Boma Gendenk - Muridku Machoku

BOMA GENDENK
Karya: Bastian Tito
Episode 4
MURIDKU MACHOKU
Muridku Machoku
SATU
BOMA DIBAWA KE POLSEK 

NENEK berkulit hitam pandangi wajah Boma yang babak belur dihantam lima pengeroyok berkendaraan Toyota Hardtop.
Mulutnya yang perot menyeringai. "Kalau mau jadi pendekar sejati memang musti tahu kerasnya jotosan, kencangnya tendangan. Mukamu bengap, seperti orang kena penyakit biri-biri. Anak setan, aku pergi dulu. Hik... hik... hik!"
Sekali berkelebat sosok si nenek melesat ke arah pohon besar di seberang jalan. Boma ikuti gerakan orang tua itu dengan pandangan mata. Namun di pohon sana bayangan si nenek lenyap. Tak kelihatan apa-apa. Kecuali seekor burung putih, yang hinggap di salah satu cabang.
"Hilang... Nenek itu, dia....' Boma tidak meneruskan kata-katanya.
Untuk beberapa lama anak ini masih berdiri sambil memegang plat nomor mobil Toyota Hardtop yang diberikan nenek muka hitam dari Gunung Gede.
Lalu lututnya mulai goyah. Rasa sakit akibat pukulan pengeroyok mulai terasa di bagian wajah dan tubuhnya. Matanya masih sempat melihat burung putih yang hinggap di cabang pohon dekat kios rokok mengepakkan sayap lalu pandangannya berubah menjadi samar.
Dia seperti kehabisan tenaga. Ketika sosoknya nyaris roboh beberapa orang berlarian mendatangi. Salah seorang di antaranya adalah Pasiran, tukang rokok yang mangkal di ujung gang dan kenal baik dengan Boma,
"Ini Mas Boma. Dia barusan dikeroyok. Tolong pegangin, saya mau kasi tau orang tuanya." Kata Pasiran pada orang-orang yang ada di situ dengan suara kental aksen Tegal.
"Panggil laksi. Bawa ke rumah sakit." Seorang lain berucap.
Mendengar disebutnya rumah sakit, rasa trauma serta merta mcnghantui Boma. Pengalaman pahit  dii.nv.it  di rumah sakit akibat musibah di Gunung Gede tempo hari muncul kembali.
Dalam keadaan babak belur seperti itu Boma kerahkan seluruh tenaga, berusaha agar tidak pingsan.
"Antarin saya ke rumah. Jangan bawa ke rumah sakit. Saya...." Ucapan Boma terputus ketika tiba-tiba cahaya menyilaukan lampu sebuah mobil pikup terbuka menyoroti wajahnya. Terdengar denyit keras rem mobil. Pintu depan kiri kanan pikup terbuka. Dua orang berseragam Polisi keluar. Bersamaan dengan itu dari bagian belakang kendaraan ini berlompatan pula empat petugas.
TAK JAUH dari pohon besar nenek kulit hitam hentikan lari, berpaling ke seberang jalan. Saat itu dua orang polisi dilihatnya memapah Boma. Beberapa petugas lainnya menanyai orang-orang yang ada di tempat itu.
Si nenek pencongkan mulut. "Kasihan. Anak setan itu pasti akan ketiban urusan tidak enak. Untung tadi dia tidak memukul mati salah seorang pengeroyok...." Si nenek berucap dalam hati.
Sambil geleng-gelengkan kepala dia memutar tubuh. Namun baru bergerak setengah putaran tiba-tiba sesuatu menghantam dadanya.
"Bukkk!"
Sinto Gendeng, nenek sakti dari puncak Gunung Gede terpekik. Tubuhnya mencelat menghantam kios rokok hingga kios itu terbalik roboh, isinya berantakan ke mana-mana.
Pasiran yang tengah ditanyai Polisi melengak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan kios miliknya. Tanpa perdulikan petugas yang tengah menanyai, Pasiran menghambur lari ke arah kios rokoknya.
"Walah biyung! Matek aku! Ora ono mobil yang nabrak, ora ono angin puyuh! Kenapa kiosku jadi ambrol begini?!" Pasiran berteriak setengah menggerung.
Beberapa orang Polisi mendatangi. Ikut terheran-heran melihat apa yang terjadi. Sementara Pasiran sibuk mengambil dan mengumpul-kan barang dagangannya yang berhamburan ke mana-mana.

DI BAWAH pohon besar tak jauh dari kios yang terbalik, tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di jalan raya kecuali Boma, nenek muka hitam berdiri terhuyung-huyung sambil pegangi dadanya yang barusan terkena hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas seolah ada bara api menimbun dada itu.
Di sela bibirnya terlihat ada lelehan darah. Nenek bertampang angker ini bukan orang sembarangan. Ilmu silat dan  kesaktiannya telah menggegerkan delapan penjuru rimba persilatan Tanah Jawa.
Kalau malam itu ada orang mampu menghantamnya tanpa dia sempat mengetahui, mengelak atau menangkis, berarti si penyerang memiliki tingkat kepandaian luar biasa.
"PAK, jangan bawa ke rumah sakit, Pak," kata Boma pada  dua anggota Polisi yang memapahnya. "Saya mau pulang. Rumah saya di ujung gang...."
"Dik, luka adik cukup parah. Adik harus dirawat...."
"Saya nggak apa-apa Pak. Saya nggak apa-apa...." jawab Boma.
"Nggak apa-apa gimana?!" ucap Polisi  berpangkat sersan Satu bernama Suwarto yang memapah boma di sebelah kanan.
"Mata kiri kamu bengkak, pipi bengap. Hidung juga bengkak, ada pendarahan. Bibir kamu pecah!" Pada temannya Sersan ini berkata. "Naikkan anak ini ke mobil. Bawa ke RSCM untuk perawatan pertama. Nanti kita tanyai di Polsek...."
"Saya pulang aja Pak. Bapak boleh tanyai saya di rumah," Boma memohon sambil kepalanya dipalingkan ke arah pohon. Saat itu dia melihat nenek berkulit hitam yang kepalanya di-tancapi lima tusuk konde perak tengah berusaha bangun sambil pegangi dada.
Di hadapan si nenek, dalam  kegelapan ada dua sosok menghadang.
"Nek... Nenek...." panggil Boma.
"Anak ini pasti ngacok!" kata Sersan Satu Suwarto. Dia memperhatikan ke jurusan yang dipandang Boma. Arah pohon besar di belakang kios rokok yang terbalik.
"Nenek siapa? Siapa yang kamu panggil nenek?"
Boma tak menjawab. Sersan Satu Suwarto dan anak buahnya saling pandang sesaat lalu geleng-gelengkan kepala. Kedua petugas itu memapah Boma ke arah mobil pikup.
"Jangan ke rumah sakit Pak. Jangan. Saya nggak apa-apa. Saya mau pulang aja," pinta Boma.
Tapi dua anggota Polisi itu tetap membawanya ke mobil pikup.
Boma berpaling lagi ke arah pohon. Saat itu si nenek muka hitam telah bangkit berdiri. Salah satu dari dua sosok yang mendekam dalam gelap bergerak mendekatinya.
"Nek...."
"Nenek lagi! Nenek lagi! Siapa sih yang kamu panggil Nenek? Setan? Hantu?!" Gerutu Sersan Satu Suwarto sambil terus memaksa Boma melangkah menuju mobil pikup.
Saat itu Boma mendadak ingat peristiwa malam hari di satu bukit kecil.
Dalam keadaan di luar sadar, dia melangkah mengikuti bimbingan satu kekuatan aneh.
Di satu puncak bukit kecil telah menunggu seorang nenek tinggi hitam bermuka angker.
"Anak Setan," begitu si nenek selalu memanggil  yang membuat Boma jadi jengkel.
"Malam ini atas kehendak Yang Maha Kuasa antara kau dan aku terjalin satu hubungan yang sebelumnya tidak satu pun di antara  kita pernah menduga hal ini akan terjadi...."
Boma tatap sosok nenek tinggi yang menebar bau pesing itu.
Dia ingat perempuan tua inilah yang dulu menyelamatkan dirinya dan kawan-kawan sewaktu terjadi musibah di puncak Gunung Gede. Ketika dia dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor, nenek aneh ini muncul, ingin menurunkan ilmu kepandaian padanya, tapi ditolak. Lalu nenek ini pula yang kemudian memasukkan hawa sakti ke dalam telapak tangan  kirinya yang ada tanda silang sewaktu dia dirawat di RSCM akibat perutnya diclurit rampok di Jalan Kramat Raya. (Baca  Episode sebelumnya berjudul "ABG = Anak Baru Gendenk")
Mendengar ucapan si nenek Boma menowel hidungnya lalu beranikan diri bertanya.
"Nek, maksudmu hubungan apa?"
"Apa yang ada dalam benakmu, Anak Setan?" balik bertanya si nenek.
"Hubungan... hubungan cinta pasti bukan. Iya 'kan Nek?!"
"Gila kau!"
"Hubungan tilpon juga nggak...."
"Tilpon? Binatang apa itu?" tanya si nenek.
"Itu, pesawat untuk bicara jarak jauh." Boma coba menjelaskan.
"Di Gunung Gede tidak ada barang begituan! Kalau mau bicara jarak jauh teriak saja! Atau pakai  ilmu mengandalkan tenaga dalam. Anak Setan, dengar baik-baik. Perjalanan nasib serta takdir Illahi membuat kita bertemu satu sama lain. Mulai malam ini kau berjodoh dengan diriku. Sebenarnya sejak aku mengalirkan hawa murni sakti ke dalam tubuhmu itu satu pertanda kita telah berjodoh." Boma melengak kaget.
"Nek, maksudmu berjodoh.... Kau kawin dengan saya?"
"Anak Setan! Jangan bicara ngacok! Kau berjodoh untuk jadi muridku! Tahu?"
Boma lepaskan nafas lega tapi masih kernyitkan kening.
"Memangnya kau mau mengajarkan apa Nek? Bahasa Inggris? Matematika atau Fisika? Dua mata pelajaran itu saya memang jeblok banget!"
Si nenek kulit hitam muka cekung tertawa panjang sampai lima tusuk konde yang menancap di batok kepalanya bergoyang-goyang.
"Tolol! Aku tidak mengajarkan segala ilmu begituan! Yang akan kuberikan padamu adalah ilmu kepandaian untuk menjaga diri dan menolong sesama...."
"Kau... kau mau menjadikan saya dukun, Nek? Begitu?"
"Goblok! Apa kau lupa waktu kejadian di Rumah Sakit? Aku pernah menyalurkan hawa murni sakti ke dalam tubuhmu lewat telapak tangan kiri yang suka kau pakai cebok itu! Lupa hah?!"
"Saya nggak lupa Nek. Tapi tangan kiri ini tetap aja saya pakai buat cebok Nek. Mana ada sih orang cebok pakai tangan kanan. Saya nggak tau kesaktian apa yang Nenek berikan."
"Anak Setan! Bagusnya kau jangan banyak bicara dulu! Dengar saja apa yang akan aku katakan!"
Boma menowel hidungnya, berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diucapkan orang.
Setelah pmdangi wajah anak lelaki di depannya beberapa ketika, si nenek lantas berkata.
"Manusia itu pertama kali dijadikan Gusti Allah dari debu, dirubah menjadi segumpal tanah. Dibentuk sosoknya seperti bentuk dan keadaan manusia sekarang ini. Lalu Gusti Allah meniupkan nyawa  ke dalam tubuhnya. Maka hiduplah dia sebagai manusia. Bernafas, makan, minum, berjalan, berbicara, bisa kentut...."
"bisa beoll" sambung Boma polos tapi seenaknya.
"Apa itu beol?" tanya si nenek. "Itu Nek, maksud saya bisa ke belakang."
"Berak?"
"Ya kira-kira 'gitu Nek." jawab Boma sambil nyengir dan menowel hidung.
"Sialan kau!" maki si nenek tapi ikutan nyengir. lalu lanjutkan kata-katanya yang tadi terputus.
"Manusia diciptakan punya otak, punya rasa dan hati nurani yang membuatnya kelak lebih mulia dari mahluk hidup lain. Manusia pertama yang diciptakan Gusti Allah itulah yang kita kenal sebagai Nabi Adam. Sampai di sini, Anak Setan, apa kau punya pertanyaan?"
Boma berpikir sejenak. Dia memang sudah banyak mendengar dan membaca riwayat kehadiran Nabi Adam di muka bumi. Namun saat itu dia tidak mengerti apa maksud si nenek menuturkan riwayat itu padanya.
"Nek, bukankah kemudian Gusli Allah menciptakan Siti Hawa untuk jadi teman hidup Nabi Adam?"
Muka nyaris tak berdaging dan berkulit hitam  si nenek menyeringai. "Anak Setan! Kau tidak pernah melupakan urusan perempuan. Hik... hik... hik! Tapi kau betul. Gusti Allah menciptakan Siti Hawa dari salah satu tulang rusuk Nabi Adam. Kau pernah dengar riwayat itu, Anak Setan?"
Boma mengangguk. "Buntut kejadiannya, tidak salah kalau kemudian orang-orang perempuan mengejar orang-orang lelaki. Katanya sih mau kembali ke asalnya di susunan tulang iga lelaki. Tapi anehnya yang dikejar kok lelaki ganteng melulu atau lelaki yang banyak doku."
Si nenek unjukkan tampang merengut.
"Hanya perempuan tolol yang mau mengejar lelaki! Jaman sekarang kau saksikan sendiri. Kenyataannya orang lelaki yang mengejar orang perempuan. Kakek-kakek masih mau mengejar gadis padahal pantas jadi cucunya! Eh, tadi kau bicara doku. Apa itu doku?"
"Ini Nek," jawab Boma sambil menggesek-gesekkan telunjuk dengan ibu jari tangan kanan. "Duit alias uang!"
"Uang.... Itu salah satu urusan dunia yang sering membawa manusia ke dalam neraka."
"Nek, kepala saya pusing. Saya nggak ngerti maksud semua pembicaraan ini," kata Boma pula.
"Manusia dijadikan Gusti Allah dari tanah. Berarti dalam setiap sisi kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari alam, terutama tanah. Bahkan pada akhir hayatnya manusia akan kembali kepada tanah. Dikubur dalam tanah! Di dalam tubuhmu saat ini ada satu kekuatan yang bisa kau pergunakan setiap saat kau  ingini, terutama dalam bahaya. Jika kau menahan nafas, lalu mengencangkan bagian perutmu di sekitar pusar yang men jadi pusat kekuatan hawa sakti yang kau miliki,  maka  jika kau mengucapkan Basmallah dan menyebut kata berat dalam hati  sambil membayangkan batu besar, bukit atau gunung, maka dengan izin Gusti Allah tubuhmu akan menjadi seberat batu, bukit atau seberat gunung!"
Saat itu ingin Boma mengatakan ketidak percayaannya atas ucapan si nenek, tapi dia diam saja.
"Anak Setan! Dari tampangmu aku tahu kau tidak percaya pada apa yang aku ucapkan. Mari kita lihat. Aku ingin kau membuktikan sendiri."
Habis berkata begitu si nenek cabut satu dari lima tusuk konde yang menancap di batok kepalanya. Tusuk konde dari perak itu diletakkan di tanah, di depan Boma.
"Ambil tusuk konde itu," perintah si nenek.
"Apa sulitnya mengambil tusuk konde ini, Nek," kata Boma seraya ulurkan tangan mengambil tusuk konde dari tanah.
"Letakkan tusuk konde di tempat semula."
Boma ikuti ucapan si nenek. Tusuk konde perak diletakkan di tanah.
"Sekarang ambil lagi," ucap si nenek.
Seperti tadi Boma kembali mengambil tusuk konde perak yang tergeletak di tanah. Tapi sekali ini dia tidak mampu mengambil dan mengangkat. Tusuk konde itu telah berubah menjadi berat luar biasa. Boma kerahkan tenaga. Keringat sampai memercik di keningnya. Dari bersila dia kini berjongkok. Kalau tadi cuma pergunakan tangan kanan, kini dia pergunakan dua tangan sekaligus. Tetap saja tusuk konde perak itu tidak mampu diangkatnya dari tanah. Terengah-engah seperti habis berlari jauh Boma tarik kedua tangannya. Si nenek menyeringai. Dia ulurkan tangan mengambil tusuk konde lalu ditancapkan kembali di batok kepalanya.
"Tusuk konde itu tadi telah menyatu dengan alam. Di dalam alam terdapat kekuatan Gusti Allah yang maha dahsyat. Aku membayangkan Gunung Gede. Dengan izin Yang Kuasa bobot tusuk konde berubah seberat Gunung Gede! Sampai bijimu pecah, kau tak akan mampu mengangkatnya! Hik... hik... hik!"
"Aneh," anak lelaki ini berucap perlahan.
"Atas izin Allah, tak ada keanehan di dunia ini. Kau bisa membuat sebuah benda menjadi seberat batu raksasa. Kau bisa membuat dirimu menjadi seberat gunung hingga tak ada yang mampu mengangkat...."
UCAPAN si nenek seolah mengiang di telinga Boma. "Kau bisa membuat dirimu menjadi seberat gunung hingga tak ada yang mampu mengangkat...."
Mungkin ini saatnya dia membuktikan ucapan si nenek. Sekaligus membuktikan bahwa dia memang telah menguasai ilmu kesaktian yang diajarkan.
Diam-diam Boma menahan nafas, mengencangkan perut. Kata Basmallah diucapkannya dalam hati. Sambil mengucap kata berat anak ini membayangkan gunung. Apa yang kemudian terjadi membuatnya kaget luar biasa.
Dua anggota Polisi  yang setengah memaksa memapah Boma ke arah mobil pikup mendadak merasa seperti mendorong satu benda berat. Jangankan bergerak berjalan, bergeming sedikit pun tubuh Boma tidak.
"Ayo jalan!" Sersan Satu Suwarto berkata sambil kakinya ditendang-tendangkan ke tumit sepatu Boma. T'etap saja anak itu tidak bergerak. Malah kakinya yang terbungkus sepatu berkulit tebal terasa sakit seperti  menendang batu. Semakin dia dan temannya memaksa, menarik dan mendorong semakin berat sosok tubuh anak itu.
"Pak, jangan bawa saya ke rumah sakit...." Boma kembali memohon.
Sersan Satu Suwarto yang mulai merasa bingung tapi juga jengkel akhirnya berkata.
"Kalau situ tidak mau ke rumah sakit, ya sudah! Tapi kami tetap harus membawa kamu ke Polsek untuk dimintai keterangan."
Kali ini Boma tak berani membantah. Perutnya yang tadi kencangkan perlahan-lahan dikendurkan. Begitu kekuatan hawa sakti yang berpusat di bagian perut buyar, bobot Boma kembali normal seperti semula.  Sekali dorong saja anak ini maju sampai dua tiga langkah ke arah mobil pikup.
"Mas Pasiran!" Boma berseru pada pemilik kios rokok. "Tolong kasih tau bapak saya. Saya dibawa ke Polsek."
Pasiran yang sibuk mengurusi barang dagangannya hanya mengangkat kepala lalu mengangguk. Tapi pedagang rokok ini bersama seorang lainnya yang ada di situ kemudian juga dibawa ke Polsek untuk jadi saksi dan dimintai keterangan. Terpaksa Pasiran menitipkan kios dan barang dagangannya pada seorang kenalan.
Sebelum mobil pikup bergerak untuk terakhir kali Boma memandang ke arah pohon.
"Nek...." ucap Boma. Sejak tadi dia merasa nenek penolongnya itu berada dalam bahaya.
Di bawah pohon sana Sinto Gendeng melirik sekilas ke arah Boma. Lalu Boma mendengar suara seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
"Anak Setan, jangan perdulikan aku. Bantu petugas. Tapi awas. Jangan menyebut-nyebut diriku."
Di atas mobil pikup, salah seorang anggota Polisi mengambil plat nomor kendaraan yang sejak tadi dipegang Boma. Dua buah lobang tempat masuknya sekerup kelihatan robek besar. Agaknya plat kaleng itu dicopot secara sengaja. Dan tentunya mempergunakan daya tarik yang kuat. Tangan biasa tidak mungkin menanggalkan plat kaleng itu begitu saja.
"Ini plat mobil siapa?" tanya anggota Polisi yang duduk di samping Boma di bagian belakang pikup terbuka.
"Plat mobil orang yang ngeroyok saya Pak." Jawab Boma.
"Kok ada sama kamu?"
"Nemu di jalan, Pak.  Mungkin jatuh." Jawab Boma berdusta. Dia ingat si nenek. Jangan memberi keterangan apa-apa mengenai dirinya pada Polisi.
Dalam keterdiamannya Boma membayangkan sikap kedua orang tuanya kalau mereka menyusul datang ke Polsek. Ibunya akan menangis begitu melihal dia. Ayahnya seperti biasa sebelum bertanya apa-apa pasti akan mendamprat dirinya. lalu terbayang wajah Dwita Tifani. Hari Sabtu tadi anak perempuan itu tidak masuk sekolah. Mungkin sakit. Mungkin juga ikut sibuk bersama orang tuanya mengurus segala  sesuatu yang berhubungan dengan persiapan tugas baru ayahnya di gedung PBB New York. Walau berlainan kelas dengan Boma, tapi semua anak di kelas Boma sudah tahu kalau Dwita akan ikut pindah bersama ayahnya ke Iuar negeri.
Dalam keadaan seperti itu, diangkut di alas mobil pikup terbuka, dikawal petugas Polisi, diterpa angin malam yang mencucuk dingin, muka bengap dan badan sakit, hati anak lelaki ini mengeluh. "Heran, semua anak udah tau kalau dia mau pindah ke luar negeri. Kok Dwita-nya sendiri tenang-tenang aja. Nggak pernah ngomong sama aku. Kayaknya nggak ada peratian." Boma menowel hidungnya. Tapi mengerenyit sendiri kesakitan.
***
DUA
TAMU ANEH DI KLINIK BEDAH DHARMA BAKTI
SEJAK pensiun dari R.S. Cipto Mangunkusumo, Profesor Victor Nainggolan menyibukkan diri mengurus Klinik Bedah miliknya di Jakarta Pusat.
Pagi itu di ruang kerjanya, sambil membaca koran dia menunggu kedatangan seorang pasien untuk bedah satu benjolan kecil di tangan kiri. Tilpon di meja berdering. Profesor Nainggolan mengangkat pesawat. Ternyata dari seorang calon pasien yang minta waktu untuk pemeriksaan hasil ronsen benjolan di leher. Setelah memeriksa buku catatan prakteknya, Profesor Nainggolan minta agar pasien itu datang jam tiga nanti sore. Ahli bedah lulusan salah sebuah Universitas di Jerman itu meneguk kopinya lalu meneruskan membaca koran.
Dia tengah asyik membaca berita kriminalitas di Ibukota ketika tiba-tiba pintu ruangan praktek terbuka. Dua orang dengan tampang dan dandanan luar biasa masuk ke dalam ruangan. Profesor Nainggolan setengah terlonjak di kursinya saking kaget. Dia hampir tidak bisa yakin apakah saat itu benar-benar berhadapan dengan manusia atau mahluk apa.
Ruangan praktek itu kini dilanda bau tidak enak yang berasal dari tubuh serta pakaian dua orang yang barusan masuk. Orang pertama lelaki tua renta berpakaian kumal rombeng. Tubuhnya menghampar bau tidak enak. Wajahnya mengerikan untuk dipandang. Wajah itu dihias dua mata cekung angker, tidak berdaging dan kelihatan pucat pasi seolah tidak berdarah. Mulutnya selalu berada dalam keadaan miring hingga dia seperti dalam keadaan menyeringai terus-menerus. Manusia satu ini berambut putih sepunggung. Profesor Victor Nainggolan memperhatikan, orang ini buntung tangan kirinya sebatas siku. Sepasang matanya yang cekung memandang tak berkesip seolah-olah mau menelan sosok sang ahli bedah yang tinggi kurus itu.
Orang kedua tak kalah hebatnya, malah lebih mengerikan. Seorang nenek mengenakan jubah dalam tebal biru pekat. Rambutnya berwarna merah, menjulai panjang dan diikat di sekitar pinggang. Kalau rambut yang riap-riapan itu tidak diikat ujungnya akan menjela sampai lantai ruangan. Sepuluh jari tangan si nenek panjang berwarna merah. Lalu sepasang matanya. Ini yang paling mengerikan. Dua mata itu merah semua, tak ada putihnya! Satu hal yang luar biasa, nenek bermantel biru ini memanggul sosok seorang kakek berpakaian kolor di bahu kirinya. Seperti kakek di sebelahnya, nenek ini mengeluarkan bau yang tidak sedap di ruang praktek ber-ac itu.
"Penjahat bukan, pengemis jelas bukan...." membatin Profesor Victor Nainggolan.
"Kalian ini siapa?" Ahli bedah itu bertanya  dengan suara serak tersekat.
"Siapa kami tidak penting." Yang menjawab kakek muka pucat bertangan buntung. Dia memberi isyarat pada nenek bermantel biru, lalu menunjuk ke ranjang periksa di samping kiri ruangan praktek. Si nenek melangkah mendekati ranjang lain membaringkan tubuh kakek yang sejak tadi dipanggul. Selesai membaringkan orang, si nenek berpaling pada Profesor Nainggolan.
"Kami butuh pertolongan...."
Saat itu sang Profesor masih setengah terkesiap. Belum sempat dia menjawab tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar langkah-langkah kaki bersepatu. Sesaat kemudian muncul seorang perempuan muda berseragam putih. Dia adalah satu-satunya jururawat yang membantu Profesor Nainggolan di Klinik hari itu. Jururawat ini begitu terkejut melihat orang-orang aneh di ruang praktek, langsung pucat dan
melangkah mundur. Nenek bermantel cepat mendekati. Tak dapat mengendalikan rasa takutnya jururawat ini menjerit keras. Namun suara jeritannya hanya sampai di tenggorokan. Dengan cepat nenek bermantel menggerakkan tangan, menotok urat besar di pangkal leher. Membuat jururawat itu serta-merta kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara!
Melihat apa yang terjadi, rasa takut membuat Profesor Nainggolan berusaha melarikan diri ke ruang belakang. Namun gerakannya dihadang oleh kakek bermuka pucat. Sekali tangan kanan kakek ini bergerak, apa yang terjadi dengan jururawat Poliklinik dialami pula oleh sang ahli bedah. Profesor ini tertegun kaku tak bersuara di dekat sekat pembatas ruang praktek dengan ruang operasi.
Nenek bermata merah berambut riap-riapan melangkah mendekati Profesor Nainggolan.
"Profesor, dengar baik-baik apa yang akan aku ucapkan. Aku tidak akan mengulang dua kali, dan apa yang kami inginkan harus terlaksana. Kedipkan matamu dua kali tanda kau mengerti apa yang aku barusan bilang!"
Profesor ahli bedah yang tak bisa bersuara tak mampu bergerak itu ternyata bisa mengedipkan matanya dua kali.
Nenek bermata merah menyeringai.
"Jika kau berjanji tidak akan berteriak, aku akan membuka  jalan suaramu. Tapi untuk sementara tubuhmu akan  tetap kaku tak bisa bergerak. Jika kau berani menipu, aku akan hancurkan semua peralatan di tempat ini lalu meremas kepalamu seperti ini!"
Selesai berucap si nenek ulurkan tangan mengambil benda penindih kertas terbuat dari kaca tebal berbentuk piramid yang lerletak di atas meja. Sekali tangannya meremas kraaakk!
Penindih kertas itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang kemudian diletakkannya di atas koran yang tadi dibaca Profesor Nainggolan. Profesor Nainggolan terbelalak kaget dan kecut. Mukanya pucat pasi. Seumur hidup baru sekali ini dia dilanda rasa takut luar biasa begitu rupa.
"Ya, Tuhan, tabahkan diri saya. Saat ini mungkin saya tidak berhadapan dengan manusia. Tolong saya Tuhan." sang Profesor berdoa dalam hati.
"Profesor, jika kau berjanji tidak berteriak, aku akan buka jalan suaramu! Kedipkan matamu dua kali tanda kau mengerti dan setuju!"
Kembali Profesor Nainggolan kedipkan matanya dua kali. Tangan kanan nenek bermantel biru berkelebat.
"Beettt!"
Urat besar di pangkal leher sang Profesor ditotoknya. Detik itu juga ahli bedah itu terbatuk-batuk beberapa kali.
"Katakan apa mau kalian." Profesor Nainggolan beranikan diri keluarkan ucapan. Suaranya perlahan, bergetar.
Sebagai jawaban nenek bermata merah rambut riap-riapan melangkah mendekati kawannya si kakek bungkuk muka pucat. Tangan kanannya yang berkuku panjang merah bergerak ke lengan kiri pakaian si kakek. Brettt!
Lengan itu robek besar.
"Kau lihat, tangan sobatku ini buntung sebatas siku. Aku ingin kau menyambungnya dengan tangan baru."
Profesor Nainggolan terkesiap mendengar ucapan itu. Dia perhatikan tangan kiri kakek muka pucat yang buntung. "Hal itu tak mungkin saya lakukan." kata Profesor Nainggolan.
"Dari keadaan tangan itu, buntungnya pasti sudah berlangsung lama. Saya tidak bisa melakukan. Lagi pula mau disambung dengan tangan baru dari mana?"
"Tangan orang ini." Yang menjawab adalah nenek bermantel biru yang berdiri di samping ranjang periksa. Profesor Nainggolan terkejut. Mulutnya sampai ternganga. Untuk beberapa lamanya dia tegak terdiam seperti itu.
"Profesor pasti mampu melakukan," kata nenek bermantel biru dengan pandangan mata merah menyala tak berkesip.
"Tidak mungkin...." Profesor Nainggolan gelengkan kepala.
"Apa yang tidak mungkin. Kami tahu Profesor pernah belajar di Cina seluk-beluk penyambungan tangan dan kaki buntung...." Yang bicara adalah kakek muka pucat.
"Bagaimana Anda  tahu. Anda-anda ini siapa sebenarnya?"
"Sudah aku bilang, Profesor tidak perlu tahu siapa kami. Lakukan saja apa yang kami minta. Jika kau berani menolak bangunan Klinik ini akan kami sama ratakan dengan tanah...."
"Saya bukan menolak. Tapi menyambung tangan yang sudah lama buntung mana mungkin...."
"Lalu apa artinya Profesor belajar sekian lama di Cina?"
"Tangan atau kaki yang buntung ada kemungkinan untuk disambung jika buntungnya masih baru. Tidak lewat dari dua jam...."
"Begitu?" ujar nenek mata merah. Dia melangkah ke lemari yang penuh berisi alat-alat bedah.
"Jangan dibuka. Semua peralatan di situ sudah disteril," kata Profesor Nainggolan mencegah setengah berteriak.
Tapi si nenek tidak perduli. Sekali tangannya diputar handel pintu lemari kaca berderak palah. Pintu lemari dibuka. Si nenek mengambil sebuah pisau besar berkilat. Pisau ini dimelintangkannya di depan wajah sang Profesor lalu berkata.
"Dengan pisau ini aku bisa membuat buntungan baru di tangan sobatku. Lima jari di atas siku. Lalu dengan pisau ini aku juga bisa memutus lengan kiri orang di atas ranjang lima atau enam jari di atas sikunya. Berarti kau punya dua tangan buntung
kurang dari dua jam. Berarti mudah bagimu menyambung tangan sobatku ini dengan tangan orang itu!"
"Tetap tidak mungkin. Urusannya tidak semudah itu...."
"Buat jadi mudah! Agar kau tidak susah!" Kata kakek muka pucat.
"Atau mungkin tangan kirimu saja yang aku babat putus untuk disambung ke tangan kiri sobatku!" kata nenek mata merah lalu tertawa mengekeh.
"Saya tidak bisa melakukan. Orang di atas ranjang itu. Siapa dia?"
"Perlu apa kau tanyakan dirinya?
Dia cuma pengemis kurang ingatan yang kami temukan di jalanan. Dan satu hal!
Untuk tangan kirinya yang akan dibuntungi ada ganti rugi cukup memadai!" Habis berkata begitu dari balik mantelnya si nenek keluarkan dua gepok uang lima puluh ribuan,masing-masing gepok berjumlah lima juta Rupiah. Satu gepok dilemparkannya ke atas tubuh pengemis di atas tempat tidur.
"Itu kami rasa cukup untuk ganti lengannya yang kami perlukan. Dan ini lima juta untuk ongkos penyambungan!"
Si nenek lemparkan gepokan lima juta yang satunya ke atas meja kerja Profesor Nainggolan.
"Demi Tuhan, saya tidak bisa melakukan apa yang kalian minta. Ambil kembali uang itu. Bawa orang di atas tempat tidur. Tinggalkan klinik saya sekarang juga."
"Profesor... Profesor. Kau mengingkari janji!"
"Saya tidak berjanji apa-apa," jawab Profesor Nainggolan.
"Begitu?" ujar si nenek. Lalu umbar tawa bergelak. Sepasang matanya memancarkan cahaya aneh menggidikkan. Pisau besar berkilat yang masih dipegangnya di tangan kanan dilemparkannya pada kakek muka pucat. "Muka Bangkai, buntungi tangan kiri orang ini!"
Sambil keluarkan tawa mengekeh kakek muka pucat yang ternyata Si Muka Bangkai dengan tangan kanannya sambuti pisau yang dilemparkan si nenek yang bukan Iain adalah gurunya yakni Kunti Api. Sambil tertawa mengekeh dia ulurkan lidah menjilati pisau besar lalu melangkah mendekati Profesor Nainggolan. Lelehlah nyali ahli bedah lulusan Jerman itu.
***
KETIKA rombongan petugas Kepolisian yang diberitahu lewat tilpon memasuki Klinik Bedah Dharma Bakti, Profesor Victor Nainggolan, mereka menemukan ahli bedah itu terduduk pucat di  teras Klinik ditemani jururawat yang masih menangis sesenggukan. Tiga petugas menanyai kedua orang ini. Yang lain-lain melakukan pemeriksaan di bagian dalam. Dua gepok uang lima puluhan ribu yang ditemukan ternyata hanya satu lembar sebelah atas dan satu lembar sebelah bawah saja berupa uang asli. Di sebelah dalam hanya berupa potongan-potongan kertas polos yang ukurannya dibuat sama dengan uang di sebelah atas dan bawah.
Di meja operasi, tergeletak sosok pengemis yang masih belum sadar akibat pengaruh obat bius. Tangan kirinya buntung, dibalut sebatas siku.
***
TIGA
BAKU HANTAM TIGA DEDENGKOT RIMBA PERSILATAN
DIBAWAH bayangan gelap pohon besar di pinggir jalan Sinto Gendeng memandang menyorot pada dua sosok yang tegak menghadang di hadapannya.
"Hemm...." masih memegangi dadanya yang sakit, si nenek bergumam. "Guru dan murid. Mereka rupanya. Dua setan alas keparat. Satu ratu, satunya setan golongan hitam rimba persilatan."
Meski gelap, guru pendekar 212 Wiro Sableng ini ternyata masih bisa mengenali jelas siapa adanya dua orang di hadapannya. Yang pertama adalah tua bangka yang dikenal sebagai guru Pangeran Malahari yakni kakek berjuluk Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Sinto Gendeng soroti sosok manusia satu ini dengan pandangan mata geram tapi juga heran.
"Aneh, aku tidak lupa. Beberapa waktu lalu ketika Si Muka Bangkai ini menyerbu ke puncak Gunung Gede, aku telah membuat buntung tangan kirinya. Kini mengapa tangan itu utuh kembali? Memakai tangan palsu? Agaknya tidak. Walau agak kaku tangan itu jelas tangan sungguhan. Tapi dibagian siku ada balutan-balutan  tebal dan palang bambu pengganjal. Mungkin aku harus membetot lepas tangan kiri bangsat muka pucat ini untuk mengetahui keadaan tangannya."
Sinto Gendeng melirik pada sosok tinggi yang, tegak di samping Si Muka Mayat.
"Mengenakan mantel biru, rambut merah  riap riapan. Sepuluh kuku jari panjang merah. Dua  mata juga merah seperti setan neraka! Siapa tidak kenal dirinya. Kunti Api! Guru Si Muka Bangkai."
"Dadamu masih sakit Sinto?" Tiba-tiba Si Muka Bangkai menegur ketika melihat Sinto Gendeng masih pegangi dadanya yang tadi kena gebuk, entah dihantam jotosan entah dilabrak tendangan. Sinto Gendeng keluarkan suara mendengus lalu meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah pertanda dia menderita luka dalam cukup parah. Salah satu dari dua orang itu tadi menghantamnya. Menimbang tingkat kepandaian mereka Sinto Gendeng menduga yang menghantamnya pastilah Kunti Api.
Setelah mendengus sekali lagi nenek sakti dari Gunung Gede berkata. "Datang berdua. Masih tidak punya malu berlaku pengecut. Membokong lawan secara keji! Cuah!" Kembali Sinto Gendeng meludah.
"Nenek jelek," menyahuti Si Muka Bangkai. "Jangan salahkan kami. Makin tua matamu makin lamur. Pedengaranmu mulai tuli. Kau tak tahu diserang orang. Ternyata nama besarmu di delapan penjuru angin hanya isapan jempol, bohong belaka!"
Kunti Api tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya itu. "Sinto Gendeng, aku ingin mendengar apa jawabmu!" ujar Kunti Api pula.
"Jawabanku mudah-mudah saja! Kalian berdua mencari mati!"
Si Muka Bangkai dan Kunti Api tertawa gelak-gelak mendengar jawaban Sinto Gendeng itu.
"Puaskan tawa kalian! Biar keras, lebih  panjang lebih bagus! Nanti di liang neraka kalian tidak bisa tertawa lagi seperti saat ini!" menimpali Sinto Gendeng.
"Nenek bau pesing!" semprot Si Muka Bangkai. "Melihat gelapnya langit, tak ada bulan tak ada bintang, agaknya malam ini lebih cocok menjadi malam kematian bagimu!"
"Bicaramu sombong amat!" ucap Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai mengejek di mulutnya yang perot. "Mentang-mentang punya tangan baru! Tangan setan mana yang kau sambung ke tangan kirimu yang buntung?
Hik... hik... hik!" tampang Si Muka Bangkai jadi membesi mendengar ucapan Sinto Gendeng. Dia menjawab dengan suara keras. "Kalau kau mau tahu setan mana yang tangannya kupakai, baiknya cepat-cepat kau kukirim ke neraka. Di sana kau boleh bertanya pada setiap setan yang kau temui!" Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Muridku Muka Bangkai," Kunti Api berucap. Waktu bicara dia sengaja kerahkan tenaga dalam  hingga suaranya menindih suara tawa Sinto Gendeng.
"Aku  setuju sekali dengan pendapatmu. Malam ini akan menjadi malam terakhir bagi nenek bau pesing itu jual tampang jeleknya di muka bumi! Tapi kurasa tak ada salahnya kita menunda kematian nenek  bau ini kalau dia mau menyerahkan cepat-cepat  Batu Penyusup Batin  yang dirampasnya tempo hari."
(Dalam Episode sebelumnya berjudul "Tripping" diceritakan bagaimana Sinto Gendeng berhasil merampas satu batu sakti bernama Batu Penyusup Batin milik Kunti Api yang dipinjamkan pada Si Muka Bangkai untuk diserahkan pada Pangeran Matahari. Batu ini mempunyai kesaktian membuat seseorang tidak terlihat. Sinto Gendeng merampas batu tersebut ketika batu tengah dipergunakan Si Muka Bangkai untuk mengusapi wajah dan tubuh Pangeran Matahari di sebuah gudang bangunan).
"Ah, gentayangan  malam-malam buta ternyata kalian mencari batu butut itu! Hik... hik... hik.... Kalian datang terlambat. Sayang sekali... sayang sekali!"
"Tua bangka jahanam! Apa maksudmu?!" Menghardik Si Muka Bangkai. Dia paling merasa bersalah karena batu sakti milik gurunya itu sampai dapat dirampas oleh Sinto Gendeng. Sang guru yang disebutnya dengan panggilan Eyang Kunti Api memang belum menunjukkan tanda-tanda marah apa lagi menjatuhkan hukuman.
Tapi kalau sampai batu itu tidak berhasil didapatnya kembali, jangan harap dia bisa lolos dari rajaman. Bukan mustahil Kunti Api sendiri yang akan menghabisi nyawanya!
Ditanya Si Muka Bangkai, Sinto Gendeng berkata. "Kata orang, batu sakti itu bisa membuat seseorang lenyap,  tidak terlihat sosoknya oleh orang lain. Nah, nah! Kalau batu itu memang masih ada padaku mana mungkin kalian berdua bisa melihatku sejelas seperti sekarang?"
"Tua bangka celaka! Kau kemanakan batu itu?!" bentak Kunti Api.
Sinto Gendeng garuk-garuk pipinya yang baret akibat cakaran Si Muka Bangkai tempo hari.
"Aku lupa aku kemanakan batu itu. Mungkin sudah kujual pada tukang loak. Barangkali sudah kubuang ke jamban atau comberan. Aku lupa, maklum sudah tua. Jadi sudah pikun! Hik... hik...hik!"
Merasa dipermainkan Kunti Api menggembor marah. Dia melompat hingga kini jaraknya dengan Sinto Gendeng hanya terpisah tiga langkah. "Aku tanya kali terakhir! Kau kemanakan Batu Penyusup Batin milikku?!" Kunti Api membentak garang.
"Ada, tapi aku lupa aku kemanakan. Tunggu, biar aku berpikir mengingat-ingat lebih dulu!"  jawab Sinto Gendeng sambil menggaruk-garuk kening. Sesaat kemudian dia berkata.
"Ah, baru aku ingat. Batu sakti itu kemarin malam aku main-mainkan dalam mulut. Tak sengaja tertelan. Tadi pagi aku sulit buang air besar. Mampet, seperti ada yang menghalangi. Saat ini ada sesuatu terasa mengganjal di bawah bokongku. Hik... hik! Mungkin sekali batu sakti milikmu itu!"
"Jahanam  kurang ajar! Kau berani mempermainkan aku!" teriak Kunti Api sementara Si Muka Bangkai melangkah mendekati.
"Eyang, dia minta mampus lebih cepat! Kita habisi saja sekarang juga!" berucap Si Muka Bangkai.
"Hai tunggu!" seru Sinto Gendeng. "Aku tidak berdusta. Yang mengganjal di bawah perutku pasti batu sakti itu. Jika kalian tidak percaya lihat saja sendiri!"
Habis berkata begitu enak saja si nenek tarik ke atas kain panjangnya yang bau pesing, memutar tubuh lalu menungging ke arah dua orang yang kini dibelakanginya. . "Lihat baik-baik! Kalau ada benda biru-biru pasti batu sakti yang kalian cari!" kata Sinto Gendeng lalu tertawa ha-ha hi-hi.
Kunti Api palingkan kepala. Wajahnya semerah saga. Seumur hidup belum pernah dia dihina orang begitu rupa. Si Muka Bangkai keluarkan seruan tertahan lalu buru-buru menoleh ke jurusan lain, tak berani memandang. Dalam marahnya Kunti Api melompat ke depan sambil hantamkan tendangan ke pantat Sinto Gendeng.
Yang diserang sudah bisa menduga. Sebelum tendangan sampai dia menghambur tiga langkah ke depan. Begitu kaki Kunti Api menderu lewat dia berbalik sambil lepaskan pukulan yang memancarkan sinar terang berkilauan dalam gelapnya malam.
"Pukulan Sinar Matahari! Awas!" Berteriak Si Muka Bangkai. Dengan cepat dia hantamkan tangan kanannya. Diserang orang Kunti Api tidak tinggal diam. Nenek ini hantamkan pukulan tangan kosong sekaligus dengan tangan kiri kanan. Terjadi pemandangan dahsyat dalam gelapnya malam. Dari arah Sinto Gendeng melesat sinar putih  berkilauan  menebar hawa panas luar biasa. Sebaliknya dari arah dua lawan menghambur rangkuman sinar merah, kuning dan hitam. Itulah Pukulan "Gerhana Matahari" yang dilepaskan Si Muka Bangkai dengan tangan kanan. Dari dua tangan Kunti Api sendiri menderu dua larik sinar merah membara. Inilah pukulan maut yang disebut "Setan Api Turun Ke Bumi."
"Dess!"
"Dess!"
"Dess!"
"Blaaarrr!"
Dua pekikan satu seruan keras mengumandang tapi tertindih oleh suara gelegar dahsyat disertai kobaran nyala api mencual ke langit menggoncang seantero tempat. Pohon besar di ujung gang mengepulkan asap. Kios rokok milik Pasiran untuk kedua kalinya mencelat mental dan hancur berantakan tak karuan. Kenalan Pasiran yang diminta menjaga kios itu sudah tunggang-langgang sejak tadi-tadi. Dia tidak melihat tiga dedengkot rimba persilatan itu saling baku hantam. Namun  begitu pohon besar mengepulkan asap dan kios rokok terpental hancur berantakan, tidak pikir panjang lagi orang ini segera menghambur lari. Dua serangan yang dilepaskan Si Muka Bangkai dan Kunti Api setelah bertabrakan dengan Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Sinto Gendeng terbelah dan melesat ke arah tiga penjuru. Namun yang jadi sasaran sudah lebih dulu berkelebat lenyap. Sebalikhya Pukulan Sinar Matahari walau terbelah dua masih sempat menyambar ke arah Si Muka Bangkai dan Kunti Api. Kedua orang ini sama-sama terpekik, menghambur selamatkan diri.
"Wuss!"
“Wuss!”
"Jahanam kurang ajar!" terdengar makian Kunti Api. Nenek ini sibuk mengipas-ngipas mematikan api yang membakar ujung bawah mantelnya. Tapi karena mantel terlalu tebal, semakin dikipas api semakin besar. Sambil menyumpah tak karuan dari pada terbakar hangus Kunti Api terpaksa buka  mantelnya. Celakanya di sebelah dalam nenek ini tidak mengenakan pakaian lain, kecuali kutang lebar dan celana dalam butut!
Di bagian lain Si Muka Bangkai tegak dengan tengkuk merinding dan muka bertambah pucat. Pakaian rombengnya di sebelah kanan hangus hitam. Dalam marahnya Kunti Api melompat ke depan, mencari Sinto Gendeng. Tapi orang yang dicari tak kelihatan lagi. Lenyap entah ke mana. Ketika pandangannya membentur sosok Kunti Api kagetlah Si Muka Bangkai melihat keadaan gurunya.
"Eyang, apa yang terjadi denganmu!"
"Edan! Kau sudah lihat sendiri! Masih bertanya!" bentak Kunti Api marah.
"Aku bersumpah akan membunuh nenek keparat itu!"
"Kalau begitu cari dia! Kejar sampai dapat! Mengapa masih berada di tempat ini?!" Hardik Kunti Api. Si Muka Bangkai jadi bingung.
"Eyang Kunti, kalau aku pergi bagaimana denganmu?"
Tak usah perdulikan diriku! Lekas cari dan kejar tua bangka keparat itu!"
Setengah hati tapi karena takut Si Muka Bangkai akhirnya tinggalkan juga tempat itu.
Tak lama setelah muridnya pergi Kunti Api berlalu pula dari situ. Sepanjang jalan sumpah rutuknya terdengar tiada henti.
Di satu tempat gelap Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Kunti Api, Kunti Api!" Ucap Sinto Gendeng sambil geleng-geleng kepala. "Di luar dandananmu kelihatan mewah mencorong. Mantel tebal biru bahan mahal. Di dalam ternyata cuma pakai kutang dan celana butut! Hik... hik... hik!
Apa begitu semua perempuan sekarang?! Hik... hik... hik!"
Dari dalam rumah sepanjang dua sisi jalan, penghuni kelihatan keluar. Mereka terheran-heran melihat pohon besar mengepulkan asap. Lalu kios rokok Pasiran yang terguling di jalan, hancur berantakan.
***
EMPAT
PERKARA BESAR
SESUAI janji malam tadi, hari Minggu pagi Ronny datang ke rumah Boma. Suasana lengang menyambutnya. Biasanya Sumitro Danurejo, ayah Boma, saat-saat seperti itu duduk di kursi dekat tangga, mengenakan singlet dan kain sarung, duduk membaca koran sambil menghisap rokok ditemani secangkir kopi. Atau ibu Boma keluar menyapanya. Sementara Boma sendiri biasanya masih bergelung di tempat tidur. Tapi sekali ini Sumitro Danurejo tak kelihatan di kursinya. Ibu Boma tidak keluar menyambut dan menyapanya. Di atas meja Kompas Minggu terlipat rapi, belum disentuh, belum dibaca. Di  samping koran secangkir kopi panas masih penuh, belum diminum. Aromanya yang harum menggoda rongga pernafasan Ronny. Ronny Celepuk melangkah mendekati meja. Pagi itu dia memang belum sempat sarapan atau minum. Melihat kopi panas dalam cangkir dan mencium harummya yang sedap, membuat air liur Ronny turun naik di tenggorokan. Anak lelaki berhidung bengkok ini membungkuk. Ulurkan tangan.
"Rejeki nganggur jangan didiemin. Minum dulu aah...."
Baru saja jari-jarinya menyentuh pegangan cangkir tiba-tiba ada suara orang batuk di belakangnya. Ronny kaget. Tangannya goyang. Sebagian kopi panas tumpah menyirami tangannya. Anak lelaki itu mengerenyit kesakitan, cepat-cepat meletakkan cangkir kopi ke atas tatakannya di meja. Ketika dia berpaling Sumitro Danurejo sudah berdiri di hadapannya. Kaca mata tebal plus 6 mencantel rendah di batang hidungnya. Ronny Celepuk jadi salah tingkah.
"Wah, habis deh gue didamprat!" Pikir Ronny.
Dia sadar kesalahannya. Dia memberanikan diri menyapa. "Selamat pagi Oom."
"Haus?" tanya ayah Boma. Ronny tambah salah tingkah. Tapi dasar celepuk masih bisa nyengir.
"Minum saja kopinya. Habisin."
"Nggak Oom. Kirain nggak ada orang di rumah. Sayang kopi panas didiemin." Ucap Ronny.
Lalu sebelum Sumitro Danurejo membuka mulut, anak ini cepat bertanya. "Bomanya ada Oom?" Lelaki pensiunan Departemen Penerangan itu pegang bahu kanan Ronny Celepuk, menekannya sambil berkata. "Duduk...."
Ronny jadi kecut.
"Sial bener." Ronny menyesali diri dalam hati. "Mau diapain gue?
Gara-gara nggak tahan ngeliat kopi di cangkir."
Ronny duduk di kursi yang biasa diduduki Sumitro Danurejo. Sumitro sendiri kemudian duduk di bangku lain di hadapan Ronny. Pandangan matanya tak berkesip diarahkan tepat-tepat ke mata Ronny, membuat anak lelaki ini jadi tambah kecut.
"Maaf Oom, kopinya nggak sempat saya minum. Masih utuh. Cuma tumpah sedikit."
"Diam. Saya mau bicara." Suara dan air muka Sumitro Danurejo terdengar dan kelihatan serius. Membuat Ronny tambah merasa tidak enak. Dia menunggu apa yang mau dikatakan ayah Boma. "Tadi malam Boma dikeroyok orang." Kata-kata itu kemudian keluar dari mulut Sumitro.
Ronny kaget.
"Tadi malam Boma dikeroyok orang." Sumitro Danurejo mengulang.
"Sama siapa Oom?" Ronny bertanya.
"Belum tahu. Boma sama beberapa orang saksi dibawa ke Polsek. Ditanyai sampai pagi. Ini perkara besar."
"Sekarang Bomanya di mana?"
Sumitro menudingkan jari telunjuk tangan kirinya ke atas. "Di kamarnya. Tidur. Capek.... Sakit."
"Saya boleh ke atas Oom?"
Sumitro diam sebentar lalu mengangguk. "Kalau dia masih tidur, jangan dibangunkan."
Ronny berdiri. Tangga kayu menuju tingkat atas seperti mau dilompatinya. Pintu kamar Boma renggang tak tertutup. Ronny mendorong daun pintu. Di sudut kamar dilihatnya ibu Boma tertidur  di atas sehelai sajadah. Di sampingnya, Bram kakak Boma duduk di lantai bersandar ke dinding, matanya terpejam. Mungkin tidur. Ronny mendorong daun pintu lebih ke dalam. Begitu masuk ke kamar, begitu langkah Ronny terhenti. Sosok Boma terbaring di tempat tidur. Dua bantal sekaligus menopang kepalanya. Mata kiri bengkak, pipi kiri kanan lebam. Hidung merah, ada noda darah mengering di salah satu pinggiran lobangnya. Mata kiri yang bengkak dan mata kanan sama-sama terpejam. Tapi dua mata itu bergerak membuka ketika pintu kamar terbuka dan Ronny masuk. Melihat  wajah Boma, kalau tidak ada ibu dan kakak kawannya itu dalam keadaan tertidur hampir saja dia memanggil setengah berteriak. Dengan menindih suaranya, seperlahan mungkin Ronny berkata.
"Bom! Gila! Kau kenapa?!"
Yang ditanya menatap sebentar lalu tersenyum. "Sial! Muka lu bengep begitu masih bisa nyengir!"
Boma menyilangkan telunjuk tangan kiri diatas mulutnya seraya menggoyangkan kepala ke arah ibu dan kakaknya.
"Kita bicara di bawah aja." Kata Boma.
"Memangnya lu bisa jalan?" tanya Ronny Celepuk.
"Jangankan jalan. Terbang juga gua bisa!" jawab Boma.
"Tapi di bawah ada bokap lu," kata Ronny lagi. "Kita ngomong di teras, di bawah pohon jambu."
"Kamu nggak ngerasa sakit Bom?
Muka lu ancur-ancuran begitu."
"Ala, gua udah minum obat." Jawab Boma. "Kamu udah ke dokter?"
Boma menggeleng. Sebenarnya Boma sendiri merasa heran.  Akibat pukulan dan tendangan orang-orang yang mengeroyoknya mukanya dan beberapa bagian tubuhnya babak belur. Tapi rasa sakit hanya dirasakan beberapa saat, malam tadi. Setelah itu dia tidak merasa apa-apa lagi. Cuma orang yang melihat keadaan wajahnya memang bisa merasa ngeri sendiri. Boma sadar kalau obat yang diberikan nenek kulit hitam malam tadi itulah yang telah menolongnya.
Tangga kayu mengeluarkan suara berderik sewaktu Boma dan Ronny menuruni menuju ke lantai bawah. Ketika dua anak ini melewati ruang tamu, dari bawah tangga mendadak terdengar suara Sumitro Danurejo.
"Boma! Kamu mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana. Cuma di teras." Jawab Boma.
Di teras di bawah pohon jambu berdaun rimbun yang tidak pernah berbuah sejak ditanam, Boma duduk di sebuah kursi reyot, Ronny duduk di atas bangku kayu.
"Sekarang ceritain apa yang kejadian, Bom." Ronny sudah tidak sabar.
Boma lalu menceritakan peristiwa tadi malam yaitu hanya beberapa saat setelah dia turun dari motor Ronny.
"Aku lagi jalan ke kios rokoknya Mas Pasiran. Biasa, beliin rokok pesanan Bokap gua. Mendadak ada mobil berhenti. Lima orang aku liat keluar dari Toyota Hardtop. Kamu ingat kejadian waktu aku sama Firman dipukulin orang di Gramedia?" Ronny mengangguk.
"Nah, yang dua aku kenalin. Salah satu dari mereka lelaki berewok bernama Fred. Orang-orang ini nyariin kamu juga."
"Pasti mereka mau balas dendam."
"Bukan cuma mau balas dendam Ron. Aku mau dibunuh. Salah seorang dari mereka bawa belati. Hampir mampus aku Ron...."
Cerita Boma terputus. Anak ini tidak tahu bagaimana dia harus melanjutkan ceritanya tanpa memberi tahu kalau ada satu kekuatan dalam dirinya yang membuat dia sanggup menghadapi lima pengeroyok. Juga tidak mungkin dia memberi tahu munculnya nenek aneh berkulit hitam yang batok kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu.
"Terusnya gimana Bom?" tanya Ronny. Boma menowel hidungnya yang bengkak. Otaknya diputar mencari jawaban. Untung dia segera dapat akal.
"Mas Pasiran. Dia bersama beberapa orang yang kebetulan ada di dekat situ berteriak-teriak lalu mendatangi. Lima pengeroyok kabur...."
"Lantas gimana kamu bisa dibawa ke Polsek?" tanya Ronny.
"Kamu tahu dari mana aku dibawa ke Polsek?"
"Bokap lu yang bilang." Jawab Ronny Celepuk.
Boma mengangguk. "Nggak lama sesudah orang-orang itu kabur, kebetulan ada patroli Polsek lewat.Aku sama Mas Pasiran dan beberapa orang lainnya dibawa ke Kantor Polisi. Diminta keterangan. Tapi aku nggak bilang kalau pengeroyokan itu ada sangkut pautnya sama kejadian kita dengan si Bodong dan si Anton. Aku nggak mau teman-teman ikut terlibat, dipanggil ke Kantor Polisi. Termasuk kamu, Ron."
"Jadi soal kamu dikeroyok sampai babak belur begini, sama Polisi kamu bilang apa?"
"Aku bilang orang-orang itu mau ngerampok. Tapi aku nggak punya apa-apa yang berharga untuk dirampok. Mereka jadi marah. Aku melawan. Salah seorang dari mereka cabut belati mau nusuk aku."
"Polisi nggak bodoh Bom. Aku juga nggak setuju. Kamu mustinya ceritakan semuanya. Ini bukan urusan  main-main Bom."
"Aku tau," jawab Boma perlahan.
"Naga-naga-nya para pengeroyok itu bakal bisa dibekuk dalam waktu singkat. Soalnya plat nomor mobil Toyota Hardtop itu ada di tangan Polisi. Siapa pemiliknya gampang dilacak." Boma mengalihkan pembicaraan.
"Gimana plat mobil itu bisa ada sama Polisi?" Ronny bertanya heran. Boma mengusap kepalanya sekali lagi. Dia menyesal memberi tahu soal plat nomor mobil itu. Karena hal ini berhubungan dengan si nenek aneh. Di Polsek, petugas sampai beberapa kali bertanya bagaimana Boma bisa mendapatkan plat nomor Toyota Hardtop itu.
"Aku nemuin di jalan. Dekat tempat aku dikeroyok. Mungkin jatuh. Mungkin murnya udah kendor." Boma memberi jawaban yang sama dengan apa yang dikatakannya di Polsek.
"Rasain mereka!  Huh! Bokapmu bilang ini perkara  besar. So pasti. Ini perkara kriminal Bom. Kamu mau dibunuh! Yang direncanakan lebih dulu. Hukumannya berat Bom! Rasain si Anton!
Baru nyaho' dia! Baru tau die!"
"Belum tentu ini kerjaannya si Anton, Ron." Kata Boma. "Bisa aja si berewok bernama Freddy itu ngajak temen-temennya ngerjain aku karena dendam."
"Kalau buat gua sih udah kebaca. Si Anton pasti kebawa-bawa. Terserah kamu. Kamu bilang sama Polisi kejadian itu cuma perampokan. Berarti latar belakangnya nggak tersingkap. Kalau urusan  sampai di Pengadilan, sekali kamu nyanyi si Anton nggak bisa lari."
Ronny diam sebentar lalu berkata lagi. "Sebenarnya kalau dipikir-pikir si Anton itu yang dendam berat sama aku. Ingat waktu aku bikin KO dia di sekolah? Tapi malah kamu yang jadi sasaran."
"Kita berdua jadi sasaran. Aku yang ketemu, aku yang apes duluan." ujar Boma pula.
"Orang  yang bernama Freddy sama temannya mungkin dendam berat sama gua. Gara-gara gua kencingin di toilet Gramedia."
Boma mengusap hidungnya.
"Ini jadi urusan nggak enak buat aku Ron. Sidang peristiwa perampokan tempo hari aja belon beres. Sekarang urusan kayak gini. Lusa, hari Selasa aku musti ke Polsek lagi."
"Tapi kalau urusan nggak dibikin tuntas preman-preman seperti pengeroyokmu itu nggak kapok-kapoknya," kata Ronny pula. "Dan kau tau! Si Anton pasti keseret-seret!
Dosanya lebih berat. Karena dia bisa dianggap sebagai dalang pelaku. Dia pasti yang ngebayar lima preman itu untuk ngerjain kita-kita. Anak tolol! Cuman gara-gara naksir sama Trini aja, bikin urusan yang nggak-nggak. Aku bilang sama kamu Bom. Udah, jauin aja si Trini. Dia cuma bikin masalah buat kita-kita. Temen-temen pada nggak suka sama dia. Kalau si Anton memang suka sama Trini ya sudah. Kasih aja! Segala cewek kayak begituan kamu ladenin!"
"Jangan sewot Ron. Aku rasa Trini nggak tau apa-apa. Biar gimana dia teman kita juga."
"Ah, kamu masih ngebelain dia. Jangan-jangan kamu benaran cintrong sama dia!" Ronny tampak kesal. Setelah diam beberapa saat Ronny berkata.
"Batal rencana kita ke rumah si Allan. Baiknya kamu tidur aja Bom. Istirahat. Besok pasti kamu belum bisa sekolah. Aku mau beri tau teman-teman...."
"Jangan. Nggak usah Ron." "Nggak bisa!"
"Oke deh. Terserah kamu." Boma mengalah. "Tapi cukup cuma Firman, Vino, Rio, Andi dan Gita. Allan juga boleh. Yang lain-lain nggak perlu tau.
"Trini?" tanya Ronny.
"Nggak usah."
"Dwita?" tanya Ronny lagi. Boma diam tapi kemudian gelengkan kepala.
"Nggak usah Ron." 
"Kok?"
Ronny menyengir. "Aku nggak mau temen-temen jadi pada repot. Cuma gara-gara anak gendenk macam  aku ini dikerjain orang."
Ronny Celepuk angkat bahu, berdiri lalu usap kepala cepak temannya itu.
"Bom, aku jadi nyesel. Semua kejadian ini gara-gara aku ngejotosin si Bodong di Atrium Senen dulu, konconya si Anton yang ngelempar kamu sama telor busuk. Ditambah si Anton aku hajar sampai semaput di sekolah. Ditambah lagi si Anton ngebet sama Trini, tapi tu cewek suka sama kamu....?"
"Ala.... Nggak usah pakai nyesel-nyesel segala Ron. Anggap aja gue lagi apes." kata Boma pula sambil mengusap hidungnya. Boma  masih tampak kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
"Gimana kalau aku kumpulin temen-temen. Bikin pembalasan sama orang-orang yang mukulin kamu."
"Biar Polisi yang kerja Ron. Lagian siapa teman  teman yang kamu maksudkan? Si Firman ceking? Vino, Andi...."
"Bukan mereka Ron. Aku punya teman. Gang anak-anak Kramat."
"Jangan cari urusan baru Ron. Ngomong-ngomong kepala gua rada pusing. Gua tiduran dulu...."
"Oke Bom. Nanti aku datang lagi."
Ronny menunggu sampai temannya itu masuk ke dalam rumah, baru melangkah pergi.
***
LIMA
SUMPAH BOMA DAN KENYATAAN
JAM ke tiga di Kelas II-9 adalah mata pelajaran bahasa Inggris. Ibu Renata yang belum lama sembuh dari sakit pagi itu memasuki kelas dengan air muka cukup cerah walau sejak beberapa hari belakangan ini senyumnya tak banyak kelihatan. Senyum itu malah tidak ada sama sekali setiap dia mengajar di Kelas II-9. Setiap memasuki Kelas II-9 Ibu Renata merasa seperti ada ganjalan. Semua anak di kelas ini paling tahu peristiwa dia mengajak Boma menonton. Berdiri di depan kelas dia merasa mata setiap anak memandangnya seperti mencemooh. Ibu Renata menjawab salam selamat pagi anak-anak dengan anggukan kepala. Dan surprise!. Ada sedikit senyum di bibirnya yang merah. Namun senyum yang sedikit ini serta merta pupus sewaktu dia mengarahkan pandangan ke sudut kiri kelas. Bangku Boma Tri Sumitro kosong.
"Boma tidak masuk?" Ibu Renata bertanya. Pandangannya diarahkan pada Firman kawan satu bangku Boma. Firman mendahului jawabannya dengan gelengan kepala.
"Tidak Bu."
Guru Bahasa Inggris ini seperti hendak bertanya lagi namun membatalkan maksudnya.
Di bangku depan kiri Trini berpaling pada Gita. "Dut, kamu tau Boma ke mana?"
Si gendut Gita Parwati yang sejak lama memang tidak sreg dengan Trini, apa lagi barusan ditegur dengan sebutan Dut, kependekan dari Gendut, cuma angkat bahu lalu gelengkan kepala.
Ibu Renata melirik ke arah Trini dan Gita. Dia diam sesaat. Mungkin ada yang tengah dipikirkan. Mungkin juga ada yang hendak ditanyakannya pada salah satu dari dua anak perempuan itu. Tapi apa yang kemudian dilakukannya adalah mengambil buku bahan pelajaran Bahasa Inggris yang diletakannya di meja.
Setelah hampir setengah jam mengikuti pelajaran, "Si Centil" Sulastri anak baru pindahan dari Semarang membalikkan badan. Dengan suara perlahan setengah berbisik berkata pada Vino yang duduk di belakangnya.
"Bo, aku liat Ibu kita ngajarnya kayak nggak ada semangat."
"Masa' sih? Kok kamu tau?" sahut Vino.
"Ini pasti gara-gara si Macho nggak masuk."
"Maksudmu Boma?"
"Siapa lagi." Jawab Sulastri.
"Lucu ya?"
"Apanya yang lucu?" Tanya Rio yang duduk di samping Vino.
"Ibu Renata kan lagi marahan sama Boma. Tapi begitu Boma nggak masuk ditanyain juga." Jawab Sulastri.
"Kamu tau dari mana Ibu Renata marah sama Boma?" Vino yang bertanya.
"Sulastri bo!" jawab cewek cakep bertubuh padat sintal, berkulit hitam manis itu. "Kalau orang sekampung aja tau Ibu Renata marah gara-gara omongannya mau ngajak Boma nonton bisa kesebar di sekolahan ini, masa' Sulastri nggak bisa tau? Kayaknya bakalan ada kejadian besar antara Boma dan Ibu Renata."
"Kamu nyumpahin temen sama guru sendiri." Firman yang ikut mendengar percakapan nimbrung ngomong.
"Dosa lho, kalau aku nyumpahin. Tapi aku sudah bisa memperkirakan tau? Lagian kejadian yang aku maksud itu belum tentu hal jelek. Ihh... Belum tau dikau." Sulastri bicara sambil senyum-senyum.
"Kamu kayak paranormal aja!" ucap Vino. Sulastri ulurkan tangannya, coba menusuk lengan Vino dengan ujung bolpen. Untung Vino cepat menghindar dengan menarik tangannya. Di bangku depan sebelah kanan, si gemuk Gita Parwati yang duduk di belakang Trini sejak tadi memperhatikan Vino dan yang lain-lainnya. Gita heran dan menduga-duga apa yang tengah dibicarakan anak perempuan yang dijulukinya "Si Centil" itu dengan kawan-kawannya yang lain.
"Ssstt... udah, jangan ngobrol aja. Ibu Renata dari tadi ngeliatin ke sini." Kata Andi yang duduk di samping kanan Sulastri.
"Anak-anak, harap memperhatikan pelajaran! Jangan ngobrol sendiri-sendiri!"
Baru saja Andi mengingatkan terdengar suara Ibu Renata memperingatkan.
"Nah, gue bilang apa!" kata Andi. Beberapa menit sebelum jam pelajaran selesai Ibu Renata melangkah ke sudut kelas di mana Sulastri, Rio, Vino, Firman, Andi dan Ronny duduk saling berdekatan. Anak-anak itu mengira Ibu Renata akan memarahi mereka karena tadi ngobrol seenaknya dalam jam pelajaran. Tapi dugaan mereka keliru.
Setelah memandangi anak-anak itu satu persatu Ibu Renata bertanya. "Kalian tahu ke mana Boma? Kenapa dia tidak masuk hari ini?"
Tak ada yang menjawab.  Mungkin bisa tapi tidak mau. Hari Minggu siang, sehabis dari rumah Boma Ronny keliling menemui teman-temannya. Dia menceritakan apa yang terjadi dengan Boma. Pada semua temannya Ronny mengingatkan agar kejadian itu tidak diceritakan pada siapa pun-termasuk Trini dan Dwita. Firman dan Vino melirik ke arah Ronny. Ronny sendiri duduk diam dan tenang-tenang saja sambil usap-usap dagu. Ibu Renata merasa ada sesuatu yang disembunyikan anak-anak itu. Dia mendekati Ronny lalu berkata.
"Temui saya di kantor pada jam istirahat."
"Ajie sial! Gue yang kena!" kata Ronny Celepuk sambil garuk-garuk kepala begitu Ibu Renata melangkah kembali ke depan kelas. Jam istirahat, sewaktu Ronny berjalan menuju  Kantor SMU III Nusantara, Trini setengah berlari mengejarnya. Trini pegang  pundak anak lelaki itu.
"Ron, memangnya Boma ke mana? Sakit?"
"Nggak 'tu." Jawab Ronny.
"Lalu, kok nggak masuk?"
"Nggak tau juga, ya." "Memangnya kamu enggak ketemu-ketemu dia?"
"Baru hari ini." Jawab Ronny.
"Ala, kamu bohong! Kamu pasti tau Boma ke mana."
"Kalau tau pasti aku bilang, Rin."
"Lalu kalau nanti Ibu Renata tanya, kamu mau bilang apa?"
"Sama. Nggak tau." Jawab Ronny lalu meneruskan langkahnya menuju Kantor Sekolah.
"Celepuk itu bohong! Aku yakin dia bohong!" kata Trini sendirian.
Trini memandang berkeliling. Dekat lapangan basket dilihatnya Vino, Andi, Firman dan Rio asyik bicara. Anak perempuan ini segera mendatangi mereka. Tapi langkahnya serta-merta tertahan sewaktu dari ujung kiri lapangan basket Dwita Tifani bersama Gita Parwati kelihatan  berjalan ke arah kelompok anak-anak lelaki itu. Sekali pun berlari, Trini tidak mungkin mencapai Vino dan kawan-kawannya lebih dulu dari Dwita dan Gita.
"Brengsek," Trini Damayanti hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia tidak suka pada Gita. Pada Dwita lebih lagi.
***
KETIKA Ronny memasuki Ruang Kantor SMU Nusantara III Ibu Renata sedang bicara dengan Bapak Sanyoto, Guru Olah Raga. Ronny terpaksa mengurungkan niatnya masuk, berdiri menunggu dekat pintu. Dari tempatnya berdiri anak ini dapat melihat Ibu Renata menggeleng-gelengkan kepala. Lalu Ronny mendengar Guru Bahasa Inggris itu berkata.
"Malam nanti saya tidak bisa Pak San. Lain kali saja."
"Belakangan ini Ibu kelihatan banyak sibuk. Kesehatannya lho Bu Rena. Kan habis sakit...."
"Terima kasih Bapak memperhatikan saya."
Pak Sanyoto berpaling ke pintu. Sekilas dia melihat sosok Ronny di luar sana. Guru Olah Raga ini memandang kembali pada Ibu Renata.
"Jadi boleh?" Suara Pak Sanyoto lebih pelan dari tadi. Mungkin karena kini tahu ada orang lain di dekat situ.
"Maafkan saya Pak San. Nanti saja. Saya akan beri tahu."
Ronny ulurkan kepalanya melewati pinggiran pintu. Dia melihat Pak Sanyoto berdiri dengan wajah kecewa. Lalu dengan senyum dibuat-buat Guru Olah Raga itu keluar dari ruangan. Ketika melihat Ronny di dekat pintu senyum yang dibuat-buat itu lenyap.
"Ada apa kamu di sini?! Guru Olah Raga bertanya. Nada suaranya tinggi dan mimik wajahnya tidak sedap. Di balik semua ini tersembunyi adanya rasa  kawatir.  Kawatir kalau-kalau  Ronny  mendengar pembicaraannya dengan Ibu Renata tadi.
"Saya dipanggil Ibu Renata, Pak." Jawab Ronny Celepuk.
"Ya sudah. Masuk sana." Pak Sanyoto bergegas meninggalkan tempat itu.
Ibu Renata masih berdiri di tempat tadi dia bicara dengan Guru Olah Raga Pak Sanyoto.
"Pak Sanyoto bicara apa  sama kamu?" Bertanya Ibu Renata.
"Nggak bicara apa-apa Bu. Cuma tanya ada keperluan apa saya berdiri dekat pintu."
"Kamu jawab apa?"
"Saya bilang saya dipanggil Ibu." Jawab Ronny.
Ibu Renata duduk di kursi di belakang meja. Dia tidak menyuruh Ronny duduk di kursi di depannya.
"Ronny...."
"Ya Bu."
"Kamu sama Boma kawan karib 'kan?"
Ronny mengangguk.
"Berarti kamu tahu kenapa Boma tidak masuk hari ini."
"Saya nggak tau Bu. Mungkin saja dia sakit...."
"Bagaimana kamu tahu kalau dia sakit?"
"Saya bilang mungkin Bu."
"Kapan kamu terakhir kali bertemu Boma?"
Ronny Celepuk tak segera menjawab. Mungkin dia tengah berpikir. Mungkin juga merasa heran mengapa Ibu Renata begitu ingin tahu mengapa Boma tidak masuk sekolah hari ini.
"Terakhir saya ketemu Boma.... Hari Sabtu. Waktu sama-sama pulang sekolah."
"Betul?"
"Sungguh Bu."
"Kamu nggak bohong?" 
Ronny tertawa. 
"Kok kamu ketawa?" 
"Saya nggak bohong Bu." 
"Ibu tahu kamu bohong."
Ronny terdiam. Mencoba senyum. Senyum anak lelaki ini justru membuat Ibu Renata semakin yakin kalau dia memang bohong.
"Saya mau kamu cerita yang sebenarnya, Ronny."
Ronny usap-usap hidungnya yang seperti paruh burung kakak tua. Matanya tak berani menatap wajah Ibu Renata. Hatinya berkata-kata sendiri.
"Heran, Ibu ini kok maksa banget sih.  Jangan-jangan dia punya firasat ada apa-apa dengan Boma. Tapi apa sih sebenarnya kepentingannya. Dulu Boma pernah cerita kalau Ibu Renata marah sama dia. Boma dituduh menyebar omongan soal ngajak nonton itu. Ibu Renata benci berat sama Boma. Sekarang malah mau tau banyak mengenai Boma."
"Ronny...."
"Ya, Bu." "Saya tahu kamu anak baik. Saya ingin kamu bicara apa adanya."
"Saya nggak tau mau ngomong apa Bu." 
"Kenapa? Kamu tidak suka sama saya?" 
"Nggak Bu."
"Lalu? Ada yang melarang? Boma? Teman-temanmu?"
"Bu, saya minta waktu."
"Maksudmu?" Ibu Renata menyandarkan punggungnya ke kursi. Dalam hati dia berkata. "Anak ini tahu sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara."
"Besok saya kasi tau Ibu."
"Lho, kok sampai nunggu besok? Memangnya mau lapor sama siapa dulu?"
Ibu Renata tersenyum. Senyum yang bagi Ronny terasa seperti mendesaknya.
"Nggak lapor sama siapa-siapa Bu."
"Berarti kamu bisa bicara sekarang. Nggak usah besok.''
Ronny diam. Mengusap hidungnya.
"Ronny, Ibu akan sangat kecewa kalau kau tidak mau bicara."
Ronny kembali terdiam. Bel tanda masuk berdentang. Ibu Renata berdiri. Wajahnya memancarkan rasa kecewa tapi juga menunjukkan rasa bingung. Ronny Celepuk untuk beberapa lama masih berdiri di depan meja.
"Kalau tidak ada yang mau kau katakan, silakan kembali ke  kelas."
Kata Ibu Renata tanpa memandang pada Ronny dan sambil mengambil tasnya dari atas meja.
"Bu Renata, maafkan saya Bu. Saya sudah janji sama Boma, sama teman-teman agar nggak cerita. Tapi Saya takut Ibu marah...."
"Saya tidak marah. Buat apa marah?" ujar Guru Bahasa Inggris itu. Dia tetap tegak tak beranjak dari belakang meja.
"Boma kena musibah lagi Bu."
Sepasang bola mata bagus dan bening Ibu. Renata membesar sedikit, menatap Ronny tak berkesip.
"Musibah apa? Apa yang terjadi?"
"Boma dikeroyok lima orang. Kejadiannya malam Minggu lalu. Perkaranya sekarang sudah di tangan Polisi."
Tubuh Ibu Renata perlahan-lahan duduk kembali ke kursi.
"Sekarang Boma di mana?"
"Di rumah, Bu."
"Ronny, ceritakan  selengkap-lengkapnya bagaimana kejadiannya."
"Tapi sudah bel Bu."
"Biar, nanti saya bicara sama guru yang mengajar."
***
RONNY sudah lama keluar dari ruangan Kantor SMU Nusantara III tapi Ibu Renata masih duduk di belakang meja. Wajahnya yang cantik tampak redup. Sebentar-sebentar dia menarik nafas dalam. Cerita Ronny membuat Guru Bahasa Inggris ini gelisah berat. Pikiran dan hatinya kacau-balau. Lalu dia ingat pertemuannya dengan Boma di ruangan kantor itu beberapa waktu lalu. Dia menuduh Boma menyebarluaskan cerita yaitu bahwa dia mengajak anak itu menonton tapi ditolak. Cerita itu kemudian menjadi gunjingan yang memalukan di seluruh SMU Nusantara III. Bukan cuma para murid saja yang tahu, tapi guru-gurupun tahu. Pak Nugroho, Kepala Sekolah sampai menegurnya. Boma sendiri tidak mengaku sebagai pelaku yang menyebarluaskan cerita tersebut. Ibu Renata ingat pembicaraannya dengan Boma di ruangan itu.
"Saya tidak menyangka seburuk itu budi pekertimu. Kalau kau tidak suka sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."
"Sumpah Bu," kata Boma.
"jangan bersumpah Boma. Saya paling benci pada orang yang suka mengangkat sumpah tapi ternyata sumpah palsu...."
Boma mulai bingung.
"Pergi Boma, pergilah...." kata Ibu Renata sambil melambaikan tangan menyuruh Boma pergi. Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya tidak berbuat sejahat itu."
Ibu Renata geleng-gelengkan kepala.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
Ucapan Boma itu terngiang di telinga Ibu Renata. Perempuan itu masih duduk di kursinya. Keningnya ditopangkan ke tangan kanan. Hatinya berucap. "Dia dikeroyok orang. Berarti tidak selamat. Dia termakan sumpahnya sendiri. Berarti sumpahnya memang palsu. Boma.... Benarkah semua kenyataan ini? Seharusnya saat itu kau tak perlu bersumpah. Mungkin saya terlalu mendesaknya dengan tuduhan itu. Mungkin Boma tidak  bersalah. Tapi...." Ibu Renata gelengkan kepalanya. Ada cairan hangat jatuh dari kelopak matanya, membasahi pipi. Guru Bahasa Inggris ini baru sadar kalau dia telah meneteskan air mata. Cepat-cepat dia mengambil sapu tangan dari dalam tas, menyeka perlahan ke dua mata dan pipinya.
"Ibu Renata. Tidak mengajar?"
Tiba-tiba ada suara dari arah pintu Ruangan Kantor. Ibu Renata mengangkat kepalanya. Memandang  ke arah pintu. Dia melihat Pak Nugroho, Kepala Sekolah, berdiri di situ.
"Sakit?" Tanya Kepala Sekolah. Ibu Renata gelengkan kepala. Coba tersenyum.
"Cuma pusing sedikit, Pak."
"Kalau memang sakit pulang saja."
"Tidak, tidak apa-apa. Saya masih bisa mengajar. Terima kasih Pak." Lalu Ibu Renata keluar dari ruangan. Bergegas ke Kelas II-5. Dia sudah terlambat sekitar seperempat jam mengajar pelajaran Bahasa Inggris di kelas itu.
***
ENAM
U M A R = UNTUNG MASIH ADA RAMBUT
PULANG sekolah Ronny dan Vino langsung ke rumah Boma.
Begitu melihat Boma, Vino berkata. "Kemaren tampangmu masih peyang Bom. Sekarang mendingan, benjutnya udah rada kempes."
Boma tertawa. "Hidung gua masih suka nyut-nyutan," katanya. Lalu Boma bertanya.
"Yang laen-laen nggak pada ke sini?"
"Nanti nyusul," jawa Ronny.
"Gita, Allan, Andi, Rio sama Firman ceking katanya ke Gramedia dulu, cari buku."
"Kirain beli apel sama anggur buat gua," ujar Boma bercanda.
"Maunya mereka sih gitu. Tapi kata Gita, anak kayak kamu kalau dikasih buah-buahan luar negeri takut disentri, malah mencret," kata Vino mengarang. Boma cuma menyengir.
"Bom, gua mau ngomong. Tapi sorry nih...." Ronny bicara sambil melirik pada Vino.
"Pakai sorry menyorry segala. Memangnya ada apaan?
"Gue  terpaksa nyeritain kejadian kamu dikeroyok...."
"Sama siapa?" tanya Boma.
"Trini?"
Ronny menggeleng. "Bukan," ucapnya.
"Pasti Dwita. Kan aku udah bilang Ron. Jangan...."
Ronny kembali menggeleng.
"Ibu Renata." Ucap Ronny kemudian. Suaranya perlahan seolah takut Boma akan terkejut. Boma memang terkejut. Matanya melotot. Hidung ditowel berkali-kali. "Ajie gile! Kok ceritanya sampai ke Ibu Renata?"
"Aku dipanggil ke kantor. Ditanyain kenapa kamu nggak masuk. Terpaksa Bom. Aku terpaksa bilang. Habis Ibu Renata ngedesak terus. Kayaknya dia tau kalau aku ngebohong."
"Kamu bilang apa saja Ron?" suara Boma lemas, wajahnya menunjukkan kejengkelan.
"Aku ceritain semua. Sorry Bom."
"Lalu reaksi Ibu Renata gimana?" Boma menowel hidungnya.
"Diem aja. Tapi aku liat wajahnya sedih."
Boma kembali menowel hidungnya.
"Jangan ngarang Ron."
"Aku nggak ngarang," jawab Ronny.
"Mustinya dia girang tau aku celaka begini."
"Kok kamu ngomong begitu?" tanya Vino.
Boma memandang ke luar jendela. "Waktu aku dituduh nyebarin soal nonton  itu, buat ngeyakinin dia aku sampai sumpah sama Ibu Renata. Aku bilang kalau sumpahku palsu, aku bakal nggak selamat."
"Dasar gendenk! Ngapain kamu pakai sumpah kayak gitu segala?" tukas Ronny.
"Habis, dia nggak percaya," sahut Boma. "Sekarang justru dia jadi percaya beneran kalau kamu bohong. Terbukti. Kenyataannya kamu nggak selamat. Celaka dikeroyok rampok. Berarti sumpahmu memang sumpah palsu. Berarti memang kamu yang nyebarin omongan."
"Biar aja Ibu Renata punya pikiran begitu. Yang penting aku nggak berbuat jahat sama dia." Boma diam lalu melanjutkan. "Eh, kamu bilang aku dikeroyok rampok. Bukan dikeroyok gara-gara ribut sama si Bodong dan si Anton."
"Gua nggak tolol nyeritain yang sebenernya Bom," jawab Ronny. "Kan urusan bisa jadi panjang."
"Encer juga otak lu," kata Boma sambil senyum.
"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau diajak nonton Bom?" Bertanya Vino.
"Aku cuman mau ngejaga nama dan kehormatan Ibu Renata, Vin. Kalau sampai ada anak-anak yang lihat aku nonton sama Ibu Renata, apa lagi kalau yang ngeliat guru, kamu bisa bayangin gimana akibatnya. Aku sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi Ibu Renata pasti akan jadi susah...."
"Hatimu polos juga Bom," ujar Vino. "Tapi kalau aku yang diajak. Wah! Nggak usah ditawarin sampai dua kali. Ibu Renata kan cantik banget. Kulitnya putih. Matanya bagus, bening. Suaranya sejuk seperti air es di warung bakso Mang Asep...." Habis berkata begitu Vino tertawa sendiri.
"Kalau kamu sih nggak heran Vin," kata Boma. "Jangankan cewek, kambing congek dibedakin kalau ngajak, kamu pasti mau."
Ronny tertawa mengakak. Vino cuma bisa mendehem-dehem. Lalu berkata. "Aku rasa Ibu Renata nggak punya pikiran buruk sama kamu Bom...."
"Mana aku tau. Buktinya dia marah berat sama aku."
Vino menjawab. "Itu yang keliatan di luar. Sebenernya, menurut aku dia malah sayang sama kamu."
"Sialan lu!" semprot Boma.
"Taroan yuk!"
"Ini taroannya!" jawab Boma lalu tendang tulang kering kaki kanan Vino hingga anak ini teraduh-aduh dan berjingkat-jingkat kesakitan.
Ibu Renata bilang apa lagi sama kamu?" tanya Boma pada Ronny.
"Sampai aku keluar kantor dia nggak bilang apa-apa. Cuma aku lihat wajahnya pucat."
"Mudah-mudahan dia nggak nyukurin aku digebuk orang begini," kata Boma.
"Aku rasa kalau dia sayang sama kamu, pasti dia nggak punya pikiran atau  perasaan begitu Bom." Vino lagi yang menggoda.
"Besok kau masuk?" tanya Ronny. Boma menggeleng.
"Besok pagi aku musti ke Polsek. Tadi malam ada Polisi datang. Ngasi tau kalau tiga orang dari dua pengeroyokku sudah tertangkap."
"Bravo!”  seru Vino. "Cepet juga Polisi kerjanya. Salut deh!"
"Mereka melacak dari plat nomor mobil. Menurut Polisi dua pengeroyok yang masih buron sudah diketahui identitasnya. Tinggal diciduk. Yang dua ini, satu si berewok bernama Freddy. Satunya lagi yang mau nusuk aku pakai belati  namanya Radiman. Dikenal dengan julukan si Apache."
"Indian kesasar!" ujar Ronny. 
"Menurut Polisi lima orang itu memang bangsa premanan. Sering mangkal di kawasan Mangga Besar. Kerjaan mereka merasin orang. Besok pagi aku musti ke Polsek. Polisi perlu keterangan tambahan. Nanti nyusul bikin Berita Acara."
"Aku besok bisa bolos. Nganterin kamu ke Kantor Polisi." Kata Ronny pula.
"Nggak usah Ron. Aku bisa pergi sendiri. Paling Bokap gua yang nemenin. Uuhh.... Dia ngomel nululu saban ngeliat gua. Katanya seumur-umur baru aku dari sekian banyak keluarga yang bikin urusan sama Polisi. Waktu aku nyautin siapa sih yang mau cari urusan sama Polisi, eh aku hampir digaplok. Tinggal Ibu gue cuma bisa nangis." 
"Abang lu gimana?" tanya Vino.
"Dia sempat nekat waktu pertama kali lihat gua babak belur di Kantor Polisi.  Dia mau balas dendam, ngumpulin temen-temennya. Tapi dilarang Bokap gua. Polisi juga ngasi nasihat." Lalu Boma bertanya. "Ron, cewek lu gimana?"
"Cewek gua? Siapa?" Ronny berlagak pilon.
"Belagak lu! Siapa lagi! Si Sarah!"
"Uh,  makin  melar aja Bom." Vino yang menjawab. "Jerawatnya tambah banyak. Habis dipupuk terus sama Ronny."
Ronny tersenyum. "Itu bukti kalau aku jadi saudara asuh yang bener. Orang-orang pada sibuk  sama urusan orang tua asuh. Gua sih jadi saudara asidt aja." Ronny kembali memandang keluar lewat jendela. Masih berusaha mengingat-ingat.
"Bom, ada yang aku mau bilang sama kamu. Tapi ini nggak ada hubungannya sama kejadian pengeroyokan. Cuma terkait sama Ibu Renata."
"Apaan Ron?" tanya Boma.
"Waktu aku mau masuk Kantor, aku lihat Pak Sanyoto Guru Olah Raga lagi ngomong sama Ibu Renata. Aku sih nggak begitu denger apa yang mereka omongin. Tapi kayaknya Pak Sanyoto ngebet sama Ibu Renata."
"Kamu tau dari mana?" Bertanya Vino.
"Mungkin Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata pergi. Atau mungkin juga mau datang ke rumahnya. Soalnya aku dengar Ibu Renata bilang malam nanti dia tidak bisa. Lain kali saja. Nanti saja dia beri tau...."
"Urusan guru sama guru biarin aja Ron. Ngapain kita pikirin." Kata Boma pula.
"Siapa yang mikirin. Yang aku jadi nggak enak, waktu Pak Sanyoto keluar, dia kayaknya geram sekali ngeliat aku. Omongannya kasar. Mungkin dia ngira aku sengaja ngintipin. Dia nanya kasar sekali. Ada apa kamu di sini?!"
"Pak Sanyoto keliatannya juga nggak senang sama aku," ucap Boma.
"So pasti!" celetuk Vino. "Kamu kan saingannya."
"Brengsek lu Vin," kata Boma. Lalu meneruskan. "Inget nggak, waktu latihan atletik. Gua nggak salah apa-apa, cuman terlambat lima menit. Padahal latihan juga belon mulai. Eh, aku disuruh lari  muterin lapangan sampai tiga kali.  Sial, berok gua rasanya mau copot. Lalu di Rapor angka Olah Raga gua dikasih jeblok. Empat! Sialan kagak!”.
"Waktu istirahat aku sering liat Pak Sanyoto suka ngedeketin Ibu Renata. Juga kalau ada acara-acara tertentu. Dia selalu berusaha duduk di samping Ibu Renata." Ujar Ronny.
"Pak Sanyoto sih kalah ster sama Ibu Renata." Kata Vino pula. "Ke sekolah dia cuma naik Honda Bebek bapet. Ibu Renata bawa Suzuki Katana."
"Pak Sanyoto tampangnya sih nggak jelek-jelek amat. Cuman kepalanya aja yang udah rada botak. Nggak salah kalau anak baru Si Sulastri itu ngasih nama dia Si Umar."
Ron?" tanya Vino. "Uh, ketinggalan  bajaj kamu Vin. UMAR artinya untung Masih Ada Rambut." Boma dan Vino sama-sama tertawa cekikikan mendengar kata-kata Ronny itu.
"Pak Sanyoto, Pak Sanyoto...." Boma menyebut nama Guru Olah Raga itu berulang-ulang. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Ron! Vin! Gue jadi inget!" 
"Inget apa?" tanya Ronny.
Di luar terdengar langkah-langkah berisik menaiki tangga.
"Pasti Gita sama yang Iain-lain," kata Vino. Lalu anak ini melangkah ke pintu. Boma menowel hidungnya. Tak jadi melanjutkan ucapannya yang tadi terputus.
***
TUJUH  
DUA BURONAN KIRIMAN NENEK ANEH
DARI luar rumah kontrakan di ujung gang itu kelihatan sepi. Di dalam ternyata ada dua orang lelaki berambut gondrong tengah bicara serius. Si gondrong pertama sebagian wajahnya tertutup berewok. Dia bukan lain Freddy, lelaki yang dihajar Boma di toilet Gramedia. Dia pula yang jadi pimpinan empat kawannya mencari Ronny dan Boma. Yang ditemukan pada Sabtu malam itu cuma Boma sendirian dan langsung dikeroyok. Orang kedua bernama Radiman. Oleh kawan-kawan dan beberapa kelompok preman Ibukota dikenal dengan julukan Si Apache. Lelaki ini paling sadis. Nyawa orang baginya bukan apa-apa. Dialah yang malam itu membawa belati hendak menikam menghabisi Boma.
"Fred, kalau tiga temen kita yang ketangkap nyanyi di Kantor Polisi, cepat atau lambat Polisi akan menggerebek tempat ini." Berkata si Apache.
"Kamu nggak usah kawatir. Tiga teman kita itu tidak tau rumah kontrakan ini."
"Aku tetap saja merasa kawatir Fred. Baiknya kita nyingkir ke Bogor. Ke rumah si Marjuki."
"Di situ malah lebih gawat. Dulu si Klewang dijedor mati di rumah itu." Kata Freddy.
"Kalau gitu kita cari tempat lain. Pokoknya jangan di sini. Aku benar-benar was-was...."
"Nanti saja kita bicara lagi. Aku capek. Ngantuk dan lapar. Aku mau tidur. Tapi sebelum tidur aku mau makan dulu. Kamu beli nasi di warung Padang."
Freddy  mengeluarkan selembar lima ribuan lecek dan menyerahkannya pada si Apache. Si Apache melihat arloji di pergelangan tangan kanannya. Hampir jam enam. Di luar rumah masih agak lerang.
"Tunggu sampai gelap dulu Fred," katanya sambil mengantongi uang yang lima ribu. Seperempat jam kemudian si Apache berdiri dari kursinya. Sebelum membuka pintu depan, dia mengintip dulu lewat celah hordeng. Bila dirasakannya aman baru pintu dibuka. Rumah makan Padang hanya sekitar dua ratus meter dari ujung gang. Walau bisa dicapai dengan jalan kaki tapi si Apache lebih suka naik bajaj. Bagaimana pun juga dia harus menghindari dirinya terlihat di jalanan. Selesai membeli nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya, si Apache kembali ke rumah kontrakan. Memasuki gang dia melangkah cepat-cepat menuju rumah kontrakan. Pada setiap langkah yang dibuatnya, dia merasa ada seseorang mengikuti. Si Apache menoleh ke belakang. Yang dilihatnya cuma seorang nenek bungkuk berkulit hitam berpipi cekung. Pakaian lusuh. Di kepalanya ada beberapa hiasan. Mungkin sunting.
"Sialan, cuma seorang gembel pengemis," Si Apache memaki dirinya sendiri. Dia terus berjalan. Hatinya lega begitu sampai di rumah kontrakan. Setelah mengunci pintu entah mengapa dia ingin mengintai keluar lewat celah hordeng. Nenek bungkuk hitam dilihatnya berdiri di depan pintu pagar, memandang ke arah rumah.
Freddy yang melihat kawannya mengintai keluar bertanya. "Ada apa Man?"
Radiman alias si Apache memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Freddy mendekat.
Begitu si berewok ada di sampingnya dia berkata. "Lihat keluar...."
Freddy melihat keluar lewat celah hordeng. "Cuma seorang pengemis tua. Apa anehnya?" ujar Freddy. Dia mengambil bungkusan nasi Padang dari tangan temannya lalu kembali ke kursi.
"Pengemis malam-malam begini, apa nggak aneh Fred?"
"Udah, jangan dipeduliin. Ayo makan. Habis makan kita perlu tidur. Perlu istirahat. Besok pagi kita bicara mau pergi ke mana."
Nenek bungkuk itu masih tegak di depan rumah.
"Kalau dia memang pengemis, pasti sudah tadi-tadi minta uang padaku. Ngulurkan tangan...."
"Mungkin otaknya nggak waras," jawab Freddy. Dari dalam saku blujinsnya si berewok keluarkan koin seratus perak. "Ini, kasih sama dia. Suruh pergi."
Freddy menggulirkan uang logam seratus perak itu ke arah kaki temannya. Si Apache ambil uang itu, letakkan nasi bungkusnya di kursi lalu membuka pintu. Ketika pintu terbuka si nenek aneh tak ada lagi di depan rumah. Ada rasa angker menjalari tubuh si Apache. Apalagi saat itu mendadak saja dia mencium bau pesing santar sekali. Cepat-cepat dia masuk ke dalam rumah, langsung mengunci pintu. "Udah pergi  tu nenek-nenek?" tanya Freddy. Si Anache tak menjawab. Uang logam seratus perak diletakkannya di atas meja lalu dia mengambil nasi bungkus yang tadi diletakkan di alas kursi.
"Kok uangnya nggak  kamu kasih?" tanya Freddy.
"Nenek pengemis itu sudah pergi duluan. Nggak tau ke mana," jawab si Apache. Dirabanya tengkuknya dengan tangan kiri. Dingin berkeringat. "Hati gua nggak enak Fred," katanya.
"Oo... syukur kamu masih punya hati. Gua kira nggak punya hati," jawab si berewok lalu menyeringai.
"Man, kamu badan doang yang gede. Julukan doang yang keren. Tapi nyalimu nyali kadal.  Pengecut." Si  berewok Freddy mulai menyuap nasinya tanpa cuci tangan lebih dulu.
Baru saja dia mengunyah suapan pertama, belum sempat ditelan, tiba-tiba dia membaui sesuatu. "Man, kau nyium bau aneh, nggak?" Kadiman si Apache menghirup udara dalam rumah dalam-dalam. Dia mengenali bau itu karena telah mencium sebelumnya.
"Bau pesing," katanya perlahan.
"Mungkin pintu kamar mandi terbuka. Baunya nyebar sampai ke sini," kata Freddy lalu menelan makanan dalam mulutnya. Ketika dia hendak menyuap untuk ke dua kali tiba-tiba si Apache melihat tampang temannya itu berubah. Matanya membelalak, memandang sesuatu di belakangnya. 
"Ada apa, Fred?" tanya si Apache. Freddy seperti tak mampu mengunyah makanan dalam mulutnya. Tangannya terasa berat sewaktu diangkat. Tunjukan jarinya gemetar.
"Man... Man...." Tampang si berewok kelihatan memucat. Suaranya tersendat, bukan cuma oleh makanan yang ada dalam mulutnya tapi lebih banyak oleh rasa takut. Si Apache ikut kecut. Sekujur tubuhnya mendadak jadi dingin. Perlahan-lahan dia palingkan kepala ke arah yang ditunjuk temannya. Si Apache tergagau. kaget dan takut ketika melihat siapa yang tegak di  sudut ruangan yang hanya diterangi lampu 10 watt itu. Bukan lain sosok si nanek bungkuk, pengemis tua berkulit hitam berwajah cekung. Nenek ini berdiri dengan kepala agak dijulurkan ke depan, menyeringai angker seperti binatang buas hendak menerkam mangsanya. Ketika nenek itu keluarkan suara tawa cekikikan, nyali dua preman berambut gondrong itu putus sudah. Keduanya melompat dari kursi masing-masing. Si Apache lari ke pintu depan. Tapi setengah mati dia berusaha, pintu itu tak berhasil dibukanya. Si berewok Freddy lari ke belakang. Pada bagian yang berhubungan dengan dapur terdapat sebuah pintu dalam keadaan terbuka. Freddy melompat ke arah pintu. Tapi tidak terduga, secara aneh tiba-tiba daun pintu itu bergerak ke arahnya.
"Braaakk!"
Daun pintu kayu Borneo yang cukup keras menumbuk jidat, mulut serta dagu dan perut gendut Freddy. Tak ampun lagi si berewok ini terkapar bergedebuk di lantai, pingsan tak berkutik.
***
SEKITAR jam delapan malam, petugas piket dikejutkan oleh meluncurnya sebuah bajaj memasuki halaman Polsek. Kendaraan roda tiga ini berhenti di tengah halaman, mesinnya tidak dimatikan. Beberapa orang anggota Polisi segera menghambur keluar, langsung mengelilingi bajaj. Semua petugas ini jadi terheran-heran ketika mereka dapatkan bajaj itu sama sekali tanpa pengemudi.
"Kok nggak ada sopirnya?" seorang Polisi  -Prajurit Satu Timbul-  berkata lalu melangkah lebih dekat untuk memeriksa.
"Kabur barangkali," anggota Polisi lainnya menyahuti.
"Mana mungkin. Kalau kabur pasti kelihatan." Pratu Timbul berkata sambil memasukkan kepala dan separuh badan ke dalam bajaj. Mendadak petugas ini menarik kepala dan badannya kembali.
"Ada apa?" tanya teman di sampingnya. 
"Dorong ke tempat terang!" Pratu Timbul minta bantuan teman-temannya. Bajaj didorong ke depan bangunan utama Polsek. Cahaya lampu di teras bangunan menerangi bajaj.
"Ayo, kalian lihat sendiri!" kata Pratu Timbul.
Tiga orang temannya segera membuka pintu bajaj kiri kanan, memeriksa kendaraan roda tiga itu. Di atas jok bajaj tergeletak duduk dua orang lelaki bertubuh kekar dan berambut gondrong. Yang satu berewokan. Ke duanya duduk tak bergerak, mata terpejam. Entah tidur entah pingsan. Tak ada tanda-tanda penganiayaan di wajah dua orang itu. Juga tak ada bercak darah di pakaian mereka. Dari lantai bajaj ada suara seperti orang mengerang. Ternyata di lantai itu melingkar sosok ketiga, seorang lelaki berkemeja belang-belang, bercelana hitam. Sementara tiga temannya masih diselimuti perasaan heran, Pratu Timbul malah berpikir-pikir. Ada sesuatu yang coba diingatnya. Tidak sia-sia dia memutar otak. Begitu ingat dia langsung mengeluarkan borgol. Memborgol si berewok. Teman-temannya disuruh memborgol lelaki di samping si berewok. Kedua orang itu kemudian diseret keluar bajaj, dibaringkan di lantai ruangan piket. Orang ketiga menyusul dikeluarkan dari dalam bajaj, diborgol dan digeletakkan di samping dua lelaki berambut gondrong. Orang ini sadarkan diri lebih dulu dari dua lainnya. Dia langs duduk di lantai. Memandang berkeliling. He melihat ada beberapa orang Polisi mengelilingnya. Lalu ketakutan ketika menyadari tangannya berada dalam keadaan diborgol.
"Pak... Pak, kenapa saya diborgol? Kenapa saya ditangkap Pak? Saya nggak bikin salah apa-apa. Saya nggak salah jalan, nggak nerobos lampu merah...."
"Kamu sopir bajaj?" tanya seorang Polisi. "Betul Pak. Kenapa saya jadi ada di Kantor Polisi?"
"Lepaskan borgolnya. Kita tanyai dia," kata Pratu Timbul pada teman di sebelahnya. Lalu jongkok di dekat sosok lelaki berewok yang terbaring di lantai.
"Orang ini," kata Pratu Timbul sambil bangkit berdiri lalu mengambil pesawat HT dari atas meja. "Aku yakin dia Freddy. Buronan perampok anak sekolah. Yang gondrong satunya si Apache, preman Mangga Besar, konconya si berewok." Pratu Timbul kemudian menghubungi Komandan Polsek lewat  HT, melaporkan apa yang terjadi.
***
SELAGI para petugas di ruang Piket sibuk menangani tiga tamu yang datang secara aneh itu, di halaman Polsek, tidak terlihat oleh siapa pun, tegak berdiri seorang nenek bungkuk berpakaian  serba hitam. Mulutnya menyeringai pencong. Tangan kanannya menimang-nimiang sebuah benda biru bercahaya sebesar telur burung.
"Batu Penyusup Batin," kata si nenek, "kesaktianmu boleh juga. Aku bisa menghilang dari pandangan mata orang. Hik... hik... hik. Mungkin ada baiknya kamu aku berikan pada muridku Anak Setan si gendenk itu. Hik... hik... hik."
Terbungkuk-bungkuk si nenek melangkah meninggalkan halaman Polsek. Di pintu gerbang dia berpapasan dengan seorang anggota Polisi bertubuh gemuk berperut buncit yang baru saja makan malam di sebuah warung. Iseng, enak saja si nenek menarik hidung Polisi ini. Yang ditarik hidungnya tersentak kaget. Tamparkan tangan ke depan tapi hanya mengenai udara kosong. Si nenek tarik sekali lagi hidung itu. Kali ini selain kesakitan anggota Polisi itu juga jadi  ketakutan setengah mati. Secepat yang bisa dilakukannya dia lari menuju ruangan Piket menemui teman-temannya. Sebelum keluar dari pintu gerbang si nenek palingkan kepala ke belakang. Matanya membentur bajaj yang tadi dikemudikannya.
"Tidak sangka mudah saja mengemudikan kuda berkaki tiga itu. Tapi bantingannya keras sekali. Tubuhku enjot-enjotan. Aku sampai tiga kali terkencing-kencing. Hik... hik...hik!"
***
BEBERAPA koran terbitan pagi keesokan harinya masih sempat memuat kejadian aneh Polsek malam tadi. Berbagai judul berita dan sub judul terpampang di halaman satu.
"Sopir Bajaj Mengaku Disirap Nenek Aneh."
"Dua Buronan Pengeroyok Dikirim Nenek Aneh Ke Polsek."
"Boma, Murid SMU Nusantara III Bikin Berita lagi."
"Bajaj Tanpa Sopir Ditumpangi Dua Buronan. Salah Satu Diantaranya Pentolan Preman Si Apache."
"Kejadian Aneh di Polsek. Seorang Anggota Polisi Mengaku Dipencet Hidungnya Sampai Dua Kali."
"Polsek Mendapat Hadian Malam Kliwon. Dua Buronan Dikirim Secara Aneh."
***
DELAPAN
ORANG DALAM KOBARAN API
PAGI itu sebelum jam pelajaran pertama dimulai Trini mendatangi Ronny yang asyik ngobrol bersama teman-teman dekat taman kecil di samping lapangan basket.
"Ron," bisik Gita yang berdiri di samping Si Centil Sulastri. "Liat, si Trini lagi mau ke sini. Gue liat tu kucing garong tampangnya sewot banget. Pasti ada yang nggak beres. Siap-siap aja...."
Apa yang diduga Gita memang benar. Masih beberapa langkah dari Ronny, Trini sudah membuka mulut.
"Ron, kamu brengsek!"
"Waduh, pagi-pagi udah nyemprotin gua! Ada apa Rin?" tanya Ronny.
"Tadi pagi aku baca koran. Ada berita Boma dikeroyok rampok. Kok kamu nggak mau ngasih tau sih? Kayaknya ada yang dirahasiain! Brengsek lu!"
"Iya, brengsek lu Ron," menimbrung Vino membuat Trini jadi tambah jengkel sementara teman-temannya yang lain cuma senyum-senyum. "Rin, gua sih tadinya mau ngasih tau sama kamu-kamu semua. Tapi dilarang sama Boma."
"Bohong aja lu!" tukas Trini.
"Iyya memang Ronny tukang bohong," kata Vino lagi.
"Eh, Vin! Jangan konyol lu! Lu juga brengsek!" sembur Trini.
"Wadaww! Gua yang kena sekarang!" kata Vino sambil garuk kepala.
"Ya, Rin terserah  kamu deh nggak mau percaya. Nanti aja tanya Boma kalau udah masuk." Kata Ronny.
"Brengsek!" Trini masih sewot.
"Udah, pagi-pagi nggak usah ribut," kata Sulastri seolah mau jadi penengah.
"Kalau udah tahu Boma  kena musibah, dateng dong ke rumahnya. Kita-kita semua udah pada datang, cuman kamu yang belum nongol." Sulastri melanjutkan ucapan. Dia berdusta karena sebenarnya dia tidak pernah datang ke rumah Boma.
"Ala lu lagi! Kucing burik! Nggak usah ngajarin!" Meluncur kata-kata itu dari mulut Trini. Ditujukan pada Sulastri. Sulastri mencibir.
"Katanya suka sama Boma, tapi dikasih tau kok malah ngedumel!"
"Eh, Centil! Jangan banyak ngomong lu! Gue jambak baru tau!"
"Eh, belon tan dia siapa Sulastri. Jambak aja kalau berani!" Ditantang begitu Trini jadi nekad. Anak perempuan ini melompat ke depan. Bukan cuma satu tangan, tapi dua tangan sekaligus bergerak menjambak rambut Sulastri hingga anak ini menjerit kesakitan. Bando di kepalanya mencelat mental.
"Pisain Vin! Git pisain!" Firman berpaling pada Vino dan Gita.
Ronny menggoyangkan tangannya. Berkata setengah berbisik.
"Jangan, biarin aja."
"Rasain lu!" teriak Trini. "Gue emang udah lama pengen ngejambak lu! Dulu lu juga yang ngebuang tas gue ke got!"
Dalam sakitnya dijambak Sulastri tidak tinggal diam. Tangan kanannya bergerak ke depan.
"Breett!"
Baju putih Trini robek besar. Kancing-kancingnya bercopotan. Dadanya tersingkap lebar. Mata semua anak lelaki yang ada di situ pada melotot. Sulastri belum puas. Sekali lagi tangan kanannya bergerak. Kali ini memutus salah satu tali beha yang dikenakan Trini. Anak perempuan ini terpekik. Cepat menutupi dadanya. Mundur beberapa langkah lalu lari ke dalam kelas. Sulastri rapikan rambutnya. 
"Lastri, gila lu!" kata Andi. "Biarin bo! Sekarang bru tau dia siapa Sulastri!" 
"Lastri," kata Rio. 
"Tadi Trini bilang kamu ngebuang tasnya ke got. Bener?"
"Tuduhan palsu," jawab Sulastri tapi kemudian anak perempuan ini tertawa cekikikan. "Bener, memang aku yang ngebuang tas kucing garong itu ke got. Habis, waktu aku baru masuk sombongnya tu anak bukan main."
Ronny geleng-geleng kepala. Gita tertawa lebar.
"Tapi kamu berantemnya enggak per," tiba-tiba Vino menyeletuk.
"Nggak per gimana?" tanya Lastri.
"Kalau dijambak kamu musti balas ngejambak dong. Masa, kamu ngerobek pakaian orang. Narik behanya si Trini sampai melorot ke mana-mana...."
"Aaah! Tapi kamu semua senang kan liat dada putihnya kucing garong itu?!" tukas Sulastri.
Semua anak laki-laki yang ada di situ sama menyengir.
"Untung kamu bukan berantem sama Si Gita," kata Vino pula.
"Kalau berantem sama gua memangnya kenapa?" tanya cewek gemuk Gita Parwati sambil pelolotkan mata pada Vino.
"lyaa, kalau sampai dada kamu yang dibikin melompong sama Sulastri, wadauw! Bisa gerr deh semua kita-kita ini."
"Setan lu!" Maki Gita. Bel tanda masuk jam pelajaran pertama berdentang. Ketika anak-anak itu masuk ke dalam kelas, Trini malah keluar meninggalkan kelas II-9 itu, pulang ke rumah dengan mata balut merah habis menangis.
***
HARI itu sejak sore langit kota Jakarta diselimuti awan kelabu. Mendung menggantung di mana-mana. Namun hujan tak kunjung turun. Menjelang senja turun hujan rintik-rintik. Hanya sebentar lalu berhenti. .
Jam di ruang tengah berdentang tujuh kali. Siaran "Seputar Indonesia" di RCTl baru saja berakhir. Ibu Renata masih duduk di depan pesawat televisi. Dia tadi memang menonton tayangan yang banyak diminati pirsawan itu namun dalam menonton pikirannya jauh berada di tempat lain. Ketika pembantu mengatakan bahwa makan malam sudah disiapkan, dia tidak menyahut, juga tidak beranjak dari kursinya. Pagi tadi Ibu Renata sempat membaca beberapa koran yang memberitakan peristiwa pengeroyokan Boma, termasuk berita dua orang buronan pengeroyok yang muncul di Polsek secara aneh.
Boma... Boma... Boma. Bayangan anak lelaki itu selalu muncul di pelupuk mata Ibu Renata. Pikirannya tidak bisa lepas dari mengingat Boma dan hatinya senantiasa bertanya-tanya bagaimana keadaan anak itu sekarang. Sebagian dari hati yang bertanya itu masih diselimuti rasa penyesalan sejak kemarin dia mendengar cerita Ronny.
"Kalau saya tidak terlalu mendesak, Boma tak akan bersumpah. Sumpahnya menjadi kenyataan. Tapi, apakah  dia benar-benar bersalah?
Apakah dia benar-benar yang menyebarkan cerita itu di sekolah?" Ibu Renata mengusap wajahnya. "Mungkin saya yang sebenarnya bersalah. Seorang guru mengajak muridnya menonton! Tolol sekali! Memalukan!"
Ibu Renata menatap ke arah televisi, mengambil remote lalu mematikan pesawat itu. Percuma menonton. Perhatiannya tidak pada apa yang ditonton. Guru Bahasa Inggris ini tersentak kaget ketika tiba-tiba pesawat tilpon di sudut ruangan berdering. Seberkas cahaya penuh harapan menyeruak di wajah Ibu Renata.
"Mudah-mudahan dia," hatinya membatin sambil melangkah cepat ke tempat pesawat tilpon terletak.
"Selamat malam, ya.... Oo Pak Sanyoto...." Wajah yang tadi berseri berubah redup bahkan kelihatan ada bayangan rasa jengkel.
"Saya  baik-baik  saja Pak. Betul.... Terima kasih.... Aduh maaf Pak San. Saya baru saja siap-siap mau keluar.... Nggak, nggak sama siapa-siapa.... Ah, Pak San bisa saja....
Cuma ke rumah famili kok. Ada adik datang dari Ujung Pandang. BetuL...
Saya nggak bisa janji Pak San.... Nanti saya beritahu. Ya... ya.... Selamat malam."
Ibu Renata meletakkan pesawat tilpon.
"Dia lagi. Apa sih maunya orang itu?"
Ketika dia melangkah menuju kamar, pembantu menegur. Menanyakan apakah dia mau makan.
"Nanti saja Mbok. Saya belum lapar," jawab Ibu Renata.
"Jangan suka telat makannya. Nanti Ibu sakit lagi...."
"Mbok, kapan-kapan kalau ada tilpon dari orang bernama Sanyoto, bilang saya nggak ada." Sang pembantu mengangguk lain memperhatikan jam di dinding yang menunjukkan pukul 7.24.
"Belum  lapar? Biasanya setengah tujuh Ibu sudah duduk di meja makan. Sekarang sudah jam tujuh lewat. Bilangnya belum lapar. Beberapa hari ini Ibu kok sering keliatan ngelamun?"
***
DI DALAM kamar Ibu Renata terbaring menelentang. Dua matanya dipejamkan. Siang tadi di sekolah dia memberikan nomor tilpon rumahnya pada Ronny. Berikan ini sama Boma. Minta dia nilpon saya nanti malam. Saya minta kamu tidak memberi tahu siapa-siapa."
"Baik Bu, tapi di rumah Boma nggak punya tilpon." Kata Ronny sambil mengambil potongan kertas bertuliskan nomor tilpon yang disodorkan Ibu Renata.
Ibu Renata terdiam sesaat. Akhirnya berkata. "Berikan saja. Kalau dia nggak keberatan nilpon saya, dia bisa menggunakan tilpon umum."
"Baik Bu."
"Kamu sudah ketemu Boma?"
Ronny mengangguk.
"Kamu cerita saya menanyakan dia?"
"Saya cerita semua Bu."
"Dia tidak marah kamu cerita begitu?"
"Nggak, cuma heran.”
"Heran? Heran kenapa?"
"Boma nggak nyangka kalau Ibu menanyakan dia."
"Dia bilang apa saja sama kamu?"
"Katanya dia celaka karena bersumpah. Tapi sumpahnya nggak palsu. Dia bersumpah buat ngeyakinin Ibu kalau dia tidak bohong...."
"Tidak bohong soal apa?"
Ronny agak sungkan menjawab. Tapi akhirnya dia berkata juga. "Soal siapa
yang nyebarin berita Ibu mengajak dia nonton itu."
"Jadi boma bilang sama kamu kalau dia tidak menyebarkan cerita itu?"
"Katanya Ibu pasti girang mendengar dia celaka. Tapi katanya lagi, walau Ibu punya pikiran dia yang menyebarkan cerita, yang penting dia nggak pernah berbuat jahat sama Ibu."
Ibu Renata terdiam. Apa yang didengarnya dari mulut Ronny itu membuat hatinya terenyuh. Untuk beberapa lamanya Guru Bahasa Inggris yang cantik ini tegak terdiam.
"Hanya itu yang dikatakan Boma sama kamu?" Akhirnya Ibu Renata membuka mulut bertanya lagi.
"Boma juga cerita apa sebabnya dia tidak mau menemani Ibu nonton."
"Oh ya?" Ibu Renata terkejut. Ini satu hal yang tak pernah diduganya.
"Apa katanya?"
"Dia menolak diajak sama Ibu karena ingin menjaga nama dan kehormatan Ibu. Kalau sampai ada anak-anak, apa lagi guru yang melihat, pasti buruk akibatnya. Kata Boma, dia sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi Ibu pasti akan jadi susah."
Ibu Renata merasakan lututnya goyah mendengar keterangan Ronny itu. Perlahan-lahan dia dudukkan diri di kursi di belakang meja. Kalau saja saat itu Boma  ada di hadapannya mungkin akan dipeluknya anak itu untuk menunjukkan rasa penyesalannya.
"Boma... Boma. Saya telah berprasangka buruk pada  anak itu. Kalau dia memang menjaga nama dan kehormatan saya, berarti memang bukan dia yang menyebar cerita itu. Lalu siapa? Saya harus menemuinya secepat mungkin. Besok mudah-mudahan dia masuk. Tapi bicara di sekolah, walaupun di Kantor, bisa saja menambah bahan pergunjingan yang tidak enak."
***
DAN MALAM itu yang menilpon ternyata bukan Boma. Tapi Pak Sanyoto, Guru Olah Raga.
"Heran itu orang. Apa saya harus menunjukkan sikap tidak suka saya secara kasar. Atau bilang sama dia terang-terangan?"
Mata perempuan itu terus saja terpejam. Dia seolah-olah takut melihat langit-langit kamarnya sendiri. Walau mata terpejam namun telinganya menangkap setiap suara di luar kamar. Dia mengharapkan suara sesuatu. Suara deringan tilpon. Tapi sampai dia keletihan dalam penungguan dan akhirnya tertidur tilpon di luar kamar tak kunjung berdering. Mungkin Boma tidak mau menilponnya. Mungkin anak itu masih sakit. Mungkin juga Ronny tidak memberikan nomor tilpon itu.
***
PESAWAT helikopter itu terbang tak menentu di ketinggian 2000 kaki di atas rimba belantara Kalimantan Tengah. Dari bagian mesin membersit asap hitam disertai percikan-percikan bunga api. Di dalam kokpit pilot heli tak henti-hentinya meneriakkan kata midday berulang kali di corong radiokom, memberi tahu bahwa dia tengah menghadapi bahaya sementara pesawat seperti kehilangan bobot, terus melaju turun. Helikopter itu hanya bisa bertahan beberapa menit. Dalam keadaan tak bisa dikendalikan lagi pesawat akhirnya menukik ke bawah menghujam di antara kerapatan pepohonan raksasa. Beberapa saat kemudian satu ledakan dashyat menggelegar. Api berkobar. Di atas kobaran api kepulan asap hitam menjulang ke udara. Dari dalam kepulan asap hitam itu tiba-tiba menyeruak satu sosok seorang berpakaian pilot. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api. Anehnya cuma wajahnya yang tidak diselubungi api hingga terlihat jelas. Orang ini melangkah menjauhi  helikopter yang tenggelam dalam kobaran api dan asap hitam. Di satu tempat dia hentikan langkah. Dari mulutnya keluar ucapan. Suaranya menggema menggidikkan seolah keluar dari satu lobang batu yang dalam.
"Renata... Renata! Saya masih hidup.... Saya  masih  hidup! Tunggu saya Renata.... Jangan pergi.... Jangan pergi!"
Orang itu mengangkat tangan kanannya yang dikobari api dan mendadak berubah besar serta panjang. Menggapai-gapai ke depan, coba menyentuh satu paras perempuan berwajah cantik. Wajah itu adalah wajah Renata. Perempuan itu berteriak ketakutan. Melompat menjauhi gapaian tangan. Ibu Renata menjerit keras. Dia tutupi wajahnya dengan ke dua tangan lalu melompat berusaha menghindar dari tangan seram yang hendak menyentuh wajahnya.
***
PINTU kamar terbuka. Ibu Renata di ujung tempat tidur, bersandar ke dinding kamar. Wajahnya pucat dan keringatan.
"Ibu...."
"Saya mimpi Mbok...." Suara Guru Bahasa Inggris itu terdengar gemetar. "Jam berapa sekarang?" Ibu Renata menjawab pertanyaannya sendiri dengan berpaling ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di situ ada sebuah beker kecil. Jarum-jarum beker ini menunjukkan jam 9.45 malam.
"Ambilkan saya air putih Mbok...."
Ketika si pembantu hendak keluar kamar Ibu Renata berkata. "Mbok.... Ada tilpon buat saya?"
"Nggak ada Bu. Nggak ada...."
Ibu Renata menyeka keringat yang membasahi keningnya. Matanya kemudian dialihkan ke dinding di kepala tempat tidur. Di situ tergantung sebuah foto besar seorang lelaki berambut crew cut, mengenakan seragam pilot, berdiri gagah Si depan sebuah pesawat heli. Ibu Renata pejamkan matanya. Wajahnya disembunyikan di balik dua telapak tangan. Di antara tarikan nafas panjang yang berulang kali hatinya bersuara lirih dan perih.
"Kalau saja kau masih ada...."
Tiba-tiba mengiang suara yang menggema di dalam mimpi.
"Renata... Renata! Saya masih hidup.... Saya  masih  hidup! Tunggu saya Renata.... Jangan pergi...: Jangan pergi!"
Perempuan itu mulai sesenggukan, mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Dia berusaha menguasai diri namun tak bisa. Turun dari tempat tidur ibu Renata membuka pintu kamar, bersamaan dengan sang pembantu yang datang membawa segelas air putih. Tabrakan tak terhindarkan. Gelas berisi air putih di tangan si Mbok terlepas, jatuh berderai ke lantai keramik.
"Aduh Ibu, maafkan saya...."
"Saya yang salah Mbok," kata Ibu Renata lalu melangkah pergi ke ruangan makan. Dia duduk di meja makan. Bukan untuk bersantap tapi kembali sesenggukkan menahan tangis. Sang pembantu pandangi pecahan gelas dan tumpahan air di lantai. Dalam hati perempuan berusia hampir setengah abad ini berkata. "Gelas pecah. Pertanda apa lagi ini...."
***
SEMBILAN
TAMU PEJABAT
SORE ITU Ronny ke rumah Boma sendirian. Di pintu pagar dia tak jadi masuk. Di ruang tamu  dilihatnya ayah dan ibu Boma tengah mengobrol. Serius dengan sepasang suami istri yang kira-kira seusia mereka. Boma juga duduk di situ. Anak ini sebentar-sebentar memandang ke luar. Dia telah mendengar suara sepeda motor yang dikendarai Ronny dan tahu kalau Ronny ada di luar sana. Boma berdiri, keluar menemui Ronny.
"Ron, kamu naik ke atas aja. Ke kamar gua...."
"Biar aku nunggu di sini aja Bom. Ada tamu siapa?"
"Orang tuanya si Anton," jawab Boma.
"Orang tuanya si Anton? Ngapain mereka pada ke sini? Pantes tadi di jalanan aku liat ada Volvo biru gelap parkir. Nomor dua angka. Nggak taunya ada pejabat yang datang ke rumah kamu."
Boma nyengir. "Kamu tunggu di sini Ron. Nggak lama lagi mereka pasti pulang."
Sambil menunggu, Ronny yang merasa mulutnya asam nyalakan sebatang rokok. Baru dua kali hisap dua tamu di rumah Boma kelihatan  keluar diiringi ayah dan ibu Boma, lalu Boma di sebel'ah belakang. Ronny cepat membuang rokoknya ke got. Ketika hendak minta diri tamu yang laki-laki memegang tangan ayah Boma seraya berkata.
"Pak Sumitro, saya bermohon sekali. Saya harap Bapak bisa mengerti dan menolong saya...."
Sumitro Danurejo angguk-anggukan kepala.
"Semua kejadian ini kita ambil hikmahnya, Pak Yusuf."
"Saya dan istri akan datang lagi ke sini. Harap Bapak tidak bosan menemui kami." Laki-laki bernama Yusuf itu ayah Anton berpaling pada Boma. "Nak Boma, Bapak juga minta pertolongan Nak Boma. Anton nanti akan Bapak suruh menemui Nak Boma. Untuk minta maaf." Yusuf memegang bahu Boma. Istrinya sejak tadi tegak diam lalu mengeluarkan kata. Sebentar-sebentar mengusap kedua matanya dengan sehelai sapu tangan. Begitu dua tamu pergi Boma segera mengajak Konny naik ke kamarnya di tingkat atas.
"Nah, sekarang kamu ceritain ngapain orang tua si Anton datang ke sini. Gua udah nyelidikin di sekolahan. Si Anton kagak nongol dari hari Senin."
"Orang tuanya juga nggak tau anaknya ada di mana. Cuma katanya Senin siang lalu Anton nilpon. Dia nggak berani pulang. Anak itu ngasi tau semua kejadian sama ibunya. Bilang kalau dia terlibat perkara pengeroyokan hari Sabtu malam itu. Lima orang yang dibayarnya buat ngerjain kita sudah  tertangkap semua. Cepat atau lambat Polisi akan tau cerita sebenarnya. Dia akan menjadi orang buronan."
"Gua rasa orang tua si Anton tau di mana anaknya ngumpet. Mungkin juga mereka yang ngumpetin."
"Aku rasa begitu," jawab Boma.
"Lalu apa maunya orang tua si Anton?"
"Mereka minta agar aku tidak melibatkan anaknya dalam pemeriksaan dan terutama dalam sidang pengadilan nanti."
"Bagaimana mungkin? Tu anak memang udah terlibat kok. Apa lagi kamu 'kan sudah diperiksa Polisi. Memang sih kamu nggak nyebut-nyebut si Anton. Tapi di pengadilan nanti kamu nggak bisa dusta Bom. Lima monyet bayarannya si Anton bisa aja diatur sama Bapaknya si Anton. Tapi kamu sama Bokap kamu apa mau diatur?"
"Menurut Bokapnya Si Anton, kalau aku cukup membatasi kejadian itu pada perkara perampokan saja berarti itu sudah nyelamatin anaknya...."
"Bukan cuma anaknya. Tapi dia juga. Nyelamatin jabatannya!"
"Memang ini urusan berat. Bokap gua bilang si Anton bisa dituduh melakukan pembunuhan berencana. Berdasarkan KUHP Pasal 339 tuntutan hukumannya masuk bui dua puluh tahun."
"Hebat juga Bokap lu tau segala urusan Hukum. Lalu keterangan sama Polisi jadi simpang siur."
"Bom, ini perkara besar. Ini saatnya kita balas ngegebuk si Anton dan kaki tangannya. Kita  bertindak berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak seperti mereka, pakai hukum rimba. Ala Mafia! Mereka pasti habis, Bom! Percaya gua! Udah kamu jelaskan aja semua pada Polisi. Biar tau rasa tu anak. Mentang-mentang anak pejabat. Waktu kita dilemparin telor busuk aja aku rasanya dendam setengah mati. Apa lagi waktu kamu dibilangin gendenk karena keberatan ilmu!"
"Mauku sih tadinya begitu Ron. Tapi seudahnya aku pikir-pikir rasanya nggak tega juga."
Ronny gelengkan kepala dan acungkan tinju. "Kalau kamu sampai koit dibunuh sama si Apache itu, pasti kamu nggak bisa bilang segala nggak tega. Orang tuanya si Anton menjanjikan sesuatu sama kamu, sama Bokap kamu?"
"Tadi dalam pembicaraan omongan-nya memang  mengarah  ke situ. Balas jasa sebagai tanda terima kasih. Tapi Bokap gua langsung motong, mengalihkan pembicaraan pada hal lain." Boma menowel hidungnya lalu berkata lagi.
"Udah Ron, nanti aja kita liat di pengadilan. Tau nggak, menjelang selesai aku ngasih  keterangan di Polsek tau-tau Bokapnya Trini muncul."
"Tau dari mana dia?"
"Waktu aku tanya dia bilang Trini yang ngasi tau. Hari ini Trini pulang cepat...."
"Bukan pulang cepat Bom. Ada kejadian di sekolah. Trini berantem sama si Centil cewek baru itu." Lalu Ronny Celepuk menceritakan kejadian tadi pagi disekolah.
"Wah, berarti kamu bisa hutang budi lagi buat kedua kali Bom."
"Kamu untung punya pacar bapaknya Polisi." Boma cuma tersenyum lalu menowel hidungnya.
Dari dalam kantong kemejanya Ronny keluarkan selembar potongan kertas. Lalu diserahkannya pada Boma. Boma perhatikan sebentar angka-angka yang tertulis di atas kertas itu. Dia tahu itu adalah nomor tilpon. Tapi bergurau dia berkata kepada Ronny.
"SDSB udah nggak  ada lagi. Ini nomor lotere apaan Ron?"
"Bukan nomor lotere. Itu nomor tilpon Ibu Renata."
"Wah, kejutan nih! Kok kamu bisa dapetin nomor tilponnya Ibu itu?"
"Dia yang nulis. Diberikan sama aku. Disertai pesan agar disampaikan pada kamu. Dan nanti malam dia minta kau menilponnya."
"Nomor tilpon  Ibu Renata. Itu kejutan pertama. Dia yang nulis lalu diberikan pada kamu. Itu kejutan kedua. Dipesan agar diberikan padaku. Itu kejutan ke tiga. Dia minta aku menilponnya nanti malam. Itu kejutan keempat!"
"Jangan kaget, pasti ada kejutan ke lima dan ke enam!" menimpali Ronny.
"Gimana ceritanya sampai Ibu Renata ngasi nomor tilpon. Kamu cerita yang jujur Ron. Jangan ditambah jangan dikurangin."
Ronny lalu menceritakan pertemuan dan pembicarannya dengan Ibu Renata di sekolah hari itu.
"Kayaknya dia mulai meragukan kalau kamu  yang nyebar berita soal menonton itu."
"Mungkin begitu mungkin juga nggak," jawab Boma.
"Untuk pastinya kamu tilpon aja Ibu Renata nanti malam." Kata Ronny.
"Terus terang gua nggak abis pikir Bom. Siapa yang punya pekerjaan nyebar luasin  cerita kamu sama Ibu Renata itu."
"Inget kemarin waktu kamu, aku dan Vino bicara di kamar ini? Aku ingat sesuatu. Tapi nggak sempat ngomong karena teman-teman yang lain berdatangan...."
"Sekarang kamu boleh ngomong apa yang kamu ingat itu." Kata Ronny pula.
"Pak Sanyoto," ucap Boma. "Waktu kelas satu kita masuk siang pulang sore."
"Betul."
"Sore itu, kalau aku nggak salah hari Sabtu, Ibu Renata manggil aku ke kantor. Di kantor cuma kami berdua. Guru-guru sudah pada pulang. Waktu itu Ibu Renata bilang dia mau ngajak aku nonton. Aku lupa filmnya apa. Tapi kata Ibu Renata film itu bagus sekali dan ceritanya banyak kesamaan dengan kehidupannya. Saat itu aku bingung Ron. Tapi kemudian masih bisa berpikir. Ajakan Ibu Renata aku tolak. Aku lupa apa alasan yang aku  bilang waktu itu. Nah, waktu keluar dari Kantor aku lihat Pak Sanyoto. Kayaknya dia udah lama berdiri, nguping dekat pintu Kantor sebelah luar. Waktu ngeliat aku, dia pura-pura ngebetulin sesuatu di motornya."
"Jangan-jangan dia ngedenger apa yang Ibu Renata bilang."
"Bisa aja."
"Lalu karena Ibu Renata lebih punya perhatian sama kamu, dia ngegosipin kejadian itu  ke mana-mana. Dasar guru kuyak! Kamu musti ceritain sama Ibu Renata Bom."
"Aku nggak berani Ron. Nggak mau. Urusan bisa tambah panjang."
"Kok? Kenapa? Kamu harus membersihkan diri di mata Ibu Renata. Biar Ibu Renata tau kalau memang bukan kamu yang jadi biang kerok nyebarin cerita nggak karuan."
"Aku nggak punya bukti kalau Pak Sanyoto yang jadi dalang nyebarin cerita." Kata Boma.
Ronny terdiam lalu berkata. "Iyya juga. Susah juga."
"Udah, nggak usah dipikirin." Kata Boma pula.
Ronny keluarkan kunci motor dari kantong blujinsnya.
"Aku cabut dulu Bom. Nomor tilpon Ibu Renata sudah patik berikan. Pesan sudah hamba sampaikan. Selanjutnya terserah anda." Ucap Ronny menirukan kata-kata iklan di televisi.
***
DAN seperti diketahui malam itu Boma tidak menilpon Ibu Renata. Setelah Ronny pergi Boma membaca sebuah majalah di lantai bawah lalu selesai sembahyang Magrib dia naik kembali ke kamarnya. Untuk beberapa lama anak ini memperhatikan wajahnya di sebuah kaca kecil yang tergantung di dinding. Besok dia harus masuk sekolah. Untung benjat-benjut di wajahnya sudah  berkurang jauh. Selagi dia mengusap-usap pipinya yang pernah lebam tiba-tiba dia melihat wajah lain dalam kaca. Wajah nenek-nenek berkulit hitam, berpipi cekung dengan mata mencorong angker. Wajah seram itu menyeringai. Bersamaan dengan itu Boma mencium bau pesing santar sekali.
***
SEPULUH
SINTO GENDENG DATANG
SUMITRO Danurejo merasa heran melihat di pintu pagar rumah berdiri seorang nenek berpakaian butut, bertampang seram. Rokok yang terselip di bibir dicabutnya, kacamata plus enam ditanggalkan, diletakkan di atas meja. Saat itu si nenek di luar sana enak saja nyelonong masuk.
"Malam-malam kok masih mau ngemis?" tegur Sumitro. Walau suaranya menegur agak tidak enak didengar tapi tangan kirinya merogoh ke kantong celana panjang di mana ada beberapa uang logam seratus perakan.
Nenek yang ditegur menyeringai lalu berkata. "Sampean salah menduga. Aku bukan pengemis."
"Lalu?" tanya Sumitro heran. Saat itu bau tidak enak yang sudah diciumnya sejak tadi terasa semakin menusuk.
"Lalu? Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa lalu enak saja dia mengambil rokok yang ada di sela jari tangan kanan Sumitro. Rokok dihisapnya satu kali. Sumitro jadi marah. Ketika dia hendak membentak tiba-tiba si nenek hembuskan asap rokok dalam mulutnya ke wajah lelaki itu. Saat itu juga seperti dihipnotis Sumitro tertegak diam, tak bergerak tak mampu bersuara. Si nenek perhatikan rokok yang dipegangnya. "Ini yang namanya rokok. Dasar manusia pada tolol. Mau saja menenggak asap. Apa nggak kembung?!"
Walau berucap begitu tapi si nenek sedot rokok di tangannya sekali lagi. Lalu rokok itu diselipkan  kembali di sela jari Sumitro. Sambil senyum-senyum si nenek masuk ke dalam rumah, menaiki tangga, menyelinap masuk ke dalam kamar Boma.
***
DI DALAM kamar Boma tersurut mundur dua langkah begitu melihat wajah nenek seram dalam kaca. Ketika dia memutar tubuh dan palingkan kepala, ternyata si nenek telah berdiri tiga langkah di hadapannya, menyeringai dan menebar bau pesing.
"Nek...." Boma menegur dengan suara tercekat.
"Anak Gendenk."
"Syukur."
"Eh, mengapa kau bilang syukur?" tanya si nenek sambil delikkan mata.
"Biasanya kau memanggil saya Anak Setan. Sekarang Anak Gendenk."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Anak Gendenk, Anak Setan dengar. Aku tidak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang karena ada firasat dirimu dalam bahaya...."
"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibunuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"
"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bakal datang. Ada orang yang akan membunuhmu. Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di sekolahan. Besok kau masuk sekolah?"
Boma mengangguk.
"Siapa orang jahat itu Nek? Masih kawanan kelompok lima pengeroyok itu?"
"Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam. Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat secarik kain merah. Dia merupakan suruhan para dedengkot golongan hitam yang tak suka kemunculan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."
"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000? Nek setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa dipercaya."
"Dalam rimba persilatan keanehan hanya selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kau pecahkan sebelum  keanehan memecah kepalamu! Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya  tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat ujudnya karena dia sudah diusap dengan benda ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bangkai...."
Dari balik baju hitam bututnya di bawah ketiak kiri si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk dan sebesar telur  burung merpati, berwarna biru bercahaya.
"Apa itu Nek?" tanya Boma.
"Batu  Penyusup Batin," jawab si nenek. "Jika batu ini kau genggam, ujudmu tak akan terlihat oleh siapa pun. Kau lenyap, menghilang dari pemandangan mata manusia. Jika Pangeran Matahari muncul, orang lain tak bisa melihat dirinya, tapi kau bisa."
"Kalau saya bisa menghilang wah enak juga Nek." Kata Boma.
"Enaknya?! "tanya si nenek.
"Saya bisa gentayangan ke mana-mana. Masuk bioskop nggak bayar.
Ngintip orang pacaran. Ngintipin cewek mandi.  Masuk ke kamar penganten baru...."
"Anak Setan!" bentak si nenek.
"Ilmu apa saja kalau dipergunakan salah, untuk kejahatan, bisa kualat makan diri sendiri."
"Nek, gimana kalau setelah menghilang saya tidak bisa kembali ke alam nyata? Bisa celaka saya seumur-umur."
"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa melindungi dirimu, dari segala macam bahaya!
Bukan buat ngintip cewek kencing!"
"Nek, saya tetap nggak mau nerima batu itu. Ngeri Nek."
"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jangan keliwatan. Aku sudah bilang dirimu terancam bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini selama beberapa hari padamu."
"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak berani. Takut...."
"Takut apa jijik?! Karena batu ini barusan aku keluarkan dari ketiakku hah?!"
Boma menowel hidungnya.
"Tidak, bukan karena itu Nek."
"Jangan dusta Anak Setan!"
"Saya  nggak dusta Nek. Sumpah...."
"Jangan suka bersumpah! Urusan sumpahmu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tambah celaka kamu!"
"Kok.... Kok Nenek tau saya sumpahan sama Ibu Renata?" tanya Boma heran.
"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu. Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu itu juga aku tahu! Ada tahi lalatnya di lempengan sebelah kiri! Hik... hik... hik!"
Boma melengak kaget. Kaget karena apa yang dikatakan si nenek memang benar adanya. Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian bawah celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah keras.
"Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima Batu Penyusup Batin ini?"
Boma gelengkan kepala. Tangan kirinya masih menekap ke bawah perut. Si nenek tampak kesal.
"Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau celaka jangan salahkan aku!"
Perempuan tua berwajah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki ini mundur.
"Kamu takut?!" Si nenek menyeringai.
"Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?"
"Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau menerima batu sakti ini?"
"Nggak Nek, nggak. Biar saya nggak tau nama Nenek...."
Si muka angker tertawa panjang.
"Bagus, kau rupanya tidak mempan disogok! Nik... hik... hik!"
Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma seraya berkata.  "Kau akan menyesal tidak mau kupinjamkan batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"
Boma merasa bahunya yang ditepuk menjadi pegal dan berat.
"Nek, pintu keluar sebelah sini," kata Boma ketika melihat si nenek melangkah ke arah jendela yang tertutup.
"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab si nenek sambil tertawa lebar. Tangannya bergerak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengar baik-baik. Batu Penyusup Batin sudah aku susupkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang belikatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, sosokmu akan menjadi samar. Jika kau mengusap kedua kali, tubuhmu akan lenyap dari pemandangan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi, ujudmu akan kembali seperti semula."
Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu kanannya di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu yang menonjol pada daging di bawah tulang belikatnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga takut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu sekali dia berkelebat sosoknya melesat keluar jendela. Boma mengejar ke jendela, namun dia hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek tak kelihatan lagi.
***
TERNYATA si nenek tidak terus pergi. Dia melayang ke teras rumah, menemui Sumitro Danurejo yang sampai saat itu masih tegak tak bergerak tak bersuara. Rokok yang terselip di sela jari tangan kanannya dan masih menyala hampir membakar jari-jari itu. Seperti tadi si nenek mengambil rokok itu, menghisapnya dalam-dalam lalu hembuskan asap rokok ke wajah Sumitro. Sisa rokok diselipkan kembali ke jari tangan lelaki itu. Setelah tertawa cekikikan si nenek berkelebat. Sumitro melihat sosok perempuan tua itu laksana terbang menembus udara malam, berkelebat di wuwungan rumah tetangga lalu lenyap. Hanya sesaat setelah sosok si nenek bau pesing lenyap, Sumitro sadar akan dirinya. Dia mampu bergerak dan bersuara kembali. Dia perhatikan rokok di tangannya yang tinggal pendek. Memandang ke arah atap rumah tetangga di seberang sana, lalu kembali memperhatikan rokok. Dia tak berani meneruskan menghisap. Rokok itu dicampakkannya ke jalanan. Kini ada rasa takut menjalari tengkuknya yang terasa dingin. Cepat-cepat lelaki ini masuk ke dalam rumah, mengunci pintu depan lalu naik ke atas, menemui Boma di kamarnya. Tapi Boma tidak ada dalam kamar.
"Ke mana lagi itu anak?" Sumitro bicara sendirian sambil meraba tengkuknya. Sebenarnya saat itu Boma ada dekat jendela. Barusan dia mencoba mengusap bahu kanannya dua kali. Dia tidak dapat memastikan apakah dirinya benar-benar lenyap seperti kata si nenek. Dia baru percaya akan kenyataan setelah melihat ayahnya masuk kamar tapi tidak melihat dirinya tegak dekat jendela.
"Boma?!" Sumitro memanggil.  Tak ada jawaban. Boma berpikir apa sebaiknya dia segera mengusap bahunya sekali lagi. Tapi dia kawatir ayahnya akan kaget besar. Lebih dari itu dia tidak mau ada orang lain tahu kalau dia memiliki ilmu aneh. Boma terus saja berdiri diam dekat jendela. Sumitro Danurejo kembali usap tengkuknya yang dingin. Dia memandang seputar kamar. Lalu gelengkan kepala.
"Gila! Mengapa banyak keanehan sekarang terjadi di rumah ini?"
"Boma!" Sumitro memanggil lagi. Tetap tak ada  jawaban. Jengkel, tapi kemudian lebih banyak takutnya, Sumitro Danurejo keluar dari kamar anaknya.
***
MALAM itu Boma tidak mengikuti apa yang dipesankan Ronny. Dia tidak menilpon Ibu Renata. Hal ini membuat kegelisahan mendalam dalam diri Guru Bahasa Inggris itu. Membuatnya sulit tidur. Pikirannya menerawang jauh. Hatinya diselubungi berbagai rasa. Dia baru bisa memicingkan mata menjelang pagi. Ketika bangun tubuhnya terasa capai sekali. Namun keletihan pisik yang dirasakannya tidak ada arti sama sekali dibanding dengan tekanan penyesalan batin yang menghunjam lubuk hatinya.
***
KEESOKAN harinya, hari Rabu Boma kembali masuk sekolah. Justru Ibu Renata tidak kelihatan. Menurut kabar yang bersumber dari Tata Usaha Sekolah, Guru Bahasa Inggris itu terserang flu. Pagi itu Ronny datang lebih dulu di sekolah. Ketika Boma muncul, sehabis dikerubungi oleh teman-temannya Ronny mengajak Boma masuk ke dalam kelas.
"Orang Tata Usaha bilang Ibu Renata tidak masuk. Sakit flu. Tadi malam kamu nilpon dia?"
Boma menggeleng.
"Aku udah duga," Ronny berkata sambil sandarkan punggungnya ke tembok.
"Kamu nggak kasian sama Ibu itu?"
Boma menowel hidungnya.
"Kalau Pak Sanyoto nggak masuk hari ini gara-gara flu, apa aku juga harus merasa kasihan sama dia?"
"Gendenk kamu  Bom! Aku tanya lain, jawabmu lain lagi. Sejak punya ilmu kamu kok jadi sering ngelantur omongannya? Jalan pikiranmu seperti nggak normal lagi. Mungkin kamu dendam sama Ibu Renata? Dia nuduh kamu biang kerok penyebar cerita yang membuat dia malu setengah mati. Kamu kan udah tau, dia salah sangka. Aku yakin Bom, Ibu Renata bukan cuma sakit flu. Ada sakitnya yang lain...."
"Gitu?" Boma menowel hidungnya.
"Udah lama kamu jadi dokter atau dukun? Atau terkun?"
"Gendenk lu Bom!"
Bel tanda masuk berbunyi. Ketika semua anak telah duduk di bangku masing-masing, Boma memandang seputar kelas. Dia tidak melihat Trini di bangkunya.
"Ron," kata Boma pada Ronny yang duduk di sebelah depan. "Kalau ngikutin omonganmu, aku juga musti kasian sama Trini. Bangkunya kosong. Dia nggak masuk hari ini."
Ronny diam saja. Yang menyahuti malah Vino. "Trini bukannya nggak masuk. Tapi terlambat doang. Mungkin dia lagi sibuk ngejait kutangnya yang putus dibetot Sulastri kemaren."
Si Centil Sulastri mesem-mesem. Yang  lain senyum-senyum kecil mendengar ucapan Vino.
***
SEBELAS
IBU RENATA SAKIT LAGI
HARI RABU, tepat satu minggu Ibu Renata tidak masuk mengajar. Hari ini ada rapat guru di SMU Nusantara III. Dua jam pelajaran terakhir anak-anak dipulangkan.
"Bom, kamu nggak buru-buru pulang 'kan?" tanya Ronny ketika melangkah keluar dari kelas.
"Kenapa? Kamu mau ngajak aku ke mana? Ke Mal?"
"Ada yang aku mau bicarain. Kita ngobrol di warung baksonya Mang Asep."
"Ngobrol aja sambil jalan."
"Bom, ini soal sakitnya Ibu Renata. Hari ini persis seminggu dia nggak masuk mengajar."
"Kamu rajin banget ngitungin hari orang sakit."
"Sakitnya Ibu Renata serius Bom."
"Memangnya sakitnya apa? Katanya cuma flu." "Bukan cuma flu Bom. Tapi ada
gejala tipus."
"Dokter sekarang nggak heran. Kalau pasien panas dikit dibilang tipus. Apa lagi kalau dokternya magang rumah sakit. Pasti disuruh rawat. Sekarang penyakit sering dikomersialkan Ron."
"Gue nggak ngerti itu. Mau dikomersialkan, mau diapain kek. Yang aku mau omongin soal Ibu Renata. Sakitnya udah gitu lama, kok kamu ngga mau nengokin sih?"
"Eh, gua rasa nggak ada aturan di sekolah ini kalau guru sakit anak murid musti nengokin."
"Aturan sih memang nggak ada. Tapi budaya kita  kan budaya timur Bom...."
"Sok  tau lu. Kalau budaya timur memangnya kenapa?"
"Nengokin orang sakit itu nggak ada ruginya. Apa lagi yang sakit guru kita. Ibu Renata. Guru sebaik itu rasanya nggak enak kalau sampai nggak ditengokin."
"Ibu Renata  kan baik sama kamu-kamu. Sama aku enggak."
"Kamu kayaknya masih dendam aja." 
"Kata orang pinter, jadi manusia nggak boleh dendam. Tapi yang namanya manusia paling nggak punya perasaan. Iyya 'kan?" "Kata orang pikiran jangan dipengaruhi perasaan. Bisa jadi nggak sehat," jawab Ronny.
"Kamu kayak  Socrates aja," ujar Boma. Ditowelnya hidungnya lalu bertanya.
"Kamu memangnya udah nengokin si Ibu?"
"Udah dua kali. Kali yang kedua aku nggak bisa ketemu. Kata pembantunya Ibu Renata nggak bisa turun dari tempat tidur. Nggak mau ketemu siapa-siapa."
"Nah kalau nggak mau ketemu siapa-siapa, buat apa aku datang?
Malu-maluin aja...."
Ronny pegang tangan Boma. "Bom, aku yakin  Ibu Renata sangat ngarepin kedatanganmu."
"Pak Sanyoto udah nengokin?"
"Brengsek! Kok kamu nanyain guru kunyak itu!" ujar Ronny jengkel. "Ibu Renata nggak suka sama Guru Olah Raga itu tau. Gua sih cuman ngasih usul Bom. Lu tau nggak...."
"Tau apa?" tanya Boma.
"Waktu aku datang kedua kali, aku cuma ketemu sama pembantu...."
"Tunggu dulu, kamu datang sama siapa?" potong Boma.
"Sama Sarah,"  jawab Ronny sambil sedikit tersenyum. "Terus?"
"Waktu aku sama Sarah mau pergi, pembantu nanya begini. Nak, mungkin kenal sama orang namanya Boma?"
Boma hentikan langkah. Duduk di bangku batu di pinggiran taman. Saat itu keadaan mulai sepi. Beberapa anak bermain basket di ujung lapangan.
"Kamu jawab apa Ron?"
"Aku tanya sama pembantu. Memangnya kenapa 'Bi? Pembantu itu bilang. Dia sering dengar Ibu Renata mengigau. Kalau ngigau dia manggil-manggil nama kamu."
"Ngacok! Kamu ngarang Ron!"
"Sumpah! Aku nggak ngarang! Tanya sama Sarah situ. Atau sama si pembantu di rumahnya Ibu Renata. Boma menowel hidungnya. Matanya tunduk memandang bunga layu di dekat kakinya.
"Ibu Renata sudah ke dokter?" tanya anak ini.
"Sudah dua dokter. Panasnya masih belum turun-turun juga."
"Flu sekarang memang begitu Ron. Panas tinggi, lama sembuhnya. Gua rasa nggak ada yang perlu dikawatirin."
"Jadi kamu tetap nggak mau nengokin Ibu Renata?" Boma diam.
"Kamu mau nemanin aku?" "Mau  aja Bom. Tapi aku rasa lebih baik kamu datang sendirian."
"Aku musti bawa apa?" Nggak perlu bawa apaan. Ibu Renata cuman mau liat kamu. Mau ngomong. Kangen. Itu aja...." 
"Kapan aku musti ke sana?" tanya Boma lagi. 
"Terserah kamu. Yang penting jangan waktu dia lagi tidur siang. Juga jangan keliwat malam." Ronny pandangi wajah sahabatnya itu lalu berkata. "Kamu inget nggak, kamu sendiri yang bilang. Ibu Renata ngajak kamu nonton karena filmnya ada kesamaan dengan jalan hidupnya. Mungkin saja  dia mau cerita sesuatu pada kamu. Mungkin cuma kamu yang dia percaya."
Boma diam lagi.  Matanya masih menatap bunga layu di ujung kaki.
"Kasian itu kembang," katanya. "Orang sebanyak ini, nggak ada yang nyiramin. Taman ini apa nggak ada yang ngurus."
"Kamu bisa bilang kasian sama kembang. Tapi sama guru sendiri nggak kasian."
Boma  usap-usap hidungnya lalu berdiri.
"Ayo Ron, pulang. Udah sepi."
Di pintu gerbang sekolah sebelum berpisah Ronny berhenti sebentar. Ditatapnya wajah Boma.
"Kamu mau bilang apa Ron?" Ronny gelengkan kepala. "Aku nggak mau bilang apa-apa. Aku udah kehabisan omongan."
Boma tertawa. "Kamu bilang ingin jadi pengacara. Membela orang-orang tertindas. Tapi kalau pengacara kehabisan ngomong wah bisa gawat Ron!
Mulut dan kata-kata itu senjatanya pengacara nomor satu."
"Ada senjata yang lebih berharga Bom," sahut Ronny.
"Apa?"
Ronny menunjuk ke kepala dan ke dadanya. "Otak sehat sama hati bersih."
"Boleh juga omongan lu!" kata Boma seraya menowel hidungnya. Anak ini lambaikan tangan lalu menyeberang jalan. Ronny pandangi temannya itu. Hatinya berkata. "Nggak bisa juga sih dia disalain. Hatinya polos. Nggak pernah nyakitin temen. Sama guru sangat menghormat. Sampai mau sumpah segala untuk mendapatkan kepercayaan. Tapi yang didapatnya pukulan dan tendangan."
***
DUA BELAS
MURIDKU MACHOKU
BOMA berlaku cerdik. Seolah ada firasat dia lidak berhenti tepat di depan rumah nomor 14 itu. Setelah lewat dua rumah baru dia memberi tahu supir bajaj agar berhenti. Dengan jalan kaki dia kembali ke arah rumah nomor 14 itu. Rumah berpagar cat putih, rumah Ibu Renata. Boma sengaja tidak menyusuri tepi jalan di mana rumah terletak, tapi menyeberang ke sisi jalan yang lain. Menjelang Boma akan sampai ke rumah nomor 14 itu dari ujung jalan tiba-tiba sebuah Honda Bebek meluncur dan berhenti tepat di pintu pagar cat putih. Boma cepat menyelinap ke balik sebuah bedeng PU. Dia sering mendengar dan mengenali betul suara motor itu. Ketika dia memperhatikan dari balik sudut dinding bedeng, dugaannya tidak salah. Guru Olah raga Pak Sanyoto mematikan mesin motor, memarkir kendaraannya dekat pintu pagar lalu menekan bel. Bel itu agak tersembunyi di balik tembok pagar. Tapi Pak Sanyoto tahu tempatnya. Pertanda dia sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. Guru Olah Raga ini turun dari kendaraannya sambil menenteng satu kantong plastik.
"Sial, gua keduluan," kata Boma dalam hati. Dia berpikir lebih baik segera pulang saja. Tapi kalau dia keluar dari balik bedeng itu sekarang, mungkin Pak Sanyoto melihatnya. Boma memutuskan menunggu. Pintu garasi rumah terbuka. Seorang perempuan  berkebaya lusuh keluar. Siti, pembantu yang diceritakan Ronny, yang sudah bekerja di rumah Ibu Renata hampir empat tahun.
"Mbok, Ibu Renata ada?" Pak Sanyoto menyapa.
"Bapak dari mana?"
"Saya Sanyoto, saya dan Ibu Renata sama-sama ngajar di Nusantara III."
"Ooh, Ibu ada tapi sedang tidur. Masih sakit."
"Bisa saya ketemu sebentar?"
"Bapak masuk dulu. Silakan duduk di teras. Saya beri tahu Ibu."
Sanyoto mengucapkan terima kasih lalu naik ke teras rumah dan duduk di kursi yang ada di situ. Tak lama kemudian pembantu tadi keluar kembali.
"Aduh maaf, Pak. Ibunya masih tidur. Saya nggak berani ngebangunin."
"Sakitnya Ibu bagaimana?"
"Sekarang sudah jauh mendingan. Tapi sesekali panasnya suka naik."
"Sudah ke dokter?"
"Sudah dua kali, Pak."
"Barangkali, saya bisa  menunggu di sini sampai Ibu bangun?"
"Boleh saja. Tapi kasian kalau Bapak nanti nunggunya lama."
Sanyoto merasa tidak senang dengan jawaban pembantu itu. Sang pembantu juga merasakan. Maka Siti berkata. "Atau  mungkin Bapak datang lagi nanti malam. Sekitar jam setengah tujuh?"
Sanyoto memperhatikan arloji di lengan kirinya. Saat ilu baru jam 4.55 sore. Di dalam rumah dia mendengar suara kran mengucur di kamar mandi. Tadi waktu dia baru datang suara itu tidak ada. Berarti ada seseorang baru masuk ke kamar mandi dan menghidupkan kran air.
"Mbok, di rumah sini yang tinggal siapa saja?" tanya Sanyoto.
"Cuma Ibu Renata dan saya," jawab si pembantu.
"Berarti di kamar mandi, yang barusan membuka kran air adalah Ibu Renata." Otak Guru Olah Raga itu bekerja.
Merasa  dibohongi Sanyoto menjadi mengkal. Dia berkata. "Saya ada keperluan lain nanti malam. Sebetulnya kalau saya menunggu saja, biar lama nggak apa-apa."
Si pembantu tidak memberikan jawaban. Sanyoto merasa tambah tidak enak, tambah kesal. Ibu Renata jelas tidak sedang tidur. Perempuan itu tidak mau menemui dia lalu menyuruh pembantunya mengatakan bahwa dia sedang tidur.
"Kalau saya tidak boleh menunggu, ya sudah Mbok." Kata Sanyoto pula. Bungkusan yang dipegangnya diletakkan di meja. "Tolong sampaikan ini sama Ibu Renata. Salam dari saya Pak Sanyoto." 
"Isinya apa Pak?"
"Anggur," jawab Sanyoto kesal. Dia merasa tidak sopan seorang pembantu ingin tahu apa isi bingkisan yang diberikan orang untuk majikannya. Ini membuat Guru Olah Raga itu semakin kesal. Suara deru Honda Bebek yang dikemudikan Sanyoto lenyap di tikungan jalan. Mbok Siti tengah menutup pintu pagar ketika dia melihat ada seorang anak laki-laki menyeberangi jalan, mendatangi. Ketika dia mengangkat kepala, anak itu sudah berdiri di hadapannya. Begitu melihat wajah si anak, air muka  sang pembantu jadi berubah. Mulutnya ternganga. Bola mata membesar. Dia seperti kaget.
"Bapak...." Suara Mbok Siti seperti tercekik. Seumur hidup baru sekali itu Boma Tri Sumitro dipanggil Bapak. Untuk beberapa lamanya ke dua orang itu berdiri saling pandang.
"Maafkan saya, Anak mau cari siapa?" Mbok Siti akhirnya keluarkan ucapan tapi sepasang matanya masih terus mengawasi anak laki-laki di depannya dan air mukanya tetap berubah seperti tadi. "Saya mau ketemu Ibu Renata. Saya murid Ibu di SMU Nusantara III." 
"Nama Anak siapa?" 
"Saya Boma."
Untuk kedua kalinya Boma melihat perempuan  di depannya terkejut. Boma jadi tidak enak tapi dia tidak mau bertanya.
"Nama Anak siapa?" Mbok Siti bertanya sekali lagi.
"Boma," jawab Boma. Dalam hati dia berkata. "Budek kali ini orang." 
"Boma?"
Boma mengangguk. Tiba-tiba Mbok Siti membuka pintu pagar cepat-cepat.
"Nak Boma.... Nak Boma...."
"Ada apa Mbok?" Tanya Boma heran.
"Masuk, masuk dulu. Nanti saya beri tau Ibu."
Pembantu memegang lengan Boma lalu membawa anak itu ke teras. Dengan suara agak perlahan dia berkata. "Waktu sakit, Ibu Renata sering ngigau nyebut-nyebut nama situ.
Boma... Boma... Boma."
Boma menowel hidungnya. Dalam hati anak ini berkata. "Ronny nggak cerita bohong."
"Duduk Nak Boma, duduk. Saya beri tau Ibu," kata Mbok Siti.
Belum sempat pembantu ini melangkah masuk ke dalam tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan pintu pagar dengan mengeluarkan suara berdenyit, pertanda pengemudinya menginjak pedal rem dalam-dalam. Sekaligus pertanda bahwa si pengemudi diselimuti emosi tinggi. Mbok Siti dan Boma berpaling. Keduanya sama-sama terkejut. Pak Sanyoto! Tanpa metnatikan mesin motor Honda Bebek lelaki itu turun dari kendaraan, langsung menuju teras rumah. Sesuatu telah terjadi. Entah mengapa tadi setelah sesaat meluncur di atas motor meninggalkan rumah Ibu Renata, lelaki itu berpaling ke belakang. Tak sengaja dia melihat seorang anak laki-laki sedang menyeberang jalan menuju rumah Ibu Renata. Walau agak jauh tapi matanya cukup awas untuk melihat dan mengenali siapa anak itu.
"Mbok, kamu 'kan cuma pembantu. Tapi beraninya ngebohongin saya!" Sanyoto membentak.
Mbok Siti kelihatan pucat pasi wajah tuanya. 
"Kembalikan bungkusan itu. Saya keliru ngasih!" Sanyoto menunjuk pada bungkusan plastik berisi anggur. Dengan tangan gemetar Mbok Siti mengambil bungkusan anggur di atas meja lalu menyerahkannya pada Pak Sanyoto. Setengah merenggut lelaki itu mengambil bungkusan. Sebelum pergi dia memandang ke arah Boma.
"Selamat sore Pak," Boma memberi salam. 
Sanyoto diam saja. Mukanya masam sekali. Cepat-cepat dia kembali ke motor yang mesinnya sengaja dibiarkan hidup. Tiba-tiba lelaki ini berlaku aneh. Bungkusan berisi anggur itu dibantingkannya ke aspal. Belum puas, bungkusan digilasnya dengan roda motor. Mbok Siti masih tertegun sesaat melihat kejadian itu.
"Sayang, anggur dalam plastik digilas" seperti itu. Harganya pasti mahal. Kalau nggak mau ngasih Ibu Renata, ya disedekahkan pada orang miskin lebih baik." Mbok Siti keluarkan ucapan. Lalu dia berpaling pada Boma.
"Kok Pak Sanyoto bisa marah seperti itu Mbok?"
"Mungkin dia tahu saya bohongin. Bilang Ibu Rena masih tidur. Jadi dia marah. Habis, saya mau gimana. Wong Ibu Renata sendiri yang selalu bilang sama saya. Kalau ada tilpon dari orang yang namanya Pak Sanyoto bilang dia lagi tidur. Malah kalau orangnya sampai datang, bilang dia masih tidur. Saya 'kan cuma ikut apa majikan suruh. Wong namanya pembantu. Iyya toh?"
"Kalau saya nggak dipesanin kayak gitu Mbok? Kalau ada anak namanya Boma datang, bilang Ibu lagi tidur?"
Mbok Siti tertawa sambil gelengkan kepala. "Nak Boma, tunggu di sini. Saya beri tau Ibu." Boma mengangguk. Dalam duduk menunggu dia berpikir-pikir, perlakuan apa lagi kelak yang bakal diterimanya dari Pak Sanyoto. Jelas Guru Olah Raga itu akan bertambah benci padanya setelah melihat kehadirannya di rumah Ibu Renata. Tambah marah lagi karena dia tidak diterima Ibu Renata. Sebaliknya Boma yang datang kemudian diperbolehkan masuk menemui Guru Bahasa Inggris itu.
"Pasti gawat. Pasti aku bakal jadi bahan inceran pelampiasan kemarahan. Keliling seputar lapangan sampai tiga kali udah. Angka empat dalam Rapor udah. Apa lagi?"
Tak lama kemudian Mbok Siti muncul di teras. Dia melambaikan tangan pada Boma.
"Ayo masuk. Ibu Renata barusan dari kamar mandi. Sekarang menunggu di kamar."
Boma masuk. Di ruang tamu dia berhenti.
"Saya tunggu di sini saja Mbok."
"Ibu Renata belum boleh jalan keluar kamar. Lebih banyak berbaring di tempat tidur. Soalnya belum sembuh benar."
Boma tampak bimbang. Kikuk.
"Ibu Renata yang bilang. Ibu Renata yang suruh agar Nak Boma dibawa ke kamar."
"Mbok, apa Ibu kalau sakit biasa nerima tamu di kamar?"
"Nggak semua tamu. Biasanya teman dekat, atau masih keluarga."
"Mbok, tadi Mbok manggil saya Bapak. Kenapa?"
"Anu.... Ala, jangan biarkan Ibu menunggu lama. Nanti saya yang kena marah. Ayo masuk. Mari saya anter sampai ke pintu."
Boma masih bimbang. Masih berdiri tak bergerak di ruang tamu itu. Mbok Siti menarik lengan anak lelaki ini, membawanya ke kamar yang pintunya terbuka.
"Masuk...."  bisik si pembantu sambil mendorong perlahan punggung anak lelaki itu.
Ibu Renata terbaring pucat tanpa make-up di atas tempat tidur. Tubuhnya yang agak kurusan mengenakan piyama warna biru muda. Kepalanya dialasi dua buah bantal agar tinggi. Sepasang matanya menatap ke arah Boma. Pandangan mata yang seolah tidak percaya kalau saat itu dia benar-benar melihat Boma berdiri di ambang pintu kamar. Kalau dia punya kekuatan untuk bangkit serta keberanian untuk melakukan, saat itu ingin sekali dia bangkit dari tempat tidur dan memeluk anak lelaki itu. Boma balas menatap. Untuk beberapa saat lamanya sepasang mata guru dan murid itu saling bertemu. Boma melihat mata Ibu Renata masih bening dan bagus, hanya saja telah kehilangan cahayanya yang selama ini sangat mempesona. Boma tidak tahu harus berkata apa, mau menyapa bagaimana. Akhirnya dia mengucapkan:
"Selamat sore Ibu Rena."
"Boma...." Suara Ibu Renata perlahan sekali. Dia menunjuk pada kursi di samping tempat tidur. Boma duduk di kursi itu. Ibu Renata masih menatapi wajahnya. Boma sendiri saat itu tidak lagi memandangi Ibu Renata. Sepasang matanya terpaku pada sebuah potret besar yang tergantung di dinding, di atas kepala tempat tidur. Potret seorang lelaki muda jangkung, rambut crew cut, mengenakan pakaian pilot dengan latar belakang sebuah helikopter besar. Boma seperti melihat dirinya sendiri dalam potret itu. Aneh, mengapa wajah dan potongan rambut orang dalam potret bisa sama dengan dirinya. Lama Boma memandangi potret itu. Sampai akhirnya  Ibu Renata memecah kesunyian dalam kamar. Suaranya perlahan tapi jelas terdengar di telinga Boma.
"Itu potret Sandro. Suami saya...."
Mendengar ucapan Ibu Renata baru Boma mengalihkan pandangannya dari potret ke wajah Ibu Renata.
"Suami Ibu? Saya mengira...."
"Mengira apa?"
"Saya mengira Ibu belum kawin," kata Boma polos. Guru Bahasa Inggris itu menatap wajah Boma sebentar lalu tertawa. Tertawa membuat wajahnya menjadi merah. Kecantikan dan cahaya pada matanya seolah kembali.
"Suami Ibu pilot?"
Ibu Renata mengangguk.
"Sekarang suami Ibu tugas di mana?"
"Dia sudah tidak ada. Sejak dua tahun lalu...."
"Maksud Ibu?"
"Panjang ceritanya Boma. Begitu panjang seolah tak ada akhir. Saya berusaha melupakan. Tapi tidak bisa. Kamu melihat wajah dalam potret itu?"
Boma  mengangguk. Lalu berkata.
"Saya merasa heran. Wajah dalam potret itu mirip wajah saya. Saya seolah melihat potret saya sendiri."
Ibu Renata  tersenyum tapi dengan mata dipejamkan. "Setiap saya melihat kamu, saya seolah melihat Sandro. Saya merasa bahagia dalam derita saya. Saya tertawa dalam tangis saya...."
Boma melihat ada butir air mata bening berkilat muncul di sudut kedua mata perempuan itu lalu meluncur jatuh ke pipi. Dada anak ini jadi sesak.
"Boma, saya pernah melakukan satu kesalahan besar padamu.  Waktu kamu masuk tadi, saya masih melihat bekas tanda-tanda kekerasan di wajahmu. Saya merasa berdosa. Saya merasa seolah diri saya menyumpahi agar celaka. Apa lagi kemudian saya mendengar cerita dari Ronny. Bahwa kau sangat menghargai nama dan kehormatan  diri saya. Bahwa kau tidak pernah ingin berbuat jahat terhadap saya. Saya merasa berdosa. Benar-benar berdosa."
Boma tidak tahu mau berkata apa. Dia duduk mematung di atas kursi. Hanya matanya yang bergerak memandang dari wajah sang guru ke potret di dinding.
"Boma, sakit saya adalah sebagian dari dosa yang harus saya tebus. Saya tahu kau menderita karena tekanan saya. Tapi ketahuilah, saya justru yang sangat menderita karena perbuatan saya sendiri."
"Ibu Rena, saya rasa Ibu tidak pernah berbuat salah apa-apa. Apa lagi sampai bilang berdosa. Saya...."
"Saya mengajakmu menonton bukan karena hasrat yang bukan-bukan. Tapi cerita dalam film itu banyak sekali kesamaannya dengan hidup saya. Saya pernah mengatakan padamu. Film itu menceritakan seorang pilot yang mengalami celaka. Pesawatnya jatuh di satu rimba belantara. Tiga tahun lamanya pilot itu berjuang agar bisa keluar dari rimba belantara yang ganas. Ketika berhasil  dia menemui istrinya telah kawin dengan laki-laki lain."
Ibu Renata menutup matanya dengan tangan, isak tangisnya tak bisa dibendung. Boma bingung. Dia berharap agar Mbok Siti muncul saat itu. Di meja kecil di samping tempat tidur ada kotak tissu. Boma mengambil dan meletakkannya di tepi tempat tidur.
"Ibu Rena, suami Ibu. Apakah dia...."
Ibu Rena  tahu apa yang hendak ditanyakan Boma. Dia mengambil sehelai tissu, menyeka ke dua matanya.
"Peristiwanya sekitar dua tahun lalu. Sandro dikontrak oleh satu perusahaan perkayuan di Kalimantan Tengah. Saat itu kami baru saja menikah selama dua bulan. Berita buruk itu datang dua hari setelah terjadi. Pesawat heli yang dipiloti Sandro jatuh di satu rimba belantara. Tapi sampai hari ini bangkai pesawat ataupun jenazah Sandro tidak pernah ditemui."
Kepala Boma tertunduk. Kini dia yang merasa bersalah menolak ajakan Ibu Renata untuk menemaninya menonton. Untuk pertama kalinya anak ini menggerakkan tangan menowel hidungnya.
"Dua tahun, saya tidak mengharapkan lagi Sandro akan kembali. Saya sering mimpi. Dia muncul dalam pakaian pilot. Berteriak bahwa dia masih hidup. Berteriak agar saya menunggunya. Saya tidak mempunyai keyakinan bahwa dia masih hidup. Kalau saya harus menunggu, sampai berapa tahun saya harus melakukan hal itu? Ketika saya pertama kali mengajar di Nusantara III, ketika saya  pertama kali melihat kamu, saya merasa Sandro seolah-olah hidup kembali. Wajahmu, cara kamu berjalan, tertawamu, sama seperti dia. Saya ingin sekali mendekatimu, bersamamu. Tapi kita berada di dua tempat yang dipisah oleh pagar bernama ketidakmungkinan. Ketika saya berusaha melompati pagar itu, mengajakmu menonton, pagar itu bukan saja roboh, tapi malapetaka datang atas diri kita berdua.
Saya...." Makin banyak Ibu Renata bicara semakin sesak rasanya dada Boma.
"Ibu Rena, Ibu masih sakit. Jangan dulu bicara banyak."
"Boma, saya ingin mengeluarkan semua apa yang saya rasa. Kamu mungkin mentertawakan saya. Tapi saya tidak perlu merasa malu. Saya tidak mau memendam rasa menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, menjadi penyakit yang akan makan diri saya sendiri. Saya sudah cukup menderita terbaring selama satu minggu di atas tempat tidur ini. Dokter mengatakan saya kena flu. Ada juga yang mengatakan saya terserang gejala tipus. Apa pun penyakit saya hanya saya sendiri yang tahu. Saya bersyukur, sangat bersyukur kamu mau datang melihat saya. Sebagian dari penyakit saya rasanya hilang setelah melihat kehadiranmu. Saya.... Boma, kalau saja saya bisa memelukmu...."
Ibu Renata tidak meneruskan ucapannya. Dia tiba-tiba sadar kalau dia telah bicara terlalu banyak dan terlalu  jauh. Dia hanya menunjukkan kelemahannya sendiri. Dia merasa malu. Isaknya tenggelam di dalam bantal di mana dia kemudian membenamkan wajahnya.
Boma berdiri dari kursi. Lama dia tegak memandangi tubuh yang menelungkup di alas tempat tidur itu. Perlahan-lahan dia memberanikan diri duduk di tepi tempat tidur. Sesaat dia memandang potret besar di dinding. Hatinya berdoa. Semoga Sandro suami Ibu Renata masih hidup. Semoga Ibu Renata bisa bertemu kembali dengan dia. Duduk di tepi tempat tidur Boma tidak tahu mau berbuat apa. Keluar dari kamar? Meninggalkan perempuan itu begitu saja?
"Ibu Renata, jangan nangis Bu," ucap Boma perlahan. Tangis Ibu Renata malah tambah keras. Boma jadi semakin bingung. Entah bagaimana mendadak ada keberanian dalam diri anak ini. Disentuhnya punggung Ibu Renata, diusapnya seraya berkata berulang kali. "Ibu, jangan nangis terus. Saya bingung Bu."
Tubuh yang menelungkup itu tiba-tiba berbalik. Boma menarik tangannya sebelum dia tak sengaja menyentuh dada Ibu Renata. Namun tangan Ibu Renata bergerak lebih dahulu memegang tangan anak lelaki itu. Seperti bergayut di tali pengharapan Ibu Renata pergunakan tangan itu untuk bersigantung bangkit dari tempat tidur. Tapi tubuhnya oleng. Sebelum dia jatuh kembali ke atas tempat tidur, Boma cepat merangkul sosok Ibu Renata.
"Boma...." Ibu Renata membenamkan wajahnya di dada anak lelaki itu. Tidak sengaja keningnya  menekan Batu Penyusup Batin yang ada di bawah tulang belikat kanan Boma sampai dua kali.
"Boma...." Ibu Renata angkat wajahnya dari dada Boma. Saat itu ingin sekali dia melihat wajah Boma, memegang wajah itu dengan ke dua tangannya. Namun perempuan ini tiba-tiba menjerit keras. Tangannya masih merangkul. Dia masih merasa menyentuh tubuh Boma. Tapi sosok anak itu sama sekali tidak kelihatan.
"Ibu Renata...."
Ada  suara tapi ujud orangnya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya Ibu Renata menjerit.
 "Boma, kau di mana?!"
Wajah Ibu Renata menunjukkan rasa takut amat sangat. Dia lepaskan rangkulannya. Perempuan ini beringsut pucat ke kepala tempat tidur.
"Boma?"
"Saya  di sini Bu," jawab Boma. Tiba-tiba dia sadar. "Astaga, jangan-jangan. Pasti ada kesalahan teknis!"
Cepat Boma usap benjolan di bahu kanannya. Saat itu juga sosoknya muncul kembali di hadapan Ibu Renata, masih duduk di tepi tempat tidur.
"Boma, bagaimana  mungkin? Tadi kau... tadi kau lenyap. Lalu...."
Boma menowel hidungnya. Lalu tersenyum.
"Tadi saya melompati pagar yang Ibu sebut sebagai pagar ketidakmungkinan itu. Sekarang kita berada di sisi yang sama. Rasanya semua kini menjadi mungkin."
"Boma...?" Sepasang mata Ibu Renata membesar, memandang tak berkesip mendengar ucapan Boma. Tiba-tiba perempuan ini terisak keras. Ketika gerungan itu berubah menjadi tangis keras Boma telah mendekap Ibu Renata erat-erat ke dada kirinya, tak berada di dada kanan. Takut Batu Penyusup Batin akan tersentuh kembali. Takut  kesalahan teknis terulang lagi.
"Ibu, Ibu Renata, jangan nangis...." Boma coba membujuk.
"Tidak, saya akan menangis sepuas hati saya." Jawab Ibu Renata.
"Sampai pagi?" ujar Boma. Satu cubitan menyengat di pinggang Boma, membuat anak ini tersentak kesakitan. Ibu Renata menarik kepalanya dari dada Boma.
"Ada apa?"
"Ibu nyubit saya?"
"Kau aneh. Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau. Saya tidak mencubit."
Tiba-tiba mengiang suara tawa cekikikan di telinga Boma. Anak ini berpaling ke pintu. Semula disangkanya yang tegak di ambang pintu Mbok Siti. Ternyata sosok nenek berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu. Melihat Boma memandang ke arahnya nenek ini angguk-anggukkan kepala sambil acung-acungkan jempol dengan tangan kanannya.
"Nenek konyol. Pasti tadi dia yang nyubit pinggang gua!" gerutu Boma dalam hati. 

***
TAMAT
Episode Selanjutnya:

Pangeran Matahari berdiri bertolak pinggang di  depan  stupa paling tinggi Candi Borobodur. Di dalam stupa sosok Dwita Tifani tersandar tak berdaya dalam keadaan pingsan. Boma berpaling pada pemuda gondrong disampingnya."Abang, bagaimana mungkin Dwita bisa berada dalam stupa? Gila bener!"Si gondrong menyeringai. "Tenang saja. Ini urusan kecil. Siapkan hawa sakti di tangan kirimu."Berkata si gondrong. Boma angkat tangan kirinya."Anak bau kencur! Kau boleh punya tangan mengandung hawa murni sakti! Kau boleh mengandalkan pemuda gondrong berotak sableng  itu. Tapi apa kalian mampu membebaskan anak perempuan ini tanpa menghancurkan stupa warisan para leluhur? Apa kalian mampu membebaskan Dwita Tifani tanpa melangkahi mayatku?" Boma menowel hidungnya. Si gondrong menggaruk kepala lalu berteriak."Pangeran teller! Gurumu saja Si Muka Bangkai sudah kena diringkus Eyang Sinto Gendeng! Kau yang punya ilmu sedalam comberan masih berani jual lagak. Gendenk kali!"
LihatTutupKomentar