Raja Pedang Jilid 03
Kita tunda dulu perjalanan Hoa-san Sie-eng yang hendak menjumpai Kun-lun Sam-hengte itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti telah dituturkan di bagian depan.
Sambil tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya. Kwa Hong merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kedua kakinya tidak menginjak tanah biar pun kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut, akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main di sebuah telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga.
Kemudian ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu memang tidak berdusta. Tidak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah telaga yang amat indah, telaga kecil yang pinggirnya penuh ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna.
Di puncak pohon-pohon banyak burung menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, sedangkan di dalam air telaga yang penuh bayangan bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuat Kwa Hong lupa akan kekhawatirannya bahwa ia telah berpisah dari ayahnya.
"Bagus sekali... nyaman sekali tempat ini...," ia berkata.
"Bagus, ya? Aku pun senang bermain-main di sini," kata Koai Atong berjingkrak-jingkrak.
"Hayo kita main kejar-kejaran, kau boleh kejar aku, tapi yang dikejar tidak boleh pergi dari sekitar telaga ini!"
Kwa Hong seorang anak yang sangat cerdik. Tadi dia sudah digandeng Koai Atong yang mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa sekali. Sebagai seorang anak pendekar, tentu saja dia mengerti bahwa orang aneh ini mempunyai kepandaian ilmu lari cepat yang tinggi, mana bisa dia mampu mengejarnya?
Kwa Hong tertawa dan berkata nakal. “Koai Atong, kau mau mengakali aku? Ihhh, apa kau kira aku ini sebodoh orang lain? Dari pada kau mencoba mengakali aku, lebih baik kau mengajarkan ilmu lari cepat tadi kepadaku."
"Ilmu lari cepat? Apa itu? Aku tidak bisa... aku tidak boleh mengajarkan apa-apa...," Koai Atong cepat-cepat berkata dengan muka ketakutan ketika mendengar Kwa Hong minta diajari ilmu lari cepat. "Lebih baik kau minta yang lain... ehh, kau mau burung itu? Katakan saja mana yang kau sukai, aku akan menangkapnya untukmu...!" Dia tertawa-tawa sambil menunjuk ke atas, ke arah burung-burung yang berloncatan di cabang-cabang pohon.
"Yang kecil sekali itu, yang berbulu kuning!"
Kwa Hong menunjuk ke arah seekor burung yang tampak paling lincah dan gesit di antara burung-burung yang lainnya. Bukannya karena ia suka kepada burung kecil ini, melainkan karena anak yang cerdik ini memang sengaja memilih burung yang paling gesit supaya Koai Atong tidak dapat menangkapnya.
"Baik, kau lihat, dia takkan bisa lari dariku."
Koai Atong segera menggenjot tubuhnya yang tinggi besar itu, melayang ke arah puncak pohon. Semua burung buyar pergi beterbangan karena takut, termasuk burung kecil yang sudah terbang lebih dulu dengan amat cepatnya.
Kwa Hong sudah hampir bersorak mengejek kegagalan Koai Atong. Akan tetapi tiba-tiba Koai Atong tertawa keras dan tangan kirinya digerak-gerakkan ke depan. Dan aneh sekali, tiba-tiba burung kuning kecil itu seperti ditarik benang yang diikatkan pada kakinya karena binatang ini terbang kembali ke arah Koai Atong dengan gerakan lemah!
Dengan enak dan mudahnya orang aneh itu menangkap burung kuning tadi, lalu meloncat turun dan menyodorkan burung kuning itu pada Kwa Hong. Hebatnya burung itu berdiri di atas telapak tangannya, diam saja hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat terbang pergi!
Kwa Hong sampai melongo menghadapi pertunjukan ilmu tinggi yang seperti main sulap ini. Akan tetapi dasar dia amat cerdik, dia tak mau memperlihatkan keheranannya, malah tertawa-tawa dan mengambil burung itu yang berdiri di telapak tangan Koai Atong.
la mengira bahwa burung itu memang sudah tidak dapat terbang lagi, maka ia memegang perlahan sekali. Siapa kira, begitu terlepas dari telapak tangan Koai Atong dan berada dalam genggaman Kwa Hong, burung itu meronta dan...
“Brrrttt...!” burung itu terbang pergi, cepat sekali!
Koai Atong tertawa terbahak-bahak. Kwa Hong merengut.
"Koai Atong, kau telah menipuku! Di tanganmu burung itu tidak bisa terbang, tapi kenapa setelah kugenggam dia lalu terbang?"
"Ha-ha-ha, mana bisa burung terbang tanpa pancalan kaki? Telapak tangan yang dibikin lunak, disertai hawa menyedot, tentu membikin dia tak mampu terbang, apa anehnya...? Ha-ha-ha!"
"Ahhh, kau nakal! Mengapa kau tidak memberi tahu dari tadi?" Kwa Hong cemberut dan marah-marah.
Melihat temannya marah-marah, Koai Atong cepat berkata, "Sudahlah, biar kutangkapkan lagi dia untukmu..." la sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi Kwa Hong berkata, "Tidak, aku sudah tidak suka lagi. Tidak suka main-main denganmu, aku hendak kembali kepada ayah."
"Waaah, jangan marah. Belum puas kita bermain-main di sini. Mari kita pergi ke tempat lain yang lebih indah. Kau mau ke puncak gunung bermain dengan awan? Atau ke dalam hutan yang penuh binatang buas? Aku tahu banyak tempat indah...”
"Tidak," jawab Kwa Hong yang mendapatkan pikiran untuk pergi meninggalkan orang ini. la mulai mendapat perasaan tak enak, takut kalau-kalau si gila ini tak mau melepaskannya kembali. "Kalau kau bisa mencarikan ikan bersisik kuning emas dari telaga ini, baru aku mau main main lagi.”
Koai Atong memandang ke arah telaga. Banyak ikan-ikan kecil besar berloncatan, malah kadang-kadang keluar jauh dari permukaan air, akan tetapi tidak ada yang bersisik kuning emas, kesemuanya putih atau hitam.
"Mana ada ikan bersisik kuning emas?" tanyanya ketolol-tololan.
"Tentu saja ada, di dalam telaga. Ataukah barangkali kau tidak becus menangkapnya? Kalau kau tidak becus, kau tidak berharga merijadi temanku bermain-main."
Koai Atong nampak gugup. "Baik, baik... akan aku tangkapkan untukmu. Kau tunggu dan lihatlah."
Tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu berkelebat ke arah telaga dan...
“Byurrrrr…!” Koai Atong telah terjun ke dalam air itu!
Wajah Kwa Hong berubah. Celaka, kiranya dia pun setan air yang pandai bermain di air. Inilah kesempatan baik, aku harus cepat pergi meninggalkan tempat ini.
Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, timbul perasaan malu dan kasihan di hatinya. Malu kepada diri sendiri yang seakan-akan hendak menipu Koai Atong dan kasihan kepada si gila itu. Dia amat baik kepadaku, sampai-sampai mau menyelami telaga untuk mencarikan ikan, masa aku begitu rendah hati untuk menipu dan meninggalkannya?
Kwa Hong menjadi ragu-ragu. Anak ini sudah banyak dijejali filsafat tentang kebajikan dan terutama mengenai kegagahan serta keadilan oleh ayahnya, maka dia menjadi ragu-ragu untuk meninggalkan Koai Atong yang sengaja dia suruh menyelam di telaga.
Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Nah, ini dia anak Hoa-san It-kiam!"
Dan muncullah seorang laki-laki yang membuat Kwa Hong menjadi pucat mukanya karena mengenal orang ini sebagai orang yang pernah menculiknya. Lalu muncul dua orang lain yang berpakaian sebagai pendeta-pendeta Agama To (tosu), akan tetapi tak seperti para tosu biasanya, di atas rambut mereka terdapat hiasan bunga teratai.
"Mana bocah nakal yang gila itu?" tanya seorang di antara dua orang tosu tadi sambil memandang ke kanan kiri.
“Susiok berdua menjaga kalau dia muncul, biar teecu melarikan anak ini lebih dulu!" kata si penculik itu sambil menubruk Kwa Hong.
"Koai Atong, lekaslah kau keluar...! Tolong aku...!" Kwa Hong berteriak-teriak sambil loncat mengelak dan lari mendekati telaga. Penculik itu sambil tertawa lebar mengejar.
"Hendak lari ke mana kau?"
Tiba-tiba muncul kepala Koai Atong dari permukaan air dengan kedua tangan memegang dua ekor ikan. Melihat Kwa Hong dikejar orang, kedua tangannya bergerak dan dua ekor ikan itu dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah penculik yang sudah tak keburu mengelak lagi.
“Aduhh...! Auuuwww... aaaapppp!”
Ikan pertama dengan tepat mengenai hidungnya dan entah karena kesakitan atau apa, ikan itu lalu membuka mulut dan... menggigit hidung si penculik dan ketika si penculik mengaduh-aduh, ikan ke dua melayang tepat ke... mulutnya yang celangap, terus masuk sampai ke kerongkongannya.
Tentu saja dia menjadi kebingungan seperti kakek kebakaran jenggotnya. Dengan susah payah dia dapat melepaskan ikan yang menggigit hidungnya dan menarik keluar ikan ke dua dari tenggorokannya. Hidungnya berdarah dan si penculik menyumpah-nyumpah, apa lagi ketika melihat Kwa Hong tertawa cekikikan menyaksikan pemandangan yang lucu itu.
Akan tetapi melihat Koai Atong sudah meloncat naik dan kini orang aneh itu ikut tertawa berdiri di dekat Kwa Hong, si penculik tidak berani maju lagi dan malah berlari ke belakang dua orang tosu yang menjadi susiok-nya (paman gurunya).
Dua orang tosu itu melangkah maju menghadapi Koai Atong.
"Koai Atong," kata seorang di antara mereka yang mempunyai andeng-andeng (tahi lalat) besar di pipi kanannya, "harap kau jangan ikut campur dan berikan anak ini kepada kami."
Koai Atong masih tertawa-tawa dengan Kwa Hong, sama sekali tidak mau melayani dua orang tosu itu. Akan tetapi Kwa Hong yang maklum bahwa kedua orang tosu itu pun tidak mempunyai maksud baik, dan agaknya teman dari si penculik tadi, segera berkata, "Koai Atong, jangan dengarkan mereka. Ganyang saja!"
Koai Atong tertawa lagi dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang basah kuyup itu. Air dari pakaiannya memercik-mercik dan menyambar ke arah dua orang tosu itu. Tanpa dapat dicegah lagi pakaian tosu itu pun terkena air, malah muka mereka menjadi basah dan terasa sakit karena sambaran titik-titik air itu terasa seperti jarum-jarum menusuk kulit. Mereka menjadi marah dan membentak.
"Orang gila, kau mencari mampus?"
Serentak kedua tosu itu mencabut keluar ikat pinggang mereka yang ternyata merupakan joan-pian (cambuk lemas) berduri, nampaknya menakutkan sekali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa saja dan begitu kedua orang menyerang, dia telah memegang anak panahnya yang berujung kehijauan. Entah dari mana dia mengeluarkan senjatanya ini.
Terdengarlah suara yang keras. Dua orang tosu itu mengeluarkan seruan tertahan karena joan-pian mereka yang diserangkan tadi telah bertemu dengan anak panah dan membuat tangan mereka tergetar. Namun karena mereka percaya akan kepandaian sendiri, apa lagi karena mereka maju berdua, dua orang tosu ini tidak gentar dan segera mengurung, menghujankan sambaran joan-pian ke arah tubuh Koai Atong.
Orang aneh ini menggerakkan anak panahnya sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang ia menggerakkan tubuhnya yang basah dan mengirim titik-titik air yang menyambar ke arah kedua orang lawannya. Kwa Hong bertepuk tangan memberi hati kepada temannya.
"Hayo, Koai Atong. Gasak mereka. Sikat saja!"
Pertempuran berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itu pun lihai bukan main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar.
Akan tetapi semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah. Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau lemah sedangkan dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya.
Hal ini tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga Im yang lebih halus dan lemas. Akan tetapi hanya tampaknya saja dia kalah cepat dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas dia dapat pula menggunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.
Pada jurus ke lima puluh, mendadak dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi melengking tinggi yang aneh dan serempak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong.
Orang aneh ini nampak kebingungan. Cepat-cepat dia memutar anak panahnya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak kirinya gatal-gatal.
“Aduh, curang... auhh, curang...!”
Dan orang tinggi besar yang berjiwa kanak-kanak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil menangis dia lalu menyerang lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa lebih banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.
Kwa Hong khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
"Tosu-tosu bau! Kakek-kakek mau mampus! Tidak tahu malu, cih, tidak tahu malu. Sudah main keroyokan masih berlaku curang!" Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang tosu itu menjadi merah mukanya.
"Diam, anak setan!" bentak kakek yang bertahi lalat pipinya
“Kau yang diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu dan kuganti dengan tahi kerbau!" Kwa Hong memaki dan makian ini membuat Koai Atong yang tadinya menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha, betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!"
Akan tetapi setelah dia tertawa, penyerangannya menjadi kurang kuat sehingga dia kena didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja, pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.
Pada saat itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini amat mengganggu kedua orang susiok-nya. Lagi pula, ketika melihat orang aneh itu terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong. Setelah cukup dekat, dia lantas menubruk anak itu.
Kwa Hong yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat-cepat membanting diri ke belakang sehingga tubrukan itu meleset dan... mendadak Koai Atong menggerakkan tangan kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!
Koai Atong tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tidak mau tertawa geli juga melihat betapa si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke tepi dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya lebih cerdik dari pada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri orang aneh itu.
"Koai Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul..."
la ingat betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi pada waktu mendorong tubuh si penculik ke dalam telaga.
Seperti orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata, "Wah, iya, aku sampai lupa. Ehhh, ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung kerbau!"
la memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang... menyelinger mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.
Dua orang tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan napas sesak.
"Celaka...!" Mereka berteriak.
Kemudian mereka cepat-cepat melarikan diri bagai dikejar setan. Padahal yang mengejar mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat susiok-susiok-nya sudah lebih dulu melarikan diri.
"Kejar, Koai Atong. Tangkap!" seru Kwa Hong berkali-kali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.
"Bagus, ya? Bagus, ya?" katanya kepada Kwa Hong. "Sayang ikan-ikan itu telah dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi."
"Sudahlah, aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah. Hayo, antarkan aku.”
“Kenapa kembali? Habis aku bagaimana? Ehh, Enci... siapa namamu?"
Geli juga hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebut dirinya enci (kakak perempuan). Orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila!
"Namaku Hong, she Kwa."
"Jangan kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari aku perlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali." Koai Atong masih saja terus membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.
"Tidak, aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku."
"Kau takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!"
Tiba-tiba Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi. "Apa katamu?! Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!"
Koai Atong nampak kaget dan cepat dia berkata halus, "Ah, tidak..., tidak, Enci Hong... aku tidak berani..."
Meski masih kecil, sekarang Kwa Hong mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.
"Kalau begitu, lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi menjadi temanmu."
“Oh, baik, baik, Enci Hong, baik. Marilah..."
Koai Atong memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali kembali ke dalam hutan di mana tadi mereka meninggalkan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka ttdak dapat menemui dua orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah bukan main.
"Kau yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Ke mana aku harus mencari ayah?" Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai Atong juga ikut bingung dan ketakutan.
"Habis bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu di sini," Koai Atong membela diri.
"Kau persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau...!"
Koai Atong mengangguk-angguk. "Baiklah... mari kita susul ayahmu."
Mereka keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah tiba. Kwa Hong merasa bingung dan amat gelisah, ingin menangis. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong ikut menjadi bingung. Dia lalu menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.
"Aku mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga di sini," katanya.
Akan tetapi Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa Hong terpaksa memberi petunjuk caranya membuat api dari dua kayu yang digosok secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekang-nya yang tinggi, beberapa kali gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api.
Orang aneh ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak sedang bersama Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan membakar seluruh hutan! Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa aman dan anak ini segera tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa dingin sekali. Ketika dia menengok, ternyata orang aneh itu pun sudah tertidur mengorok sambil duduk bersandar pohon. Seketika Kwa Hong merasa ketakutan karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu, kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan.
Rasa takut membuat Kwa Hong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Koai Atong yang masih tertidur. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal bagaimana watak orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri ayahnya.
Lama dia berjalan sampai dia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik. Kwa Hong mulai rnerasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan? Rasa lapar hampir tidak tertahankan pada waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh mencari makanan.
Tiba-tiba Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la menoleh ketakutan ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah suling yang bentuknya seperti ular.
Anak itu pakaiannya berwarna kuning. Bajunya terlalu panjang pada lengannya, bahkan belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat, dan alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat.
Kwa Hong tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong hampir menjerit karena ngerinya.
Di belakang anak itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok, akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan dikomandani oleh suara suling!
Kwa Hong merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular sedemikian banyaknya, akan tetapi terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih terus melangkah enak-enakan sambil menyuling.
"Lari...! Lekas kau lari... di belakangmu banyak ular...!" Kwa Hong berteriak-teriak.
Anak ini sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu segera lari.
Akan tetapi anak itu bukannya lari, malah dengan perlahan sekarang ia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon.
Dari atas pohon Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan semua ular itu dan hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar.....
Selama hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat itu. Baru sekarang dia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar oleh ular-ular itu, juga sama sekali tak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu adalah binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.
Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti menyuling. Dia menengok ke atas dan tertawa nakal melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia mulai meniup sulingnya lagi dan... ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba untuk merayap naik! Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.
"Heeeiiiii!" teriaknya kepada anak laki-laki itu. "Suruh mereka pergi...! Usir mereka, jangan perbolehkan naik ke pohon...!"
Akan tetapi anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah makin memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.
Hampir saja Kwa Hong pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan tangan kakinya serasa lumpuh. la memeluk erat cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular yang merayap naik itu dengan wajah pucat.
Tapi dasar Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apa lagi ketika ada seekor ular yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini, ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.
Kwa Hong meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya, lalu naik melibat betisnya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri! Tanpa tertahankan pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan... roboh terguling dari atas cabang pohon!
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam pondongan Koai Atong! Orang aneh ini dengan ginkang-nya yang tinggi melompat dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.
"He, tunggu dulu, jangan lari!" terdengar anak laki-laki itu membentak dan... aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.
"Orang gendeng, kenapa kau berani lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa menolongnya ketika dia jatuh dari pohon?" Anak laki-laki itu nampak marah dan menegur Koai Atong.
"Maaf, Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku pun menolongnya. Maaf..."
Koai Atong nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, bagaikan seorang anak kecil bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.
Anak laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek. "Apa kau ingin dihajar lagi oleh suhu (guru)?"
Kwa Hong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada di situ bersama dia, dia tidak takut lagi untuk menghadapi ular-ular itu. Apa lagi ia merasa mendongkol bukan main karena selain anak itu sudah mengganggunya, juga sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada bocah bermuka puth.
"Keparat tak kenal mampus!" teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak itu. "Penjahat macam engkau harus dibasmi!" Sambil berkata demikian Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.
"Enci Hong, jangan...!” Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong.
Hal ini membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan membentak.
"Kau boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!" Dan ia terus meloncat maju, memukul ke arah dada anak itu.
Bocah yang bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek. Sulingnya yang berbentuk ular itu bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong telah menjadi kaku tidak dapat bergerak lagi. Dalam segebrakan saja, dan dengan gerakan yang tak terduga cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!
Koai Atong melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah membebaskan totokannya.
"Enci Hong, jangan lawan Tuan Muda...," orang aneh itu mencegah lagi.
Akan tetapi anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah ia merasa diperhina orang? la menjadi marah sekali dan dengan nekat ia lalu maju menyerang lagi.
"Ehh, budak perempuan, kau masih belum kapok?" Anak laki-laki yang bermuka pucat itu kembali menggerakkan sulingnya.
Akan tetapi mendadak suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong mundur, seakan-akan ia tadi didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan. Anak laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.
"Suhu... dia yang menyerang teecu..."
Ketika Kwa Hong sudah berdiri tegak, dia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang, berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini bergerak-gerak liar ke sana ke mari.
Yang mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk. Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain. Dia menoleh ke arah rombongan ular di belakang anak itu, lalu tangan kirinya bergerak.
Kwa Hong tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan baju itu, kepala ular dipegangnya, kemudian... dengan lahapnya orang tua itu menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan enak sekali! Ular itu hanya berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat tanpa dapat melawan.
Pemandangan ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu lalu melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ.
Ular-ular yang lain diam tidak ada yang berani bergerak. Sekali lagi dengan cara seperti tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini seperti tadi pula.
Setelah melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong, dan dia pun bertanya, "Anak besar gila, mana gurumu?"
"Hamba... hamba tidak tahu di mana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari suhu...”
Kakek itu tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang kepada Kwa Hong dengan matanya yang tajam dan bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.
"Anak bernyali besar, siapa ayahmu?"
"Ayah bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam," jawab Kwa Hong.
Kakek itu mendengus. "Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu besar, tulangmu pun baik."
Tiba-tiba dia membalik kepada anak muka putih tadi.
"Kin-ji, lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu malu, kau!"
"Ampun, Suhu..."
"Hayo usir semua cacing ini!"
Anak bermuka putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki semak-semak.
"Koai Atong, mengapa kau membawa-bawa anak ini?" bentak lagi kakek itu kepada Koai Atong.
Koai Atong mengangguk-anggukkan kepalanya. "Enci Hong ini... dia sahabat baik teecu, hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san..."
"Baik, kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?"
Koai Atong memberi hormat berkali-kali dan berkata, "Terima kasih, Locianpwe... terima kasih..." la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya lari dari tempat itu.
Kwa Hong berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.
"Aduh... hampir saja... hampir saja celaka..."
Mungkin karena rasa takut dan ngerinya yang sangat besar, orang aneh yang biasanya bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.
"Ada apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular itu?" Kwa Hong bertanya.
Koai Atong berkali-kali menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas tanah. "Dia adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biar pun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin. Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu."
Setelah perasaan takutnya agak reda, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong. Ia mulai tertawa-tawa dan berkata, "Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya? Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!"
Kwa Hong bergidik. "Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang suka bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi temanmu."
"He-he-heh, Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku tidak kembali, palihg-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong kau!"
Dengan cepat sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san.
Diam-diam Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang sudah begini lihai masih takut pada orang tua itu, sampai berapa hebat kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai dari pada Koai Atong?
Tentu saja dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai dari pada Koai Atong. Hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka dia berkata demikian…..
********************
Pada masa itu, kekuasaan bangsa Mongol yang sedang menjajah daratan Tiongkok mulai menyuram. Di mana-mana timbul kekacauan serta pemberontakan-pemberontakan kecil yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.
Sungai-sungai besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya adalah pusat pengangkutan dan perdagangan, kini penuh dengan perampok-perampok dan para bajak sungai. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat, tetapi sekarang mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan mereka ini berani pula mengganggu perahu-perahu pembesar Goan.
Kota dan dusun yang terdapat di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput dari gangguan para bajak dan rampok ini. Oleh karena itu, maka keadaannya sekarang menjadi sepi. Para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu (pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan, selalu membawa pasukan yang bersenjata lengkap.
Dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan ikannya yang besar-besar dan banyak serta hasil hutannya yang amat kaya. Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta.
Akan tetapi akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tak ada pedagang luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya. Para pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami perdagangan yang sepi, juga sering mendapat gangguan dari para penjahat sehingga mereka yang mempunyai cukup modal berbondong-bondong berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok lagi.
Maka agak mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual bermacam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi si mata satu, seorang tokoh yang terkenal dalam dunia penjahat sehingga sebagai orang segolongan dia tidak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri dari penjahat-penjahat belaka.
Suatu pagi yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka. Hari baru pukul enam. Biasanya kalau belum jam delapan lewat, setelah matahari naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya.
Sudah setengah tahun dia membuka warung di tempat ini dan tak pernah ada orang yang berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.
Pernah ada tiga orang anggota bajak tidak mau membayar setelah makan dan minum di warung itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak yang dikenalnya baik. Tiga orang anggota bajak itu dihajar oleh kepalanya sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok tidak berani lagi mengganggunya.
Akan tetapi pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintu warungnya digedor orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda mereka masing-masing di depan warung. Dari mulut mereka terlontar sumpah serapah mengutuk buruknya jalan dan dinginnya hawa.
Seorang di antara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw. Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.
"Dar-dar-dar-dar!”
“Buka pintu, Phang Kwi, kura-kura yang malas!" seorang di antara anggota rombongan ini menggendor pintu sambil memaki-maki.
Phang Kwi amat kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.
"Bedebah... setan alas... Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta dihancurkan kepalanya setan itu!"
Dengan langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak tawa oleh enam orang itu.
"Ha-ha-ha, kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!"
"Hei, Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa kau ini?"
"Phang Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat."
Phang Kwi mulai hilang kerut mukanya, apa lagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata, "Ahai, kiranya Ang-twako yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?"
"Oleh-oleh apa? Jaman sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar..."
"Sssttt, Lo-tan, tutup mulutmu!" Si muka merah membentak dan pembicara itu pun tidak melanjutkan kata-katanya.
Beramai-ramai mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu saja dia tidak jadi marah sebab mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman ‘seperjuangan’ ketika dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam hutan.
Memang Phang Kwi ini dulunya juga bukan orang baik-baik. Selain pernah menjadi anak buah Ang-bin Piauw-to menjadi perampok, pernah pula dia menjadi anggota bajak sungai.
"Mana daging ikan?" Si muka merah bertanya pada saat melihat bahwa hidangan yang dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. "Aku mendengar daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak."
“Wah, sukar sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu."
“Masa begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!"
Tiga orang anggota perampok segera pergi keluar. Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.
Seorang nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan mengertak gigi sambil menolong kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa.
Sementara itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik, "Ang-twako, apa yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?"
Ang-bin Piauw-to tersenyum. "Sebetulnya bukan rahasia, hanya tak enak jika dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya rombongan pedagang yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah siang nanti entah sore hari.”
Berseri Phang Kwi. "Hebat. Akan tetapi mengapa mereka itu berani bepergian di waktu begini? Benar-benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat..."
Ang-bin Piauw-to mengeluarkan suara mengejek. "Hah, apa artinya pengawalan dari lima orang piauwsu (pengawal) Pek-coa Piauwkok?"
"Bagaimana pun juga, harap Twako berhati-hati. Apa bila orang sudah berani melakukan perjalanan di saat seperti sekarang ini, tentu mereka itu mempunyai andalan."
"Sudahlah, kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau akan mendapat bagian."
"Siapa takut? Dengan Twako di sini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!"
Tiga orang perampok yang sudah mendapatkan ikan tadi datang, dan makin gembiralah kawanan perampok ini. Mereka makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan gurih.
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada rambutnya lagi karena dimakan gudig. Telinga kirinya tinggal sepotong, telinga kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.
"Heh-heh-heh, sedap sekali baunya Gurih, enak...!"
Kakek itu terbongkok-bongkok berjalan lebih dulu memasuki warung arak, dengan wajah tampak gembira. Akan tetapi pemuda tadi nampaknya tidak segembira kakek itu. Melihat bahwa di antara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah pemilik warung, maka dia segera berkata.
"Hei, sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepatan, untuk dua orang!"
Phang Kwi memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaian mereka, sudah jelas bahwa kakek dan pemuda itu adalah orang-orang miskin, apa lagi jika dilihat bahwa yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tanpa muatan apa-apa di punggungnya. Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan dia pun sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan kegalakannya memuncak.
"Jangan mengemis di sini, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!" katanya sambil bertolak pinggang.
Pemuda yang bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melempar sebuah kantong di atas meja, suaranya gemerincing. Kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.
"Kami tidak mengemis. Heh-heh-heh, kami membeli, sahabat."
Bukan hanya mata Phang Kwi yang melotot lebar, enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan kawan-kawannya juga melebar. Kantong yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak!
"Orang tua, ikan tidak ada lagi," kata Phang Kwi, masih terheran-heran.
"Sahabat tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan di sini cukup banyak." Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada kakek itu.
Si kakek menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil tertawa-tawa, dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.
"He-heh-heh, kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan. Ha-ha-ha!"
Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu ‘menyikat’ masakan ikan dan arak yang dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan masakan yang sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.
Para perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang itu, meski pun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda, keduanya gembul luar biasa.
"Silakan minum lagi, sahabat tua." Ang-bin Piauw-to terus mengisi cawan arak di depan kakek itu.
Phang Kwi maklum akan maksud kawannya ini. Sambil tersenyum ia juga mengisi cawan arak di depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah ‘diloloh’ oleh kawanan perampok.
Makin banyak minum arak, kakek itu makin gembira dan terus tertawa-tawa. Akan tetapi sebaliknya, pemuda raksasa itu semakin pendiam. Sementara itu, para perampok makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan ‘umpan’ ikan dan arak mereka akan mendapatkan ‘ikan besar’.
Yang membuat mereka mendongkol adalah kekuatan minum arak dua orang itu. Biar pun telah cukup banyak menenggak arak, mereka belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi, Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.
"Kek, kau dan orang muda ini datang dari mana dan hendak ke manakah? Kiranya sudah sepatutnya kita berkenalan."
"He-heh-heh, tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia kini bernama Tan Hok. Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai kami, he-heh-heh..."
Semua perampok tertawa. Dalam hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata senasib dengan mereka.
"Apa pekerjaanmu, Kek?" Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.
Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "He-heh-heh, tukang pancing... ya benar, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?"
Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin juga kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andai kata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?
"Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki di sepanjang Sungai Yang-ce?" Dia mencoba untuk menyelidik.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, di mana saja ada ikan besar, tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk-nepuk pundak pembantunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam.
"Jika begitu," sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh kepala mereka, "tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai si Bajul Besi, dan dengan Kiang Hun si Naga Sungai, juga Thio Ek Sui si Cucut Mata Merah?"
Tiga nama kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.
Akan tetapi kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan mendengarkan orang melawak. "Mereka itu betul-betul manusia ataukah badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor = penjahat) sering kali aku lihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini aku melihatnya. Lalu yang ke dua, Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat gambar-gambarnya beserta patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya hanya dalam... mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut, kalau ada naga sungai, agaknya hanya... belut saja!" Kakek itu tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun Si Naga Sungai?
"Kemudian apa lagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha-ha, tentu selamanya ikan itu tak pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah. Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur maka matanya merah. He-heh-heh... ehh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula tentang bajul besi dan lain-lain itu?"
Tan Hok, yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, sekarang memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata, "Itu... buaya kecil."
Semua orang memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin akibat kaget karena mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan... kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!
"Keparat...!" Ang-bin Piauw-to memaki marah.
"Ha-ha-he-heh, sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. He-heh-heh! Tan Sam tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang semenjak tadi muram saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.
"Yang kecil memberi hadiah yang besar, aneh…”
Ang-bin Piauw-to dengan sangat marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke arah cecak.
“Aduh bagusnya, barang apa yang melayang itu?" Si kakek menunjuk dengan jarinya ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.
"Cappp…!"
Senjata runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, hanya beberapa sentimeter jauhnya dari binatang yang amat ketakutan dan kaget itu.
"Ha-ha-ha, tidak kena... tidak kena...!"
Semua orang terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena? Biasanya, dalam jarak seratus langkah, belum pernah piauw-nya tidak mengenai sasaran, apa lagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.
Kawan-kawannya mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw ke dua dan….
"Serrrrr... cappp!"
Kembali piauw-nya menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan, sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.
"Ha-ha-ha-ha!" Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak itu. "Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, Ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki pasti lebih lucu lagi!"
"Buaya kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!" berkata Tan Hok seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.
Dua orang perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tiriggi besar, tapi tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang besar untuk memukul kepala Tan Hok.
Kakek dan pemuda itu agaknya tidak berdaya. Mereka tentu akan celaka kalau terkena serangan-serangan tadi. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.
"Mundur kalian!"
Sesudah dua orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek Ang-bin Piauw-to berkata, "Dua orang ini adalah tamu agung kita, jangan diganggu dulu." Dalam kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk ‘turun tangan’.
Kemudian dia berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya. "Orang muda, kau tadi hendak maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?"
Hening sejenak. Para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh, sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya.
Jawaban Tan Hok sungguh tidak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu menjawab, "Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah bukan?"
"Tentu saja bukan!"
"Kalau bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?"
Phang Kwi si pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.
"Kakek Tan Sam, tadi kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw, mengapa?"
Tan Sam tertawa lagi, tertawa bebas dan lepas. "Selain cecak itu menjadi lucu kehilangan buntutnya, juga aku heran kenapa kau tidak mengarah kepalanya, melainkan buntutnya!"
Diam-diam Ang-bin Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena, melainkan buntutnya.
"Orang tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?"
Kakek itu longang-longok, nampak bingung. "Piauw itu apa sih?"
Semua perampok tertawa besar.
Ang-bin Piauw-to mengeluarkan dua batang piauw-nya dari kantong. "Inilah yang disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku sangat pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok."
Kakek dan pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya kagum.
"Hok-ji, apa kau bisa menyambitkan piauw ini?" tanya kakek itu kepada pembantunya.
"Apa sukarnya menyambit? Tinggal melempar saja!" katanya.
Kembali perampok tertawa lebar.
"Bertaruh... bertaruh...!” kata beberapa orang serentak.
“Boleh sekali...!" Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini. Berapa taruhannya?"
Ang-bin Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di dalam kantongnya, lalu menaruhnya di atas meja. "Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian keroyok berdua."
"Baik." Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas meja, lalu memandang kepala rampok itu. "Mengeroyok bagaimana maksudmu?"
"Kita pasang sehelai daun pada dinding itu, kemudian dalam jarak lima puluh langkah kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran. Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andai kata ada seorang di antara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, meski pun yang seorang lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja."
"Akur!" Kakek itu nampak gembira bukan main dan mengedip-ngedipkan matanya kepada pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan akan memenangkan pertandingan ini. "Kau sambitlah lebih dulu."
Daun sebesar telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri, agak jauh dari tempat sasaran. Sesudah mengeluarkan piauw-nya, kepala perampok itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.
"Lihat sambitanku!"
Tangan kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini. Tan Sam mulai plonga-plongo, saling pandang dengan pembantunya.
"Waaah, kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya...," ia mengeluh.
Para perampok tertawa.
"Kakek bodoh, mana ada ucapan kebetulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!" kata seorang anggota perampok. "Hayo lekas kau sambitkan piauw-mu, dan kau juga, badut muda!"
Tan Sam memandang pada pembantunya. "Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena di tengah-tengahnya. Hok-ji, marilah kita menyambit berbarengan saja, secara untung-untungan, tidak kena daun juga tidak apa-apa asal bisa kena kaki bajul buntung!" Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung, "Satu... dua..." Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.
"... tiga...!"
Dua buah piauw meluncur ke depan. Akan tetapi terdengar suara gelak terbahak ketika para perampok melihat bahwa dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding, jauh di kanan kiri daun.
"Aduh...!"
"Aaauuuuuhhh...!"
Terdengar dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata telah terkena hantaman piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
Anehnya, yang terkena hantaman piauw ini ialah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan.
Ang-bin Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.
"Nanti dulu!" kata kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!"
Kepala perampok itu memandangnya dengan heran. Apakah otak kakek ini sudah miring, pikirnya, "Boleh, berapa taruhannya?”
"Semua perak di atas meja itu,” tantang Tan Sam.
"Bagus, perlu ditambah?"
"Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua."
Sekarang para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.
Melihat perak yang amat banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.
"Bagaimana cara pertandingan?" tanya Tan Sam. "Apakah masih seperti tadi!"
“Boleh saja,” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya.
"Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tidak pandai menyambitkan piauw."
"Siapa bilang? Piauw-mu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kanannya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?"
Para perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.
"Nah, kau lihat. Aku mulai!" kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.
"Nanti dulu!" Tan Sam mencegahnya.
"Aku mau melihat dulu piauw-mu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini."
"Tentu saja sama!" jawab kepala rampok itu marah sambil menunjukkan piauw-nya yang beronce merah.
"Ahh, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauw-mu, kan celaka." Sambil berkata demikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada piauw-nya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.
Tentu saja para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang digunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu malah mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?
"Bagus, kau pintar, orang tua," kata Ang-bin Piauw-to mengejek. "Sekarang sudah jelas, piauw yang beronce punyaku, yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut?”
"Tidak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku, baru adil namanya."
Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.
"Berbareng pun baik," katanya mengejek sambil bersiap-siap.
Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar. Sambil
tertawa-tawa para perampok menyingkirkan diri jauh-jauh supaya jangan terkena piauw kakek yang kesasar lagi.
"Aku menghitung sampai tiga, baru lepas," kata kakek itu. Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.
"Satu... dua... tiga...!!"
“Serrr…!"
Piauw meluncur dari tangan Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang telah ditempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung.
Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar. Mula-mula menuju arah kanan, akan tetapi piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.
Di dekat daun, kedua piauw itu bersilang, lalu terdengar suara nyaring dan dua piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun!
Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang sekarang terpaku oleh piauw itu. Apa yang mereka lihat?
Ternyata piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan Sam!
"Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!" Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan.
Para perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Sraaattt!"
Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya nampak berkilauan pada waktu dikelebatkan.
"Jangan ambil!" seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.
Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan…
"Crakk!" meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan jatuh ke atas lantai.
Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.
"Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku," kata anggota perarnpok yang tadi hendak menyerang Tan Sam. "Aku harus membalasnya untuk kakiku."
"Betul, Twako, anjing tua ini pun bagianku!" berkata pula perampok yang kakinya terkena hantaman piauw Tan Sam tadi. Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum, kemudian melangkah mundur dan mengambil perak yang tersebar di lantai.
"Ahhh, jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi,” Phang Kwi mencegah khawatir.
"Diam!" bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.
Dengan mulut menyeringai dua orang perampok itu telah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap amat mengancam. Tan Hok tampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.
"He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa diambil...?"
"Kau dan pembantumu akan kami bunuh!" bentak perampok yang menghadapinya.
"Aduh... kenapa begitu? Jangan...!" si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.
"Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi..."
Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.
“Kau takut? Hayo lekas minta ampun!"
Tan Sam melirik ke arah pembantunya. "Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun." Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.
Terjadilah hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur, seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.
Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja yang berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, sebenarnya makin bodohlah dia. Bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai.
Andai kata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.
"Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!" bentak perampok yang mengancam Tan Hok. "Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"
Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok. "Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."
Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.
"Aduhhh...!"
“Ahhhhh...!"
Rasa ulu hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja saja. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan memuntahkan darah segar.
"Celaka!"
Ang-bin Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi!
Akan tetapi, juga karena kesombongannya, dan hendak mengandalkan jumlah kawan yang banyak, kepala perampok ini lalu mencabut goloknya sambil memberi aba-aba.
"Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!"
Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. Dia tertawa dan berseru.
"Perampok-perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggota Pek-lian-pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?"
Kedua tangannya segera bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang dapat mengelak.....
Makin terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang kakek Tan Sam. Ada pun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.
Sungguh-sungguh amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Semua gerakannya tidak seperti orang yang pandai silat, hanya mempunyai langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini sungguh luar biasa sekali, baik tenaga luar mau pun tenaga dalamnya.
Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan... ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras bagaikan serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai tulangnya patah-patah. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.
Berbeda dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat dari pada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar sinar golok. Serangan kepala perampok itu baru berlangsung dua puluh jurus, terdengar suara keras, goloknya terlempar menancap dinding dan tubuh kepala perampok itu terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini.
Pada saat itu, tiba-tiba bertiup angin dari luar warung dan berkelebatlah bayangan yang membawa bau yang amat harum. Pada lain saat Tan Sam dan Tan Hok telah berhadapan dengan seorang perempuan yang amat cantik.
Mukanya putih halus dengan sepasang pipi kemerahan. Mata yang mengeluarkan cahaya bening akan tetapi tajam, membayangkan pengertian yang mendalam. Bibir yang merah, kadang-kadang membayangkan kekerasan penuh wibawa, tetapi lebih sering tersenyum penuh pikatan. Pendeknya seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah.
Sukar menaksir berapa usianya. Melihat wajahnya yang segar dan bentuk tubuhnya yang padat, kiranya patut kalau dia ini berusia delapan belas tahun. Akan tetapi melihat sinar matanya, agaknya ia jauh lebih tua dari pada itu.
Pakaian yang menutup tubuhnya terbuat dari sutera halus berwarna merah kuning hijau biru diselang-seling indah sekali. Sepatunya yang sangat kecil berwarna merah dengan dasar dilapisi besi. Sebatang golok kecil dan tipis tergantung di punggungnya, dari depan hanya tampak gagangnya tersembul di belakang pundak kanan, sedangkan tangan kirinya memegang sehelai selendang merah dari sutera pula.
Kedatangan wanita ini amat cepatnya dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian amat tinggi. Tan Hok dan Tan Sam bengong terheran-heran ketika tiba-tiba wanita cantik itu menudingkan telunjuknya yang runcing halus ke muka mereka sambil membentak.
”Orang-orang Pek-lian-pai benar sombong, mengandalkan kepandaian sendiri menghina golongan lain. Hemmm, kalau tidak diberi hajaran akan menjadi makin besar kepala!"
Baru saja suaranya yang halus merdu berhenti, tubuhnya yang langsing sudah berkelebat ke arah Tan Sam. Dalam sejurus saja dia telah mengirim tiga macam serangan kepada kakek itu, yakni tusukan ke arah mata dengan dua jari tangan kiri disusul totokan dengan tangan kanan ke arah dada dan tendangan kaki kiri melayang pula!
Tan Sam tidak berani main-main seperti ketika menghadapi para perampok kasar tadi. Dari gerakan wanita ini maklumlah bahwa dia kini bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki jurus-jurus ilmu silat yang aneh dan keji.
Cepat dia bergerak mengelak dan menangkis, membuyarkan tiga macam serangan itu. Alangkah kagetnya ketika dia merasa lengan tangannya terasa pedas dan gatal ketika dia menangkis totokan tangan kanan wanita itu. Di lain pihak, wanita cantik itu sendiri pun kaget dan terheran-heran melihat tiga serangannya dapat dibuyarkan kakek ini.
"Nona, tahan dulu. Mengapa kau memusuhi orang Pek-lian-pai?" bertanya Tan Sam yang merasa penasaran.
Akan tetapi mukanya berubah pucat ketika melihat wanita itu sudah mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah lima bunga teratai dengan lima warna di atas satu tangkai. Lima macam teratai ini terbuat dari logam yang keras dan tangkainya merupakan gagang senjata.
"Ehh... kiranya... Ngo-lian Kauwcu (ketua Agama Lima Teratai)...," hanya sampai di sini Tan Sam dapat berkata karena senjata aneh berupa lima teratai itu telah digerakkan ke arahnya.
Tan Sam mencoba untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya menjadi pening, matanya silau dan pundaknya sudah terpukul sebuah di antara lima teratai itu. Kakek ini mengeluh dan roboh terlentang, mukanya berubah hitam dan napasnya berhenti.
Melihat gurunya tewas, Tan Hok pemuda tinggi besar itu menjadi kaget sekali.
“Siluman betina... Kau membunuh orang?”
Wanita itu tersenyum dan berkilatlah deretan giginya yang putih seperti mutiara teratur. Matanya yang bening tajam itu mengerling dan bergerak cepat menjelajahi tubuh Tan Hok yang tinggi besar dan kuat berotot, kelihatan membayangkan kekaguman.
"Ehh, bocah raksasa, siapa namamu?” pertanyaan ini diajukan dengan suara halus dan sikap genit.
"Namaku Tan Hok dan aku harus membalas kematian..."
"Sudahlah, kau ikut aku saja menjadi muridku. Tentu kelak kau akan menjadi jagoan besar yang tak ada bandingannya...”
“Siluman kau!" Tan Hok menerjang dengan kemarahan meluap, kepalan tangannya yang besar itu menghantam ke arah kepala wanita itu.
Akan tetapi dengan sikap tenang wanita cantik itu mengangkat tangan kirinya menangkis. Sepasang lengan bertemu dan aneh sekali jika dilihat. Lengan wanita itu kecil dan berkulit tipis halus, namun begitu bertemu dengan lengan Tan Hok yang besar dan kuat berotot seakan-akan terus menempel.
Tan Hok merasa tenaganya lenyap. Dia mencoba untuk menarik kembali lengannya, tapi tanpa hasil. Sebaliknya tangan wanita itu meraba dagunya yang keras, kemudian tangan kanan ini meluncur terus ke bawah. Di lain saat tubuh Tan Hok sudah roboh lemas karena jalan darahnya tertotok secara halus, akan tetapi luar biasa akibatnya.
Tan Hok berusaha menggerakan tubuh, akan tetapi semua urat di tubuhnya tidak mau menuruti kehendaknya, dia tetap lemas tak berdaya. Akan tetapi mata dan mulutnya dapat dia gerakkan, maka dia lalu memaki-maki tidak karuan.
Ada pun para perampok ketika tadi mendengar kakek Tan Sam menyebut nama Ngo-lian Kauwcu, tiba-tiba menjadi kaget dan juga girang. Ang-bin Piauw-to segera memimpin para anak buahnya yang sudah terluka untuk berlutut di depan wanita cantik itu.
"Ah, kiranya Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas) yang menolong nyawa kami yang rendah dan bodoh. Siauwte bertujuh menghaturkan terima kasih kepada Thian-li..."
"Sudahlah, cukup! Jangan banyak mengobrol," wanita itu mencegah sambil melambaikan tangan.
Wanita ini memang Kim-thouw Thian-li, ketua dari perkumpulan Ngo-lian-kauw, seorang wanita yang berkepandaian amat tinggi. Usianya sudah tiga puluhan, akan tetapi ia masih nampak seperti seorang gadis remaja. Sebagai murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo, tentu saja kepandaiannya amat hebat.
"Lebih baik kau merangket si mulut kasar ini supaya dia jangan memaki-maki seperti itu," katanya sambil menuding ke arah Tan Hok yang masih memaki-maki kepadanya.
"Baik Thian-li. Biar kubunuh si keparat ini!" kata Ang-bin Piauw-to yang cepat mencabut goloknya yang menancap pada dinding.
"Tak usah dibunuh, dirangket saja biar tidak memaki lagi. Paksa dia supaya mau menjadi muridku."
Ang-bin Piauw-to terheran, akan tetapi tentu saja dia tak berani membantah. Diambilnya sebatang cambuk dan mulailah dia mencambuki tubuh tinggi besar yang rebah miring itu.
Sementara itu Kim-thouw Thian-li kemudian mengambili paku-paku itu, tanpa ada yang ketinggalan, malah dia merampas pula kantong paku Pek-lian-ting dari mayat Tan Sam. Sambil tersenyum puas ia menyimpan paku-paku dalam kantong itu di balik bajunya, lalu ia kembali kepada Tan Hok yang sedang digebuki.
Makin kagumlah ketua Ngo-lian-kauw ketika melihat kepala perampok itu terengah-engah mengeluarkan keringat sedangkan cambuk itu sudah hancur, akan tetapi tubuh orang itu tidak terluka sama sekali, hanya bajunya yang hancur rusak memperlihatkan tubuh yang amat kuat.
"Hemmm, tebal kulitnya, ya? Coba biarkan aku yang mencambukinya!"
Kim-thouw Thian-li menerima cambuk yang tinggal gagangnya itu dari tangan Ang-bin Piauw-to, kemudian memukulkan gagang itu perlahan ke arah punggung Tan Hok. Kali ini pemuda tinggi besar itu mengaduh-aduh kesakitan.
"Jika kau tidak mau menerima menjadi muridku, kau akan kupukul lagi sampai tidak dapat kau tahan lagi sakitnya," kata Kim-thouw Thian-li, sedangkan para perampok itu melihat dengan heran.
"Lebih baik kau bunuh. Mau bunuh lekas bunuh, kenapa masih cerewet lagi?" Tan Hok memaki dengan suara lemah karena dia merasakan nyeri yang sangat hebat, akan tetapi matanya masih melotot berani.
"Kurang ajar kau, minta dibunuh apa susahnya?"
Ang-bin Piauw-to yang sudah menjadi marah sekali telah mengangkat goloknya hendak dibacokkan ke leher Tan Hok. Akan tetapi Kim-thouw mengibaskan selendangnya dan... golok itu terlempar dari tangan kepala rampok.
"Jangan lancang!" Kim-thouw Thian-li membentak, matanya yang bening mengeluarkan cahaya berkilat. Kagetlah kepala rampok itu dan cepat dia berlutut.
"Kau dan teman-temanmu harus mentaati perintahku.”
"Kami mentaati, Thian-li," jawab kepala rampok itu. "Mulai sekarang, anggaplah kami telah menjadi anak buah Thian-li.”
Kim-thouw Thian-li tertawa manis. "Baik, aku ingin melihat apakah kalian cukup setia. Tak jauh dari sini, di puncak Gunung Hek-niauw-san, ada sebuah kelenteng. Semua hwesio di kelenteng itu adalah anak murid Siauw-lim-pai. Kau ke sanalah dan lakukan ini..."
Wanita ini kemudian mengajak kepala rampok menjauhi Tan Hok dan berbisik-bisik sambil menyerahkan beberapa buah Pek-lian-ting yang tadi ia kumpulkan. Kepala rampok hanya mengangguk-angguk, kemudian bersama kawan-kawannya dia meninggalkan warung itu. Phang Kwi tidak ikut karena dia memang bukan anak buah Ang-bin Piauw-to lagi.
Kim-thouw Thian-li melirik ke arah tukang warung itu. "Kenapa kau masih belum pergi ikut yang lain?"
Phang Kwi cepat memberi hormat "Maaf, Thian-li, saya adalah pemilik warung ini, bukan anak buah Ang-bin-twako..."
"Hemmm, kalau begitu lekas singkirkan mayat kakek itu. Kubur dia jauh-jauh."
Phang Kwi mendongkol sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Baiknya mayat kakek itu tidak besar dan tak berapa berat, maka dia segera memanggulnya dan dibawa ke belakang. Setelah Phang Kwi pergi, wanita itu berlutut mendekati Tan Hok. Senyumnya makin manis dan matanya bersinar-sinar aneh. Dirabanya dada Tan Hok yang bidang dan kuat.
"Orang yang kuat dan gagah," katanya perlahan setengah berbisik." Tan Hok, kenapa kau berkeras kepala ? Kau ikutlah aku dan kau akan hidup penuh kesenangan. Aku kasihan kepadamu..."
Tan Hok adalah seorang pemuda yang selain masih hijau, juga jujur dan bodoh. Dia tidak dapat mengerti akan maksud yang tersembunyi di balik kata-kata dan sikap wanita itu. Dia menganggap bahwa orang itu betul-betul kasihan padanya. Hal ini mengingatkan dia akan keadaannya, bahwa gurunya, yaitu satu-satunya orang di dunia ini yang ada hubungan dengan dia telah mati. Maka matanya lalu basah dan dia menangis!
Kim-thouw Thian-li mengusap-usap pipi pemuda itu, dan berkata, "Jangan berduka, anak manis. Biar kusembuhkan kau dan kau ikutlah aku."
Jari tangannya yang halus itu menotok pundak dan punggung, dan di lain saat Tan Hok sudah pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merangkulnya dan hendak membantunya berdiri dengan sikap yang mesra, dia merasa juga bahwa hal ini tidak sewajarnya dan bukan sepatutnya. Maka dia meronta dan melepaskan diri.
"Tan Hok, mari kau ikut pergi ke tempatku. Mulai detik ini kau selain menjadi muridku, juga menjadi... teman baikku," kata Kim-thouw Thian-li dengan senyum dan lirikan mata yang genit memikat.
Tan Hok tidak mengerti maksudnya, "Aku tidak bisa ikut denganmu, juga aku tidak mau ikut. Kau sudah membunuh guruku, mana bisa aku menjadi muridmu? Apa lagi menjadi teman baik. Mulai sekarang, kau adalah musuhku."
Kim-thouw Thian-li kaget dan kecewa. "Orang goblok! Aku kasihan dan suka kepadamu, ingin menolongmu. Masa kau tidak mau terima?"
Tan Hok berulang kali menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., sekarang aku kalah olehmu, tapi lain kali mungkin aku bisa menang untuk membalas perbuatanmu terhadap suhu...”
Dari kecewa wanita itu menjadi marah. "Keparat, kau memang lebih suka mampus. Kalau kau memberatkan gurumu, nah, kau ikutlah dia ke neraka!" Setelah berkata demikian, Kim-thouw Thian-li menyerang dengan totokan maut.
Tan Hok yang menganggap wanita ini musuh besarnya, sudah bersiap-siap dan cepat menangkis. Kim-thouw Thian-li penasaran dan melakukan serangan bertubi-tubi. Tingkat kepandaian wanita ini sudah lebih tinggi dari pada Tan Sam, mana mungkin Tan Hok bisa melawannya? Baru tiga jurus saja pemuda ini sudah terjungkal oleh sebuah tendangan. Kim-thouw Thian-li melangkah maju, ia menggerakkan selendangnya hendak memukul ke arah kepala Tan Hok.
"Kim Li, tahan...! Jangan bunuh orang...!" tiba-tiba terdengar suara keras dari luar warung dan seorang pemuda yang tampan dan gagah melompat masuk.
Kim-thouw Thian-li menahan serangannya. Cepat sekali muka yang beringas itu kembali penuh senyum dan lirikan manis. la segera berpaling, kemudian menyambut kedatangan pemuda itu dengan girang.
"Kwee-koko (Kakak Kwee), kau sudah menyusul ke sini? Ahhh, aku sedang menghajar seorang jahat!" Dengan langkah terayun menarik wanita itu menghampiri pemuda muka putih itu sambil tersenyum-senyum, lalu memegang lengannya.
Pemuda itu menoleh ke arah Tan Hok, mukanya memperlihatkan rasa malu karena sikap mencinta wanita itu diperlihatkan di depan orang lain.
"Pergilah dan ubah jalan hidupmu, jadilah orang baik-baik," kata pemuda itu kepada Tan Hok.
Dengan mata masih melotot penuh kemarahan, Tan Hok lalu pergi meninggalkan warung. Hatinya panas dan mendongkol sekali kepada wanita itu yang selain sudah membunuh gurunya, melukainya, juga melakukan fitnah kepada dirinya terhadap pemuda muka putih yang menolongnya itu. Sebaliknya, meski dia menganggap pemuda tampan itu pun bukan orang baik-baik, namun Tan Hok seorang yang jujur dan tahu akan budi orang, maka dia merasa berhutang nyawa kepada pemuda yang dia tahu bernama keturunan Kwee itu.
Setelah bayangan Tan Hok lenyap, Kim-thouw Thian-li menggandeng tangan pemuda itu sambil menyandarkan tubuhnya. Diajaknya pemuda itu duduk menghadapi meja.
"Kwee-koko, kenapa kau menyusul ke sini? Dan janganlah muram selalu, bukankah ada Siauw-moi (Adinda) di sisimu? He, tukang warung! Lekas sediakan arak yang terbaik dan masaklah daging apa saja yang ada. Cepat!"
Pemuda itu seperti orang kehilangan semangat, dia menurut saja ditarik dan diajak duduk bersanding di atas kursi menghadapi meja. Wajahnya yang tampan nampak muram, akan tetapi matanya agak bersinar ketika dia menghadapi pelayanan Kim-thouw Thian-li yang ramah dan penuh cinta kasih mesra.
Siapakah pemuda yang bermuka putih tampan ini? Bukan lain orang, dia ini adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama Kwee Sin berjuluk Pek-lek-jiu (Tangan Geledek)! Dia inilah tunangan Kim-eng-cu Liem Sian Hwa, anak murid Hoa-san itu.
Biar pun yang termuda di antara murid Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, namun Kwee Sin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia sudah mewarisi ilmu pedang Kun-lun yang terkenal di dunia persilatan. Kini usianya baru dua puluh dua tahun.
Semenjak kecilnya Kwee Sin yang sudah tak berayah ibu itu tinggal di puncak Kun-lun melayani suhu-nya Karena inilah maka dia menjadi murid terkasih dari ketua Kun-lun-pai. Hanya kadang-kadang gurunya yang sudah tua dan menganggap Kwee Sin seperti putera sendiri itu memberikan kesempatan kepada Kwee Sin untuk turun gunung dan meluaskan pengalaman di dunia ramai.
Perkenalan Kwee Sin dengan ketua Ngo-lian-kauw itu belum lama. Terjadi baru beberapa bulan yang lalu ketika Kwee Sin sedang turun gunung memenuhi tugas yang diserahkan padanya oleh suhu-nya, yaitu mencari tahu keadaan dunia ramai tentang pemberontakan terhadap pemerintah Mongol.....
********************
Selanjutnya baca
RAJA PEDANG : JILID-04