Kisah Sepasang Rajawali Jilid 14
Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi dari pada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguh pun bentuknya sederhana.
“Paman Chi, siapakah Nona ini?” Suaranya halus sekali saat iia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!
Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata, “Apakah Paduka seorang pangeran?”
“Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka.”
Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Mukanya menjadi pucat dan matanya memandang ke kanan kiri.
Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan. “Tenanglah, Paman Chi. Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?”
“Mendengar bahwa paduka adalah seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah semestinya kalau saya berusaha melindungi dan biar pun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu.”
“Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!” Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. “Masih begini muda..., betapa mengagumkan! Akan tetapi... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, jika dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal.”
Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao.
Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!
“Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!” Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.
“Singgg...!”
Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang sinarnya begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.
“Lu-siocia (Nona Lu)...!” Pangeran Yung Hwa berkata. “Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!”
“Awas...! Trang-cring-cring-cring...!”
Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yang menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.
“Kau hebat, Nona... tapi aku tetap saja khawatir...,” Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng.
Tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata, “Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa.”
Namun diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.
“Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!”
Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali.
Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah.
Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan satu-satunya pintu ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas genteng.
Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal tersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguh pun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.
“Awas racun...!” Seorang di antara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur.
Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang di antara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu! Enam orang yang lain, seorang di antara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar.
Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biar pun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sinkang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.
“Mampuslah...!” Ceng Ceng membentak marah.
Pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang lain!
“Aduhhh...!”
Seorang di antara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal pinggul Ceng Ceng.
Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhindar dari bahaya maut ketika kelima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.
“Trang-cring-cring-cring...!”
Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang terus mengejarnya. Banyak genteng yang pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk loncat berdiri. Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah. Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya.
Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biar pun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan. Karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal.
“Wuuuutt-plak-plak-plak!”
Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri.
Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut, mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung.
Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga seram. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng!
“Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...” Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya.
Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat meinghindarkan diri dari bahaya maut ini, apa lagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya.
“Ahhh...!” Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan!
Pedangnya, Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mukjijat, ditangkap oleh tangan begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang sama sekali tidak berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, akan tetapi sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.
“Apakah kau sudah gila?” laki-laki itu menegur.
Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran. “Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!”
Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan. “Kau... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal...” Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut.
“In-kong...! Jangan pergi dulu,” Ceng Ceng berseru.
Laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap.
“Mau bicara apa lagi?” terdengar suaranya yang halus.
“In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu... In-kong...!”
Akan tetapi, Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati yang kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikit pun juga. Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di atas genteng.
Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata, “Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona...!”
“Haiiii, jangan keluar...!” Ceng Ceng berteriak kaget ketika melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar.
Seruannya terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung menubruk, kemudian merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya hingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti saling berpelukan!
Dengan kedua dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya dan memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta dia lalu melepaskan kedua lengannya. “Ah maaf...!” Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Akan tetapi, mengapa Nona...?”
“Pangeran, di luar pintu itu tadi sudah kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja engkaulah yang menjadi korban!” Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga seenaknya saja dia menyebut ‘engkau’!
Sepasang mata yang indah dari pangeran itu terbelalak. “Aihhh... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!” Dia memandang ke atas lalu bertanya, “Bagaimana dengan mereka?”
“Semua pingsan,” jawab Ceng Ceng sederhana.
“Ahhh, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?” Yung Hwa berkata lagi sambil menjura.
“Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?” Perwira Chi yang wajahnya masih pucat itu tiba-tiba bertanya.
“Kalian semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali,” jawab Ceng Ceng.
“Mari kalian semua ikut dengan aku!” Yung Hwa berkata. “Malam ini juga kita harus masuk ke istana, barulah aman.”
“Akan tetapi...,” perwira itu meragu.
“Beliau berkata benar,” Ceng Ceng memotong. “Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana.”
“Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah jalan?” Perwira Chi masih meragu.
“Aku akan mengawal,” Ceng Ceng menjawab.
“Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!” Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai di depan pintu.
“Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kau bawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!” Ceng Ceng berkata.
Perwira itu mengangguk, segera memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat.
“Maukah engkau membantu aku, Nona?” Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik.
Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya. “Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!”
Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya.
“Ahhh...!” Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya.
“Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku yang menghadapi mereka, akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana,” Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana.
Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa kelihatan tenang saja, tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng.
Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu.
“Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana,” kata Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang.
“Kalau begitu, kita berpisah di sini,” kata Ceng Ceng. “Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun.”
“Ehh, ehhh... kau juga harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!” pangeran itu berseru.
“Harus...?” Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh, matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu!
“Ehhh, maksudku...” Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik, “Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak.”
Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.
“Baiklah...!” katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali.
Karena pangeran itu merupakan seorang tokoh istana yang amat dikenal dan disuka oleh para penjaga, maka mereka tidak menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang melihat pangeran ini menjadi girang sekali. Tersiar luas bahwa Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena kecewa tidak diperkenankan menikah dengan Puteri Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka tentu saja para penjaga ikut merasa girang.
Agaknya biar pun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak kaki tangan Liong Bin Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani turun tangan di lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi dirinya sendiri. Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat ibunya dengan selamat tanpa halangan.
Ibu pangeran itu, seorang wanita setengah tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik jelita, menyambut puteranya dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan mengharukan antara ibu dan anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.
“Ahhh, Ibu, saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu Ceng, seorang pendekar wanita yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawa puteramu.”
Selir kaisar itu mengangkat muka memandang, dan kemudian tersenyum ramah sambil menghapus air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan hormat, lalu berkata, “Saya tidak berani mengganggu lebih lama lagi, perkenankan saya pergi.”
“Ehh, nanti dulu, Nona Lu. Mana mungkin malam-malam begini membiarkan aku pergi? Kau bermalam saja di sini, besok pagi masih belum terlambat untuk pergi.” Pangeran itu berkata dan ibunya juga menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng Ceng.
Dara ini merasa bingung dan sungkan, akan tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah itu membuat dia tidak berani menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan dipersilakan mengaso, dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi dan keluarganya sudah diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran Yung Hwa dan ibunya bercakap-cakap sampai jauh malam.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah bangun dan mandi di dalam kamar mandi yang serba mewah dan indah. Kemudian dia memasuki taman di samping kamarnya untuk menanti munculnya Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja dia memasuki taman, tampak pangeran itu sudah bangkit dari sebuah bangku menyambutnya.
“Selamat pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat beristirahat dengan cukup semalam.”
“Ah, terima kasih, Pangeran. Kebetulan sekali karena memang saya ingin mohon diri dari sini.”
“Duduklah dulu, Nona Lu Ceng. Duduklah di bangku sini, karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.”
Terpaksa Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan dengan pangeran itu karena melihat sikap pangeran itu yang sungguh-sungguh.
“Biar pun baru saja aku berjumpa denganmu, Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku bahwa kita telah menjadi sahabat yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Karena itu aku ingin menceritakan kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran kau dapatkan bersembunyi di dalam rumah perwira Chi dan mengapa pula ada usaha-usaha dari luar untuk menangkap atau membunuh aku.”
Ceng Ceng selanjutnya tidak ingin mencampuri urusan pangeran itu, juga tidak ingin mendengarkan ceritanya, akan tetapi mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini dan akan keramahan Si Pangeran sendiri, juga karena dia merasa kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh seperti biasanya kaum bangsawan, merasa tidak tega untuk menolak sehingga dia hanya dapat mengangguk.
“Mula-mula adalah kesalahanku sendiri. Aku tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri Bhutan... eh, kau kenapa?” Pangeran yang sambil bercerita selalu menatap wajah Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba dara itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya diam dan dingin itu seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya kemerahan.
Namun Ceng Ceng segera dapat menguasai hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi. “Tidak apa-apa, lanjutkanlah...,” jawabnya.
“Akan tetapi ayahku, Sri Baginda Kaisar menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu, bahkan menjodohkan puteri Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang sudah setengah abad usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu kabur dari istana, melarikan diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong, aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan disembunyikan oleh pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku mendengar akan rencana pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman Pangeran Liong itu. Bahkan pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang diboyong itu pun kabarnya dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu kembali ke Istana, akan tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan pemberontak dan tentu aku sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul dan menyelamatkan nyawaku, Nona Lu Ceng!”
“Sudahlah, Pangeran. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas pengawal dahulu, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran yang terancam bahaya oleh orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan aku memohon diri untuk melanjutkan perjalananku.” Ceng Ceng bangkit berdiri.
“Engkau hendak ke manakah, Nona Lu?”
Ceng Ceng termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi segera terbayang olehnya pemuda tingi besar yang memperkosanya, pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya, “Aku... aku mencari seseorang...”
“Keluargamu?”
“Bukan...”
“Sahabatmu...?”
“Bukan!”
“Habis siapakah dia? Biarlah aku akan membantumu dan menyuruh para pengawal mencarinya.”
“Terima kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi. Aku akan pergi sekarang...”
Ceng Ceng sudah melangkah hendak pergi, akan tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan berkata, “Nanti dulu, Nona Lu!”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya, dia memandang penuh selidik. “Ada urusan apa lagi?”
“Tadi sudah kukatakan bahwa ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu.”
“Engkau sudah menceritakan semua.”
“Bukan... bukan itu... akan tetapi, ahhh, maafkan aku karena engkau begitu tergesa-gesa hendak pergi, terpaksa aku terus terang saja. Nona Lu Ceng, aku... begitu bertemu denganmu... aku... aku cinta padamu, Nona!”
Ceng Ceng benar-benar terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang dengan mulut agak terbuka karena dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut pangeran yang amat tampan itu!
“Maaf, Nona. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu, dan beliau sudah setuju. Nona Lu, aku cinta padamu dan kalau saja Nona setuju, aku ingin meminangmu sebagai isteriku...”
“Ahhhh...!” Ceng Ceng menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama hidupnya, baru satu kali ini ada pria mengaku cinta secara demikian terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya sebagai isterinya.
“Maafkan, Nona Lu Ceng. Memang ini tidak semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan pelamaran kepada orang tuamu, akan tetapi karena aku tidak tahu di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, dan karena kau begitu tergesa-gesa hendak pergi, aku takut kalau-kalau kita tidak akan saling bertemu kembali, maka aku memberanikan diri...”
Tiba-tiba Lu Ceng menangis terisak-isak menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Disebutnya orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti ditusuk, mengingatkan dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua mau pun kakeknya yang dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.
“Ahhh, maafkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah melukai hatimu... tetapi percayalah, aku tidak bermaksud menghinamu... semua pernyataanku tadi keluar dari hatiku yang murni...”
Ceng Ceng mengusap air matanya, lalu memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan diri berlutut di depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di depannya! Berlutut kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta asmara memang dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau seorang pangeran sampai berlutut di depan dara yang dicintanya, hal itu sama sekali tidaklah aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya.
“Pangeran, harap jangan berlutut!”
Pangeran Yung Hwa bangkit berdiri, wajahnya berseri. “Engkau tidak marah kepadaku?”
Ceng Ceng kembali menghadapi pangeran itu, kini memandang dengan sinar mata penuh selidik karena masih sukar baginya untuk dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan ini, putera kaisar, benar-benar jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
“Tidak, aku tidak marah, hanya aku merasa heran sekali, Pangeran.”
“Heran? Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara seperti engkau ini, biar dewa sekali pun pantas untuk jatuh cinta, apa lagi hanya seorang pangeran putera selir macam aku!”
Ucapan ini benar-benar mengelus rasa hati Ceng Ceng dan mengangkat harga dirinya setinggi langit. “Pangeran Yung Hwa, apakah engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti Dewi yang kau katakan sendiri telah membuat engkau tergila-gila tadi?”
“Ah, dia? Aku telah insyaf setelah aku melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya tergila-gila kepada bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum pernah bertemu dengan Syanti Dewi dan aku hanya tergila-gila mendengar berita orang tentang kecantikannya, tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau... engkau adalah seorang dara dari darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Setelah aku berjumpa denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku, yang ada hanya engkau, Nona.”
Makin nyaman rasa hati Ceng Ceng mendengarkan semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam mimpi yang amat indah, dan dia pejamkan matanya karena hampir tidak percaya bahwa ini bukan mimpi. Pangeran yang tampan dan halus itu, yang di balik kehalusan dan kelemahannya memiliki keberanian dan kegagahan luar biasa pula saat menghadapi bahaya, telah jatuh cinta padanya, meminangnya sebagai isteri!
Tubuhnya gemetar semua ketika tahu-tahu merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari balik bulu matanya, dia melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya dengan mesra, betapa dekat muka yang halus tampan itu, yang kini menjadi kemerahan dan mata yang indah itu memandang kepadanya penuh cinta kasih mesra, membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika merasa betapa napas yang panas dari hidung pangeran itu meniup pipinya, dia mengelak sedikit dan kemudian berbisik, “Akan tetapi, Pangeran... aku... aku hanya seorang gadis perantau...”
Ceng Ceng sudah tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini pangeran itu telah mempererat dekapannya, telah mencium pipinya dengan hidung sambil membisikkan kata-kata indah di dekat telinganya.
“Ceng-moi... bagiku engkau adalah seorang bidadari... engkau mulia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri... dan engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan Lee Hwa (dalam cerita Sie Jin Kwi) dan aku... aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, Moi-moi...”
“Ahhh... tapi... tapi aku...” Kembali Ceng Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang dilakukan dengan penuh getaran batinnya.
Sejenak Ceng Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan pangeran itu, dia menerima ciuman yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba terbayang wajah pemuda laknat dan teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia meronta dan pangeran itu berseru kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia tidak mampu menahan gerakan Ceng Ceng yang meronta tadi.
Wajah Ceng Ceng pucat sekali, matanya menjadi liar. “Tidak...! Tidak...! Tidak...!” Gadis itu setengah menjerit.
“Aih, Moi-moi... kekasihku... ada apakah...?” Pangeran itu berseru kaget dan melangkah dekat, akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur menjauhi.
“Jangan sentuh aku! Jangan...!” jeritnya.
“Aduh, Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku? Aku cinta padamu...”
“Tidak boleh begitu!”
“Mengapa? Terasa olehku betapa engkau pun membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak boleh?”
Sepasang mata itu kembali mencucurkan air mata karena dia teringat kembali akan keadaan dirinya yang telah ternoda, yang telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan tetapi betapa mungkin dia menceritakan hal itu kepada orang lain, apa lagi kepada pangeran ini? Lebih baik mati!
“Pangeran, ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi adalah kakak angkatku. Oleh karena itu, engkau tidak boleh cinta padaku. Nah, selamat tinggal!” Dengan isak tertahan Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
“Ceng-moi...!” Pangeran itu berseru memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan lalu mempercepat loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Pangeran Yung Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya layu kehilangan gairah hidup.
Air mata masih mengalir perlahan di kedua pipi Ceng Ceng ketika dara ini berjalan perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. Hatinya diliputi bermacam perasaan. Terharu mengingat akan cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang dia percaya sungguh-sungguh mencintanya, kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat menyambut cinta kasih pangeran itu, dan keadaan ini selain mendatangkan duka, juga menambah sakit hatinya terhadap Si Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang menjadi biang keladi semua kedukaan dan kesengsaraan hatinya. Sungguh pun dia sendiri belum tahu apakah dia juga mencinta pangeran itu, namun kalau tidak terjadi mala petaka menimpa dirinya, agaknya tidak akan sukar bagi dara mana pun juga untuk membalas cinta kasih seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu.
Hatinya menjadi panas dan murung mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu. Ke mana dia harus mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia tidak tahu di mana adanya musuh besar yang diburunya itu.
Dengan langkah gontai tanpa tujuan tertentu dan pikiran melayang-layang, tanpa dia sadari lagi Ceng Ceng telah melakukan perjalanan sehari penuh tanpa berhenti. Hari telah menjelang malam, senja yang cepat gelap karena langit tertutup awan. Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah selatan kota raja di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Yung-ting. Seperti orang kehilangan semangat, tubuhnya lemas karena sehari penuh tidak makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas jembatan yang menyeberang sungai itu.
Dalam cuaca yang remang-remang, dia melihat sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan ketika dia mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang tidak semestinya berada di jembatan, dan hal ini menarik perhatiannya, membuat dia berhenti dan mengamati pot bunga itu dengan heran. Tidak ada seorang pun manusia di jembatan itu, hanya dia seorang diri.
Terasa aneh sekali berada di jembatan besar itu seorang diri, seperti tergantung di angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang dirasakannya. Pot bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali, apa lagi ditambah beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang yang membawanya ke tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia di situ.
“Hei, Nona cilik! Mau apa engkau longak-longok di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin mampus menjadi setan air!”
Suara ini terdengar dari kolong jembatan, seperti suara setan karena tidak kelihatan bayangan orang. Kalau saja bukan Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan takut mendengar suara kasar itu dan tentu akan lari terbirit-birit, menyangka bahwa yang bersuara mengancam itu tentulah setan sungai atau setan jembatan.
Namun Ceng Ceng adalah seorang gadis yang pemberani, apa lagi setelah dia pernah hidup di neraka bawah tanah bersama subo-nya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina Selaksa Racun), tidak sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Pada saat itu, hatinya sedang mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak saja darahnya naik dan dia menjadi marah sekali. Ditendangnya pot bunga itu dengan kaki kanannya sambil mengerahkan sinkang tentunya karena dia tahu bahwa pot besi itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan!
Tetapi, Ceng Ceng tidak mendengar suara benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu lenyap di tengah udara begitu saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran menjenguk dari jembatan sambil berusaha menembus kegelapan di bawah dengan matanya, tiba-tiba terdengar suara suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu dari tepi sungai. Penerangan seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah sungai dan di dalam cuaca remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali terdengar suara orang, suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu terdengar halus penuh hormat!
“Kami persilakan Li-hiap untuk menerima penyambutan kami dan meloncat ke perahu.”
Tentu saja Ceng Ceng tidak sudi memenuhi permintaan ini. Biar pun dia tidak takut, akan tetapi dia tidaklah sebodoh itu, mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.
“Huhh!” Dia mendengus dan hendak melangkah pergi melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi kakinya berhenti bergerak lagi ketika mendengar suara orang tadi, kini penuh ejekan sungguh pun masih tetap menghormat.
“Apakah kami telah keliru? Apakah seorang calon bengcu (pemimpin rakyat) mengenal rasa takut? Apa sih bahayanya meloncat dari jembatan ke perahu jika memang memiliki kepandaian yang tinggi? Harap Lihiap tidak menduga yang bukan-bukan! Kami sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan kami tadi karena kami tidak menyangka bahwa calon bengcu yang ditunggu-tunggu dari selatan adalah seorang wanita muda!”
Bergolak darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik mendengar kata-kata selanjutnya. Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain. Pot bunga itu adalah semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan penyambutan undangan kiranya adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara tidak disengaja dia telah menyambut undangan mereka!
Siapa tahu, pemuda laknat itu berada bersama dengan mereka! Agaknya mereka itu adalah kaum sesat seperti pernah dia mendengar cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum sesat yang akan mengadakan pemilihan pimpinan atau bengcu dan dia dianggap seorang calon bengcu. Pemuda laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh kaum sesat pula, maka sangat boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat orang-orang ini. Teringat akan kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia lalu mengayun tubuhnya meloncat ke bawah, ke atas perahu yang menjemputnya!
Biar pun dalam hal ilmu silat mungkin kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan, namun gadis ini memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik, maka ketika meloncat dan hinggap di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan. Dua orang laki-laki tinggi besar menyambutnya di perahu dengan sikap menghormat,
“Selamat datang, Lihiap. Terpaksa kami menyambut secara begini karena pasukan pemerintah kini sering kali melakukan perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di dalam perahu. Kami terpaksa menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa.”
Ceng Ceng adalah seorang dara yang memiliki kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa dua orang ini keliru menyambut orang yang diharapkan kedatangannya, orang yang dianggap sebagai seorang calon bengcu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena dia ingin melihat ke mana dia akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia akan bertemu dengan musuh besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk mengetahui lebih banyak, dia menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata seorang di antara mereka tadi setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan cepat.
“Bagaimana kalian sampai tidak menyangka? Apa kalian tidak memperoleh keterangan cukup tentang orang yang harus kalian sambut?”
Seorang di antara mereka menggunakan dayung, mendayung perahu yang meluncur cepat sekali hingga diam-diam Ceng Ceng merasa ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya dahulu ketika dia bersama Syanti Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya perahu bertumbukan dan dia bersama Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga terpisah sampai sekarang.
Semenjak itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan sekarang dia pun naik sebuah perahu yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya lalu menjadi tegang dan khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang kedua segera menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak memancing keterangan dari orang lain.
“Maaf, Lihiap. Memang kami telah memperoleh keterangan dari Pangcu, namun kami semua anggota Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu dengan kelima orang Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya mendengar bahwa Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan Lihiap sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang oleh Pangcu kami untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan bengcu. Tentu saja kami mengira bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak semuda Lihiap, apa lagi Lihiap sebagai orang pertama...” Orang laki-laki tinggi besar itu tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng memandang seperti orang marah.
Memang dara ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari Lima Iblis Betina! Tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan kemarahannya, hanya melangkah ke tengah perahu di mana terdapat bilik bambu sambil berkata, “Sudahlah, aku hendak mengaso!”
Di dalam bilik perahu itu Ceng Ceng memutar otak. Jelas bahwa dia sudah melibatkan diri dalam urusan kaum sesat yang berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan untuk menemukan jejak musuh besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya tanya kepada kaum sesat yang tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia dapat tidur nyenyak di dalam bilik perahu yang sempit itu.
Pada keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum.
Mereka telah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apa lagi yang memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!
“Kalian melihat apa?” bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya.
Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata, “Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...”
“Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan.”
“Akan tetapi... kami tidak membawa pancing atau jala...”
“Tolol! Biar aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!” Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu. “Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana di sana tentu banyak ikannya.”
Dua orang itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sinkang-nya sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini!
Ceng Ceng melempar dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata, “Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!” Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini!
Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa gadis di hadapan mereka adalah seorang dara beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!
Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang bengcu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.
Berdasarkan cerita Si Kumis Tebal, memang dugaannya ini benar. Hari ini, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang yang merupakan satu perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja, karena para anggotanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih ‘terhormat’ dan lebih tinggi dari pada tingkat golongan sesat yang lain.
Terutama sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka pekerjaan kaum pencuri bersifat kotor dan pengecut. Pencuri mengambil barang orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan kejantanan!
Memang demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya!
Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi?
Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya!
Kesadaran ini timbul dari pengertian, dan pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri. Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan saat lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan tindakan seketika.
Pengertian yang disimpan akan menjadi pengetahuan yang mati, seperti segala macam pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku, di situ terdapat penilaian, perbandingan dan pemilihan. Si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan, penolakan akan yang tak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, maka jauh dari kebenaran.
Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan ‘orang-orang gagah’ itu memiliki anggota kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam!
Ketua Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat, dan Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggota Tiat-ciang-pang. Setelah masuk menjadi anggota perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah memiliki kepandaian itu baru diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.
Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang ‘terhormat dan gagah’, maka timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang ‘gagah’ yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang pernah membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan untuk mengadakan pemilihan bengcu yang dipelopori oleh Tiat-ciang-pang. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya, Tiat-ciang-pang juga ingin untuk menyatukan dan membersihkan golongan sesat dari pengaruh pemberontakan dengan jalan memilih seorang bengcu.
Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan bengcu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah mau pun dari pihak pemberontak, maka ia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci.
Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, dari pada kedudukan bengcu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia bertemu dengan Song Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka.....
Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu.
Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka.
Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua telah dalam keadaan mabok atau setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.
Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, bermuka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan.
Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguh pun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.
Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.
Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, lalu memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar.
Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.
“Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?” Tong Hoat bertanya dengan ramah.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekali pun.”
Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. “Nona, apa yang kau katakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song...”
“Aku tidak mengenal dia!”
Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah. “Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?”
Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. “Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kau sebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena saat aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kau undang. Habis, engkau mau apa?”
Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan menjadi bahan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang.
Kembali dia memandang ke arah Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dipanggil ini sebagai seorang kawan, dari pada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.
“Ha-ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Namun sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw.”
Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia telah datang ke tempat itu, sebaiknya jika dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk dapat menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.
“Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kau undang, juga tak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini.”
Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. “Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang juga dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita nanti bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!” Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.
Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang.
Tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu dengan sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.
“Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau telah mendengar dari kedua orangku bahwa hari ini kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang bengcu...” Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu.
Apa lagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!
“Eh, sudah cukup arak itu, Nona...!” Dia menegur.
“Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!” Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas.
Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sinkang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
“Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. “Lekaslah sebelum terlambat...!” katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
“Kenapa ribut-ribut?” bentaknya sambil bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?”
Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun, akan tetapi masih diminumnya juga, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?
“Nona Lu... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat aku harapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Hal ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!”
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan sapu tangan, memandang ketua itu dan berkata, “Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?”
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. “Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apa bila Nona sudi membantu kami!”
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang, “Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu.”
“Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”
“Hemmm... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukmu, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...”
“Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi bengcu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”
“Menyelamatkan bagaimana?”
“Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!”
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang terang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
“Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?”
“Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biar pun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang bengcu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan bengcu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapa pun juga, dia adalah keturunan dari orang-orang yang setia kepada negara!
“Baiklah, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”
“Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok,” Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Dan selanjutnya dengan panjang lebar ia lalu menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.....
Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok kedua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!
Kelompok ketiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai bengcu! Sedangkan kelompok keempat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih bengcu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.
Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian, dan kemudian dia berkata, “Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya.”
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tidak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan jelas bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan tiap-tiap kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggota Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura keempat penjuru, lalu berkata lantang, “Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan bengcu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi bengcu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung.” Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon bengcu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggota Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul.
Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya, “Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!”
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Namun orang kedua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, “Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah mau pun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon bengcu dan kalau saja kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah mau pun pemberontak.”
“Ho-ho-ho, manusia-manusia sombong!” Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
“Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Jika kami telah berhasil menjadi bengcu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan.”
Orang kedua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak, “Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!”
“Ha-ha-ha!” Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa lepas. “Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut. Dalam memperebutkan kedudukan bengcu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun dari pada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!”
“Cet-cet-cett-cettt...!” Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya.
Empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, dan di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, jika mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu. “Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!” Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar sangat nyaring dan sinarnya berkelebat mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Mendadak hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggota golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri.
Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggota Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun bayangan Tek Hoat sudah tidak kelihatan lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung.
Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan sekarang kedua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi langsung terlempar ke bawah panggung dan cepat ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang keempat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon bengcu lain untuk menguji kepandaian, namun tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.
Tek Hoat memang sangat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merebut kedudukan bengcu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali jika memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi bengcu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai bengcu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, “Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon lainnya yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara dan mengangkat kami sebagai bengcu dan wakilnya!”
“Setuju...!”
“Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai bengcu dan wakilnya!”
Keadaan menjadi ribut sekali karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tiada seorang pun yang bersuara.
“Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak telah mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan bengcu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau sudah tidak mampu mengatasinya, Pangcu.”
Ketua itu mengangguk. “Baiklah, aku hanya dapat mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu.” Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.
Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apa lagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung. Kedua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum.
Ma Ciang berkata, “Aihhh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pangcu dan semua anggota Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi bengcu?”
Ma Kai juga turut berkata, “Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan bengcu!”
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, “Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan bengcu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan bengcu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang bengcu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi bengcu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan.”
“Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pangcu dari Tiat-ciang-pang ini!”
Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Tidak adil! Tidak adil!” tedengar teriakan dari para anggota Tiat-ciang-pang.
“Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!”
“Apa lagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!”
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak mendukung atau menentang pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga. Wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, “Baiklah, kalau pangcu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pangcu jeri menghadapi kami bersama.” Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alis. Dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biar pun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apa lagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata mau pun tidak.
“Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah bersiap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
“Dukkk! Dukkk!”
Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali saat beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Akan tetapi dua orang itu bukan menjadi jera, bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat yang disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan bengcu ini. Kecuali kalau Tek Hoat sendiri yang maju, terang bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Kedua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapa pun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tetapi belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Dalam kesempatan yang terbuka, Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Walau pun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!” Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung.
Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya telah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling yang bertentangan dengan golongan pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tak mau menerima seorang pencuri sebagai anggota, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam.
Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.
Namun, selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar dan banyak anggotanya. Kini, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pula pemilihan bengcu, apa lagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya pengecut besar, apa lagi setelah dia mulai mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya sudah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.
“Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat,” katanya dengan pandang mata mengejek. “Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!”
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali sebab ucapan itu biar pun tak langsung ditujukan kepadanya, akan tetapi jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
“Hemm, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi bengcu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!” Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang bergerak cepat sekali hingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua belah pihak yang agaknya mempunyai kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.
Sebaliknya Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang. Gerakannya mantap, kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan tiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Meski pun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biar pun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.
Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, sebab dia tidak mau memakainya. Akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia hanya dapat menduga bahwa sarung tangan itu tentu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
“Hemmm, apakah lenganmu sudah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?” dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum. “Tanganmu memang keras seperti besi, tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”
Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Kini dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
“Plak-plak! Dukkk...!”
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia kini bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
“Kau curang...!” serunya.
“Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut...?” Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
“Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!” Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggota Tiat-ciang-pang telah melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya.
Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
“Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?” Dia membentak dan menyerang lagi.
Terjadilah pertandingan mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, namun sekarang lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, dan karena memang dia kalah kuat tenaganya, maka dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru.
Tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggota Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Namun di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai bengcu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai.
Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biar pun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Rambutnya yang hitam panjang merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya. Kulit mukanya putih, membuat ketampanan wajahnya makin mencolok. Sinar matanya tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul seakan mengejek.
Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Tiat-ciang-pangcu, apa syaratnya bagi seorang bengcu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggota biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
“Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?”
Tek Hoat tersenyum. “Aku she Ang dan ingin memasuki pemilihan bengcu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi bengcu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
“Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang bengcu harus pula dapat melindungi semua anggotanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biar pun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhianat bangsa dan negara!”
Tek Hoat tersenyum lebar. “Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada bengcu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi bengcu?”
Tong Hoat menggeleng kepalanya. “Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon.”
“Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tak memandang mata padanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya. Biar pun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!
“Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!”
“Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini.”
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para anggota Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan bengcu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi bengcu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Biar pun sedikit, dia harus memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian mengirim pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sinkang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini.
Pemuda ini jelas bukan anggota golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jeri calon lain.
Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat telah mengeluarkan jurus yang paling hebat. Bagai halilintar kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.
“Bukk! Desss!”
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.
Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguh pun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
“Ilmu setan!”
“Bunuh siluman itu!”
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggota Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan dua tangannya bergantian dan... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggota Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya.
Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
“Apakah masih ada lagi orang yang tak mau menerima aku sebagai bengcu?” Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. “Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik.”
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggota Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan. Terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
“Si Jari Maut...!”
Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang, biar pun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggota-anggota Tiat-ciang-pang, berseru keras, “Hidup bengcu kita yang baru!”
“Hidup Si Jari Maut...!”
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat dua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Ang Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, “Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai bengcu?”
“Setuju...!” Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu, “Tidak setuju...!”
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali, membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita yang melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung.
Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai sapu tangan yang memang sejak tadi sudah dipersiapkan, lalu berkata, “Hemm, sapu tanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!”
“Aku... aku tidak akan memandangmu...” berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi bengcu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Tetapi dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lantas berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,
“Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Sapu tangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai... Ang Tek Hoat?”
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. “Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!”
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena tiba-tiba dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi bengcu!
“Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan bengcu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!”
“Apa...? Ah, untuk apa kedudukan bengcu bagimu?”
“Tidak perlu engkau tahu. Pendeknya, kedudukan bengcu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?”
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja sapu tangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini.
“Baiklah, sesukamulah,” jawabnya.
“Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah bengcu, dan engkau adalah pembantuku!” kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan kedua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai bengcu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
“Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi bengcu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan bengcu kepada Nona...” tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan hendak bertanya, “Ehhh...!” Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi... siapakah namamu?”
“Bodoh! Namaku Lu Ceng.”
Tek Hoat kembali berseru nyaring, “Kedudukan bengcu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi bengcu, sedangkan aku hanya menjadi wakilnya...”
“Bukan wakil melainkan hanya pembantu!” Ceng Ceng menghardik.
“Bukan wakilnya, hanya pembantunya...!”
Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang begitu mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, kenapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?
Namun ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
“Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!” teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
“Kallan sudah bosan hidup? Mampuslah!” bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.
Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihat.
Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali. Tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan, lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Lagi pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
“Engkau hebat...!” katanya memuji tanpa memandang.
“Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!”
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka, lalu memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biar pun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian.....
Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-15