Raja Pedang Jilid 09


Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhan jualah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu.

Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Kalau hati sudah sungguh-sungguh dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan apa bila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik mau pun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka kita tidak akan terlalu merasa sengsara apa bila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul.

Sebenarnya sudah terlalu banyak contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tidak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri.

Sudah betapa seringkah terjadi di dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang sebenarnya kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita! Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa?

Ini keliru! Ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapa pun pahitnya bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apa yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi.

Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apa bila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.

Semua manusia, baik dia itu orang biasa mau pun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk pada kekuasaan Tertinggi.

Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh saja menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dulu dibangun oleh Jenghis Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan ke selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia dan bala tentaranya yang besar tak berdaya.

Pemberontakan tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini pasti ada sebabnya, seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah kaisar ini meninggal dunia.

Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara para raja muda dan pangeran. Apa bila seorang raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain akan melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja. Apa lagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali!

Oleh karena selalu terjadi ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, lalu berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri.

Pemerasan terjadi di mana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini masih ditambah lagi dengan bencana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan sehingga tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah utara mau pun selatan.

Memang harus diakui bahwa pemerintah Mongol mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan. Mereka segera dapat menindih serta membasmi para pemberontak yang menentang di sana-sini secara kecil-kecilan. Akan tetapi mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini sangat hebat karena mereka mendapat pemimpin-pemimpin yang pandai.

Di antara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Ada pun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-lian-pai.

Belasan tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang, sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak.

Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi di dalam menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apa bila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi pula bentrokan antara dua golongan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu membahu melawan serdadu-serdadu Mongol!

Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok pada masa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri amat kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian yang selalu dirasakan rakyat apa bila negara dilanda perang.

Perubahan besar ini sangat dirasakan oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini, setiap hari Beng San hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama kakek nelayan. Tidak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.

Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-ling-san. Dia menyaksikan para petani yang tubuhnya sangat kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.

Ketika memasuki sebuah dusun di mana justru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepung dan hendak menangkap dirinya karena dia dituduh anggota pemberontak.

Beng San tidak mau melayani mereka. Dia hanya merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan mata!

Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati. Dia selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak.

Betapa pun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan di dalam kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia.

Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan di dalam negeri sedang kacau balau akibat perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi.

Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.

"Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar," pikirnya.

Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, oleh karena itu sekarang dia juga mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.

Akhirnya di pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar, akan tetapi kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang sudah tidak tampak lagi, juga tidak ada toapekong-nya. Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semuanya dan tempat itu kotor sekali.

Tidak kelihatan seorang pun hwesio di situ. Sebagai gantinya, halaman depan kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.

Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang mata belasan orang jembel yang duduk atau pun tiduran malang-melintang di tempat itu.

Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya. "Kau pengungsi dari dusun? Ingin mencari tempat menginap di sini? Silakan, di sini banyak tempat... banyak tempat. Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini."

Pengemis itu umurnya tidak akan lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, dan pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut ‘hidangan raja’ itu adalah beberapa potong roti kering yang kelihatan keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.

Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.

"Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah."

Beng San mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.

"Arak selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya... ehh, terpaksa diperbanyak dengan air." la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San.

Pemuda ini ikut tersenyum pula, lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.

"Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum jembel..." Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San.

Pemuda ini tidak menjawab, menoleh ke kanan kiri dan bertanya. "Kenapa kelenteng ini terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar juga."

"Betul dugaanmu itu," jawab pengemis, "memang kelenteng ini besar. Tapi sayang semua hwesio-nya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara."
"Kenapa?" Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh dan dipenjara.
"Mereka membantu pemberontak," kemudian pengemis itu bisik-bisik, "Sobat, kau adalah petani, mengapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu ini pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota pemberontak? Atau barang kali dengan anggota Pek-lian-pai?"

Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.

"Apa bila kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang saja, barang kali aku dapat membantumu..." Kembali orang itu berbisik.
"Tidak... tidak... aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Terima kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak."

Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, kemudian mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.

Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia lalu terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang silih berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu.

la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya.

Tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apa bila muncul wajah seorang anak perempuan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang matanya yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu!

Segera ia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu?

Beng San telah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan sekali. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum.

Ada pun suara-suara bisikan tadi terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya, Beng San mampu menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.

"Betulkah penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-lian-pai yang akan mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!"

Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San pun menanti dengan hati penuh curiga, akan tetapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi.

Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang yang pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Dia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan ‘pemuda tani yang tampan’ tadi dia orangnya. Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!

"Ehh, ehh... mengapa kalian menangkap aku?" Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.
"Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"

Seorang di antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San. Biar pun di dalam gelap, pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. Ia mengelak, kedua lengannya bergerak dan pada lain saat ketiga orang peringkusnya itu sudah terlempar cerai-berai ke belakang. Dan ketika mereka bangun sambil mengaduh-aduh, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!

Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap dia masih melihat sosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang di antara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya.

Dia mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Di suatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.

Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia pun bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman mala petaka.

Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka sudah keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan... rumah gedung itu telah kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.

Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis itu kemudian menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa. Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang.

Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah yang tidak ada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka.

Sambil tertawa kecil Beng San lalu teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.

Dengan hati puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.

"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)...," pengemis tua itu mengeluh.

Beng San menghela napas panjang. "Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun tidak ada. Apa yang harus aku berikan kepadamu?"

"Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu akulah yang harus memberikan sesuatu kepadamu." la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San.

Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.

Adik Beng San,

Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota. Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.

Tertanda: TAN HOK

Tan Hok di sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada di sini memimpin para pejuang! Dia menjadi semakin kagum akan kecerdikan Tan Hok bersama kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun.

Surat itu diremasnya hancur, lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak tampak seorang manusia pun.

Selagi dia kebingungan, tidak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebatan di dekat kumpulan perahu. Meski pun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seseorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.

la segera berjalan seperti biasa supaya orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh dengan pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan, yang akibatnya tanpa disengaja akan merugikan Tan Hok serta kawan-kawannya.

Dalam sekejap mata saja bayangan itu lenyap. Tidak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.

"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu...," bayangan ini berkata.

Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, "Lopek, di mana Tan-twako?" ia bertanya langsung.

‘Kakek pengemis’ itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan... ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok serta belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.

Mereka bersikap sangat berhati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar bagaikan raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala semua teman-temannya.

"Tan-twako...!" Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha-ha-ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!"

Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.

"Tan-twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap di antara perahu-perahu," bisik Beng San.

Tan Hok menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San. "Betulkah itu Ciu-siok (Paman Ciu)?"

Kakek itu berkata dengan suara menghibur, "Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia tak akan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."

Tan Hok kembali menghadapi Beng San. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apa bila betul ada orang yang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu." Ia tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.

Diam-diam Beng San tak membenarkan pendapat ini. Gerak-gerik orang tadi terlalu cepat, mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.

"Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak sempat membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."

Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

"Ah, Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran kenapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku kemudian lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan untukmu?"
"Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?"

Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu. "Aku... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidak tahu apa-apa, Twako."

"Nah, kau dengar baik-baik penuturanku…."

Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama semakin hebat itu. Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh pendekar-pendekar besar melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mongol dan kini sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan.

Tan Hok sendiri dengan teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai yang dia pimpin ini, sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar para pemberontak, Ciu Goan Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok menceritakan mengenai keadaan para partai besar persilatan.

Ketika dia bercerita tentang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Beng San mendengarkan penuh gairah. Di antara para partai persilatan, hanya dua partai besar ini pernah dia ketahui, bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua partai itu. la pernah berdiam di Hoa-san, mengenal ketuanya, mengenal pula murid-muridnya, yaitu Hoa-san Sie-eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok.

Ada pun tentang Kun-lun-pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia pernah membela murid Kun-lun yang bernama Pek-lek-jiu Kwee Sin. Pernah pula dia melihat dua orang Kun-lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago Kun-lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian.

Tan Hok menarik napas panjang. ”Sayang…," dia melanjutkan ceritanya, “karena yang dilancarkan oleh orang-orang Ngo-lian-kauw siasat liclk dan penuh kecurangan dari ketua Ngo-lian-kauw, dua partai besar itu. Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua partai yang selalu bermusuhan. Padahal kalau dua partai itu dapat ikut membantu perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat lagi. Semua ini adalah gara-gara kelemahan hati jago muda Kwee Sin..." Kembali Tan Hok menarik napas panjang.

"Bagaimana dengan dia setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo?” Beng San tak sabar lagi bertanya.

"Kau tahu tentang itu?" Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya, "Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui sejak pertemuan kita yang pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin? Justru dia itu yang menjadi biang keladi semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk rayu dan kecantikan ketua Ngo-lian-pai. Pek-lek-jiu Kwee Sin, jago muda yang berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan oleh pihak Ngo-lian-pai, menjadi makin binal dan tergila-gila kepada ketua Ngo-lian-pai yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang suheng-nya, yaitu dua saudara Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-san menghadapi murid-murid Hoa-san-pai, Kwee Sin bersama kekasihnya, ketua Ngo-lian-pai dan beberapa orang tokoh lagi dari Ngo-lian-kauw, bahkan diam-diam juga dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo, menyerbu Hoa-san, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka-luka dan menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-san itu untuk menebus kematian dua saudara Bun dari Kun-lun-pai."

Beng San membelalakkan matanya "Hebat...!"

Dan hatinya terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok yang kematian ayah mereka.

"Bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-hwa Kui-bo, dia tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Kenapa Kun-lun-pai juga terbawa-bawa dalam hal ini? Bukankah Kwee Sin menyerbu Hoa-san-pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-lian-kauw, bukan atas kehendak Kun-lun-pai?"

"Hoa-san-pai rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari Kwee Sin? Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-lian-kauw dan celakanya, secara rahasia Kwee Sin lalu ikut membantu Ngo-lian-kauw memusuhi partai-partai yang membantu para pejuang! Apa bila dulu kedua partai besar itu, baik Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."

Beng San mendengarkan dengan kening berkerut. "Ah, sayang sekali..." hanya demikian komentarnya.

Dia benar-benar merasa menyesal sekali, mengapa permusuhan yang terang-terangan disebabkan oleh Ngo-lian-kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut. Akhirnya, karena rasa penasaran membuat dia berkata, "Jika kedua partai sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat ketua Ngo-lian-kauw, kenapa mereka tidak memusuhi Ngo-lian-kauw saja?"

"Mereka pun kedua pihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-lian-kauw, akan tetapi dendam di antara Hoa-san dan Kun-lun agaknya lebih parah dan mendalam."

Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena ternyata pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang terjadi, sangat luas.

Kini menjadi jelas bagi Beng San apa yang telah terjadi selagi dia pergi menyembunyikan diri sebagai nelayan.....

Betapa pun luas pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw, ketika ditanya tentang Song-bun-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan lain-lain tokoh sakti itu, Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya.

"Orang-orang seperti mereka itu bukan manusia biasa lagi. Tentu saja mereka tidak peduli tentang perjuangan, oleh karena mereka termasuk orang-orang aneh yang selalu berbeda dengan manusia biasa. Bagaimana bisa mengikuti jejak mereka? Andai kata mereka ikut mencampuri urusan perjuangan, baik yang membela pejuang mau pun yang mendukung Kerajaan Goan, tentu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi."

Agak kecewa hati Beng San karena maksud pertanyaannya tentang orang-orang sakti itu sebenarnya ditujukan untuk mengetahui berita tentang seorang anak perempuan gagu!

"Twako, setelah kau menceritakan semua itu kepadaku, agaknya tidak ada sesuatu yang mendorong kau membutuhkan bantuanku. Jika yang kau maksudkan dengan bantuan itu adalah permintaan seperti dulu agar aku masuk menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai, terpaksa aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Aku suka untuk membantu perjuangan Pek-lian-pai, akan tetapi tidak suka terikat oleh sesuatu perkumpulan kemudian terlibat ke dalam permusuhan-permusuhan yang saling mendendam."

"Aku bisa mengerti pendirianmu, Beng San. Tidak, pertolongan yang kubutuhkan darimu ini lebih bersifat pribadi. Ketahuilah, aku sudah diserahi tugas yang sangat penting oleh pemimpin kami, Ciu Goan Ciang taihiap. Dan sekarang, selagi aku bingung bagaimana akan dapat melakukan tugas ini dengan sempurna, aku bertemu dengan kau. Hatiku yakin bahwa hanya kau seoranglah yang tepat untuk melaksanakan tugas ini."

Berdebar-debar hati Beng San. Tugas dari pemimpin besar Ciu Goan Ciang? Bukan main! Dia merasa sangat terhormat dan bangga sekali. Akan tetapi mukanya yang tampan tidak membayangkan sesuatu.

"Pendekar besar Ciu Goan Ciang amat menyesal dengan adanya gontok-gontokan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. la pun maklum apa yang menyebabkan permusuhan antara dua golongan itu, bukan lain adalah karena siasat pemerintah Mongol yang menggunakan Ngo-lian-kauw. Bulan depan Hoa-san-pai mengadakan pesta perayaan hari ulang tahun ke seratus dari Hoa-san pai. Tentu banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw hadir. Menurut penyelidikan Pek-lian-pai, pada kesempatan ini Kun-lun-pai akan datang kembali untuk membuat perhitungan. Karena permusuhan itu telah berlarut-larut, maka muncullah sahabat-sahabat dan musuh-musuh baru bagi kedua pihak. Ada golongan-golongan yang membantu Hoa-san-pai, sebaliknya banyak pula yang pro kepada Kun-lun-pai. Karena itu dapat diramalkan bahwa akan terjadi sesuatu yang hebat di puncak Hoa-san nanti. Nah, pemimpin kami tidak setuju dengan adanya perpecahan di kalangan kita sendiri, maka dia mempercayakan kepadaku untuk berusaha mendamaikan mereka. Aku membawa surat bagi kedua ketua perkumpulan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tetapi mudah saja diduga bahwa di dalam pertemuan besar itu, pasti di sana akan penuh dengan orang-orang pihak Ngo-lian-kauw dan pihak pemerintah pasti akan menyebar mata-matanya pula. Aku sedikit banyak telah dikenal di antara mereka, maka mereka pasti akan menghalangiku sebelum aku sempat melakukan sesuatu untuk mendamaikan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Juga orang-orangku sebagian besar sudah dikenal. Oleh karena itu, Adik Beng San, engkaulah orangnya yang paling tepat untuk mewakiliku melakukan tugas ini. Sanggupkah kau?"

Beng San mengangguk-angguk. Tugas itu adalah tugas mulia. Tugas untuk mencegah perpecahan antara bangsa sendiri, antara kedua partai besar yang memiliki nama harum.

Apa lagi kalau diingat bahwa di dalam Hoa-san-pai terdapat orang-orang yang di waktu kecil sudah dia kenal baik, terutama Kwa Hong. Ada pun di pihak Kun-lun-pai terdapat cucu murid yang harus dia bela, yaitu Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng yang sudah meninggalkan pesan terakhir kepadanya dan yang harus ia hormati.

"Baiklah, Twako. Aku akan berusaha melakukan tugasmu itu sebaiknya."

Tan Hok nampak girang sekali. Akan tetapi tiba-tiba Beng San menggunakan dua kakinya menginjak lampu merah yang diletakkan di tanah. Lampu seketika padam. Terdengar jerit kesakitan dan robohnya tubuh orang-orang tak jauh dari situ. Disusul pula mendesingnya senjata-senjata rahasia yang menghujani tempat perundingan ini.

Tan Hok sudah cepat memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Senjata dicabut dan mereka melesat ke kanan kiri, mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian berkelebat bayangan putih yang makin lama semakin banyak sekali.

Kiranya tempat itu sudah dikurung, puluhan orang banyaknya yang mengurung. Beberapa orang anggota Pek-lian-pai yang bertugas menjaga di luar tadi sudah dirobohkan musuh.

"Pemberontak-pemberontak Pek-lian-pai, lebih baik kalian menyerah!" terdengar bentakan kasar seorang yang bertubuh tinggi besar.

Tan Hok melihat orang ini, lalu meloncat dari tempat persembunyiannya dan di lain saat dua orang yang tubuhnya sama-sama tinggi besar ini sudah berperang tanding dengan hebatnya. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Tan Hok bertemu dengan golok lawannya itu. Agaknya keduanya adalah ahli-ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti kerbau jantan kuatnya. Nyaring bunyi pertemuan senjata itu dan kedua orang raksasa ini merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan sakit.

Beng San yang masih duduk di tempat tadi karena tiba-tiba semua anggota Pek-lian-pai sudah menghilang, melihat empat orang lain maju dari belakang Tan Hok, siap dengan rantai-rantai besi. Rupa-rupanya mereka ingin menawan Tan Hok dalam keadaan hidup. Sekali menggerakkan kakinya pemuda ini telah melesat ke depan. Kaki tangannya bekerja laksana kilat, dan tanpa mengerti mengapa, empat orang itu tahu-tahu sudah terlempar dan terjengkang ke belakang tanpa dapat bangun lagi karena kaki tangan mereka patah tulangnya!

Setelah melihat bahwa penyerang yang datang menyerbu itu adalah pengemis-pengemis yang dibantu oleh serdadu Mongol, tahulah Beng San bahwa dia harus membantu para anggota Pek-lian-pai. Tubuhnya lalu bergerak ke sana ke mari untuk membantu setiap temannya yang terdesak. Untuk sementara ia meninggalkan Tan Hok karena dari gerakan raksasa itu menghadapi lawannya, dia maklum bahwa Tan Hok akan dapat menang. la lebih mementingkan membantu mereka yang terdesak.

Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan betapa sia-sia kalau melakukan perlawanan secara nekat. Jumlah lawan sangat banyak, ada puluhan orang, malah mungkin tidak kurang dari seratus orang. Sedangkan di pihak Pek-lian-pai hanya ada tujuh belas orang termasuk dia sendiri. Dan pertandingan dilakukan di dalam gelap, kacau-balau! Memang dengan sangat mudahnya Beng San mampu merobohkan belasan orang lawan tanpa membunuh mereka yang merupakan pantangan baginya, akan tetapi juga di antara para anggota Pek-lian-pai, sedikitnya sudah roboh lima enam orang.

Sementara itu, tepat seperti yang diduga oleh Beng San, pelan-pelan Tan Hok dapat mendesak lawannya. Pada suatu saat, ketika lawannya sudah terdesak hebat, perwira Mongol itu secara nekat tanpa mempedulikan datangnya hantaman dari tangan kiri Tan Hok, membacok pundak Tan Hok sekuat tenaga dengan goloknya.

Andai kata Tan Hok melanjutkan pukulannya yang pasti mengenai dada lawan, tak dapat dicegah lagi golok itu pasti akan membabat putus pundaknya. Tan Hok tentu saja tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulannya. Cepat dia menarik tangan kiri dan menggerakkan pedang sekuat tenaga menangkis.

"Krakkk!"

Dua senjata itu bertemu, api berbunga berhamburan dan kedua senjata itu patah! Sambil menggeram marah kedua orang yang bertubuh raksasa ini melempar gagang senjata ke bawah, lalu melanjutkan perkelahian mereka mempergunakan sepasang kepalan tangan yang sebesar kepala orang berikut sepasang kaki yang kokoh kuat.

Hebat luar biasa pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu mengenai sasaran. Akan tetapi keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.

Akhirnya, dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk seperti pohon tumbang.

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang sangat kuat dan cepat, namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah!

Beng San mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget dia melihat temannya itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu dengan tangan kirinya.

"Saudara-saudara, lari...!" serunya cepat dengan suara yang nyaring luar biasa sehingga mengagetkan kedua pihak yang sedang bertempur.

Para anggota Pek-lian-pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan gigih dan nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya. Apa lagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk mundur.

Beng San sendiri mengamuk. Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak mengejar larinya sisa anggota Pek-lian-pai. Tak lama kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada lagi anggota Pek-lian-pai, Beng San lalu meloncat ke belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia sudah dapat meninggalkan semua pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap di antara pohon-pohon besar dan gelap.

Tiba-tiba dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.

Terkejut juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata pedang. Maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.

Namun, dia merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus diperiksa dan diobati, apa lagi dengan mengempit tubuh Tan Hok. Meski dia tidak takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu.

Penyerang itu mengeluarkan seruan kaget, demikian juga Beng San karena pemuda ini merasa betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa mukjijat, membuat lengannya tergetar. Sementara itu, orang tadi sudah menyerang lagi dengan dua kali pukulan.

Kembali Beng San menangkis, kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya lantas terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap ditelan kegelapan malam.

Beng San tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika sedang mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu seorang laki-laki yang sudah memiliki Iweekang yang sangat tinggi, ke dua, pemilik lengan itu adalah seorang wanita!

Menjelang fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok di atas rumput. Ia memeriksa luka pada bagian tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San mengerutkan kening.

"Kejam..." katanya perlahan. Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam.

la maklum bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi, mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam tubuh, dia mengobati luka Tan Hok.

Tentu saja tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im tadi.

Tan Hok mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum. "Kau hebat, Adik Beng San... sudah kuduga... kau lihai sekali..."

"Kau yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum," kata Beng San, benar-benar bangga dan kagum.

Bangga karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan? Pantas saja dia dahulu begitu bertemu sudah merasa sangat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya.

Sambil meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lipat kertas. "Inilah dua surat itu, satu untuk ketua Hoa-san-pai, satu untuk ketua Kun-lun-pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke Hoa-san, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan sampai terjadi pertandingan hebat..."

"Tapi kau..., Twako...?"
"Aku tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya tulang rusuk, itu mudah... yang penting adalah kehadiranmu di sana dan surat-surat ini."
"Baiklah, Twako," berkata Beng San sambil menerima surat-surat itu dan menyimpannya, "jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-san, bukan sebagai seorang Pek-lian-pai, tapi..."
"Hal itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua partai itu tidak saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan kita."

Setelah memesan banyak-banyak, kedua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah perkasa itu biar pun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan cepat untuk menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol.

Ada pun Beng San juga cepat menuju ke Hoa-san. la ingin datang di Hoa-san sebelum perayaan hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan ‘anak-anak’ itu, terutama sekali si ‘kuntilanak’…..
********************
Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi di antara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri. Serentak bermunculan lima orang dari balik batang pohon besar.

Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggota Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh ‘pengemis’ tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.

"Di mana Tan-hiante?" tanya pengemis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.
"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng San.

Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-hiante yang masih hidup. Orang muda, dari Tan-hiante tentu kau sudah menerima tugas pergi ke Hoa-san, bukan?"

Beng San mengangguk. Kakek itu lalu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian.

"Tak baik..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"

Beng San kali ini menggeleng kepala.

"Lebih tidak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang gagah, kau terimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kau tolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami."

Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah mulai dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.

Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas benar dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar!

Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa berpakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapa pun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi yang digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan pula, dia merasa lebih lega.

“Semua ini akan melancarkan perjalananku,” pikirnya.

Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san.

Jalan yang dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan semakin jauh ke utara makin sunyi. Apa lagi dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar di pinggir sungai. la harus menyeberang!

Alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tidak mungkin itu. Ia berhenti di pinggir sungai, memandang ke sana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.

Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar.

Beng San berdiri terkesima pada saat dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai. Gadis itu mendayung perlahan, tapi sengaja menimpakan dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air sehingga air memercik ke atas, mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh.

Mulut yang kecil mungil dan berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya amat manis, dengan sepasang mata yang lebar serta hidung kecil mancung dan sepasang pipi kemerahan. Rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu bahkan menambah kemanisannya.

Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?

Hanya demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia.

Agaknya sudah cukup lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari.

Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir. Siapa pun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba!

"Ehh, Nona yang berperahu...!” la memanggil.

Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota, maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.

Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat-cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biar pun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.

"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus.

Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa makin tidak enak hatinya.

”Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini," katanya lagi.
"Mengganggu katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"

Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.

"Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku...?" la bertanya penuh keheranan.
"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita yang tidak kau kenal!"

Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sesungguhnya sifatnya berkelakar.

"Apa bila orang yang saling tidak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak saling mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang ajar kau.” Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa kurang ajar? Aku hanya minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Apa kau kira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kau kira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.

Sepasang mata itu berkilat-kilat, malah bibir yang tadinya cemberut kini agak tersenyum, seakan-akan dia mulai mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang tegap itu sudah menimbulkan simpatinya sehingga menghapus cemberut di bibirnya.

"Kau bawa uang banyak?"
"Banyak sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada."

Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir!

Beng San diam-diam terkejut sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apa lagi setelah Beng San melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.

"Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"

Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada sekitar satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu pun agak tinggi, ada dua meter dari perahu. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia pura-pura tidak berani dan berkata.

"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meloncat dari sini dan setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.

Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.

"Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau perempuan?"

Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya. Biar pun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol sekali mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.

"Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.

Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!

"Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."

Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.

"Tentu saja aku laki-laki sejati!" katanya mendongkol. "Tidak seperti kau, perempuan yang tukang merengek, hanya karena belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!"

Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil, "Kalau begitu, kau loncatlah!"

Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah telah mengelak dari loncatannya! Dengan kepandaiannya meringankan tubuh tentu saja Beng San dengan mudah sekali akan bisa bersalto ke arah perahu itu, akan tetapi dia memang sudah mengambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya.

Apa boleh buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke... air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.

"Siauw-kwi (Setan cilik)...!" Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam.

Meski pun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San tak akan begitu sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak mempunyai kepandaian bermain di dalam air. Baginya, permainan di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, dan setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air.

la sengaja mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu. Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah kuyup.

Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri kecil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi.

Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air!

Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya. Kiranya bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya.

Benar saja dugaannya. Ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tidak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan besar.

"Laki-laki apa kau ini? Berenang pun tak pandai!" kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air. "Hayo lekas kau pegang pinggiran perahu dan naik," perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke perahu.
"Aku... aku tidak bisa... tolonglah..." Beng San berpura-pura, kini perutnya sudah panas lagi dan otaknya diputar untuk membalas dendam.

Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi ia ulurkan tangan juga mencengkeram pundak Beng San, kemudian menarik pemuda itu ke atas perahu.

Beng San terseret naik. Dengan canggungnya dia mencoba melompat, namun tubuhnya terhuyung-huyung dan akan jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan otomatis ikan besar itu pun turut melayang dengan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.

"liiiihhhhh... apa ini...?!" teriak gadis itu kaget sambil menangkis.

Pipinya memang tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.

"Uiuhhhhh..."

Gadis itu hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggiran perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya.

Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan ketika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.

"Dari mana ikan itu?!" bentaknya.
"Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?" Beng San menggoda.
"Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di air?" Gadis itu memandang penuh curiga.

Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja. "Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."

Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu dia berkata marah, "Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."

Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan, "Memang dia bodoh seperti aku."

"Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!"

Beng San membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.

"Ah, mana bisa ikan dimakan mentah? Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau dipanggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apa lagi daging di kepala dan ekornya, waaah, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar? Kalau ada api di sini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar." Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu.

Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga. la mengangguk dan berkata, suaranya masih aja ketus, "Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?"

Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat dari sutera hijau.

"Eh, kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?" bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.
"Bagaimana aku bisa memanggang ikan?" Beng San tak bisa menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia sendiri masih basah kuyup. "Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."
"Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."
"Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.”
"Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis sabar!"

Beng San makin merasa mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, hal itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biar pun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia?

Dengan bersungut-sungut dia lalu meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya? Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!

Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahu pedang itu sudah di tangannya, "Mau apa kau dengan pedang ini?" bentaknya.

"Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja aku mau membersihkan ikan dan memotong-motongnya."
"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kau pergunakan sebagai alat dapur, bukan?" Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh! Agaknya matamu sudah dipenuhi dengan tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang."

Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan…

"Sratttt…!" sebatang pedang yang putih berkilauan saking tajamnya sudah tercabut dari sarungnya.
"Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!"

Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.

"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya kepada Beng San.

Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir. "Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."

Mendadak wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan dia menarik kembali tangannya.

"Cih, tidak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kau boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."

Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang.

Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun.

Tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata lalu bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan baru dia sadar sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Ketika sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, gadis itu membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum.

Beng San juga diam saja, tapi hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.

"Ampun... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.

Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan sangat cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San yang kini mendapat giliran menonton menjadi kagum.

"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa kau tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.

Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau...”

Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika dia mengangkat muka memandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?"

Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kau majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!"

"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, mengapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."

Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu satu per satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai. Semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.

"Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api."
"Bagaimana? Mana batu apinya?"

Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan."

Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja diletakkan di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar dan menyambar daun yang telah diberi minyak, lalu menyala.

Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.

Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.

"Aduh, bukan main sedap baunya..."
"Itu baru baunya, belum rasanya!" Beng San membanggakan. "Sekali kau mencicipi, aku khawatir tak akan kebagian."
"Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka.

Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.

Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung.

"Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."

Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering itu, dan menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan semua pakaian-pakaiannya, dibungkus lagi di dalam buntalan, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.

"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya.

Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!

"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya dan tidak mengandung maksud apa-apa.

Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata. "Lancang! Kau kira aku... mengintaimu?"

Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ahh, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan."

Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan ikan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai.

Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau cari, aku berjanji akan membantumu."

Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu tulang pundaknya akan remuk kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.

"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan, aku she Tan."
"Sayang..."

Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang kemudian memandang air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis.

Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Pada waktu gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasakan serangan seperti ini.

Tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.

”Andai kata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu.

Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan…

"Srrrattt!"

Pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, perlahan-lahan hanyut terbawa aliran air.

"Kalau kau orang she Bun, kau akan menjadi seperti itulah..." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok.

Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya.

Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong... ehh, ya. Bukankah dia sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini?

Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.

la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. Ia merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun yang agaknya musuh besarnya.

"Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba menghibur.

Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.

"Kau maksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."

Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya yang sengaja hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Ehh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."

Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa."

la segera mendayung perlahan, tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang, merasa bahwa saat perpisahan telah tiba.

Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganmu. Pertolongan menyeberangkan aku dan terutama sekali... pertolongan yang kau berikan ketika aku tenggelam. Nona, kini keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu..." Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.

Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu. Kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan dia mulai menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu.

Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika ia berhasil membuka mulut.

"Nona... kau kenapakah...? Janganlah menangis, ahhh... maafkan kalau tadi aku berkata lancang sehingga menyinggung perasaanmu..."

Tangis dara itu makin menjadi-jadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.

Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat ia telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.

"Tenanglah… diamlah... Nona, jangan menangis. Ahhh, kau membuat aku ikut bersedih..." Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang.

Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus, "Ibuku sudah meninggal... ayah terbunuh orang... aku yatim piatu, sebatang kara... tiada orang tiada tempat tinggal... selalu menerima hinaan orang... baru kau... baru kau seorang yang baik kepadaku..."

"Hemmm, kasihan..." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatang kara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatang kara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."

Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang sangat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.

"Kau baik sekali... kau baik sekali...," berkali-kali gadis itu berbisik.
"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di dalam ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya."

Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.

"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku..."
"Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?"
"Panggil saja aku Eng... sudahlah, kau kenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatang kara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan... alangkah sayangnya... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah... ahh, kalau saja kau pandai silat... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang diri..." la menangis lagi.

Beng San bangkit berdiri, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Nah, aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik."

la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.....

Selanjutnya baca
RAJA PEDANG : JILID-10
LihatTutupKomentar