Boma Gendenk - ABG (Anak Baru Gendenk)
BOMA GENDENK
Karya : Bastian Tito
Episode 2
ABG (Anak Baru Gendenk)
SATU
TABLOID PUNYA BERITA
BRAM DWI SUMITRO mendorong pintu pagar. Tergulung di tangan kanannya sebuah tabloid terbitan hari itu. Sumitro Danurejo(ayah Bram) keluar dari rumah. Sebelum membuka pintu pagar lelaki ini menatap wajah anaknya yang tampak keletihan.
"Bagaimana tes lamaran kerjamu?" Sumitro bertanya. "Belum tau 'Yah. Sehabis tes masih ada wawancara. Mungkin hari Jum'at baru ketauan hasilnya." jawab Bram sambil menyeka keningnya yang basah oleh keringat. Sumitro membuka pintu pagar. Di ruang depan, Hesti Sumitro (ibu Bram) yang sedang menyeterika memalingkan kepala. Seperti suaminya yang penuh harap, dia juga ingin tahu hasil tes lamaran kerja puteranya itu.
"Hasil Bram?"
"Jum'at depan Bu. Baru ketauan..." jawab Bram. Nyonya Hesti meletakkan seterika listrik. "Adikmu sudah pulang. Ada di atas." Perempuan itu memberi tahu.
"Boma pulang?" Wajah dan suara Bram menunjukkan rasa gembira. Setengah berlari pemuda berusia 24 tahun S1 Teknik Elektro yang sudah satu tahun menganggur itu menaiki tangga. Pintu kamar tidur Boma tidak tertutup. Bram langsung masuk ke dalam kamar. Boma terbaring di ranjang, menelentang. Hanya pakai singlet dan celana jins. Matanya terbuka, pandangannya kosong seperti melamun. Bram memukul paha adiknya dengan gulungan tabloid. "Bom, kapan kau pulang?"
"Siang tadi," jawab Boma. "Kata Ibu hari ini kau ngikutin tes lamaran kerja."
Bram mengangguk. "Sorry aku nggak bisa ngejemputmu di rumah sakit."
"Nggak apa-apa."
"Gimana tesmu Bram?"
"Bisa semua. Dari sembilan pelamar yang disaring, yang lulus tes cuma empat, termasuk aku. Lusa ada wawancara. Dari hasil wawancara nanti baru ketauan siapa yang bakal diterima."
"Aku doain supaya kau yang diterima."
Bram Dwi Sumitro tersenyum mendengar kata-kata adiknya itu. Namun lubuk hatinya tersentuh dalam. Sejak ayahnya pensiun memang terasa sekali akan adanya seseorang yang dapat menunjang biaya kehidupan rumah tangga mereka, termasuk biaya sekolah Boma. "Udah, kita jangan bicara soal lamaranku. Baca dulu ini." Bram melemparkan gulungan tabloid yang sejak tadi dipegangnya. "Kau jadi orang kesohor sekarang."
"Kesohor? Ada apa? Kok nyuruh aku..."
"Aku tau, kau paling males baca surat kabar. Tapi yang satu ini lain Bom. Liat halaman dua," kata Bram Dwi Sumitro memotong ucapan adiknya. Boma membuka gulungan tabloid, langsung membalik halaman dua.
"Kau liat! Foto siapa 'tuh! Kenal nggak? Liat judul beritanya!"
Di halaman dua tabloid sebelah kiri atas terpampang foto besar Trini Damayanti. Cantik dan tersenyum. Di bawah foto ada caption : Trini Damayanti, pacar Boma. Di sebelah foto, dengan huruf-huruf besar tertera judul berita. Pacar Boma Mengakui. Lalu dengan huruf-huruf lebih kecil dibawah judul menyusul sub-judul berbunyi Ada Misteri Dalam Penyelamatan Korban Musibah Gunung Gede.
"Sialan! Apa-apaan 'nih!" kata Boma setengah berteriak. Tabloid dibantingkannya ke lantai lalu dia beringsut, duduk ke dinding. Matanya membesar menatap ke arah kakaknya. Bram mengambil tabloid yang tercampak di lantai, di letakkan di pangkuan Boma. "Tenang Bom, jangan emosi. Baca dulu beritanya sampai habis." "Tapi ini jelas nggak bener! Siapa bilang aku pacaran sama dia. Wartawan geblek!"
"Pacaran apa nggak, itu sih bukan soal. Lagian mungkin bukan wartawannya yang geblek. Biasanya wartawan nulis apa adanya. Jadi kau harus baca dulu," kata Bram sambil senyum-senyum. Boma menowel hidungnya beberapa kali. Lalu mengambil tabloid di pangkuannya dan mulai membaca. Beritanya cukup panjang, sampai menghabiskan empat kolom lebih. Menurut sang wartawan yang berinisial "TB" tulisan itu merupakan sambungan dari berita Minggu sebelumnya dan adalah hasil wawancaranya dengan Trini Damayanti, puteri Letkol (Pol) Kusumo Atmojo, pelajar SMA Nusantara III yang sejak lama sudah menjadi pacar Boma Tri Sumitro. Dalam berita dikatakan selamatnya tujuh pelajar tersebut meru-pakan satu peristiwa luar biasa, baru pertama kali terjadi. Sang wartawan mengutip keterangan dari beberapa sumber dipercaya yang juga diakui oleh Trini Damayanti bahwa selama penyelamatan dilakukan, terjadi beberapa peristiwa aneh. Keanehan pertama dialami oleh Bapak Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawasan Gunung Gede. Satu hari sebelum terjadinya musibah atas rombongan para pelajar SMA Nusantara III, lelaki ini bermimpi melihat api di puncak Gunung Gede. Tiga tahun lalu Pak Tatang pernah mimpi seperti itu. Beberapa hari kemudian rombongan mahasiswa dari Bandung yang mendaki Gunung Gede mengalami kecelakaan. Lima dari enam mahasiswa itu ditemukan tewas. Lalu setahun setelah itu kembali Pak Tatang mimpi melihat api di puncak Gunung Gede. Besoknya empat pelajar STM Bogor ditemukan dalam keadaan kaku tak bernyawa di salah satu lereng Gunung Gede.
Pertanda mimpi yang sama mau tak mau membuat Pak Tatang jadi khawatir. Takut kalau musibah yang dialami oleh mahasiswa dari Bandung dan pelajar STM dari Bogor akan menimpa pula rombongan para pelajar SMA Nusantara III dari Jakarta. Ternyata hal itu memang kejadian. Tetapi kali ini semuanya selamat. Tidak seorangpun dari tujuh pelajar itu tewas. Keanehan kedua, menurut perhitungan pelaksanaan evakuasi yaitu membawa dan menyelamatkan anak-anak itu dari lokasi ditemukan sampai ke kaki gunung paling cepat akan memakan waktu lima jam. Ternyata regu penolong dan tim medis mampu melakukan dalam waktu hanya tiga jam. Padahal saat itu malam hari, udara dingin dan jalan licin. Menurut Letda Sofyan, Polisi dari Sukabumi yang memimpin regu penolong, sepanjang jalan menuju kaki Gunung Gede malam itu secara aneh di depan mereka ada puluhan kunang-kunang. Binatang yang tubuhnya mengeluarkan cahaya ini bukan saja terbang menerangi jalan yang ditempuh tapi sekaligus seolah menjadi penunjuk jalan. Keanehan berikutnya yang diung-kapkan oleh wartawan tabloid berinisial "TB" itu ialah pengakuan regu penolong yang menggotong anak-anak yang celaka. Bukan pekerjaan mudah menandu seseorang menuruni gunung dalam gelapnya malam dan buruknya cuaca. Tapi anak-anak yang mereka tandu, termasuk Gita Parwati yang gemuk lebih seratus kilogram, terasa ringan. Seolah-olah ada tangan-tangan tak kelihatan dari mahluk-mahluk gaib ikut menggotong tandu!
Keanehan yang paling luar biasa dan sampai saat itu masih menjadi teka teki inilah ketika tujuh anak pertama kali ditemukan di lokasi kecelakaan. Mereka ditemukan berjejer rapi di dalam kantong-kantong plastik yang mereka bawa. Siapa yang mengatur begitu rupa, dan yang lebih jadi pertanyaan, bagaimana mereka bisa berada dalam kantong-kantong plastik tebal itu. Padahal jangankan masuk dan menggunakan kantong plastik, bergerak saja anak-anak itu sudah tak sanggup karena kondisi tubuh yang sangat lemah. Menurut tim medis dan dokter yang menolong di Rumah Sakit Sukabumi, seandainya anak-anak itu tidak berada dalam kantong plastik tersebut, kemungkinan besar nyawa mereka tidak akan tertolong akibat dinginnya udara dan lemahnya daya tahan tubuh. Menurut wartawan yang menulis, semua teka-teki ini akan terungkap setelah Boma, pimpinan rombongan pendaki dapat ditemui dan dimintakan keterangannya. Enam anak anggota rombongan telah dihubungi dan pernah diwawancara, namun tidak bisa memberikan keterangan banyak. Terutama menyangkut semua keanehan itu.
Boma melipat tabloid yang barusan dibacanya.
"Gimana?" tanya Bram.
"Brengsek!"
"Apa? Siapa yang brengsek Bom?"
"Cerita tentang keanehan ini memang betul. Tapi soal aku pacaran sama Trini! Itu yang brengsek!"
"Kau merasa pacaran sama 'tu cewek nggak?" tanya Bram.
Boma tak menjawab. Dia turun dari tempat tidur, mengambil kemeja yang tergantung di sangkutan dan mengenakannya.
"Kau mau kemana?" Kakak Boma bertanya.
"Nilpon."
"Nilpon? Nilpon siapa?" Bram bertanya lagi.
"Kau punya koin cepean nggak?"
"Kau masih sakit Bom. Sebaiknya istirahat, tidur saja. Jangan kemana-mana dulu..."
"Tapi aku musti nilpon Trini. Brengsek! Seharusnya di rumah ini ada tilpon!" Boma duduk di tepi tempat tidur setengah membantingkan diri. Bram gelengkan kepala. "Boro-boro tilpon Bom. Buat bayar rekening listrik aja setiap bulan Ayah sudah susah..."
"Itu karena usaha ayah sendiri. Sablon. Boros listrik!"
"Huss. Pelan-pelan. Nanti kedengaran Ayah. Doa-in lamaranku diterima. Bisa kerja. Bisa membantu Ayah sama Ibu."
Dua kakak beradik itu sama-sama terdiam cukup lama.
"Bram...." Boma akhirnya memecah kesunyian.
"Hemmm..."
"Kau tau cerita ada yang bayarin biaya perawatanku di Rumah Sakit..."
"Ya, aku dengar dari Ibu. Kau tau siapa orangnya?"
Boma menggeleng. "Aku musti cari tau..." "Menurut Ayah biaya perawatanmu hampir satu setengah juta."
Boma kaget. "Satu setengah juta Bram?"
Bram mengangguk.
"Gila!"
"Itu masih nggak seberapa Bom. Masih termasuk kecil. Kau musti mengetahui siapa orang yang berbuat baik itu. Paling tidak buat ngucapin terima kasih. Jaman sekarang makin sedikit orang berhati baik dan berbudi ikhlas Bom..."
Boma mengangguk. "Setahuku Ayah kan bisa bayar pakai Askes..."
"Betul, tapi waktu ayah baru nanyain berapa biaya perawatanmu di kantor Rumah Sakit, pegawai Rumah Sakit bilang sudah ada yang melunasi. Lagian pakai Askes rasanya tidak seluruhnya bisa ditanggung... Kau tau kira-kira siapa orangnya yang baik sama kamu?"
"Dugaanku cuma satu. Mungkin, masih mungkin Bram. Mungkin Dwita...."
"Dwita apa Trini?" ujar Bram sambil senyum dan memandang seputar kamar. Untuk pertama kali dia melihat vas kuning karangan bunga mawar merah di atas meja kecil di sudut kamar. "Kembang dari siapa Bom?"
"Dwita," jawab Boma.
"Aaahhh. Kayaknya dia baik amat sama kamu." "Kami cuma teman biasa. Teman satu sekolah. Juga Trini. Cuma Trini mungkin mulutnya nggak ketulungan. Pasti dia yang bicara banyak dan nggak-nggak pada wartawan tabloid itu."
"Aku rasa dugaanmu benar Bom. Mungkin Dwita yang bayar biaya perawatanmu di Rumah Sakit. Keliatannya dia serius sama kamu. Anak pejabat, banyak duit."
Boma tak menjawab, hanya menowel hidungnya beberapa kali. Entah mengapa saat itu rasanya dia ingin sekali bertemu dengan Dwita. Paling tidak mendengar suara anak itu. Kalau saja di rumahnya ada tilpon.
"Bom..."
"Hemmm... Apa?"
"Kau siap-siap aja. Wartawan tabloid itu pasti bakal ngewawancarain kamu."
Boma menowel hidungnya. "Brengsek!" katanya perlahan.
***
DUA
DWITA DATANG
PAGI itu Boma baru selesai mandi. Setelah berpakaian dia memperhatikan wajahnya di depan kaca persegi yang tergantung di dinding kamar. Pucat. Beker kecil di atas meja belajar menunjukkan pukul 9.05 pagi. Selagi Boma memencet-mencet jerawat di dagu kiri tiba-tiba dia mendengar suara langkah-langkah kaki banyak sekali menaiki tangga kayu. Boma melangkah ke pintu. Begitu pintu dibuka pertama sekali dilihatnya kepala Ronny Celepuk. Lalu Vino. Menyusul Firman dan Rio. Lalu Andi. Di belakangnya si gemuk Gita dan terakhir sekali Dwita. Wajah Boma bersinar segar ketika melihat anak perempuan ini.
"Hallo my friend!" Ronny Celepuk menyapa. Lalu meletakkan ke lantai satu tandan pisang emas yang dibawanya.
"Pisang kesukaan lu, Bom." kata Ronny.
"Gila, banyak banget! Kau mau bikin aku mencret apa!"
"Tadinya mau beli anggur," kata Vino. "Tapi takut perutmu nggak bisa nerima buah import" Vino tertawa, teman-temannya ikut tertawa.
"Mulai deh pada konyol!" kata Boma sambil menowel hidungnya.
Ronny membuka pintu kamar lebih lebar, memandang ke arah Dwita dan berkata.
"Silahkan, yang kangen masuk duluan."
"Apaan sin kamu! Masuk aja sama-sama!" kata Dwita sambil mundur menjauh.
"Lho, tadi di mobil bilang kangen sama Boma. Sekarang udah ketemu kok malu-malu." Yang bicara menggoda si gemuk Gita.
"Enak aja. Siapa yang bilang?" kata Dwita. Wajah merengut kemerahan, tapi kemudian tersenyum juga. Gita mendorong punggung Dwita. Ronny menarik lengan anak perempuan itu. Mau tak mau Dwita melangkah masuk ke dalam kamar. Begitu Dwita berada di dalam Ronny cepat-cepat menutup pintu.
"Ron! Apa-apaan sih lu! Buka!" teriak Boma dari dalam.
Ronny Celepuk dan teman-temannya sama tertawa cekikikan. Rupanya hal ini memang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Lalu ada suara pintu dipukul-pukul dari dalam. Menyusul suara Dwita, berteriak agar pintu dibuka. Boma berusaha membuka pintu. Tapi handel bulat pintu sebelah luar ditahan kuat-kuat oleh Ronny. "Udah belon?!" teriak Ronny Celepuk.
"Apa yang udah?!" teriak Boma dari dalam.
"Ala, belagak bodo kau!" teriak Andi.
"Brengsek kau Ron! Buka buruan!"
"Kesempatan Bom! Kesempatan!" teriak Rio.
"Kangen... Orang kangen musti dikasihani Bom!" Gita ikut berteriak.
"Udah Bom?! Puas nggak?!" seru Ronny.
"Kalau udah puas gua buka nih!"
"Brengsek lu! Kalian brengsek semua!" teriak Boma.
Ronny akhirnya melepaskan handel pintu. Begitu pintu terbuka Boma mendamprat.
"Brengsek! Kalian sinting semua!" Tangan kanannya diacungkan hendak menjotos. Ronny Celepuk cepat menghindar mundur. Di sebelah Boma berdiri Dwita dengan wajah merah keringatan. Enam anak di depan pintu tertawa riuh. Di ruangan bawah ayah Boma berkali-kali menurunkan kacamata plus enamnya, memandang ke langit-langit di atasnya lalu menoleh pada istrinya.
"Ngapain sih anak-anak itu di atas? Brisik amat."
Ibu Boma hanya bisa geleng-gelengkan kepala.
"Biasa Pak, anak-anak kalau sudah ketemu pasti riuh."
"Sorry Bom. Sorry Dwita. Kami teman-teman cuma mau kasih kesempatan. Lebih kurangnya terserah kalian berdua yang lagi saling kangen!" kata Ronny Celepuk lalu masuk ke dalam kamar sambil membawa pisang setandan. Lima temannya mengikuti hingga kamar berlantai papan yang tak seberapa besar di tingkat atas itu jadi penuh.
"Kawan-kawan, kita ke bawah aja," kata Boma.
"Di sini saja Bom," jawab Gita. "Soalnya di bawah sana ada bokap lu. Orangnya sih baek, tapi tampangnya angker banget. Tadi aku diliatin sambil kaca mata tebelnya diturunin ke hidung...."
"Nggak heran kalau kau diliatin kayak gitu Git," kata Vino. "Soalnya ayahnya Boma mungkin heran. Tanya-tanya dalam hati. Ini kira-kira mahluk apa ya...?"
Suara tawa anak-anak diputus oleh jeritan Vino yang kesakitan karena disengat cubitan Gita Parwati.
"Aku takut nih kamar jebol!" kata Boma.
"Wan, gua lagi yang kena sasaran!" kata Gita. "Belon apa-apa, baru juga baek, Boma udah nyindir gua!" kata Gita Parwati yang gemuk dan berbobot lebih seratus kilo.
Di dalam kamar Boma hendak menyembunyikan tabloid yang ada di atas tempat tidur ke bawah bantal. Tapi Vino lebih cepat menyambar tabloid itu.
"Nggak usah diumpetin Bom. Kami udah tau semua." Kata Vino.
"Dwita juga udah baca," memberitahu Ronny.
Boma memandang ke arah Dwita. Anak perempuan itu kelihatan tenang-tenang saja. Berdiri di samping meja belajar sambil bersandar ke dinding.
Tak tahu mau berkata apa akhirnya Boma ingat. "Dwita, terima kasih kembangnya."
Dwita mengangguk.
"Say it with flower! Ca illa!" Vino menyengir. "Kalau orang intelek mengatakan rasa suka sama kembang. Kalau kita-kita bangsa krocoan sama siomay!"
Kamar di tingkat atas itu kembali gemuruh oleh suara tawa.
"Bom...," Ronny berkata sambil memasukkan tangan ke saku blujins.
"Ron, awas lu ngerokok di sini! Apa mau bikin kita mati pengap semua!" kata Gita memotong ucapan Ronny. Rupanya dia sudah tahu kalau Ronny hendak mengeluarkan rokok. Tapi Ronny bandel.
"Ala, kalau jendelanya dibuka kan nggak apa-apa," jawab Ronny yang mulutnya sudah terasa asam. Dia melangkah ke dekat jendela, membukanya lebar-lebar lalu menyalakan sebatang rokok. Setelah menyedot dan menghembuskan asap rokoknya beberapa kali Ronny meneruskan kata-katanya yang tadi terpotong ucapan Gita.
"Aku sama teman-teman datang selain mau ngeliat kamu, juga ada yang mau ditanyain."
"Tanya aja, apa sih yang mau kalian tanyakan?" ujar Boma.
"Itu, yang ada sangkut pautnya dengan berita dalam tabloid," kata Andi.
"Soal ucapan Trini?" Boma melirik ke arah Dwita. Anak perempuan itu masih tegak bersandar ke dinding, memandang keluar jendela, pura-pura tidak memperhatikan apa yang dibicarakan teman-temannya. Padahal diam-diam dia memasang telinga.
"Bukan, bukan soal kucing garong itu," kata Gita Parwati. Anak ini memang sudah benci lama sama Trini dan menyebut Trini kucing garong sejak peristiwa di warung bakso Mang Asep. (Baca serial Boma Gendenk Episode Pertama berjudul "Suka Suka Cinta.")
"Kalau bukan soal Trini lalu soal apa?" tanya Boma.
"Itu Bom, yang nyangkut semua keanehan itu. Kami pernah didatengin wartawan tabloid. Tapi terus terang kami bilang nggak ada yang tau soal aneh-aneh itu. Wartawan itu pasti nyari kau. Sebelon kau cerita sama dia, maunya kami, kau cerita duluan sama kita-kita ini...."
Boma tak segera menjawab.
"Kok diem?" ujar Gita. "Kami yakin kau tau semua menyangkut keanehan itu. Soalnya waktu di Rumah Sakit PMI Bogor, sakitmu aneh. Kau sering ngigau. Manggil-manggil nenek-nenek. Suaramu juga berubah seperti suara nenek tua. Lalu Dwita cerita, dia pernah nganterin bokapmu ketemu satu orang pinter di Bogor. Sehabis dikasih air putih sama orang pinter itu kau baru sembuh. Panasmu turun, ngacokmu hilang."
"Aku nggak tau 'tuh kalau aku ngigau...."
"Betul Bom, kau musti cerita sama aku dan teman-teman...." kata Ronny Celepuk pula. Boma menowel hidungnya.
"Towel terus sampe tua!" kata Vino
"Yang nolong kita, yang nyelamatkan kita Tuhan. Apa anehnya. Tuhan Maha Kuasa. Kita harus berterima kasih, bersyukur padaNya...."
"Tau Bom, kami tau," kata Gita. "Tapi menurut Dwita, waktu nganterin bokapmu ke rumah orang pinter di Bogor itu..." Gita diam sebentar, berpaling pada Dwita. "Siapa Dwit, nama orang pinter itu?"
"Haji Sobirin," jawab Dwita.
"Haji Sobirin," mengulang Gita. "Menurut orang pinter itu, ada seseorang mau ngewarisin ilmu kepandaian padamu. Tapi kau menolak...."
Boma pandangi wajah temannya satu persatu lalu tertawa membahana.
"Ajie busyet, ajie gombal! Kalian percaya aja sama omongan orang. Siapa yang mau ngewarisin ilmu sama aku? Ilmu apa? Matematika, Fisika? Teman-teman, mendingan kita ngobrol soal lain aja!"
"Bom, aku dan teman-teman tau kalau kau ngerasain sesuatu. Kenapa sih nggak mau cerita pada kita-kita ini?" ujar Ronny. "Apa perlu Dwita yang maksa kamu?" Ronny menyengir. Boma menowel hidungnya. Menghela nafas beberapa kali. Memandang keluar jendela. Lalu melirik ke arah Dwita.
"Iyya deh, gua cerita. Tapi awas. Cuma sama kalian aku beri tau. Jangan bilang sama siapapun. Jangan ngomong sama wartawan, terutama wartawan tabloid yang muat berita aku sama Trini itu. Kalian semua musti bersumpah!"
"Oke bos! Kami semua swear!" kata Vino sambil mengangkat tangan kanan, mengacungkan jari dalam bentuk huruf V. Tapi jari-jari tangan kiri dikempitkan ke ketiak kanan. Teman-teman Boma kecuali Dwita ikut-ikutan melakukan hal yang sama sambil tertawa cekikikan. Semua anak-anak itu kemudian duduk di lantai. Boma duduk sambil bersandar ke pinggiran tempat tidur. Tujuh pasang mata memandang padanya. Tujuh pasang telinga siap mendengar dan tujuh hati berdebar dalam keheningan.
***
TIGA
CERITA BOMA
BOMA menowel hidungnya, membuat teman-temannya yang menunggu jadi tak sabaran.
"Malam pertama di Gunung Gede, waktu kalian udah pada tidur, aku masih belum bisa mejemin mata." Boma mulai. "Badanku rasanya letih banget tapi heran kenapa nggak bisa tidur. Aku keluar dari dalam kantong tidur plastik. Duduk. Kuperhatikan arloji di lengan Vino menunjukkan hampir pukul dua. Gila. Di luar tenda suara tiupan angin bikin serem. Apa lagi sesekali ada suara kepak sayap terbang melintas di atas tenda. Mungkin burung, mungkin kelelawar. Pokoknya serem."
"Aku masuk kembali ke dalam kantong, coba-coba tidur. Tetap aja nggak bisa. Aku bangun lagi. Berdiri. Tadinya mau bangunin kamu Ron, tapi nggak jadi. Seperti ada yang ngedorong aku keluar dari dalam tenda. Di luar aku liat api unggun masih nyala. Karena dingin aku melangkah mendekati api, jongkok sebentar sambil manasin tangan. Waktu itu aku merasa ada hembusan angin di belakangku. Seperti ada orang lewat cepat sekali. Aku nengok ke belakang. Nggak ada siapa-siapa. Nggak ada orang. Tengkuk gue mendadak jadi dingin. Takut. Aku rasa ada yang ngawasin diriku. Aku coba berdiri, buru-buru mau masuk ke dalam tenda lagi. Tapi aneh, kaki-ku terasa berat. Bukannya berdiri, malah terduduk di tanah. Mendadak hidungku nyium bau aneh. Bau pesing. Aku masih sadar. Masih bisa mikir. Malam itu malam Jum'at. Kalau memang ada bau-bau aneh, biasanya bau menyan atau bau kembang. Tapi yang aku cium bau pesing. Aku tambah takut. Coba lagi berdiri. Tetap kagak bisa. Sementara itu nyala api unggun mulai mengecil. Udara dingin kayak sayatan silet nembus jaket yang aku pakai. Lalu di depanku, di bawah kegelapan bayangan pohon aku liat ada sesuatu bergerak. Aku memperhatikan. Kupikir mungkin aku salah liat, atau cuma liat bayangan. Rasa takut tambah numpuk. Aku seperti mau kencing. Lalu yang aku sangka bayangan itu makin jelas. Bau pesing tambah santer.
***
SOSOK bungkuk di dalam gelap bayangan pohon tegak tak bergerak. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu.
"Setan.... Mahluk penghuni gunung...." pikir Boma. Dalam takutnya anak ini segera saja komat-kamit membaca semua ayat-ayat suci yang dihafalnya. Sosok dalam gelap tiba-tiba bergerak. Satu langkah... dua langkah. Bayangan nyala api unggun menerangi tubuh dan sebagian kepalanya. Nenek-nenek. Sosok itu ternyata sosok seorang nenek berkulit hitam berwajah angker. Matanya merupakan dua rongga dalam. Pipinya cekung keriput. Kepalanya nyaris sulah karena hanya ditutupi oleh sekian lembar rambut-rambut putih. Di atas kulit kepala yang botak itu menancap lima buah tusuk konde perak putih. Pakaiannya kebaya rombeng dan kain panjang butut. Tubuh dan pakaian itu menebar bau pesing. Mulutnya tidak henti berkomat-kamit. Gembung ke kiri, gembung ke kanan. Ternyata dalam mulut itu ada susur. Wajah nenek itu mengingatkan Boma pada seorang nenek tetangga, dua rumah dari rumahnya. Yang meninggal sekitar dua bulan lalu. Tapi nenek tetangga itu tidak angker begini. Tidak pakai tusuk konde juga tidak bau pesing. Mungkin rohnya yang menampakkan diri. Tapi kenapa bisa sampai kesasar sejauh ini?
"Nek, Nek Kiyem...."
Tampang angker si nenek bertusuk konde lima kelihatan berubah berkerut. Dari mulutnya dia semburkan ludah susur berwarna kemerahan.
"Anak setan! Enak saja kau menyebut aku Nek Kiyem! Kau kira aku ini siapa?!"
Tiba-tiba mahluk berwajah angker membentak, membuat Boma terhenyak dalam ketakutan.
"Bu... bukan setan. Kata orang setan beneran nggak bisa bicara." Dalam takutnya Boma masih bisa membatin. Anak ini coba beringsut, mundur ke arah tenda.
Si nenek bergerak maju. Empat langkah di hadapan Boma, tepat di kiri api unggun, dia berhenti lalu tiba-tiba sekali tancapkan tongkat di tangan kirinya ke tanah. Tongkat kayu yang ditancapkan tapi Boma yang merasakan tubuhnya seperti dipantek ke tanah hingga dia tak bisa bergerak. Dengan tangan kanan si nenek keluarkan susur dari dalam mulut. "Katakan! Siapa Nek Kiyem yang barusan kau sebut?!" Tiba-tiba nenek angker hardikkan pertanyaan.
"Anu Nek.... Tetangga.... Tapi sudah meninggal. Dua bulan lalu. Kata orang meninggal karena bengek." Luar biasa! Walau takut setengah mati Boma masih sanggup menjawab hardikan si nenek. Meskipun dengan suara dan badan gemetaran. Tangannya berkali-kali menowel hidung.
"Jadi kau anggap aku ini setan jejadian penjelmaan roh Kiyem si nenek bengek itu! Hah?!"
"Saya... saya nggak bilang begitu. Saya... saya nggak tau kau ini siapa Nek. Kalau saya ngomong salah saya minta maaf."
Nenek angker pencongkan mulutnya. Tiba-tiba kembali dia membentak.
"Anak setan! Ulurkan telapak tanganmu. Yang kiri!"
Boma tak berani melakukan apa yang diperintah si nenek.
"Kau tuli apa budek?!" Si nenek sumpalkan kembali susurnya ke dalam mulut.
"Nek...."
Nenek bertampang angker cabut tongkat yang tadi ditancapkannya di tanah. Tongkat diacungkan di atas kepala Boma. "Kau mau ulurkan tangan kirimu atau minta digebuk!" Si nenek membuat gerakan hendak ayunkan tongkat ke kepala Boma. Boma cepat lindungi kepalanya dengan dua tangan. Si nenek menyeringai. Seringai ini membuat tampangnya tambah menyeramkan.
"Anak setan! Jangan membuat aku marah! Ulurkan tangan kirimu! Cepat!"
Bukannya mengulurkan tangan, Boma malah menowel hidung dengan tangan kanan, tangan kiri masih melindungi kepala. Tiba-tiba tongkat dipukulkan ke bawah.
"Braakk!"
Sebuah batu hitam besar yang sejak tadi ada di samping Boma hancur berantakan. Mata Boma sampai mendelik besar.
"Tobat cing!" Boma membatin. "Batu segitu keras, segitu gede hancur jadi bubuk, gimana kepala gua?!"
Dalam takutnya Boma akhirnya ulurkan tangan kiri. Telapak dibuka dikembangkan. Bersamaan dengan itu si nenek letakkan ujung tongkat di atas telapak tangan Boma. Aneh, ujung tongkat itu tiba-tiba memancarkan cahaya hingga telapak tangan Boma terlihat jelas sampai ke garis-garis tangan yang terhalus sekalipun. Dalam takutnya Boma hendak menarik tangan kirinya. Tapi si nenek segera membentak.
"Jangan berani bergerak!"
Boma terpaksa tidak jadi menarik tangan kirinya. Si nenek maju dua langkah. Sepasang matanya memperhatikan telapak tangan Boma tanpa berkedip. Ujung tongkat digerak-gerakkan di atas garis-garis tangan anak lelaki itu. Kepala diangguk-anggukkan. Mulutnya yang perot berulang kali mengeluarkan suara bergumam.
"Anak setan, apa kau tahu kalau di telapak tangan kirimu ada dua garis bersilang membentuk tanda kali?"
"Tau Nek...." jawab Boma.
"Kau tahu apa artinya?"
"Ka... kata orang kalau saya mukul orang bisa mati."
"Begitu?"
Boma mengiyakan sambil mengangguk. Si nenek tertawa panjang. "Orang yang berkata begitu adalah orang tolol. Kau juga orang tolol! Kalau tidak memiliki ilmu, mana mungkin memukul orang bisa mati! Tangan kirimu itu paling-paling hanya mampu dipakai cebok! Hik... hik... hik!"
Boma pandangi si nenek sambil menowel hidungnya dengan tangan kiri. Rasa takut masih menjalari anak ini. Si nenek sebaliknya balas memperhatikan kelakuan anak lelaki itu. Dalam hati dia berkata. "Yang satu itu suka menggaruk kepala. Yang ini suka menowel hidung. Hik... hik... hik. Apakah aku memang menemukan anak yang selama ini aku cari-cari dari alam roh? Aku harus memastikan. Petunjuk mengatakan dia memiliki tanda kedua."
Nenek berwajah seram tiba-tiba susupkan tongkatnya ke bawah betis kanan Boma, lalu diangkat ke atas. Gerakan ini membuat Boma terlentang di tanah dengan kaki naik di udara, tepat di depan wajah seram si nenek, Dengan tangan kanannya si nenek kemudian menarik lepas sepatu basket hitam yang dikenakan Boma. Juga kaos tebal yang membungkus kaki anak itu. Begitu sepatu dan kaos kaki lepas perempuan tua itu kerenyitkan muka, tekap hidungnya. Rupanya ada bau yang tidak enak menyambar dari kaki yang selama ini lembab terbungkus sepatu karet itu!
"Anak setan! Kakimu bau comberan!" Si nenek keluarkan ucapan lalu semburkan ludah susur ke tanah. Boma mau ketawa tapi tak berani. Masih menekap mulut si nenek jauhkan kepalanya sedikit. Dua matanya memandang tak berkedip memperhatikan kaki kanan Boma yang kini telanjang. Mulut si nenek bergerak pencong. Matanya yang cekung membesar. Boma tidak mengerti apa yang tengah dilakukan perempuan tua aneh bau pesing ini.
"Anak setan.... Benar dia. Tanda kedua ada di tumit kaki kanannya. Satu tahi lalat besar...."
Perlahan-lahan si nenek turunkan tongkatnya hingga kaki kanan Boma menyentuh tanah.
"Namamu siapa?!" si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"Boma."
"Apa?" Si nenek miringkan kepalanya sambil tangan kanannya didorongkan ke daun telinga kanan. "Bemo?!"
"Bemo!" Tampang Boma jadi berkerut. Dalam hati anak ini berkata. "Kok jauh banget budeknya ini orang tua!"
"Boma, bukan Bemo...." kata Boma kemudian.
"Ooo... Boma, ya.. ya aku ingat. Bemo 'kan sudah digusur! Hik... hik... hik...!"
"Aneh, kok dia tau segala bemo digusur?" kata Boma dalam hati.
"Nek, kau ini siapa..?" Boma beranikan diri bertanya.
"Menurutmu aku ini siapa?!" si nenek balik menukas.
"Nggak tau Nek. Saya...."
"Anak bau kencur, kau tak layak bertanya. Aku yang akan menanyai dirimu...?" "Nek, saya...."
"Diam!" Si nenek membentak. Matanya melotot. "Aku mau tanya. Tadi waktu aku muncul mendekatimu, aku lihat mulutmu komat-kamit mengucap sesuatu. Apa yang kau ucapkan? Apa yang kau baca?!"
"Anu Nek...." Boma menowel hidungnya.
"Anu apa?!"
"Yang saya baca ayat-ayat suci Nek. Ayat-ayat Qur'an...."
Si nenek terdiam. Muka angkernya mengerenyit. Sesaat Boma melihat keseraman sirna dari wajah tua hitam keriput itu.
"Kenapa kau baca ayat-ayat suci?" Si nenek bertanya.
"Sa... saya takut Nek."
"Takut? Takut apa? Takut sama siapa?" Boma tak menjawab. Takut si nenek marah.
Justru si nenek yang berucap.
"Takut sama aku hah?!"
"Betil... eh betul Nek."
"Kenapa takut?!"
"Saya ngira Nenek ini... jangan marah ya Nek. Saya mengira Nenek ini setan. Atau mahluk halus penghuni gunung." Akhirnya Boma keluarkan juga ucapannya.
Si nenek mendongak lalu tertawa panjang cekikikan. "Itulah sifat kalian bangsa manusia. Sama setan takut. Tapi sama dosa tidak pernah takut. Buktinya masih banyak orang-orang yang mau berbuat dosa, berbuat kejahatan dan kemaksiatan!"
Mendengar ucapan si nenek yang menyebut "kalian bangsa manusia" tengkuk Boma mendadak sontak jadi dingin. "Berarti... berarti nenek ini memang bukan manusia. Tapi...." Hati-hati Boma tarik kaki kanannya yang sejak tadi terjulur lalu bangkit dan duduk di tanah.
"Anak setan...."
"Nek, nama saya Boma. Bukan Anak setan...."
"Terserah aku mau memanggilmu apa. Aku suka memanggilmu Anak setan. Apa kau keberatan. Apa kau berani menampik?"
"Saya bukan Anak setan Nek. Lagian setau saya setan nggak pernah punya anak,..."
Si nenek delikkan matanya, tapi lalu tertawa mengekeh. "Setan memang tidak punya anak. Tapi manusia setan yang banyak gentayangan di duniamu, kawin sana kawin sini, pekerjaannya bikin anak di mana-mana. Mending kalau diurus. Banyak yang ditelantarkan. Mereka itu bapak setan yang punya Anak setan!"
Boma terdiam.
"Boma!"
"Saya Nek...." "Kau suka menenggak miras?"
"Heran.... Kok nenek tau-tauan minuman keras segala?"
"Jawab saja pertanyaanku. Suka minum apa tidak?!"
"Tidak Nek...."
"Suka minum obat terlarang?"
"Nggak Nek...."
"Nipam?".
"Nggak pernah Nek...."
"Ganja?"
"Ngerokok aja nggak Nek."
"Ecstasy?"
"Apa lagi itu Nek. Mana kebeli..."
"Barangkali ada yang ngasih!"
Boma menggeleng.
"Suka ikut tawuran?"
"Nggak pernah."
"Suka main cewek?"
"Ajie gile. Gue jadi bingung. Gue diinterogasi. Ini setan apa neneknya Polwan...." membatin Boma lalu gelengkan kepala.
Si nenek kembali tertawa cekikikan.
"Anak setan, dengar baik-baik. Hidup di dunia ini makin lama makin banyak tantangan. Tantangan kadang-kadang membuat manusia tidak selamat. Untuk menghadapi tantangan seseorang harus punya ilmu. Aku mau mewariskan ilmu kepandaian padamu. Kau harus terima..."
"Ilmu... Ilmu apa Nek?" "Tidak usah tanya-tanya dulu. Pokoknya terima saja...."
"Nek, kata orang tua saya, kalau mau hidup selamat di dunia dan akhirat tidak sulit...."
"Apa, tidak sulit bagaimana? Aku mau tahu...."
"Kata orang tua saya kalau mau hidup selamat kita harus hidup dengan menjalankan perintah Allah, menjauhkan laranganNya..."
Si nenek menyeringai lalu geleng-geleng kepala. "Banyak memang orang yang begitu. Menjalankan perintah Tuhan, menjauhkan larangan Tuhan. Tapi lebih banyak lagi yang tidak menjalankan perintah Tuhan, malah seperti berlomba melanggar perintah Gusti Allah. Di situlah munculnya tantangan. Agar seseorang tidak sampai terseret ke dalam kesesatan maka harus memiliki ilmu. Sudah! Sekarang ulurkan tangan kirimu! Sebelum kuturunkan ilmu yang kumaksudkan itu padamu, dirimu perlu dibersihkan dan diisi dengan hawa murni"
Boma diam saja. Tak mau mengeluarkan tangan kirinya. Takut.
"Kau tidak mau aku wariskan ilmu kepandaian?"
"Saya, saya musti tau dulu ilmu kepandaian apa Nek? Matematika? Fisika...? Kalau Matematika sama Fisika di sekolah saya memang jeblok."
"Anak setan! Aku mana tahu segala ilmu begituan! Kalau kau tak mau mengulurkan tangan aku terpaksa memaksa.... Mau kupelintir tanganmu sampai medel?!"
Boma masih diam.Tiba-tiba si nenek angkat tongkat di tangan kirinya. Ujung tongkat diarahkan ke tangan kiri Boma. Aneh. Perlahan-lahan tangan kiri Boma terangkat ke atas. Bagaimanapun anak ini menge-rahkan tenaga tetap saja dia tak kuasa menahan. Si nenek putar ujung tongkatnya sedikit. Tangan Boma yang terulur ikut berputar. Telapak mengembang, menghadap ke atas. Si nenek ulurkan tangan kanannya yang kurus keriput. Lalu telapak tangannya ditempelkan ke telapak tangan Boma. Terasa ada hawa panas menjalari tubuh anak lelaki itu. Pada saat itulah di dalam tenda besar terdengar suara orang menyalakan geretan gas. Lalu ada cahaya terang. Sesaat kemudian bagian depan tenda terbuka. Lalu menyeruak muncul sosok Ronny Celepuk.
"Bom? Boma? Kau di mana?"
"Sialan! Ada orang!" si nenek yang tengah memegang telapak tangan Boma memaki. "Anak setan, dengar baik-baik. Aku terpaksa pergi. Tapi aku akan kembali lagi menemuimu."
Si nenek lepaskan pegangannya pada tangan kiri Boma. Bersamaan dengan itu tubuhnya berkelebat ke arah pohon besar lalu lenyap ditelan gelap dan dinginnya malam.
***
BOMA tersentak ketika Ronny Celepuk mendatangi dari samping. Sebatang rokok terselip di sela jari tangan kanannya.
"Bom, gua kira lu diculik hantu gunung."
"Huss! Kau jangan ngomong sembarangan Ron. Kalau kejadian beneran...."
"Habis, kau lagi ngapain di sini?" tanya Ronny Celepuk.
Boma cepat-cepat mengenakan kaos dan sepatu basket, berpaling ke arah Ronny.
"Kau lagi tapa di depan api unggun? Mukamu kuliat pucat amat!"
"Aku nggak bisa tidur. Jongkok sebentar di sini buat manasin diri." Jawab Boma.
"Aku tadi kebangun. Liat kok kamu nggak ada dalam tenda. Aku kirain ke mana...."
"Dingin Ron, ayo masuk lagi," kata Boma,
***
EMPAT
MISTERI MULAI TERSINGKAP
GITA Parwati beringsut mendekati Boma. Suaranya agak gemetaran ketika berkata. "Bom, nenek-nenek yang kau ceritakan itu, persis nenek-nenek yang aku liat dalam kamar tempat kau dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor. Berarti kau nggak cerita ngibul...."
"Siapa yang ngibul!" jawab Boma.
"Yang masih belon jelas mahluk itu setan, hantu apa manusia," kata Vino.
"Jelas hantu alias setan. Kalau manusia biasa mana bisa menghilang," menyahuti Gita.
"Tapi setan kok tau-tauan segala Miras, Nipam, Ecstasy, ganja" Rio ikut bicara.
"Mungkin yang satu ini setan moderen," kata Andi. "Setan dalam rangka globalisasi. Akibat globalisasi nggak ada lagi batas antara alam gaib dan alam nyata."
"Keren amat omonganmu. Kayak yang ngarti globalisasi aja." kata Gita Parwati sambil pencongkan mulut dan hidungnya yang pesek.
"Memang aneh," Firman ikutan bicara "Setan kok bisa tau kalau bemo mau digusur" "Jangan-jangan 'tu nenek matinya ketabrak bemo. Lalu gentayangan jadi setan penasaran. Yang dicari temen kita! Uh, ngeri juga!" kata Vino sambil mengusap tengkuknya.
"Yang aku heran," kata Andi, "Kenapa dia terus-terusan manggil kamu Anak setan, Bom. Jangan-jangan dia ibunya setan, kawin sama bapak setan, kau jadi Anak setannya...."
Kamar di tingkat atas itu jadi riuh.
"Sialan lu!" maki Boma.
Andi cuma cengar-cengir. Boma menowel hidungnya. Lalu berpaling pada Dwita.
"Dwita, menurut ayahmu, orang pinter di Bogor memberi tau ada mahluk yang mau mewariskan ilmu. Aku menolak. Lalu aku jadi sakit. Begitu?"
Dwita mengangguk. Boma terdiam. Berpikir. Perlahan dia berkata sendiri. "Apa yang diliat orang pinter itu cocok dengan kejadian yang aku alami." Boma memandang pada Vino.
"Tapi ilmunya kan belon ketauan ilmu apa," kata Vino. Anak ini berpaling pada Ronny Celepuk. "Kamu sih Ron, pakai keluar tenda segala. Kalau tidak saat ini Boma pasti sudah jadi orang hebat."
"Mending jadi orang hebat, kalau jadi bego-bego?!" kata Gita Parwati. "Eh, lu tau kagak. Saudaranya Bapak gue ada yang jadi gendeng akibat keberatan ilmu." Gita berpaling pada Boma. "Bom, aku rasa ceritamu baru sebagian. Gimana soal kejadian yang aneh-aneh lainnya?"
"Betul Bom, kau harus cerita semuanya," kata Ronny.
"Tapi perutku rada honger nih. Dari tadi cuman makanin pisang melulu. Lama-lama gua bisa mules. Gimana kalau kita dengerin ceritanya Boma sambil ngebakso di warung di ujung gang sono," kata Gita Parwati pula.
"Ah, kamu sih nggak lain makan-molor, makan en molor. Itu aja yang dipikirin!" kata Vino. "Tapi terus terang, ane sih setuju-setuju aja, ring."
"Uh!" Gita mendorong kepala Vino dengan tangannya. "Liat aja nanti, pasti lu yang paling banyak makannya! Nambah ampe dua mangkok!"
Vino menyengir lalu berdiri diikuti yang lain-lain. Mereka sama-sama melangkah ke pintu.
"Tunggu," kata Rio. "Siapa yang traktir?"
Semua anak terdiam. Masing-masing mereka memang punya uang. Tapi pas-pasan. Kalau untuk traktir segitu banyak orang mana cukup. Dalam diam anak-anak itu akhirnya sama memandang ke arah Dwita.
Anak perempuan ini tersenyum. "Oke, aku yang traktir."
"Jangan Dwita. Biar aku saja," kata Boma.
"Wah, keren banget kau Bom. Banyak duit ya?" tanya Vino.
"Jangan-jangan dikasih sama nenek setan itu," kata Ronny Celepuk.
"Wah, kalau gitu musti diliat dulu. Jangan-jangan duitnya palsu. Begitu habis dibayar berubah jadi daon. Kita bisa diketok tukang bakso!" kata Gita gendut. Boma tertawa. menowel hidungnya lalu berkata.
"Inget nggak, waktu kita ngobrol di warung Mang Asep?"
"Ya... ya inget!" teman-teman Boma menjawab berbarengan.
"Dwita ngasih uang dua ratus ribu. Uangnya masih utuh." Boma memandang ke arah Dwita. Anak perempuan ini balas menatap.
"Asyik!" celetuk Andi.
"Langsung enak dieh kalau gini!" kata Vino meniru iklan di televisi.
"Teman-teman," kata Ronny, "mumpung duit lagi ada, gimana kalau kita tunda ngebaksonya. Gantinya pergi ke MacDonal aja."
Beberapa anak siap mengatakan setuju tapi Boma menggeleng. "Bakso aja. Sisa duit kita simpen. Pasti ada gunanya nanti."
"Oke, setuju aja Bos. Asal jangan dipakai buat beli Jisamsunya si Ronny aja!" kata Vino.
"Ee, enak aja lu Vin. Gue ngerokok beli sendiri. Bukan malakkin temen." Jawab Ronny sambil ngacungkan tinju.
***
WARUNG bakso di ujung jalan sedang sepi. Delapan anak SMA Nusantara III itu memilih duduk di pojokan yang cukup luas. Sementara menunggu bakso dibuatkan Gita meminta Boma menyambung ceritanya.
"Iyya Bom. Gua kepengen tau apa sih yang kejadian sebenarnya. Soalnya orang-orang kaya-nya masih nggak bisa percaya kalau kita semua bisa selamat," kata Ronny Celepuk. Boma mengusap hidungnya. Dia pandangi wajah Dwita yang duduk tepat di depannya lalu berkata. "Oke, aku akan cerita. Tapi aku minta kalian janji. Jangan ceritain sama orang lain. Ini bener-bener rahasia. Super rahasia."
"Oke, kami nggak bakal bilang sama siapapun," kata Ronny.
"Terus, mulai aja Bom." Gita tak sabaran.
***
LERENG Gunung Gede, hari Sabtu siang. Matahari tak kelihatan. Udara terasa tambah dingin. Boma pimpinan rombongan anak-anak SMA Nusantara III memandang ke langit. Mendung tebal menggantung di mana-mana menutupi langit. Angin bertiup kencang.
"Teman-teman, kayaknya mau hujan gede," kata Boma. "Ron, siapkan tali."
Dari kantong perbekalannya Ronny Celepuk mengeluarkan seutas tali plastik besar berwarna kuning. Tujuh anak itu meneruskan perjalanan menuruni lereng Gunung Gede. Boma di depan sekali memegang handy talky. Mereka bergerak beriringan sambil berpegangan pada tali kuning.
"Vin, jam berapa sekarang?" tanya Boma.
Vino yang berada di bagian tengah rombongan melihat ke arloji di pergelangan tangannya.
"Jam satu kurang lima." Vino kemudian memberi tahu.
"Baru jam satu. Tapi udah kayak malem...." kata Gita Parwati yang berada di belakang Boma. Ucapan anak perempuan ini terputus oleh sambaran kilat di langit, disusul gelegar guntur menggetarkan tanah yang mereka jalani.
"Bentar lagi pasti turun hujan. Bom, bagusnya cari tempat berlindung dulu!" Ronny Celepuk yang berada paling belakang rombongan berseru.
Boma memandang ke depan. Saat itu keadaan tambah gelap dan lereng yang hendak mereka tempuh kelihatan curam.
"Teman-teman," kata Boma. "Jangan-jangan kita nyasar. Kayaknya ini bukan jalanan yang kita tempuh waktu mendaki."
Hujan mulai turun.
"Kita berhenti dulu di sini. Jangan terus. Bahaya!" Vino berteriak.
"Jangan, jangan berhenti di sini!" Gita yang punya pengalaman mendaki gunung beberapa kali berseru. "Bom, kita musti naik lagi ke atas. Cari tempat yang datar. Kita musti menjauhi lereng terjal ini. Pohon sekitar sini kecil-kecil. Nggak bisa nahan tanah kalau terjadi longsor!"
Hujan turun menggemuruh. Besar luar biasa. Bergabung dengan suara angin, deru hujan terdengar mengerikan.
"Semua balik ke atas. Cepat!" teriak Boma. Tujuh anak itu dengan berpegangan pada tali kuning segera berbalik, bergerak kembali ke arah atas. Di langit kilat sambung menyambung dan guntur menggelegar hampir tak berkeputusan. Boma menghidupkan handy talky.
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga calling! Pos Satu. Nusantara Tiga calling!."
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga silahkan masuk."
Boma mengenali itu adalah suaranya Pak Tatang. Kepala Pos Pengawas Gunung Gede.
"Pak Tatang. Nusantara Tiga dalam perjalanan turun. Halangan hujan besar. Halangan hujan besar. Kami terpaksa naik lagi ke atas. Ganti."
"Nusantara Tiga harap beri tahu posisi, Harap beri tahu posisi"
Boma mengambil kompas yang ada di kantong jaketnya. Tapi tiba-tiba di belakangnya terdengar suara menggemuruh keras. Pohon-pohon di kiri kanannya seolah terbang, meluncur ke bawah. Tanah yang dipijaknya bergetar. Bukan cuma bergetar tapi bergerak ke lereng gunung sebelah bawah.
"Longsor!" Boma sempat mendengar Gita berteriak.
Setelah itu tubuh tujuh anak itu terseret ke bawah digulung oleh tanah yang longsor. Pohon-pohon di sekitar mereka tumbang berserabutan. Jerit pekik tenggelam ditelan suara menggemuruh yang seolah keluar dari perut gunung, ditambah gelegar guntur dan sabungan kilat. Dalam keadaan seperti itu Boma melihat satu bayangan hitam berkelebat. Cepat sekali. Ada tumpukan manusia di bahu kirinya. Boma tidak dapat memastikan apakah itu manusia, binatang atau setan. Anak ini tak bisa berpikir lebih jauh. Tubuhnya meluncur ke bawah, setengah tenggelam dalam longsoran tanah. Lalu ketika batangan pohon membentur punggungnya, Boma menjerit keras. Handy talky terlepas dari tangannya. Pemandangannya gelap. Dia tak ingat apa-apa lagi.
***
SABTU malam menjelang pagi. Udara sedingin es. Hembusan angin laksana sayatan pisau di permukaan kulit. Perlahan-lahan dua mata Boma Tri Sumitro terbuka sedikit. Dia hanya melihat kegelapan. Pekat menghitam. Tubuhnya terasa dingin. Anak ini menggigil keras. Mulutnya kering dan bibirnya pecah-pecah. Lalu ada rasa sakit di punggungnya. Boma tidak tahu berada di mana saat itu. Apakah dia masih hidup atau sudah mati? Dia coba menggerakkan tangan dan kaki. Tidak bisa. Selain ada rasa nyeri juga ada sesuatu yang menahan. Sekali lagi dia perhatikan keadaan di sekitarnya. Ternyata tubuhnya tenggelam dalam long-soran tanah sampai sebatas dada. Dalam keadaan tak berdaya, tak mampu bergerak apa lagi mengeluarkan diri dari timbunan tanah. Boma ingat teman-temannya.
"Ron... Ronny...!" Dia hampir tidak mendengar suaranya sendiri. Untuk mengeluarkan ucapan itu dia harus mengeluarkan tenaga luar biasa, membuat kepalanya pusing dan pemandangannya berkunang.
"Ron...."
Tak ada jawaban.
"Gita...."
Sunyi.
"Vino... Firman... Andi... Rio."
Boma masih mampu menyebut nama teman-temannya satu persatu. Namun tetap saja tak ada jawaban, tak ada sahutan. Lalu anak ini ingat. Sesaat sebelum dia jatuh pingsan, dia melihat satu bayangan hitam berkelebat memanggul sosok-sosok manusia di bahunya. Rasa ngeri serta merta menjalari sekujur badan anak ini.
"Jangan-jangan... yang aku liat itu Malaikat Maut. Membawa mayat teman-temanku... Gita... Vino... Rio. Ya Tuhan, di mana teman-teman saya. Tuhan, tolong kami...."
Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di depan Boma. Pemandangan anak ini masih berkunang dan tempat sekitar situ masih diselimuti kegelapan.
"Malaikat Maut...." pikir Boma, memperhatikan sosok dalam kegelapan. Kalau tadi ada rasa takut menyungkupi dirinya kini dalam takut muncul ketabahan. "Kalau memang nyawaku mau dicabut aku pasrah..." Boma pejamkan matanya. Sosok bungkuk bergerak mendekat. Sepasang mata Boma tiba-tiba membesar. Dia ingat. Dia mengenali. Sosok yang mendatangi itu adalah sosok nenek-nenek berwajah angker, berkulit hitam. Tubuh bungkuk mengenakan kebaya rombeng dan kain panjang butut. Di atas kepalanya ada lima buah tusuk konde perak putih. Boma mencium bau pesing. Tak salah lagi. Mahluk angker ini adalah nenek-nenek aneh yang mendatanginya pada malam pertama dia dan rombongan berada di Gunung Gede.
"Anak Setan! Syukur aku masih bisa menemuimu. Kukira kau sudah amblas ditelan tanah!"
Boma menggerakkan mulut. Lidahnya terasa kelu. Bibirnya berat. "Nek...."
"Sudah, jangan banyak bicara. Aku akan mengeluarkanmu dari timbunan tanah...."
"Nek... saya... saya tidak apa-apa, Teman-teman saya Nek.... Kalau kau mau menolong... tolong mereka duluan. Saya...."
Si nenek hendak membentak namun tak jadi, Sepasang matanya yang berada dalam rongga cekung kelihatan mencorong menatap wajah Boma. Dalam hati si nenek membatin.
"Anak satu ini benar-benar luar biasa. Dia tidak perdulikan keadaannya sendiri. Malah meminta aku menolong teman-temannya. Aku bersyukur pada Yang Maha Kuasa. Aku tidak salah memilih orang...."
"Nek, tolong teman-teman saya. Di mana mereka... Gita... Rio... Ronny...."
"Diam!" si nenek membentak. "Tak perlu memikirkan teman-temanmu! Gusti Allah sudah menolong mereka!" Tangan kiri si nenek bergerak. Tongkat kayu menyusup ke bawah ketiak kanan Boma. Ketika sekali lagi tangan si nenek yang memegang tongkat bergerak, tiba-tiba tubuh Boma bergerak keluar dari dalam timbunan tanah untuk kemudian melesat ke udara. Sosok si nenek ikut melesat ke udara, menyambar tubuh Boma, lalu membawa tubuh anak lelaki itu melayang turun ke tanah dan lenyap dalam kegelapan.
***
DELAPAN mangkok bakso di atas meja tak satupun yang disentuh. Semua anak begitu asyik mendengar cerita Boma. Kini mereka terdiam dalam alam pikiran masing-masing.
"Wah, baksonya udah dingin 'nih!" Rio yang pertama sekali bersuara. "Ceritamu luar biasa Bom. Kayak filem horror aja," kata Vino.
"Bom," kata Gita. "Menurut tim penolong yang pertama kali nemuin kita, kita semua ditemuin di satu tempat datar, di lereng timur Gunung Gede. Semua kita berada dalam kantong plastik milik kita masing-masing."
"Ya, Ayahku juga bilang begitu," kata Boma.
"Siapa yang memasukkan kita ke dalam kantong tidur itu?" Ujar Andi. "Kalau tidak di dalam kantong, lebih dua hari dua malam, nggak makan apa-apa, cuma minum air hujan, kita semua pasti udah pada mati kaku."
"Nenek angker itu...." kata Vino. "Pasti dia yang nolong kita."
"Lalu waktu kita digotong turun, katanya badan kita enteng sekali. Aku yang ceking ini sih oke-oke aja. Tapi si Gita? Mana mungkin bobot seratus kilo lebih dibilang enteng," kata Firman. Gita cemberut. Teman-temannya menyengir.
"Malam itu," Rio menjawabi ucapan Firman. "Ada petugas yang bilang, kayaknya seperti ada tangan-tangan gaib ikut bantu menggotong tandu...."
"Mungkin nenek angker itu punya anak buah, punya pasukan yang diperintahkannya buat ngebantu tim penolong," kata Vino sambil usap-usap tengkuknya.
"Lalu kunang-kunang yang jadi penunjuk jalan?" ujar Gita.,
"Mungkin peliaraannya si nenek," kata Boma.
"Nenek-nenek itu nggak ngedatengin kamu lagi Bom?" tanya Ronny.
Boma menggeleng. "Minta-minta sih jangan deh."
"Emangnya, kenapa kau nanyain nenek-nenek itu Ron?" tanya Gita.
"Kalau memang dia yang nolong kita, kita pantas bilang terima kasih...." jawab Ronny.
"Bom, kalau si nenek memang dateng lagi bilang Ronny Celepuk mau ketemu," kata Gita.
"Gila! Jangan Bom!" kata Ronny. "Gua bisa kojor duluan."
Boma dan kawan-kawannya tertawa.
"Bang, baksonya semangkok lagi!" Tiba-tiba Vino berseru.
Gita langsung membuka mulut
"Nah, apa kata gua tadi! Kamu 'kan yang paling banyak makannya!"
Vino senyum. "Mumpung lagi ditraktir, Git."
Selesai makan bakso, waktu teman-temannya sudah berdiri Boma memberi isyarat pada Dwita agar tetap duduk. Lalu pada teman-temannya Boma berkata. "Kalian duluan aja balik ke rumahku. Aku mau ngomong sebentaran sama Dwita."
"Wah, ada rahasia yang kita nggak boleh denger 'nih bo," kata Ronny.
"Bom, kalau mau beduaan jangan di warung bakso dong. Cari tempat yang lebih representatip!" kata Vino.
"Ah, sok tau lu!" kata Gita sambil menarik tangan Vino.
Setelah teman-temannya pergi Dwita bertanya.
"Ada apa Bom?"
"Aku mau tanya." Boma meluruskan badannya.
"Soal apa?"
"Satu hari sebelum aku keluar Rumah Sakit PMI, ayahku ke kantor Rumah Sakit. Nanyain berapa biaya perawatan yang harus dibayar kalau aku pulang besoknya." Boma sengaja tidak meneruskan kata-katanya, menatap dalam ke mata anak perempuan yang bening bagus itu. Coba melihat reaksi Dwita. Tapi dia tidak melihat perubahan pada wajah dan sepasang mata itu. Mungkinkah anak ini pandai menyimpan rahasia hatinya?
"Terus?" malah Dwita kini yang bertanya.
"Menurut pegawai Rumah Sakit, semua biaya perawatanku sudah ada yang bayar."
"Siapa?"
"Justru aku mau nanya sama kamu." kata Boma.
Dwita unjukkan wajah heran. "Kok nanya sama aku?"
"Jujur aja Dwita."
"Maksudmu?"
"Kau yang membayar?"
Dwita menatap wajah Boma sesaat. Lalu tersenyum.
"Benar kamu yang bayar?" tanya Boma.
Dwita menggeleng.
"Jangan bohong."
"Aku nggak bohong."
"Lalu siapa?"
"Mana Dwita tau Bom."
Boma terdiam. "Aneh. Kata pegawai Rumah Sakit itu yang bayar perempuan."
"Perempuan 'kan banyak Bom."
"Sayang ayahku tidak nanyain ciri-ciri orangnya. Jadi betul bukan kamu?"
"Buat apa sih aku bohong Bom."
Boma menowel hidungnya lalu berdiri.
***
LIMA
MISTERI SANG PEMBAYAR
RONNY CELEPUK mengusap-usap hidungnya yang tinggi bengkok. "Ngapain kau minta diantar ke Rumah Sakit PMI di Bogor, Bom?"
"Aku masih penasaran Ron. Mau nyari tau siapa yang bayarin perawatan waktu aku dirawat"
"Aku curiga pasti Dwita. Habis siapa lagi?"
"Dwita bilang nggak. Aku yakin dia nggak bohong."
"Kalau gitu Trini. Kau udah tanya cewek itu?"
"Ketemu lagi juga belum. Lagian, aku masih sebel sama dia. Gara-gara berita di tabloid itu." Boma diam sebentar lalu meneruskan. "Menurut bokap gue, pegawai yang melayani pembayaran itu namanya Ibu Mardi. Aku musti nemuin dia. Tanya."
Dari dalam saku kemejanya Boma keluarkan sebuah foto. "Ini foto waktu kita piknik ke Ciater dulu. Ada Trini, ada Dwita. Aku mau kasih liat sama Ibu Mardi. Pasti dia bisa ingat orangnya kalau aku perlihatkan foto ini."
"Sebenarnya gua mau liat anak-anak latihan ben di sekolahan. Tiga Minggu lagi 'kan pesta perpisahan anak-anak kelas tiga."
"Kalau kau nggak mau nganterin, aku naik bis juga bisa." Kata Boma.
"Tuh, belon apa-apa kau udah ngambek." Kata Ronny sambil tersenyum.
***
IBU MARDI pegawai Rumah Sakit PMI Bogor orangnya tinggi kurus, berkaca mata besar berusia hampir setengah abad.
"Oo, anak ini yang namanya Boma. Yang dulu dirawat di sini?"
"Betul Bu. Ini teman saya Ronny. Dia juga sama-sama dirawat."
"Wah, saya baca beritanya di tabloid. Cerita adanya nenek-nenek misterius di kamar adik tempo hari sudah tersebar ke mana-mana."
Boma dan Ronny saling pandang.
"Ada kabar apa 'nak Boma?"
Boma lalu menerangkan maksud kedatangannya.
"Wah, kejadiannya sudah lama juga. Kalau ketemu orangnya lagi saya pasti ingat..."
"Mungkin Ibu ingat ciri-cirinya?" tanya Boma.
"Orangnya masih muda. Cantik. Bajunya kalau tidak salah blus biru tua, tangan panjang. Digulung...." Ronny berbisik. "Bom, yang suka pakai baju biru tangan panjang digulung si Dwita. Pasti dia."
Dari balik baju jaketnya Boma mengambil sebuah amplop. Dari dalam amplop dikeluarkannya sehelai foto. Boma menunjuk wajah Trini dalam foto.
"Mungkin yang ini orangnya Bu?" tanya Boma.
Ibu Mardi memakai kacamatanya, memperhatikan wajah Trini. Lalu menggeleng. Boma menunjuk pada wajah Dwita. "Kalau yang ini?"
Ibu Mardi betulkan letak kaca-matanya, menatap lama. Akhirnya kembali menggeleng. "Bukan.... Orang yang datang membayar memang masih muda. Tapi tidak semuda anak-anak dalam foto ini. Wajahnya cantik gimana ya.,.. Banyak orang cantik tapi yang satu itu cantiknya nggak bosan dipandang. Ada anggunnya. Lebih dewasa dari anak-anak ini. Bicaranya lembut...."
"Kulitnya putih, hitam, atau mungkin belang-belang?" Ronny bertanya konyol.
Ibu Mardi tertawa lebar.
"Seingat Ibu, orangnya berkulit kuning langsat. Raut wajahnya mulus, nggak ada flek nggak ada jerawat."
Boma memandang pada Ronny. "Kau bisa ngeduga siapa orangnya Ron?"
"Sulit. Kayaknya kita nemuin jalan buntu Bom."
"Nak Boma, memangnya ada apa?" Ibu Mardi bertanya.
"Rasanya nggak enak aja Bu. Ada orang baik, tapi kita nggak tahu siapa orangnya. Nggak bisa bilang terima kasih."
"Ya, 'Nak Boma betul juga. Mungkin ada salah satu saudara ayah atau ibunya 'Nak Boma yang berbaik hati...."
"Mungkin Bu," jawab Boma. Tapi dalam hati dia tahu betul bahwa hal itu tidak mungkin. Semua keluarga ayah atau ibunya hidup pas-pasan. Jangankan untuk membayar uang perawatan rumah sakit, untuk membayar uang sekolah dan uang kuliah anak-anak sendiri saja mereka sering-sering mengalami kesulitan. Setelah mengucapkan terima kasih Boma dan Ronny keluar dari kantor Rumah Sakit. Di halaman parkir sambil duduk di jok Honda Tiger merah Ronny menyalakan sebatang rokok.
"Gimana Bom?" tanya Ronny lalu menghembuskan asap rokoknya.
"Aneh. Gua nggak habis pikir," jawab Boma lalu menowel hidungnya sampai tiga kali. "Trini bukan, Dwita juga bukan. Lalu siapa? Sekarang kita mau nyelidik ke mana lagi?"
"Mungkin nggak nenek-nenek aneh dari Gunung Gede yang nyelametin kita itu?"
"Bego amat kamu Ron. Jelas Ibu Mardi tadi bilang yang datang perempuan muda cantik ayu. Bukan nenek-nenek!" Boma berkata dengan wajah setengah bersungut dan sambil mengambil helm yang tergantung di stang motor.
"Gua sih nggak bego-bego amat Bom," jawab Ronny. "Mungkin aja nenek itu muncul dengan bersalin rupa. Menyaru jadi perempuan muda."
"Gue nggak mikir sampai ke situ Ron," kata Boma. Anak ini terdiam sejurus. "Ayo balik Ron. Cabut...."
"Cabut." kata Ronny Celepuk sambil mencampakkan rokok yang baru setengah dihisapnya. Saat itu seorang anak perempuan manis lewat di depan Ronny bersama adiknya.
"Anak cakep, mau besuk siapa?"
Anak perempuan itu melirik sebentar pada Ronny lalu buru-buru melanjutkan langkahnya.
"Aduh somsenya. Lupa ya sama Ronny."
Tiba-tiba seorang kakek bertongkat tahu-tahu sudah berdiri di depan Ronny. Orang tua ini menyeringai lebar, memperlihatkan barisan giginya yang sudah banyak ompong. "Suka ya sama cucu Abah?" si kakek menegur. Ronny jadi salah tingkah.
"Kalau suka sama cucu Abah, musti belajar tata tertib dulu. Itu tong sampah segede gajah dekat di sebelah sana. Tapi tadi Abah liat situ buang rokok di jalanan seenaknya."
Ronny tersenyum pahit, cepat-cepat naik ke atas motor.
"Kena batunya kau Ron," kata Boma sambil duduk di belakang Ronny.
"Apes gua," jawab Ronny. "Gua kira 'tu cewek cuman sama adeknya."
"Mustinya tadi si Abah kau bujukin. Tawarin rokok."
"Gila 'lu! Kalau diterima, kalau kepala gue yang diketok sama tongkat!"
Boma tertawa mengakak. Dia berpaling ke arah orang tua yang masih berdiri di pelataran parkir lalu melambaikan tangannya. Si kakek membalas dengan mengacungkan tongkat. "Anak sekarang, selalu tidak ada sopannya." Si kakek menggerendeng sendiri lalu membalikkan badan. Ketika mau melangkah dia tidak melihat ada seekor kucing di dekatnya. Salah satu kaki kucing terinjak. Binatang ini mengeong keras kesakitan, hampir mencakar. Si kakek melompat kalang kabut, tongkatnya mental. Dia sendiri nyaris jatuh kalau tidak cepat berpegang pada gerobak penjual minuman.
***
ENAM
PENDEKAR TAHUN 2000
OMBAK pantai selatan bergulung ganas, memecah menghantam jajaran gugusan bukit karang yang membujur dari barat ke timur. Suara menggemuruh tiada henti sepanjang siang sampai malam. Saat itu tepat tengah hari. Sang surya bersinar terik. Langit bersih tak berawan. Hembusan angin sesekali terdengar seperti suara tiupan seruling. Di salah satu puncak bukit karang, paling tinggi di antara semua bukit-bukit karang yang ada di kawasan pantai selatan, seorang tua berpakaian putih rombeng, lusuh dan dekil tampak duduk bersila di atas batu. Tetapi jika diperhatikan, sosok orang tua ini ternyata tidak menempel ke batu, melainkan mengambang setinggi satu jengkal di atas batu. Siapapun adanya, orang tua ini jelas memiliki ilmu kesaktian tinggi. Angin laut meniup rambutnya yang putih panjang sepunggung, menyibakkan wajahnya yang sangat cekung di kedua pipi dan rongga mata kiri kanan. Walau panas menyengat, bisa membuat gosong kulit manusia, apa lagi kulit lapuk si orang tua, namun aneh dan luar biasa, kulit muka orang tua ini kelihatan pucat pasi seperti muka mayat. Dua matanya yang terpuruk ke dalam rongga dalam membuat tampangnya mengerikan luar biasa. Matanya yang terbuka sedikit membersitkan sinar dingin angker. Sudah enam hari enam malam orang tua ini bersamadi dengan mata nyalang di tempat itu. Dua tangan di lipat di depan dada. Hari demi hari sosoknya naik semakin tinggi dari atas batu karang. Sesekali ada asap putih kelabu mengepul dari ubun-ubun di batok kepalanya. Di penghujung sore sang surya menggelincir ke barat. Udara berubah temaram, dan mulai gelap ketika sang surya lenyap seolah ditelan samudera raya. Malam itu adalah malam ke tujuh dari tapa aneh yang dilakukannya. Deru angin menyambar dingin. Di langit muncul bulan sabit. Sepasang mata si orang tua membuka lebih besar. Dalam gelapnya malam tiba-tiba ada cahaya putih kebiru-biruan. Lalu seperti keluar dari dasar laut terdengar suara.
"Muka Bangkai! Hentikan tapamu! Aku datang!"
Suara itu ternyata suara perempuan. Melengking merobek langit. Di lain kejap satu sosok mengerikan tahu-tahu telah berdiri di hadapan orang tua yang dipanggil dengan nama Muka Bangkai. Sosok yang muncul adalah sosok seorang nenek berjubah biru, berambut merah panjang sekali, riap-riapan sampai menjejak batu karang. Jari-jari tangan dan kaki ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna merah. Ketika dia memandang ke arah si orang tua yang duduk mengapung di atas batu karang, ternyata dia memiliki sepasang mata angker yang juga berwarna merah. Mulutnya yang pencong ke kiri menyeringai. Lalu mulut itu membentak.
"Muka Bangkai, jangan membuat aku menunggu dalam marah! Hentikan tapamu, lekas berdiri!"
Sepasang mata orang tua Muka Bangkai membesar. Dia sudah melihat kedatangan sosok di hadapannya. Rahangnya menggembung, pelipisnya bergerak mendenyut, pertanda orang tua ini sebenarnya tidak suka tapanya diganggu. Tapi sadar siapa yang datang, si Muka Bangkai cepat-cepat rundukkan tubuh hingga keningnya menyentuh batu. Lalu sekali menyentakkan diri tubuhnya melesat satu tombak ke atas, perlahan-lahan turun ke bawah, injakkan kaki di atas batu. Ketika sosoknya berdiri ternyata si Muka Bangkai bertubuh bungkuk.
"Eyang Kunti Api, Guru! Aku muridmu Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat mengucapkan selamat datang. Namun mohon maaf, menyesal sekali kalau murid mengatakan kemunculanmu tidak tepat waktu..."
"Tidak tepat waktu?! Apa maksudmu?!" bentak nenek bernama Kunti Api.
"Murid sedang bertapa. Tengah merampungkan satu ilmu baru. Kedatangan Guru membuyarkan dan membatalkan tapa murid. Berarti murid harus mengulang dari semula." Kunti Api pelototkan mata lalu meludah.
"Murid kufur! Apakah tapamu lebih penting dari kedatanganku?! Apakah kau berani menolak pertemuan ini?! Jawab?!" Sepuluh kuku tangan dan kaki Kunti Api pancarkan sinar menyeramkan. Pertanda amarah telah menyelubungi dirinya. Asap putih kelabu di atas ubun-ubun Si Muka Bangkai membubung ke atas pertanda kakek ini juga mulai dirasuk kemarahan. Kunti Api tiba-tiba keluarkan tawa mengekeh.
"Murid sombong! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan ilmu kepandaianmu hari ini!" Habis berkata begitu si nenek gerakkan tangan kanannya.
"Wusss!"
Puncak bukit karang yang gelap itu jadi terang benderang. Lima larik sinar merah berkiblat menghantam ke arah lima sasaran di kepala dan tubuh Si Muka Bangkai. Si kakek menjerit kaget. Secepat kilat dia hentakkan kaki kanannya ke batu karang. Tubuhnya melesat ke udara. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik. Ketika dia berhasil selamatkan diri dan tegak kembali di atas batu karang, mukanya tambah pucat seolah darahnya baru saja disedot habis. Matanya membujur keluar, menatap ke arah nenek berambut merah panjang riap-riapan yang berdiri di hadapannya sambil umbar tawa bergelak.
"Eyang! Kau mau membunuh murid sendiri?!" teriak Si Muka Bangkai.
"Kalau memang kau perlu kuhabisi apa salahnya?!" jawab si nenek. "Kau berhasil selamatkan diri dari seranganku tadi. Aku merasa lega walau cuma sedikit."
Merinding juga Si Muka Bangkai mendengar jawaban sang guru.
"Guru, aku mohon maaf. Antara kita memang selalu terjadi saling salah mengerti...."
"Itu karena kau selalu menghadirkansikap sombong congkak. Tidak memandang sebelah mata pada orang lain. Sampai-sampai aku gurumupun kau perlakukan acuh tak acuh! Dan sifat burukmu itu sudah kau turunkan pula pada muridmu Pangeran Matahari!" (Mengenai Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari harap baca buku-buku serial "Wiro Sableng" Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212).
"Guru, Eyang Kunti Api, tidak maksud murid berlaku kurang ajar terhadapmu...."
"Sudah, aku sudah lama tahu sifatmu. Kau memang kurang ajar! Ayo, kau masih mau menjawab?!" bentak Eyang Kunti Api.
"Eyang, maaf kan saya. Mohon kau mau memberi tahu maksud kedatanganmu," kata Si Muka Bangkai sambil merunduk.
"Karena mengejar ilmu kau tidak mengetahui apa yang tengah terjadi di dunia sana. Telingamu jadi tuli, matamu jadi buta."
"Eyang Guru, aku selalu memerintahkan muridku Pangeran Matahari untuk memantau keadaan di delapan penjuru angin. Dia selalu datang memberikan laporan pada waktu-waktu tertentu. Hanya saja, belakangan ini dia sudah lama tidak muncul. Belum murid ketahui dimana dia berada. Eyang Guru, mohon murid diberi tahu apa yang tengah terjadi di dunia sana?"
"Seseorang tengah menyusun satu rencana besar. Rencana besar yang sangat berbahaya bagi kita dan kawan-kawan dari dunia hitam."
"Eyang, mohon diberi tau siapa adanya seseorang itu dan apa rencana besar yang Eyang maksudkan itu."
"Sinto Gendeng, nenek jahanam dari Gunung Gede...!"
"Ah, dia rupanya yang punya peranan," ujar Si Muka Bangkai. "Apa yang tengah dilakukannya, Eyang?"
"Tua bangka itu tengah merencanakan kehadiran seorang pendekar baru. Pendekar Tahun 2000."
"Pendekar Tahun 2000?" mengulang Si Muka Bangkai.
"Jika hal itu sampai kejadian, ini merupakan satu malapetaka besar bagi kita semua dari golongan hitam. Lebih celaka kita tak akan mampu menguasai dunia sana."
"Kalau begitu kita harus melakukan sesuatu Eyang Guru."
"Apa yang ada dalam benakmu, Muka Bangkai?"
"Menghancurkan rencana Sinto Gendeng." Jawab Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari dari puncak Gunung Merapi.
"Tepat. Katakan bagaimana caranya?!" tanya Kunti Api.
"Dua cara. Pertama habisi Sinto Gendeng. Kedua habisi sang calon pendekar."
Eyang Kunti Api dongakkan kepala. Dari sepasang matanya keluar memancar sinar merah menembus kegelapan malam.
"Muridku Muka Bangkai, katakan padaku. Siapa yang bakal melakukan semua itu. Siapa yang akan menghabisi Sinto Gendeng dan Pendekar Tahun 2000?!"
Kakek bermuka sepucat mayat berpikir sejenak lalu menjawab. "Aku akan perintahkan muridku Pangeran Matahari melakukan dua tugas itu."
"Tolol sekali!" tiba-tiba si nenek rambut merah membentak sambil hunjamkan kaki kiri ke batu karang hingga bukit batu itu bergetar hebat, membuat sosok bungkuk Si Muka Bangkai terhuyung-huyung. "Apa menurut otak tololmu Pangeran Matahari muridmu itu akan mampu menghadapi si jahanam Sinto Gendeng?"
"Maafkan murid jika berpikir terlalu picik. Eyang, aku mohon petunjukmu," kata Si Muka Mayat pula.
"Yang kita hadapi satu urusan besar. Maha penting, sangat berbahaya, bukan main-main. Karena semua ini akan menentukan masa depan orang-orang golongan hitam di dunia sana. Itu sebabnya aku sengaja menyempatkan diri menemuimu. Karena aku datang untuk memberi perintah. Kau sendiri yang harus turun tangan menghabisi Sinto Gendeng. Bukan muridmu!"
Pandangan dua mata Si Muka Bangkai sampai tak berkesip saking terkejut mendengar ucapan gurunya itu.
"Muka Bangkai, kau seperti tidak suka mendengar ucapanku. Apa lagi menjalankan perintah!"
Si Muka Bangkai menahan diri.
"Eyang Kunti Api, bukan maksudku mengecilkan arti kedatanganmu. Bukan maksudku tidak mementingkan kehidupan dan kekuasaan golongan kita di dunia sana. Jika kau yang memberi perintah, murid mana berani menolak."
"Hemm... Kau sendiri, apakah kau merasa sanggup menghabisi Sinto Gendeng?"
"Ilmu kesaktian nenek itu memang banyak meningkat beberapa tahun belakangan ini. Tapi aku tidak gentar. Tugas Guru akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya."
"Bagus, tapi jangan takabur Muka Bangkai."
"Takabur bagaimana Eyang?"
"Walaupun kepandaianmu tidak dibawah tingkat kepandaian Sinto Gendeng namun kau perlu berjaga diri. Ada satu ilmu Sinto Gendeng yang mungkin sulit kau tembus...." "Katakan ilmunya yang mana dan mungkin Eyang Guru tahu bagaimana cara aku menghadapinya?" tanya Si Muka Bangkai.
"Aku tak tahu apa nama ilmu kesaktiannya itu. Dari matanya bisa memancar dua larik sinar pekat biru. Selama ini tidak satu kekuatanpun sanggup menghadapinya. Karena kesaktiannya itu berpusat pada sepasang matanya, maka untuk mengalahkannya kau harus sanggup mencongkel ke dua matanya itu. Untuk itu aku akan meminjamkan sepuluh kuku jariku padamu. Congkel dua mata Sinto Gendeng dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau dua matanya sudah dicongkel, daya kekuatannya akan sirna. Ilmunya yang lain tak usah kau kawatirkan. Dan ingat satu hal! Sebelum kau membunuh nenek jahanam itu, kau harus mengorek keterangan. Siapa adanya bocah yang hendak dijadikannya sebagai Pendekar Tahun 2000 itu!"
"Terima kasih atas petunjukmu Eyang Kunti. Tapi murid tidak memiliki ilmu Sepuluh Cakar Iblis karena selama ini Eyang belum pernah mengajarkannya padaku..."
"Jangan kau menyindirku Muka Bangkai!" tukas Kunti Api. "Ulurkan dua tanganmu. Kembangkan telapak tanganmu!"
Si Muka Bangkai menurut. Dia ulurkan ke dua tangannya. Begitu dua telapak tangan dikembangkan, Kunti Api segera tempelkan dua tangannya lalu kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuhnya. Dua sinar merah membungkus tangan kiri kanan Si Muka Bangkai. Hawa panas ikut menjalar membuat si muka pucat ini bergetar sekujur tubuhnya. Mukanya yang seperti mayat sesaat tampak merah padam. Dia merasa seperti leleh. Tidak sanggup menahan Si Muka Bangkai keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terpental jatuh, punggung terbanting di atas batu karang. Mulutnya kucurkan darah kental berwarna merah kehitaman. Matanya mendelik. Tubuhnya mengepul kelojotan disertai suara erangan tak berkeputusan seperti orang mau sekarat. Eyang Kunti Api keluarkan suara tertawa panjang. Begitu suara tawanya sirna sosoknya ikut lenyap. Hawa panas yang membungkus tubuhnya perlahan-lahan berkurang lalu lenyap sama sekali. Perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit berdiri, memandang berkeliling. Tapi tidak melihat gurunya. Ketika dia memperhatikan dua tangannya kagetlah kakek ini. Tapi diam-diam juga merasa gembira. Sepuluh jari tangannya kini ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna hitam. Berarti kini dia memiliki satu ilmu baru yang selama ini memang diinginkannya. Terngiang kembali ucapan gurunya.
"Congkel dua mata Sinto Gendeng dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau dua matanya sudah dicongkel, daya kekuatannya akan sirna...."
Si Muka Bangkai menyeringai. Perlahan dia berucap. "Sinto Gendeng, tunggu bagianmu. Kita sudah lama berseteru. Kali ini jangan berani berlaku congkak. Ajalmu sudah di depan mata!"
***
TUJUH
SINTO GENDENG DISERBU
WALAU malam itu Si Muka Bangkai telah sampai di puncak Gunung Gede, namun dia tidak segera mendatangi pondok kayu kediaman Sinto Gendeng. Menggempur seorang sakti setingkat Sinto Gendeng pada malam hari terlalu berbahaya. Bukan mustahil pondok kayu itu dipasangi segala macam senjata rahasia yang bisa membantainya sebelum tugas terlaksana. Dari tempat tersembunyi Si Muka Bangkai mengawasi bangunan itu. Ada lampu menyala di dalam pondok, pertanda penghuninya ada di tempat itu. Pagi hari, baru saja sang surya muncul menampakkan diri dan puncak Gunung Gede disapu cahaya terang benderang. Si Muka Mayat segera keluar dari persembunyiannya, berkelebat mengelilingi pondok dua kali lalu berdiri bungkuk dan berkacak pinggang di depan pintu pondok.
"Sinto Gendeng, aku Si Muka Bangkai datang untuk minta kau punya nyawa!"
Si Muka Bangkai berteriak sampai tiga kali, lalu melesat ke atas wuwungan pondok kayu. Menunggu. Sekian lama dia berada di atas atap pondok, tak terdengar suara gerakan di dalam rumah. Tak ada yang keluar. Si Muka Bangkai merutuk sendiri dalam hati.
"Malam tadi ada lampu menyala. Nenek jahanam itu pasti ada dalam pondok. Kini diteriaki mengapa dia diam saja? Jangan-jangan sudah merat dinihari tadi?" Dari atas atap kembali Si Muka Bangkai berteriak. Tetap saja tak ada gerakan tak ada yang keluar dari dalam pondok. "Aku harus bertindak!" Si Muka Bangkai mengambil keputusan. Sekali kakinya menghantam atap pondok jebol berantakan. Lewat atap yang jebol kakek ini melesat masuk ke dalam pondok. Memandang berkeliling pondok dia dapatkan bangunan itu dalam keadaan kosong. Lampu minyak yang menempel di dinding tidak menyala.
"Kurang ajar! Aku kena ditipu. Nenek jahanam itu pasti sudah kabur menjelang pagi tadi. Pengecut!"
Si Muka Bangkai ingat sesuatu. Dia mendongak dan menghirup udara dalam-dalam.
"Aku tak mencium bau pesing. Nenek jahanam itu jelas-jelas memang sudah kabur!" Kakek muka pucat itu mendumal seorang diri. Saking marahnya Si Muka Bangkai hancurkan perabotan yang ada di dalam pondok. Yakni sebuah balai-balai kayu, satu meja dan satu kursi reyot. Ketika dia melihat gentong besar yang terletak di sudut ruangan, sesaat dia menaruh curiga.
"Jangan-jangan bangsat itu sembunyi di dalam gentong! Tolol! Kau kira bisa memperdayai diriku!" Si Muka Bangkai umbar tawa bergelak. Bersamaan dengan itu dia hantamkan dua tangannya. Sepuluh larik sinar merah melesat ke arah gentong besar terbuat dari tanah.
"Braaakkk!"
"Byaaarr!"
Gentong tanah hancur berantakan. Tapi Sinto Gendeng ternyata tidak sembunyi di dalam gentong. Gentong itu kosong! Si Muka Bangkai terbungkuk-bungkuk memaki panjang pendek. Pintu depan dihajarnya dengan tendangan. Kakek ini lalu melesat keluar pondok. Matanya menyorot merah. Masih kurang puas dia menyelidik seputar pondok. Di sudut luar pondok sebelah kiri belakang dia melihat sebuah gentong besar. Lebih besar dari yang tadi dihancurkannya di dalam pondok. Di atas tutupan gentong ada sebuah gayung terbuat dari batok kelapa. Mungkin karena marah, mungkin juga karena sudah lama tidak meneguk air. Si Muka Bangkai merasa haus. Dia dekati gentong besar, mengambil gayung dan membuka penutup gentong. Air gentong kelihatan jernih, penuh sampai ke leher gentong. Si Muka Bangkai celupkan gayung batok kelapa ke dalam gentong. Sehabis minum sekalian dia hendak mencuci muka dan membasahi rambut. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat guru Pangeran Matahari ini menjadi kaget setengah mati. Dengan mata mendelik besar dia memperhatikan bagaimana gayung yang hendak diangkat dan didekatkan ke mulutnya kini telah buntung. Kepala gayung dari batok kelapa tak ada lagi di ujung gagang gayung! Di saat bersamaan Si Muka Bangkai mencium bau pesing. Bau itu datang menyambar dari dalam gentong besar. Penuh curiga kakek bungkuk ini berjingkat, ulurkan kepala dekat-dekat agar bisa melihat ke dalam gentong lebih jelas. Pada saat itulah tiba-tiba satu tangan kurus kering berkulit hitam melesat dari dalam gentong. Si Muka Bangkai tersentak kaget. Dia berusaha jauhkan kepalanya dari mulut gentong tapi terlambat. Satu jotosan keras melanda dagu Si Muka Bangkai. Kakek itu menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak. Dagunya serasa hancur. Kepalanya laksana tangga. Mukanya jadi pencong tak karuan. Selagi Si Muka Bangkai pegangi dagu dan kepala sambil meraung kesakitan, dari dalam gentong besar melesat keluar sosok basah kuyup seorang nenek-nenek mengenakan kebaya dan kain panjang butut. Di kepalanya menancap lima tusuk konde terbuat dari perak putih. Dari mulutnya mengumbar suara tawa bergelak. Berdiri di tanah tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri menuding ke arah Si Muka Bangkai.
"Kasihan! Tamu datang dari jauh ingin minum. Mau cuci muka. Tapi gayungnya amblas. Hik... hik... hik! Biar aku tolong. Tidak kepalang tanggung. Biar mandi dan cebok sekalian! Hik... hik... hik!"
Habis berkata begitu Sinto Gendeng angkat tangan kanannya. Gentong besar penuh air bergerak. Luar biasa sekali. Perlahan-lahan gentong ini naik ke atas setinggi kepala manusia lalu melayang ke arah Si Muka Bangkai. Di atas sosok si kakek gentong bergerak membalik. Air bau pesing dalam gentong yang sudah bercampur air kencing si nenek mencurah deras, mengucur tumpah membasahi sekujur kepala dan tubuh Si Muka Bangkai. Dalam menahan sakit dan ledakan amarah yang tidak tertahan Si Muka Bangkai hantamkan tangan kanannya ke atas.
"Braaakkk! Byaaar!"
"Buuurrr!"
Gentong besar pecah berantakan. Seluruh air tumpah membasahi Si Muka Bangkai. Sinto Gendeng kembali tertawa cekikikan.
"Sinto Gendeng keparat! Amblas nyawamu!"
Si Muka Bangkai berteriak. Serentak dengan itu dia kirimkan serangan ganas. Sepuluh jari tangan keluarkan kilatan cahaya merah, menghantam ke arah si nenek. Kaget Sinto Gendeng bukan kepalang. Dia sudah lama berseteru dengan kakek satu itu dan tahu betul setiap ilmu yang dimiliki Si Muka Bangkai. Kalau hari itu dia bisa menyerang dengan sepuluh larik sinar merah yang luar biasa hebat dan panasnya, sungguh dia tidak menduga. Guru Pendekar Wiro Sableng ini segera berkelebat selamatkan diri tapi tak urung bahunya masih sempat terserempet salah satu larikan sinar merah hingga si nenek menjerit kesakitan. Bahunya yang luka kepulkan asap kelabu. Di belakang sana larikan sinar merah yang dilepaskan Si Muka Bangkai melabrak pondok kayu. Pondok itu hancur berantakan dan musnah dilalap kobaran api.
"Jahanam kurang ajar! Kau memang sengaja datang mengantar nyawa!" Sinto Gendeng membentak marah. "Kau hancurkan pondokku. Kini kuhancurkan tubuhmu!" Si nenek pukulkan tangan kanannya. Dia keluarkan jurus bernama "Kilat Menyambar Puncak Gunung" tapi yang sebenarnya dilepaskan adalah pukulan sakti bernama "Benteng Topan Melanda Samudera". Tempat itu laksana dilanda topan. Deru angin bukan olah-olah dahsyatnya. Tanah, batu dan pasir berhamburan ke udara. Pohon-pohon bergoyang hebat, cabang dan rerantingan serta semak belukar patah beterbangan. Sosok bungkuk Si Muka Bangkai bergetar hebat. Dada terangkat, kepalanya seperti hendak tanggal. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan mulai terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam. Mata melotot ke depan, dua telapak tangan terpentang ke arah Sinto Gendeng. Mulutnya yang tadi kena dihajar pencong berkomat-kamit. Sinto Gendeng keluarkan suara menggeram ketika melihat bagaimana kekuatan tenaga dalam lawan sanggup membendung serangannya. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati Si Muka Bangkai. Kakek bungkuk muka pucat tak tinggal diam. Dia segera pula bergerak ke depan menyongsong lawan. Tinggal tiga langkah lagi tiba-tiba keduanya sama-sama membentak hebat dan hantamkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki. Dua jeritan dahsyat menggeledek keluar dari mulut Sinto Gendeng dan Si Muka Bangkai. Bedanya kalau si nenek terpental sampai tiga tombak maka sang kakek mencelat empat tombak dan masih terguling lagi di tanah dengan tubuh dan wajah berkelukuran. Bedanya lagi kalau Sinto Gendeng menjerit murni keluarkan suara maka Si Muka Bangkai menjerit sambil semburkan darah segar! Jelas dalam hal tenaga dalam dan hawa sakti guru Pangeran Matahari itu masih berada di bawah guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Terbungkuk-bungkuk, sambil menyeka darah yang berselomotan di mulutnya Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Tampangnya semakin pucat angker. Memandang ke depan dilihatnya Sinto Gendeng telah lebih dulu berdiri sambil berkacak pinggang, menyeringai komat-kamit permainkan susur di dalam mulutnya yang perot.
"Sinto Gendeng, jangan mengira kau telah mengalahkan diriku!" tiba-tiba Si Muka Bangkai keluarkan ucapan. "Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu! Tapi aku Si Muka Bangkai berjanji akan membiarkan utuh jazadmu, jika kau mau menjawab satu pertanyaanku!"
Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya lalu tertawa mengikik. "Ada orang mau membunuh pakai perjanjian segala! Hik... hik.... hik! Apa kau tidak sadar kalau nyawa dalam tubuhmu saat ini sebenarnya hanya tinggal setengah?! Hik... hik... hik!"
"Keparat jahanam!"" Si Muka Bangkai memaki sambil pukulkan tangan kanan. Lima larik sinar api merah serta-merta menyambar ke arah si nenek. Sinto Gendeng cepat melompat. Dari atas dia lepaskan pukulan sakti yang selama ini telah menggetarkan delapan penjuru rimba persilatan. Pukulan "Sinar Matahari."
Tangan si nenek mulai dari jari sampai ke siku berubah menjadi putih perak menyilaukan. Ketika tangan itu dipukulkan maka berkiblatlah cahaya panas mengerikan, menyambar ke arah Si Muka Bangkai. Hebatnya Si Muka Bangkai seperti tidak perduli dengan datangnya serangan maut itu. Dia angkat dua tangannya ke atas. Jari-jari berkuku panjang menekuk demikian rupa, memancarkan sinar merah. Ketika cahaya putih panas pukulan "Sinar Matahari" sampai di hadapannya, Si Muka Bangkai putar dua tangan, membuat gerakan seperti menangkap! Sungguh luar biasa! Sinto Gendeng sampai melotot besar menyaksikan bagaimana cahaya putih pukulan sakti yang dilepaskannya berhasil ditangkap lawan. Dan belum habis kagetnya tiba-tiba Si Muka Bangkai lemparkan cahaya putih panas itu ke arahnya, disertai dengan serangan sepuluh sinar merah!
Selagi Sinto Gendeng jungkir balik selamatkan diri sambil membentengi tubuh dengan dua pukulan sakti yakni "Tameng Sakti Menerpa Hujan" dan "Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih" tiba-tiba Si Muka Bangkai melesat ke depan. Sepuluh jari tangan kanannya yang berkuku panjang menyambar ke arah dua mata si nenek.
Sepuluh Cakar Iblis!
"Crass!"
Walau Sinto Gendeng mampu bergerak cepat selamatkan matanya namun salah satu cakaran lawan masih sempat menyerempet pelipis kirinya hingga kulit mukanya yang tipis hitam tergores dalam dan kucurkan darah!
Sinto Gendeng keluarkan suara menggembor dahsyat. Dia hendak menghantam dengan dua pukulan sekaligus, mengerahkan tenaga dalam penuh. Namun selintas pertanyaan muncul dalam benaknya. Mengapa lawan sengaja menyerang dua matanya? Pasti ada maksud tertentu. Si nenek kemudian ingat pada ilmu kesaktian yang bersumber pada sepasang matanya.
"Hemmm... Tua bangka keparat ini menyerang dengan ilmu Sepuluh Jari Iblis. Setahuku dia dulu tidak memiliki ilmu itu. Sepuluh jari tangannya tidak berkuku panjang. Dia ingin mencungkil dua mataku. Dia hendak melumpuhkan ilmu yang bersumber pada kekuatan yang tersimpan dalam mataku!" Si nenek meludah ke tanah. Melihat Sinto Gendeng tegak seperti tertegun, Si Muka Bangkai mengira lawan telah leleh nyalinya. Maka dia pun membentak.
"Sinto Gendeng! Katakan siapa nama pemuda yang hendak kau jadikan Pendekar Tahun 2000!"
Sinto Gendeng terkesiap mendengar pertanyaan itu. Keningnya yang hitam mengerenyit. Dia tahan gejolak hatinya. Lalu menyeringai.
"Tua bangka muka mayat! Siapa yang menyuruhmu menanyakan hal itu?!"
"Aku datang sendiri dan ajukan pertanyaan sendiri! Tak ada yang menyuruh!" jawab Si Muka Bangkai. "Kau mau menjawab atau mampus percuma?!"
"Tua bangka muka pucat! Kau berdusta! Sekarang biar aku memilih mampus percuma! Aku mau lihat bagaimana kau melakukannya!" jawab Sinto Gendeng lalu tertawa cekikikan. Asap putih kelabu mengepul dari batok kepala Si Muka Bangkai. Untuk dapat mencungkil dua mata lawan dia harus bertempur dalam jarak pendek. Sebelum berkelebat mendekati si nenek, kakek ini lepaskan pukulan sakti larikan sepuluh api merah. Ketika lawan berkelit untuk selamatkan diri, laksana terbang dia melesat ke arah Sinto Gendeng. Tapi Sinto Gendeng dua jengkal dari atas tanah. Dua mata yang mendelik besar dikedipkan. Bersamaan dengan itu terdengar suara berdesir. Dua larik sinar biru menyambar bersilang laksana dua belah pedang, membabat dan menusuk ke arah Si Muka Bangkai. Kakek ini berseru kaget. Dia belum sempat mendekati lawan tapi Sinto Gendeng sudah mendahului dengan serangan yang paling ditakutinya. Untuk selamatkan diri dengan mengelak sudah tidak mungkin. Si Muka Bangkai berjibaku membentengi tubuh dengan pukulan sepuluh larik sinar api.
"Wusss! Wussss!"
"Bummmm!"
Ledakan keras menenggelamkan jeritan yang keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Dia berhasil selamatkan diri dari dua larik sinar biru yang mematikan, namun untuk itu dia terpaksa merelakan tangan kirinya. Tangan itu hancur putus sebatas siku. Si Muka Bangkai sendiri terpental ke udara. Sinto Gendeng ikuti sosok lawan dengan gerakan dua matanya. Mata dikedipkan. Dua larik sinar biru kembali menggebu. Kali ini Si Muka Bangkai tidak punya kesempatan untuk mengelak atau menangkis. Sesaat lagi tubuhnya akan hancur ditembus dua larik sinar maut itu tiba-tiba satu bayangan biru disertai rambut merah riap-riapan berkelebat di udara. Dengan cepat bayangan ini menarik tubuh Si Muka Bangkai lalu memanggulnya. Sebelum berkelebat lenyap si jubah biru berambut merah hantamkan tangan kanannya ke arah Sinto Gendeng. Segulung kobaran api melabrak dahsyat. Sinto Gendeng cepat bentengi tubuh dengan pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera" lalu dari matanya dia semburkan dua larik sinar biru. Untuk kedua kalinya puncak Gunung Gede dilanda dentuman dahsyat akibat bentrokan dua ilmu kesaktian hebat. Sinto Gendeng tegak tergontai-gontai, wajah berkerut kelam. Memandang ke depan Si Muka Bangkai dan orang yang menolongnya telah lenyap. Sinto Gendeng menggeram. Walau cuma sekilas namun dia sudah bisa menduga siapa adanya orang yang menolong dan melarikan Si Muka Bangkai.
"Kunti Api.... Dedengkot golongan hitam itu masih gentayangan rupanya. Pasti dia yang menyuruh Si Muka Bangkai untuk mencelakai diriku...." Si nenek geleng-gelengkan kepala. "Orang-orang dari dunia hitam agaknya telah bergerak. Anak setan itu. Aku harus segera menemuinya. Orang-orang golongan hitam sudah tahu rencana besarku. Anak itu dalam bahaya. Dirinya harus segera diisi ilmu kepandaian...."
***
DELAPAN
MUSIBAH DATANG LAGI
LALU LINTAS di Jalan Kramat Raya padat sekali. Boma berdiri di sebuah halte, menunggu bus. Siang itu udara agak mendung. Semua orang termasuk para pengemudi kendaraan berusaha secepat mungkin untuk sampai ke tujuan masing-masing sebelum hujan turun. Akibatnya kemacetan mulai terjadi di beberapa persimpangan. Kecuali motor, kendaraan lain hanya mampu bergerak seperti merangkak. Sebuah bajaj bergerak tersendat-sendat, berusaha menyelinap di antara kepadatan lalu lintas. Di depan halte kendaraan ini tak bisa lagi maju. Pengemudi bajaj tampak kesal. Penum-pangnya, seorang perempuan separuh baya, bertubuh gemuk menyeka peluh yang membasahi wajah. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas. Pada lengan kirinya ada gelang keroncong berjumlah tiga buah. Tiba-tiba seorang lelaki berbadan tegap yang sejak tadi berada di halte di antara kerumunan orang yang menunggu bus, mengenakan blujins dekil dan kaos oblong hitam, melangkah cepat mendekati bajaj. Dari gulungan koran yang dibawanya mencuat sebilah belati. Ujungnya langsung ditempelkan ke perut perempuan di atas bajaj.
"Teriak gua tikem!" gertak si tubuh besar. Tangan kanan siap menusukkan belati, tangan kiri dengan cepat menjambret kalung di leher.
"Gelang, buka! Cepat!"
Ketakutan setengah mati perempuan di atas bajaj lakukan perintah penodong. Tapi karena gugup gelang tak mau keluar dari pergelangan tangannya. Dengan kasar, penodong pergunakan tangan kiri menanggalkan gelang. Dua gelang lolos, tinggal satu.
Semua itu terjadi di depan mata Boma. Tengkuknya merinding. Ada rasa takut, ada rasa kasihan. Tapi juga ada rasa geram. Di halte banyak orang laki-laki yang ikut menyaksikan peristiwa penodongan itu. Namun tidak seorangpun berani atau tergerak hatinya untuk menolong. Boma memaki dalam hati.
"Segini banyak orang. Nggak ada yang mau nolong!"
Jari-jari tangan Boma bergerak tak bisa diam. Dadanya berdebar keras. Penodong berusaha membetot gelang ke tiga. Saat itulah Boma berteriak lalu menerjang, mendorong si penodong hingga terjajar ke samping bajaj. Tiba-tiba dari samping, seorang lelaki tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri mencekal kerah kemeja Boma. Lalu sebuah benda menempel di perut anak ini. Ketika Boma melihat ke bawah ternyata benda itu adalah sebilah celurit berkilat.
"Anak ingusan jangan sok jadi jago! Mau mampus lu!"
Boma menggigil. Bukan menggigil takut, tapi menggigil nekad. Anak yang pernah ikut latihan karate ini menepiskan tangan yang memegang badik. Bersamaan dengan itu sikutnya bergerak ke belakang untuk menghantam dada orang. Tapi Boma salah perhitungan, kalah kecepatan. Tangan yang memegang badik bergerak. Boma merasa perutnya dingin. Lalu ada darah menyembur dari perutnya. Boma menjerit, terhuyung-huyung bersandar ke bajaj. Perempuan di atas bajaj menjerit lebih keras dari jeritan Boma lalu terguling pingsan. Orang yang menclurit Boma berkelebat di antara kendaraan macet. Lari ke seberang jalan di mana telah menunggu dua temannya di atas sepeda motor yang mesinnya sudah dihidupkan. Clurit dibuang di tengah jalan. Penodong yang tadi didorong Boma berusaha kabur menyusul temannya. Namun Boma masih punya daya dan kesempatan menjegal kakinya hingga penodong ini terjerembab ke aspal. Dia mencoba bangun, mau lari lagi. Saat itulah orang banyak di halte yang tadi diam saja mulai bergerak. Menggebuk dan menendang. Sebentar saja si penodong terkapar kembali di aspal. Muka babak belur tubuh lebam. Boma pegangi perutnya. Tangannya terasa panas oleh darahnya sendiri. Kaki goyah. Beberapa orang dilihatnya mendatangi hendak menolong. Dia masih sadar ketika tubuhnya digotong ke dalam sebuah taksi. Mulut Boma tidak henti mengucap menyebut nama Tuhan. Sewaktu kendaraan itu mulai bergerak Boma tak ingat apa-apa lagi.
***
KETIKA Boma sadar dia dapatkan dirinya terbaring di atas tempat tidur. Matanya sesaat menatap langit-langit kamar. Dia sadar itu bukan kamar tidurnya. Ada rasa perih di bagian perutnya. Lalu di sebelahnya terdengar ada suara berkata perlahan.
"Teman-teman, Boma udah sadar."
Boma Tri Sumitro gerakkan kepala ke samping.
"Ron.... Kok kamu ada di sini?" Boma melihat Ronny. Lalu di situ juga ada Vino, Andi dan Firman.
"Tadi Gita sama Rio juga ada di sini. Gita pulang duluan diantar Rio. Ayah sama ibumu ada di luar. Aku suruh masuk mereka...."
"Tunggu. Memangnya aku di mana?"
"Kau di RSCM!" jawab Ronny.
"Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo?" tanya Boma. "Jangan becanda Ron."
"Ajie gile. Siapa yang becanda. "Tanya aja sama teman-teman yang ada di sini."
Boma memandang pada Andi, Vino, Firman. Ke tiga anak ini sama-sama anggukkan kepala.
"Kok aku bisa di sini? Kok aku bisa di rumah sakit lagi? Kan aku udah sembuh...."
Ronny pegang tangan Boma. "Ingatanmu belum pulih Bom. Nanti biar aku cerita. Sekarang aku panggilin ibu sama ayahmu dulu. Biar mereka senang...."
"Sekarang ini siang apa malem Ron?" tanya Boma. "Udah malam," jawab Ronny Celepuk. Lalu anak ini keluar dari kamar. Tak lama kemudian masuk kembali bersama ayah dan ibu Boma. Bram kakak Boma juga ada, ikut masuk. Nyonya Hesti memeluk dan menciumi Boma dengan air mata berlinang. Sumitro Danurejo berdiri menunduk di samping tempat tidur sambil memegangi tangan anaknya. Bram memijit-mijit kaki adiknya.
"Baru saja keluar rumah sakit, sekarang masuk rumah sakit lagi. Heran kau ini Boma. Mengapa musibah datangnya berturut-turut...." Ibu Boma keluarkan ucapan lirih.
"Boma nggak apa-apa Bu. Cuma heran kok bisa ada di sini?"
Ibu Boma mengusap kening dan rambut anaknya. "Ibu dan ayahmu juga belum tahu jelas ceritanya. Ada yang bilang kau diclurit rampok di Kramat Raya. Katanya kau coba menolong orang yang dirampok di atas bajaj. Boma terdiam. Coba mengingat-ingat. Namun pikiran jernih belum datang. Ingatannya masih samar. Anak ini hanya menelentang memandangi langit-langit kamar, sesekali menoleh pada teman-temannya.
"Ron, aku haus...."
"Tahan dulu Bom. Menurut dokter tidak boleh minum sebelum keluar kentut," kata Ibu Boma.
"Kok begitu?" Boma heran.
"Kau habis dioperasi Bom. Perutmu robek satu jengkal lebih. Udah, istirahat aja dulu. Kami teman-teman nungguin kamu." Menerangkan Ronny.
"Nungguin?" Boma tersenyum. "Kayak dulu di Rumah Sakit PMI aja...." Ada rasa haru dalam nada ucapan dan suara anak ini.
"Nah, ingatanmu mulai pulih Bom," kata Andi.
Saat itu ke dalam kamar masuk dua orang berseragam Polisi disertai seorang Reserse berpakaian preman. Mereka memberi tahu bahwa mereka adalah aparat Kepolisian Wilayah Jakarta Pusat yang ditugaskan mengusut peristiwa perampokan yang terjadi di Jalan Kramat Raya siang tadi. Anggota Polisi itu minta izin kepada ke dua orang tua Boma untuk mendapatkan beberapa keterangan dari Boma. Menurut salah seorang anggota Polisi mereka telah mendapat izin dari Dokter dan dari pihak rumah sakit untuk menanyai Boma begitu anak tersebut sadar. Boma menjawab semua pertanyaan Polisi sesuai apa yang bisa diingatnya. Memberi tahu bagaimana terjadinya peristiwa perampokan itu. Apa yang dilakukannya, apa yang kemudian terjadi atas dirinya. Kepada Polisi yang menanyai Boma memberi tahu ciri-ciri kawan perampok yang berhasil melarikan diri. Setelah merasa cukup dan selesai mencatat alamat rumah serta alamat sekolah Boma, tiga anggota Polisi itu mengucapkan terima kasih lalu tinggalkan kamar tempat Boma dirawat.Tak lama setelah tiga orang Polisi pergi, seorang jururawat masuk untuk memeriksa infus di tangan kanan Boma, mengecek suhu badan anak itu serta tekanan darahnya.
***
SEMBILAN
NENEK ANGKER MUNCUL LAGI
JAM 10 malam Rio yang mengantarkan Gita muncul kembali di rumah sakit. Saat itu ibu Boma sudah pulang di antar Bram yang besok akan ada wawancara di kantor tempat dia melamar kerja. Ayah Boma mengobrol dengan anak-anak SMA Nusantara III yang malam itu sengaja begadang menjaga Boma. Rio memberi isyarat agar Ronny dan Vino mendekat. Agak jauh dari ayah Boma ke tiga anak ini lalu bicara setengah berbisik.
"Kau tahu, kenapa Gita minta diantar pulang? Padahal benerannya sih dia mau nungguin Boma." Rio membuka pembicaraan.
"Pasti ada janji sama si Allan, anak baru di kelas dua, yang ketemu Gita waktu daftar." Kata Ronny Celepuk.
Rio menggeleng. "Gita nggak ada janji sama siapa-siapa. Dia bilang, takut bakal kejadian lagi"
"Kejadian apa?" tanya Vino sambil memandang pada Ronny.
"Ingat peristiwa di Rumah Sakit PMI Bogor? Waktu Boma kedatangan nenek aneh yang mukanya angker?"
"Ah, lu jangan bicara yang nggak-nggak. Bikin gua jadi nggak enak aja!" kata Ronny. Tengkuknya mendadak dingin.
"Siapa bicara yang nggak-nggak? Ingat cerita Boma soal nenek aneh itu? Kalau dia memang beneran mau nurunin ilmu sama Boma jangan-jangan dia akan pergunakan kesempatan saat ini untuk datangin teman kita itu."
"Saat di Rumah Sakit Bogor itu, Boma badannya panas. Sekarang nggak. Jadi nggak mungkin dia ngacok lagi," kata Vino.
"Mudah-mudahan begitu." Kata Rio. "Yang penting kita berjaga-jaga saja. Sayang kamarnya sempit. Pasiennya banyak. Kita nggak bisa jaga di dalam. Mungkin cuma ayah Boma yang dikasih ijin."
***
MALAM terasa semakin dingin. Di luar kamar Ronny dan teman-temannya duduk berjelepokan di tikar. Satu-satunya orang yang menunggui Boma di dalam kamar adalah ayah anak itu. Boma kelihatan tertidur nyenyak. Ayahnya beberapa kali memegang kening Boma. Hatinya lega bila merasakan kening anak itu dingin dan ada sedikit keringat. Dalam kelegaannya Sumitro Danurejo duduk sandarkan punggung ke kursi di samping tempat tidur. Kepalanya disandarkan ke tembok kamar. Mata di pejamkan. Malam merayap menuju ambang pagi. Kamar tempat Boma dirawat diselimuti kesunyian. Di kejauhan terdengar suara sirine. Lalu sunyi lagi. Di atas ranjang Boma terbangun oleh rasa sakit yang mencucuk pada bagian perutnya. Lalu ada rasa haus, lapar serta rasa kering di tenggorokan. Tubuhnya keringatan. Udara dalam kamar itu terasa agak panas. Boma memandang berkeliling. Teman-temannya tidak ada. Yang ada hanya ayahnya, duduk tertidur di kursi, mengeluarkan suara mendengkur halus. Dalam keletihan yang amat sangat Boma akhirnya hanya bisa memejamkan mata kembali. Namun sebelum dia sempat pulas, tiba-tiba sudut matanya melihat pintu kamar terbuka. Pintu itu terbuka cukup lama tapi tak ada orang masuk. Tak mungkin pintu terbuka oleh dorongan angin karena daun pintu itu selain besar juga terbuat dari jenis kayu tebal dan berat.
***
Di luar kamar. Vino yang setengah tertidur memandang ke arah pintu kamar yang putih besar. Ada rasa heran tapi juga ada rasa takut. Dia menyentuh rusuk Ronny dengan sikutnya.
"Ron... Ron. Bangun."
Ronny buka dua matanya malas-malasan.
"Ada apa?"
"Pintu... pintu itu," Vino goyangkan kepalanya ke arah pintu kamar.
"Pintu, kenapa?" tanya Ronny lalu menguap.
"Kau liat pintu itu terbuka?"
"Aku liat. Memangnya aku buta?"
"Tadi pintu itu tertutup Ron. Lalu terbuka, tapi nggak kelihatan ada orang yang buka. Juga nggak kelihatan ada orang masuk atau keluar...."
"Lu mau nakut-nakutin aku Vin?"
"Aku memang udah takut dari tadi Ron," jawab Vino. "Coba kau intip ke dalam. Siapa yang barusan masuk."
"Kau saja yang ngintip," jawab Ronny.
Vino menggeleng. Lalu beringsut ke sudut tembok. Tekapkan wajahnya ke atas paha. Ronny melakukan hal yang sama. Dua anak ini saling berdempetan di sudut tembok, menutupi wajah dengan paha masing-masing. Keduanya dijalari rasa takut.
***
Kembali ke dalam kamar.....
"Ah, segala pintu ngapain gua pikiran...." membatin Boma. Dia pejamkan matanya tapi mendadak nyalang lebar. Satu sosok melangkah masuk terbungkuk-bungkuk. Bau pesing merasuk jalan nafas dan penciuman Boma.
"Nenek itu...." hati Boma berucap. Dia palingkan kepalanya ke samping. Hendak membangunkan ayahnya. Tapi sosok yang melangkah masuk bergerak cepat sekali, tahu-tahu sudah berdiri di samping tempat tidur. Nenek berkulit hitam, bertampang angker, mengenakan baju dan kain panjang butut. Pakaian dan tubuhnya menebar bau pesing. Di kepalanya yang nyaris sulah menancap lima buah tusuk konde dari perak. Di pinggangnya tersisip sebatang tongkat kayu butut.
"Nek... jangan ganggu saya. Saya lagi sakit." Boma memohon.
"Anak setan! Aku tahu kau lagi sakit. Kau tahu sakitmu ini karena ulah tololmu sendiri?!" "Ulah tolol saya?"
"Kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Mengapa berlaku nekad menghadapi lawan yang memegang clurit? Menolong orang lain tanpa perhitungan! Apa itu bukan tolol namanya?!"
"Ba... bagaimana kau bisa tau Nek?" tanya Boma heran.
"Tak perlu kau tanyakan itu. Kalau saja dulu waktu di rumah sakit kau bersedia menerima ilmu yang aku berikan, nasibmu tidak akan seperti ini."
"Nasib saya memang jelek Nek. Mungkin udah takdir," jawab Boma.
"Sok tahu! Dasar tolol! Jangan menutupi kesalahan sendiri dengan mangatakan takdir!"
"Nek, saya capek. Saya mau tidur...."
"Kukorek matamu jika berani tidur!" si nenek mengancam. Kepalanya diputar seantero kamar. Matanya memandang berkeliling. "Sekarang saatnya aku memasukkan hawa murni, memberi kekuatan pada tubuhmu." Si nenek perhatikan tangan kanan Boma yang diberi infus. "Aneh, diberi minum mengapa lewat urat, bukan melalui mulut."
"Itu namanya infus Nek...."
"Apa? Ingus?"
"Infus...." kata Boma sambil senyum lalu mengerenyit dan pegangi perutnya. Jahitan bekas operasi mendadak mendenyut sakit.
"Ah, tak tahulah aku apa namanya itu," kata si nenek muka angker. Lalu dia tarik tangan kiri Boma, letakkan lurus-lurus di atas tempat tidur, telapak dikembangkan menghadap ke atas. Dengan cepat si nenek letakkan telapak tangan kanannya di atas telapak kiri Boma. Boma hendak menarik tangannya tapi entah mengapa tangan itu terasa sangat berat. Terpaksa anak ini diam saja.
"Jika kau merasakan sesuatu, jangan keluarkan suara apa lagi menjerit," si nenek memberi ingat. Lalu dia kerahkan tenaga dalam sambil menatap Boma lekat-lekat, tak berkedip. Boma merasakan ada hawa hangat memasuki tubuhnya, mengalir ke dada melalui tangan, naik ke atas kepala sampai ke ubun-ubun, lalu turun ke bawah, mendekam beberapa lama di perut sebelum turun sampai ke ujung kaki. Tubuh anak itu keringatan. Hawa panas itu tidak membuat dia takut. Yang membuatnya ngeri ialah karena tidak tahu apa sebenarnya yang dilakukan nenek itu. Hawa hangat lenyap. Perlahan-lahan berganti hawa sejuk. Seperti hawa hangat tadi, hawa sejuk ini juga menjalar ke sekujur tubuh Boma, membuat Boma merasa mengantuk dan hendak pejamkan matanya. Tapi mendadak matanya terbuka kembali lebar-lebar ketika melihat tangan si nenek memancarkan cahaya putih menyilaukan. Cahaya itu seperti menjalar, masuk ke dalam telapak tangannya. Si nenek tarik nafas panjang. Wajahnya yang angker dan keringatan tampak lega. Dia tarik tangan kanannya.
"Anak setan, kau dengar baik-baik. Mulai saat ini kau jangan pergunakan tangan kirimu secara sembarangan. Jika kau berada dalam bahaya, jika kau terpaksa mempergunakan tangan itu untuk membela diri, sebut nama Tuhanmu, ucapkan Basmallah sebelum kau mempergunakannya. Selain itu, mulai sekarang kau jangan sombong, apa lagi takabur. Kau musti banyak sabar."
Boma perhatikan tangan kirinya. Tangan itu tidak ada apa-apanya, tidak berbeda dengan tangannya sebelum dipegangi si nenek.
"Anak setan! Kau mau cepat sembuh?"
Boma diam saja. Lalu menjawab dengan anggukkan kepala.
Si nenek tarik selimut putih yang menutupi tubuh Boma. Lalu cepat sekali ia menyingkapkan pakaian yang dikenakan anak itu. Boma jadi ketakutan. Entah benar entah tidak tapi waktu kecil dia pernah mendengar cerita tentang hantu aneh yang suka gentayangan mengambil "burung" anak-anak kecil.
"Nek, kau mau berbuat apa...?" tanya Boma gemetar.
Si nenek menyeringai. "Masih kecil sudah punya otak kotor. Apa kau kira aku mau melihat anumu yang jelek itu? Hik... hik... hik!"
"Nek, saya...."
"Diam! Kalau mau sembuh jangan banyak omong!" jawab si nenek. Lalu enak saja perban tebal yang menutupi perut Boma ditariknya hingga anak ini hampir berteriak kesakitan. Si nenek cepat tekap mulut Boma dengan tangan kirinya.
"Sakit sedikit saja mau teriak setinggi langit! Cengeng!"
Dengan tangan kiri masih menekap mulut Boma, si nenek pergunakan tangan kanan untuk mengusap jahitan bekas luka operasi di perut Boma. Tiga kali mengusap si nenek tempelkan kembali perban tebal ke perut Boma lalu tutupkan selimut ke tubuh anak itu.
"Kau sudah sembuh! Besok kau boleh meninggalkan rumah sakit ini."
Boma diam saja. Mana dia bisa percaya ucapan si nenek.
"Kau pasti tidak percaya. Hik... hik... hik. Lihat saja besok. Anak setan, sekarang aku pergi. Nanti aku datang lagi. Masih banyak ilmu yang akan aku berikan padamu. Satu hal harus kau ingat baik-baik. Jangan kejadian ini kau ceritakan pada siapapun. Termasuk teman-temanmu. Pacar-pacarmu..."
"Saya nggak punya pacar Nek."
Si nenek tertawa lebar. "Begitu?" katanya. "Hik... hik. Anak setan macammu ini, dari jidatmu saja aku sudah tahu kau bakal jadi calon buaya perempuan, bakal digandrungi cewek-cewek. Hik... hik... hik!" Si nenek cabut tongkat yang tersisip di pinggangnya. Ujung tongkat diletakkan di atas kening Boma. "Mulai hari ini kau harus lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya karena pertolongan dan kuasaNya Gusti Allah sampai saat ini dan di masa mendatang kau bisa selamat. Jangan jadi manusia sombong. Tolong sesamamu sesuai kemampuan-mu. Jangan pernah khianat terhadap siapapun, terutama terhadap kedua orang tuamu! Ingat lagi satu hal. Kebenaran bukan segala-galanya. Karena di atas kebenaran masih ada apa yang disebut kebijaksanaan. Satu ketika kau akan melihat bagaimana kebenaran bisa disalahkan. Tapi ingat, kebenaran tidak pernah bisa dikalahkan."
Nenek muka angker sisipkan tongkatnya kembali ke pinggang lalu memutar tubuh.
"Nek, tunggu. Kau ini siapa sebenarnya?"
Si nenek menoleh sebentar, berkomat-kamit tapi tidak menjawab per-tanyaan Boma, melainkan tempelkan jari-jari tangan kanannya di atas bibir lalu dilambaikan ke arah Boma. Terbungkuk-bungkuk dia berjalan keluar dari kamar. Boma menowel hidung berulang kali.
"Mahluk aneh. Pakai kasih sun jauh segala," kata Boma dalam hati. "Aku ini, mimpi atau gimana?" Boma memandang seputar kamar.
"Boma, kau tidak tidur?"
Tiba-tiba ada suara menegur di samping tempat tidur. Suara ayahnya. Boma diam saja. Lalu pejamkan mata
"Tadi Ayah dengar kau seperti bicara. Bicara dengan siapa?"
"Nggak ada yang bicara Yah. Mungkin Ayah salah dengar," jawab Boma dengan mata tetap dipicingkan. Sumitro Danurejo menghirup udara dalam kamar dalam-dalam. "Bau pesing...." katanya perlahan.
"Tadi ada pispot pasien yang terbalik," kata Boma.
"Hemmm...." Sang Ayah bergumam lalu pejamkan pula matanya. Anak dan Ayah sama-sama pulas.
***
SEPULUH
PEMBALASAN GANG PENODONG
BOMA dan Ronny berboncengan sepeda motor Honda Tiger merah meninggalkan halaman Universitas. Seperti biasanya sebelum terus pulang mereka mampir dulu di Pondok Siomay 99 di pinggir jalan selewat tikungan, tak jauh dari kampus. Baru saja Ronny memarkir motor dan Boma menyisir-nyisir rambut dengan jari-jari tangan, tiba-tiba dari dalam warung keluar enam orang lelaki, rata-rata bertampang sangar. Salah seorang diantaranya tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri. Boma mengingat-ingat. Rasa-rasanya dia pernah melihat orang ini sebelumnya. Si muka cacat langsung menghadang Boma. Kawannya, yang berbadan tegap tegak di sebelahnya. Yang empat lagi mengambil posisi mengurung.
"Bener bos. Ini bangsat yang dulu ngerjain kita!" si muka cacat keluarkan ucapan. Lelaki tegap di sebelahnya keluarkan suara mendengus lalu mencekal leher kaos oblong yang dikenakan Boma dengan tangan kiri dan membentak.
"Jagoan tengik! Lu ingat kejadian dua taon lalu! Di Kramat Raya!"
Boma tak menjawab tapi berpikir. Dia ingat Orang ini adalah orang yang menodong penumpang bajaj, merampas kalung dan gelang. Lalu si muka cacat itu orang yang menclurit perutnya.
"Hei, apa-apaan nih!" Ronny Celepuk mendatangi, memegang tangan orang yang mencekal Boma. "Lepasin!"
Lelaki yang mencekal Boma marah besar. Bukan saja dia tidak melepaskan cekalannya tapi tangan kanannya langsung dijotoskan ke muka Ronny. Ronny mengelak, mendorong orang itu lalu menyarangkan satu pukulan ke perutnya. Orang yang dipukul rupanya punya daya tahan boleh juga. Walau mengerenyit tanda sakit namun dia masih mampu terus mencekal baju kaos Boma. Malah berteriak pada teman-temannya.
"Habisin bangsat satu ini!"
Tiga orang bertampang garang bertubuh kekar segera menyerang Ronny. Perkelahian tiga lawan satu yang tak seimbang segera terjadi. Sementara itu dua orang lagi memegangi Boma dari belakang. Yang di sebelah depan lepaskan cekalannya lalu mulai menghujani muka, dada dan perut Boma dengan jotosan-jotosan keras. Darah mengucur dari hidung dan mulut anak itu. Tapi luar biasanya sama sekali tidak terdengar keluh kesakitan dari mulut Boma. Boma berusaha melepaskan diri dari pegangan dua orang. Tak berhasil. Dari depan jotosan masih terus mendera. Anak ini pergunakan kakinya untuk menendang. Tendangannya tepat mengenai tulang kering hingga orang yang ditendang menjerit kesakitan. Boma pergunakan kesempatan, ayunkan badannya demikian rupa hingga orang di sebelah kiri tersungkur ke tanah. Bersamaan dengan itu Boma berbalik ke kanan. Maksudnya hendak memukul pencekal yang satu lagi. Tapi dari belakang ada yang memukul tengkuknya. Boma merasa lehernya seolah patah. Dalam keadaan terhuyung-huyung dia melihat Ronny terkapar di tanah, bersimbah darah. Mendidih amarah Boma. Kini enam orang mengelilinginya. Salah seorang diantaranya memegang sebilah belati.
Ada yang berkata. "Habisin cepet Jon!"
Tikaman belati pertama ke arah perut berhasil dielakkan Boma. Dari samping dan dari belakang menghantam dua pukulan hampir berbarengan. Boma kembali terhuyung. Saat itulah belati kembali datang berkelebat, menusuk ke arah lehernya. Boma tak mampu menangkis, tak sanggup mengelak. Sesaat lagi senjata maut itu akan menancap di tenggorokan Boma tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tendangan menggeledek di udara.
"Bukkk!"
Jeritan keras menyentakkan telinga disusul mencelatnya orang yang barusan hendak menghabisi Boma dengan tikaman belati. Orang ini bergelindingan di tanah. Pisaunya mental entah ke mana. Sambil pegangi dada yang kena tendangan dia coba bangun tapi roboh lagi. Dari mulutnya keluar suara mengerang lalu menyusul kucuran darah!
Boma sendiri saat itu yang berada dalam keadaan babak belur, jatuh berlutut, hampir roboh kalau tidak bersitekan ke tanah dengan salah satu tangannya. Darah mengucur dari hidung, bibir yang pecah dan pelipis. Memandang ke depan Boma melihat berdiri seorang pemuda berpenampilan aneh. Rambut gondrong sebahu. Kening diikat kain putih. Mengenakan baju dan celana putih. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar. Kaki memakai kasut dari kulit. Pemuda ini melirik sebentar pada Boma lalu sambil tertawa cengengesan memutar tubuh, menghadapi lima orang yang saat itu secara serentak telah menyerbunya. Dua orang di antara mereka memegang clurit besar.
"Kambing-kambing buduk! Bau belum mandi! Ayo maju! Serang... serang!"
Dua clurit berkiblat di udara. Satu tendangan mencari sasaran di selangkangan si gondrong. Dua jotosan menyambar ke muka dan ke dada.
Pemuda berambut gondrong keluarkan suara bersiul. Tubuhnya melesat ke udara lalu berputar seratus delapan puluh derajat.
"Kraakk... kraakkk!"
Dua tangan yang memegang clurit patah.
"Bukkk... buukkk... buukkk!"
Tiga penyerang bertangan kosong terpental, menjerit bergelimpangan di tanah. Dua muntah darah, satu pegangi mata kirinya yang pecah mengucurkan darah. Sementara Boma terkesiap ternganga menyaksikan apa yang terjadi, si gondrong melangkah mendekati lelaki yang tadi hendak menusuk leher Boma dengan belati. Dia cekal leher orang.
"Ampun... ampun!" belum apa-apa orang itu sudah berteriak ketakutan.
Si gondrong menyeringai. "Dengar, kalau kau berani lagi mengganggu anak itu, kulipat kepalamu ke pantat, pantat ke kepala!"
"Ampun.... ampun!"
Si gondrong tertawa lebar. Sekali tangannya bergerak sosok orang yang dicekal melayang ke udara, jatuh di atas atap warung Siomay 99. Selagi semua orang termasuk Boma melengak kaget melihat kejadian itu. Seperti tidak ada apa-apa si gondrong melangkah mendekati Boma. Sadar kalau dirinya sudah diselamatkan orang Boma berusaha berdiri. Terbungkuk-bungkuk dia berkata.
"Bang, terima kasih Abang sudah nolong saya...,"
Si gondrong seperti terkesima, menggaruk kepala lalu tertawa bergelak.
"Belasan tahun hidup, malang melintang di delapan penjuru angin, baru hari ini aku dipanggil Abang! Ha... ha... ha! Abang! Memangnya aku orang Betawi! Ha... ha... ha! Tapi dak apa. Aku senang juga dipanggil Abang! Ha... ha... ha!"
"Bang, Abang ini siapa?" tanya Boma lalu mengusap darah di sudut mulutnya.
Si gondrong menggaruk kepala. Kelihatan seperti berpikir sebelum menjawab.
"Aku Abang seperguruanmu." Si gondrong akhirnya menjawab.
"Abang seperguruan?" Boma heran. Menowel hidung.
"Aku menggaruk kepala. Kau menowel hidung! Lucu!"
"Abang seperguruan bagaimana? Abang 'kan nggak satu sekolah sama saya...."
Si gondrong mengangguk. "Kau benar, aku mana kenal sekolahan. Boma, waktuku tidak lama...." Dari balik pakaiannya si gondrong keluarkan dua buah benda bulat sebesar ujung jari berwarna hitam. "Ini obat mujarab. Kau telan satu, satu lagi untuk kawanmu yang pingsan itu. Aku pergi sekarang. Orang-orang mulai berkerubung. Mereka menuju ke sini."
Si gondrong genggamkan dua butir obat ke dalam tangan kanan Boma.
"Bang, nama Abang siapa?" tanya Boma.
Si gondrong tidak menjawab. "Bang, kalau nyari Abang di mana?" tanya Boma lagi.
Yang ditanya tak menjawab, hanya tersenyum. Lalu sekali berkelebat dia sudah berada di ujung jalan untuk kemudian lenyap dari pemandangan.
***
PAGI itu para jururawat yang bertugas di kamar pasien bedah RSCM tampak berlarian ke kamar di mana Boma dirawat. Sebelumnya ada teriakan-teriakan. Anak lelaki yang dirawat di kamar itu mendadak mengamuk. Memukul dan menendang. Ayahnya yang menjaga berusaha menenangkan anaknya tapi terkena gebukan, jatuh tersandar di kaki tempat tidur, ditolong oleh seorang perawat. Tiang besi tempat menggantungkan infus tergeletak bengkok di lantai. Empat orang perawat segera mengikat kaki dan tangan Boma ke besi tempat tidur. Infus yang tercabut dipasangkan kembali. Boma tak mengerti mengapa dia diperlakukan seperti itu.
"Zuster, kok saya diikat?" Boma bertanya.
"Tenang saja Dik. Nanti kalau dokter datang, ikatan Adik dibuka lagi," jawab jururawat lalu keluar bersama seorang temannya. Dua jururawat lelaki tetap di kamar itu berjaga-jaga. Boma memandang pada Ronny Celepuk dan teman-temannya.
"Ron, Vino, tolong. Bukain ikatan gua...."
Ronny dan Vino diam saja. Tak tahu mau menjawab atau berbuat apa.
"Ron, kenapa aku diikat?" Boma bertanya lagi.
"Tadi kau katanya ngamuk...." Ronny menjawab setengah berbisik.
"Ngamuk? Ajie busyet! Yang bener aja Ron."
"Bokap lu sendiri kau gebuk. Liat 'tuh, dia masih kesakitan...."
Boma melirik. Ayahnya dilihatnya duduk di sudut kamar, miring ke tembok sambil pegangi dada.
"Masa' sih aku ngamuk. Aku... aku cuma mimpi kok Ron." "Udah Bom, tenang aja dulu. Liat, bokap lu datang ke sini."
Sumitro Danurejo melangkah perlahan. Dia berdiri di samping tempat tidur anaknya. Memegang kening dan tangan Boma.
"Heran, kepalanya dingin. Badannya tidak panas. Mengapa dia tadi mengamuk tak karuan?" Lelaki itu membatin. "Jangan-jangan anak ini kemasukan orang halus...." Ayah Boma ingat waktu anaknya sakit di Rumah Sakit PMI Bogor. Juga dia ingat pada Haji Sobirin yang pernah menolong Boma. Apakah dia perlu lagi menemui orang pintar itu? Kalau penyakit Boma memang aneh agaknya tak ada jalan lain. Saat itu jururawat yang tadi keluar, masuk kembali ke dalam kamar mengiringi seorang lelaki gemuk pendek, berkaca mata. Dia Dokter Simanjuntak, dokter spesialis bedah yang menolong Boma. Sambil tertawa lebar dan menepuk-nepuk tangan Boma Dokter Simanjuntak berkata. "Ah, ini dia jagoan kita. Tadi saya dengar katanya latihan karate apa latihan kungfu?"
Boma tertawa. Dokter Simanjuntak perhatikan besi tiang tempat menggantungkan infus. "Hebat, besi saja bisa bengkok. Boma, kamu ada keluhan apa?"
"Nggak ada keluhan apa-apa Dokter."
"Perutnya sakit?"
"Nggak Dokter."
"Bagus, coba saya periksa dulu jahitannya. Sekalian ganti perban dan plester."
Dokter ahli bedah itu menyingkapkan selimut Boma. Seorang jururawat membuka bajunya. Sang Dokter kemudian perlahan-lahan membuka perban di perut Boma.
"Sakit?" tanya Dokter Simanjuntak. Boma menggeleng. Ketika perban terbuka dan Dokter Simanjuntak memperhatikan perut Boma terkejutlah Sang Dokter. Perut itu licin, tak ada bekas jahitan, tak ada bekas sambungan luka.
"Aneh, aku ini bukan malaikat! Tidak mungkin aku mampu menjahit luka tanpa bekas sama sekali. Luka belum satu hari. Tak ada bekas. Baru sekali ini terjadi seperti ini. Anak ini, siapa dia sebenarnya?"
Perlahan-lahan Dokter Simajuntak mengangkat kepala, memandang pada Boma lalu pada jururawat yang berdiri di sekeliling tempat tidur. Dokter bedah itu ulurkan tangannya. Menekan perut Boma.
"Sakit?"
Boma menggeleng.
Sang Dokter berpaling pada ayah Boma. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Salah seorang jururawat bertanya.
"Perbannya dipasang lagi Dok?"
"Tidak perlu...."
"Dokter, bagaimana anak saya?" Ayah Boma bertanya.
"Hemm.... Lukanya cepat sembuh. Saya merasa gembira...."
"Berarti Boma bisa pulang siang ini?"
"Tunggu, saya mau konsultasi dulu dengan Dokter Ahli Penyakit Dalam. Biar Boma diperiksa lagi. Kalau memang tak ada apa-apa, saya rasa...." Dokter Simanjuntak tidak meneruskan ucapannya. Dia memegang kening Boma sebentar lalu tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia masuk lagi bersama Dokter Permana, Ahli Penyakit Dalam. Dokter Permana memeriksa dengan teliti tekanan darah, jantung serta paru-paru Boma. Semua normal, termasuk suhu badannya. Lalu apa yang membuatnya tadi mengamuk?
Dokter Permana membawa ayah Boma ke luar kamar. Dokter Simanjuntak mengikuti. Di luar Dokter Permana berkata.
"Anak Bapak dalam keadaan baik. Normal. Namun saya menyarankan agar diperiksakan pada Dokter Ahli jiwa."
Ayah Boma kaget. "Memangnya anak saya gila Dok?!" "Maaf Pak Sumitro. Pemeriksaan pasien pada Dokter Ahli Jiwa tidak berarti pasiennya menderita gangguan jiwa. Saya rasa tidak ada salahnya...,"
"Kalau anak saya baik, normal, saya minta dia diperbolehkan pulang saja siang ini."
Dokter Permana berunding dengan Dokter Simanjuntak. Dokter Ahli Penyakit Dalam itu akhirnya berkata. "Kita lihat perkembangan satu dua jam mendatang. Kalau tidak ada apa-apa, anak Bapak boleh pulang. Saya akan buatkan resep obat penenang."
Ayah Boma mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam kamar. Dokter Permana memanggil seorang jururawat, memberi tahu agar ikatan pada tangan dan kaki Boma dilepas. Lalu dia mendekati rekannya, Dokter Simanjuntak.
"Ini memang satu kejadian aneh. Pasien yang baru dioperasi dan dijahit sore kemarin, pagi ini lukanya mengalami kesembuhan. Tidak berbekas. Benar-benar ajaib."
Dokter Simanjuntak mengangkat dan memperhatikan sepuluh jari tangannya. Dokter Permana kembali berkata. "Kalau wartawan memuat kejadian aneh ini di berbagai media, nama anda akan jadi terkenal. Pasien anda bakal membludak."
Untuk beberapa lama Dokter Simanjuntak tidak bisa berkata apa-apa. Hanya menggelengkan kepala berulang kali. Kembali dia memperhatikan jari-jari tangannya. Akhirnya Dokter ini berkata.
"Sulit saya percaya. Saya hampir yakin. Anak itu pasti punya ilmu. Kalau tidak mustahil dia bisa mengalami kesembuhan begitu rupa."
"Jika dia memang punya ilmu," kata Dokter Permana pula. "Tidak ada salahnya anda belajar. Ilmu kedokteran digabung dengan kekuatan ilmu gaib. Demi kebaikan pasien. Saya rasa itu tidak akan menyalahi Kode Etik Kedokteran."
"Ah, saya belum berpikir untuk jadi Terkun. Dokter Dukun," kata Dokter Simanjuntak pula. Dua teman sejawat itu lalu sama-sama tertawa.
***
SEPERTI kejadian sewaktu Boma pulang dari Rumah Sakit PMI Bogor dulu, hari itu kamar Boma di tingkat atas dipenuhi oleh anak-anak SMA Nusantara III. Selain Ronny, Vino, Firman, Andi, Gita dan Rio hadir juga Dwita dan Trini. Tapi sekali ini Boma agak lain. Dia tidak terlalu banyak bicara dan tidak tanggap terhadap canda teman-temannya. Mungkin karena Trini ada di situ? Padahal menurut Trini yang ayahnya Polisi, tiga orang kawanan penodong yang buron telah berhasil ditangkap dan dalam interogasi ketat. Anak-anak itu juga membicarakan berbagai cerita di media cetak yang memberitakan peristiwa penodongan itu di mana Boma disebut-sebut sebagai salah seorang yang berjasa hingga seorang penodong berhasil diringkus.
"Wah, namamu bakal berkibar lagi Bom," kata Andi.
"Apa lagi kalau wartawan tau kejadian aneh di RSCM. Mulai dari kau ngamuk sampai kesembuhanmu yang dokter sendiri terheran-heran." Menyambung Vino.
"Kalian masih saja bilang aku ngamuk. Aku ngimpi tau," kata Boma.
"Nah, kalau kau mimpi, kok nggak mau cerita mimpinya apa?" ujar Ronny Celepuk.
"Iyya, pakai dirahasiain segala," sambung Gita.
"Ala, udah deh. Nanti aja aku cerita. Aku capek, ngantuk. Kalian pulang aja. Nanti datang lagi...."
"Ngusir nih?" tanya Gita.
"Kalau kita-kita pada pergi, yang tinggal siapa?" tanya Vino menggoda sambil melirik pada Trini dan Dwita.
"Ya, sudah. Bos mau istirahat. Kita ngalah," ucap Rio. "Besok kita balik lagi." Sambil menjalankan motornya mengikuti teman-temannya Ronny Celepuk berkata. "Heran, nggak sari-sarinya Boma kayak gitu. Kayaknya dia segen-segenan ngobrol sama kita."
"Aku liat anak itu lebih banyak diemnya. Jangan-jangan kesambet." (kesambet = kemasukan mahluk halus).
"Kalian perhatiin nggak? ketawa sama nyengirnya juga lain," Vino ikut bicara.
"Dia nggak ngaku kalau ngamuk. Bilangnya mimpi. Tapi mimpinya nggak mau diceritain."
"Inget cerita Boma ada nenek-nenek aneh yang mau memberinya ilmu kepandaian?" ujar Gita pula. "Jangan-jangan anak itu udah dikasih ilmu. Sekarang nggak sanggup nerimanya alias keberatan ilmu. Bisa-bisa dia jadi bego-bego kaya saudaranya Bapak gua."
"Amit-amit. Jangan deh sampai begitu," kata Ronny.
"Aku rasa Boma memang sudah punya ilmu," ujar Vino. "Buktinya, perut diclurit begitu nggak ada bekasnya. Dokter sendiri nggak habis heran. Ron, kau ingat nggak kejadian di rumah sakit. Waktu aku bilang pintu kamar terbuka..."
Ronny diam saja. Yang lain-lain juga tidak bersuara. "Musti ada yang terus-terusan ngawasin Boma," Trini akhirnya yang membuka mulut.
"Iyya, kamu aja Rin yang ngawasin," kata Vino.
"Jangan ngeledek ah!" jawab Trini sambil melirik ke arah Dwita.
"Kita harus beri tau orang tuanya," kata Gita Parwati.
Di ujung gang anak-anak itu berpisah setelah janji akan kumpul lagi di rumah Boma besok pagi jam 10. Sebelum berpisah Trini mendekati Ronny.
"Ron, nanti kau bilang sama Boma. Supaya hati-hati. Terutama kalau dia berada di luar rumah. Menurut Bapakku, bisa saja kawanan penodong yang masih ada di luaran ngerjain dia."
"Wah, gawat juga kalau gitu," kata Ronny. "Boma nggak boleh dibiarin sendirian." Trini mengangguk. "Aku ikut sama kamu ya?"
Ronny belum menjawab, Trini sudah menyambar helm dan naik ke atas motor. Tangan kanannya dilingkarkan ke pinggang Ronny. Tangan kiri dilambaikan sambil berteriak "Daa... daah."
Gita pencongkan mulutnya, berbisik pada Vino yang ada di sebelahnya.
"Liat 'tuh kucing garong. Lagaknya...."
***
SEBELAS
BOMA BERPRILAKU ANEH
SORE itu ayah dan ibu Boma duduk di ruang tengah rumah. "Pak, saya gembira dan bersyukur Bram sudah dapat pekerjaan. Tapi anak kita yang satu, Boma, membuat saya jadi prihatin. Tingkah lakunya belakangan ini banyak kelainan. Dia sering mengurung diri dalam kamar. Tak tahu apa yang dilakukan. Tidur ya pasti nggak. Dia berubah jadi pendiam. Makanpun seperti capung mencicipi air saja. Sedikit...."
Mendengar kata-kata istrinya itu Sumitro Danurejo, pensiunan Pegawai Sipil Departemen Penerangan meletakkan surat kabar yang dibacanya lalu meneguk kopi di atas meja.
"Anak itu, di mana dia sekarang?" tanya Sumitro pada istrinya.
"Masih tidur. Di atas, di kamarnya. Coba, sudah sore begini masih tidur."
"Memang Bu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan sama Ibu. Tentang anak itu. Boma."
"Ya, Bapak mau cerita apa?"
"Malam tadi. Saya tak bisa memejamkan mata. Dalam kamar rasanya panas sekali. Saya keluar. Duduk di kursi panjang di bawah tangga. Di situ agak adem. Saya hampir pulas. Tiba-tiba saya mendengar ada langkah-langkah kaki menuruni tangga...."
***
SUMITRO Danurejo melihat Boma berjalan ke pintu. Gerak langkahnya kelihatan aneh. Terheran-heran Sumitro memperhatikan, ternyata Boma berjalan dengan mata terpejam.
"Anak ini, berjalan tidur. Aneh. Mau ke mana dia?" kata Sumitro dalam hati. Lelaki ini hendak menegur tapi tak jadi. Dia terus memperhatikan apa yang dilakukan anaknya.
Ternyata Boma melangkah ke pintu. Dengan mata masih terpejam dia memutar anak kunci, menekan handel lalu membuka daun pintu. Sumitro serta-merta bangkit dari kursi di bawah tangga. Sekilas dilihatnya jam bulat di dinding ruangan menunjukkan pukul setengah tiga malam.
"Bom... Boma...." Sumitro memanggil. Tapi aneh, suaranya tak keluar dari tenggorokan. Dia cepat memakai sandal, mengencangkan ikatan kain sarung. Ketika dia sampai di pintu pagar rumah dilihatnya Boma sudah berada di ujung jalan. Setengah berlari Sumitro mengejar. Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa sudah berlari sekencang yang bisa dilakukannya, tetapi sang anak tak kunjung terkejar. Hanya ada satu hal yang dilihat Sumitro dan membuat lelaki ini jadi tersirap darahnya. Di depan Boma yang berjalan dengan mata terpejam kelihatan beberapa ekor kunang-kunang. Binatang terbang yang mengeluarkan cahaya ini seolah-olah membimbing Boma dalam melangkah.
"Kunang-kunang itu...." membatin Sumitro. Sesaat langkahnya tertahan. "Apakah sama dengan kunang-kunang di Gunung Gede, yang membimbing regu penyelamat?"
Di depan sana tiba-tiba muncul kabut putih. Boma berjalan terus, masuk ke dalam kabut, lenyap dari pemandangan. Sumitro ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian meneruskan langkah menembus kabut. Dia sampai di ujung gang. Di depan sana anaknya tak kelihatan lagi. Sumitro Danurejo bukan saja terheran-heran karena lenyapnya Boma, tapi juga karena saat itu mendapatkan dirinya entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu sudah berada di sisi satu pedataran. Di kejauhan sana ada sebuah bukit kecil, diterangi sinar merah kekuningan seolah sang surya berada di baliknya. Memandang ke samping kiri Sumitro melihat sebuah pohon tinggi besar tanpa daun. Cabang dan ranting-ranting pohon berjulaian laksana tumbuh di pedataran tandus. Di salah satu cabang pohon tiba-tiba dia melihat seekor burung besar berwarna putih polos. Burung itu memandang ke arahnya dengan sikap yang menggetarkan hati. Sumitro kemudian ingat, burung ini adalah burung yang pernah dilihatnya di atas atap rumah Haji Sobirin, orang pintar di Bogor, sewaktu dimintai pertolongannya untuk mengobati Boma tempo hari. (Baca Episode pertama Boma Gendenk berjudul "Suka Suka Cinta"). Burung ini mendongakkan kepala, mengembangkan sayap lalu terbang dan lenyap dalam kegelapan. Sumitro mengalihkan pandangannya kembali ke arah bukit kecil di ujung pedataran. Dia terpana ketika melihat sosok Boma tahu-tahu telah berada di puncak bukit, bergerak kian ke mari, memukul dan menendang.
"Boma... anak itu. Apa yang tengah dilakukannya? Dia memang pernah berlatih karate. Tapi gerakan-gerakannya itu bukan gerakan karate. Dia tengah memainkan ilmu silat aneh. Siapa yang mengajarnya?"
Sumitro tegak tak bergerak. Mata nyalang besar. Sesekali dari tangan kiri anaknya memancar cahaya putih berkilauan. Setiap pukulan dan tendangan yang dilancarkan Boma mengeluarkan suara sambaran angin keras, seolah anak itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya. Ayah Boma tak sadar entah sudah berapa lama dia berada di tempat itu. Di timur muncul cahaya terang tanda fajar mulai menyingsing. Di kejauhan terdengar kokok ayam. Lalu bukit kecil di ujung pedataran perlahan-lahan sirna. Sosok Boma ikut lenyap.
"Astagfirullahal 'aziim," Sumitro mengucapkan istigfar. "Boma!" Lelaki ini berteriak. Seperti tadi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sumitro memutar tubuhnya. Dia melangkah cepat kembali ke rumah. Sampai di rumah dia naik ke atas, langsung menuju kamar Boma. Ketika pintu kamar dibuka dilihatnya anak itu tertidur pulas sambil menggelung bantal guling.
"Aneh, anak ini. Kenapa dia bisa sampai lebih dulu? Dan tidur pulas.... Ya Allah, apa sebenarnya yang tengah terjadi?"
***
PAGI itu Ronny dan Vino datang hendak menjemput Boma. Mereka hendak latihan ben di sekolah. Dalam susunan acara anak-anak kelas dua yakni Boma, Ronny, Vino, Rio, Andi dan Firman akan menyumbangkan dua buah lagu sementara Gita Parwati akan bertindak sebagai MC.
"Bomanya masih tidur 'tuh," kata Ibu Boma ketika ditemui Ronny dan Vino.
"Wah, udah siang begini kok Si Bos masih tidur sih," kata Ronny Celepuk.
"Kami boleh naik ke atas, Bu?" tanya Vino.
"Boleh aja. Cuma Boma pesan, katanya jangan diganggu."
Vino dan Ronny saling pandang sesaat.
"Gini aja, Bu. Kalau Boma bangun suruh nyusul ke sekolah," kata Ronny.
Nyonya Hesti Sumitro anggukkan kepala. "Anak-anak nggak mau minum dulu?"
"Terima kasih Bu," jawab Vino.
"Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikum sallam."
Di atas motor dalam perjalanan ke sekolah.
"Heran, si Boma kok belakangan ini banyak tidurnya?" berkata Vino.
"Gua liat 'tu anak banyak bengongnya. Kalau lagi ngumpul sama kita-kita dia keliatan kayak ngelamun. Nggak banyak ngomong kayak dulu-dulu. Kalau ikutan tertawa, tertawanya juga kayak dibikin-bikin...."
"Terakhir kita datang bawa tabloid, Boma membaca tabloid itu kayak acuh aja. Padahal di situ ada berita besar mengenai peristiwa penodongan yang buntutnya dia kena diclurit. Lalu juga ada wawancara wartawan dengan dokter Simanjuntak yang mengoperasi Boma. Dokter ahli bedah ini mengakui, ngerasa aneh kok jahitan operasi bisa sembuh kurang sehari, nggak ada bekasnya lagi. Habis baca tabloid, Boma kayak ngelamun. Nggak tau apa yang ada di otaknya."
Ronny hentikan motor di persimpangan lampu merah.
"Ron, lu suka meratiin Boma nggak?" Vino bersuara.
"Meratiin apa?"
"Kalau lagi diem, si Boma suka ngurut-ngurut tangan kirinya pakai tangan kanan."
"Iyya. Memang gua liat begitu. Kayaknya ada sesuatu di tangan kirinya itu."
"Jangan-jangan apa yang dibilangin Gita bener Ron. Teman kita itu sudah punya ilmu. Saking keberatan ilmu jadi kayak orang gendenk."
"Latihan kita bisa jadi berantakan. Yang nyanyi 'kan dia." Ronny membelokkan motor Honda Tiger merah itu memasuki halaman sekolah.
Gita Parwati, Rio, Andi dan Firman segera mendatangi Ronny dan Vino.
"Mana Boma?" tanya Gita.
"Masih tidur!" jawab Ronny sambil menanggalkan helm.
"Tidur? Gini ari masih tidur? Ajie gile!" kata Firman.
"Kenapa nggak lu bangunin Ron?" tanya Andi.
"Nggak boleh sama Ibunya. Katanya Boma pesan begitu."
"Wah, apa gua bilang. Tu anak pasti kumat lagi gendenknya." kata Gita. "Gimana latihannya?"
"Ya udah, kita-kita aja," jawab Rio. "Nanti seabis anak kelas tiga latihan, giliran kita."
Enam anak itu berjalan menuju bagian belakang panggung di mana anak-anak kelas tiga SMU Nusantara III sedang asyik berlatih band.
Tiba-tiba Gita memegang tangan Ronny.
"Ronny, Vino. Sialan kalian!"
"Eh, kamu kesambet setan apa Git? Kok nggak hujan nggak angin maki kayak gitu?"
Gita menunjuk ke sudut sekolah, ke arah warung bakso Mang Asep. "Lu ngibul aja! Tuh kalian liat siapa yang lagi duduk di depan warung Mang Asep."
Semua anak palingkan kepala ke arah yang ditunjuk Gita Parwati. Mereka semua jadi heran. Di depan warung Mang Asep ada sebuah bangku kayu panjang. Di bangku itu kelihatan Boma duduk enak-enakan. Ketika kawan-kawannya memandang ke arahnya Boma senyum dan lambaikan tangan. Ronny, dan Vino, diikuti yang lain-lainnya segera mendatangi Boma.
"Bom, kok kamu udah duluan sampe di sini?" tanya Ronny.
"Kamu naik apa Bom?" tanya Vino.
"BMW," jawab Boma sambil menowel hidungnya.
"BMW?!" ujar Gita dan Ronny berbarengan.
"Iyya BMW. Bajaj Merah Warnanya," jawab Boma lalu tertawa.
"Sialan!" gerutu Andi.
"Dasar gendenk!" kata Gita.
"Eh Git, jangan suka maki. Nanti kempes lu!" kata Boma sambil menusukkan jari telunjuk tangan kanannya ke perut gendut Gita Parwati.
***
DUA BELAS
ABG DILEMPAR TELUR BUSUK
ACARA perpisahan anak-anak kelas tiga SMU Nusantara III Sabtu malam itu ramai sekali. Panggung besar dibangun di lapangan olahraga. Jejeran kursi mulai dari depan panggung sampai ke aula. Para orang tua dan guru duduk di barisan kursi terdepan. Di sebelah belakang bercampur anak-anak dari semua kelas. Dwita Tiffani duduk tenang bersama anak-anak perempuan teman sekelas. Terpisah satu baris di belakangnya duduk Trini Damayanti, becanda brisik dengan teman-temannya. Boma malu-malu kelihatan duduk santai, berbaur dengan teman-teman. Senyum dan tawa lebar sesekali merebak di wajahnya. Namun seperti kebiasaan anehnya belakangan ini, Boma tak banyak bicara, terkadang tampak seperti melamun. Sambil duduk jari-jari tangan kanannya mengusap tangan kiri. Lalu sekali-sekali menowel hidungnya. Sarah, cewek kelas dua yang nempel terus bersama Ronny Celepuk, berbisik.
"Ron, aku peratiin Boma dari tadi. Kayaknya apa yang teman-teman omongin memang benar."
"Memangnya orang-orang ngomongin apa?" tanya Ronny.
"Kata taman-teman Boma udah jadi gendenk gara-gara punya ilmu hitam."
"Ah gila! Siapa yang bilang gitu sama kamu?"
"Pokoknya banyak," jawab Sarah. "Liat aja, 'tu anak jadi banyak bengongnya. Nggak ceria kayak dulu."
"Namanya juga orang baru sakit," kata Ronny membela temannya. Yang jadi MC atau pembawa acara dalam pesta perpisahan itu adalah Gita Parwati. Penampilannya yang gendut, gayanya yang kocak serta kata-katanya yang diselingi humor membuat suasana menjadi hangat. Saat ketika anak-anak kelas tiga mengisi acara dengan permainan ben, di belakang panggung seorang anak laki-laki bertubuh tegap, rambut gondrong diikat di sebelah belakang mendekati Gita Parwati yang berdiri sambil memegang wireless microphone. Menurut susunan acara selesai permainan ben anak-anak kelas tiga, Boma dan kawan-kawannya akan tampil ke panggung menyumbangkan dua buah lagu.
"Git, kamu istirahat aja dulu. Biar aku yang gantiin jadi MC," kata anak lelaki itu yang mendekati Gita. Namanya Anton, anak kelas I-A yang naik ke kelas dua. Anton sudah lama naksir Trini Damayanti dan bukan rahasia lagi Anton tidak suka pada Boma yang dianggapnya sebagai saingan.
Gita belum sempat menjawab, Anton sudah mengambil microphone dari tangan anak perempuan itu secara kasar.
"Ton, kamu apa-apaan sih?!" kata Gita, coba mengambil microphone kembali, tapi tak berhasil.
"Udah, duduk aja. Nanti juga kembaliin. Segala mikropon!" kata Anton.
Seorang anak lelaki berambut coklat, muka penuh jerawat mendatangi. "Kok kasar amat sih sama cewek?!" anak ini menegur. Namanya Allan. Anak baru di kelas dua.
Anton langsung berpaling. Dia letakkan microphone di depan hidung Allan dan berucap. "Jerawat batu, lu anak baru jangan ikut campur!"
Allan hendak merampas microphone dari tangan Anton tapi Gita Parwati cepat memegang tangan anak itu; "Udah Lan, biarin aja anak konyol itu begitu. Apa sih maunya. Kalau mau jadi MC kenapa nggak minta terus terang waktu rapat panitia...."
Lagu yang dimainkan anak kelas tiga berakhir. Bersamaan dengan itu Anton muncul di panggung, langsung bicara.
"Para hadirin yang terhormat. Kini tiba giliran teman-teman dari kelas dua-sembilan menyumbangkan dua buah lagu. Kepada teman-teman kelas dua-sembilan dipersilahkan naik ke panggung."
Tepuk tangan menggemuruh. "Lho kok MC-nya ganti?" seorang anak berucap.
Ronny paling dulu berdiri. Memberi isyarat pada teman-temannya. Boma, Vino, Rio, Andi dan Firman segera berdiri pula.
Begitu Boma dan teman-temannya berada di panggung, Anton kembali bicara.
"Para hadirin, inilah teman-teman kita dari kelas dua-sembilan. Mohon tepuk tangan untuk mereka." Tepuk tangan kembali menggemuruh.
"Para hadirin, sebelumnya kami perkenalkan dulu teman-teman kita ini. Pada melody Ronny Kaunang, lebih dikenal dengan panggilan Ronny Celepuk karena hidungnya yang bengkok dan alisnya yang item tebal kayak burung hantu!"
Orang banyak tertawa, ada yang bertepuk, juga ada yang bersuit.
"Pada keyboard teman kita yang bernama Firman," Anton melanjutkan. "Pada bas gitar Andi, lalu pada drum Vino. Pada gitar pengiring Rio. Terakhir, yang sudah siap di depan mikropon, rambut ABCD Abri Bukan Cepak Doang, adalah teman kita seorang ABG, namanya Boma!"
Tepuk tangan terutama anak-anak kelas II-9 riuh menggema.
"Para hadirin sekalian, perlu diberitahukan bahwa singkatan ABG buat Boma bukan berarti Anak Baru Gede. Tapi Anak Baru Gendenk! Gendenk karena keberatan ilmu!"
Ada yang tertawa mendengar kata-kata Anton itu, ada yang bertepuk. Tapi banyak yang terdiam heran, memandang ke panggung. Di atas panggung Boma tenang saja, malah mengulum senyum lalu menowel hidungnya. Ayah dan Ibu Boma yang duduk di barisan ke dua sebelah depan saling berpandangan. Sumitro geleng-gelengkan kepala. "Seloroh anak-anak Pak, jangan diambil hati. Boma sendiri cuma ketawa."
Di belakang panggung Gita mengomel. "Sialan si Anton. Ngapain dia nyebut-nyebut Boma Gendenk segala? Sentimen 'tu anak!"
"Dia cuma becanda Git," kata seorang anak di sebelah Gita.
"Becanda sih nggak gitu! Brengsek! Pantes dia ngerampas mikropon. Ini maksudnya! Pasti ini gara-gara kucing garong itu."
"Kucing garong?" teman di sebelah Gita Parwati bertanya heran.
"Lu belon tau kucing garong ya? Siapa lagi. Si Trini!"
Di atas panggung Anton mendekatkan mikropon ke mulutnya. "Para hadirin sekalian ABG Boma akan membawakan dua buah lagu. Lagu pertama Bujangan. Cocok, karena dia memang masih bujangan. Lagu kedua bersama teman-temannya Boma akan membawakan lagu terkenal dari Koes Plus yaitu Pelangi"
Anton turun dari panggung. Dia tidak menyerahkan wireless microphone ke tangan Gita. Mikropon itu diletakkannya di atas sebuah kursi. Gita cepat mendatangi. "Ton!" teriak Gita. "Brengsek lu! Ngejatoin temen sendiri!"
Anton cuma menyengir lalu ngacir, berkumpul dengan teman-temannya. Tepuk tangan ramai. Vino menghentakkan drum. Suara melody gitar merobek panggung. Ketika Boma mulai menyanyi sambutan menggemuruh. Baru sepertiga nyanyian dilantunkan Boma, tiba-tiba entah dari mana datangnya sebuah benda bulat putih melayang ke arah panggung dan pluk! Jatuh pecah di atas dada kiri Ronny Celepuk. Ternyata benda yang dilemparkan itu adalah sebutir telur ayam busuk!
Ronny sampai tersurut dua langkah. Petikan gitar melodynya sesaat tersendat. Boma cepat berkata.
"Tenang Ron, terus. Jangan kacau...."
Sambil meneruskan memetik melody Boma memperhatikan pecahan telur busuk yang mengotori kemejanya. Bau busuk membuat dia tak tahan mau muntah. Boma terus menyanyikan lagu Bujangan. Menjelang akan sampai ke akhir lagu, tiba-tiba sebuah telur lagi melesat ke atas panggung. Boma yang sedang konsentrasi menyanyi tidak sadar kalau sasaran benda itu adalah dirinya. Ketika dia sadar, Boma terlambat mengelak. Telur ayam busuk jatuh dan pecah tepat di pipi kirinya.
Suara nyanyian Boma hampir terputus kalau Boma tidak cepat menguasai diri. Sambil menyeka pipinya yang berselomotan telur busuk, Boma terus menyanyi sampai akhir. Sambutan hadirin luar biasa. Terutama melihat sikap tenang Boma dan teman-teman walau barusan dilempar telur busuk. Boma mendekatkan mikropon ke mulutnya.
"Para hadirin, teman-teman, kami akan membawakan lagu Pelangi. Mudah-mudahan masih ada persediaan telur busuk buat kami."
Riuhnya sambutan penonton bukan main. Di antara keriuhan itu ada yang berteriak histeris.
"Gebukin si pelempar telur!"
Boma mengangkat tangan. Dari wajahnya yang masih dikotori telur busuk dan dari sosoknya yang jangkung seolah muncul satu kharisma. Para hadirin berangsur tenang. Boma memberi isyarat pada Ronny. Lagu Pelangi ciptaan Koes Plus segera menghentak suasana. Ketika lagu itu hampir sampai pada akhirnya beberapa anak yang kemudian diikuti oleh para hadirin lainnya berteriak sambil berdiri.
"Terus! Terus!"
"Ulang! Ulang!"
Mau tak mau Boma dan kawan-kawannya menyanyikan Pelangi sekali lagi. Sambutan meriah luar biasa mengikuti Boma dan teman-temannya ketika turun dari panggung.
Di belakang panggung anak-anak mengerubung. Banyak tangan memberikan kertas tisu pada Boma dan Ronny untuk membersihkan sisa-sisa telur busuk. Boma dan Ronny kemudian pergi ke kamar mandi di belakang sekolah. Vino, Rio, Firman dan Andi mengikuti. Sampai di kamar mandi Vino berkata. "Bom, aku sempat ngeliat siapa yang ngelempar telor busuk."
Ronny langsung bertanya. "Siapa?" Vino tak segera menjawab, melihat dulu pada Boma.
"Ala, udah Ron. Enggak usah sewot...." kata Boma.
"Gua nggak sewot. Tapi marah besar Bom! Keterlaluan. Kurang ajar! Yang begini nggak bisa didiemin. Si Anton juga mau gue datengin. Apa maksudnya bilang kamu Anak Baru Gendenk! Gua dibilang kayak burung hantu! Tu anak musti dikasih pelajaran!"
Boma tersenyum. Sambil mengeringkan mukanya yang baru dibasuh dia berkata. "Buat apa sih nyari ribut! nanti juga pada ketulah sendiri."
Ronny menggoyangkan tangan. Sambil melotot dia bertanya pada Vino. "Vin, bilang cepetan! Siapa yang ngelempar telor?" "Si Bodong," jawab Vino.
"Si Bodong? Maksud lu Jamhudi sohibnya Si Anton?"
"Di SMA Nusantara Tiga cuma ada satu anak yang pusernya bodonk. Siapa lagi kalau bukan Jamhudi!" kata Rio.
"Biar gua gasak sekarang juga 'tu anak!" kata Ronny sambil menggulung lengan kemejanya. Boma cepat memegang bahu Ronny.
"Sabar Ron. Gua bilang nggak usah bikin ribut. Apa lagi sekarang kita lagi pada pesta girang-girang."
Pelipis Ronny Celepuk bergerak-gerak.
"Oke... oke!" kata Ronny sambil memukulkan tinju kanannya berulang kali ke telapak tangan kiri. "Gua ikutin omongan lu, Bom. Tapi nanti, gua pasti bikin perhitungan sama anak itu! Gua tau dia sohibnya Si Anton. Si Anton bakal gua sikat sekalian!"
"Sabar Ron, sabar," kata Vino. "Liat, siapa yang lagi mau datang ke sini. Ada dua cewek."
Ronny dan teman-temannya termasuk Boma yang baru keluar dari bangunan kamar mandi melihat ke arah lapangan. Dari samping kiri deretan kursi melangkah Trini Damayanti. Lalu dari jurusan sebelah kanan berjalan Dwita Tifani. Ronny yang tadi sewot kini menyengir.
"Asyik nih, bakalan terjadi perang dingin sebentar lagi. Teman-teman, baiknya kita cabut dulu."
"Eh, tungguin gua!" kata Boma ketika dilihatnya Ronny dan yang lain-lain meninggalkan tempat itu.
"Nggak usah takut Bom, Dwita sama Trini nggak bawa telor busuk. Kalaupun bawa, pasti telor mereka dibungkus rapi sama...." Ronny tidak meneruskan ucapannya, melainkan berpaling pada Vino dan bertanya. "Dibungkus sama apa Vin? Jawab dong."
Vino cekikikan lebih dulu baru menjawab.
"Dibungkus sama beha."
Ronny, Firman, Andi, Rio dan Vino tertawa gelak-gelak sambil ngacir meninggalkan Boma sendirian.
TAMAT
Baca Kitab Berikutnya Berjudul :
Boma pegang tangan dan menatap wajah anak perempuan itu. Dia merasakan denyutan cepat sekali pada urat nadi di lengan temannya ini."Git, jujur aja nih. Kamu tau si Allan itu ngeprit!""Dia nggak bangsa cowok gituan Bom," Gita menjawab tapi melengos, tak berani memandang mata Boma.
"Tadi aku liat orang tua Allan masuk ruangan Kepala Sekolah."
"Biar aja. Biar aja jelas semuanya."
"Kamu ngebelain dia. Memangnya kamu cintrong banget sama dia?"
Gita diam. Ketika akhirnya anak perempuan ini menjawab suaranya terdengar perlahan. "Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom? Jelek begini?
Allan selalu meratiin aku. Memang sih dia nggak pernah bilang sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami sama."
Boma jadi terharu. Ditowelnya hidungnya. "Udah Git, nanti kita ngomong lagi."