aku mengikuti apa yang sudah kau kerjakan selama ini. Kau memang adikku yang garang. Tetapi kau kadang-kadang berbuat seperti kanak-anak.”

“Maksud kakang?”

“Tapak Lamba adalah sahabat yang baik bagi kita. Kau tidak dapat bersikap demikian kasar dan merendahkan martabatnya.”

“He, jadi kakang menganggap orang ini penting?”

“Semua orang yang mengerti akan perjuangan kita adalah orang penting bagi kita. Bukankah Tapak Lamba sudah mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah bersiap-siap untuk membuat hubungan dengan kita.”

“Tentu bukan sebuah hubungan. Ia akan menghambakan diri kepada kita.”

“Itulah sifat kekanak-kanakanmu. Dalam keadaan seperti sekarang, kau yang sudah mulai ubanan itu, tidak boleh lagi bersikap seperti kanak-anak. He, bukankah umurmu sudah mendekati pertengahan abad? Kau harus menjadi dewasa dan matang menghadapi seseorang.”

“Kakang akan memberi mereka ampun?”

“Tidak Bukan pengampunan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kita memerlukan mereka.”

“Oh, omong kosong. Kakang terlalu merendahkan diri. Itu tidak perlu sama sekali terhadap orang-orang seperti ini. Kakanglah yang bersikap terlalu kekanak-kanakan.”

Linggapati tersenyum. Katanya, “Jangan bodoh. Menepilah. Aku akan berbicara dengan mereka.”

Linggadadi pun kemudian melangkah menepi. Dipandanginya saja kakaknya yang mendekati Tapak Lamba dan kawannya yang masih duduk dengan lemahnya bersandar kedua tangan masing-masing.

“Marilah, bangkitlah.” berkata Linggapati sambil menekan bahu Tapak Lamba. “Kami sangat memerlukan kalian.” Tangan Linggapati masih tetap menekan bahu Tapak Lamba. Namun kemudian tangan itu bergeser kepunggung. Sesuatu rasa-rasanya telah menjalari seluruh tubuh Tapak Lamba. Dan sejenak kemudian maka rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali.

“Berdirilah.” berkata Linggapati sambil mendekati kawan Tapak Lamba dan berbuat serupa pula.

“Tidak ada gunanya kalian bersikap demikian baik terhadap kami. Aku tahu, kami akan kalian peralat untuk tujuan tertentu.”

Linggapati tersenyum. Ia sama sekali tidak menghiraukan sikap Tapak Lamba yang masih dicengkam oleh kecurigaan dan kebencian.

“Kalian memang pandai berpura-pura.” berkata Tapak Lamba kemudian.

Linggapati bahkan tertawa karenanya.

“Adikmu juga pandai berpura-pura. Ia menyebut dirinya bernama Awan Hitam, memancing kami ke tempat ini dan akan membunuh kami dengan caranya. Tentu kau juga sedang berpura-pura. Tentu kau juga sedang merencanakan cara yang paling baik menurut seleramu, untuk membunuh kami.”

“Ki Sanak.” berkata Linggapati, “Aku berkata sebenarnya. Jika kau menuduh aku mempunyai tujuan tertentu itu adalah benar. Aku memang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang besar, sebesar kerajaan Singasari.” ia berhenti sejenak, lalu, “Aku selalu membayangkan, bagaimana mungkin Sri Rajasa pada waktu itu berhasil menguasai seluruh kerajaan Kediri yang dimulainya dari daerah yang kecil, Tumapel.”

“Sri Rajasa mendapat haknya dari isterinya.”

“Atas Tumapel memang benar. Tuan Puteri Ken Dedes yang baru saja wafat itulah yang mewarisi kekuasaan dari suaminya, tuanku Tunggul Ametung. Tetapi sebelumnya Tunggul Ametung tidak pernah berbuat apa-apa bagi Tumapel. Baru setelah Ken Arok memegang kekuasaan, maka Tumapel akhirnya menjadi besar di bawah pemerintahannya yang kemudian bergelar Sri Rajasa. Nah, apakah ada orang yang dapat ingkar bahwa kebesaran Singasari sekarang adalah hasil perjuangan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu? Bukan tuanku Anusapati. Bukan tuanku Tohjaya. Apalagi Tohjaya yang sudah didorong-dorong oleh ayahandanya Sri Rajasa, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Ia membunuh Anusapati dengan cara yang paling bodoh. Nah, akhirnya kau tahu sendiri, apakah yang terjadi dengan tuanku Tohjaya. Bahkan Ranggawuni, bukan Mahisa Cempaka, bukan Mahisa Agni atau Witantra, bukan pula Mahendra atau Lembu Ampal yang membunuhnya. Tetapi pengawalnya sendiri.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Nah, apakah kau masih juga berkeras hati untuk melepaskan dendammu atas kematian Tohjaya? Kau menjadi sangat setia kepadanya karena kau pernah menerima banyak pemberiannya dan mungkin janji-janji yang tinggi. Tetapi kini tinggallah mimpi buruk saja bagimu.”

Tapak Lamba tdak menjawab. Tetapi agaknya ia mendengarkan keterangan yang diucapkan oleh Linggapati itu.

“Nah, sekarang terserah kepadamu. Apakah kau akan letap setia kepada seseorang yang memang tidak mempunyai kelebihan dan apalagi hasil yang gemilang semasa pemerintahannya itu atau kau akan berpikir menurut nalar.”

Tapak Lamba tidak menyahut.

“Nah. Sebaiknya kau memang mempertimbangkannya dengan saksama. Jika kau masih saja ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan Tohjaya, maka kau tentu tidak akan mendapatkan apapun, karena Tohjaya memang sudah mati. Mati dalam keadaan yang tidak menguntungkan sama sekali.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jika kau berbuat. Sesuatu dengan pertimbangan nalar, tentu kau akan berbuat lain. Berbuat sesuatu yang berguna bagimu sekarang.”

“Dan aku harus menjadi hambamu?”

Linggapati tertawa. Katanya, “Istilah Linggadadi memang menggelikan. Karena itu aku menyebutnya seperti kanak-kanak meskipun ia sudah mulai ubanan.” ia berhenti sejenak. Lalu, “Sudah barang tentu aku tidak dapat mengatakan demikian. Yang terjadi adalah kerja sama. Kau tentu mempunyai kekuatan. Kawan-kawanmu yang sakit hati masih banyak. Mungkin ada diantara mereka yang kini lebih baik bersembunyi sambil menekan gejolak perasaan itu di dalam dadanya, karena ia sadar bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika terbuka saluran untuk mengalirkan perasaan itu, maka ada kemungkinan ia akan bangun dan bergabung dengan kita. Melepaskan sakit hati, tetapi berlandaskan pada perjuangan yang nyata dan dapat diharapkan bagi masa datang. Bukan sekedar membela orang yang sudah mati dan tidak mempunyai hari depan sama sekali.”

“Apa rencanamu?” bertanya Tapak Lamba.

“Sudah aku katakan. Aku mengagumi Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa. Aku pun mempunyai landasan daerah yang cukup kuat. Mahibit.”

“Tetapi aku akan kau singkirkan setelah kau berhasil.”

“Memang sesuatu yang mungkin aku lakukan. Tetapi itu akan berarti melemahkan perjuangan untuk seterusnya dan apakah keuntunganku berbuat demikian? Jika aku berhasil, maka sudah tentu aku memerlukan banyak sekali tenaga yang cakap dan tangguh untuk menguasai daerah yang sangat luas ini. Aku tentu akan mempertimbangkan, apakah aku akan mempergunakan orang-orang yang sudah berjuang bersama-sama sebelumnya atau akan mengambil orang-orang baru yang belum pasti kesetiaan dan lelabuhannya. Apakah kau dapat mengerti?”

“Janji-janji yang serupa yang pernah diucapkan oleh tuanku Tohjaya.”

“Apakah jika Tohjaya berhasil dan tidak terbunuh, kau juga merasa dirimu akan disingkirkan? Jika demikian kau tentu tidak akan dengan membabi buta setia kepadanya meskipun ia sudah mati.”

Tapak Lamba termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan memikirkannya.”

“Baiklah. Jika kau sependapat, datanglah ke Mahibit. Aku akan menerima kau dengan senang hati.”

Tapak Lamba tidak segera menjawab. Dipandanginya Linggapati dan Linggadadi berganti-ganti. Namun pada sorot matanya masih memancar keragu-raguan hatinya.

“Tentu kau masih ragu-ragu.” berkata Linggapati, “Tetapi pada suatu saat kau akan menemukan ketetapan hati. Tidak ada yang dapat kau harapkan dengan menyimpan dendam karena kematian Tohjaya. Apalagi Tohjaya sekarang sudah mati. Sedangkan dalam masa hidupnyapun, Tohjaya tidak dapat memberikan apa-apa kepadamu.”

Tapak Lamba masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali ia memandang kawannya yang termangu-mangu.

Namun terngiang di telinganya kata-kata Linggadadi saat ia mencegah usahanya membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa jika ia mengurungkan usahanya itu, ia kelak akan tertawa. Tetapi ternyata Linggadadi justru akan membunuhnya. Jika Linggapati tidak datang pada saatnya, mungkin ia dan kawannya itu pun sudah mati terbunuh oleh Linggadadi itu.

“Apakah mungkin ini suatu permainan, atau sebenarnya Linggadadi memang lebih garang dan bodoh dari Liggapati?” bertanya Tapak Lamba di dalam hatinya.

Tetapi agaknya Tapak Lamba pun mempunyai perhitungan tersendiri. Ia ternyata memilih hidup dari pada mati.

“Aku dapat memikirkannya dan mempertimbangkannya dengan beberapa orang kawan.” berkata Tapak Lamba di dalam hatinya.

Tetapi ia terkejut bukan kepalang ketika Linggapati seolah-olah dapat melihat isi hatinya dan berkata, “Nah, bukankah kau mendapat kesempatan untuk membicarakan persoalanmu dengan kawan-kawanmu. Yang penting bagimu adalah, bahwa kau masih tetap hidup. Mungkin kau akan mengkhianati aku dengan keputusan-keputusan lain. Tetapi itu terserah kepadamu. Aku tahu bahwa kau cukup licik, seperti aku dan adikku. Kebanyakan orang-orang yang mempunyai gegayuhan yang terlampau tinggi, akan memperjuangkannya dengan licik atau pada saat maut mulai mengancam.”

Ternyata sekali lagi Tapak Lamba tidak mau tersinggung harga dirinya dengan terang-terangan. Karena itu maka jawabnya, “Bukankah itu pertimbangan yang wajar? Aku belum memutuskan sesuatu saat ini. Jika kau tidak membunuhku, adalah salahmu sendiri jika pada suatu saat aku justru yang membunuhmu.”

Linggapati tertawa. Tetapi Linggadadi menggeram, “Ini berbahaya bagi kita kakang.”

“Apakah yang dapat dilakukan oleh tikus-tikus semacam ini? Bukankah dengan sangat mudah kau hampir saja membunuhnya?”

“Tetapi kalian akan menyesal.” geram Tapak Lamba yang hatinya menjadi sangat panas.

“Tidak. Kau bukan orang yang bodoh. Menilik sikap dan kata-katamu, kau cukup cerdas menanggapi setiap keadaan. Karena itu, kau akan dapat menjadi orang penting di dalam masa mendatang yang jauh lebih baik dari jaman ini. Singasari bukan saja akan menjadi bertambah besar, akan tetapi pada suatu saat Singasari akan mengembangkan sayapnya sampai daerah seberang yang paling ditakuti dimasa kini. Daerah disebelah lautan. Hantu akan kita tundukkan dengan kekerasan. Dia selajutnya kita akan menguasai daratan yang paling luas dimuka bumi.”

Tapak Lamba mengerutkan kening. Lalu katanya, “Kau memang seorang pemimpin yang baik. Tetapi dengan demikian, kau akan memperjuangkan mimpimu dengan bersungguh-sungguh.”

“Aku senang mendengar jawabmu. Seperti dugaanku kau memang cerdik. Nah, sekarang aku akan pergi. Terserah kepadamu. Yang manakah yang akan kau pilih. Kau masih seorang yang bebas sampai saat ini.”

Tapak Lamba tidak menjawab. Ia memandangi saja Linggapati yang kemudian berpaling kepada adiknya, “Marilah. Kita beri anak ini kesempatan untuk berpikir. Aku yakin, bahwa pada suatu saat ia akan datang ke Mahibit untuk menyatukan dari dengan kita. Kita tahu bahwa ia tidak berdiri sendiri. Justru karena itu, kita memerlukannya.”

Linggadadi tidak menyahut. Ia mengikuti saja langkah kakaknya meninggalkan pategalan itu. Sekali-kali ia berpaling kepada Tapak Lamba. Akan tetapi ternyata watak Linggadadi jauh lebih sulit dari Linggapati untuk dijajagi. Ternyata ketika ia menjadi semakin jauh, ia sempat melambaikan tangannya sambil tertawa. Kesan kekecewaan sama sekali tidak nampak pada sikapnya.....
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada kawannya, kawannya itu berkata, “Apakah Linggadadi itu agak kurang waras?”

“Kenapa?”

“Sikapnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, “Justru bagi kita ia adalah orang yang sangat berbahaya. Tetapi agaknya, ia lebih bodoh dari kakaknya. Kakaknya adalah orang yang pilih tanding dan cerdik sekali. Bagi Singasari, Linggapatilah yang lebih berbahaya.”

“Apa bedanya bagi kita dan bagi Singasari?”

“Kita hanyalah bagian yang sangat kecil dari Singasari. Dan agaknya Linggadadi berbuat menurut kesenangannya saja tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar. Sedangkan Linggapati berpikir lain. Ia masih berusaha memperalat kita untuk kepentingannya.”

“Ya. Tetapi jika ternyata akan dapat saling menguntungkan, apakah kita juga akan berkeberatan?”

Tapak Lamba tidak menyahut. Memang semuanya masih akan dapat berkembang. Mungkin kali ini ia hanya akan sekedar diperalat. Tetapi pada suatu saat ia menemukan kesempatan yang baik. sehingga keadaan akan menjadi sebaliknya.

Tetapi Tapak Lamba masih selalu ragu-ragu. Nampaknya Linggapati terlampau yakin akan dirinya, sehingga ia sama sekali tidak gentar, apapun yang akan dilakukan oleh Tapak Lamba Karena itu, maka ia dengan tanpa ragu-ragu memberinya kesempatan untuk tetap hidup.

“Ah, persetan.” tiba-tiba ia menggeram, “Aku tidak akan dapat memecahkannya sendiri. Bukankah kita mempunyai kawan yang dapat diajak berbicara tentang hal ini?”

Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Ada dua orang yang kini menunggu kita di rumahmu.”

“Bukan mereka.” tiba-tiba Tapak Lamba membentak, “Mereka tidak akan dapat diajak membicarakan masalah-masalah yang berat dan bersungguh-sungguh.”

Kawannya tidak menyahut. Ia menyadari bahwa kedua kawannya yang tinggal di rumah Tapak Lamba, bukanlah orang orang yang cukup penting. Bahkan ia bersama dengan kedua orang itu sama sekali tidak berhasil membunuh dua orang anak-anak yang masih sangat muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun tiba-tiba terlintas diangan-angannya, bahwa selain kedua anak-anak muda itu ternyata masih ada seorang lagi yang disebut oleh Linggadadi, yaitu Mahisa Bungalan.

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Singasari memang menyimpan banyak orang-orang sakti. Bukan saja yang sudah menjadi semakin tua seperti Mahisa Agni, Witantra, dan Mahendra, tetapi yang muda pun telah tumbuh dengan pesatnya. Sudah barang tentu selain Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan yang disebut bernama Mahisa Bunggalan, kedua orang yang memegang kekuasaan tertinggi di Singasari pun tentu orang-orang yang pilih tanding. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Apakah di Mahibit terdapat orang-orang seperti mereka itu?” pertanyaan itu menggelepar di dalam dada Tapak Lamba.

Namun sekali lagi Tapak Lamba mengibaskan semua persoalan itu. Katanya kepada diri sendiri, “Aku harus membicarakannya dengan beberapa orang kawan.”

Demikianlah, maka Tapak Lamba pun mengajak kawannya itu kembali ke rumahnya. Di rumahnya, kedua orang yang menunggunya nampak sudah menjadi sangat gelisah.

“Aku kira kalian tidak akan kembali lagi.” berkata salah seorang dari mereka.

“Pikiran yang paling picik.” sahut Tapak Lamba, “Kami mungkin akan bermalam jika persoalan kami belum selesai.”

“O, jadi kedua anak-anak itu sudah berhasil kalian bunuh?”

“Gila. Apakah pembunuhan itu sajalah yang disebut penyelesaian?”

“O, aku tidak mengerti.” desis yang lain.

“Tentu kalian tidak akan segera mengerti, karena kalian terlampau bodoh.”

Kedua orang yang berada di rumah itu menjadi termangu mangu. Tetapi jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan hati mereka. Karena itu, muka salah seorang dari mereka pun berkata, “Kau jangan asal saja berkata. Kami tidak mengetahui apa yang sudah kalian lakukan.”

“Mereka benar.” berkata kawan Tapak Lamba, “Beritahukan kepada mereka apa yang terjadi, baru mereka akan mengerti.”

Tapak Lamba menjadi tegang. Namun ketika terpandang olehnya tiga orang yang nampaknya benar-benar kebingungan, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi kau sajalah yang berceritera, apa yang telah kita alami.”

Orang yang ikut bersama Tapak Lamba itu pun kemudian menceriterakan kepada kedua kawannya, apa yang telah mereka alami.

Kedua kawannya itu mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang dari keduanya bergumam, “Jadi kalian telah bertemu dengan Linggapati itu sendiri?”

“Demikianlah menurut pengakuannya. Yang seorang Linggadadi, adiknya, dan yang lain mengaku bernama Linggapati. Memang mungkin bahwa bukan kedua-duanya itulah Linggapati. Tetapi untuk sementara aku mempercayainya.”

Kedua kawannya termangu-mangu sejenak. Dan Tapak Lamba pun kemudian berkata, “Kau sudah mulai persoalan ini dengan langkah yang salah. Kita harus berusaha menemukan jalan yang benar, sesuai dengan keadaan yang berkembang di dalam dan di luar kota raja ini. Kebodohan itu tidak boleh terulang kembali.”

“Mungkin kami berbuat kebodohan. Tetapi kau pun berusaha melanjutkannya. Kau tentu mempunyai pertimbangan lain setelah kau bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Linggapati itu.”

Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk.

“Mungkin. Dan kita sekarang harus mempertimbangkan semua tindakan kita sebaik-baiknya. Kita tidak berdiri sendiri. Karena itu, aku harus menemui beberapa orang bekas Senapati yang sekarang terbuang.”

“Bukan terbuang. Tetapi membuang diri. Bukankah tidak pernah ada pernyataan dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa mereka harus disingkirkan? Tetapi merekalah yang dengan kehendak sendiri meninggalkan jabatannya dan bersembunyi, karena mereka menyangka bahwa akan ada pembalasan dendam. Tetapi ternyata sama sekali tidak.”

“Siapakah yang kau maksud dengan mereka? Apakah kau tidak termasuk di dalamnya.”

“Ya, termasuk aku, kau dan kita semuanya.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud kawannya itu. Sampai saat terakhir, ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak pernah melakukan tindakan apapun terhadap mereka yang pernah menjadi pendukung Tohjaya. Hanya beberapa orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang agak aneh dan tidak bertanggung jawab, terpaksa diawasi dan diperlakukan sebagai orang-orang yang melanggar ketentuan dan kuwajiban seperti orang-orang lain.

Namun demikian, tidak ada niat sama sekali padanya untuk merubah pendiriannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bekerja bersama dengan orang-orang yang telah menyingkirkan Tohjaya, karena baginya Tohjaya adalah tumpuan harapan.

“Jika tuanku Tohjaya berhasil menguasai Singasari dan menjadikan negeri ini tenang dan berkuasa, maka aku adalah seorang pimpinan di tingkat tertinggi dalam susunan keprajuritan.” berkata Tapak Lamba di dalam hati. Namun kemudian terbersit pertanyaan di dalam hati, “Tetapi siapakah yang akan dapat menjadi perisai bagi Kerajaan yang besar itu. Ternyata bahwa aku tidak mampu sama sekali menghadapi lawan yang menyebut dirinya bernama Linggadadi. Apalagi Linggapati. Jika Tohjaya berkuasa, maka setiap kali Kerajaan itu tentu akan selalu diguncang. Baik oleh Linggapati dan orang-orangnya, maupun oleh pengikut-pengikut Anusapati yang kemudian telah menempatkan diri di belakang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Tetapi Tapak Lamba pun kemudian tidak mau memikirkannya semua persoalan itu hanya dengan tiga orang kawannya yang bersembunyi di rumahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian merencanakan untuk menemui kawan-kawannya yang lain, yang berpencaran di daerah yang tersembunyi dalam penyamaran masing-masing agar mereka tidak mudah dapat dikenal.

“Kita akan menemui kakang Sunggar Watang. Kita akan minta pendapatnya.” berkata Tapak Lamba kemudian.

“Aku sependapat. Marilah, kita segera menemuinya. Aku tahu tempat persembunyiannya.”

“Kau pernah ke tempat itu?”

“Tidak. Tetapi aku pernah mendapat petunjuk dari seseorang.”

“Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat pergi bersama. Prajurit disetiap pintu gerbang tentu mengawasi semua orang yang lewat. Yang masuk apalagi yang keluar setelah peristiwa yang terjadi, yang kalian lakukan dengan bodoh.”

“Ah.” salah seorang kawannya berdesah, “Jangan menyalahkan kami. Kau pun telah tertarik untuk melakukannya pula. Bahkan membunuh langsung di halaman istana. Bukankah kau sudah bertekad berbuat demikian. Malahan kau telah berjanji untuk memasuki halaman itu jika kau tidak dapat melakukannya dengan cara lain.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata pendapat orang gila di muka gerbang itu benar juga. Jika aku membunuh kedua anak-anak yang tidak berarti itu, maka seluruh prajurit Singasari akan bersiaga dari ujung sampai ke ujung negeri. Dengan demikian kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi seolah-olah telah tertutup untuk waktu yang lama.”

“Mungkin demikian.” sahut salah seorang kawannya.

“Sekarang aku justru yakin. Mereka tentu bukan saja bersiaga. Tetapi mereka akan berusaha mencari pembunuhnya.”

“Dan yang pertama-tama menjadi sasaran pengintaian mereka adalah kita.”

“Seperti yang dikatakan Linggadadi.” berkata kawan Tapak Lamba yang ikut ke alun-alun di depan istana, “Nanti kau akan merasa bersyukur bahwa kau tidak membunuh kedua anak-anak itu.”

Tapak Lamba tersenyum, betapapun kecutnya. Ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Semuanya akan kita sampaikan kepada kakang Sunggar Watang.”

“Jadi, bagaimana kita akan sampai ke tempat persembunyian itu?”

“Kita, pergi sendiri-sendiri. Dua atau lebih akan dapat menarik perhatian. Apalagi bertiga.”

“Baiklah. Kita masing-masing akan pergi sendiri langsung ke rumah kakang Sunggar Watang.”

Dengan demikian, maka mereka segera menyesuaikan pengenalan mereka atas tempat persembunyian Sunggar Watang. Dan mereka, telah menentukan waktu untuk bertemu di rumah itu.

“Kita akan berjalan justru di siang hari. Tidak banyak orang yang akan mencurigai kita.”

“Tetapi beberapa orang prajurit telah mengenal aku dengan baik. Bahkan ada di antara mereka adalah kawan sepasukanku dahulu.”

“Hindari mereka dan ambillah jalan lain. Jalan yang dijaga oleh prajurit-prajurit yang belum mengenal kita masing-masing, karena bukan hanya kau sajalah yang sudah dikenal oleh beberapa orang prajurit Singasari. Tetapi kami semuanya.”

Dengan demikian, mereka masih mempunyai waktu satu malam lagi yang dapat mereka pergunakan untuk melihat-melihat keadaan di dalam kota. Dengna sedikit penyamaran, mereka tidak segera dapat dikenal. Apalagi prajurit-prajurit muda yang bertugas.

Tetapi mereka tidak lagi berusaha untuk membuat keributan. Mereka hanya berjalan-jalan saja di antara orang-orang yang masih saja nampak sibuk. Apalagi di halaman istana, yang agaknya penyelenggaraan jenazah masih berlangsung, sebelum pada suatu saat jenazah itu akan diperabukan.

Namun, malam itu mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu yang dapat merubah sikap dan tanggapan mereka terhadap Singasari dan orang-orang dari Mahibit. Bahkan sudah mulai terbayang kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi kelak.

Demikianlah, ketika matahari terbit dipagi harinya, orang-orang itu pun telah mempersiapkan dirinya untuk pergi meninggalkan kota raja. Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, mereka tidak dapat pergi bersama-sama, tetapi mereka pergi masing-masing berdua.

Ternyata mereka tidak dikenal oleh para petugas di perbatasan yang masih nampak sangat berhati-hati. Karena mereka masing-masing tidak membawa sesuatu yang mencurigakan, maka mereka pun dapat lewat tanpa gangguan apapun.

Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat persembunyian seorang bekas Senapati pada masa pemerintahan Tohjaya, mereka pun tidak mendapat gangguan apapun. Apalagi ketika mereka telah menyimpang dari jalan raya dan memintas lewat jalan-jalan sempit. Bahkan kemudian mereka pun menerobos hutan kecil yang tidak begitu padat, sebelum mereka menginjakkan kakinya pada sebuah padukuhan kecil yang sangat terpencil.

Keempat orang itu pun telah bergabung kembali justru di pinggir padukuhan terpencil itu. Sejenak mereka terpukau melihat keadaan yang mereka hadapi. Bahkan kemudian tumbuhlah keragu-raguannya. Ketika mereka mendapat petunjuk tentang tempat persembunyian itu, yang apabila diperlukan setiap saat dapat mereka kunjungi, mereka sama sekali tidak membayangkan sebuah padukuhan yang hijau, segar dikelilingi oleh sawah yang subur.

“Aku kira yang akan aku jumpai adalah sebuah goa yang terdapat di lereng batu karang, atau jika tidak ada bukit-bukit karang, aku akan menjumpai beberapa buah gubug ilalang di antara semak-semak belukar.” berkata Tapak Lamba.

Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Salah seorang dari mereka berkata, “Memang meragukan. Tetapi baiklah kita coba. Apakah benar penghuni padukuhan itu adalah orang yang kita cari.”

Dengan ragu-ragu keempat orang itu pun melangkah mendekati padukuhan terpencil itu.

Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan itu, mereka pun menjadi semakin ragu-ragu. Tidak ada persesuaian sama sekali dengan gambaran mereka tentang tempat persembunyian salah seorang kawan mereka yang mereka anggap cukup berpengalaman dan banyak mempunyai pengikut pada waktunya.

Langkah mereka tertegun ketika mereka seorang anak muda berjalan ke arah mereka dengan membawa cangkul yang disandang di pundaknya.

“Siapakah anak itu?” bertanya salah seorang dari ke empat orang itu.

Tapak Lamba menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Semuanya menjadi kabur.”

Tapak Lamba dan kawan-kawannya membungkukkan kepala mereka, ketika anak muda itu membungkuk pula. Dengan ragu-ragu anak muda itu bertanya, “Siapakah Ki Sanak? Dan apakah Ki Sanak mempunyai keperluan sesuatu dipadukuhan kecil kami ini?”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bertanya, “Anak muda, kami memang sedang mencari seseorang. Ia adalah saudara kami yang sudah lama tidak pernah bertemu.”

“O, apakah ia tinggal di padukuhan ini?”

“Agaknya demikian. Menurut petunjuk yang pernah diberikan kepada kami oleh pembantunya, maka ia tinggal di padukuhan ini. Kami mendapat petunjuk jalur-jalur jalan yang harus kami lalui. Sampai ke hutan yang baru saja kami lalui, kami tidak ragu-ragu sama sekali, karena seperti yang tersebut di dalam petunjuk itu. Tetapi setelah kami mendekati padukuhan ini, kami menjadi ragu-ragu. Saudara kami itu tidak pernah menyebut tentang sebuah pedukuhan yang kecil dan alangkah bersih dan rapinya.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah yang Ki Sanak cari.”

“Anak muda. Kami mencari saudara kami yang bernama.” Tapak Lamba menjadi ragu-ragu. Ia menduga bahwa Sunggar Watang tentu mempergunakan nama lain di persembunyiannya, seperti dirinya sendiri yang kemudian dikenal bernama Tapak Lamba.

“Siapakah namanya?”

Tapak Lamba tidak segera menjawab. Sekali-sekali ia memandang ketiga orang kawannya yang nampaknya juga sedang kebingunan.

Namun tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebut nama, “Kuda Wangon. Namanya Kuda Wangon.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Tidak ada seorang pun yang bernama Kuda Wangon.”

“Baiklah, baiklah Anak muda.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Barangkali nama itu pun tidak begitu penting. Ia mempunyai beberapa nama sesuai dengan jabatan yang pernah dipangkunya. Tetapi barangkali kau melihat seseorang yang mempunyai ciri-ciri yang khusus. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Tetapi ia berjalan tegap dengan dada tengadah. Matanya tajam, daun telinganya agak lebih lebar dari ukuran biasa. Bibirnya tipis. Rambutnya kerinting.”

Anak muda itu justru menjadi bingung. Lalu katanya, “Ki Sanak, sebaiknya, marilah kita pergi ke rumah Ki Buyut. Barangkali Ki Buyut dapat memberitahukan siapakah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti yang Ki Sanak katakan itu.”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah kami ikut ke rumah Ki Buyut yang kau sebut itu.”

Anak muda itu pun kemudian berjalan mendahului, diikuti oleh Tapak Lamba dengan ketiga kawannya. Namun demikian memang ada sepercik keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati mereka. Apakah mereka akan benar-benar dapat bertemu dengan orang yang sedang mereka cari.

Dengan ragu-ragu Tapak Lamba berjalan bersama kawahnya memasuki padukuhan yang asing itu. Padukuhan yang meskipun kecil namun tampak bersih dan teratur rapi.

“Pemimpinmu adalah seorang yang rajin.” berkata Tapak Lamba kepada anak muda itu.

“Ya. Ia mengawasi sendiri keadaan padukuhan ini.” jawab anak muda itu.

“Apakah ia seorang yang keras?”

“O tidak. Sama sekali tidak. Ia adalah orang yang ramah dan baik hati. Barangkali ia adalah orang yang paling sabar dimuka bumi ini menghadapi persoalan apapun juga.”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak, lalu, “Apakah di padukuhan ini tidak ada seorang pemarah dengan ciri-ciri tubuh seperti yang aku katakan? Ciri-ciri tubuh memang kadang-kadang tidak segera dapat dikenal. Tetapi ciri-ciri watak semacam itu agaknya mudah diketahui oleh orang lain.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Sepengetahuanku tidak ada orang yang berwatak demikian di padukuhan ini. Kami hidup rukun, tenang dan damai. Kami dapat saling memegang perasaan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia membayangkan bahwa padukuhan itu adalah padukuhan baru dengan penghuni-penghuni baru dari berbagai tempat yang kemudian menyusun suatu masyarakat yang baik sekali.

Apalagi ketika Tapak Lamba dan kawan- kawannya itu mulai menyusuri jalan-jalan di padukuhan itu.

Namun keempat orang itu menjadi ragu-ragu ketika nampak dihadapan mereka sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang yang memisahkan bagian yang belum dapat diduganya.

“Itulah rumah Ki Buyut.” berkata anak muda yang mengantarnya ketika ia melihat Tapak Lamba dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.

“Ada dua gerbang di padukuhan ini.” berkata Tapak Lamba, “Yang sebuah pintu gerbang padukuhan, dan yang justru lebih besar pada dinding batu yang lebih tinggi, adalah pintu gerbang rumah dan halaman Ki Buyut.”

“Ya.” sahut anak muda itu, “Ki Buyut adalah seorang pemimpi. Ia kadang-kadang membayangkan sebuah daerah yang lengkap seperti sebuah kota raja. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah istana yang dilingkari dengan benteng batu yang tinggi. Tetapi pintu gerbang itu tidak pernah tertutup bagi siapapun juga. Meskipun seolah-olah Ki Buyut membangun tempat tinggalnya yang terpisah dari masyarakatnya, tetapi sebenarnya Ki Buyut adalah orang yang paling baik, ramah dan mengerti kebutuhan rakyatnya dengan baik.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai dihinggapi oleh perasaan yang lain. Meskipun demikian ia tidak menunjukkan kesan-kesan apapun ketika ia melangkah semakin dekat dengan pintu gerbang itu.

Sekali-sekali Tapak Lamba sempat juga memandangi rumah dan halaman ditepi jalan yang mebelah padukuhan itu. Tapak Lamba dapat menduga bahwa orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu bukanlah orang-orang yang kaya. Mereka hidup sederhana sekali. Tetapi padukuhan yang kecil yang sederhana ini agaknya. dapat diatur sebaik-baiknya sehingga nampak suatu hubungan yang baik dan serasi.

Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Tapak Lamba dan kawan-kawannya ketika mereka memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar itu. Pintu gerbang yang agaknya memang tidak pernah tertutup. Dan getar dada Tapak Lamba dan kawan-kawannya itu menjadi semakin bergejolak ketika ia melihat dua orang yang duduk diam di tangga pendapa rumah Ki Buyut itu.

“Mereka adalah juru taman.” berkata anak muda itu.

Tapak Lamba hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun dalam pada itu, tatapan matanya pun ditebarkannya di sekeliling halaman yang luas dan bersih itu.

“Tetapi ada sesuatu yang aneh.” berkata Tapak Lamba di dalam hatinya. “Bekas sapu lidi di halaman itu nampaknya masih utuh. Agaknya belum ada seorang pun yang memasuki halaman ini, atau jika ada, hanya satu dua orang saja.” Tapak Lamba menjadi kian berdebar-debar. Menurut dugaannya, halaman itu tentu dibersihkan dipagi dan sore hari. Maka katanya pula di dalam hati, “Jadi sejak pagi belum ada, atau belum banyak orang yang memasuki halaman ini.”

Menurut pengertian Tapak Lamba, di hampir setiap padukuhan, rumah Ki Buyut merupakan pusat dari setiap kegiatan. Anak-anak muda, orang-orang tua dan bahkan anak-anak banyak yang setiap saat berada di halaman rumahnya. Tetapi halaman rumah Ki Buyut ini nampaknya terlampau sepi.

“Marilah.” berkata anak muda itu sambil menunjukkan sebuah regol kecil disisi pendapa, “Ki Buyut berada di belakang.”

“Apakah kami juga harus ke belakang?” bertanya Tapak Lamba.

“Ya. Ki Buyut menerima tamunya di belakang.”

Tapak Lamba yang termangu-mangu itu pun semakin dibayangi oleh keragu-raguan yang bertambah dalam. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata. “Aku menunggu di luar saja Ki Sanak. Tolong, sampaikan kepada Ki Buyut, bahwa aku ingin menghadap. Tetapi tidak dibelakang.”

“Ah.” anak muda itu tersenyum. “Ki Sanak memang aneh. Itu adalah suatu kebiasaan.”

“Jadi, Ki Buyut yang ramah, baik hati dan sabar itu tidak pernah keluar dari bagian belakang rumahnya? Bagaimana ia dapat selalu dekat dan mengerti kebutuhan rakyatnya jika ia selalu berada di bagian belakang rumahnya saja.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau memang aneh Ki Sanak. Kebiasaan itu adalah kebiasaan pada saat-saat Ki Buyut menerima tamu. Tetapi pada saat yang lain, ia selalu pergi mengelilingi padukuhannya. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Ki Buyut sangat teliti dan lebih dari itu, sangat mencintai padukuhan ini? Kau sendiri melihat, bahwa padukuhanku adalah padukuhan yang termasuk cukup bersih, meskipun masih banyak padukuhan yang melampaui padukuhan ini.”

Tapak Lamba masih termenung di tempatnya. Anak muda itu memang rendah hati. Tetapi sikap yang berlebihan itu justru menimbulkan kecurigaan padanya.

“Aku telah tertipu oleh sikap Linggadadi.” Berkata Tapak Lamba di dalam hatinya, “Sekarang aku harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lain.”

Keragu-raguan itu bukan saja membayang di wajah Tapak Lamba, tetapi ketiga kawannya pun menjadi cemas pula.

“Ki Sanak.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Baiklah. Jika Ki Buyut tidak mau menerima kami di luar kebiasaannya, maka kami akan mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan mencari saudara kami itu. Mungkin ia memang tidak tinggal di padukuhan ini. Karena itu, biarlah kami mencarinya ke padukuhan yang lain.”

“Jadi Ki Sanak mengurungkan niat Ki Sanak menghadap Ki Buyut?”

“Sebenarnya bukan begitu. Tetapi apa boleh buat. Jika kebiasaan Ki Buyut menerima tamu di bagian belakang rumahnya, setelah melalui regol yang bersusun, dan yang terakhir adalah regol samping yang selalu tertutup itu, maka adalah kebiasaanku untuk diterima oleh siapa pun di pendapa.”

“Tetapi rumah ini adalah rumah Ki Buyut. Kaulah yang harus menyesaikan dirimu.”

“Jika kita akhirnya tidak juga dapat sesuai, maka aku kira lebih baik aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu Ki Buyut dengan kebiasaannya itu.”

“Ki Sanak sudah memasuki halaman ini. Ki Sanak harus bertemu dengan Ki Buyut.” tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi lebih garang.

Tapak Lamba mulai yakin, bahwa ia telah tersesat ke dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Anak muda, itu tentu bukan anak muda yang ramah dalam sikap yang jujur. Karena itu, maka ia pun bergeser mendekati kawan-kawannya. Dengan isyarat ia mengajak kawan-kawannya untuk berhati-hati.

Dalam pada itu. Tapak Lamba menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat dua orang yang duduk diam ditangga pendapa itu pun telah berdiri. Dengan langkah yang malas keduanya pergi ke pintu gerbang yang terbuka.

Tetapi Tapak Lamba adalah bekas seorang Senapati, sehingga ia pun secara naluriah dapat mengerti, bahwa kedua orang itu bermaksud untuk menjaga agar mereka yang sudah memasuki halaman itu tidak akan keluar lagi.

“Ki Sanak.” berkata anak muda itu, “Maaf jika mungkin Ki Sanak tidak menyangka, bahwa Ki Sanak harus mematuhi peraturan yang berlaku di padukuhan ini.” ia berhenti sejenak, lalu, “Seseorang yang telah memasuki padukuhan kami, memang tidak akan dapat keluar lagi tanpa ijin khusus dari Ki Buyut. Karena itu, jika Ki Sanak masih ingin keluar dengan selamat, aku persilahkan Ki Sanak menjumpai Ki Buyut. Keputusan terakhir memang berada di tangan Ki Buyut.”

Terasa jantung Tapak Lamba menjadi semakin cepat bergetar. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya dari kesan yang tersirat di wajahnya. Bahkan ia masih sempat tertawa sambil berkata. “Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak terkejut sama sekali. Keramahanmu memang berlebih-lebihan anak muda, sehingga justru karena itu timbullah niatku untuk melihat, apakah yang ada di padukuhan ini. Jika kemudian Ki Sanak ingin memaksakan ketentuan yang aneh itu, sudah barang tentu, bahwa aku pun berhak untuk menolak.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia menjadi heran melihat sikap Tapak Lamba yang tetap tenang. Demikian juga ketiga kawannya itu.

“Ki Sanak, apakah Ki Sanak terlampau yakin akan kemampuan Ki Sanak, sehingga dengan tenang Ki Sanak mendengarkan penjelasanku?”

“Bukan begitu.” jawab Tapak Lamba, “Aku adalah seseorang yang tidak berarti apa-apa. Tetapi bukankah setiap orang berhak menentukan sikap, jika ia berani mempertanggung jawabkannya? Mungkin aku akan ditangkap dan dihukum. Tetapi jika aku sudah bersedia menjalaninya, apa salahnya?”

Dalam pada itu, kedua orang yang melangkah kepintu regol, telah berdiri di sebelah menyebelah sambil menyilangkan tangan di dadanya. Namun pembicaraan antara anak muda dan Tapak Lamba itu agaknya sangat menarik perhatiannya, sehingga mereka pun nampak mengerutkan keningnya.

Apalagi, ketika kemudian Tapak Lamba berkata kepada kawannya, “He, bukankah kau juga tidak ingin pergi ke belakang. Biarlah aku berbicara dengan anak muda ini. Barang kali kau dapat mencari kawan berbicara yang lain.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun kemudian menyadari maksud Tapak Lamba. Dua di antara mereka pun kemudian bergeser surut. Salah seorang menyahut, “Baiklah. Aku akan mencari kawan berbincang di regol itu.”

Sikap Tapak Lamba dan kawan-kawannya sungguh-sungguh mengherankan bagi anak muda itu. Nampaknya mereka tetap tenang menghadapi keadaan yang seharusnya tidak mereka duga lebih dahulu. Bahkan langkah kedua kawan Tapak Lamba yang pergi ke regol itu pun tidak ubahnya seperti langkah kedua orang yang telah lebih dahulu berdiri di sebelah menyebelah regol itu.

Sikap dan tingkah laku Tapak Lamba dan ketiga kawannya itu memang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh anak muda yang membawa mereka ke halaman itu. Biasanya setiap orang yang sudah berada di halaman itu menjadi gemetar, dan tanpa dapat menolak lagi, mereka pun akan pergi kebelakang. Seterusnya, orang yang sudah memasuki pintu kecil di samping pendapa dan sampai ke bagian belakang dari halaman yang disekat oleh dinding batu itu, tidak akan pernah keluar lagi, selain yang ditunjuk khusus oleh Ki Buyut.

Tetapi sekali ini, orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba, dengan tenang menghadapi sikap dan perlakuannya.

“Nah anak muda.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Apakah kau tetap pada sikapmu, bahwa aku harus menghadap Ki Buyut? Jika demikian, maka aku akan terpaksa lari dari halaman ini tanpa minta diri lagi.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata aku terlampau bodoh. Sikapmu yang terlalu ramah itu pun berbahaya. Bukankah kau mengatakan demikian tentang aku. Agaknya kau sendiri bersikap demikian.”

“Jika demikian, kita masing-masing adalah orang-orang yang berbahaya. Karena itu, sebaiknya kita tidak bertemu dan tidak mempersoalkan sesuatu. Sebab jika kita masih harus mempersoalkan sesuatu, apalagi kau ingin memaksakan kehendakmu atasku, maka tidak akan dapat dielakkan lagi, bahwa kita masing-masing akan mempergunakan kekerasan.”

“Kau tidak bersenjata.” berkata anak muda itu, “Sedangkan dalam sekejap aku dapat memanggil beberapa puluh orang bersenjata dan terlatih mempergunakan senjatanya.”

“Tidak ada salahnya. Mereka akan mengeroyok aku dan barangkali aku terbunuh di halaman ini. Itu bukan soal bagi kami. Tetapi kami sudah mempertahankan kehormatan dan hargai diri kami.” ia berhenti sejenak, lalu, “Atau barangkali kita memang harus berlomba lari. Aku mungkin memiliki kemampuan lari yang cukup baik.”

Anak muda itu nampaknya menjadi tidak sabar lagi. Tetapi ia masih tetap ragu. Apalagi ketika ia melihat dua orang lawan Tapak Lamba masing-masing sudah berdiri dekat kedua orang yang berdiri di sebelah menyebelah regol. Jika mula-mula mereka nampaknya tenang dan acuh tidak acuh, bahwa berdiri seperti patung, kini nampak keduanya menjadi gelisah.

Tapak Lamba dan kawan-kawannya adalah bekas prajurit Singasari meskipun khususnya prajurit yang dibentuk untuk melindungi Maharaja yang hanya memerintah beberapa saat saja. Namun justru mereka adalah prajurit-prajurit pilihan.

Namun demikian sekilas terlintas di dalam angan-angan Tapak Lamba, “Menghadapi Linggadadi, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi orang ini tentu tidak sedahsyat Linggadadi dan Linggapati.”

Dalam pada itu, maka keadaan pun menjadi semakin tegang. Anak muda yang ingin memaksa Tapak Lamba untuk memasuki pintu disebelah pendapa itu pun akhirnya tidak dapat bersabar lagi.

Dengan wajah tegang ia berkata, “Ki Sanak. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau memang akan mati di halaman ini. Mau atau tidak mau menemui Ki Buyut di belakang.”

Tapak Lamba surut selangkah. Ia pun tahu bahwa tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan. Karena itu, maka ia pun mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Dengan tajamnya ia memandang arah tatapan mata anak muda yang berdiri tegang di hadapannya.

Ketika anak muda itu memandang kepada kedua kawannya yang berdiri di regol dan dengan jarinya ia memberikan isyarat, maka Tapak Lamba pun berteriak, “Awas, agaknya kedua patung itu akan berbuat sesuatu atas kalian.”

Sebenarnyalah memang demikian. Kedua orang yang semula berdiri saja sambil menyilangkan tangannya itu, tiba-tiba saja telah meloncat menyerang dua orang yang telah mendekatinya dengan sikap acuh tidak acuh itu.

Tetapi kedua orang itu pun adalah bekas prajurit yang memiliki kemampuan untuk bertempur. Karena itu, maka serangan itu pun dengan mudah dapat mereka elakkan. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah menyerang kembali dengan dahsyatnya.

“Barangkali memang itulah yang kau kehendaki.” berkata Tapak Lamba.

Anak muda itu akan menjawab. Tetapi agaknya kawan Tapak Lamba yang seorang sudah tidak bersabar lagi. Tiba-tiba ia pun telah menyerang anak muda itu tanpa diduga-duga terlebih dahulu.

Anak muda itu pun tidak menduga, bahwa serangan itu datang demikian cepat dan tiba-tiba. Karena itu, ia tidak sempat mengelakkan diri. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan itu, sehingga dengan demikian sebuah benturan telah terjadi.

Tetapi, kawan Tapak Lamba mendapat kesempatan lebih baik ia menyerang dengan menjulurkan kakinya lurus ke samping menghantam lambung, sedang anak muda itu menangkis serangan itu dengan sikunya sambil sedikit merendahkan dirinya.

Benturan yang tidak diduga itu ternyata telah melemparkan anak muda itu beberapa langkah. Bahkan ia pun kemudian jatuh terguling.

Kawan Tapak Lamba tidak menduga, bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mendorongnya selangkah surut. Karena itu, maka ia pun terkejut meskipun ia tidak mengalami cidera apapun juga.

Dengan kemarahan yang membakar dadanya, ia pun segera memburu anak muda yang sedang melenting untuk berdiri. Namun agaknya anak muda itu pun cukup lincah, sehingga ia masih sempat menyiapkan diri menghadapi serangan berikutnya.

Tetapi serangan kawan Tapak Lamba itu datangnya bagaikan sambaran guntur dilangit yang mendung. Meskipun anak muda itu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, namun ketika sekali lagi terjadi benturan, maka anak muda itu terpelanting sekali lagi beberapa langkah surut. Sedang kawan Tapak Lamba itu harus meloncat selangkah mundur.

Tapak Lamba menyaksikan perkelahian itu dengan kerut merut dikeningnya. Namun tiba-tiba saja timbullah pertimbangan yang melonjak sesaat. Lawan yang akan dihadapinya tentu bukan hanya ketiga orang itu. Bukan hanya anak muda itu bersama dua orang yang bertempur di sebelah menyebelah pintu gerbang.

Karena itulah, maka ia pun dengan cepat telah mengambil keputusan. Ia harus mengurangi lawan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Karena itulah, maka ia tidak memberikan kesempatan lagi kepada anak muda itu. Ketika anak muda yang terpelanting itu mencoba memperbaiki kedudukannya, sedang lawannya masih belum siap untuk menyerang, Tapak Lamba lah yang mengambil alih. Ialah yang kemudian menyerang dengan sepenuh kekuatan. Kekuatan seorang bekas Senapati yang mumpuni. Yang memiliki kekuatan melampaui kawannya yang telah berhasil melontarkan anak muda itu.

Serangan itu ternyata benar-benar telah melumpuhkan lawannya. Selagi anak muda itu memperbaiki kedudukannya, ia tidak sempat berbuat sesuatu. Ia melihat, tiba-tiba saja kaki Tapak Lamba telah menjulur lurus menghantam dadanya.

Serangan itu rasa-rasanya telah merontokkan tulang-tulang iganya. Nafasnya serasa terhenti, dan matanya menjadi berkunang-kunang. Namun dalam kesadarannya yang terakhir, ia masih sempat meneriakkan isyarat bagi kawan-kawannya yang lain, yang memang sudah diduga oleh Tapak Lamba berada di balik pintu disebelah menyebelah pendapa itu.

Namun dalam pada itu, Tapak Lamba tidak meluangkan setiap kesempatan. Ditinggalkannya anak muda yang pingsan itu, dan berlari ke regol halaman sambil berkata kepada lawannya, “Kita lumpuhkan pula keduanya.”

Kawannya yang telah kehilangan lawan itu pun segera mengerti maksud Tapak Lamba. Ia pun segera mengikutinya menuju kepintu gerbang.

Kedua orang yang berjaga-jaga di pintu gerbang, dan yang telah berkelahi dengan kedua kawan Tapak Lamba yang lain itu pun bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ternyata bahwa keduanya bukan orang yang lebih baik dari kedua kawan Tapak Lamba, sehingga dengan demikian mereka pun telah terdesak sama sekali. Apalagi ketika tiba-tiba saja Tapak Lamba dan seorang kawannya datang membantu.

Pada saat itu, pintu di sebelah menyebelah pendapa itu pun segera terbuka. Seperti yang sudah diduga, beberapa orang keluar dari bagian belakang halaman itu dengan senjata di tangan masing-masing.

Namun saat yang pendek itu, ternyata telah dapat d:pergunakan oleh Tapak Lamba dengan sebaik-baiknya. Ia masih sempat menghantam kedua orang lawannya itu sehingga keduanya terlempar dan pingsan seketika.

Tetapi dalam sekejap kemudian, beberapa orang bersenjata telah menebar di seluruh halaman. Dengan wajah yang jauh berbeda dengan wajah anak muda yang telah pingsan itu, maka delapan orang yang berwajah sekeras batu padas, telah siap untuk menyerang.

Namun Tapak Lamba masih tetap tenang. Bahkan ia masih dapat berkata dengan nada rendah dan datar, “Ambillah senjata kedua orang itu. Pergunakan sebaik-baiknya, sebelum kita berempat akan mati dicincang di sini. Tetapi sebelum kita mati, sedikit-dikitnya empat orang lawan pun harus mati lebih dahulu.”

Kedua kawannya yang semula bertempur melawan dua orang yang pingsan itu pun segera mendekati mereka. Ternyata kedua orang itu mengenggam senjata yang aneh pada kedua belah tangannya.

“Keling.” desis salah seorang kawan Tapak Lamba.

“Ya. Masing-masing membawa sepasang. Bukankah dengan demikian kita masing-masing mendapat satu.”

Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun dengan tenang mengambil keempat keling pada dua pasang tangan orang yang pingsan itu.

“Keling yang sangat bagus.” berkata Tapak Lamba ketika ia menerima keling itu, “Dengan keling ini kita dapat menangkis serangan pedang atau bindi yang bagaimanapun beratnya, karena sebenarnyalah keling ini terbuat dari baja pilihan.”

“Setan atas.” geram salah seorang yang baru saja keluar dari halaman bagian belakang itu, “Kalian dengan sengaja telah menimbulkan kerusuhan di sini.”

“Bukan aku, tetapi anak muda itu.” jawab Tapak Lamba, sambil menunjukkan anak muda yang pingsan itu.

“Sekarang kalian harus mati.” geram orang itu.

Tetapi Tapak Lamba justru tertawa. Katanya, “Aku sudah mengatakannya, bahwa kalian akan membunuh aku. Tetapi aku pun akan membunuh kalian. Setidak-tidaknya empat di antara kalian. Ditambah lagi orang yang telah lebih dahulu pingsan. Tetapi agaknya mereka pun tidak akan pernah sadarkan diri lagi.”

Delapan orang yang telah menebar di halaman itu menjadi bertambah tegang. Mereka memandang Tapak Lamba dan kawan-kawannya dengan tajamnya. Salah seorang dari mereka pun melangkah maju sambil berkata, “He orang gila. Kenapa kau telah menimbulkan keonaran di sini? Apakah keuntunganmu dengan berbuat demikian?”

Tetapi Tapak Lamba tertawa. Jawabnya, “Pertanyaan inilah yang gila. Seolah-olah kau tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kami dan kawan-kawanmu yg pingsan itu. Aku tidak tahu, apakah gunanya pertanyaanmu itu.”

“Persetan.” geram orang itu, yang telah berdiri beberapa langkah dari Tapak Lamba, “Agaknya aku memang berhadapan dengan orang gila karena itu, jangan menyesal. Kami benar-benar akan membunuhmu.”

Tapak Lamba yang mempunyai pengalaman menghadapi keadaan yang gawat, selagi ia menjadi seorang Senapati, memperhitungkan keadaan sejenak. Ia mengerutkan keningnya, ketika orag yang berdiri dihadapannya itu membentak, “Menyerahlah. Mungkin masih ada pertimbangan lain.”

“Jika kami menyerah, maka kami benar-benar telah gila. Karena itu, kami tidak akan menyerah.”

“Dengan demikian akan berarti bahwa kalian akan kami bunuh dengari cara yang paling mengerikan.”

Ternyata Tapak Lamba tidak terlalu banyak berbicara lagi. Tanpa diduga-duga ia sudah mulai bertindak, karena menurut perhitungannya, lawannya kali ini tentu jauh lebih kuat dari dirinya bersama tiga orang kawannya.

Kawan itu, sebelum orang yang berbicara itu mempersiapkan dirinya, Tapak Lamba sudah mendahuluinya menyerang dengan segenap kemampuan yang ada. Ia meloncat seperti loncatan tatit di udara. Tangannya yang mempergunakan keling, terjulur lurus mengarah kedada orang yang masih belum bersiaga itu.

Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan. Sebelum orang itu menyadari keadaan, tiba-tiba saja ia telah melihat Tapak Lamba meloncat.

Serangan itu datang demikian cepatnya. Tidak ada waktu untuk memperhitungkan apapun juga sehingga yang dilakukan adalah semata-mata gerak naluriah saja.

Tetapi gerak naluriah itu tiada banyak menolongnya, karena gerak yang demikian, justru sudah diperhitungkan oleh Tapak Lamba.

Dengan demikian, maka ketika orang itu bergeser kekiri serangan Tapak Lamba pun telah bergeser pula. Meskipun tidak tepat mengenai dadanya, maka serangan itu telah menghantam pundaknya.

Ternyata serangan Tapak Lamba yang dilontarkan dengan sepenuh kekuatannya itu, telah membentur pundak lawannya bagaikan sambaran halilintar. Perasaan panas dan pedih telah menyengat pundaknya, dan rasa-rasanya tulang-tulangnya telah retak karenanya.

Yang menghantam pundak itu kekuatan Tapak Lamba yang dilandasi sepotong besi baja di dalam genggaman. Karena itu, maka akibatnya pun seolah-olah sudah menentukan. Tangan orang itu bagaikan lumpuh seketika, dan seluruh kekuatannya bagaikan terhisap oleh perasaan sakit yang tiada taranya itu.....

SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : JILID 15
LihatTutupKomentar