Raja Pedang Jilid 08


Beng San berjalan cepat siang malam. Hanya kalau sudah hampir tidak kuat lagi saking lelahnya maka dia baru mengaso. la bermaksud pergi ke Shan-si, untuk bersembunyi di Kelenteng Hok-thian-tong di mana dahulu dia pernah bekerja sebagai kacung.

Dia harus dapat menyembunyikan dirinya untuk beberapa tahun lamanya, demikian kata pesan Lo-tong Souw Lee. Sesudah tubuhnya kuat betul dan ilmu-ilmu silat itu sudah dia latih sebaiknya, baru dia boleh memperlihatkan dirinya. Dan ucapan pesanan kakek buta itu sungguh tepat sekali. Buktinya setiap kali dia memperlihatkan diri, pasti timbul hal-hal yang hebat.

Lebih baik dia kembali ke daerah Sungai Huang-ho dan untuk sementara bersembunyi di kelenteng Hok-thian-tong. Terbayang olehnya para hwesio di kelenteng itu yang rata-rata amat sabar dan baik.

Kurang lebih sebulan kemudian sampailah dia di tepi Sungai Huang-ho. Dari tepi sungai itu ke utara, kurang lebih tiga puluh li lagi adalah Shan-si di mana terdapat kelenteng yang ditujunya. la sudah lelah sekali dan hari sudah menjelang senja.

Beng San mencari tempat yang enak di tepi sungai, di bawah sebatang pohon. Ia lalu mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun malam nanti, apa bila hawa udara terasa dingin dan jika banyak nyamuk akan mengganggunya. Sebagian dari daun-daun kering dia jadikan tilam tempat dia tidur.

Perutnya yang lapar tidak dipedulikannya. Beng San sudah terlentang di bawah pohon, mengenangkan pengalaman-pengalamannya selama dalam perjalanan ini. Ada hal yang amat berkesan di hatinya, yaitu ke mana saja dia berjalan, dia selalu melihat para petani bersikap penuh semangat menentang pemerintah Mongol yang sudah banyak membikin sengsara rakyat.

Beng San mulai mendengar nama besar pemimpin-pemimpin rakyat disebut-sebut orang. Yang paling terkenal dan sering kali dia dengar adalah nama besar Ciu Goan Ciang yang menurut para petani itu mempunyai kepandaian seperti dewa, malah memiliki kesaktian yang ajaib-ajaib.

Diam-diam Beng San mengenang semua itu dan mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar dari Tan Hok, lalu menghubung-hubungkan semua peristiwa antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai berhubung dengan suasana pemberontakan terhadap pemerintah Mongol ini.

Beng San adalah seorang anak kecil yang sejak dahulu hanya mempelajari ilmu filsafat dan kebatinan, malah akhir-akhir ini mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tentang politik dia sama sekali tidak mengerti.

"Aku tak akan pusing-pusing dengan segala urusan itu kalau aku sudah berada di dalam bangunan Kelenteng Hok-thian-tong yang luas," pikirnya.

Dia mengenang kembali masa dia kecil bekerja sebagai kacung di kelenteng itu. Suasana di dalam kelenteng hanya tenteram, aman dan damai. Apa bila melihat orang luar, tentu hanya orang-orang yang datang hendak bersembahyang, yaitu orang-orang yang datang dengan maksud baik, dengan hati bersih dan bermaksud memohon belas kasihan Yang Maha Kuasa melalui para dewa yang dipuja masing-masing pendatang.

Alangkah senangnya, pikirnya. Hidupnya akan tenteram sehingga dia dapat meneruskan latihan-latihannya dengan aman.

Saking lelah dan laparnya, begitu matahari terbenam Beng San sudah tidur pulas. Enak sekali dia tidur, tidak tahu bahwa dia telah tidur setengah malaman, bahwa bulan hampir purnama sudah naik tinggi, dan bahwa tadi dia lupa membuat api unggun. Tidak tahu dia betapa bahayanya kalau tertidur tanpa api unggun di tempat terbuka seperti itu, di dekat Sungai Huang-ho lagi yang daerahnya masih liar dan dekat dengan hutan-hutan besar.

Dia terbangun sambil menepuk pahanya. Di bagian celana yang robek, nyamuk menggigit pahanya dan mengisap darah sepuasnya.

"Nyamuk keparat!"

Beng San bangun duduk ketika mendengar suara nyamuk berngiung-ngiung di sekeliling kepalanya. Dia kini teringat bahwa dia belum membuat api unggun. Dia menoleh ke arah tumpukan kayu dan daun yang kelihatan jelas di bawah terang sinar bulan purnama yang menerobos di antara celah-celah daun pohon.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selain tumpukan kayu ini dia melihat barang lain lagi yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Sepasang barang berkilauan bagai lampu. Sepasang mata... dan segera terlihat olehnya bahwa mata yang mencorong itu adalah mata seekor binatang yang sebesar lembu muda dan berkulit loreng-loreng! Harimau yang besar sekali! Beng San menggigil.

Biar pun anak ini sudah memiliki kepandaian yang tinggi dalam tubuhnya, akan tetapi dia masih belum menyadari betul akan hal ini. Tentu saja dengan kepandaiannya, dia takkan sukar melawan harimau ini atau setidaknya, akan mudah dia menyelamatkan diri dengan meloncat ke atas pohon. Kepandaiannya memungkinkan dia melakukan hal-hal ini.

Akan tetapi dia sudah lumpuh, ketenangannya lenyap. Dia tidak boleh terlalu disalahkan. Siapa orangnya tak akan menggigil kebingungan dan ketakutan kalau begitu bangun dari tidur sudah menghadapi seekor harimau sebesar ini yang berdiri hanya dalam jarak tiga meter di depannya!

Harimau itu memang sejak tadi sudah mengintainya. Kini melihat bocah itu bergerak, dia segera mengaum dan meloncat, menerkam ke arah Beng San. Beng San terkesima dan tidak dapat bergerak, terpukau seperti kena sihir. Hanya matanya yang lebar itu terbuka melotot memandang, merasa ngeri karena seakan-akan sudah tampak olehnya gigi taring yang runcing serta kuku yang melengkung mengerikan.

Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh harimau itu terhenti di tengah udara, malah terjengkang ke belakang, berkelojotan dan roboh mandi darah. Tepat pada dadanya tertancap sebatang kayu hampir tembus ke punggungnya. Siapakah yang ‘menyate’ harimau ini?

Beng San menengok ke kanan kiri, ke belakang dan alangkah herannya ketika dia melihat munculnya bayangan merah. Dara cilik berpakaian merah, si gagu bernama Bi Goat itu telah berada di depannya.

Beng San sampai bengong terlongong, akan tetapi dia segera tersenyum ramah. Tidak mungkin dia tidak akan gembira kalau bertemu dengan bocah ini, dara cilik cantik manis yang gagu, yang menimbulkan rasa sayang, rasa kasihan dan terharu, yang membuat dia timbul rasa hendak melindungi, hendak membelanya.

"Kau...?" tegurnya sambil berdiri.

Akan tetapi apa bila dahulu Bi Goat tersenyum-senyum gembira, kemudian mengajak dia bermain-main, kini sikapnya jauh berbeda. Gadis cilik ini nampak penuh ketakutan dan kekhawatiran, wajahnya yang biasanya hampir selalu kemerahan itu kini agak pucat. Dia menudingkan telunjuk kiri ke arah bangkai harimau, telunjuk kanan ke arah belakangnya agak ke atas, kemudian menuding ke dada Beng San. Lalu dia meloncat dan menendangi bangkai harimau yang sudah tewas itu.

Beng San memandang bingung, juga kagum betapa setiap kali kaki kecil itu menendang harimau, bangkai harimau yang besar itu pasti tersepak maju ke depan. Sungguh dahsyat tenaga kaki kecil ini, pikirnya.

"Adik Bi Goat, kau hendak bilang apa? Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Kau telah membunuh harimau itu, hebat sekali kepandaianmu!"

Akan tetapi Bi Goat nampak tidak sabar karena Beng San tidak mengerti maksud gerak tangannya tadi. la membanting-banting kakinya, memegang dengan tangan Beng San dan ditarik, diajak pergi.

"Ehh, ehh, malam-malam kau hendak mengajakku ke manakah?" Beng San terheran dan menolak.

Kembali Bi Goat menuding-nuding ke belakangnya dan pada waktu itu dari jauh terdengar suara melengking tinggi bagaikan orang menangis. Seketika muka Beng San menjadi pucat. Celaka, kiranya Song-bun-kwi berada dekat situ. Kiranya Bi Goat ini tadi memberi isyarat bahwa Song-bun-kwi berada dekat dan menyuruh dia pergi bersembunyi.

Tentulah gadis cilik ini tadi hendak menyatakan bahwa karena suara auman harimau tadi, maka Song-bun-kwi akan menyusul ke situ dan Beng San akan celaka. Sebelum Beng San meyakinkan dugaannya, Bi Goat sudah menarik tangannya, diajak lari cepat sekali ke arah utara.

"Betul, ke utara. Tiga puluh li dari sini ada kelenteng besar, kita bisa sembunyi di sana," katanya sambil ikut berlari cepat.

Akan tetapi tiba-tiba Bi Goat menyeretnya meloncat ke dalam... sungai. Gadis cilik itu tentu saja sudah hafal akan gerak-gerik ayahnya yang luar biasa. Dia gagu, tetapi cerdik sekali. Setelah kedua orang anak itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho, baru Beng San tahu akan maksud hati Bi Goat.

Gadis ini mengajaknya bersembunyi di bawah alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai itu. Untung sekali Bi Goat tidak terlambat dalam tindakannya ini karena baru saja mereka bersembunyi di balik alang-alang dan merendam diri ke dalam air sungai, di situ sudah berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berdiri bagaikan patung memandangi bangkai harimau dan bekas tempat tidur Beng San. Kakek sakti ini terdengar menggerutu seorang diri.

"Hemmm, membunuh harimau dengan timpukan sia-san (panah gunung). Bagus, Bi Goat. Tapi kenapa lari pergi? Hemmm, ada orang lain di sini, siapa...?" Dengan langkah lebar kakek itu lalu berjalan mengejar ke utara, langkahnya lebar jalannya kelihatan perlahan saja akan tetapi sebentar saja lenyap dari situ.

Beng San hendak keluar dari belakang rumput alang-alang, akan tetapi mendadak leher bajunya ada yang mencengkeram dan dia ditarik kembali ke balik alang-alang. Ternyata yang mencengkeramnya adalah Bi Goat. Sebelum dia memprotes, telapak tangan yang kecil dari tangan kanan gadis itu sudah membungkam mulutnya.

Beng San terheran-heran, juga merasa geli. la merasa seperti anak kecil dihadapan gadis ini. Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan betapa cerdiknya gadis ini dan betapa gegabah dan bodohnya dia sendiri.

Bagaikan seorang iblis, tahu-tahu Song-bun-kwi sudah datang lagi ke tempat tadi, berdiri seperti patung memandangi harimau. Ia bergidik dan merasa bulu tengkuknya meremang! Seandainya dia mengeluarkan suara dan mulutnya tidak dibungkam oleh tangan gadis gagu itu, ahh, tentu Si Iblis Berkabung itu sudah akan mendapatkannya.

la menoleh untuk memandang Bi Goat dengan terima kasih. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia sudah kehilangan gadis cilik itu. Entah ke mana perginya Bi Goat yang tadi berada di sebelahnya!

Selagi dia merasa kebingungan, mendadak sekali ada orang yang menarik pundaknya ke bawah sampai kepalanya terbenam ke dalam air. la gelagapan, akan tetapi kembali ada tangan kecil yang menyusupkan setangkai alang-alang yang berlubang ke mulutnya. 

Baiknya Beng San juga tergolong anak yang cerdik, maka seketika dia dapat menangkap maksud perbuatan aneh dari Bi Goat ini. Tentu dia disuruh bersembunyi dengan seluruh tubuhnya di dalam air dan tangkai alang-alang itu dapat dipergunakan untuk bernapas.

Maka dia pun mengisap hawa dari tangkai itu yang menyembul ke atas, bersembunyi di antara rumpun alang-alang. Dengan girang dan berterima kasih dia memegang tangan kiri Bi Goat. Dua orang anak itu sambil berendam ke dalam air saling berpegang tangan, hati mereka berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran.

Di dalam air Beng San tidak tahu apa yang terjadi di atas, tapi andai kata tahu dia pasti akan bergidik kengerian. Beberapa detik setelah kepalanya terbenam air, Iblis Berkabung itu menggunakan tangannya mencengkeram remuk sebuah batu, lalu dia menyambitkan pecahan batu ini ke sekelilingnya, juga ke permukaan air dan ke dalam alang-alang! Andai kata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh untuk menembus kulit kepala!

Setelah mereka berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. Dia lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan.

Tiba-tiba nampak gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondong gadis cilik itu, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawanya, yang biar pun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.

"Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun."

Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ahhh, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati?

Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberi tahukan tempatnya kepada Song-bun-kwi. Meski pun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.

"Bagaimana baiknya? Kau kedinginan, Bi Goat."

Gadis cilik itu hanya menggeleng kepala, lalu memberi isyarat kepada Beng San untuk melanjutkan perjalanan ke utara.

"Kau tentu ikut denganku, bukan? Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?"

Bi Goat mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, lalu ujung sepatunya bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu. Huruf-huruf itu berbunyi: Harus sampai di kelenteng sebelum matahari terbit.

Beng San memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman. "Kau hebat! Biar pun gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! Hebat, Bi Goat, kau hebat...!"

Gadis cilik itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Hal ini tidak mengherankan karena pakaian gadis itu basah kuyup, ditambah berlari-larian di dalam udara yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu.

Beng San mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa di tubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin.

Mendadak Bi Goat mengeluarkan suara. "Uhhh!"

Ia cepat melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan.

Beng San maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka. Diam-diam dia pun merasa kagum sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasakan serangan tenaga dalam!

"Bi Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh," Beng San berkata.

Bi Goat memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San juga memiliki ilmu kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak melawan ketika sambil berjalan pemuda itu menyalurkan hawa panas yang diterimanya dengan gembira, karena tidak lama kemudian gadis cilik itu merasa tubuhnya hangat, sama sekali tidak menderita kedinginan lagi.

Hari telah menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan tangan tiba di perbatasan Shan-si. Kelenteng Hok-thian-tong berdiri di luar sebuah dusun, hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-ho. Dengan gembira dan penuh harapan Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu.

Betapa kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa yang dulunya merupakan bangunan-bangunan kelenteng yang besar, tua dan kuat, kini hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka. Bangunan-bangunan itu ternyata telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan saja Kelenteng Hok-thian-tong dilanda kebakaran. Beng San berdiri bengong.

Bi Goat yang sejak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. Dia segera menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.

"Celaka sekali, Bi Goat," kata Beng San perlahan. "Agaknya terjadi sesuatu yang hebat dengan Kelenteng Hok-thian-tong. Ahhh, bagaimana nasibnya para hwesio dan ke mana perginya mereka itu?"

Dasar Beng San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, maka sebentar saja dia sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi dirinya dan kini malah menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang.

Dengan suara ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas kelihatan dia memperingatkan Beng San akan bahaya yang mengancam mereka.

Barulah dia sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-bun-kwi yang setelah malam terganti pagi tentu akan lebih memudahkan kakek itu mencari mereka. la ingat bahwa tak jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan beberapa orang tua di dusun itu, yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung Kelenteng Hok-thian-tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya untuk bersembunyi.

Setelah berpikir demikian Beng San lalu menarik tangan Bi Goat, diajak berlari menuju ke dusun itu. Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumah pun belum membuka pintunya?

Sambil menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung yang sunyi itu. Jangankan manusia, seekor anjing pun tidak tampak di situ. Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu sudah terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa Kelenteng Hok-thian-tong.

Dia segera menuju ke rumah kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la dapat mempercayai penuh kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dan aman kecuali rumah kakek Sam itu.

Diketuknya pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali kakek Sam sudah membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan kakek Sam untuk minta keterangan tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng Hok-thian-tong.

"Tok-tok-tok!"

Untuk ke empat kalinya dia mengetuk, kali ini agak keras. Belum juga ada jawaban dari dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh. Beng San menjadi pucat mukanya.

Bi Goat memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini terhuyung. Dengan muka gelisah Bi Goat menuding-nudingkan jari telunjuknya seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan...

Beng San meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor ular menyerbu keluar dari pintu rumah yang baru terbuka itu!

"Celaka! Bi Goat, mundur...!" teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.

Dahulu pengalaman dengan ular-ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok. Dia masih bergidik bila mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan ekor ular yang menjijikkan.

Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak kelihatan takut kepada barisan ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana masih terdengar lengking tangis sayup sampai.

Celaka betul, pikir Beng San. Dari belakang datang Song-bun-kwi mengejar, dan di depan menghadang barisan ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi Goat? Mungkin Bi Goat tak akan diganggu Song-bun-kwi, akan tetapi ular-ular ini?

Sekali lagi Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dengan benda yang baru diambilnya itu di tangan, Bi Goat melangkah maju dan... dengan enaknya ia berjalan di antara barisan ular itu yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali.

Beng San terheran-heran dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di tangan Bi Goat. Agaknya benda itulah yang membikin takut barisan ular itu.

Suara lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang melindunginya dari ular-ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak usah khawatir akan dapat dicelakai orang. Apa lagi Song-bun-kwi sudah datang mendekat, siapa yang berani mengganggu anak ini?

Berpikir demikian, Beng San lalu berkata. "Bi Goat, selamat tinggal!"

Dan dia talu lari terus ke utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling pinggir. Anehnya, serdadu itu segera menyelinap dan menyembunyikan diri ketika melihat Beng San lari lewat.

Beng San tidak peduli dan lari terus sampai ke pinggir Sungai Huang-ho, kemudian lari di sepanjang tepi sungai menuju ke barat. Setelah dia berlari belasan li jauhnya dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar dari ancaman Song-bun-kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di belakangnya!

Beng San menjadi kaget setengah mati dan dia lalu mempercepat lagi larinya. Napasnya sampai hampir putus dan napasnya terengah-engah ketika di sebuah tikungan ia melihat iringan-iringan gerobak. Ada tujuh buah gerobak banyaknya, gerobak yang mengangkut karung-karung gandum.

Iring-iringan gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan ‘pajak’ dari para petani, dan dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota, disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apa bila melihat pawai gerobak ini sebab di situlah adanya hasil jerih payah mereka selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh dibilang mereka tidak ke bagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan untuk menyambung hidup.

Beng San melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan di setiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis di belakangnya telah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat, Beng San pun tidak berpikir panjang lagi.

Diam diam dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu. Tanpa diketahui para pengawal, dia lalu meloncat ke dalam gerobak dan bersembunyi di antara karung-karung gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan bersih.

Dia mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya. Bocah ini nampak melengut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri gerobaknya oleh karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya tinggal mengikuti yang depan.

Setelah iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan di luar kemudian gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar suara Song-bun-kwi yang galak berpengaruh.

"Aku mencari seorang anak laki-laki bermuka hitam, kadang-kadang putih, kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?"

Terdengar suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang di antara para pengawal itu membentak, "Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami!"

Akan tetapi ucapan ini disusul dengan pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga. Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa kakek Song-bun-kwi, ketawa yang seperti orang menangis.

"Anjing-anjing Mongol berani kurang ajar terhadapku? Mau tahu siapa aku? Song-bun-kwi inilah aku!"

Kembali terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.

"Ampun, Locianpwe, ampunkan kami... di sini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe maksudkan tadi..."
"Hah, siapa percaya mulut anjing Mongol? Biar kuperiksa sendiri!"

Song-bun-kwi menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San. Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka, berkarung-karung banyaknya dan bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa sekali Song-bun-kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang meninggi bagai orang menangis.

Buru-buru para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman-teman mereka yang mati oleh pukulan Song-bun-kwi, dimasukkan ke dalam gerobak kemudian iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya.

Ke manakah perginya Beng San? Bagaimana Song-bun-kwi tidak dapat menemukannya? Kalau saja Song-bun-kwi tidak begitu tergesa-gesa, kiranya pada gerobak ke tiga dia akan melihat sebuah karung gandum yang agak berbeda dari pada yang lain karena di dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng San!

Anak yang amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong di situ, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Di antara puluhan karung gandum itu sepintas lalu memang tak akan dapat terlihat perbedaannya.

la bernapas lega ketika Song-bun-kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu telah berjalan kembali. Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum bahwa watak Song-bun-kwi takkan putus asa begitu saja. la segera mencari akal dan keluar dari karung gandum.

Benar saja dugaan Beng San. Belum juga tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.

"Apa yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe? Ada keperluan apa gerangan Locianpwe kembali?" terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.
"Buka semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!"

Para pengawal sibuk membuka tenda gerobak. Song-bun-kwi lalu meneliti dengan penuh perhatian. Pada gerobak ke tiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa yang di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang bergerak-gerak!

"Ha-ha-ha-hi-hi! Beng San bocah setan, kau hendak lari ke mana?" Sambil tertawa-tawa gembira Song-bun-kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu.

Para pengawal ini saling pandang dengan heran. Bagaimana di antara berkarung-karung gandum itu terdapat manusianya? Dengan tergesa-gesa mereka melanjutkan perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-bun-kwi memang membikin takut semua orang dari golongan mana pun juga.

Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.

"Keparat, kusirnya tertidur agaknya!" bentak kepala pengawal sambil berlari menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini.

Ketika dia memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada kusirnya! Ke mana perginya kusir yang masih muda itu? Tadi dia masih nampak melengut, melindungi mukanya dari sinar matahari.

Semua pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat ketika kepala pengawal berseru, "Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi Song-bun-kwi adalah dia!"

Kekhawatiran mereka segera terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-bun-kwi sudah datang membawa karung yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-bun-kwi berkelebatan ke sana ke mari.

Beberapa belas menit kemudian pada waktu kakek ini pergi, di situ sudah tidak ada lagi manusia hidup. Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-bun-kwi si Iblis Berkabung!

Apakah yang terjadi? Ke mana perginya Beng San? Kalau saja Beng San tahu apa lagi melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatannya, kiranya dia tak akan suka melakukan akalnya itu.

Tadi setelah selamat dan tidak dapat ditemukan Song-bun-kwi ketika dia bersembunyi di dalam karung gandum, dia merasa pasti bahwa kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat dia mengambil keputusan menggunakan siasat ini. Dari dalam gerobak dia merayap ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda itu, lalu menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya.

Kemudian dia memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir, memakai topi caping lebar menutupi mukanya. Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-bun-kwi datang lagi dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi.

la merasa beruntung sekali bahwa kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu. Setelah kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan liar di pinggir Sungai Huang-ho.

Karena takut kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-bun-kwi, Beng San berlari terus menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia berhenti. la telah sekali, lelah dan lapar. Agaknya mala petaka masih banyak mengelilingi dirinya.

Baru saja dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam berkilau!

"Eh, eh... ada apa... mau apa...?" Beng San berseru gagap dan merayap hendak bangun.
"He-he-heh!" Seorang di antara mereka yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali. "Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman gandum dan arak. He-heh-heh!"
"Apa...?!" Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat. "Kalian ini manusia hendak makan daging manusia? Apakah kalian ini iblis?"
"Sekarang ini jamannya orang makan orang, He-he-heh, apa anehnya kalau kami hendak makan engkau, bocah? Setiap hari baik di kota atau di dusun kau melihat orang makan orang, Ha-ha-ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain. He-heh-heh!"

Para pengurung yang wajahnya amat liar dan bengis-bengis itu merapat maju. Beng San menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul, tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul amarahnya. Masa dia harus menyerah mentah-mentah saja untuk dijadikan mangsa orang-orang liar ini?

Tidak, dia harus melawan! Latihannya ilmu silat sudah banyak maju, setiap saat terluang tidak pernah dia lupa untuk melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak.

Mendadak terdengar bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Di antara orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata rahasia menancap pada batang pohon.

"Ahh, Pek-lian-pai yang datang...! Kawan-kawan, lari...!" seru kepala gerombolan liar itu.

Mereka lari cerai-berai sambil menyeret teman-teman mereka yang tadi terjungkal roboh. Sebentar saja di sana tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya di sana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk bunga teratai putih. Itulah Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggota perkumpulan Pek-lian-pai.

Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu memanggil.

"Tan-twako..., aku Beng San di sini...!"

Dari dalam hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah, ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita di antara mereka kelihatan cantik dan gagah, sudah setengah tua akan tetapi masih cantik dan gesit gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang di antaranya bertanya ramah.

"Kau tadi memanggil Tan-twako, siapakah yang kau maksudkan?"

Beng San melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan keren.

"Aku maksudkan pemimpin rombongan Pek-lian-pai yang bernama Tan Hok, dia adalah sahabat baikku."

Terdengarlah seruan-seruan heran dan kaget di antara belasan orang Pek-lian-pai itu. Si pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang.

"Aha, kiranya kau yang bernama Beng San? Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang memimpin rombongan Pek-lian-pai dari selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu Beng San seperti yang pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami tidak ragu-ragu untuk mengusir perampok-perampok pemakan manusia itu.”

Beng San segera memberi hormat dan berkata, "Banyak terima kasih kuucapkan kepada kakak-kakak yang gagah perkasa. Semakin yakinlah hatiku sekarang bahwa Pek-lian-pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?"

Beng San merasa sungkan bukan main karena beberapa orang Pek-lian-pai itu sudah mengeluarkan roti dan air minum untuknya.

"Kau makanlah dahulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau adalah kenalan saudara Tan Hok saja maka kami menolongmu, akan tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San."

Karena perutnya memang lapar sekali, tanpa malu-malu lagi Beng San kemudian makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman Song-bun-kwi.

Akan tetapi setelah mengumpulkan paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggota Pek-lian-pai itu seorang demi seorang lalu pergi dari tempat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi berbicara dengan Beng San, yang masih duduk dan menghadapi anak itu.

"Ke mana perginya teman-teman tadi?" Beng San bertanya sehabis makan, oleh karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apa lagi setelah keadaan menjadi makin gelap.
"Ahh, sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah ini," pemimpin Pek-Lian-pai itu berkata.

Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang sudah kosong. "Sekali lagi terima kasih, Twako... ehh, siapakah nama Twako?"

"Namaku Ciu Tek," jawab orang itu singkat.

"She Ciu...? Kalau begitu Twako ini tentunya masih terhitung keluarga dengan pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?"

Orang itu nampak gugup, akan tetapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan mukanya.

"Aaahhh... orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Ehh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau juga pernah bertemu dengannya dan di mana dia sekarang?"
"Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi aku belum pernah bertemu muka dengannya dan tentu saja aku juga tidak tahu di mana tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?"
"Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku ingin mendapat kepastian terlebih dahulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kau buka baju atasmu, ingin aku melihat pundak dan dadamu,” kata Ciu Tek.

Beng San membiarkan saja pemimpin orang-orang Pek-lian-pai itu membantu ia melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan diceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.

Dengan sebatang obor yang baru dinyalakannya, Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San.

"Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak mungkin salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!"

Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya. "Ciu-twako, apa kau bilang? Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main."

Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?

"Adik Beng San, jawablah dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?"

Beng San mengangguk, membasahi, bibirnya dengan lidah. "Aku... aku sudah lupa akan segala... aku terdampar oleh ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng... aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?"

Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira, "Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carimu ke mana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau di sini. Ahh, girang sekali hatiku!"

Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu? Ia sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.

"Ciu-twako... di mana... di mana... adanya mereka itu...?" Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.
"Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu."

Ciu Tek memberi isyarat dengan suitan. Muncullah seorang temannya, seorang anggota Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.

"Kui-moi, kau antarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga," kata Ciu Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.

"Ciu-twako, jadi aku she... she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ahhh, Twako yang baik, ceritakanlah, aku sudah tidak sabar menanti." Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.

"Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik)."

Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalau kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.

Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!

"Ciu-twako," katanya dengan suara gemetar, "jika ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"
"Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap..."

Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari.

Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, ketika dia menjadi kacung di kelenteng dan diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu.

Dan sekarang kelenteng itu sudah habis di makan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.

"Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah yang nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu."

Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun telah berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur. Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya.

Dia akan bertemu dengan ayah bundanya? Ahhh, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk bisa mempercayainya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu.

Malam itu terasa amat panjang olehnya.....

Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadi suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya menjelang tiba.

Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain dia tidak peduli lagi.

Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya di antara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian muncullah dua orang. Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, matanya sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Sambil tersenyum-senyum dua orang ini menghampiri Beng San dan Ciu Tek.

Beng San segera bangkit berdiri, memandang bergantian pada dua orang itu. Lehernya terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.

"Adik Beng San, itulah mereka, ayah beserta ibumu. Sambutlah," berkata Ciu Tek sambil tersenyum. "Baik-baiklah kau dengan ayah ibumu, aku harus pergi."

Ciu Tek segera meninggalkan tempat itu tanpa pernah mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri memandang dua orang yang baru datang itu.

"Beng San, ahh... kau sudah begini besar... ahh, sampai pangling aku... hampir delapan tahun kau lenyap... ahh, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?" kata wanita itu dengan suara terputus-putus. Sapu tangannya digosok-gosokkan di matanya yang bercucuran air mata.

Laki-laki itu pun melangkah maju, suaranya besar parau. "Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kau lepas bajumu..."

Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya di saat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya hingga baju itu terbuka dan tampak dada beserta pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan merangkulnya.

"Ahh, kau betul Beng San anakku...” Diciuminya pipi dan leher Beng San.

Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu, bisik hati nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa disengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal serta beraroma harum minyak wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika dia tersenyum.

"Beng San, anakku… mari sini, Nak... biarkan ibumu memelukmu..."

Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis terisak-isak.

"Ayah... Ibu...? Kenapa... kenapa…?" bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.
"Kenapa…? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San...?" Ibunya bertanya.

Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini... pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan tadi malam?

Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik. "Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?"
"Membiarkan terlunta-lunta? Ahhh, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk mencarimu," kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. "Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru." la berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari sutera indah berwarna biru muda untuk Beng San.

Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu. "Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri."

Beng San menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar. Cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. Dia hanya merangkapkan pakaian baru itu di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.
"Ahh, coba lihat. Alangkah tampannya anak kita..." Sambil tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San.

Beng San mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. Dia merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Ternyata ibunya memang pandai bicara.

Dia teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara dari pada Kui Lok atau Thio Ki. Bahkan Thio Bwee yang amat pendiam juga lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara dari pada kaum laki-laki?

"Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kenapa dia tidak tahu bahwa aku adalah anak Ayah dan Ibu?"

Ayahnya nampak bingung. "Tan-twako...? Siapa itu... ahh, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?"

"Ketahuilah, Beng San," Ibunya menyambung cepat. "Tan Hok itu adalah pemimpin dari Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami telah bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata benar, terima kasih kepada para sianli (dewi) di kahyangan."

Hemmm, ibunya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia terasa dirinya asing.

”Sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu semenjak kau terbawa hanyut oleh Sungai Huang-ho, anakku,” Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, memegangi tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang.

Terharu juga Beng San melihat sikap Ayahnya yang terus diam saja, hanya membuat api unggun dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa. Hal yang amat kecil ini saja tidak terluput dari perhatian Beng San.

Mengapa justru ayahnya yang memanggang daging? Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya? Kenapa ibunya agaknya tak mengacuhkan dan kenapa ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya?

"Beng San, kenapa melamun? Aku minta kau ceritakan pengalamanmu."

Ketika hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat berbahaya. Dia lalu teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee. Karena dia mengerti tentang Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana keberadaan Lo-tong Souw Lee, dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau kini dia menceritakan semua itu kepada ayah bundanya, bukankah itu sama saja dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga?

"Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya, aku sudah tak ingat lagi," ia mulai menuturkan pengalamannya, "tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng Hok-thian-tong dan menjadi kacung melayani para hwesio di sana."

la menarik napas panjang karena teringat lagi pada kelenteng yang terbakar itu. "Aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho dan bahwa namaku Beng San."

"Kasihan kau, anakku..." Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran.

Beng San merasa amat heran betapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya.

"Lalu bagaimana lanjutannya, Nak?"

Sementara itu, Ouw Kiu sudah pula duduk di situ, mendengarkan cerita Beng San sambil memegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan memanggang daging. Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api, jarang sekali menatap wajah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata Beng San yang tajam luar biasa itu.

Beng San kemudian menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang. Ketika dia bercerita sampai di sini, ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya berseru kaget.

"Apa?!" Kau diambil murid Thian-te Siang-hiap? Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya dan mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut?" Sepasang mata ibunya terbelalak memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka.

Kembali Beng San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya nampak terlalu dibuat-buat. Dia lebih bangga akan sikap ayahnya yang pendiam dan seakan-akan tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguh pun corak ayahnya ini lebih banyak menakutkan dari pada gagah. Betapa pun juga, dia merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-te Siang-hiap dan tahu akan Im-yang Sin-kiam-sut.

"Ahh, aku hanya baru mempelajari teorinya saja, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan."
"Bagus, anakku. Ahhh, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!" Ibunya memeluknya serta mencium keningnya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan panas, hatinya malu dan jengah.
"Teruskanlah, Nak, teruskan penuturanmu."

"Ahh, Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya dari pada itu, setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai rebutan oleh orang-orang jahat, malah sudah beberapa kali hampir saja aku dibunuh karena warisan ini,” Beng San berkata menyesal.
"Ehhh...?? Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani mau membunuhmu? Keparat, kuhancurkan kepalanya nanti!" Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah sekali.

Untuk sejenak hati Beng San jadi terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.

"Ahh, Ibu... itulah celakanya... selama ini yang selalu mengejar-ngejarku dan mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan..."
"Hemmm, siapa mereka? Katakan!" Ouw Kiu yang sejak tadi hanya diam saja tiba-tiba mengeluarkan suaranya yang parau.

Kembali Beng San merasa bangga karena ayahnya ini pun agaknya marah mendengar bahwa dia hendak diganggu orang. Baru kini dia merasa alangkah enak dan senangnya mempunyai ayah ibu, ada orang yang melindungi dan membelanya!

"Pertama adalah Song-bun-kwi, ke dua Hek-hwa Kui-bo, dan masih banyak lagi, mungkin semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka ingin merebutkan Im-yang Sin-kiam-sut."

Beng San memandang tajam ayah bundanya. Dia tak akan heran kalau melihat mereka kaget dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat ayahnya bahkan hanya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!

"Ha-ha-ha, Beng San. Cuma orang-orang macam Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo saja kau anggap hebat? Ahh, tadinya kukira iblis neraka yang mengganggumu. Kalau hanya mereka itu, andai kata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka akan diganyang mentah-mentah oleh ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu bahwa ayah dan ibumu juga bukan orang lemah, apa lagi ayahmu. Hemmm, kiranya pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami temukan, kalau tidak, ahhh... sangat berbahaya. Kau harus lekas beri tahukan Im-yang Sin-kiam-sut kepada kami. Di bawah pimpinan ayahmu, kau akan dapat kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu."

Namun Beng San masih ragu-ragu. Betulkah ayah bundanya akan mampu menghadapi Hek-hwa Kui-bo atau Song-bun-kwi? la tak mau menyeret ayahnya atau ibunya sehingga jiwa mereka terancam pula.

la menggeleng kepala dan berkata, "Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya.”

“Hemmm, agaknya kau belum percaya akan kepandaian ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan melihat sendiri buktinya. Sekarang, kau lanjutkan dulu ceritamu."

Beng San lalu menceritakan pengalamannya ketika dia ditolong oleh Lo-tong Souw Lee dan kemudian menerima latihan-latihan dari kakek buta itu serta mendapat penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri agar dapat mempelajari Im-yang Sin-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.

"Ahhh... kau malah bertemu dengan dia juga? Apakah Liong-cu Siang-kiam masih ada padanya?" tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.
"Masih ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-cu Siang-kiam dan apakah Ibu juga mengenal Lo-tong Souw Lee?"
"Hi..hi..hi, bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-cu Siang-kiam yang dicuri kakek itu dan menghebohkan orang seluruh negara? Dan tentang Lo-tong Souw Lee sendiri... ahhh, dia itu adalah sahabat baik ayahmu!"
"Sahabat baik Ayah?" Beng San menengok kepada ayahnya yang kini telah memandang panggang dagingnya dengan muka muram lagi. "Akan tetapi dia sudah sangat tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah... Ayah masih muda..."

"Dalam persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia," ibunya membantah, "ayahmu sahabat baik Lo-tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah ayahmu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam seperti tokoh-tokoh lain? Karena sahabat baik, ayahmu segan melakukan itu. Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-tong Souw Lee sudah berlaku amat baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami juga membelanya dari ancaman orang-orang kang-ouw. Aku usulkan supaya kita bertiga pergi mengunjunginya, di sana kau boleh memperdalam Ilmu Im-yang Sin-kiam-sut di bawah asuhan ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang sudah buta itu." Ibunya lalu meraba pundak ayahnya dan bertanya, "Ehh, bagaimana pendapatmu?"

Ouw Kiu menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya. "Boleh... boleh..."

"Beng San, kau katakan di mana tempat sembunyinya kakek tua buta itu? Kita segera pergi mengunjunginya sekarang juga."

Beng San ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-tong Souw Lee? Apa bila tidak benar, berarti mengunjunginya sama dengan memancing datangnya bahaya untuk kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai malah membahayakan keselamatan Lo-tong Souw Lee dan juga keselamatan ayah bundanya.

Tiba-tiba Beng San merasa terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat sana. Sebelum dia dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Sin-siang-hiap (Sepasang Pendekar Sakti)! Serahkan anakmu kepadaku!"

Dan tiba-tiba saja di situ sudah muncul Hek-hwa Kui-bo dengan sikap mengancam sekali. Beng San memandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran.

Ibunya segera melompat mendekatinya dan memeluknya. "Jangan takut, lihat saja bagai mana ayahmu menggempurnya," bisiknya.

Ouw Kiu, ayah Beng San, berdiri dengan malas-malasan, memandang kepada Hek-hwa Kui-bo dan berkata. "Hek-hwa Toanio, harap kau jangan mengganggu anakku." Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara menyindir. Tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu.

Dengan tenang Ouw Kiu membuka kedua lengannya dan sepasang telapak tangannya menyambut serangan nenek itu. Terdengar suara keras dan... tubuh nenek itu mencelat ke belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Sambil mengeluarkan suara pekik yang mengerikan, tubuh Hek-hwa Kui-bo berkelebat dan lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada ayahnya penuh kekaguman, matanya melotot dan mulutnya melongo.

Demikian mudah ayahnya mengalahkan Hek-hwa Kui-bo. Padahal nenek itu amat ditakuti oleh seluruh dunia kangouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya. Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri ayahnya, memeluk pinggang ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan ayahnya yang hanya mengelus-elus rambut kepalanya.

Sekarang Beng San tak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya mengunjungi Lo-tong Souw Lee. Mereka bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang Sungai Huang-ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan.

Memang, lembah Sungai Huang-ho menjadi tamasya alam yang amat indahnya di waktu airnya tidak mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu mengamuk, semua pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan.

Dengan gembira ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan tentram. Ayahnya demikian lihai, tentu ibunya juga. la takut apa? Bahkan ketika mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan muka dengan Song-bun-kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum mengejek.

"Ehh, Song-bun-kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh membanggakan diri sebagai seorang jagoan. Hayo, kau lawanlah ini Ayahku dan Ibuku. Sin-siang-hiap!"

Ayah dan ibunya dijuluki Sin-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah kedua-duanya memakai julukan yang ada huruf saktinya? Ayahnya berjuluk Naga Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi keduanya mendapat julukan Sepasang Pendekar Sakti!

Song-bun-kwi berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini selalu dicari-carinya akan tetapi tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi Sungai Huang-ho. Dan anak ini begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari seperti dulu.

Sementara itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali saat berhadapan dengan Song-bun-kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh ayahnya menjadi gemetar, dua kakinya menggigil. Ibunya juga pucat dan hanya meraba gagang pedang tanpa mencabutnya.

"Sin-siang-hiap? Ha-ha-ha, Sin-siang-hiap?" Song-bun-kwi mengeluarkan suara mengejek dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah mengirim dua serangan ke arah Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio.

Kedua orang suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin pukulan Song-bun-kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan menjauh. Kiranya mereka memang sengaja menggunakan Ilmu Trenggiling Turun Gunung itu, untuk menggelindingkan tubuhnya sampai jauh, kemudian sama-sama meloncat bangun dan... melarikan diri!

Beng San merasa heran dan amat marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia menerjang maju sambil memaki, "Iblis tua, berani kau memukul ayah bundaku?!"

Song-bun-kwi mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya pada saat tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu pahanya kena dipukul oleh Beng San! Ia merasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa dingin seperti kemasukan es.

la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan Im-sin-kiam dari bocah itu. Bukan main keder hatinya. Andai kata latihan anak itu sudah lebih matang, sangat boleh jadi pahanya akan patah! Hebat sekali, anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya.

la lalu mengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut. Kasihan sekali Beng San. Benar bahwa dia sudah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justru karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna, kepandaian silatnya jadi amat terbatas.

Menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, mana dia dapat menandinginya? Dalam beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jalan darahnya, tidak mampu bergerak lagi karena lumpuh kaki tangannya!

Sambil tertawa-tawa Song-bun-kwi mengempit tubuh Beng San dan membawanya berlari pergi dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-ho sampai dia tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha membebaskan diri dari totokan.

"Heh, bocah setan!" Song-bun-kwi berkata sambil tertawa-tawa. "Akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang lekas kau berikan Im-yang Sin-kiam-sut kepadaku dan beri tahu pula di mana tempat sembunyinya si maling Lo-tong Souw Lee itu."

Beng San lumpuh hanya kaki tangannya, akan tetapi dia dapat mempergunakan panca inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-bun-kwi dia tidak sudi membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggelengkan kepalanya.

"Bocah bandel, apakah kau lebih sayang Im-yang Sin-kiam-sut dan lebih sayang kakek buta mau mampus itu dari pada nyawamu? Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-ho amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan melempar engkau ke sana!"

Dia memegang tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap ke bawah, langsung melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan. Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan sekali melihat air itu. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan yang amat sangat menyesakkan dadanya. Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi pucat kehijauan.

la melihat air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang sangat menakutkan, yang akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tak dapat lagi mendengar ancaman-ancaman serta bujukan-bujukan Song-bun-kwi sehingga dia sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah itu.

"Iblis cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi setan penasaran yang menggangguku, dengar apa sebabnya aku membunuhmu. Hal pertama karena kau tidak mau membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee, dan kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-sin-kiam yang kumiliki. Nah, jadilah setan Sungai Huang-ho!" Song-bun-kwi lalu melempar tubuh Beng San ke bawah!

Beng San mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar pekik lain, pekik yang melengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adalah Bi Goat si bocah gagu itu telah melemparkan segulung tambang ke bawah.

Dengan gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti ular ini berhasil menggulung tubuh Beng San pada bagian ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja Bi Goat membawa tambang, karena tadinya memang Song-bun-kwi mengajaknya berkeliaran di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang burung dan mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di tempat-tempat yang sukar.

"Bi Goat, kurang ajar kau!" Song-bun-kwi berteriak.

Sekali renggut dia sudah merampas ujung tambang itu, kemudian dengan sekali dorong tubuh Bi Goat telah terjengkang. Song-bun-kwi lalu mengulur tambang itu sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk.

Beng San masih menjerit-jerit ketakutan, apa lagi sekarang setelah dia dipermainkan air yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa disadari dia sudah bebas dari totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan tetapi tentu saja usahanya ini sia-sia karena tambang itu masih mengikat pinggangnya dengan erat.

Pada saat dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sambil bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-bun-kwi, telunjuknya menuding-nuding ke arah bawah, ke air di mana Beng San dipermainkan maut.

"Bi Goat... tolong...!" Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring sekali.

Sekarang Bi Goat melompat berdiri, menjambak-jambak rambut dan membanting-banting kaki di depan Song-bun-kwi yang hanya tertawa dan menggelengkan kepala. Kemudian Song-bun-kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerahkan dengan kekuatan khikang mengatasi suara air sehingga dapat terdengar oleh Beng San.

"He, Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah? Kalau kau mau memenuhi permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!"

Beng San memang takut, takut bukan main, malah takut yang tidak sewajarnya, mungkin karena dahulu di waktu kecil dia pernah mengalami pula ketakutan sehebat ini ketika dia hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho. Akan tetapi jiwa satria masih bersemayam dalam tubuhnya.

Dia tidak suka melanggar janjinya, janji terhadap Phoa Ti dan The Bok Nam yang sudah mati, bahwa dia akan memegang teguh rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, termasuk janjinya terhadap Lo-tong Souw Lee takkan menceritakan tempat sembunyi kakek itu. Lebih baik mati dari pada melanggar janji sendiri.

Demikianlah pendirian seorang satria, seorang pendekar. Beng San tidak takut mati, akan tetapi sekarang dia benar-benar takut. Setiap pucuk ombak air merupakan cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeramnya.

"Song-bun-kwi, kau boleh minta apa saja, tapi yang dua itu tidak mungkin!" jawabnya di antara suara air.

Song-bun-kwi marah. Ia mengangkat tambang dan melepaskannya kembali sampai tubuh Beng San tenggelam ke dalam air, mengangkat lagi, melepaskan lagi. Berkali-kali tubuh Beng San timbul tenggelam di antara deru suara air yang mengalir deras.

Beng San takut setengah mati, takut dan juga gelagapan sukar bernapas. Entah bagai mana, sekarang baginya tidak ada Song-bun-kwi lagi, tidak ada siapa-siapa, yang teringat olehnya hanyalah air, air, air! la merasa dihanyutkan air yang luar biasa kerasnya, merasa takut dan tiba-tiba dia teringat akan ayahnya, akan ibunya, akan kakaknya!

"Ayahhhhh...!" la berteriak-teriak membayangkan wajah ayahnya.
"Ibuuuuu...!" Kembali dia berteriak-teriak ketika mendapat kesempatan, yaitu pada waktu Song-bun-kwi menarik tambang ke atas.
"Kakak...! Kakak Kui...!” Ia menjerit lagi.

Pada saat itu Bi Goat juga berteriak-teriak menangis, berusaha mencegah Song-bun-kwi menyiksa Beng San. Akan tetapi Song-bun-kwi malah memaki dan menendangnya.

Bi Goat berkali-kali menengok ke bawah. Ketika ia melihat betapa Beng San menjerit-jerit dengan muka ketakutan setiap kali tubuhnya timbul di permukaan air, dia mengeluarkan teriakan melengking tinggi lalu... Bi Goat melompat ke bawah. Air sungai muncrat tinggi ketika tubuh Bi Goat menimpanya dan tertelan air yang mendidih itu.

Walau pun tadinya memaki-maki dan menendang Bi Goat, namun begitu melihat anak itu dengan nekat terjun ke bawah, Song-bun-kwi menjadi sangat bingung dan terkejut sekali. Keselamatan anaknya berbahaya sekali, terancam maut yang mengerikan.

Cepat dia menggerakkan tambang yang dipegangnya dan ujung yang melibat tubuh Beng San segera terlepas. Kemudian dengan gerakan yang aneh tambang itu meluncur ke arah jatuhnya Bi Goat. Tepat setelah tubuh anak baju merah ini timbul di permukaan air, tali itu melibat pinggangnya dan sekali sendal saja tubuh Bi Goat melayang kembali ke darat!

Akan tetapi ketika Song-bun-kwi kembali menjenguk ke bawah, tubuh Beng San sudah lenyap. Tentu setelah tidak terikat oleh tambang lagi, anak itu sudah terbawa hanyut oleh air yang begitu derasnya. Bi Goat menangis, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, pakaiannya basah kuyup.

"Sudah, diamlah. Dia anak jahat, apa bila tidak dilenyapkan dari muka bumi kelak hanya akan menimbulkan geger saja. Sakitkah badanmu? Apakah tidak terluka?"

Song-bun-kwi yang mendadak merasa kasihan kepada anaknya, mendekati Bi Goat lalu memondongnya, merangkulnya. Bi Goat hanya menangis di pundak ayahnya yang aneh itu. Perlahan-lahan Song-bun-kwi yang memondong anaknya pergi dari situ, seperti orang melamun. Ia merasa lega karena mengira bahwa Beng San, anak yang menjadi orang ke dua setelah dia yang mengerti akan Ilmu Silat Yang-sin Kiam-sut, sekarang tentu telah mati tenggelam di dasar Sungai Huang-ho.

Betulkah Beng San sudah mati seperti yang diharapkan dan diduga oleh Song-bun-kwi? Agaknya kakek yang sakti ini lupa bahwa mati hidup seseorang tergantung sepenuhnya kepada kehendak Yang Maha Kuasa.

Apa bila Tuhan belum menghendaki kematian seseorang, jangankan baru dia terancam bahaya maut seperti Beng San. Meski pun orang itu diancam bahaya maut dengan hujan api sekali pun, dia akan selamat dan terluput dari bahaya maut yang mengancamnya itu. Sebaliknya, apa bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, biar pun dia akan berlari ke ujung dunia atau berlindung ke dalam gedung baja, maut tetap akan mencabut nyawanya tanpa dapat ditawar-tawar atau diperpanjang sedikit pun lagi.

Kelihatannya memang Beng San sudah tidak berdaya, dan memang anak ini juga sudah kehabisan akal. Bagaikan seorang yang sudah berubah ingatannya, Beng San terbawa hanyut oleh air dan setiap kali kepalanya tersembul di permukaan air, jauh dari tempat dia hanyut tadi, dia lalu memekik-mekik memanggil ayahnya, ibunya, dan seorang yang dia panggil Kui-ko (kakak Kui).

Akhirnya saking lelah dan banyaknya minum air sungai, Beng San tidak ingat diri lagi dan tahu-tahu ketika siuman kembali, dia mendapatkan dirinya sudah menggeletak di dalam sebuah perahu kecil. Tubuhnya sudah terbaring di situ, telanjang bulat dan terbungkus dengan selimut hangat.

Ketika dia melirik, dia mendapatkan pakaian bututnya sedang dijemur di pinggiran perahu sedangkan di kepala perahu kecil itu duduk berjongkok seorang laki-laki tua bertopi lebar. Laki-laki ini mukanya kurus, penuh gurat-gurat hidup tanda banyak menderita.

Laki-laki itu duduk tak bergerak. Matanya sayu melamun ke permukaan air, melihat tali pancingnya yang bergerak-gerak perlahan, terbawa aliran air yang tenang di bagian itu. Di dekatnya kelihatan tiga ekor ikan sebesar betis yang sudah mati, tetapi masih segar.

Beng San diam saja, berusaha mengingat-ingat. Mula-mula dia teringat akan air besar yang menghanyutkan, yang mengerikan dan sekaligus dia membayangkan kembali wajah seorang laki-laki tua yang berpakaian sebagai petani, yang bermata tajam dan bermulut selalu tersenyum, wajah yang amat disayangnya, wajah ayahnya.

Lalu menyusul wajah yang menimbulkan rasa mesra dalam hatinya, wajah seorang wanita yang agung, berkulit hitam manis, berambut hitam panjang digelung di belakang leher. Wajah yang bermata sayu dan lembut, yang selalu bicara halus penuh kasih sayang kepadanya, wajah ibunya!

Dan terakhir terbayang olehnya wajah seorang anak laki-laki yang nakal, yang sering kali menggodanya akan tetapi yang menjadi temannya bermain sejak kecil, wajah kakaknya yang bernama Tan Beng Kui. Dan dia sendiri bernama Tan Beng San!

Kini ia teringat semua, malah dusunnya ia ingat pula bentuk dan macamnya. Ada telaga kecil di dekat sungai, telaga yang banyak ikannya, dan sering kali dia dan kakaknya diajak memancing ikan di telaga itu oleh ayahnya. Hanya nama ayah ibunya dan nama dusun itu dia tidak tahu.

Berdebar hati Beng San teringat akan ini semua. la tidak tahu bahwa dulu dia kehilangan ingatan oleh air Sungai Huang-ho dan sekarang dia mendapatkan kembali ingatannya, oleh air Sungai Huang-ho pula. Yang membuat Beng San berdebar-debar adalah karena sekarang dia teringat pula akan Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio yang mengaku menjadi ayah bundanya!

Bagaimana bisa terjadi demikian? Apakah betul mereka itu adalah kedua orang tuanya? Ataukah bayangan lelaki petani dan wanita berwajah agung itu adalah orang tuanya yang sesungguhnya? Dan Tan Beng Kui?

Beng San masih bingung, lalu kepalanya membayangkan Bi Goat. Gadis cilik yang gagu itu, yang menangis dan berusaha menolongnya, yang kemudian secara nekat meloncat ke air untuk menolongnya tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri.

Teringat akan ini, membayangkan wajah Bi Goat menangis untuk dirinya, berganti-ganti dengan wajah ayahnya, wajah ibunya, dan wajah kakaknya, tanpa terasa lagi Beng San mengeluh dan dua titik air mata yang panas mengalir keluar membasahi pipinya.

"He, kau sudah bangun?"

Tukang pancing itu mendengar keluhannya. Dia berdiri lalu menghampiri. Perahu kecil itu goyang-goyang ketika si tukang pancing berjalan.

Ternyata dia seorang kakek yang berusia lima puluh tahunan, bertubuh kurus. Wajahnya kering terbakar matahari dan penuh guratan, matanya sayu tetapi kadang-kadang lincah berseri. Mulutnya yang ompong membayangkan ketenangan batin seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia.

Beng San cepat bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya kemudian menjatuhkan diri berlutut, "Kakek yang baik, agaknya kau yang telah menolongku dari dalam air."

Kakek itu memegang pundak Beng San. "Tadi kukira kau ikan besar yang tersangkut di pancingku. Aku sudah girang sekali, mengira mendapat ikan yang besar sekali, tapi ketika kutarik..."

"Kau kecewa karena hanya aku...” sambung Beng San tak dapat menahan kata-katanya ini karena melihat sikap tukang pancing itu lucu dan jenaka.
"Ha-ha-ha, tidak demikian. Aku malah lebih gembira, pertama karena tanpa kusengaja aku dapat menolong seseorang dari kematian, ke dua, aku bakal mendapatkan kawan baik untuk bekerja sama mencari ikan. Eh, anak nakal, siapa namamu dan kenapa kau hendak menyaingi ikan-ikan di air, berkeliaran di dalam air Sungai Huang-ho?"

Melihat sikap kakek itu dan mendengar kata-katanya yang jenaka, sebuah plkiran baik menyelinap ke dalam otak Beng San. Mengapa tidak? Akan aman dia kalau berada di dekat kakek ini, menyamar sebagai tukang ikan, setiap hari di perahu mencari ikan. la bisa menyembunyikan diri dari Song-bun-kwi dan yang lain-lain.

Tentu mereka itu tidak ada yang mengira bahwa Beng San, anak yang mewarisi Im-yang Sin-kiam dan yang mengetahui tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee telah menjadi nelayan.

"Kakek yang baik hati, namaku Siauw-kui (Setan Kecil), sebatang kara di dunia ini. Kalau kau mau mengambil aku sebagai pembantumu, ahh, kakek yang baik, setiap malam aku akan bersembahyang kepada dewa-dewa sungai supaya kau diberi umur panjang dan banyak rejeki."

Kakek itu tertawa bergelak, terlihat mulutnya yang tidak bergigi. "Ha-ha-ha, siapa butuh umur panjang? Tentang rejeki, asal kau mau benar-benar membantuku, tentu banyak ikan dapat diangkat ke perahu."

Kakek itu adalah seorang nelayan tua bernama Gan Kai, seorang duda tua yang juga hidup sebatang kara, malah tidak mempunyai rumah tinggal, rumahnya ya perahu kecil itulah! Maka sungguh tepat sekali bagi Beng San untuk tinggal bersama kakek Gan ini, karena selain terjamin hidupnya, dia pun dapat bersembunyi dan setiap saat dapat berlatih ilmu silat dengan amat tekunnya.

la mengambil keputusan untuk berlatih dengan giat. Setelah sempurna kepandaiannya, dia akan mengunjungi Lo-tong Souw Lee, kemudian dia akan mencari ayah bundanya, dan juga kakaknya. la tidak tahu lagi nama orang tuanya, juga dia tidak tahu lagi nama dusunnya, tetapi asal dia menjelajahi dusun-dusun di pinggir sungai di sekitar Kelenteng Hok-thian-tong, masa tidak akan dapat dia temukan?

Otaknya berpikir, hatinya berharap, namun takdirlah yang menentukan…..

********************
Setiap orang yang mengingat-ingat masa lampau, mengenang kembali masa lampau beberapa tahun yang lalu, akan mendapat kesan betapa cepatnya jalannya sang waktu. Penulis sendiri tiap kali mengenangkan masa kanak-kanaknya yang sudah puluhan tahun yang lalu, selalu merasa seakan-akan masa itu baru terjadi kemarin-kemarin ini, serasa masih membayang di pelupuk mata ketika bermain-main dengan anak-anak lain, mencari ikan-ikan kecil di sungai, atau tiduran di punggung kerbau, atau bermain-main di bawah air hujan!

Memang waktu berlalu amat cepatnya, sampai-sampai tidak terasa oleh manusia di dunia. Begitu pula dengan jalannya cerita ini. Baru saja kita mengikuti pengalaman-pengalaman Beng San, sebentar kita tinggalkan, ehhh, tahu-tahu delapan tahun sudah lewat dengan amat pesatnya!

Selama itu, Tiongkok mengalami kekacauan terus-menerus. Bahkan kekacauan ini juga mempengaruhi keadaan penghidupan dalam istana. Pangeran-pangeran yang berkuasa saling memperebutkan kekuasaan, saling berkomplot dengan para pembesar bu (militer), saling jatuh-menjatuhkan sehingga dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh lima tahun (1307-1332) saja pemerintah Goan (Mongol) ini sudah berganti kaisar sebanyak delapan kali!

Ketika cerita ini terjadi, raja terakhir yang menduduki tahta adalah Kaisar Sun Ti. Di bawah tekanan Kaisar Sun Ti inilah penghidupan rakyat pribumi (Han) amat tertindas dan tidak tertahankan lagi. Mulailah timbul pemberontakan di sana-sini, yang terbesar dan terkenal adalah Partai Teratai Putih (Pek-lian-pai) yang pada awal mulanya hanyalah merupakan pemberontakan dari para petani di utara yang sudah tidak kuat lagi menderita penindasan para hartawan dan bangsawan setempat. Lama kelamaan partai ini menjadi makin kuat, bahkan lalu diikuti atau dimasuki pula oleh orang-orang gagah dunia kang-ouw sehingga merupakan kesatuan yang amat ditakuti oleh bangsawan-bangsawan Mongol.

Pemberontakan-pemberontakan kecil pecah di sana sini, satu dihancurkan timbullah dua, sehingga semenjak Kaisar Sun Ti naik tahta, kaisar ini tidak pernah mengenal apa yang disebut aman dan damai di Tiongkok.

Banyak pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan tercatat namanya dengan tinta emas di lembaran sejarah, misalnya Liu Hok Tung, Kok Ci Seng, Thio Se Cheng, Tan Yu Liang, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang memimpin rakyat untuk menghalau kaum penjajah Mongol dari tanah air mereka.

Tiga puluh tahun lebih pemberontakan-pemberontakan ini berjalan, semakin hari semakin hebat sehingga akhirnya, seperti tercatat dalam sejarah, pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Mongol yang menjajah daratan Tiongkok hampir seratus tahun lamanya.

Seperti telah disebutkan di atas, waktu delapan tahun berjalan dengan amat cepatnya dan saat itu keadaan masih penuh dengan kekacauan yang diakibatkan oleh pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Goan-tiauw…..
********************
Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di depan sebuah goa yang dinamakan goa Ular, tampak seorang pemuda tengah berlutut di depan seorang kakek yang sudah tua sekali.

Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya. Muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Ada pun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.

"Mohon Locianpwe sudi memberikan maaf sebesarnya karena teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita," terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.

Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering yang tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan. "Ahhh, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu. Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan..."

Kakek itu kemudian duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman, "Hebat... dahulu aku pun tak sekuat engkau sekarang. Bukan main…, ahhh, kalau saja aku mendapatkan kesempatan melihat... ehh, maksudku mendengar kau main Liong-cu Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, mati pun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh...”

Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilauan cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi. Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,

"Locianpwe, betulkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?"

Kakek buta itu tersenyum. "Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya pada saat kau berhadapan dengan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya dimiliki seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak menggunakannya, sebab hanya kau yang menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!"

Kakek itu terengah-engah, nampaknya sangat tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah.

Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan goa itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigap. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!

Mendadak muka Lo-tong Souw Lee yang sangat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencengkeram ke depan dan dia berteriak, penuh kepahitan, "Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam... itu... itu... ahhh, kau bukan Beng San... aduhai celaka, kau bukan Beng San...!"

Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.

"Beng San... sia-sia aku menanti sampai tahunan... aduh, mataku yang buta... celaka..."


Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan goa itu.

Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.....

Kurang lebih tiga jam berikutnya, seorang pemuda lain kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Pakaiannya sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas. Mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, dan sepasang matanya bersinar tajam melebihi sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh. Tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya.

Dari gerak kakinya yang tetap dan tak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.

Akhirnya, dengan langkah yang tidak pernah mengendur namun tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan goa Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh kakek yang menggeletak tertelungkup di depan goa, kedua kakinya langsung bergerak sehingga tubuhnya berkelebat. Pada lain saat tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh kakek itu lalu mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.

"Kakek Souw... Kakek Souw... kau kenapakah?"

Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak, "Ahh... Beng San... sekarang benar kau Beng San... kenapa aku begini bodoh...?” Kakek itu terisak-isak!

Beng San terkejut sekali. Pada saat tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa Lo-tong Souw Lee tidak terluka. "Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah terjadi...?"

"Ahh, Beng San. Aku bodoh... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku... pedang Liong-Siang-kiam sudah diambil orang yang mengaku sebagai kau... dia juga memiliki ilmu tinggi... masih muda... sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya... dia... dia memiliki tenaga dalam yang hebat..."

Beng San mampu menguasai hatinya. ”Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu mengingininya..."

"Apa...?!" Mendadak kakek itu berkata keras. "Sepasang pedang itu adalah punyamu! Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri oleh orang dan kau... kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku, lepaskan...!" Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi ke atas tanah.

Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa sudah berbicara seenaknya dan lancang. "Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Sama sekali bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka akibat kehilangan Liong-cu Siang-kiam."

Tapi kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu.

"Biarlah... biar aku mampus... aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal kasih sayang orang... biar aku mampus karena kau...”

Beng San cepat menjatuhkan diri berlutut. "Kakek Souw, ampunkanlah aku... ampunkan, aku sama sekali tak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus aku lakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu."

”Betul kata-katamu itu?" Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul, Kakek Souw."
"Kau berani bersumpah?”

Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah, "Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apa bila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw."

Kakek itu nampak lega sekali. Dia lalu bangun duduk dengan susah payah, dibantu oleh Beng San.

"Aku tidak akan minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik. Pertama-tama, aku minta agar kau berusaha mencari orang yang sudah mencuri pedang Liong-cu Siang-kiam. Setelah orang itu dapat kau temukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita..." Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.

"Ya...? Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya."

"Apa...?!" Beng San melompat tinggi seperti orang yang tersentak kaget karena diserang ular. Sepasang matanya terbelalak lebar dan dia merasa bulu tengkuknya berdiri. "Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?

”Tentu saja aku waras!" bentak kakek tua itu marah. "Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Tapi jika dia itu wanita, tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah... tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya supaya Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang lain."

"Mana ada aturan begini?" Beng San membantah. "Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Apa bila dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita... dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku dapat mengawininya? Ahh, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu tadi, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu Siang-kiam."

"Jadi kau hendak melanggar sumpah?"
”Kakek Souw, aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku juga tak bisa melakukan hal yang bertentangan dengan peri kebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Apa bila penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali.

"Begitulah seharusnya seorang laki-laki!" katanya gembira. "Rela mengorbankan nyawa sendiri dari pada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siangkiam!" kembali kakek itu tertawa-tawa.

Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.

"Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku tak akan meminta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat menyelami watakku, bila tidak demikian, mana mungkin kau berani mengucapkan sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah Mongol..." Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang. "Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tetapi aku tidak suka melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Dan sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus ikut membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau lakukan itu tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?"

"Aku akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw. Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai.”
"Sekarang permintaan ke tiga," kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa. ”Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang.”

Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek yang napasnya sudah sengal-sengal itu menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,

"Setiap dua puluh lima tahun sekali, di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal. Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong-cu Siang-kiam. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Sejak itu ia mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi... kau... kau harus mewakili aku, merebut gelar itu..."

Setelah menjelaskan demikian panjang, napas Souw Lee semakin tersengal-sengal, akan tetapi keadaan ini tidak makan waktu terlalu lama. Akhirnya napas yang sengal-sengal itu menjadi tenang kembali, bahkan terlalu tenang.

"Kakek Souw...!" Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek tua itu sudah berhenti!


Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan. "Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi harapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir."

Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini kemudian mengurus jenazah kakek Souw, menguburnya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san. Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai seorang pemuda sebatang kara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw Lee, tugas yang amat berat. Akan tetapi dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu…..

********************
Selanjutnya baca
RAJA PEDANG : JILID-09
LihatTutupKomentar