Kisah Si Pedang Terbang Jilid 08
Kita kembali ke tiga tahun yang lalu. Perkumpulan Nam-kiang-pang (Perkumpulan Selatan Sungai) merupakan perkumpulan silat yang terbesar di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Nam-kiang-pang mempunyai sumber yang kuat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, maka para pimpinannya mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini adalah karena pendirinya dahulu memang murid Bu-tong-pai yang kemudian menjadi murid Siauw lim-pai. Sampai sekarang hubungannya dengan kedua partai besar itu amat dekat.
Ketua Nam-kiang-pang bernama Tio Kui Po yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-to (Golok Sakti Bumi Langit). Dia berusia lima puluh tahun, gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Ilmu silatnya hebat apa lagi ilmu goloknya.
Namun Tio-pangcu (ketua Tio) sering kali termenung dengan hati penasaran. Dia memiliki banyak murid, akan tetapi di antara sekian banyaknya murid, hanya ada satu orang saja yang mempunyai bakat yang baik. Nama murid ini Ciu Kang Hin, seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Padahal yang dia harapkan dan dia sayangi adalah seorang pemuda yang bernama Tio Ki Bhok, yaitu keponakannya sendiri.
Akan tetapi pemuda yang usianya dua puluh tahun ini bahkan ketolol-tololan dan biar pun telah digemblengnya secara istimewa namun hasilnya tidak memuaskan hatinya, bahkan mengecewakan. Sering kali Tio-pangcu melamun dan bersedih.
Pada suatu sore Tio-pangcu berjalan-jalan seorang diri di tepi sungai. Bagian tepi sungai itu sunyi sekali. Selagi Tio-pangcu berjalan sambil termenung, bermaksud pulang karena kepergiannya sudah cukup jauh dan dia tidak ingin kemalaman di jalan, tiba-tiba dari balik semak belukar di tepi sungai muncul belasan orang berpakaian serba hitam dan mereka semua mengenakan topeng seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang Beng-kauw, Tiga belas orang itu mengepungnya dengan sikap mengancam.
Tio-pangcu dengan tenangnya menghadapi mereka. Dia mengangkat kedua tangannya di depan dada lantas berkata, "Cuwi. (anda sekalian) siapakah? Dan ada keperluan apakah menghadangku? Aku Tio Hui Po rasanya tidak pernah bermusuhan dengan cuwi."
"Tio-pangcu, Nam-kiang-pang selalu memandang rendah terhadap Beng-kauw kami. Kini kami mendapat kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kepandaian ketua Nam-kiang-pang maka demikian sombongnya terhadap kami."
Tio-pangcu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi kalian adalah orang-orang Beng-kauw? Ketahuilah, kita dipandang orang karena ulah kita sendiri. Dipandang rendah atau tinggi merupakan penggambaran dari perbuatan kita. Siapa yang tidak tahu bahwa Beng-kauw adalah golongan sesat yang tidak pantang berbuat jahat? Misalnya perbuatan rendah seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Tentu saja kalian dipandang rendah!"
Belasan orang itu menjadi marah. "Tio Hui Po manusia sombong, rasakan pembalasan kami.”
Mereka lalu menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Tio-pangcu. Orang-orang Beng-kauw itu menggunakan bermacam senjata yang aneh-aneh, sedangkan Tio Hui Po segera mencabut goloknya.
Sinar golok yang dimainkan Tio-pangcu bergulung-gulung menyilaukan mata hingga sukar bagi para pengeroyoknya untuk dapat menembus perisai sinar golok itu dengan senjata mereka. Pada saat itu pula muncul seorang pemuda yang dengan gagahnya menghardik,
"Belasan orang mengeroyok seorang saja. Pengecut!" Pemuda itu menggunakan pedang membantu Tio-pangcu dan ternyata gerakannya cukup hebat.
Sebenarnya Tio Hui Po tidak perlu dibantu karena goloknya cukup kuat untuk melawan tiga belas orang itu, malah dia yang merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka di tangan orang-orang Beng-kauw yang lihai. Maka dia memutar goloknya dengan cepat sambil mendekati pemuda itu untuk melindunginya. Akan tetapi terlambat.
Apa yang dikhawatirkan terjadi. Tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan pundaknya berdarah. Melihat ini Tio-pangcu menggerakkan goloknya lebih cepat lagi dan dua orang pengeroyok roboh.
Akan tetapi pada saat itu seorang di antara para pengeroyok melepas benda peledak di atas tanah. Terdengar suara ledakan dan asap mengepul tebal. Tio-pangcu yang khawatir kalau asap itu beracun, langsung melompat kemudian menarik tangan pemuda itu, dibawa meloncat menjauhi asap. Ketika mereka memandang, ternyata belasan orang itu sudah melarikan diri di balik asap.
Tio-pangcu membawa pemuda itu menjauh, namun tiba-tiba pemuda itu mengeluh lantas terkulai pingsan. Cepat Tio Hui Po merangkul dan memeriksa lukanya. Luka di pundak.
Untung tidak merusak tulang, hanya saja mengeluarkan banyak darah. Agaknya luka itu mengandung racun sehingga pemuda itu tidak sadarkan diri. Cepat dia menotok beberapa jalan darah supaya racun tidak menjalar semakin jauh dan menggunakan obat penghisap racun, sambil membantu dengan penyaluran tenaga sakti.
Akhirnya pemuda itu mengeluh, sadar dan bangkit. Seuntai kalung keluar dari balik baju di dadanya.
Melihat kalung itu, Tio-pangcu terkejut dan terheran-heran. Kalung itu sama benar dengan kalung yang selama ini disimpan dan dipakainya. Namun dia menahan gejolak hatinya dan diam saja. Ketika pemuda yang usianya sekitar delapan belas tahun dan berwajah tampan itu membuka matanya, dia segera bangkit duduk kemudian memberi hormat kepada Tio-pangcu.
"Terima kasih atas pertolongan locianpwe. Saya harus malu, saya yang mau membantu locianpwe tetapi sekarang malah ditolong."
"Siapakah engkau, orang muda? Ilmu pedangmu cukup baik, akan tetapi agaknya engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Beng-kauw yang amat berbahaya.”
"Saya bernama Tong Seng Gun, locianpwe. Kebetulan sekali saya sedang berada di sini ketika melihat locianpwe dikeroyok banyak orang. Saya sedang mencari seseorang."
"Siapa yang kau cari? Mungkin aku mengenalnya dan mengetahui di mana dia berada."
"Dia adalah ketua perkumpulan Nam-kiang-pang, bernama Tio Hui Po. Apakah locianpwe mengenalnya?"
Tio-pangcu memandang tajam ketika menjawab, "Akulah yang bernama Tio Hui Po ketua Nam-kiang-pang. Orang muda, mau apakah engkau mencari aku?"
Orang muda itu terbelalak, nampak terkejut sekali dan memandang kepada Tio-pangcu, kemudian dia menjatuhkan dirinya sambil menangis. Tio-pangcu menyentuh pundaknya, mengangkatnya bangun agar tidak berlutut.
"Tenanglah dan ceritakan kepadaku mengapa engkau mencari aku."
"Ahh, locianpwe, beruntung sekali saya dapat bertemu dengan locianpwe sesudah lama saya cari. Ketahuilah bahwa saya adalah keponakan dari mendiang Siang-cu Sianli ketua Ang-lian-pang (Perkumpulan Teratai Merah) di Hang-kouw.”
"Apa?!" Tio-pangcu terkejut. "Si-ang-cu Sianli telah mati? Apa yang terjadi?"
"Tiga bulan yang lalu Ang-lian-pang diserbu oleh Beng-kauw, dan akhirnya bibi tewas di tangan mereka."
"Ahh…” Tio-pangcu mengepal tinju, memejamkan matanya dan membayangkan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.
Ketika itu dia masih muda dan belum menjadi ketua Nam kiang-pang. Ia bertemu dengan Siang-cu Sianli, keduanya masih muda dan Siang-cu Sianli juga baru menjadi calon ketua Ang-lian-pang. Keduanya saling jatuh cinta, namun sebagai calon ketua keduanya tentu saja tidak boleh menikah. Hubungan mereka akrab sekali, keakraban yang mendalam dan karena tidak dapat menahan diri, akhirnya mereka pun melakukan hubungan badan.
Siang-cu Sianli lalu pergi menyembunyikan diri dengan dalih ingin memperdalam ilmunya. Setelah dia melahirkan seorang anak laki-laki, dia membawa anak itu kepada Tio Hui Po dan menyerahkan anak itu kepada ayahnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena dia harus melakukan upacara pengangkatan sebagai ketua Ang-lian-pang.
Tio Hui Po menjadi pusing tujuh keliling ketika menerima anak laki-laki yang masih bayi itu. Dia sendiri adalah calon ketua Nam-kiang-pang. Maka terpaksa dia menemui Tio Sun Po, adiknya yang sudah berkeluarga, sambil membawa anak itu dan mengatakan bahwa terpaksa membawa anak laki-laki itu karena ibunya tewas oleh penjahat dan anak itu tidak mempunyai keluarga lagi.
Tio Sun Po menerima dan memelihara anak itu yang diberi nama Tio Ki Bhok, diaku anak oleh Tio Sun Po. Setelah anak itu berusia belasan tahun, Tio Hui Po yang sudah menjadi ketua Nam-kiang-pang lalu mengambilnya, kemudian melatih ‘keponakannya’ ini dengan ilmu silat.
Demikianlah hal-hal yang teringat oleh Tio Hui Po pada waktu itu. Kini bekas kekasihnya atau ibu Tio Ki Bok, Siang-cu Sian-li, sudah tewas oleh orang-orang Beng-kauw. Bahkan tadi dia sendiri pun diserang oleh orang-orang Beng-kauw!
"Akan tetapi, kenapa engkau mencari aku?" akhirnya dia bertanya.
"Maaf, locianpwe. Sebelum meninggal karena luka-lukanya, bibi Siang-cu menyerahkan kalung ini kepada saya. Beliau minta supaya saya mencari locianpwe dengan pesan agar locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, agar kelak saya dapat membalaskan sakit hati ini kepada Beng-kauw."'
Tio-pangcu menerima kalung itu, mengamatinya sejenak dan dia yakin bahwa itu adalah kalung yang dahulu diberikannya kepada kekasihnya. Dia termenung dengan hati sedih membayangkan kekasihnya itu terbunuh oleh orang Beng-kauw. Dan dia segera teringat bahwa di antara muridnya tidak ada yang berbakat kecuali hanya satu orang, maka tidak ada jeleknya memenuhi permintaan terakhir dari Siang-cu Sian-li. Apa lagi dia tadi sudah melihat bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cukup tangkas.
"Baiklah, Seng Gun. Demi Siang-cu Sian-li aku menerima engkau menjadi muridku," kata Hui Po.
Mendengar ini, dengan girang Seng Gun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tio-pangcu. Demikinlah, mulai saat itu, Seng Gun menjadi murid Tio-pangcu. Sama sekali Tio Hui Po tidak pernah menduga bahwa dia sudah memelihara anak harimau yang buas dan kelak akan membahayakan dirinya.
Seperti kita ketahui, Seng Gun adalah cucu yang diangkat putera oleh Kwi-jiauw Lomo salah seorang di antara Sam Mo-ong yang menjadi utusan orang Mongol. Dan Seng Gun menerima tugas khusus dari Sam Mo-ong untuk membantu gerakan Hoat-kauw.
Para penyelidik Hoat-kauw menyelidiki partai-partai persilatan serta aliran yang tidak mau diajak kerja sama, lalu melakukan siasat adu domba di antara mereka. Musuh utamanya yang terkuat adalah Beng-kauw karena Beng-kauw memiliki banyak orang pandai. Maka mereka berusaha mengatur supaya Beng-kauw dimusuhi semua aliran dengan melakukan perbuatan fitnah yang dijatuhkan kepada Beng-kauw.
Perkumpulan Ang-sin-liong yang diketuai oleh Siang-cu Sian-li diserbu dengan menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw, kemudian mereka berhasil membunuh Siang-cu Sian-li. Mereka telah menyelidiki dan mengetahui rahasia Tio pangcu, maka Seng Gun mendapat tugas rahasia untuk menyelundup ke dalam Nam-kiang pang sebagai keponakan Siang-cu Sian-li.
Hal ini adalah karena pihak Hoat-kauw maklum betapa lihainya Thian-te Sin-to Tio Hui Po dan nama besar Nam-kiang-pang sangat berpengaruh. Kalau mereka berhasil menguasai Nam-kiang pang, maka akan mudah sekali untuk menggerakkan perkumpulan lain untuk memusuhi Beng-kauw.
Hampir dua tahun Seng Gun menerima gemblengan dari Tio-pangcu. Ia menyembunyikan kepandaiannya sendiri sehingga baik suheng-suheng-nya mau pun suhu-nya sendiri tidak tahu bahwa dia telah mempunyai kepandaian tinggi. Ketika dia membantu Tio-pangcu dua tahun yang lampau, menghadapi pengeroyokan orang-orang Beng-kauw yang sebetulnya adalah anak buah Hoat-kauw yang menyamar, dia sengaja tidak memperlihatkan ilmunya sehingga Tio-pangcu yang lihai pun dapat dia kelabui.
Selama dua tahun dia berhasil mempelajari banyak ilmu, mungkin hanya sedikit di bawah suheng-nya Ciu Kang Hin. Diam-diam Tio-pangcu merasa gembira mendapat kenyataan bahwa Seng Gun amat berbakat, tidak kalah dibandingkan dengan Kang Hin sehingga kini dia mempunyai dua orang murid yang boleh diandalkan.
Walau pun sudah menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Tio-pangcu, Seng Gun yang haus akan ilmu itu masih merasa penasaran sekali karena gurunya belum juga mengajarkan Thian-te To-hoat (Ilmu Golok Bumi Langit). Gurunya itu selalu mengatakan belum waktunya, namun menjanjikan kepada Kang Hin dan Seng Gun karena hanya dua orang murid inilah yang tingkatnya sudah cukup kuat untuk mewarisi ilmu golok yang telah mengangkat nama besarnya itu.
Seng Gun merasa penasaran. Kerap kali secara diam-diam dia menyelidiki dan mencari-cari dalam ruang perpustakaan Nam-kiang-pai. Padahal kalau tidak mendapat ijin khusus dari Tio-pangcu, siapa pun dilarang mengaduk kitab-kitab di ruangan itu.
Pada suatu malam, pada saat dia sedang mencari kitab dan membuka-buka kitab lama di perpustakaan itu, berkelebat empat bayangan orang dan Seng Gun terkejut melihat dua orang susiok (paman guru) serta dua orang suheng telah berada di situ dengan pedang di tangan.
"Susiok dan suheng, ada apakah?" tanyanya khawatir sebab empat orang itu menatapnya dengan penuh kecurigaan.
"Tong-sute, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya So Liong, seorang di antara kedua suheng-nya sambil memandang penuh kecurigaan.
"Aku tidak melakukan apa-apa, suheng, hanya membersihkan debu dari kitab-kitab ini," jawab Seng Gun dengan sikap wajar.
"Seng Gun, engkau tentu sudah tahu bahwa dilarang keras kepada siapa pun juga untuk membaca kitab di sini tanpa ijin khusus dari pangcu!" kata Cang Hok, seorang susiok-nya.
Seng Gun memang sudah lama mengetahui bahwa dua orang susiok-nya dan dua orang suheng-nya ini tidak suka kepadanya, mungkin karena iri hati melihat dia sangat disayang Tio-pangcu dan dilatih ilmu-ilmu simpanan. Tetapi dia tetap tenang dan menjawab dengan wajar.
"Susiok, saya tidak membaca kitab, hanya melihat-lihat saja sambil membersihkan. Bila saya dianggap bersalah, saya siap dilaporkan kepada suhu dan menerima hukuman."
Di dalam ucapannya itu terkandung pengakuan bersalah, akan tetapi juga ancaman untuk melaporkan kepada ketua. Dia maklum bahwa suhu-nya yang sangat sayang kepadanya tidak akan memarahinya hanya karena urusan sekecil itu.....
Empat orang itu pun menyadari akan hal ini. Mereka memang merasa tidak suka terhadap Seng Gun dan merasa curiga kepada pemuda yang pandai membawa diri itu. Ingin sekali mereka membuktikan Seng Gun melakukan suatu kesalahan besar, maka mereka sering kali melakukan pengintaian. Bahkan mereka pernah melakukan penggeledahan di dalam kamar pemuda itu, namun secara diam-diam Seng Gun sudah mengetahui akan hal ini.
"Kami belum melihat engkau melakukan kesalahan besar," kata Cang Hok. "Akan tetapi engkau sudah melakukan pelanggaran. Kita semua harus menjaga tempat ini agar jangan sampai dimasuki musuh yang akan mencuri kitab-kitab Nam-kiang-pang."
"Saya mengaku bersalah, lain kali tidak akan berani lagi,” kata Seng Gun menundukkan mukanya yang berubah merah karena diam-diam merasa mendongkol sekali. Mulai saat itu dia bersikap hati-hati sekali dan diam-diam memikirkan cara untuk melenyapkan empat orang yang dapat membahayakan dirinya itu.
Pada suatu senja seperti biasa dia berjalan seorang diri di luar perkampungan Nam-kiang-pang. Sudah sering dia melakukan hal ini, sebagai umpan untuk memancing kecurigaan. keempat orang itu dan sekali ini dia berhasil baik. Secara diam-diam empat orang itu telah membayanginya!
Hal ini mudah diketahuinya karena tanpa disadari oleh mereka, tingkat kepandaiannya memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Pernah dia memancing kecurigaan dua tiga orang di antara mereka, namun belum pernah keempat-empatnya. Akan tetapi hari ini dia benar-benar berhasil. Empat orang itu terpancing dan membayanginya.
Seng Gun sengaja melakukan gerak-gerik yang mencurigakan. Beberapa kali dia menoleh ke kanan kiri dan belakang, lantas menyelinap di antara pohon-pohon sambil mengintai ke sekeliling, kemudian dengan cepatnya ia berlari menuju ke tepi sungai, menyusuri sungai menuju ke barat. Diam-diam dia memperhatikan dan merasa girang melihat berkelebatnya empat bayangan susiok dan suheng-nya yang masih tetap membayanginya. Setelah tiba di tempat yang dikehendaki, dia meniup sempritan yang mengeluarkan suara melengking panjang.
Dari sebuah perahu kecil yang memang sudah siap di situ, berlompatan lima orang yang mengenakan kedok hitam. Mereka ini segera menerjang empat orang anggota Nam-kiang-pang yang mengintai Seng Gun!
Karena diserang secara mendadak, maka tentu saja kakak beradik Cang Hok dan Cang Sui bersama dua orang murid keponakan mereka terpaksa muncul dari persembunyian mereka kemudian melawan mati-matian.
Akan tetapi ternyata kelima orang itu lihai bukan main. Dari cara mereka berpakaian dan dari kedok yang menyembunyikan muka mereka dapatlah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang Beng-kauw. Melihat mereka telah bertempur, Seng Gun berlari menghampiri kemudian menggerakkan goloknya dan dia ikut menyerang murid-murid Nam-kiang-pang!
"Pengkhianat!" Cang Hok berseru marah dan dia menyerang Seng Gun dengan goloknya. Akan tetapi ketika Seng Gun menangkis, dia terkejut bukan main. Goloknya hampir saja terlepas dari pegangan, dan ketika pemuda itu menyerangnya, dia semakin kaget karena ilmu golok yang dimainkan Seng Gun amat hebat.
Tiga orang kawannya juga menghadapi lawan berat. Coa An Hok dan So Liong telah lebih dahulu roboh oleh senjata lawan. Adiknya Cang Sui, yang juga membela diri mati-matian, kini sedang melawan seorang lawan yang agaknya seorang wanita, karena lawannya itu mengeluarkan suara tawa merdu dan menggerakkan pedangnya secara istimewa sekali. Ternyata Cang Sui juga tidak dapat bertahan lama. Sebuah tusukan menembus dadanya dan dia pun roboh tanpa bersuara lagi.
Pada saat itu pula terdengar teriakan, "Hentikan perkelahian!"
Seng Gun segera mengenal suara Cu Kang Hin, maka dia cepat berbisik kepada wanita yang memimpin serangan itu "Cepat, robohkan yang seorang ini lalu serang aku!"
Dia sendiri lantas berbalik menyerang mereka yang berkedok sedangkan wanita berkedok yang baru saja merobohkan Cang Sui, sudah menyerang Cang Hok dengan gerakan yang dahsyat. Seperti juga adiknya, Cang Hok tidak mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini dan dia pun roboh dengan leher hampir putus!
Ciu Kang Hin melihat dari jauh pada saat rekan-rekannya bertanding melawan lima orang berkedok amat yang lihai. Dia terkejut dan marah sekali melihat dua orang susiok dan dua orang sute-nya roboh, dan hanya tinggal sute-nya Seng Gun saja yang nampaknya masih dapat bertahan. Segera dia terjun, akan tetapi pada saat itu dia melihat Seng Gun roboh sambil berteriak,
"Tolong suheng…!"
Dia melihat lima orang berpakaian dan berkedok hitam itu berloncatan ke dalam sebuah perahu kecil yang segera didayung ke tengah sungai. Terpaksa dia tidak dapat mengejar dan segera menghampiri Seng gun yang merintih.
Tadi Kang Hin merasa curiga melihat Seng Gun seorang yang masih bertahan sedangkan dua orang susiok dan dua orang sute yang lain telah roboh. Namun kecurigaannya lenyap ketika dia melihat bahwa paha kanan Seng Gun terluka.
Luka itu mengeluarkan banyak darah, akan tetapi tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa yang lain, Kang Hin terkejut karena keempat orang rekan itu telah tewas. Juga Seng Gun menangis ketika melihat dua orang susiok dan dua orang suheng tewas dalam keadaan menyedihkan.
"Suatu saat akan kubasmi orang-orang Beng-kauw!" Berulang-ulang dia berteriak sambil mengepalkan tinju.
"Sute, apakah yang telah terjadi di sini? Kenapa kalian dapat bentrok dengan orang-orang Beng-kauw?"
"Aku juga tidak tahu kenapa, suheng," kata Seng Gun sementara suheng-nya memeriksa dan mengobati lukanya.
"Ketika aku berjalan-jalan dan tiba di sini, kulihat Coa-suheng, So-suheng dan dua orang susiok sedang dikeroyok lima orang tadi dan ternyata mereka lihai bukan main. Tentu saja aku segera membantu, akan tetapi terlambat, bahkan aku sendiri terluka. Untung engkau datang, suheng, kalau tidak tentu aku pun sudah tidak berada di dunia lagi. Mereka begitu ganas dan kejam, orang-orang Beng-kauw terkutuk!"
"Hemm, sute, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka itu orang-orang Beng-kauw?" dengan tenang Kang Hin bertanya sambil membalut paha Seng Gun.
Seng Gun terbelalak memandang kepada Kang Hin. "Siapa lagi kalau bukan Beng-kauw, suheng? Lihat saja cara mereka berpakaian dan berkedok. Sudah semenjak dulu mereka memusuhi kita, bahkan suhu sendiri pernah diserang.”
"Aku tidak yakin, sute. Justru kedok-kedok itu yang memungkinkan siapa saja menyamar sebagai orang Beng-kauw dan kita menerimanya dengan mudah seolah-olah Beng-kauw adalah pelaku segala bentuk kejahatan."
"Tapi, suheng. Aku yakin mereka itu orang-orang Beng-kauw."
"Apa alasanmu, sute? Apa buktinya? Apakah mereka mempergunakan ilmu khas Beng-kauw?"
Seng Gun termenung. "Ahhh, aku tadi mendengar seorang di antara mereka mengatakan begini, ‘Baru kau tahu bahwa Beng-kauw tidak boleh dibuat sembarangan’. Nah, mereka jelas orang Beng-kauw, suheng."
Kang Hin mengerutkan alisnya. "Kalau memang benar seorang di antara mereka berkata begitu, boleh jadi mereka itu orang Beng-kauw. Sayang aku datang terlambat untuk dapat membuktikan sendiri."
"Hei, suheng! Apakah engkau sudah tidak percaya kepadaku? Apakah kau kira aku sudah berbohong?"
"Bukan demikian, sute. Aku hanya ingin yakin. Bayangkan saja kalau kemudian ternyata bahwa kita salah duga, bahwa mereka itu bukan orang-orang Beng-kauw, dan kita sudah terlanjur memusuhinya."
"Aku berani sumpah dan yakin benar bahwa mereka itu dari Beng-kauw, suheng. Bahkan suhu juga telah yakin kalau mereka adalah orang-orang Beng-kauw yang sengaja mencari permusuhan dengan kita. Siapa yang tidak tahu macam apa orang-orang Beng-kauw itu? Ang-lian-pang dibasmi habis, bibiku tewas di tangan mereka, apakah itu bukan bukti yang paling Jelas? Suhu sendiri pernah diserang dan dikeroyok, apakah itu masih meragukan?"
"Sudahlah, sute. Sama sekali aku tidak meragukanmu, hanya ingin cermat. Mari kita laporkan musibah ini kepada suhu."
Dengan terpincang-pincang Seng Gun mengikuti suheng-nya kembali ke perkampungan Nam-kiang-pang dan tentu saja semua anggota perkumpulan itu menjadi gempar sesudah mendengar bahwa empat orang rekan mereka tewas terbunuh di tepi sungai itu. Dengan pakaian berkabung Tio-pangcu sendiri berjalan mondar mandir di depan empat buah peti mati itu sambil berulahg kali menghela nafas panjang dan dengan alis berkerut.
Setelah acara perkabungan dan pemakaman empat orang tokoh Nam-kiang-pang selesai, Tio-pangcu memanggiI semua sute-nya dan muridnya. Di depan mereka dia menyatakan bahwa dia telah memilih Ciu Kang Hin dan Tong Seng Gun sebagai ahli waris yang akan mewarisi ilmu Thian-te To-hoat. Dengan begitu berarti pula bahwa dia sudah mengangkat kedua orang muda itu sebagai calon pimpinan Nam-kiang-pang. Sudah menjadi peraturan Nam-kiang-pang bahwa ketuanya dan pimpinan tertingginya harus orang yang menguasai Thian-te To-hoat dan ilmu ini hanya dapat diperoleh secara turun temurun.
Sesudah itu Tio-pangcu mengajak kedua orang murid utama ini ke ruangan sembahyang dan di depan meja sembahyang para guru besar Nam-kiang-pang, kedua orang murid ini disuruh berlutut sambil mengucapkan sumpah setia. Demikianlah, sejak hari itu keduanya digembleng ilmu golok yang dahsyat itu.
Tentu saja diam-diam Seng Gun merasa gembira sekali karena hal ini merupakan satu di antara tujuannya menyusup ke dalam Nam-kiang-pang. Dia harus dapat menguasai Nam-kiang-pang dan menghasut partai-partai besar supaya memusuhi Beng-kauw, kemudian saling bermusuhan sehingga melemahkan mereka dan Hoat-kauw akan dapat menguasai dunia kangouw. Kalau sudah begitu, bangsa Mongol dapat dengan mudahnya menyerbu ke selatan karena di setiap tempat tentu akan dibantu orang-orang kangouw yang sudah takluk kepada Hoat-kauw!
Seng Gun seakan berlomba dengan Kang Hin untuk menguasai Thian-te To-hoat. Hal ini amat menyenangkan hati Tio Hui Po karena kedua orang murid itu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali sehingga hanya dalam waktu setengah tahun saja keduanya telah menguasai ilmu golok Thian-te To-hoat dengan baik.
Hari itu Tio-pangcu mengumpulkan lagi semua muridnya dan menyatakan perang dengan Beng-kauw. "Kita harus membasmi Beng-kauw dan melenyapkan mereka dari muka bumi. Bunuh semua anggota Beng-kauw, berikut seluruh keluarga mereka!"" kata Tio Hui Po.
"Maaf, suhu. Teecu khawatir kalau keliru menangkap pesan suhu. Suhu memerintahkan untuk membasmi seluruh anggota Beng-kauw berikut keluarganya?" tanya Kang Hin yang merasa heran mendengar pernyataan suhu-nya.
Kedua mata Tio Hui Po mencorong sehingga para anggota Nam-kiang-pang memandang kepada Ciu Kang Hin dengan rasa khawatir. "Bagaimana engkau bisa keliru menangkap, Kang Hin? Engkaulah yang akan menggantikan aku menjadi ketua, jadi engkau juga yang akan memimpin Nam-kiang-pang membasmi Beng-kauw!"
"Maaf, suhu. Kalau teecu meragukan perintah itu, adalah karena perintah itu tidak sesuai dengan sikap suhu selama ini. Suhu selalu bersikap bijaksana, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar."
"Kang Hin!" gurunya membentak. "Apa kau kira orang-orang Beng-kauw ada yang benar? Mereka telah membasmi Ang-lian-pang, membunuh para pemimpinnya. Mereka juga telah menyerangku tanpa sebab, bahkan kemudian membunuh Cang Hok, Cang Hui, Coa An Hok, dan So Liong tanpa sebab pula. Apakah semuanya itu belum cukup membuktikan kejahatan mereka? Jika mereka tidak dibasmi, tentu mereka akan merajalela. Membasmi rumput liar harus sampai ke akar-akarnya."
"Suhu, teecu akan berdiri pada barisan paling depan untuk membasmi Beng kauw!" Seng Gun berkata kepada gurunya yang sedang marah itu. "Teecu akan memberi contoh dan semangat kepada suheng."
"Bagus, memang seharusnya Kang Hin dapat merasakan apa yang kau rasakan. Selain itu bersiaplah engkau, Kang Hin. Setelah saatnya tiba aku akan menyerahkan kedudukan ketua kepadamu, tentu saja kalau kuanggap engkau telah cukup dewasa untuk mernimpin Nam-kiang-pang sesuai dengan cita-citaku."
Kang Hin memberi hormat, tidak berani membantah lagi walau pun di dalam hatinya dia tidak suka menjadi ketua kalau diharuskan membasmi Beng-kauw. Sesungguhnya bukan sekali-kali dia memihak kepada Beng-kauw, hanya dia tidak dapat menerima kalau Beng-kauw harus dibasmi seluruhnya. Bagi dia, setiap golongan tidak dapat disebut semuanya baik atau semuanya buruk. Pasti ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang jahat tentu ada pula yang tidak jahat.
Bila semua harus dibunuh tanpa pilih bulu, kemudian yang tidak jahat ikut pula terbunuh, sungguh suatu hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gagah! Dia sendiri mendapat pengertian ini dari gurunya. Apa bila sekarang suhu-nya bersikap seperti itu, maka hal ini adalah karena suhu-nya sudah mabok dendam dan sakit hati sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar dan yang salah.
Tio-pangcu lalu mengirim undangan untuk semua partai persilatan, terutama sekali Siauw-lim-pai dan Butong pai, dan sesudah semua wakil hadir dia lalu menceritakan tentang apa yang diperbuat Beng-kauw terhadap Nam-kiang-pang. Betapa Beng-kauw menyerangnya tiga tahun yang lalu, kemudian tanpa sebab menyerang dan membunuh dua orang, sute-nya dan dua orang muridnya.
"Karena itu, demi menjaga keamanan di dunia kangouw dan demi menegakkan keadilan dan kebenaran, kami memohon pengertian para sahabat di dunia kangouw dan mengajak para sahabat untuk bersama-sama memusuhi dan membasmi gerombolan Beng-kauw," kata Tio Hui Po.
"Wah, hal itu lebih mudah diucapkan dari pada dilaksakan!" kata Yu-pangcu ketua Kong-thong-pai yang kebetulan dapat hadir sendiri karena pusat perkumpulan itu tidak terlalu jauh dari Nam-kiang-pang. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi kurus dan berjenggot panjang. "Siapa yang tidak tahu akan kelihaian para pimpinan Beng-kauw? Selain mereka memiliki ilmu yang aneh-aneh, juga dua macam ilmu Matahari Merah dan Salju Putih kiranya sukar dicari tandinganya!"
Banyak wakil perkumpulan yang hadir menganggukkan kepala menyetujui pendapat ini.
"Maaf, Yu-pangcu. Kalau hendak membasmi penjahat maka yang masuk hitungan adalah kejahatannya, bukan kepandaiannya. Bila mereka jahat dan membahayakan masyarakat, bagaimana pun lihainya tetap harus kita basmi. Justru karena mereka itu lihai, maka kami mengundang cuwi untuk bekerja sama. Betapa pun lihainya musuh, apa bila kita bekerja sama, masa tidak dapat ditumpas? IImu Matahari Merah dan Salju Putih boleh jadi hebat, tetapi Thian-te To-hoat kami kiranya akan mampu menghadapinya! Apa lagi ilmu-ilmu dari Siauw-lim-pai, Butong-pai, Kun-lun-pai dan Gobi-pai, juga tak kalah dibandingkan dengan ilmu yang mana pun juga.”
Kembali banyak orang menyatakan setuju dan mereka kembali bersemangat. Tio-pangcu ingin sekali mendengar pendapat dua partai besar yang juga merupakan sumber ilmu dari partainya, yaitu Siauw-lim-pai dan Butong-pai. Karena kedua partai besar ini tidak dihadiri oleh ketuanya tetapi hanya oleh wakilnya, maka dia bertanya kepada mereka.
"Kami mohon pendapat suhu dari Siauw-lim-pai dan totiang dari Butong-pai."
Mendengar ini, hwesio Siauw-lim-pai dan tosu Butong-pai saling pandang dan tersenyum.
"Omitohud, kalau mencegah terjadinya kejahatan, itu memang menjadi tugas kami, tetapi memusuhi aliran tertentu, hal itu harus ada perintah dari pimpinan kami. Pinceng hanya akan melaporkan pertemuan hari ini kepada pimpinan kami, namun pinceng tidak berani mengambil keputusan sendiri."
"Siancai…! Ucapan sobat dari Siauw-lim-pai itu memang cocok sekali. Pinto hanya dapat mengatakan bahwa memang Butong-pai menentang semua perbuatan jahat, menentang orang yang sudah terbukti melakukan perbuatan jahat. Baik dia itu orang Beng-kauw atau orang Butong-pai sendiri, kalau perbuatannya jahat, pasti kami tentang. Karena itu, untuk memusuhi dan membasmi semua orang Beng-kauw, tidak peduli dia itu sudah melakukan kejahatan atau belum, pinto tidak berani memberi keputusan, haruslah melalui keputusan rapat para pimpinan. Pinto akan melaporkan hasil pertemuan saat ini."
Demikianlah, rapat itu selesai dan yang mendukung usul Tio-pangcu adalah perkumpulan-perkumpulan kecil, terutama yang memang sudah mempunyai permusuhan dengan Beng-kauw. Ada pun perkumpulan lain seperti Siauw-lim-pai dan Butong-pai akan melaporkan dulu kepada pimpinan mereka.
Maka mulai hari itu juga orang-orang Beng-kauw dikejar-kejar oleh banyak perkumpulan. Terutama sekali oleh Nam-kiang-pang yang dipimpin oleh Seng Gun dan Kang Hin.
Seng Gun maklum bahwa jika dia tidak dapat melempar fitnah meyakinkan kepada Kang Hin, pasti gurunya akan memilih Kang Hin sebagai calon ketua. Dia sendiri masih meragu untuk menyerang Kang Hin, karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu golok, dia masih tidak mampu menandingi pemuda perkasa itu.
Namun Kang Hin berhati lembut sehingga kalau dia dapat membuat pemuda itu tersudut, tentu dia bisa menguasai suheng-nya. Juga dalam pembasmian orang-orang Beng-kauw, jelas bahwa Kang Hin memperlihatkan sikap tidak tega kalau yang dibunuh itu tidak jelas kesalahannya.
Pada saat mereka menyerbu rumah seorang anggota Beng-kauw di dusun sebelah barat bukit, Seng Gun dan anak buahnya menyerbu rumah itu. Anggota Beng-kauw yang sudah lama keluar dari Beng-kauw itu tidak melakukan perlawanan yang berarti, maka segera dapat dibunuhnya dengan mudah. Isterinya yang masih muda beserta dua orang anaknya minta-minta ampun, dan Kang Hin hendak melepas mereka, namun Seng Gun berkeras membunuhnya. Kang Hin membuang muka ketika peristiwa itu terjadi dan ketika pulang dia mengomeli sute-nya. Kelemahan inilah yang akan dipergunakan oleh Seng Gun yang diam-diam menghubungi sekutunya.
Seperti biasa, Bi-sin-liong Kwa Lian, wanita cantik tokoh Hoatkauw yang selain sekutunya juga menjadi kekasihnya itu, segera mengulurkan tangan untuk membantunya. Dulu pada saat hendak menyelundup masuk ke Nam-kiang-pang, wanita itu bersama anak buahnya juga sudah menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw dan menyerang Tio Hui Po. Kini, mendengar laporan Seng Gun bahwa yang akan diangkat sebagai ketua Nam-kiang-pang adalah Ciu Kang Hin, Bi-sin-liong Kwa Lian segera menyatakan siap untuk membantu.
Demikianlah, pada suatu malam Seng Gun mendatangi kamar Kang Hin lantas dengan suara berbisik dia berkata, "Suheng, aku bertemu dengan seorang Beng-kauw."
Kang Hing terkejut sekali. "Ehh, di mana, sute? Dan bagaimana engkau tahu dia seorang Beng-kauw?"
"Dia seorang wanita, suheng, dan dia memakai kedok aneh. Dia berada tak jauh dari sini, tentu dia seorang Beng-kauw. Mari kita selidiki, suheng, dan kalau perlu kita tangkap dia. Mari sebelum dia pergi!"
Karena Seng Gun tidak banyak bicara lagi dan sudah segera pergi, maka terpaksa Kang Hin berjalan mengikutinya. Dua orang pemuda perkasa itu menyusup-nyusup keluar dari perkampungan Nam-kiang-pang. Seng Gun yang menjadi penunjuk jalan berlari di depan, diikuti oleh Kang Hin yang berjalan dengan hati-hati.
Di tepi sungai Yang-ce-kiang Seng Gun berhenti, lalu mendekam di balik semak-semak, sedangkan suheng-nya berlutut di sebelahnya.
"Lihat perahu itu, suheng. Tadi dia berada di situ."
"Sute, kita harus berhati-hati, jangan sembarangan menuduh. Bagaimana kalau ternyata kita menuduh orang yang tidak berdosa?"
"Ahh, bagaimana aku bisa keliru, suheng? Biar engkau menjadi penonton saja, aku akan menangkapnya. Kalau dia terlalu lihai bagiku, barulah kau turun tangan membantuku.”
"Baiklah, sute, akan tetapi jangan sampai membunuh orang." Seng Gun mengangguk lalu dia meloncat keluar mendekati perahu dan mencabut goloknya.
"Keparat dari Beng-kauw, keluarlah untuk menerima kematian!"
Hening sesaat, akan tetapi kemudian dari dalam bilik perahu muncul sesosok bayangan hitam yang gesit sekali.
Mudah dilihat di bawah sinar bulan hampir purnama bahwa bayangan itu adalah seorang wanita yang bertubuh ramping karena pakaiannya ketat. Akan tetapi wajahnya tidak dapat dilihat karena dia mengenakan kedok yang aneh, dan sebagian besar anggota Beng-kauw yang tingkatnya telah tinggi memang suka menyembunyikan mukanya di balik kedok agar tidak dikenal orang.
Seorang laki-laki tukang perahu yang pakaiannya sederhana juga keluar dari perahu itu dengan tubuh menggigil. Tadi lelaki ini dipaksa untuk mendayung perahunya oleh si kedok hitam.
"Saya bukan orang Beng-kauw...," dia meratap ketakutan.
Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Seng Gun mengayunkan goloknya. Darah tersembur keluar dari leher yang terpancung itu. Si wanita berkedok juga berkata,
"Aku bukan orang Beng-kauw."
Sambil mencabut pedangnya dia berusaha untuk melompat menjauh. Akan tetapi Seng Gun sudah bergerak mengejarnya kemudian menyerang dengan goloknya.
"Tranggg…!"
Bunga api berpijar ketika wanita berkedok itu menangkis dengan pedangnya, kemudian dia membalas serangan Seng Gun sehingga terjadilah perkelahian yang seru.
Melihat betapa sute-nya menyerang dengan mati-matian, apa lagi telah membunuh tukang perahu dengan kejam, Kang Hin berulang-ulang berseru kepada sute-nya.
"Sute, jangan membunuh orang!"
Akan tetapi Seng Gun tidak mempedulikan seruan suheng-nya. Ia mendesak terus hingga akhirnya goloknya dapat memukul pedang lawan sampai terlepas dan sebuah tendangan darinya membuat wanita itu terpelanting.
"Mampus kau, iblis Beng-kauw!" Bentaknya sambil menusuk dengan goloknya.
"Tranggg...!"
Goloknya tertangkis oleh golok di tangan Kang Hin. Seng Gun memandang terkejut dan heran.
"Suheng, kau membantu Beng-kauw?" teriaknya heran.
"Jangan bodoh, sute. Aku tidak membantu siapa pun. Aku hanya mencegah agar engkau tidak membunuhi orang yang belum tentu bersalah. Kau menuduh semua orang sebagai anggota Beng-kauw tanpa dibuktikan dulu, dan kau membunuh orang begitu mudahnya."
"Akan tetapi, suheng, dia ini jelas sekali orang Beng-kauw, dan suhu telah berpesan agar kita membunuh semua orang Beng-kauw," bantah Seng Gun.
Dia telah menggerakkan golok lagi dan menyerang wanita itu, akan tetapi Kang Hin cepat menangkis dengan goloknya.
"Tahan dulu, sute. Aku tidak menghendaki engkau membunuh orang yang tidak bersalah. Heii, sobat, apakah benar engkau orang Beng-kauw?" tanyanya kepada wanita itu.
"Aku bukan orang Beng-kauw," wanita itu berkata sambil bangkit berdiri.
"Bohong! Orang Beng-kauw mana ada yang mau mengaku? Ke mana-mana selalu pakai kedok!" kata Seng Gun.
"Kalau kau bukan orang Beng-kauw, lekas buka kedokmu," kata Kang Hin.
Wanita itu lalu membuka kedoknya dan seraut wajah yang cantik nampak di bawah sinar bulan. Seorang wanita muda yang cantik sekali, dengan senyumnya yang amat manis dan kerlingnya yang tajam bukan main.
"Siapa engkau?" Kang Hin bertanya.
'Namaku Bi Hwa. Aku… aku lari dari suamiku dan memakai kedok agar tidak dikenal oleh suamiku. Aku tidak mau kembali lagi kepadanya, dia kasar dan aku sudah tidak cinta lagi padanya. Harap lepaskan aku…"
"Hemm, alasan yang dicari-cari! Aku tetap menyangka dia adalah orang Beng-kauw yang patut dibunuh, suheng."
"Itu tidak boleh, sute. Bagaimana kalau kemudian terbukti bahwa dia benar-benar bukan orang Beng-kauw padahal sudah terlanjur dibunuh?"
"Hemm, apakah kita harus melepaskan dia begitu saja karena dia seorang wanita cantik?" Seng Gun bertanya dengan nada mengejek.
"Sute!" Kang Hin berseru marah. Pandang matanya mencorong dan alisnya berkerut.
"Maaf, suheng, aku hanya berkelakar. Lalu mau diapakan perempuan ini? Dilepas begitu saja?'
"Kita boleh menawannya untuk besok dihadapkan kepada suhu. Kalau kemudian dia tidak bersalah, maka dia harus dilepaskan. Sekarang kita tawan dia dan kita selidiki kebenaran omongannya. Nona, di mana rumah suamimu itu?" tanya Kang Hin.
"Di balik bukit itu, akan tetapi aku tidak mau kembali kepadanya."
"Engkau tidak harus kembali kepadanya. Kami yang akan pergi ke sana untuk menyelidiki kebenaran omonganmu. Siapa namanya?"
"Namanya Tan Seng, tinggal di dusun Kam-cui di balik bukit."
Kang Hin menggerakkan tangan menotok pundak wanita itu yang segera terkulai lumpuh.
"Aku harus membelenggunya," kata Seng Gun yang segera menyambar tubuh yang akan jatuh itu. Kemudian dia mengikat kaki tangan wanita itu dengan kain ikat pinggangnya dan memanggul tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu.
"Ke mana kita harus membawanya, suheng?" tanyanya.
“Kita masukkan ke dalam kamar tahanan di perkampungan kita. Tidak perlu mengagetkan suhu dengan urusan kecil ini. Besok saja kalau kita sudah memperoleh keterangan jelas, barulah kita membuat laporan,"
"Baik, suheng," kata Seng Gun yang memondong tubuh itu. Dia lalu menendang mayat si tukang perahu berikut kepalanya ke dalam air.
Melihat ini Kang Hin diam saja, akan tetapi dia mengerutkan alisnya, menganggap sute-nya itu terlalu kejam terhadap musuh. Padahal tukang perahu itu belum tentu orang Beng-kauw.
Dua orang pemuda itu kembali ke perkampungan. Kepada beberapa orang anggota Nam-kiang-pang yang melakukan tugas perondaan mereka mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki wanita yang dianggap mencurigakan ini, kemudian minta kepada mereka agar melakukan penjagaan dan jangan mengganggu wanita yang dijebloskan ke dalam kamar tahanan itu.
Seng Gun menurunkan tubuh yang masih lemas tertotok dan yang kaki tangannya sudah terbelenggu kuat itu ke atas lantai, kemudian setelah menutupkan pintunya, dia pergi lagi bersama Kang Hin.
Seperti terbang saja kedua suheng dan sute itu mempergunakan ilmunya berlari cepat di tengah malam mendaki bukit dan pergi ke dusun Kam-cui. Dusun itu sunyi senyap karena penghuninya sudah tidur semua.
Kang Hin mengetuk daun pintu sebuah rumah. Ketika seorang kakek membukakan pintu, dengan sikap halus dan sopan dia lalu bertanya di mana rumah orang yang bernama Tan Seng.
"Tan Seng? Tan Seng si pemburu binatang hutan itu? Itu di ujung jalan ini, yang di depan rumahnya digantungi bermacam kulit binatang hutan."
Dua orang kakak adik seperguruan itu mengucapkan terima kasih lalu menuju ke jurusan yang ditunjuk. Dan benar saja, di ujung jalan itu tampak tempat tinggal yang dimaksudkan kakek tadi. Mudah dikenal memang, karena ada beberapa lembar kulit binatang dijemur di luar. Mereka memasuki pekarangan dan mengetuk pintu rumah.
Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar dan bermuka hitam membukakan pintu dengan mata masih mengantuk. "Malam ini persediaan dendeng sudah tidak ada lagi, kalau kulit kijang masih ada beberapa lembar…" Dia menghentikan kata-katanya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu sama sekali tidak dikenalnya, dan jelas bukan penduduk dusun itu.
"Apakah engkau yang bernama Tan Seng?" tanya Seng Gun.
"Benar, aku bernama Tan Seng. Kalian siapa?"
"Apakah di dusun ini ada orang lain bernama Tan Seng?" tanya Kang Hin karena orang muka hitam yang kasar ini tak mungkin menjadi suami wanita cantik tadi.
"Ehh? Tidak ada lagi. Tan Seng hanya satu, ya aku ini!"
"Tan Seng, apakah engkau mempunyai isteri yang namanya Bi Hwa…?" tanya Kang Hin yang terpaksa menghentikan pertanyaannya karena ucapannya terpotong oleh suara tawa Tan Seng.
"Ha-ha-ha-ha! Kalau saja aku mempunyai seorang Bi Hwa, atau Bi Eng atau Bi Nio, tentu malam ini aku tidak tidur sendiri kedinginan. Ehh, sobat, kalau kau hendak main gila atau menggodaku, lebih baik enyahlah dari sini sebelum kepalanku yang keras membuat kalian babak belur!" Setelah berkata demikian dia melangkah maju, lalu mengacungkan kepalan tangannya di depan hidung Kang Hin.
Melihat ini Seng Gun menjadi marah sekali. Dia menangkap lengan itu, lalu memuntirnya sehingga Tan Seng mengaduh dan tubuhnya turut terpuntir. Ketika Seng Gun menyapu kakinya, dia pun tidak dapat bertahan lagi dan jatuh. Seng Gun menginjak dadanya dan berkata,
"Jangan berlagak! Hayo jawab yang benar, kau mempunyai isteri bernama Bi Hwa atau tidak? Kalau berbohong, kuinjak pecah dadamu!"
Tan Seng terkejut sekali. Lengannya seolah tidak bertenaga dan dadanya seperti tertimpa benda berat sekali. Maka tahulah dia bahwa pemuda itu tidak boleh dibuat main-main.....
"Aduh, ampunkan taihiap... aku tidak mempunyai isteri... aku orang miskin ini bagaimana mampu mempunyai isteri! Ampunkan aku…"
Seng Gun berkata kepada suheng-nya, "Sebaiknya suheng geledah isi rumahnya."
Kang Hin mengangguk kemudian cepat melakukan pemeriksaan. Namun tidak ada sedikit pun petunjuk bahwa rumah itu juga didiami seorang wanita, maka dia kembali lagi sambil menggelengkan kepalanya.
"Engkau tidak berbohong?!" Sekali lagi Seng Gun menghardik.
"Aku berani sumpah, taihiap."
Seng Gun melepaskan injakannya kemudian sekali berkelebat, dua orang pemuda itu pun lenyap dari depan Tan Seng, yang juga segera menutup pintunya dengan tubuh gemetar.
Dalam perjalanan pulang Seng Gun mengomel, "Nah, bagaimana sekarang, suheng? Aku sudah menduga keras bahwa wanita itu adalah orang Beng-kauw akan tetapi engkau tak percaya."
Kang Hin menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar, sute. Akan tetapi dia masih berada di sana. Kita akan dapat memaksanya mengaku mengapa dia sudah menipu kita dan apakah benar dia adalah anggota Beng-kauw."
"Aku yakin akan hal itu, suheng, dan akan kupenggal lehernya. Sungguh menggemaskan perempuan itu telah membohongi kita."
"Sabarlah, sute."
"Itu bukan sabar namanya, suheng, tetapi kelemahan. Kalau bukan karena kesabaranmu itu, tentu kita tidak tertipu."
Akhirnya mereka tiba di perkampungan Nam-kiang-pang, akan tetapi suatu kejutan besar menyambut mereka. Tawanan itu telah lolos, empat orang penjaganya tewas dan tempat tahanan itu telah dibakar sampai habis! Suasana menjadi geger dan dua orang pemuda ini disambut oleh Tio-pangcu yang berdiri dengan alis berkerut sambil bertolak pinggang.
Seng Gun melihat bahwa gurunya marah sekali. Dia pun mengenal betul watak Ciu Kang Hin yang gagah dan bertanggung jawab. Maka dengan cepat dia lalu lari menubruk kaki gurunya dan berkata,
"Suhu, teecu mengaku bersalah, harap hukum teecu," Dan dia pun menangis di hadapan kaki gurunya.
Kang Hin terkejut melihat sikap sute-nya itu. Jelas dia yang bersalah, mengapa sute-nya mengaku kesalahannya. Maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu yang bersalah, suhu."
"Huhh!”
Tio-pangcu membalikkan tubuh. Dia merasa marah dan kecewa sekali mendengar bahwa yang membawa tawanan itu adalah dua.orang murid terkasih ini, dan ternyata tawanan itu dapat membebaskan diri, lantas membunuh empat orang penjaga dan membakar tempat tahanan.
"Apa artinya semua ini? Hayo ceritakan yang sebenarnya!" dia membentak lalu duduk di atas kursi.
"Teecu mengaku bersalah, suhu. Teecu yang menangkap wanita itu karena mengira dia adalah orang Beng-kauw, tetapi dia mengaku orang Kam-cui, isteri seorang bernama Tan Seng. Teecu lalu meninggalkan dia di dalam tahanan untuk pergi menyelidiki ke dusun Kam-cui. Ternyata dia berbohong dan ketika teecu kembali ke sini, sudah terlambat."
"Hemm, benarkah cerita Seng Gun itu, Kang Hin?" Tio-pangcu bertanya kepada Kang Hin dengan suara masih mengandung kemarahan.
"Tidak benar, suhu!" Kang Hin berkata dengan suara tegas sehingga mengejutkan semua orang. "Sama sekali bukan sute yang bersalah dalam hal ini, melainkan teecu."
Tio Hui Po mengerutkan alisnya. "Apa artinya semua ini? Hayo ceritakan yang betul!"
"Malam tadi sute memberi tahu teecu bahwa dia mencurigai seorang wanita di perahu lalu mengajak teecu untuk memeriksa dan menyelidikinya. Sampai di perahu wanita berkedok itu hendak melarikan diri, begitu pula tukang perahunya. Sute membunuh tukang perahu itu dan berhasil merobohkan wanita itu. Sute hendak langsung membunuhnya, akan tetapi teecu berkeras melarangnya dengan alasan bahwa belum tentu dia itu orang Beng-kauw. Wanita itu mengaku bernama Bi Hwa, isteri Tan Seng dari dusun Kam-cui. Teecu yang mengusulkan kepada sute agar menahan wanita ini, lalu kami pergi menyelidiki kebenaran keterangannya. Ternyata wanita itu berbohong, maka cepat kami kembali ke sini namun ternyata wanita itu sudah lolos."
"Bodoh!" Tio-pangcu menggebrak tangan kursinya. "Apakah dia tidak dibuat tak berdaya dulu sehingga mampu membunuh para penjaga?"
Seng Gun segera berkata. "Suheng sudah menotoknya, suhu. Teecu melihat sendiri. Dan teecu telah menggunakan sabuk untuk mengikat kaki dan tangannya. Suheng bermaksud baik, suhu, harap jangan persalahkan suheng."
"Engkau benar-benar teledor, Kang Hin. Ingat, engkau adalah seorang calon ketua, tidak pantas melakukan keteledoran yang menunjukkan kelemahanmu. Engkau patut dihukum!"
"Teecu menerima salah, suhu, dan teecu siap untuk menerima hukuman," kata Kang Hin pasrah.
"Kau memang pantas dihukum!" bentak Tio-pangcu.
Pada saat itu pula Seng Gun menjatuhkan diri lagi mencium lantai sambil berkata dengan suara memohon. "Suhu, biar teecu saja yang menjalani hukuman. Suheng adalah calon ketua, tidak sepantasnya kalau suheng yang menjalani hukuman.”
"Sute, jangan begitu!"
Tio-pangcu menghela napas panjang. "Aahh, ternyata Seng Gun lebih memiliki kesetiaan dari pada engkau. Sepatutnya engkau mencontoh sute-mu ini."
"Suhu, maafkanlah suheng. Teecu yakin bahwa suheng tidak sengaja bersikap lunak. Bila dia mengetahui bahwa wanita itu adalah orang Beng-kauw, teecu percaya bahwa suheng mau bersumpah untuk setia kepada Nam-kiang-pang dan untuk membasmi Beng-kauw."
Tio-pangcu mengangguk-angguk. "Pikiran yang bagus. Baik, aku tidak akan menghukum kalian, akan tetapi kalian harus mengulangi sumpah setia terhadap Nam-kiang-pang, juga bersumpah untuk membasmi Beng-kauw!"
Dua orang muda itu lalu digiring masuk ke dalam ruangan sembahyang dan di depan meja sembahyang Seng Gun mengucapkan sumpah dengan lantang yang diikuti oleh suheng-nya.
"Demi arwah para sesepuh Nam-kiang-pang, disaksikan bumi dan langit, saya bersumpah akan membela Nam-kiang-pang dengan setia dan dengan taruhan nyawa, dan saya akan membasmi orang-orang Beng-kauw!"
Akan tetapi Ciu Kang Hin mengakhiri sumpah dengan kata-kata ‘orang-orang Beng-kauw yang jahat’, menambahkan kata-kata ‘yang jahat’ di belakangnya. Dengan demikian maka dia hanya akan membasmi orang-orang Beng-kauw yang jahat, bukan sembarang orang Beng-kauw!
Sejak saat itu secara diam-diam Seng Gun menyebar cerita yang condong menimbulkan rasa kecurigaan kepada Kang Hin. Dia menerangkan kepada para murid betapa Kang Hin nampaknya menaruh kasihan terhadap wanita Beng-kauw itu. Bahwa Kang Hin dengan keras melarang dia membunuhnya karena agaknya Kang Hin tergila-gila oleh kecantikan wanita tawanan itu. Bisanya berita buruk tentang seseorang lebih dipercaya oleh umum, maka dengan sendirinya orang-orang mulai berprasangka buruk terhadap Kang Hin.
Makin bersemangatlah Seng Gun memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran dan pembantaian terhadap anggota-anggota Beng-kauw sehingga gegerlah perkumpulan itu. Memang sejak dahulu Beng-kauw dicurigai dan dimusuhi orang-orang kangouw, tetapi baru sekarang inilah orang-orang Nam-kiang-pang secara berterang melakukan perburuan dan membunuhi orang-orang Beng-kauw tanpa sebab lagi.
Setiap kali melakukan pembunuhan Seng Gun selalu menonjolkan nama Ciu Kang Hin sebagai calon ketua Nam-kiang-pang dan sebagai pemimpin regu pembunuh, sehingga sebentar saja di kalangan orang-orang Beng-kauw, bahkan di dunia kangouw, nama Ciu Kang Hin dianggap sebagai pembunuh dan pembasmi Beng-kauw nomor satu.
Padahal Ciu Kang Hin sendiri jarang sekali membunuh orang Beng-kauw. Bila dia sampai membunuh, maka yang dibunuhnya itu, orang Beng-kauw atau bukan, pasti orang yang sudah melakukan kejahatan besar. Tukang memperkosa wanita atau tukang membunuh orang yang tidak bersalah…..
********************
Selanjutnya baca
KISAH SI PEDANG TERBANG : JILID-09