Kisah Sepasang Rajawali Jilid 13


Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apa lagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya.

Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya. Dia pun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!

Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adanya Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh keterangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya.

Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar!

Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda laln, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!

Jenderal Kao Liang sudah merasa tak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apa bila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya.

Pagi-pagi rombongan itu mulai meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan ‘kewajiban’ mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!

Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan kedua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya.

Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini.

Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang!

Hari itu cuaca panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasa mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal.

Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah prajurit-prajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biar pun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja.

“Setan keparat, panasnya!” Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan sapu tangan sutera yang sudah basah kuyup. “Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Dasar keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!” Ia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh.

Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru, “Awas...!”

Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.

“Hei, kalian mau apa...?!” Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka! 

Tentu saja kejadian ini membuat semua orang sangat terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao.

Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dada dan berkata dengan lantang, “Heiii, kalian orang-orang gagah, dengarkanlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!”

Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.

“Memberontak? Heh-heh, memberontak!” katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.
“Pemberontak! Tangkap mereka!” Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk!

“Manusia jahat!” Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.
“Singg... tarr... cringgg...!” Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.
“Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!” teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas.

Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai.

Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.

Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak, “Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!”

Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan dua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut sekali, tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.

Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Kedua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.

“Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?” Jenderal Kao bertanya.

Pemuda itu tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman yang terasa mengerikan. Mendadak terdengar seruan halus, “Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!”

Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong ke arah lambung Tek Hoat sambil berteriak, “Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!” Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia pun telah mengerahkan sinkang memukul lambung lawan.

“Eihhh...! Desss...!”

Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang sedemikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sinkang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat panas.

Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai. Heran juga dia, mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada saat itu dia menghadapi tugas yang amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.

“Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!” teriaknya.

Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dalam waktu singkat kedua orang kakek kembar ini tadi sudah merobohkan keenam orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!

“Bagus, dulu kami tak sempat membunuh kalian!” teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk di tangan Lam-thian Lo-mo.
“Tar-tar-tar... wuuuuttt... desss...!”

Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ketiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu, sedang tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya!

Juga Kian Lee yang berhadapan dengan Pak-thian Lo-mo, langsung mengirim pukulan yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain mengandung hawa dingin sekali, juga amat kuat.

“Pulau Es...!” Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.
“Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!” Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya. Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk membantu mereka.

Sementara itu, Tek Hoat telah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar. Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada bau uap hitam itu tersedot olehnya.

Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi telah menggunakan uap beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andai kata pemuda ini tidak mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa ini.

Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka. Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu dan biar pun jenderal itu bertubuh tinggi besar, akan tetapi dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat.

Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu!

Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah duculik, tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es.

Dari pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan para pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.

Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang di antara mereka meninggalkan arena pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya maka perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudaranya terancam bahaya.

“Kalian memang pantas dibasmi habis!” Kian Bu berteriak marah sekali.

Kini gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biar pun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.

“Lee-ko, kita basmi mereka!” seru Kian Bu yang sudah marah.
“Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!” Kian Lee berkata.

Mereka menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.

“Wir-wirrr...!”
“Sing-singgg...!”
“Siuuut...!”

Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan sinkang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti membentur arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan terbelalak kaget dan jeri.

“Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!” Pak-thian Lo-mo mengomel. “Hayo kejar mereka!”

Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao. Namun pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jeri, apa lagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian.

Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan di mana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apa lagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.

Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap.

Kian Lee dan Kian Bu mengejar tanpa arah. Mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.

Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apa bila mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana.....
********************
Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas di atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap di atas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut. Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi. Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi di dalam goa itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum!

Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja, bahkan kemudian merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia pejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, dari pada hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat.

Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.

“Tidak...! Tidaaaakkk...!” Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi. “Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!”

Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat titik terang. Apa lagi sekarang dia memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekali pun akan dikejar dan dicarinya.

Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan. Dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, kemudian memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar.

Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka dia mulai mengantuk karena matanya pun sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah tertidur.

Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi di luar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas. Dari dalam hutan, di luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu.

Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh ke atas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.

“Uhhhh...!” Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek kemudian berkata, “Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?”

Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah mati.”

Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya, sementara Jenderal Kao mendengarkan dengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan, “Kalau engkau memilih hidup, tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati.”

Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan kedua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab, “Orang muda, siapa pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau, jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman kematian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran dari pada hidup bergelimang kehinaan. Andai kata aku memiliki sepuluh nyawa sekali pun akan kurelakan semua dari pada harus melakukan apa yang kau minta itu, apa lagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya seorang manusia!”

Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat.

Akan tetapi dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu berkata dengan suara dingin, “Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja.”

Dia menoleh kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, “Bikin api unggun yang besar. Kita bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi kematian!” Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api unggun.
Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk di atas tanah itu dan berkata, “Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk mengamankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!”

Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali. “Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mengejar kesenangan belaka. Agaknya engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali bukan maksudku ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguh pun beliau merupakan satu di antara manusia yang telah melepas budi kepadaku.”

“Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas.”
“Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih hidup.”

Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia mengangguk.

“Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud, menyembahyangi arwah mereka.” Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja, jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri.

Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita remaja yang cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas meja, tetapi di sudut dan terpisah dari gambar-gambar yang lain.

Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat!

Dia tidak mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao, tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka ia tidak hanya menurutkan hatinya menghadapi peristiwa itu.

Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main. Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan. Maka ia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati meja besar di depan arca untuk menyembahyangi leluhurnya.

Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis di atas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua dan leluhurnya. Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggapnya telah mati dan mengingat betapa dulu dia menolong sehingga jenderal itu tidak terjeblos ke dalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang ke luar.

“Heiiiii...!” Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng. “Kiranya gambar dia...?”

Dan hal yang aneh sekali terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan diri dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Sekarang, begitu melihat gambar wajah gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.

Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang ke luar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar.

Ceng Ceng terbelalak memandang. Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang. Matanya mengeluarkan sinar berapi, bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya!

Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar ke arah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.

“Dukkk...!”
“Ehhhh...!”

Hwesio Itu terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia berdiri bersiap melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu.

Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.

“Wut-wut-plak-plak, bretttt...!”

Pemuda tinggi besar itu terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, tetapi tetap saja ujung lengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.

“Huh... pemberontak hina...!” Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya, wajah yang hitam dan hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian.

Ceng Ceng tadi telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya.

Namun, terjadi perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, tetapi sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.

“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sinkang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.

“Dukk! Dess...! Aahh...!” Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh.

Akan tetapi di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat tenaga sinkang-nya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu sudah memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.

“Hendak lari ke mana kau?” Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher pemuda tinggi besar.

Akan tetapi, dengan gerakan indah dan gesit pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanan menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!

“Wuuuutttt...! Singggg...!”
“Aihhhh...!” Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah.

Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti. Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya, langsung menyerang pemuda itu.

Melihat betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau saja jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu.

Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk ‘membantu’ dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu sekali.

“Jahanam, jangan harap akan bisa lolos dari sini...!” Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat.

Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.

“Haiiittt...!” Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking amat keras menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khikang-nya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya. Dari rambutnya yang panjang, yang tadi melingkar di lehernya itu, mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.

“Plakkk!”

Ujung rambut itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merubah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sinkang kuat.

“Dessss...!”

Lengan kanan pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu.

Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Sekarang Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sinkang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sinkang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi ke arah pemuda tinggi besar itu.

“Hebat...!” Pemuda tinggi besar itu berseru kagum.

Kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat. Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya, akan tetapi karena dia sedang bertanding sinkang dengan lawannya yang amat tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.

“Bukkk...!”

Pemuda tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jenderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.

“Jangan lari... ahhhh...!” Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun!

Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda tinggi besar ltu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?

“Apakah kau gila?! Siapa kau?” bentaknya.

Melihat orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.

“Desss...!”

Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!

“Keparat, kau berani menggunakan racun...?” Tek Hoat menghardik. Kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya.

Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.

“Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?”

Sejenak Tek Hoat terbelalak, memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika dia melihat sehelai sapu tangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.

“Kau...?!” Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka!

Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang dahulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.

Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai. Walau pun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar itu.

“Lari ke mana kau?!” bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata.

Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini sudah menjadi seorang ahli racun yang sangat berbahaya. Dia berseru keras, menahan napas dan cepat meloncat tinggi-tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mukjijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya.

Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat tiba-tiba berhenti dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang menggeletak di atas tanah. Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus, sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul adalah rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang pemuda itu. Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah berhasil diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju ke kota raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka.....
********************
Sementara itu, pemuda tinggi besar itu berlari cepat sekali, menyimpang dari jalan raya yang menuju ke kota raja dan menjelang senja dia berhasil membebaskan totokan di tubuh jenderal itu.

“Dari sini ke pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah ikut bersamaku ke kota raja,” kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang gagah itu dengan rasa kagum dan suka.

Pemuda itu menggeleng kepala. “Silakan Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Kini sudah aman. Kita harus berpisah di sini.” Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Nanti dulu...!” Jenderal Kao memegang lengan pemuda itu, “Engkau terluka, perlu perawatan...”

Pemuda itu menoleh, menggeleng kepala. “Aku tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus cepat melarikan diri ke kota raja, dan biarlah aku yang menghadang mereka yang hendak mengejarmu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah pergi.

“Bagaimana engkau dapat pergi begitu saja setelah menyelamatkan aku? Setidaknya beritahukan kepadaku siapa namamu!” Jenderal Kao berseru penasaran.

Pemuda itu berhenti, menoleh dan menjawab, “Saya dengar dari para penghuni dusun bahwa Ciangkun adalah Jenderal Kao yang budiman dan terkenal, sehingga siapa pun sudah sepatutnya membantu kalau Ciangkun berada dalam kesulitan. Ada pun aku... aku seorang kelana yang tidak punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!” Pemuda itu berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Jenderal Kao termenung sejenak, menarik napas panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan ke kota raja. Dia harus melaporkan semua pengalamannya, akan tetapi dia menyesal sekali mengapa pemuda yang amat dikaguminya, amat menarik hatinya itu tidak mau memperkenalkan diri.

Juga dia masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah balik melindunginya dari pengejaran para penculik. Juga ketika rombongannya diserbu kaki tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai. Benar-benar telah muncul banyak orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya.

Mengapa tiba-tiba saja dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi sekali dan berwatak aneh? Harus diakuinya bahwa pemuda yang menculiknya, yang masih amat muda, juga telah memiliki ilmu kepandaian yang mengejutkan dan mengerikan. Melihat adanya orang-orang seperti dua orang kakek aneh dan pemuda lihai itu berada di pihak pemberontak, tahulah dia bahwa keadaannya sudah berbahaya dan haruslah pihak Kaisar cepat-cepat turun tangan.

Dia akan merundingkan hal ini dengan Puteri Milana, karena hanya puteri yang sakti itulah yang dia harapkan akan dapat memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan dari dalam untuk menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya. Sambil melanjutkan perjalanan secepatnya, jenderal yang gagah perkasa ini beberapa kali mengepal tinju.

Sejak muda dia mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal. Dia hanya mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam perhatian hati dan pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan kekerasan, membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah yang dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara.

Betapa banyaknya orang berpendapat seperti Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai melalui kekerasan dan dengan cara membasmi mereka yang menentang. Ada pula orang berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai dengan jalan anti kekerasan dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan bajik.

Kedua pendapat yang kelihatannya berlawanan ini sebetulnya sama saja, yaitu ingin merubah keadaan kehidupan manusia di dunia yang semenjak ribuan tahun sampai sekarang selalu penuh dengan pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian ini. Yang pertama adalah ingin membentuk dunia yang damai dengan cara kekerasan, yang kedua ingin membentuk dunia yang damai dengan cara lain. Kita semua lupa agaknya bahwa dunia adalah masyarakat, dan masyarakat adalah hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini juga. Merubah dunia atau merubah masyarakat tidak akan mungkin apa bila kita-kita ini, masing-masing manusia, tidak berubah lebih dulu.

Pemberontakan demi pemberontakan, revolusi demi revolusi, sepanjang perkembangan sejarah, telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh pemberontakan lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain, revolusi disusul oleh revolusi lain. Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan permusuhan dan pertumpahan darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya menanam bibit kebencian pada pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan kepada pihak yang menang.

Di bagian yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan pahala atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Dan tentu saja di dalam perebutan ini pun akan terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan ketidak-adilan dan segera muncullah pemberontakan-pemberontakan yang baru dari mereka yang merasa di kesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak memperoleh bagian.

Sumber segala kekacauan ini, segala perebutan ini, baik perebutan kekuasaan mau pun perebutan harta benda, terletak pada diri pribadi masing-masing manusia sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada masyarakat karena kita sendiri yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah, masyarakat akan berubah kalau diri kita masing-masing berubah! Segala macam pemberontakan, revolusi, pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri masing-masing tidak berubah lebih dulu. Kalau manusianya sudah berubah, otomatis masyarakat dan dunia akan mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan sekejam ini, di mana kebencian dan permusuhan tampak setiap saat di mana pun juga, di mana di satu pihak orang hidup berkelebihan di lain pihak ada yang kelaparan.

Segala macam tindakan dalam hidup akan menjadi palsu dan rusak bila ditunggangi oleh si aku, karena tindakan itu tak lain tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku untuk mencapai tujuannya! Dan si aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah lihainya seperti Kauw Cee Thian Si Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita See-yu yang pandai berpian-hoa (berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua macam. Bisa saja si aku ini bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti tanah air, negara dan bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian, kebahagiaan, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi.

Namun kalau kita mau membuka mata melihat sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin dan pikiran kita, akan tampak oleh kita bahwa semua itu hanya digunakan oleh si aku untuk mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan lahiriah mau pun keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi kata-kata ‘ku’, menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang merupakan bentuk lain dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan yang tak dapat dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, kebenaranku dan kebenaranmu, agamaku dan agamamu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan sebagainya.

Mungkin usaha seperti yang direncanakan oleh Jenderal Kao itu akan berhasil seperti yang dibuktikan dalam sejarah, namun hasil ini untuk sementara. Dan seperti dibuktikan oleh sejarah pula, pemberontakan-pemberontakan di jaman Pemerintah Ceng timbul tenggelam seperti juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu. Tiap pemberontakan menentang kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang indah-indah dan gagah seperti perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada kalanya menarik nama Tuhan tanpa segan-segan lagi sampai pemberontakan itu berhasil menumbangkan kekuasaan yang ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru timbul, disusul oleh pemberontakan yang lain, yang lebih seru, dengan menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan sebagai topeng, namun pada hakekatnya sama saja sungguh pun mungkin istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan jamannya.

Jenderal Kao Liang melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa pihak pemberontak tentu tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu akan berusaha untuk menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara.....

Ia harus berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia tiba di kota raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar atau setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutar balikkan kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali. Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.

Dengan cara demikian, setelah lewat dua malam, pagi-pagi sekali, akhirnya sampailah jenderal ini di kota raja, dengan menumpang pada seorang pedagang sayur-sayuran yang mengangkut dagangannya dengan gerobak. Setelah masuk di kota raja, jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi, langsung saja dia menuju ke istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang menjaga di depan, dia minta berjumpa dengan puteri itu.

Para pengawal yang mengenal jenderal ini cepat melapor kepada majikan mereka dan tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang disuruh menunggu di kamar tamu telah disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi Kong suami puteri itu, serta dua orang pemuda tampan yang segera dikenali oleh jenderal itu.

Melihat dua orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru, “Bukankah Ji-wi yang telah datang menolong ketika rombongan kami diserang pemberontak?”

“Sayang kami tidak berhasil menyelamatkanmu, Goanswe,” kata Kian Lee.
“Siang Lo-mo dan para pembantunya dapat kami pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah dilarikan orang,” kata Kian Bu.

“Sudahlah, kita harus bergembira bahwa ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan tiba di sini. Kao-goanswe, mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu dari Pulau Es,” kata Milana.

“Ahhh... pantas... kiranya putera-putera dari Pendekar Super Sakti!” jenderal itu berseru kaget, heran dan kagum sekali.

“Goanswe, silakan duduk,” Han Wi Kong mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk mengitari meja. Jenderal Kao menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh mereka berempat dan Puteri Milana mengerutkan alisnya.

Setelah jenderal itu selesai bercerita, Milana mengangguk-angguk. “Sudah pasti sekali bahwa tentu Pangeran Tua yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia berhasil membujuk Kaisar untuk memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia telah menaruh kaki tangannya di tengah jalan. Untung bahwa kau dapat lolos berkat pertolongan pemuda tak dikenal itu.”

“Nanti saya akan menghadap Kaisar untuk membuka rahasia mereka itu!” Jenderal Kao berkata penuh rasa penasaran.

“Sebaiknya jangan begitu. Masih belum waktunya untuk menentang mereka secara terbuka sebab kita belum memperoleh bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang menyampaikan semua ini kepada Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan diam-diam kembali ke utara, biar dikawal dan ditemani dua orang adikku ini. Yang penting adalah agar supaya Kim Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan sampai lolos. Dia merupakan saksi dan bukti yang amat kuat untuk membongkar pemberontakan Pangeran itu. Kao-goanswe sendiri pasti maklum betapa kuat kedudukan kedua orang Pangeran Liong. Pengaruh mereka besar dan tentu saja Kaisar merasa segan untuk menentang adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi yang cukup, berbahaya menentang mereka secara terbuka.”

“Akan tetapi kalau dibiarkan saja, makin lama kedudukan mereka makin kuat dan amat berbahayalah bagi negara.” Jenderal itu membantah.

“Karena itu, tugas kita adalah dua. Pertama, dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Goanswe, kita harus menindas pemberontakan di mana pun, dan aku yang akan membantu dari dalam untuk membersihkan mereka dari kota raja. Kedua, kita harus mengumpulkan bukti dan saksi sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada Kaisar agar pembersihan dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu lama di sini dan meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang di utara dapat dipengaruhi dan dikuasai pemberontak.”

Jenderal Kao menepuk meja. “Bagus sekali! Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua dan harus dilaksanakan. Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah saya menjumpai keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia rendah Kim Bouw Sin itu tidak sampai lolos!”

“Kedua adik saya Kian Lee dan Kian Bu akan mengawal dan menemani Goanswe,” kata Milana sambil mempersilakan Jenderal itu minum teh panas yang dihidangkan oleh pelayannya.
“Hati saya akan menjadi tenang kalau begitu,” kata Sang Jenderal karena dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian dua orang muda ini, apa lagi setelah sekarang dia tahu bahwa mereka adalah putera-putera Pendekar Super Sakti!

“Kami akan menemani Goanswe dan sehidup semati dalam perjalanan sampai ke benteng di utara,” kata Kian Lee.
“Akan tetapi sebaiknya kita berangkat meninggalkan kota raja malam nanti...,” kata Kian Bu.
“Eh, mengapa harus menanti sampai malam?” Kian Lee berkata.

Kian Bu mengejap-ngejapkan matanya kepada kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap tidak mengerti. “Mengapa? Katakan saja, mengapa harus malam nanti baru berangkat? Tidak usah pakai bahasa rahasia, kita di sini berada di antara orang sendiri,” kata Kian Lee.

“Aihhh, masa Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak kalau harus kukatakan begitu saja.”
“Adik Kian Bu, jangan membikin kami penasaran karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan demikian?” Panglima Han Wi Kong ikut bicara.

“Waah, kalau begitu terpaksa saya bicara akan tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan saya,” Kian Bu berkata.
“Eh, tentu saja... katakanlah apa yang terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda Gagah),” jenderal itu berkata sambil tersenyum.

“Kao-goanswe baru saja tiba dari utara, baru saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan baru saja hendak menjumpai dan berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Lalu bagaimana kami berdua bisa tega untuk mendesaknya agar cepat-cepat meninggalkan mereka? Maka sebaiknya malam nanti kita berangkat.”

Milana tersenyum, Kian Lee menjadi merah mukanya karena marah pada kelancangan adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil memegang pundak Kian Bu. “Siauw-sicu, engkau jujur dan memperhatikan kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!”

“Bu-te, kau memang nakal!” Milana menegur akan tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee memandang adiknya itu dengan mata penuh teguran.

Jenderal Kao berkata, “Memang saya setuju dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya ingin terlalu lama melepas rindu terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan berpisah dengan keluarga sudah merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya. Akan tetapi memang sebaiknya kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak menarik perhatian pihak pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih menjadi buronan dan sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di benteng agar mereka tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin.”

“Memang tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw Sin merupakan saksi yang sangat penting,” Milana berkata.
“Tetapi ada lagi orang yang lebih penting dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang terpaksa saya tinggalkan ketika utusan Kaisar datang,” Jenderal itu berkata. “Dia itu adalah Puteri Bhutan, Syanti Dewi.”

“Ehhh...?” Milana berseru kaget dan heran sekali. “Bagaimana dia yang dikabarkan hilang itu bisa berada di utara? Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos dari kepungan pemberontak dengan dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan tetapi lalu hilang, dan kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika Syanti Dewi dan pengawalnya itu hanyut di sungai.”

“Memang demikianlah,” jawab jenderal itu. “Dan nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng taihiap yang mengantarnya ke benteng saya.”

“Ahhh...!” Seruan yang keluar dari mulut Milana agak tergetar, namun dia sudah dapat menguasai hatinya yang berdebar keras, sedangkan suaminya, Panglima Han Wi Kong, diam saja pura-pura tidak melihat keadaan isterinya ketika mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng.

“Sedangkan gadis perkasa yang mengawalnya itu adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang juga telah mendahului datang ke benteng utara akan tetapi... dia tewas ketika menyelamatkan saya. Gak-taihiap meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya dengan harapan untuk melindunginya dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota raja atau kembali ke Bhutan. Akan tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika utusan Kaisar tiba. Saya amat mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri itu. Nah, sekarang saya harus singgah menjenguk keluarga di rumah dulu, kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan saya bergembira sekali ditemani oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini.”

Semua orang mengangguk setuju dan tak lama kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya, Jenderal Kao bersembunyi di dalam kereta yang membawanya ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung kota raja sebelah timur. Kian Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta dengan menunggang kuda sehingga orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka adalah adik-adik dari Puteri Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga bahwa yang berada di dalam kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi.

Kereta itu memasuki halaman gedung keluarga Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun dan menyelinap masuk diikuti oleh Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan dipersilakan menunggu di ruangan tamu, kereta itu kembali ke istana Puteri Milana. Tentu saja terjadi pertemuan yang amat mengharukan dan penuh dengan kegembiraan dan pelepasan rindu antara Jenderal Kao dan keluarganya.

Sementara itu Kian Lee dan Kian Bu kembali lebih dulu ke istana kakak mereka untuk membuat persiapan sebagai bekal di perjalanan. Menjelang senja, baru mereka berdua datang ke gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam kedua orang muda ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas.

Jenderal Kao keluar sebentar menemui mereka dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah malam menjadi gelap dan keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah mengatur dengan kepala penjaga malam itu sehingga mereka akan dapat keluar dari pintu gerbang utara tanpa banyak halangan dan dengan diam-diam. Dua orang kakak beradik itu menyetujui, kemudian melanjutkan permainan catur mereka.

Setelah malam mulai sunyi, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik ke atas genteng gedung itu dari arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan cekatan dan dia berindap-indap mengintai ke bawah gedung dari atas genteng. Bayangan hitam ini bukan lain adalah Ceng Ceng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini telah berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek Hoat tidak berdaya dengan sapu tangan dan sumpah pemuda itu, lalu melarikan diri sambil menyebar racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu menuju ke kota raja dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu.

Di tengah perjalanan inilah dia melihat Jenderal Kao Liang. Hatinya girang sekali karena pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak sanggup.

Pertama, dia masih ingat akan kebaikan jenderal ini kepadanya, bahkan melihat betapa dalam menghadapi kematian, jenderal ini masih ingat kepadanya dan bersembahyang kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak seperti dulu lagi, selalu timbul perasaan rendah diri dan malu bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya dahulu sebagai sahabat-sahabat baik. Ketiga, setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao, tentu saja pemuda itu menjadi sekutu jenderal ini.

Bagaimana dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda yang hendak dibunuhnya itu? Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang tentu akhirnya akan membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu!

Demikianlah, dengan hati-hati, Ceng Ceng membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal itu memasuki kota raja. Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia tidak berani ikut masuk karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga ketat. Apa lagi setelah dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri Milana, dia makin tidak berani masuk! Kakeknya dulu telah berpesan kepadanya untuk membawa Syanti Dewi kepada Puteri Milana.

Sekarang, tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang sudah ‘kotor’, bagaimana dia berani berhadapan dengan Puteri Milana yang dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya oleh mendiang kakeknya? Maka dia menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika dia melihat kereta yang dikawal oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah dikenalnya, diam-diam dia membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat melihat Jenderal Kao turun dari kereta itu memasuki gedung. Apa lagi ketika dia mencari keterangan dan mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal keluarga Jenderal Kao Liang, dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya malam.

Ceng Ceng telah meloncat naik ke atas genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya bahwa kalau dia tidak bisa menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal Kao, dia akan menampakkan diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan sapu tangan, kemudian menanyakan kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.

Tetapi Ceng Ceng sama sekali tidak menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti oleh dua pasang mata yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan, juga kegelian. Yang memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi masih asyik bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka yang sudah terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar dari atas genteng.

Keduanya saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah mengintai dari balik wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran. Kedua orang pemuda ini tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal wajah Ceng Ceng ketika ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat menimpa wajah cantik itu.

“Dia...!” Kian Lee berbisik dan jantungnya berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di pasar kuda, hatinya sudah tertarik sekali oleh kecantikan dara ini dan sekarang, gadis yang sering kali dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal Kao dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.

“Sssttt...” Kian Bu menegur.

“Bu-te, jangan... janganlah tergesa-gesa turun tangan... kita jangan sampai keliru, kita membayanginya saja...,” bisik Kian Lee.

Kian Bu menahan senyumnya. Rasakanlah, pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap kakaknya ini selalu dingin. Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang melihat seorang gadis cantik! Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun tidak ingin salah tangan sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh itu.

Kini Ceng Ceng yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua orang pemuda yang amat lihai, berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah, lalu melayang turun dengan amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela dan mengintai dari balik jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang kecil itu dia melihat Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki, bercakap-cakap dalam suasana yang mesra. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu jenderal itu bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke sana-sini, namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa sekali.

Dia sudah terlanjur masuk, penasaran kalau sampai tidak menemukan orang yang dicarinya. Diambilnya segulung kertas, kertas yang telah direndam obat yang dapat menimbulkan asap beracun yang membius orang. Dia ingin membius mereka yang berada di dalam kamar itu agar tertidur semua baru dia akan menggeledah dan mencari. Kalau tidak berhasil menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai topeng dan memaksa Jenderal Kao memberitahukan di mana adanya si laknat itu.

Akan tetapi, baru saja dia hendak membakar kertas itu pada lampu yang tergantung di situ, tiba-tiba terdengar bentakan Kian Lee, “Nona, apa yang hendak kau lakukan itu?”

Melihat menyambarnya dua sosok bayangan orang yang bagaikan sepasang burung rajawali melayang dari luar itu, Ceng Ceng terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar baginya untuk lari karena dua orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka cepat dia mendorong daun jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam, di mana Jenderal Kao dan anak isterinya berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk menutupi mukanya dengan sapu tangan dan baru dia teringat setelah dia telah berada di dalam kamar itu dan Jenderal Kao sudah memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat, tanda bahwa jenderal itu telah mengenalinya!

Maka cepat dia mengeluarkan bubukan putih dari sakunya, meremas-remasnya dengan tangan kanan dan tampaklah asap putih tebal mengebul dan menyelimuti dirinya.

“Kau... kau... Nona Ceng...,” Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat. Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.

“Bangsat, hendak lari ke mana kau?” Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.

“Jangan... mengganggunya...! Biarkan dia pergi...!” Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.

Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.

“Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia...!” kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.

“Dia... dia tadi..., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng...!” Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya. “Lekas kau suruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat tenang...”

Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang. Mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap prajurit-prajurit yang amat baik!

“Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa,” Kian Bu berkata.

Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu. “Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi, kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut.”

Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak yang menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.

“Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!” Kian Bu kembali membantah. “Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...” Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.

“Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur.”

“Akan tetapi dia tadi...” Kian Bu mencoba membantah.

“Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik... sampai mati pun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia... dia arwah Nona Ceng... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak aku sembahyangi.”

“Tapi...”

Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya, “Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mendiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan.”

Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang.

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah, “Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?”

Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut. “Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andai kata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor...”

Wajah yang tadinya marah itu kini berseri. “Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!”

“Ayah...!” Kao Kok Tiong berseru khawatir. “Biarkan aku yang menemuinya.”

Ayahnya menggeleng kepala. “Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri.”

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apa lagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya dari pada membawa kebaikan

Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor, “Tamu telah datang menghadap!” Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.

“Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?” Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya, “Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah.”

Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao, “Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang amat mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu...”

“Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagai mana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?”

“Sungguh, kalau tidak sangat terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu di antara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka aku harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberi tahu kepadaku di mana adanya orang itu.”

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kau cari itu?”

“Iiihhh...” Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Kenapa kau?” Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya.
“Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kau cari itu?”
“Aku... aku tidak tahu namanya...” Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung.

Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhu-nya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama keluarganya) pun dia sudah lupa, apa lagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara. Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran.

“Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kau cari itu? Apakah dia musuhmu?”

“Dia... dia adalah ayahku... akan tetapi aku tidak tahu namanya... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira...”

Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar, “Kau... kau... siapa namamu...?”

Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, “Nama saya Kok Cu...”

“Kok Cu...?!” Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.

“Kok Cu anakku...!” Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.

“Kok Cu, ya Tuhan... engkau ini...?” Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.

“Twako...!” Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.
“Twako...!” Kok Han juga mendekat.

Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.

“Ayah dan ibuku...? Ah, bagaimana...?” Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu.

Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu. “Mari kita semua duduk. Nah, Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum lagi menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara.” Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.

“Ayah..., Ibu...!” Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.

“Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang sangat hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?”

“Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!” Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya.
“Terima kasih, terima kasih...!”
“Mengapa kalian begitu bodoh?” Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata. “Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...” Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.

“Ayah...,” Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. “Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?”
“Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar...”

“Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!” Suma Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!” Kian Lee berkata.

Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguh pun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.

“Ibu, saya melihat persiapan sembahyang... siapakah...”
“Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!” Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang. “Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya.”

Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang.

Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.

“Mereka itu salah duga...” Kian Bu berbisik. “Dia belum mati.”

Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang. “Akan tetapi tidak perlulah kita menyangkal dan berdebat dengan mereka...”

“Ahhh...!”

Semua orang menjadi terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang.

“Hei, kau kenapa, Kok Cu?” Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai sembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.
“Ayah, siapa... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?” Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja.

“Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah mengorbankan diri dan tewas dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu.” Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya, “Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?”

Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas bagai ditusuki jarum-jarum beracun. Teramat perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat.

Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam goa, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat. Betapa pun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun yang sangat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang keji sekali, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya!

Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawa sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat dari pada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada di antara keluarga terhormat itu!

“Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?” Ibunya bertanya.
“Kok Cu, kau tadi kelihatan amat kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?” Jenderal Kao bertanya pula.

“Ayah, Ibu... aku amat terkejut karena... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini...” jawabnya. “Dia... dia belum mati, Ayah.”
“Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!” Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati!

Tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu!

Jenderal Kao Liang menghela napas panjang. “Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andai kata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?”

Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu kini telah menjadi gila karenanya!

“Kok Cu, sekarang kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai,” perintah Jenderal Kao.

Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.

“Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...” Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.

“Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu tentu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali karena aku dapat mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu.”

“Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!” ibunya menambahkan.

“Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu.”

Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata, “Engkau benar! Kalau tidak ada suhu-mu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhu-mu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kau laksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi..., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?”

“Maaf, Ayah. Karena aku harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...”

Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali.

Seperti setan cepatnya Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya rasanya tidak karuan. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggota keluarga yang mulia dan terhormat itu.

Ia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja! Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!

********************
Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.

Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya.

Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya...

“Aihh, Kongkong...!” Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.

Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam goa yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!

“Ahhh...!” Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu! Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji dari pada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hidup pun tidak.

Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara.

Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir mau pun batin, melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku pun menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak mau pun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya.

Di mana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan mau pun kelompok, mau pun negara. Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, di antara manusia, di antara bangsa dan negara.

Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apa bila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang!

Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang lain, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam mau pun membenci siapa pun!

Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku.

Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apa bila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akhirnya akan menimbulkan perubahan.

Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri!

Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apa lagi ketika dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul.

Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka.

“Sudah pastikah engkau, Twako?”
“Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya.”
“Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!”
“Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita.”

Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.

Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguh pun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Ada pun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu.

Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona.

Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!

Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan telah mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri.

Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat.

Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu!

Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan dari kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa amat terkejut. Ia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.

Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa.

Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam, “Siapakah di luar?”

“Aku ingin berjumpa dengan Pangeran,” kata Ceng Ceng.

Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.

“Nona, engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?”

“Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya.”

Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi sekaligus menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar.

“Bukalah sebelum terlambat,” Ceng Ceng berbisik. “Rumah ini sudah mereka kurung!”

Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya.

“Di mana dia?” Ceng Ceng bertanya.

Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.

Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya.....

Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-14
LihatTutupKomentar