Kisah Sepasang Rajawali Jilid 15
Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat kemudian menyetujui mengangkatnya menjadi bengcu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang memilikii ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya?
Sementara itu Ceng Ceng sudah memerintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, sebagai bengcu otomatis dia pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana bengcu dan pembantunya tinggal.
Malam hari itu, biar pun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut bengcu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat kepada bengcu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.
“Engkau sekarang lihai sekali,” Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.
“Masih tidak selihai engkau!” jawab Ceng Ceng jujur.
“Aku heran sekali, mengapa pula engkau menginginkan kedudukan bengcu?” Tek Hoat bertanya lagi.
“Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh besarku.”
Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam. Tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama.
“Siapa...?” tanyanya lirih.
“Seorang pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya.”
“Hemmm..., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai... ahhh...! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai.”
“Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu.”
“Aihh, dia...!” Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya. “Dia itu musuh besarmu?”
“Benar.”
“Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Kalau bertemu dengan dia, aku sendiri pun ingin mematahkan batang lehernya!”
“Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para anggota lain mencarinya dan paling banyak menangkapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!” kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian hebat.
Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya, “Kenapa? Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya?”
“Kau tidak perlu tahu!” Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah.
Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat cepat mengalihkan percakapan. “Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang pandai.”
Ceng Ceng mengangguk. “Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tak ada duanya di dunia ini. Oleh karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!”
Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak di depan Tek Hoat sambil mengerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam keluar dari tapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!
“Sedikit saja kau minum arakmu, kau akan mati,” kata Ceng Ceng.
Tek Hoat mengangguk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, kemudian menggantikannya dengan arak baru dari guci. “Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!” Tek Hoat berkata memuji, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa jeri dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertending, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Tak lama kemudian beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor. “Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah dirobohkan olehnya.”
Tek Hoat merasa tidak senang karena dia diganggu. “Siapa dia dan mengapa dia mengacau?”
“Dia tidak mengaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan.”
“Kurang ajar!” Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.
Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang. Lebih dari tiga puluh orang anggota Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu bagai sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.
“Hemm, orang itu kuat sekali,” Tek Hoat berkata, mempercepat larinya menghampiri.
“Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!” tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.
“Eh, kenapa? Dia pengacau...”
“Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di sampingmu...”
“Hemm...,” Tek Hoat tak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak, “Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!”
Ceng Ceng hanya menonton saat Tek Hoat telah meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya! Laki-laki bermuka buruk seperti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa.
Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan, mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan, laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan akal!
Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga sudah mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.
“Plakk! Duukkk!”
Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak marah. “Siapa kau?”
Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.
“Keparat, mampuslah kau!” bentaknya sambil menyerang.
Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apa lagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa mukjijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerian lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak, “Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!”
Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng sebab dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mukjijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang dulu menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah! Tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat adalah lain lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya.
Mendengar teriakan ini, walau pun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biar pun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.
“Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi bengcu harus menawanmu!” Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk.
Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. “Kau... kau gadis aneh...!”
Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya?
“Ehhh...!” Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng!
Hampir dia tidak dapat mempercayai hal ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggota Tiat-ciang-pang sudah cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.
“Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!” demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.
Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu. Semua orang memuji kelihaian bengcu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang demikian lihainya.
“Heran sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemikian mudahnya?” Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi meja.
Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tak sempat menghindarkan diri lagi saat dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana, “Biar pun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!”
Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu. “Aku masih merasa heran dan menduga duga, dia itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw.”
“Biar besok aku yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau tidak...”
“Kalau tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?”
“Hemm... bagaimana besok sajalah,” Ceng Ceng sendiri bingung.
Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang setelah dapat menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya?
Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Di dalam mimpinya itu dia melihat pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi, tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu!
Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki bermuka setan itu biar pun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan laki-laki tinggi besar ini.
Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh kemesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi!
Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biar pun tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak!
Pemuda laknat yang memperkosanya itu pun tampan dan gagah sekali, lebih gagah dari pada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang. Tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besar yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda itu pun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya!
Dan laki-laki yang bermuka setan ini, dia sudah tua dan menakutkan, biar pun pernah menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki bermuka setan ini.
Pada keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggota Tiat-ciang-pang, tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam gudang, atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah. Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah.
“Kau kira aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau bersembunyi di balik topeng itu!”
Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu sangat terkejut. “Ehhh... jangan...! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa... aku akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!”
Tek Hoat tertawa. “Silakan saja mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!”
Tek Hoat telah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang kedua tangannya masih terbelenggu di belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya telah mendekati muka orang.
“Tek Hoat, jangan...!” Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut.
Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut? Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya. Ia memang merasa terlalu gagah untuk melanggar sumpah, tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak bisa dia terus menurut.
“Hemmm...!” Dia mendengus dan membalikkan mukanya.
Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah asli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir aslinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!
“Tek Hoat, keluarkan sapu tanganmu!” katanya memerintah.
“Untuk apa...?” Tek Hoat bertanya dengan marah karena sapu tangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.
“Kau tutup matamu dengan sapu tangan itu!”
“Hemm...!” Tek Hoat makin marah.
Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan sapu tangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua ujung sapu tangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini.
Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya dengan sapu tangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar dinding itu. “Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan sapu tangan sehingga tidak dapat melihat kita... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu.”
Suara yang halus itu terdengar kini. “Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku? Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi.”
“Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong.”
Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biar pun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.
“Jangan...! Jangan, Nona...! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya...” Orang itu berkata, suaranya penuh dengan permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.
“Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana?”
“Hemm..., baiklah. Aku berjanji.”
“Dan seorang laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya.”
“Lebih baik mati dari pada melanggar janji.”
Tiba-tiba Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!”
“Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka sapu tanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kau bebaskan dia dari belenggu itu.”
Tek Hoat menyambar sapu tangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek. “Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!” Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sinkang-nya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan tegap.
“Sekarang setelah menjadi pembantuku kau harus memberitahukan namamu,” Ceng Ceng berkata.
Orang itu menghela napas panjang. “Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan.”
Ceng Ceng bertepuk tangan gembira. “Bagus! Dua orang pembantuku julukannya amat hebat, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk mengumumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku kedua, dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok di antara rekan segolongan.”
Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu, “Awas, engkau mencurigakan sekali. Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi.”
Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!
“Tidak perlu curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!” Si Topeng Setan berkata pula, berbisik.
Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah! Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong.
Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai lupa akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah menjadi seorang ‘bengcu’, mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya!
Di samping itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar. Betapa pun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andai kata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik dari pada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja.....
********************
Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang bengcu atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan gurunya.
Peristiwa hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara.
Akan tetapi, baru saja mereka bersiap-siap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus, “Kao-goanswe, berhentilah dulu...” Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri!
Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan memang benarlah demikian!
Begitu dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biar pun sikapnya masih tenang itu berkata lirih, “Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara terang-terangan.”
Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya. “Paduka maksudkan...?”
“Baru saja seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kau tawan itu telah dibebaskan oleh kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!”
“Si keparat!” Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali. “Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!”
“Sabarlah, Goanswe. Tugas kita hanyalah menumpas para pemberontak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang adikku ini terlebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Namun hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya.”
Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia merasa sudah ditipu. Orang menggunakan Kaisar untuk memanggil dirinya keluar dari benteng dan biar pun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya! Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng!
Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya.
Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman.
Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu. Dan biar pun diam-diam, Kian Bu maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.
Karena mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua telah bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.
Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota.
Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari benteng itu.
Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi kerlbutan di benteng itu.
“Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!”
“Hemm, mencari ke mana? Kita tidak tahu dia lari atau dilarikan ke mana.”
“Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana?”
“Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andai kata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekali pun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak mau pun yang anti. Mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan.”
“Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang?”
“Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi. Andai kata tidak berhasil, kita kembali dan melapor kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini.”
“Tetapi aku masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari.”
“Baiklah, Bu-te.”
“Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kau cari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi.”
“Hemmm, maksudmu...?”
“Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!”
Wajah Suma Kian Lee menjadi merah. “Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!”
Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian.
Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jernderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak. Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja.
Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggota pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.
“Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan.”
Kian Lee menyetujui permintaan adiknya. Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadi pun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng dari pada mencari Syanti Dewi!
Rumah penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.
Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya, “Engkau lelah sekali, Kongcu?”
“Wah, kakiku lelah sekali...” Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.
“Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya.”
Kian Bu tertawa. “Begitukah? Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!”
“Baik, baik, Kongcu, kau tunggu sebentar.” Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.
Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya, “Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku lihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita.”
“Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku? Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga.”
Tak lama kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. “Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya?” Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar.
Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu. “Inilah Kongcu yang ingin kau pijat kakinya, Lo-sam!” kata Si Pelayan.
Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata, “Di sini kakiku, Lopek.”
Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata, “Hemmm..., hemmm... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini.”
Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biar pun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.
“Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak sekali dan dapat melenyapkan lelah,” Kian Bu berkata.
“Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih,” jawab kakaknya.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.
“Maafkan jika saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang karena diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!”
“Ah, bagaimana ini? Aku belum selesai dipijit!” Suma Kian Bu berseru.
“Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apa lagi sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting.”
Kian Lee jadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.
“Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?”
Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata, “Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang kedua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Biar pun pakaian gadis itu pun sederhana, namun kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...”
“Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya?” Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.
“Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung, pendiam...”
Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.
“Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun?” tanya Kian Lee.
“Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatangan seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya.”
Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu, “Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun ini.”
Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana.
Setelah pelayan dan tukang pijit itu keluar, barulah dia berkata kepada perwira itu, “Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak sama sekali. Dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia.”
“Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda?”
Kian Bu tertawa. “Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami dua kakak dan adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika tadi mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu hendak kau suruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan mendapat marah, Ciangkun.”
Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak percaya. “Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang muda begini... mana bisa memijat...?”
“Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kau coba sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, dan biar kau rasakan pijatan ajaib dari tanganku.”
Dengan pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sinkang sehingga perwira itu merasa betapa ada hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuhnya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!
“Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun?” Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya.
Perwira itu terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut. “Aihhh, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir?”
“Kakakku ini malah lebih pandai dari pada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu.”
Mendadak sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya, “Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami?”
Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.
“Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik,” tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan,
“Sesungguhnya biar kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak menggunakan kepandaian kami untuk mencari uang. Akan tetapi... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami meninggalkan kota benteng di Khi-ciang yang sedang geger, pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku langsung menawarkan diri sebab komandanmu tentu suka membayar mahal, belum lagi para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan.”
Perwira itu mengangguk-angguk. “Baiklah, memang aku sudah membuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan.”
Maka berangkatlah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, dan tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sedang sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nantinya sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya.
Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga.
Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima?
Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas!
Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas kursi!
Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lweekeh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang ‘tukang pijat’ muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu, “Hemmm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang capai-capai!”
Melihat wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin menyaksikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya. “Nah, kau pijitlah lengan kananku ini.”
Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari lengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga lweekang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sinkang yang hangat dari telapak tangannya.
Louw Kit Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung tenaga yang hangat itu.
Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biar pun memakan waktu tiga empat kali lebih lama dari pada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya!
Tetapi, hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak, “Tangkap mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!”
Semua perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing keluarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!
“Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!” Panglima Louw Kit Siang membentak.
“Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!” Kian Bu menjawab.
“Aku sudah berada di sini!” Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.
Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.
“Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?” Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa.
Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biar pun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukan Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga terus memandang dengan mata terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu.
Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras. Hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyak dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini!
Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biar pun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya, maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.
“Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!” Louw Kit Siang membentak marah.
“Oh, maaf...” Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih saja terus terlongong memandang dara itu. “Maaf, Tai-ciangkun. Kami dua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap.”
“Tai-ciangkun, mereka bukanlah tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka mempunyai kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!”
“Ihhh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!” Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.
“Begitukah?” Panglima Thio membentak. “Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!”
“Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya,” Kian Bu berkata tenang. “Silakan duduk di sini.” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!
Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus, “Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah.” Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata, “Nah, kau pijitlah lenganku, orang muda yang baik.”
Melihat wajah dan sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biar pun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.
Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sinkang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sinkang, dia tidak akan mundur! Apa lagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang lain itu.....
Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sinkang-nya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sinkang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sinkang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!
Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biar pun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sinkang-nya dan merubah hawa sinkang-nya. Kini dia mengeluarkan ilmu sinkang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju)!
Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya. Dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sinkang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.
“Uhhh...!” Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya.
Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mukjijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sinkang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan matanya mulai mengantuk!
“Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar engkau kubantu memijatnya!” Kian Lee yang mengikuti ‘pertandingan’ itu dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.
“Cukuplah!” Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mukjijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata, “Ciangkun, marilah kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka.”
Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu, “Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami.”
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk. Sekarang Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguh pun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.
Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik, “Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?”
Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, maka dia menjura sambil berkata penuh hormat, “Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana.”
“Aihhh...!” Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.
“Ahhh, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik.” Panglima itu cepat berkata.
Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Sampai-sampai dia menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!
Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata, “Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang.”
Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya. “Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sinkang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?”
Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu. “Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!”
Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu. “Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?” tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.
“Aih, kiranya Gak-suheng!” Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biar pun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng. “Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu.”
“Ahhh...!” Panglima Thio berseru kaget mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana. “Gak-taihiap... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah... adalah... dari Pulau Es...?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Maaf... maaf... alangkah bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!”
Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.
“Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?”
“Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu sudah dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, dua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit yang buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!
Gak Bun Beng dan dua orang sute-nya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak!
Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya. “Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat ketahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah.”
“Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Tidak perlu khawatir, Ciangkun, biarlah kami yang pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu.”
Wajah panglima itu berseri. “Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih.”
“Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,” kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.
“Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...,” Kian Lee membantah.
“Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!”
Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis. “Terima kasih atas bantuan kalian.”
Kian Bu lama termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata, “Tak kusangka... kiranya... kiranya... Sang Puteri... ahhh, sukurlah bahwa Anda selamat!”
Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis, “Terima kasih.”
Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Walau pun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, akan tetapi hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja. Dia percaya penuh akan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapa pun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu.
Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang. Tiap malam bila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia pun menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun?
Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia seakan selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa?
Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Tetapi perasaan ini selalu hendak dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguh pun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?
Betapa pun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!
Pertemuan mengharukan pun terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.
“Paman...!” Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.
“Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini.” Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung.
Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan kedua orang sute-nya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!
“Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja.”
“Baik, Suheng, kami siap berangkat,” jawab Kian Lee.
“Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...”
“Tidak... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi.... Biarkanlah aku juga ikut ke Teng-bun,” puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan.
Pertemuannya kembali dengan Bun Beng seolah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biar pun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan walau pun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tak pernah menyinggung soal cintanya, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu.
Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seakan-akan pandang mata itu merupakan tanda penyerahan seluruh jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.
“Kalau Sang Puteri ikut, kami akan... ikut melindunginya, Suheng,” tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat.
Mendengar suara sute-nya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak? Dua orang sute-nya ini adalah dua orang pemuda yang hebat! Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang di antara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sute-nya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, dan putera dari Puteri Nirahai!
“Baik!” Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata, “Terima kasih!”
“Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!” kata Gak Bun Beng.
“Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap.” tiba-tiba Panglima Thio berkata. “Menurut penyelidikan, biar pun Teng-bun telah direbut pemberontak, tapi kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah.”
“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?” Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.
“Hanya ada dua cara,” panglima itu menjawab tegas. “Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Kedua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), yaitu masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan di antara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat.”
Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?
Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, sebab perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari mara bahaya.
Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya!
Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasehat Bun Beng kini menyebut ‘adik’ kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.
“Adik Syanti, kau pakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin.”
Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu sejak mula-mula bertemu, menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata, “Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya.”
Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mengucapkan ‘terima kasih’. Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, sangat tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu hanya terasa mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.
“Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apa lagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!”
“Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?”
Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan ‘adiknya’ duduk menghadapi api unggun.
Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat-cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja.
Apa lagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.
Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali.
Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang di antara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?
“Tidak boleh...!” Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.
“Apanya yang tidak boleh?” Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.
Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.
“Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?” Syanti Dewi bertanya lagi.
“Ah, tidak apa-apa... aku... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi.”
Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua dari pada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat.
Tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, tetapi Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sute-nya itu!
Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan matahari siang hari itu panasnya bukan main! Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh peluh, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biar pun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.
“Kau pakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari,” katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.
“Terima kasih, kau baik sekali,” kata Syanti Dewi yang menerima dan memakai topi itu di atas kepala.
Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja!
Rasa suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak mau pun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibenci itu terlihat selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain.
Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimana pun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!
Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir mau pun batin, yang selalu ingin menjauhkan ketidak nikmatan yang tak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tak menyenangkan dirinya. Jika batin kita telah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan pasti selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.
Betapa pun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir mau pun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin.
Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin mau pun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!
Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suheng-nya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu.
Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan.
Kian Lee berbisik kepada suheng-nya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Bun Beng mengangguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.
“Maafkan kami, Sobat.” Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. “Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?”
Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata, “Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong.”
Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.
Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya.
Pedang yang dibawanya itu, biar pun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sute-nya.
Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ketiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sute-nya itu!
Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan namanya.
Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi.
Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biar pun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andai kata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal.
Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguh pun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apa lagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!
Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan.
Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng, musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri!
Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.
Mi bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam ia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.
Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.
“Krakkk!” Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan.
Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suheng-nya, dan Syanti Dewi, “Aku sudah memperoleh tempat duduk!”
Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas ‘bangku’ darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya!
Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah.
Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sinkang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!
Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras.
Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai. Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk ‘menanam’ balok itu ke lantai yang keras.
Apa lagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga ‘memasang’ balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi.
Melihat kejadian ini, banyak di antara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyum geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi? Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum simpul!
Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.
“Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,” tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.
Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.
“Pergilah kalian!” Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.
“Tidak!” Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi. “Kami mentaati perintah bengcu (ketua)...”
“Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!”
“Maaf, kami terpaksa...”
“Setan!” Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.
Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!
Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri. Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.
Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.
“Kiranya dia lihai juga!” Kian Bu berkata.
“Dia malah lebih lihai dari pada yang tampak, jauh lebih lihai jika saja ada kesempatan. Sungguh seorang pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini,” kata Bun Beng.
“Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana...,” Kian Lee berkata.
“Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan...,” Kian Bu juga berkata.
“Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita,” kata Bun Beng.
Tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat menghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka?
Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh bengcu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi bengcu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan!
Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Namun, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.
Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu.
Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu bisa mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri pada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya.
Apa lagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.
Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.
Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.
Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka, rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!
Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguh pun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.
Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang memiliki kedudukan dan wewenang akan menggunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri.
Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang ‘panas’ itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.
Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.
“Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!” berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.
Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu jadi naik darah. “Boleh saja menggeledah kami bertiga,” katanya.
“Hemm...!” Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. “Kalian berempat, kenapa hanya bertiga yang harus digeledah? Harus keempat-empatnya...”
“Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?”
“Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!”
Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia pasti akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!
“Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?” bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.
“Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!” Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.
Pada saat itu pula, di antara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata, “Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya.” Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.
“Ah, terima kasih... harap Cu-wi sekalian maafkan...” Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.
Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apa lagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya, “Terima kasih!”
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.
Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. “Siapa suruh engkau mencampuri...?”
Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, “Terima kasih atas bantuanmu, Sobat.” Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, “Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!”
Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata, “Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalau pun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap...”
“Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami cari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!” Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apa lagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi.
Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan. “Lagaknya, seperti dia seorang yang punya uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!” Kian Bu mengomel.
“Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?” Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.
“Bu-ko, orang itu baik, mestinya kita berterima kasih,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.
Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk.
Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang. Tidak hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela.....
Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-16