Kisah Si Pedang Terbang Jilid 09


Yang Mei Li menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam di pegunungan itu. Bukit seribu goa amat terkenal karena keindahannya. Selain terdapat banyak sekali goa ciptaan alam di sana, juga terdapat banyak batu besar yang berwarna kekuningan sehingga dari jauh nampak seperti emas. Karena itu Bukit Seribu Goa ini juga dikenal dengan Bukit Emas.

Akan tetapi kekagumannya itu segera sirna terganti kemuraman wajahnya ketika dari jauh dia melihat tubuh orang malang melintang di sepanjang jalan.

"Ahh, tidak lagi!" dia berseru lirih lalu menghentikan kudanya. Kuda itu bisa menjadi panik apa bila terlampau dekat dengan mayat-mayat itu. Dia melepaskan kendali kuda itu lantas berloncatan mendekat tempat itu.

Ada sebelas orang yang dibantai di tempat itu. Yang membuat hatinya sedih dan marah adalah bahwa di antara mayat-mayat itu terdapat tiga orang wanita muda dan dua orang anak laki-laki yang usianya sekitar lima enam tahun.

Di sepanjang perjalanannya dia sudah mendengar mengenai pembantaian dan serangan yang dilakukan oleh para pendekar terhadap orang-orang Beng-kauw. Dia memang sudah mendengar bahwa Beng-kauw adalah perkumpulan sesat yang mempunyai banyak orang jahat, namun kenyataan bahwa di antara orang-orang Beng-kauw yang dibunuh terdapat pula wanita dan anak-anak, hatinya mulai penasaran dan curiga. Mungkin saja Beng-kauw memiliki anggota yang jahat, akan tetapi apakah anak-anak dan isteri orang Beng-kauw juga jahat? Apakah kehadiran anak-anak sebagai keluarga Beng-kauw itu membuat mereka jahat pula, seperti orang yang ketularan penyakit?

Mungkin saja di Beng-kauw terdapat anggota yang jahat, akan tetapi apakah para isteri dan anak-anak orang Beng-kauw juga orang jahat? Apakah kehadiran anak-anak sebagai anggota keluarga Beng-kauw membuat mereka jahat pula, seperti orang yang ketularan penyakit?

Sudah sejak tiga hari yang lalu dia sering menemukan adanya mayat-mayat berserakan di sepanjang perjalanan. Ketika ditanyakan hal itu kepada penduduk dusun di sekitar tempat kejadian, dia mendapat keterangan bahwa yang dibunuh itu adalah orang-orang jahat dari Beng-kauw, dan yang membunuhnya adalah para pendekar dari berbagai perkumpulan silat, akan tetapi yang terbesar adalah dari perkumpulan Nam-kiang-pang.

Sering dia mendengar disebutnya nama pendekar Ciu Kang Hin, pendekar calon ketua Nam-kiang-pang yang kabarnya amat lihai dengan goloknya, tampan dan gagah menjadi idaman para gadis! Akan tetapi melihat cara orang-orang Beng-kauw dibunuh, nama Ciu Kang Hin itu tidak menimbulkan kagum di hatinya, bahkan mendatangkan rasa penasaran sehingga ingin menyelidiki pembantaian itu.

Sejak tiga hari yang lalu, apa bila bertemu mayat-mayat yang terbunuh di sepanjang jalan, Mei Li menggunakan uangnya untuk menyuruh orang-orang dusun menguburkan mayat-mayat itu. Tadinya orang-orang dusun itu merasa takut, akan tetapi dengan gagah Mei Li mengatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab. Lagi pula jika mayat-mayat itu tidak dikubur, maka mereka sendiri yang akan rugi karena mungkin saja mayat-mayat itu akan mendatangkan penyakit. Selain itu Mei Li juga memberi uang untuk membeli peti mati.

Sekarang ada lagi belasan buah mayat! Mei Li lalu menghampiri kudanya, menuruni bukit menuju ke perkampungan yang telah nampak dari situ dan seperti yang sudah-sudah, dia membujuk penduduk untuk membeli peti mati dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan sambil mengikuti jejak banyak kaki manusia yang menuju ke timur. Dia dapat menduga bahwa jejak kaki itu adalah jejak kaki rombongan orang yang agaknya sedang tergesa-gesa melarikan diri, karena jejak-jejak itu tercampur dengan jejak kaki anak-anak dan wanita.

Menjelang senja kudanya sampai di kaki bukit. Dari jauh dia sudah mendengar suara ribut banyak orang yang sedang berkelahi, juga terdengar jerit tangis para wanita dan kanak-kanak. 

Mei Li tahu bahwa di depan terjadi pertempuran, maka dia cepat membalapkan kudanya. Dia lantas melihat lebih dari tiga puluh orang yang terdiri dari pria, wanita serta anak-anak, yang berkelompok dan dilindungi belasan orang laki-laki, sedang dikepung dan diserang oleh belasan orang yang menunggang kuda!

Biar pun mereka yang melindungi sekelompok wanita dan anak-anak itu juga bukan orang lemah dan mereka melawan mati-matian menggunakan pedang dan golok mereka, tetapi dengan jelas Mei Li bisa melihat bahwa mereka bukanlah lawan yang seimbang dari para penyerang itu. Kini para penyerang sudah berlompatan turun dari atas kuda mereka, dan gerakan mereka amatlah tangkasnya. Dalam waktu beberapa belas jurus saja sudah ada tiga orang pelindung rombongan itu yang roboh mandi darah.

Mei Li mempercepat larinya dan seperti terbang dia sudah melompat turun dari punggung kudanya lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke tempat itu sehingga kudanya tertinggal di belakang. Akan tetapi terjadi sesuatu yang membuat lega hatinya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang pemuda telah terjun ke dalam pertempuran membela rombongan itu.

Sepak terjang pemuda ini gagah luar biasa. Dua orang pengeroyok yang memegang golok terjungkal ketika menyambutnya dengan bacokan golok. Seorang yang tinggi kurus dari pihak pengeroyok menjadi marah kemudian mendorong dengan tombak cagaknya. Akan tetapi pemuda itu mendorong dengan kedua tangannya dan si tombak cagak itu terdorong ke belakang sambil berteriak kesakitan.

"Matahari merah!” teriaknya dan semua pengeroyok terkejut mendengar seruan ini.

Mei Li yang sudah tiba di situ juga menjadi kagum dan terkejut sekali. Tentu saja dia telah mendengar tentang ilmu Matahari Merah, salah satu dari ilmu pasangan Matahari Merah dan Salju Putih, ilmu yang dianggap sukar dicari bandingnya pada masa itu. Dan ilmu ini merupakan ilmu rahasia yang hanya dikuasai oleh pimpinan tertinggi Beng-kauw!

Kalau begitu pemuda itu tentu orang Beng-kauw, dan bukan anggota biasa pula. Namun dia tidak peduli. Yang diserang dan akan dibantai adalah wanita dan anak-anak! Dia harus membelanya, tidak peduli wanita dan anak-anak itu anggota Beng kauw atau bukan.

Juga dia melihat bahwa pasangan kuda-kuda pemuda yang pandai mempergunakan ilmu Matahari Merah tadi terlihat tidak tegak, tapi agak terhuyung tanda bahwa dia terluka. Hal ini dapat terlihat oleh musuh-musuhnya pula, maka seorang di antara musuh-musuhnya telah berseru,

"Serang terus, dia sudah terluka!"

Mei Li sudah tiba di situ. Tanpa membuang waktu lagi dia sudah melemparkan sepasang pedang terbangnya.

"Trangg…! Tranggg…!" Dua batang golok terpental dan terlempar.

Semua orang terkejut karena yang nampak hanyalah kilatan pedang sedangkan orangnya tidak nampak. Sesudah sepasang pedang itu terbang kembali kepada pemiliknya, barulah mereka menyadari bahwa di gagang hui-kiam (pedang terbang) itu dipasangi tali sehingga bisa terbang kembali kepada pemiliknya.

"Tahan dulu!” seorang pengeroyok berteriak dan ternyata dia adalah seorang wanita.

Usia wanita ini kurang lebih dua puluh delapan tahun. Wajahnya cantik jelita dan sikapnya genit. Rambutnya panjang terurai dan pakaiannya mewah. Dia memegang pedang ronce merah.

"Siapa engkau, nona? Kami lihat engkau bukan orang Beng-kauw!"

Mei Li tersenyum dan begitu dia tersenyum, kecantikan wanita di depannya itu bagaikan bulan kesiangan, memudar oleh cahaya matahari.

"Dan engkau siapa? Aku lihat engkau pun pasti bukan orang Beng-kauw!" tanyanya dan cara dia memandang orang itu seperti seorang dewasa memandang anak kecil. Memang Mei Li belum taliu siapa wanita itu maka dia berani memandang rendah.

Wanita itu menjadi berang. Mukanya merah sekali. Dia adalah orang termuda dari Bu-tek Ngo-sin-liong (Lima Naga Sakti Tanpa Tanding) dan gadis ingusan ini berani memandang rendah kepadanya?

Sekarang pertempuran telah berhenti oleh seruan Bi-sin-liong Kwa Lian. Empat orang dari golongan yang diserang telah roboh dan dua orang penyerang yang tadi diterjang pemuda perkasa itu pun roboh. Pemuda itu sendiri berdiri memandang, mukanya agak pucat tetapi sikapnya penuh kemarahan dan keberanian.

Bi-sin-liong menudingkan pedangnya ke muka Mei Li kemudian membentak dengan suara lantang, "Bocah ingusan bosan hidup! Ketahuilah bahwa yang kau hadapi ini adalah Bin-sin-liong Kwa Lian, seorang di antara Bu-tek Ngo-sin-liong, tokoh Hoat-kauw! Nah, lekas katakan. Siapakah engkau bocah ingusan berani memandang rendah kepadaku? Gurumu agaknya kurang memberi pelajaran kepadamu!"

Pemuda Beng-kauw itu sendiri agaknya terkejut mendengar disebutnya nama Bu-tek Ngo-sin-liong itu. Sedangkan orang tinggi kurus berusia empat puluh lima tahun yang mukanya pucat, yang memegang sebatang tombak cagak dan tadi terkejut ketika melihat gerakan pemuda itu, yang dapat mengenali ilmu Matahari Merah, segera menyambung,

"Dan aku adalah Tiat-sin-liong Lai Cin, lebih baik kalian mengenalku sebelum mati."

Kalau semua orang terkejut dan gentar mendengar nama dua orang tokoh Hoat-kauw ini, maka Mei Li sendiri nampak biasa saja, malah tersenyum mengejek. Hal ini bukan karena dara ini sombong, meilainkan karena dia memang tidak pernan mengenal nama itu.

"Wah, ternyata nenek Kwa Lian dan kakek Lai Cin yang berlagak di sini. Kalian sudah tua tapi tidak tahu diri! Kalian mau tahu siapa aku? Buka telinga kalian baik-baik dan jewerlah sampai lebar, bersiaplah agar jangan sampai jatuh karena terkejut. Aku adalah Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)!" Lalu disambungnya dengan lantang, "Awas, pedangku ini akan memenggal lehermu!"'

Ucapan itu ditutup dengan gerakan kedua tangannya dan sepasang pedangnya langsung menyambar laksana dua ekor burung garuda ke arah leher Bi-sin-liong Kwa Lian dan Tiat-sin-liong Lai Cin!

Kedua orang ini segera menangkis dengan pedang dan tombak mereka, akan tetapi pada saat itu pula pemuda yang pandai ilmu Matahari Merah sudah menyerang kembali dengan pukulannya yang ampuh ke arah Tiat-sin-liong (Naga Sakti Besi).

Tentu saja tokoh Hoat-kauw yang sudah mengenal pukulan sakti Matahari Merah ini cepat mengelak karena dia tidak berani menangkis secara langsung. Sementara itu Bi-sin-liong juga mengeluarkan teriakan kaget ketika pedangnya yang menangkis pedang terbang itu tergetar hebat. Tiat-sin-liong juga tidak berani memandang rendah pedang terbang yang mengarah ke lehernya itu, maka dia menghindar dengan loncatan jauh ke belakang.

Ketika tidak dapat mengenai sasaran, bagai dua ekor ular naga melayang-layang mencari mangsa akhirnya sepasang pedang terbang itu merobohkan dua orang pengeroyok yang lancang berani menangkisnya, sedangkan pemuda itu pun kembali merobohkan seorang lawan lagi dengan dorongan tangannya.

Melihat kehebatan dua orang muda itu, Bi-sin-liong Kwa Lian lalu mengeluarkan teriakan, mengajak suheng-nya untuk meiarikan diri. Tiat-sin-liong memberi aba-aba kepada anak buahnya dan mereka lalu berloncatan pergi sambil membawa tubuh teman mereka yang terluka atau tewas.

Yang Mei Li tidak mengejar karena dia melihat pemuda itu terhuyung lantas jatuh berlutut sambil terengah-engah. Mereka yang tadi melindungi kelompok itu sekarang menjatuhkan diri berlutut di depan Mei Li sambil memberi homat.

"Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan lihiap."
"Paman," tanya Yang Mei Li kepada salah seorang di antara mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian diserang mereka? Apakah benar kalian orang-orang Beng-kauw?"
“Kami adalah penduduk dusun Sin-yang yang termasuk wilayah kekuasaan Beng-kauw. Memang banyak pemuda kami yang menjadi anggota Beng-kauw, akan tetapi kami tidak tahu menahu mengenai Beng-kauw. Selama beberapa bulan ini Beng-kauw dikejar-kejar dan dibunuhi dan kami pun ikut pula dikejar-kejar. Sudah banyak di antara kami yang mati terbunuh. Kami sedang pergi mengungsi ketika dikejar oleh rombongan orang Hoat-kauw tadi. Untung lihiap keburu datang menolong."

"Dan siapa pemuda itu?" tanya Mei Li sambil menunjuk pemuda yang masih berlutut dan mengumpulkan tenaga itu.

Pemuda itu membuka mata, kemudian bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Mei Li. "Nona, namaku Sie Kwan Lee, dan aku... aku...” Pemuda itu terkulai dan jatuh pingsan.

Mei Li terkejut dan cepat memeriksa nadi tangan pemuda Itu. Detik jantungnya tidak tetap dan tubuhnya terasa panas sekali. Jelas bahwa pemuda itu menderita keracunan.

"Sekarang kalian mau ke mana? Dan siapakah pemuda ini?" Dia bertanya kepada orang tadi.
"Ketahuilah, lihiap. Dia adalah Sie-kongcu (tuan muda Sie), putera dari ketua Beng-kauw yang selalu menolong kami."
"Hemm, dia sakit berat karena keracunan," kata Mei Li.
"Kami akan melanjutkan perjalanan kami lari mengungsi, lihiap, dan kami harus membawa Sie-kongcu. Dia adalah tuan penolong kami."

Melihat betapa pemuda itu sakit dan sekarang rombongan itu tak ada yang menjaga lagi, maka Mei Li segera mengambil keputusan. "Baiklah, aku akan menemani kalian sebelum pemuda itu sembuh dan dapat melindungi kalian lagi."

"Ahh, terima kasih, lihiap. Terima kasih." Orang itu berlutut lalu diikuti oleh semua orang sehingga Mei Li tersipu. Belum pernah dia dinormati orang seperti itu.
"Sudahlah, kalian membuat aku merasa sungkan saja. Sudah sepatutnya bila orang saling menolong."

Rombongan itu kemudian bergerak lagi melanjutkan perjalanan mereka mengungsi, diikuti oleh Mei Li yang menunggang kudanya perlahan-lahan. Orang yang tadi mewakili kawan-kawannya bicara, berjalan di dekat kudanya.

"Sungguh, nona telah menanam budi yang luar biasa besarnya kepada kami," katanya.
"Sudahlah, jangan bicara lagi mengenai budi. Kebeulan aku pun sedang merantau, maka melakukan perjalanan bersama kalian Ini tidak menggangguku sama sekali."
"Akan tetapi, lihiap, di antara seratus orang pendekar, belum tentu ada satu orang yang sudi menolong kami."
"Ehh? Jika dia tidak mau menolong kalian yang terancam bahaya, maka dia tidak pantas disebut pendekar."

"Ahh, agaknya engkau belum mengetahui, lihiap. Semua pendekar di dunia ini memusuhi kami. Semua orang menganggap bahwa Beng-kauw merupakan orang-orang jahat yang pantas dibasmi. Memang kami tidak dapat menutup kenyataan bahwa orang Beng-kauw hidup penuh kekerasan, suka berkelahi, dan banyak pula di antara mereka yang sangat jahat. Akan tetapi tidak semuanya, seperti kami yang hidup mengandalkan kerja keras dan tidak mempunyai apa-apa untuk diandalkan berbuat jahat. Anak-anak dan isteri kami pun bukan orang jahat, kenapa diikut sertakan dalam pembasmian?"

"Apakah semua pemimpin Beng-kauw jahat dan kejam?"
"Terus terang saja, lihiap, banyak di antara mereka yang kejam. Bahkan pangcu sendiri adalah seorang yang tidak pernah mau mematuhi hukum negara atau hukum masyarakat. Suka bertindak ingin menang sendiri. Akan tetapi bukankah orang-orang dunia persilatan selalu begitu? Biar pun demikian, kami semua tidak dapat mengatakan bahwa Sie-kongcu itu jahat! Dia malah sering bertentangan dengan para pimpinan, dengan ayahnya sendiri. Ahh, sudahlah lihiap, kalau terlalu banyak bicara tidak ada yang dapat menjamin kepala ini tetap melekat di leherku."

Karena orang itu tidak berani banyak cakap lagi, Mei Li juga diam saja dan dijalankannya kudanya dekat dengan kereta dorong di mana tubuh Sie Kwan Lee rebah telentang. Dia lantas mengamati wajah pemuda yang masih pingsan itu. Tadi dia sudah menyuruh orang meminumkan obat kepada pemuda itu, obat penawar racun. Sekarang dia masih pingsan, atau tidur pulas sekali.

Wajah pemuda itu nampak tenang. Wajah yang kecoklatan terbakar panasnya matahari. Tampan dan ganteng. Wajah yang jantan.

Sie Kwan Lee adalah putera tunggal dari Sie-pangcu (ketua Sie) yang nama lengkapnya adalah Sie Wan Cu, ketua Beng-kauw yang terkenal sekali karena dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti. Dengan mewarisi ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, kiranya tidak akan ada tokoh dunia persilatan yang mampu menandinginya dalam hal ilmu tangan kosong,

Sie Wan Cu sudah berusia enam puluh tahun. Salah satu di antara kesukaannya adalah mengumpulkan banyak isteri yang cantik dan muda. Untuk ini dia tak perlu menggunakan kekerasan, lagi pula dia tak mau kehilangan martabatnya kalau memaksa wanita. Dengan wajahnya yang tampan gagah biar pun kini usianya telah enam puluh tahun, juga dengan tubuhnya yang kuat dan hartanya yang cukup, wanita mana yang tidak akan girang untuk menjadi isterinya?

Dia mempunyai belasan orang isteri, akan tetapi dari sekian banyak isterinya, hanya isteri pertama saja yang berhasil memiliki keturunan, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu adalah Sie Kwan Lee, kini berusia dua puluh lima tahun sedangkan adiknya bernama Sie Kwan Eng, berusia sembilan belas tahun dan cantik sekali.

Akan tetapi Sie-pangcu tidak puas dengan puteranya. Memang puteranya itu mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu silat, namun puteranya dianggapnya terlalu lemah hati. Terlalu mirip ibunya dan tidak mau melakukan perbuatan yang dianggapnya tidak benar dan jahat! Anak perempuannya berwatak lebih tegas dibandingkan Kwan Lee, maka dia pun menurunkan ilmu-ilmunya kepada keduanya.

Semenjak Beng-kauw dikejar-kejar dan dimusuhi, banyak anggotanya dibunuh, baru Sie-pangcu menurunkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Matahari Merah diajarkannya kepada Kwan Lee, sedangkan ilmu Salju Putih diajarkan kepada Kwan Eng.

Kwan Lee baru saja melatih diri dengan ilmu itu yang baru tiga perempatnya dia kuasai. Dalam kaadaan seperti itu dia sama sekali tidak boleh menggunakan sinkang karena dia dapat terluka oleh tenaga mukjijat dari ilmu itu sendiri. Tetapi ketika dia mendengar bahwa penduduk dusun yang berdekatan diserang oleh para pendekar, dia tidak dapat menahan hatinya kemudian dia meninggalkan tempat latihan. Padahal hal ini sangat berbahaya dan merupakan pantangan!

Tidak ada yang berani mencegah karena ayahnya kebetulan sedang tidak berada di sana. Akibat perlawanannya membela para pengungsi itu, dia kemudian terluka dan keracunan oleh tenaganya sendiri.

Kwan Lee membuka matanya dan bergerak. Sejenak dia heran melihat dirinya berada di dalam kereta dorong. Dia bangkit duduk sambil memerintahkan mereka yang mendorong kereta itu agar berhenti. Kemudian dia turun dari kereta dorong dan mengangkat mukanya ketika ada kuda mendekatinya.

Ketika melihat Mei Li di atas kudanya, dia pun teringat lagi akan peristiwa tadi. Maka dia cepat-cepat memberi hormat, "Nona, aku Sie Kwan Lee mengucapkan terima kasih atas bantuan nona kepada orang-orang ini."

"Tidak perlu sungkan, twako," kata Mei Li. "Orang-orang Hoat-kauw tadi memang sangat sombong dan pantas dihajar!"
"Nona, engkau yang masih begini muda berani melawan bahkan tadi mampu menandingi dua orang dari Bu-tek Ngo-sin-liong. Jika boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari golongan manakah?"
"Aku tidak mewakili golongan mana pun, dan namaku adalah Yang Mei Li. Aku sedang merantau dan kebetulan saja lewat di sini, twako. Di sepanjang jalan aku melihat banyak orang Beng-kauw menjadi korban pembunuhan, maka ketika di sini melihat orang-orang ini dikejar-kejar dan hendak dibunuh, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam. Syukurlah di sini ada engkau yang lihai, akan tetapi engkau sedang terluka keracunan. Bagaimana bisa ada hawa beracun mengamuk di tubuhmu, twako?"

Kwan Lee tersenyum sedih. "Panjang sekali ceritanya, nona. Kalau nona suka singgah di tempat kami, akan kuceritakan semua."

"Maafkan, twako. Setelah engkau sembuh, aku harus melanjutkan perjalananku."
"Nanti dulu, nona Yang. Saat ini di antara para pendekar kurasa hanya engkau seorang yang tidak memusuhi kami orang-orang Beng-kauw. Karena itu aku hendak menceritakan segalanya tentang kami agar engkau dapat meluaskan keterangan itu dan membuka mata orang-orang kangouw bahwa Beng-kauw bukanlah perkumpulan para penjahat yang amat kejam dan harus dibasmi. Maukah engkau membantu kami, nona? Bantuanmu itu akan lebih berharga dari pada kalau nona membela nyawa semua orang ini."

Mei Li mengerutkan alis. Ayah dan ibunya berpesan bahwa dia tentu saja boleh bertindak sebagai pendekar, membela kebenaran dan keadilan, membantu yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Akan tetapi dia diperingatkan agar jangan melibatkan diri dalam permusuhan antara perkumpulan-perkumpulan di dunia kangouw.

"Aku suka membantu siapa saja yang mengalami penasaran, akan tetapi aku tidak mau terlibat dengan permusuhan pribadi perkumpulan."
“Kami pun tidak ingin engkau terlibat dalam urusan kami, nona. Kami hanya menghendaki keadilan dan dapat membersihkan diri dari fitnah. Tentu saja kalau nona sudi menolong. Kalau tidak, kami pun tidak dapat memaksa dan menyerahkan diri kepada nasib saja."

Suara itu terdengar begitu penuh duka sehingga Mei Li merasa tidak tega untuk menolak. Lagi pula pemuda itu hanya ingin agar dia menjadi pendengar saja, mau disebar luaskan atau tidak, terserah sepenuhnya kepadanya.....
"Baiklah, akan kudengarkan. Lagi pula keadaanmu belum kuat benar, sedangkan mereka ini membutuhkan perlindungan."

Wajah Kwan Lee menjadi berseri. "Terima kasih, nona!"

Meski pun masih lemah tetapi dia minta disediakan seekor kuda dan kini dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang seekor kuda di samping Mei Li. Di sepanjang perjalanan ini Mei Li lebih banyak mengenal sifat dari pemuda itu. Seorang pemuda yang sederhana. Biar pun putera ketua Beng-kauw namun bersikap ramah dan sederhana terhadap anak buah. Juga selalu sopan terhadap dirinya sehingga dia mulai merasa suka kepadanya.

Orangnya agak pendiam, akan tetapi selalu terbuka dan jujur, ramah dan lembut. Juga tak pantas kalau dikatakan putera seorang ketua yang kasar dan liar karena ternyata pemuda ini cukup terpelajar, mengenal sajak-sajak indah dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah.

Pada malam ke dua rombongan terpaksa berhenti pada sebuah lereng bukit. Sebenarnya pusat perkampungan Beng-kauw sudah dekat, akan tetapi karena hari sudah malam dan rombongan yang terdiri dari wanita dan anak-anak sudah lelah, terpaksa mereka berhenti. Malam itu bulan purnama dan suasana malam di lereng gunung itu indah sekali.

Kwan Lee sudah sehat kembali, kini dia duduk di atas batu besar bersama Mei Li. Mereka telah akrab karena merasa cocok, dan pada kesempatan ini Mei Li ingin mengetahui lebih banyak tentang pemuda itu dan tentang Beng-kauw.

"Nah, sekarang engkau tentu sudah cukup mengenalku sehingga percaya untuk bercerita sedikit mengenai Beng-kauw dan mengapa para pendekar memusuhinya, twako."

"Perkumpulan Beng-kauw memang berasal dari aliran Agama Terang (Beng-kauw), nona. Namun sekarang di antara para pengikutnya sudah jarang yang mengerti tentang Agama Terang itu. Agama itu sendiri berdasarkan im Yang atau Terang dan Gelap. Yang terang adalah baik sebaliknya yang gelap adalah jahat. Pengetahuan mengenai agama ini berarti pengetahuan tentang alam beserta kekuasaannya yang terbagi antara gelap dan terang. Penyelamatan adalah proses membebaskan unsur terang dari kegelapan. Yang berasal dari Tuhan itu adalah Terang, sebaliknya iblis mendatangkan kegelapan untuk menggoda manusia, oleh karena itu tubuh kita harus penuh dengan roh-roh agar bisa membebaskan diri dari pengaruh kegelapan. Pimpinan Beng-kauw sendiri adalah Duta-duta Terang yang menerangi kegelapan."

“Hemm, kalau begitu apa bedanya dengan agama lainnya? Semua agama juga berpihak kepada yang terang dan memerangi yang gelap atau jahat."
“Pada hakekatnya memang tidak ada bedanya, nona. Akan tetapi tanpa disadari pemeluk-pemeluknya sudah diperalat oleh kekuasaan iblis sehingga mereka saling menyalahkan, menganggap diri sendiri yang benar. Karena itu tindakan para pemimpinnya bahkan selalu bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Hukum agama yang diterapkan bukan lagi hukum agama berdasarkan keadilan, melainkan dipilih mana yang menguntungkan bagi si pemimpin. Dari situlah timbul kepalsuan-kepalsuan dan kejahatan yang berkedok agama, nona."

"Bagaimana dengan Beng-kauw sendiri?"
"Tidak ada bedanya dengan agama-agama atau aliran lainnya. Selama orang-orang yang memimpinnya merasa keberadaan dan kekuasaannya terancam, mereka akan bergerak, mempergunakan segala dalih dalam agama mereka untuk menghantam lawan. Tentu saja dengan dalih melakukan pembersihan atau menghukum."

"Apakah semua pimpinan agama begitu?"
"Tentu saja tidak, ada kecualinya. Ada yang benar-benar menaati perintah agama tanpa menonjolkan kehendak pribadi, dan orang-orang seperti itulah yang benar-benar menjadi orang yang ditunjuk oleh Tuhan untuk menuntun manusia lain ke jalan kebenaran.
"Sekarang ceritakan mengenai keadaan Beng-kauw, twako. Mengapa Beng-kauw sampai dimusuhi oleh semua pendekar? Juga tentang keluarga ketua Beng-kauw, ayahmu."

Pemuda itu menghela napas. "Sebagian besar adalah karena kesalahan para pimpinan Beng-kauw juga. Mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak mempedulikan peraturan umum, suka melanggar kebiasaan dunia kangouw sehingga dengan sendirinya memiliki banyak musuh. Apa lagi kebiasaan para tokoh Beng-kauw yang suka memakai kedok kalau sedang berkelahi, kebiasaan ini amat buruk sehingga mudah saja bagi yang tidak suka untuk melempar fitnah kepada Beng kauw. Orang yang melakukan kejahatan, asal dia memakai kedok, lalu mudah saja dicap sebagai orang Beng-kauw. Akhir akhir ini yang sangat bersemangat memusuhi kami adalah orang Nam-kiang-pang. Alasan mereka adalah bahwa Beng-kauw sudah banyak membunuh anggota mereka."

"Benarkah itu?"
"Siapa tahu benar atau tidaknya? Mungkin benar dan mungkin tidak, karena mereka tidak dapat membuktikannya, hanya mengatakan bahwa pembunuhnya memakai kedok Beng-kauw. Mereka mengejar-ngejar orang kita dan membunuhi mereka tanpa pandang bulu. Kanak-kanak, wanita, siapa saja yang berbau Beng-kauw pasti dibunuh. Terutama sekali calon ketua mereka yang bernama Ciu Kang Hin, kabarnya sangat lihai dan kejam sekali dalam membunuhi orang-orang Beng-kauw."
"Ahh, hal itu harus dicegah!" kata Mei Li. "Dan apa yang dilakukan oleh ketua Beng-kauw untuk menghadapi hal ini?"

Pemuda itu menarik napas panjang. "Ayahku kurang bijaksana. Dia menerimanya sebagai sebuah tantangan. Tanpa berusaha untuk mencairkan, dia mengambil sikap bermusuhan dan memerintahkan anak buah untuk balas membunuh. Ahh, aku menyesal sekali."

Pemuda itu lantas menceritakan tentang keluarganya. Ayahnya adalah ketua Beng-kauw bernama Sie Wan Cu, sakti dan ditakuti. Ayahnya memiliki dua orang anak, yaitu dia dan adiknya, Sie Kwan Eng yang berusia sembilan belas tahun. Sesudah terjadi pembantaian terhadap orang-orang Beng-kauw, ayahnya lalu mengajarkan ilmu simpanan keluarganya, yaitu ilmu Matahari Merah kepadanya, dan ilmu Salju Putih kepada adiknya.

"Ahh, kalau begitu engkau dan adikmu sudah mewarisi dua ilmu yang paling hebat," kata Mei Li kagum.
"Sebetulnya baik aku mau pun adikku belum menguasai benar ilmu-ilmu itu. Bahkan aku baru menguasai sebanyak tiga perempat saja. Menurut aturan, ketika sedang berlatih ilmu Matahari Merah, aku tidak boleh terganggu, sama sekali tidak boleh mengeluarkan tenaga sinkang. Akan tetapi ketika mendengar betapa orang-orang ini dikejar-kejar, aku tidak bisa menahan diri kemudian nekat keluar untuk membela mereka sehingga tadi aku menjadi keracunan oleh tenagaku sendiri."

"Hemmm, kalau begitu besok pagi aku tidak akan ikut denganmu. Aku harus melanjutkan perjalananku, karena kalian sudah tiba di luar perkampunganmu."
"Nona, kuharap dengan sangat, sudilah kiranya nona singgah sebentar di rumah kami. Adikku tentu senang sekali berkenalan denganmu."
"Aku tidak ingin bertemu dengan ayahmu."
"Aku tahu, nona. Aku sendiri akan merasa tidak enak kalau nona harus bertemu dengan ayahku…” Dia berhenti tiba-tiba.
"Kenapa?"

Tentu saja Kwan Lee tidak mau mengatakan bahwa ayahnya memiliki kelemahan, yaitu tidak kuat melihat wanita cantik!

"Ahh, tidak apa-apa, nona. Hanya saja ayah memiliki watak yang aneh dan kadang tidak mempedulikan peraturan, akan tetapi saat ini ayah tidak berada di rumah. Marilah, nona, aku ingin memperlihatkan kepadamu bahwa orang Beng-kauw tidak semuanya jahat."

Karena terus didesak dan sikap pemuda ini memang sangat ramah, maka Mei Li merasa tak enak kalau menolak terus. "Baiklah, aku akan singgah untuk sehari dua hari," katanya dan pemuda ini segera memperlihatkan wajah gembira.

Rombongan pengungsi kemudian memasuki perkampungan Beng-kauw itu dengan hati lega. Mei Li dan Kwan Lee duduk di atas kudanya, di pintu gerbang melihat rombongan itu berbondong-bondong masuk. Sesudah mereka semua masuk, baru saja mereka hendak menjalankan kuda, tiba-tiba terdengar suara wanita,

"Lee-koko!"

Kwan Lee menoleh kepada seorang gadis yang baru muncul. Dara itu sebaya dengannya, berpakaian serba merah muda, rambutnya dikuncir tunggal, tebal dan panjang, diikat pita kuning. Di punggungnya tergantung pedang dengan ronce merah. Wajah dara itu cantik jelita dengan mulut cemberut congkak dan pandang matanya keras. Itulah Sie Kwan Eng, adik Kwan Lee.

"Eng-moi, kau juga sudah keluar dari tempat latihan? Sudah berhasilkah engkau?"

"Belum, Lee-koko. Aku pun baru menyelesaikan tiga perempatnya, akan tetapi yang tiga perempat itu sudah lewat, tinggal latihan terakhir di goa inti salju! Kabarnya engkau keluar sebelum yang tiga perempat kau selesaikan, koko? Ayah tentu akan marah. Eh, siapakah dia ini, koko?" Kwan Eng memandang Mei Li dengan alis berkerut dan mata mencorong penuh selidik.

"Eng-moi, ini adalah Hui-kiam Sian-li Yang Mei Li, seorang pendekar wanita yang sangat lihai. Kalau tidak karena pertolongannya, kami semua tentu sudah celaka di tangan orang-orang Hoat-kauw itu."

Kwan Eng cemberut. "Aku benci pendekar sombong!" katanya.

Mei Li tersenyum. "Aku pun benci pendekar sombong!"

Kwan Eng tidak ikut tersenyum, akan tetapi memandang dengan mata tertarik. "Aku tidak mudah percaya akan kemampuan orang tanpa membuktikannya sendiri!"

"Aku juga begitu, kita sama!" kata Mei Li.
"Bagus, kalau begitu mari kita buktikan, apakah benar engkau Ini seorang pendekar!”

Wajah Mei Li berubah merah akibat marah. Sungguh keterlaluan sekali gadis ini, pikirnya. Memangnya di dunia ini tak ada wanita lain kecuali dirinya yang mempunyai kepandaian? Melihat gadis itu sudah mencabut pedangnya, diam-diam dia pun telah melolos sepasang pedangnya dan bersiap-siap.

"Boleh… boleh, aku memang bukan pendekar, akan tetapi pantang bagiku untuk menolak tantangan siapa pun juga."

Pada saat itu Kwan Lee sudah melangkah maju. "Eng-moi, engkau keterlaluan. Begitukah engkau menyambut seorang sahabat? Nona Mei Li adalah seorang sahabat baikku. Tentu boleh saja kalau engkau hendak mengujinya, tetapi menguji seorang kawan tidak sama dengan menempur musuh, karena itu biarlah kalian menggunakan ranting ini saja." Kwan Lee mengambil sebuah ranting pohon, mematahkan menjadi dua dengan ukuran panjang seperti pedang kemudian memberikan kepada dua orang gadis itu.

Mei Li menerimanya dengan senyum, karena biar pun dia mendongkol melihat kekasaran Kwan Eng, tentu saja dia tidak ingin melukai adik Kwan Lee itu. Kwan Eng juga menerima ranting itu dari kakaknya dan berkata dengan nada suara mengejek,

"Koko, sebatang pedang tajam di tangan orang yang tidak becus bukan merupakan suatu bahaya, akan tetapi sebatang ranting kayu dapat mematikan kalau digunakan orang yang pandai ilmu silat. Apakah kau lupa itu?"
"Tentu saja aku tahu, adikku yang manis. Akan tetapi, jika menggunakan kayu ranting di tangan, setidaknya keganasanmu akan berkurang banyak dan engkau akan ingat bahwa engkau sedang main-main, bukan berkelahi sungguh-sungguh."

Kwan Eng tersenyum manis.."Baiklah, koko, dan jangan khawatir, aku tidak akan melukai dengan parah!"

Diam-diam-Mei Li merasa gemas sekali kepada dara ini. Begitu sombongnya dan begitu yakin akan kemenangannya.

"Marilah adik yang baik, aku sudah siap untuk kau lukai."

Tempat itu telah sepi, hanya ada beberapa orang penjaga, yaitu anggota Beng-kauw yang berjaga di pintu gerbang, tak lebih dari sepuluh orang banyaknya. Sekarang mereka telah mengepung tempat itu dan nampak gembira. Memang para anggota Beng-kauw ini tidak begitu memakai peraturan terhadap putera-puteri ketua mereka, maka sekarang mereka menonton seperti kalau melihat kawan-kawan mereka bermain-main.

Agaknya Kwan Eng juga tidak keberatan, bahkan dia memperlihatkan senyumnya karena dia merasa lebih senang kalau kemenangannya ditonton. Tidak mengherankan kalau Sie Kwan Eng yakin akan keluar sebagai pemenang karena untuk daerah itu, bahkan di dunia kangouw sekali pun, sukar ditemukan wanita yang akan mampu menandinginya, apa lagi kini dia telah mewarisi ilmu Salju Putih, walau pun belum sempurna benar.
Perlu diketahui bahwa aliran Beng-kauw memiliki ilmu silat yang aneh dan tidak memiliki sumber tertentu. Hal ini adalah karena nenek moyang mereka memang orang yang suka mengumpulkan ilmu silat tidak peduli dari golongan bersih atau pun golongan sesat, lalu memetik bagian-bagian yang paling ampuh kemudian dikombihasikan.

Sekarang orang sudah tidak tahu lagi dari mana sumber ilmu-ilmu silat itu. Misalnya ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, tidak ada yang tahu asal-usul ilmu itu, akan tetapi selain pimpinan tertinggi Beng-kauw tidak ada orang lain yang mengenalnya.

Begitu menyerang Kwan Eng lantas mengeluarkan suara melengking nyaring dan ranting di tangannya meluncur cepat laksana kilat. Begitu Mei Li mengelak, ranting itu meluncur balik dan sudah menyerang dengan lebih dahsyat.

Melihat serangan yang dahsyat dan berbahaya itu, Mei Li juga cepat mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menggerakkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut). Terdengar suara nyaring bercuitan dan timbul angin besar mendesir-desir dari tongkat yang dimainkan Mei Li.

"Bagus!" Berkali-kali Kwan Lee memuji ketika menyaksikan ilmu tongkat yang hebat dari Mei Li itu.

Tentu saja ilmu tongkat itu amat hebat karena Mei Li menerima ilmu ini dari ayahnya yang mewarisinya dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), merupakan salah satu di antara ilmu tongkat terhebat pada waktu itu.

Kwan Eng sendiri sampai menjadi bingung karena merasa seolah dirinya berada di tengah badai! Karena tahu bahwa dia akan kalah kalau pertandingan tongkat itu diteruskan, maka tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan aneh, tubuhnya berjongkok lalu tangannya mendorong dari bawah ke arah lawan!

Mei Li maklum akan pukulan ampuh, apa lagi ketika dia merasakan hawa dingin menerpa dirinya. Dia dapat menduga bahwa tentu itulah yang dinamakan pukulan Salju Putih. Maka dia pun segera mengelak, kemudian sekali dia mengeluarkan bentakan nyaring, dua sinar kilat menyambar dari kanan kiri, menggunting ke arah tangan yang berubah menjadi putih dan mengeluarkan hawa dingin itu.

"Ihhh...! Kwan Eng berseru dan cepat menarik kembali lengannya dengan muka berubah pucat. Sepasang pedang itu tadi terbang bagaikan dua ekor ular dan kini sudah melayang kembali ke tangan Mei Li.

Melihat ini Kwan Eng mencabut pedangnya dan menyerang dengan ganas. Tapi sekali ini sepasang pedang itu menyambar-nyambar beterbangan di sekeliling kepalanya, membuat dia bingung karena pedang-pedang itu seperti hidup dan gerakannya lincah bukan main. Sebentar saja Kwan Eng telah terdesak hebat dan sepasang pedang itu terus mengaung-ngaung seperti ada puluhan ekor nyamuk menyambari telinganya.

Melihat ini sesaat lamanya Kwan Lee menonton penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum. Jelas nampak olehnya bahwa gadis jelita yang berjuluk Dewi Pedang Terbang itu benar-benar.lihai bukan main. Dia juga melihat betapa Mei Li mengalah terhadap adiknya, tidak benar-benar menggunakan pedang terbangnya untuk mendesak dan mencelakainya. Maka dia pun meloncat ke depan sambil berseru,

"Nona Yang Mei Li, maafkan adikku!"

Dua orang gadis itu meloncat mundur. Wajah Kwan Eng nampak kemerahan, akan tetapi kini nampak senyum membayang pada wajahnya yang cantik.

"Sungguh mati! Nama julukanmu bukan kosong belaka, enci Mei Li. Tenaga sinkang-mu kuat, ilmu meringankan tubuhmu hebat, dan pedang terbangmu sangat mengerikan!"
"Hemm, jangan memuji, adik Sie Kwan Eng. Engkau sendiri mempunyai ilmu yang sangat hebat. Bila Salju Putih itu telah kau kuasai dengan baik, aku tentu menyerah kepadamu. Semuda ini sudah memiliki ilmu hebat, sungguh mengagumkan!"
"Hi-hik-hik, enci yang tua renta. Berapa sih usiamu maka engkau menganggap aku masih seperti anak kecil?"
"Usiaku sudah delapan belas, hampir sembilan belas tahun!"
"Wah, kalau begitu jangan menyebutku adik, karena aku malah lebih tua beberapa bulan darimu. Sekarang usiaku sudah sembilan belas tahun lebih. Engkau sungguh hebat, Mei Li, dan aku senang sekali berkenalan denganmu."
"Ihh, engkau terlampau merendah, Kwan Eng. Akulah yang merasa beruntung sekali bisa berkenalan dengan engkau dan dengan kakakmu."
"Ehh, Eng-moi, engkau ini bagaimana? Ada tamu agung datang malah diajak bertanding silat dan sekarang diajak bicara di sini, sama sekali tidak dipersilakan masuk. Mari, nona Mei Li, mari kita masuk dan bicara di dalam!"
"Ehh, iya! Mari, Mei Li!" Sekarang tanpa sungkan lagi Kwan Eng melingkarkan lengannya di pinggang tamunya dan mengajak Mei Li masuk ke perkampungan itu.

Perkampungan Beng-kauw itu cukup besar, terdapat lebih dari seratus keluarga di sana. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu yang kokoh, dan di tengah-tengah perkampungan itu berdiri bangunan tempat tinggal Sie Wan Cu atau Sie Pangcu, ketua Beng-kauw. Nampak pula beberapa orang yang membawa-bawa senjata dan ada pula yang pandang matanya mencorong jahat ditujukan kepada Mei Li. Ada yang tertawa-tawa kurang ajar akan tetapi orang itu segera mengkeret ketakutan ketika Kwan Eng melotot kepadanya.

Perabotan dalam rumah keluarga Sie itu ternyata cukup lengkap dan rumah itu pun besar sekali. Hal ini tidaklah mengherankan karena sang ketua mempunyai banyak isteri. Tetapi karena yang datang adalah tamu Kwan Lee dan Kwan Eng, maka yang menemui mereka hanya isteri pertama, ibu kedua orang anak itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih nampak cantik.

"Wah, engkau cantik sekali, nona Yang," kata ibu kedua orang anak itu. "aduh, kami akan senang sekali kalau engkau dapat menjadi keluarga kami. Benar tidak, Kwan Eng?"
"Benar sekali, ibu! Wah, itu pikiran yang bagus sekali, bukankah begitu Lee-koko? Kau tentu setuju, bukan?"

Menghadapi sikap yang demikian terbuka dan amat terus terang tanpa tedeng aling-aling, kedua pipi Mei Li menjadi merah. Bahkan Kwan Lee juga tersipu dan dia pun membentak, "Eng-moi, apa-apaan kau ini? Jangan kurang ajar terhadap tamu!"

"Apa? Jangan munafik, koko. Katakan, apakah engkau tidak suka jika menjadi suami Mei Li?"
"Setan kau! Tidak semudah kau menggoyang lidahmu!" bentak kakaknya.

Mei Li tertawa. Dara ini mulai senang dengan sikap keluarga ini. Tidak ada pura-pura biar pun kelihatan kasar.

"Kwan Eng, kakakmu benar. Urusan perjodohan tidak dapat diatur sedemikian mudahnya. Dan sedikit pun aku belum mempunyai pikiran untuk urusan itu. Karena itu harap jangan kau sebut-sebut lagi urusan perjodohan."
"Ah, sayang sekali, nona. Bila sudah tiba waktunya engkau memikirkan soal perjodohan, harap jangan lupa kepada anakku Kwan Lee, nona."
"Sudahlah, ibu. Aku khawatir kalian akan menyebalkan hati nona Mei Li. Mari kita bicara urusan lain. Di mana ayah, ibu? Apakah ayah belum pulang?"

Wanita itu mengerutkan alisnya dan wajahnya yang cantik menjadi muram. "Aku sangat mengkhawatirkan ayahmu. Dia sudah terlampau marah dan kini dia sedang menyerang Pek-houw-pang dan Ang-kin Kai-pang. Aku khawatir sekali kita dibawa masuk ke jurang permusuhan yang lebih dalam dan payah."

"Ayah benar, ibu!" kata Kwan Eng. "Sayang aku harus melatih Salju Putih sehingga tidak dapat membantu ayah. Pek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Putih) dan Ang-kin Kai- pang (Perkumpulan pengemis Sabuk Merah) yang lebih dulu mencari gara-gara, ikut pula memusuhi kami dan membunuh beberapa orang anggota kami."

"Eng-moi!" bentak kakaknya. "Semua yang terjadi pada kita hanyalah kesalah pahaman, fitnah keji yang harus diselesaikan dengan penjelasan dan musyawarah. Kalau kekejaman mereka dibalas pula dengan kekejaman, maka permusuhan akan menjadi-jadi. Mengapa ayah tidak menyadari hal ini dan tidak mau bertindak sabar?"

"Sabar? Tolol, orang kita akan habis terbasmi kalau kita hanya bersabar saja!" Mendadak terdengar jawaban yang lantang dan di ruangan itu nampak bayangan berkelebat.
"Ayah!" Seru Kwan Lee dan Kwan Eng hampir berbareng.

Mei Li mengangkat muka memandang dan gadis ini meiihat seorang laki-laki sudah berdiri di situ. Seorang laki-laki sejati, seorang jantan kalau dilihat dari wajah dan perawakannya. Tubuhnya tinggi dan kokoh bagaikan batu karang, tidak gendut dengan pinggang ramping dan dada bidang. Walau pun usianya sudah enam puluh tahun namun dia nampak seperti orang berusia empat puluh tahun saja. Rambutnya sudah bercampur uban, namun malah menambah kedewasaan dan kejantanannya.

Di wajahnya belum ada keriput, walau pun kulit muka yang terbakar matahari itu nampak dihias guratan-guratan perasaan. Matanya lebar mencorong bagaikan mata naga, bentuk wajahnya segi empat dan keras, gerak-gerik dan langkahnya seperti seekor harimau yang bermalas-malasan. Pria seperti ini mempunyai daya tarik yang kuat dan besar bagi kaum wanita.

Mei Li merasa seperti dia sedang memandang seekor kuda jantan yang kuat dan bagus. Pantas saja putera dan puterinya demikian gagah dan cantik. Ternyata ketua Beng-kauw itu seorang yang tampan dan ganteng sedangkan isterinya demikian cantiknya.

"Baru saja aku memberi hajaran kepada Pek-houw-pang dan Ang-kin Kai-pang. Ketuanya sudah kubunuh karena mereka kukuh menganggap Beng-kauw telah membunuhi anggota mereka. Ha-ha-ha, baru mereka tahu bahwa Beng-kauw tidak boleh dipandang ringan dan diperlakukan sembarangan saja. Ahh…!" Dan tiba-tiba orang itu terbatuk-batuk kemudian menekan dadanya. Dia muntahkan darah segar!
"Ayah!" Kwan Lee dan Kwan Eng menjerit dan isteri ketua itu cepat merangkul suaminya yang hampir saja roboh karena pria gagah itu telah pingsan.

Sementara itu isteri-isteri lainnya sudah bermunculan pula setelah tadi mendengar tentang kepulangan sang ketua yang menjadi suami mereka. Tetapi mereka segera terkejut sekali setelah mengetahui keadaan ketua Beng-kauw itu.

Kwan Lee dan Kwan Eng segera memeriksa keadaan ayahnya. Tubuh ketua Beng-kauw nampak lemah sekali, sedangkan wajahnya sangat pucat dan napasnya tersengal-sengal. Sesudah memeriksa detak nadi pada lengan ayahnya, Kwan Lee cepat membuka pakaian atas ketua Beng-kauw itu sambil berkata,
“Agaknya ayah sudah terkena pukulan yang cukup berat. Ada hawa jahat bekas pukulan yang kini terkurung di rongga dada ayah, sehingga membuat detak jantungnya kacau dan napasnya menjadi berat.” Begitu selesai berkata, pakaian ketua Beng-kauw telah terbuka dan benar saja, pada dada itu nampak bekas telapak tangan berwarna hitam.
“Ahhh…!” terdengar seruan khawatir para isteri ketika melihat tanda hitam itu.

Mei Li yang semenjak tadi diam saja, juga melihat tanda bekas pukulan berwarna hitam itu. Maka tahulah dia bahwa laki-laki itu terluka cukup parah dan kini keadaannya sangat berbahaya. Agaknya dia sudah memaksakan diri untuk segera pulang ke perkampungan ini tanpa sempat mengobati dirinya terlebih dahulu.

“Bagaimana keadaan ayahmu?” dia bertanya sambil memandang Kwan Lee yang sudah selesai memeriksa dan kini sedang berdiri termangu.

Pemuda ini tersentak, kemudian menjawab dengan suara bergetar. “Aku telah memeriksa dan memang benar, di dalam dada ayah terdapat hawa bekas pukulan yang menghambat pernapasannya. Hawa jahat ini harus cepat dikeluarkan, kalau tidak…” Dia menghentikan ucapannya, lalu menoleh dan memandang wajah ayahnya. 

Mei Li teringat dan dia pun segera paham kenapa Kwan Lee tadi hanya berdiri termangu. Satu-satunya cara yang paling cepat untuk mengeluarkan hawa yang terkurung di dalam dada adalah mendorong hawa itu dengan sinkang, akan tetapi pemuda itu sekarang tidak bisa mengerahkan sinkang-nya. Apa lagi dia baru saja sembuh dari luka dalamnya akibat tenaganya sendiri yang membalik kemudian menghantamnya.

“Memang sinkang-ku belum terlampau kuat,” kata dara itu. “Akan tetapi kukira cukup kuat untuk mendorong keluar hawa yang terkurung itu. Kalau percaya kepadaku, biar kucoba untuk mewakili kalian menolong ketua Beng-kauw.”

Awan mendung yang tadinya menyelimuti wajah Kwan Lee seketika sirna. Bahkan Kwan Eng segera berkata dengan wajah berseri,

“Tentu saja kami percaya penuh kepadamu, Mei Li. Lagi pula aku tadi sudah merasakan betapa kuatnya sinkang-mu.”

“Aku pun percaya sepenuhnya kepadamu, nona Yang,” Kwan Lee menyambung kata-kata adiknya.

Mei Li segera menghampiri tubuh ketua Beng-kauw yang kini terbaring terlentang di atas lantai, kemudian meletakkan sepasang telapak tangannya di dada pria itu, tepat di antara tanda telapak tangan yang menghitam itu. Perlahan-lahan dara ini lalu mulai menyalurkan sinkang-nya.

Karena pukulan yang diderita pria gagah ini tidak mengandung racun, hanya menimbulkan hawa yang terjebak di dalam rongga dadanya sehingga menyebabkan sesak napas, maka tidak lama kemudian Sie Wan Cu mulai sadar dari pingsannya dan perlahan-lahan dia pun teringat akan kejadian yang telah dialaminya. Dia bisa merasakan pula hawa hangat yang memasuki dadanya, maka tahulah dia bahwa ada orang yang sedang menolongnya.

Tanpa membuka mata dia cepat mengatur napas sambil mengumpulkan hawa murni, lalu membantu mendorong keluar hawa yang menyesakkan dadanya. Tak lama kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,

“Cukup…!”

Lelaki gagah ini membuka matanya yang langsung terbelalak ketika pandangan matanya bertemu dengan wajah yang cantik jelita seperti bidadari.

“Amboiiiii…, kalau aku Sie Wan Cu mendapatkan seorang isteri lagi seperti ini, maka akan sempurnalah kebahagiaanku…!”

Tentu saja Mei Li terkejut seperti dipatuk ular, otomatis melompat ke belakang kemudian terus berdiri, mukanya sebentar pucat sebentar merah.

“Kau… kau…!” Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking marahnya. Akan tetapi ketua Beng-kauw itu tersenyum tenang saja kemudian bangkit berdiri.

Kwan Lee cepat memberi hormat kepada Mei Li, lalu berkata, “Nona Yang, harap engkau suka memaafkan dan memaklumi ayah. Ayah adalah orang yang tidak dapat menyimpan suara hatinya, apa yang dipikirkan dan dirasakan selalu dikeluarkan melalui mulut. Ayah, perkenalkan, dia adalah seorang sahabatku yang bernama Yang Mei Li dan berjuluk Dewi Pedang Terbang.”

Laki-laki gagah itu membelalakkan matanya. “Dewi Pedang Terbang? Wah, sayang sekali aku sedang terluka. Kalau tidak harus kubuktikan pedang terbangmu itu, nona. Heii, Kwan Lee, kau saja yang mewakili aku menguji pedang terbang bidadari ini.”

“Tidak bisa, ayah. Baru saja aku sembuh dari luka dalam setelah berkelahi dengan orang-orang Hoat-kauw.”
“Hemm, kenapa engkau berkelahi dengan orang Hoat-kauw? Dan apa pula urusan kalian dengan Hui-kiam Sian-li?”
“Duduklah dulu, ayah. Kami akan menceritakan semuanya,” kata Kwan Lee.

Setelah laki-laki itu mengambil tempat duduk, dikelilingi oleh isterinya, ada yang memijati tubuhnya, ada pula yang mengambilkan minuman arak, buah-buahan, pendeknya mereka itu berlomba untuk melayani sehingga Mei Li yang menyaksikan merasa sungkan sendiri, mulailah Kwan Lee bercerita tentang pertemuannya dengan Mei Li.

Sesudah puteranya selesai becerita, ketua itu memandang kepada Mei Li dengan penuh perhatian.

"Nona Yang, engkau sangat beruntung, masih begini muda, mempunyai kecantikan yang sempurna, masih menguasai ilmu silat yang tinggi pula. Pedangmu yang memakai tali dan dapat terbang itu mengingatkan aku akan seorang sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan, yaitu Hek-Liong Kwan Bhok Cu."
"Beliau adalah kakek guruku, pangcu."
“Wah, wah! Pantas saja kalau begitu. Ha-ha-ha, Kwan Lee, Kwan Eng, kalian beruntung sekali memiliki sahabat seperti ini, dan akan lebih baik lagi kalau dapat menjadi isterimu, Kwan Lee. Bagi kita sama saja, menjadi isteriku atau isterimu pokoknya Beng-kauw dapat menariknya menjadi keluarga.”

Mei Li sudah mulai terbiasa dengan ucapan yang blak-blakan itu sehingga dia tidak begitu terkejut lagi. Orang-orang ini memang tidak mau terikat oleh segala macam sopan santun yang hanya menjadi kedok tipis dari isi hati orang. Maka dia pun tersenyum.

"Pangcu, aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang perjodohan, harap engkau tidak bicara tentang itu. Dan aku selalu mau bersahabat dengan siapa saja asal orang itu tidak jahat."
"Bagus," sikap main-main itu sekarang hilang dan sang ketua tampak serius. "Kumpulkan semua pembantu utama kita di ruangan rapat agar mereka mendengarkan pembicaraan kita."

Kwan Lee segera melaksanakan perintah ini dan tak lama kemudian mereka semua telah berkumpul di ruangan besar. Ayah dan dua orang anak itu duduk semeja dengan Mei Li, para isteri tidak nampak lagi, tetapi sebaliknya ada dua puluh orang lebih pimpinan Beng-kauw yang hadir sebagai pendengar.

"Sekarang kalian dengarkan baik-baik hasil penyelidikanku. Mereka semua, orang-orang kangouw yang menganggap diri pendekar, telah siap untuk menghancurkan kita, terutama sekali Nam-kian-pang yang dipimpin oleh Ciu Kang Hin. Kita harus dapat menangkap dan menghukumnya. Entah sudah berapa banyak orang kita tewas di tangan pemuda setan itu. Nam-kiang-pang bahkan sudah minta bantuan kepada partai-partai lain seperti Siauw-lim-pai dan Butong-pai. Akan tetapi kita tidak perlu takut!"

"Benar, ayah. Kita adalah bangsa harimau yang lebih memilih mati dengan selaksa luka dari pada menjadi babi yang menguik-nguik menanti ajal!" kata Kwan Eng dengan gagah.
"Ayah, maafkan aku. Apakah tidak ada jalan lain?"

Orang gagah itu melotot. "Jalan lain apa maksudmu? Benar seperti apa yang diucapkan adikmu. Kalau harimau telah tersudut, apa lagi yang harus dilakukan selain melawan mati-matian? Hanya pihak musuh atau kita yang akan hancur binasa!"

"Tentu saja aku tidak menganjurkan untuk melarikan diri ketakutan, ayah. Akan tetapi kita dapat mencoba untuk menyadarkan mereka dengan cara menerangkan salah sangka ini kemudian mengakhiri permusuhan."
"Ahh…, kita akan dicap pengecut, koko!" bantah adiknya.
"Engkau hanya mengandalkan kekerasan," cela kakaknya. "Kekerasan tanpa perhitungan bukanlah kegagahan namanya, melainkan kebodohan. Mati dengan berbuat nekat adalah mati konyol, bukan mati secara gagah!"

"Cukup!" bentak ayah mereka. "Tidak perlu kita bercekcok. Di sini ada nona Yang Mei Li yang gagah perkasa. Coba kau utarakan pendapatmu, nona. Barangkali ada gunanya bagi kami."
"Sesungguhnya saya tidak ingin mencampuri urusan dalam perkumpulan kalian, pangcu. Akan tetapi karena diminta, saya akan berterus terang saja. Pendapat twako Sie Kwan Lee dan pendapat Sie Kwan Eng keduanya benar dan alangkah baiknya kalau keduanya digunakan. Pertama-tama diusahakan dulu memberi penerangan untuk membantah fitnah yang dijatuhkan terhadap Beng-kauw, untuk membersihkan nama Beng-kauw. Tentu saja kalau memang ada anggota Beng kauw yang bersalah, tidak ragu lagi untuk menjatuhkan hukuman. Setelah itu, kalau pihak sana masih terus menekan dan menyerang, apa boleh buat, haruslah dihadapi secara jantan."

Ayah dan anak itu mengangguk-angguk setuju. "Kalau begitu mulai sekarang kalian harus cepat-cepat menyelesaikan latihan kalian. Agar latihan bisa dilakukan berbareng sehingga mudah menjaganya, akan kita lakukan di goa inti salju di puncak Tanduk Rusa. Puncak ini berada di pegunungan Thai-san yang sering kali tertutup salju.

"Akan tetapi aku membutuhkan tempat yang terpanas untuk menyempurnakan latihanku, ayah," kata Kwan Lee.
"Tentu saja! Akan tetapi tempat paling panas dapat dibuat dengan api, sedangkan tempat paling dingin haruslah buatan alam. Di sana ada goa-goa batu yang dapat kita panaskan dengan bantuan api sehingga akan menjadi tempat latihan yang amat baik untukmu."

Mei Li tertarik sekali. Memang dia adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar cara berlatih dua macam ilmu yang dianggap paling unggul di dunia persilatan Itu, timbullah keinginannya untuk menyaksikannya.

Seolah dapat membaca suara hati Mei Li, Kwan Eng lantas menghampiri Mei Li. Dia pun menggunakan lengan melingkari pinggang dara itu kemudian berkata, "Mei Li, marilah kau temani kami. Aku masih ingin mempererat persahabatan kita."

"Kalau kau suka maka aku akan senang sekali, nona. Lagi pula pemandangan alam di sana amat indahnya. Jika nona sedang merantau, maka datang ke puncak Thai-san akan sangat menyenangkan hati nona," kata pula Kwan Lee.

"Ha-ha, sebetulnya dilarang keras bagi orang luar untuk menyaksikan latihan yang penuh rahasia ini. Akan tetapi nona Yang Mei Li sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri, tentu saja merupakan kebanggaan besar bila nona suka menyaksikannya," kata pula Sie Wan Cu.

Mei Li memang tertarik sekali pada keluarga Beng-kauw ini. Apa lagi melihat kenyataan bahwa keluarga ini dimusuhi semua orang, membuat hatinya merasa penasaran. Dia tidak melihat sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk membenci dan memusuhi keluarga ini.

"Baik, kalau kalian tidak merasa terganggu dengan kehadiranku, ingin aku menyaksikan," katanya dan ucapan ini disambut dengan seruan girang oleh Kwan Eng.....

Pada hari itu juga berangkatlah Sie Wan Cu serta dua orang anaknya, menunggang kuda ditemani oleh Mei Li dan diikuti pula oleh lima belas orang tokoh Beng-kauw. Rombongan ini melakukan perjalanan cepat dengan kuda menuju ke pegunungan Thai-san.

Tidak sukar bagi rombongan itu menemukan Goa Inti Salju di puncak yang tertutup salju itu. Goa ini besar dan dalam, dan karena selamanya mengandung salju, maka dindingnya juga menjadi berkilauan karena membeku dan agaknya ada sesuatu di dalam goa itu yang menimbulkan keadaan seperti itu dan di bagian dalamnya teramat dingin sehingga disebut Goa Inti Salju. Ketika Mei Li ikut memasuki goa, dia harus mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan hawa dingin itu.

Kwan Eng lalu ditinggal seorang diri di dalam goa. Dara ini duduk bersila pada permukaan es yang membatu untuk melatih bagian terakhir dari ilmu Salju Putih. Sementara itu para pembantu segera mempersiapkan goa lain untuk Kwan Lee berlatih. Memang di tempat ini terdapat banyak goa-goa batu.

Mereka mengumpulkan kayu bakar, ditumpuk pada sekeliling goa, menyiraminya dengan minyak lalu membakar tumpukan kayu itu. Terdengarlah bunyi berkeratak yang aneh dan nyaring ketika kayu basah itu terbakar karena sudah mengandung minyak. Mereka terus mengumpulkan kayu dan segera menambah kayu setiap kali kayu menipis sehingga goa itu selalu di kelilingi api yang besar. Tentu saja di dalam goa segera menjadi panas bukan main.

Sesudah panas di dalam goa mencapai puncaknya, Kwan Lee lalu memasuki goa ini dan mulailah dia melatih bagian terakhir dari ilmu Matahari Merah. Lima belas orang itu secara bergiliran menjaga siang malam di depan goa.

Setelah lewat lima hari Mei Li merasa bosan juga. Mula-mula dia memang merasa senang karena seperti yang dikatakan Kwan Lee, pegunungan itu mempunyai pemandangan yang indah sekali. Akan tetapi sesudah lima hari dia merasa kesepian, juga merasa tidak enak karena sikap Sie Wan Cu sangat manis kepadanya, bahkan kini mulai merayu yang bagi umum tentu akan dianggap kurang ajar. Dia menghindar dengan halus meski harus diakui bahwa wanita yang kurang kuat menjaga harga diri tentu akan terjatuh oleh rayuan maut laki-laki yang ganteng dan jantan ini.

Pada suatu pagi, begitu Mei Li keluar dari goa yang dipilihnya untuk ternpat melewatkan malam, Sie Wan Cu sudah menunggu di luar goa. Lelaki ini nampak segar dan wajahnya berseri. Ketika Mei Li muncul, dia segera bangkit dari tempat duduknya lalu memandang dengan mata bagaikan orang terpesona.

"Nona Mei Li, pagi ini engkau sungguh cantik jelita! Kalau orang bertemu denganmu dan belum mengenalmu, tentu akan mengira engkau ini dewi penjaga gunung! Ah, semua pria tentu akan suka berlutut untuk memuja kecantikanmu."

Meski jantungnya merasa berdebar karena girang mendengar pujian yang berlebihan ini, akan temesutapi Mei Li sengaja melempar senyum mengejek. "Sie-pangcu, sudahlah, simpan semua pujian dan rayuanmu itu. Aku tidak membutuhkan itu!"

Mei Li menggosok-gosok tangannya untuk mengusir dingin, semua tubuhnya tertutup kain hangat dan hanya sebagian mukanya saja yang terbuka. Pagi ini hawanya memang dingin bukan main dan semalam juga turun hujan salju yang cukup tebal.

"Lima hari sudah lewat, berapa lama lagikah Lee-twako dan Kwan Eng keluar dari dalam goa?" Dia menoleh ke arah dua buah goa yang nampak dari situ. Lebih menyenangkan menjaga goa api karena dekat dengan goa itu akan terasa hangat.
"Bersabarlah, nona. Kalau tidak ada halangan, dua hari lagi mereka akan menyelesaikan latihan mereka."
"Dan mereka akan menguasai iImu-ilmu yang hebat, menjadi orang sakti?"

Sie Wan Cu tertawa. "Ha-ha, mereka akan menjadi orang tanpa tanding, atau setidaknya akan sama lihai dengan ayahnya!" Ketua itu tertawa-tawa dan ketika dia tertawa seperti itu, wajahnya seperti orang berusia tiga puluh tahun saja.

Sombongnya, pikir Mei Li. Akan tetapi dia merasa sangat tertarik. Ingin dia menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana hebatnya kedua ilmu itu sehingga dipuji-puji oleh dunia kangouw. Kenapa dia tidak mengajak ketua ini untuk mencoba-coba dan menguji ilmu itu? Setidaknya dapat mengalihkan percakapan dan perhatiannya yang selalu memuji muji dan merayu.

"Pangcu, aku pernah mendengar tentang kehebatan ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, akan tetapi hanya mendengar beritanya saja. Dan aku meragukan, karena biasanya berita itu dilebih-lebihkan dari kenyataannya."

Pria itu memandang dengan alis berkerut. "Kau tidak percaya?"

"Aku bukan orang yang percaya dengan tahyul, pangcu. Aku hanya percaya kepada apa yang sudah kubuktikan sendiri, bukan hanya dari kata-kata orang lain."
"Apa katamu, nona? Kalau begitu engkau tidak akan percaya pada kemampuan Matahari Merah dan Salju Putih kalau belum membuktikan dan mengujinya sendiri?"
"Begitulah, pangcu."
"Beranikah engkau mengujinya? Ilmu itu amat sakti dan berbahaya sekali!"
"Kurasa tidak akan lebih berbahaya dari pada hui-kiam (pedang terbang) milikku."
"Begitukah? Berani engkau mencobanya?"
"Kenapa tidak, pangcu? Apa lagi kalau mencobanya denganmu, tentu engkau tidak akan sungguh-sungguh mencelakai aku."
"Bagus, mari kita saling menguji, nona. Kebetulan hawa udara begini dingin, satu-satunya cara terbaik untuk melawan dingin hanyalah dengan bermesraan atau berlatih silat, ha-ha- ha!"

Mei Li tidak marah. Kini dia sudah terbiasa dengan ucapan yang ugal-ugalan dan tanpa disembunyikan itu, dan kata-kata yang diucapkan ketua itu sama sekali tak mengandung kemesuman, tetapi memang demikian kenyataannya. Apa yang lebih menghangatkan dari pada bermesraan di waktu hawa sedingin itu? Walau pun ucapan itu terlalu kasar, akan tetapi karena sejujurnya, dia dapat menerimanya tanpa tersipu atau marah.

"Singgg…!"

Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu dia sudah memegang sepasang pedangnya. Sepasang pedang itu menyilang depan dada dengan gaya yang indah dan gagah.

Kembali ketua Beng-kauw mengeluarkan suara tertawa lantang sehingga lima belas orang tokoh Beng-kauw memandang penuh perhatian dan mereka pun merasa gembira karena maklum bahwa ketua mereka hendak saling menguji ilmu kepandaian silat dengan nona yang berjuluk Hui-kiam Sian-li itu. Tanpa diperintah lagi mereka semua langsung menjadi penonton yang merasa tegang karena kalau ketua mereka yang bertanding, walau pun hanya sekedar latihan atau ujian, tehtu akan ramai sekali.

Sie Wan Cu memutar-mutar tangan kanannya. Lambat laun tangan itu berubah menjadi merah sampai sebatas pergelangan tangan.

"Nona, engkau boleh berkenalan dengan Matahari Merah!" katanya. "Awas, sambutlah!"

Nampak sinar menyambar ke arah Mei Li Dara ini maklum betapa hebatnya sinar pukulan Matahari Merah itu, maka dengan gerakan ringan dia pun mengelak dengan loncatan ke samping dan dari situ dia melepaskan pedang kirinya sambil berseru nyaring.

"Lihat hui-kiam!" Pedang itu meluncur dengan cepat.
"Bagus!" seru Sie Wan Cu dan dia mengelak sambil mengulur tangan untuk menangkap. Akan tetapi dia terlampau memandang rendah kalau mengira dapat menangkap pedang terbang yang dilepas Mei Li. Dengan kedutan tangannya pedang itu dapat ‘mengelak’ dari tangkapan lalu menukik dan kini masuk ke arah leher!
"Ahh, lihai!" Sie Wan Cu melompat ke samping dan mencoba untuk menendang pedang itu. Kembali pedang itu mengelak dan kini pedang ke dua menyambar dengan ganasnya.

Ketua Beng-kauw itu gembira sekali Dengan gerakan yang lincah dia menghindar, lantas mengirim pukulan lagi dengan tangannya yang seperti membara itu. Hawa panas keluar dari kepalan tangan yang terbuka, menyambar ke arah Mei Li. Gadis ini juga tidak berani menerima pukulan itu secara langsung, hanya menangkis dari samping, itu pun dengan pengerahan sinkang sehingga dia tidak terpukul langsung oleh tenaga Matahari Merah. Setiap kali gadis itu membalas, Sie Wan Cu juga tidak berani sembarangan menangkis pedang terbang, hanya menyampok atau mencoba untuk menangkap saja.

Kalau tadinya Sie-pangcu masih tertawa-tawa dan bersikap seperti main-main, kini suara tawanya lenyap, terganti dengan seruan-seruan kaget! Apa bila tadinya ketika rnendengar laporan puteranya yang mengatakan bahwa kedua anaknya tidak mampu menandingi Mei Li masih dia anggap sebagai sikap rendah hati puteranya, kini dia tertegun.

Dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar lihai bukan kepalang! Bukan hanya mampu menghindarkan diri dari setiap serangannya, bahkan serangan balasan dari kedua pedang itu benar-benar sangat berbahaya! Dan andai kata mereka berkelahi benar-benar, dia kini meragukan apakah dia akan mampu menundukkan gadis ini dalam waktu cepat.

Sungguh merupakan kenyataan yang mengejutkan hatinya dan sangat pahit rasanya. Dia selalu merasa bahwa dia adalah tokoh yang terpandai, maka dia berani malang melintang. Jarang ada orang yang mampu menghadapi ilmu Matahari Merah dan Salju Putih. Akan tetapi siapa kira dara yang usianya sebaya dengan puterinya ini mampu mengimbanginya. Kenyataan ini sedikit banyak menyinggung harga dirinya, dan ketua Beng-kauw ini mulai merasa penasaran.

"Auggghhh…!" Dia mengeluarkan bentakan nyaring lalu memutar tangan kirinya. Seketika tangan kirinya berubah warnanya menjadi pucat dan terasa hawa dingin sekali keluar dari tangan itu.

Mei Li cukup waspada. Sebelum tangan itu menampar, dia sudah dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu Salju Putih. Oleh karena itu cepat dia menghindar dan memutar pedang terbangnya melindungi tubuhnya, sementara pedang ke dua sudah terbang ke atas lantas menukik, menyerang ke arah kepala!

Sie-pangcu yang sudah merasa penasaran sekali itu menggerakkan kedua tangannya dan kini dua tangan yang mengandung dua kekuatan dahsyat menyambar-nyambar ganas! Mei Li terkejut karena dia dapat merasakan betapa ketua Beng-kauw itu kini menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan main-main lagi. Ini dapat membahayakan jiwanya!

Oleh karena itu dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, membuat sepasang pedangnya beterbangan dengan hebat, kalau perlu mencabut nyawa lawan, bukan karena kebencian atau marah melainkan untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Dua macam ilmu yang amat dashyat, dimainkan oleh dua orang ahli, bertemu di udara sehingga pilihannya hanya ada dua, dibunuh atau lebih dulu membunuh! Berulang kali keduanya nyaris menjadi korban dari serangan maut lawan, hanya berselisih serambut saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring dan terjadi pertempuran besar di mana lima belas orang tokoh Beng-kauw harus menghadapi serangan tujuh orang yang begitu tiba di situ langsung saja mengamuk. Dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali!

"Pangcu, tahan!" Seru Mei Li sambil meloncat dengan cepat sekali ke belakang.

Sie-pangcu mengangkat muka memandang dan tiba-tiba wajahnya berubah.

"Tahan senjata, aku ingin bicara!" Teriakannya lantang bukan main sehingga tujuh orang itu berhenti menyerang, menghadapinya dengan senyum simpul.

Mei Li berdiri menonton di pinggir. Dara ini merasa heran ketika melihat bahwa mereka itu tampaknya bukan seperti orang jahat, bahkan ada seorang hwesio tinggi besar, dua orang tosu dan dua orang pula yang berpakaian mewah, sedangkan dua orang lainnya adalah pemuda-pemuda tampan dan gagah. Dia lalu menduga-duga siapa gerangan tujuh orang itu.

"Sie-pangcu, sekali ini engkau takkan dapat lari dari kami. Menyerahlah saja untuk kami bawa ke sidang pengadilan orang-orang kangouw!” kata seorang di antara mereka, yaitu hwesio yang tinggi besar.
"Hemmm kulihat kalian ini bukan pengecut-pengecut rendah, tetapi kalian bersikap seperti penjahat-penjahat kecil, menyerang tanpa memperkenalkan nama! Aku Sie Wan Cu tidak sudi membunuh orang tanpa nama!"
"Omitohud, membunuh ular jahat memang tidak sepatutnya memakai banyak aturan, dan engkau lebih jahat dari pada ular berbisa, Sie Wan Cu. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Hi Jin Hwesio dari Siauw-lim-pai!"

"Pinto adalah Pek Kong Sengjin dari Kong-thong-pai.” Tosu kedua memperkenalkan diri. Tubuhnya pendek gendut dengan muka kuning dan usianya lima puluhan tahun.
"Aku Ang-sin-liong Yu Kiat dari Hoat-kauw!" berkata laki-laki lima puluh tahun yang tinggi tegap, tampan dan pakaiannya serba rnerah itu, sambil mengamangkan golok gergajinya yang menyeramkan.
"Tiat-sin-liong Lai Cin dari Hoat-kauw!" kata orang kedua yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus mukanya pucat, sambil memegang tombak cagak ronce biru.

Diam-diam Sie-pangcu dari Beng-kauw terkejut mendengar nama dua orang dari Bu-tek Ngo-sin-liong yang dia tahu amat tangguh ini.

"Sie Pangcu dari Beng-kauw, kau ingin mengetahui namaku?" kata seorang pemuda yang tampan halus berpakaian sasterawan serba putih dan memegang golok. "Namaku Tong Seng Gun, murid Nam-kiang-pang dan ini adalah suheng-ku, juga pemimpin besar kami. orang-orang yang anti Beng-kauw, bernama Ciu Kang Hin!" Dia memperkenalkan pemuda lain yang tampan dan gagah, namun yang wajahnya muram dan sejak tadi tidak banyak bicara.

Kalau Sie Wan Cu terkejut mendengar nama-nama itu, terutama nama Ciu Kang Hin yang amat dibencinya karena kabarnya pemuda inilah yang paling gigih membasmi Beng-kauw, Mei Li sebaliknya menjadi terheran-heran. Dari ayah ibunya ia banyak mendengar tentang orang-orang kangouw yang.gagah, pendekar-pendekar perkasa, akan tetapi kenapa sikap tujuh orang ini begitu congkak?

Secara diam-diam dia memperhatikan Ciu Kang Hin, karena dia sudah mendengar bahwa pemuda ini pembasmi Beng-kauw nomor satu. Akan tetapi pemuda itu tidak terlihat ganas dan kejam, bahkan pendiam dan mukanya muram seperti orang tengah berduka sehingga menimbulkan perasaan pribadi hatinya.

Melihat bahwa tujuh orang itu semuanya adalah musuh besar yang selalu mengejar-ngejar dan membasmi orang Beng-kauw, Sie Pangcu maklum bahwa pertempuran mati-matian tidak dapat dielakkan. Yang dia khawatirkan adalah putera dan puterinya. Mereka belum selesai latihan dan kalau mereka diganggu, bisa menimbulkan mala petaka bagi mereka. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya sambil berseru,

"Serbu! Bunuh manusia sombong ini!"

Lima belas orang tokoh Beng-kauw itu segera menggerakkan senjata masing-masing dan menyerang tujuh orang itu.

Tang Seng Gun yang sebetulnya memegang peran penting, bahkan sesungguhnya dialah yang memimpin dalam rombongan itu, berseru kepada Ciu Kang Hin. "Suheng, serbu dua buah goa itu!"

Dia sendiri bersama Ciu Kang Hin lantas menggerakkan goloknya, menerjang para tokoh Beng-kauw yang berjaga di depan dua buah goa. Tong Seng Gun menyerbu para penjaga di depan goa inti salju sedangkan Ciu Kang Hin menerjang mereka yang berjaga di depan goa yang dikurung api unggun besar dan panas. Sementara itu lima orang tokoh Siauw-lim-pai, Butong-pai, Kong-thong-pai dan Hoat-kauw sudah menggerakkan senjata mereka mengeroyok Sie-pangcu.

Mei Li sendiri hanya berdiri terbelalak karena kagum dan bingung harus berbuat apa. Jika dia membantu Beng-kauw, berarti dia mencampuri urusan perkumpulan lain dan ayahnya tentu akan marah sekali kalau mendengar ini, dan berarti dia menanam bibit permusuhan dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Butong-pai dan lain-lain. Tetapi jika diam saja, dia pun merasa tak enak dan kasihan kepada Sie-pangcu yang dikeroyok lima orang lihai.

Apa lagi ketika dia melihat Tong Seng Gun. Meski pun dia merasa heran melihat pemuda itu, namun dia masih mengenalnya dengan baik. Tidak mudah melupakan pemuda yang mendatangkan kesan mendalam di benaknya itu. la merasa heran meilihat pemuda itu kini menggunakan sebatang golok yang lihai bukan main, tidak seperti dulu ketika dia pertama kali bertemu dengannya. Pada waktu itu pemuda berpakaian serba putih ini menggunakan senjata suling!

Yang jelas, biar pun sangat kejam pemuda itu adalah seorang pendekar yang menentang kejahatan, yang dahulu tanpa kenal ampun sudah membantai Tiat-ciang Hek-mo, raksasa kepala Hek-i Kwi-pang yang menjadi perampok lembah Huangho itu, berikut belasan anak buahnya. Pemuda itu telah menyelamatkan sepasang pengantin baru!

Tentu saja Mei Li tidak tahu, bahkan tidak pernah bermimpi bahwa pengantin wanita telah diperkosa oleh Seng Gun dan pengantin pria telah dilempar ke dalam jurang. Pengantin wanita itu kemudian membunuh diri ke dalam jurang pula!

Sungguh tidak enak kalau sekarang dia harus membantu Beng-kauw menentang pemuda pendekar itu. Dengan bingung Mei Li melihat betapa Seng Gun dan Kang Hin membabati para anggota Beng-kauw bagai membabat rumput saja! Padahal belasan orang itu adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Beng-kauw, rata-rata telah memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Sementara itu Sie Wan Cu yang dikeroyok lima orang itu pun mengamuk seperti harimau terluka. Tangan kanannya berubah menjadi merah, mengeluarkan sinar seperti api ketika melancarkan pukulan, sedangkan tangan kirinya putih seperti salju.

Karena mempelajari dua macam ilmu yang mengandung tenaga sinkang yang berlawanan ini maka Sie Wan Cu tidak memiliki tenaga yang sepenuhnya, tidak dapat menguasai ilmu itu secara sempurna. Itulah sebabnya dia menyuruh Kwan Lee melatih Matahari Merah saja dan Kwan Eng melatih Salju Putih saja. Dengan melatih salah satu saja, maka kedua orang anaknya akan dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Akan tetapi, biar pun penguasaannya tidak sempurna, tetap saja kedua ilmu yang ampuh itu ternyata dahsyat sekali. Tangan kanannya mengeluarkan uap dan nampak kemerahan seperti api membara, dan hawa yang amat panas terasa oleh lawan-lawannya. Ada pun tangan kirinya yang berwarna putih itu nampak seperti es beku, mengeluarkan uap dingin yang terasa mengerikan apa bila menyentuh lengan para pengeroyok.

"Omitohud, jahat... jahat sekali…!" seru hwesio tinggi besar dari Siauw-lim-pai. Kalau tadi dia hanya mengandalkan ujung lengan bajunya yang panjang lebar untuk menyerang Sie Wan Cu, kini dia mengeluarkan sebuah tongkat kuningan.

Ketika hanya mempergunakan ujung lengan bajunya, hwesio itu tadi sempat menangkis sambaran tangan kanan Sie Wan Cu dan ujung lengan baju itu menjadi gosong terbakar. Dia amat terkejut, maka cepat melompat ke belakang lalu mencabut tongkat yang tadinya dia tancapkan di atas tanah. Dengan tongkat kuningannya, hwesio tinggi besar itu seperti harimau tumbuh sayap.

Ho Jin Hwesio adalah seorang hwesio tingkat dua dari perguruan Siauw-lim-pai, sebab itu tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Tongkatnya mengeluarkan suara mendengung-dengung ketika dia gerakkan dalam serangan bertubi-tubi, menusuk, mengemplang, menyerampang, dan setiap serangan itu mengandung tenaga dahsyat.

Sie Wan Cu mengamuk dan melihat hwesio itu memukul dengan pengerahan tenaga, dia pun memapaki dengan tangan kanannya.

"Krakkk…!"

Hebat bukan main pertemuan tenaga itu. Tangan yang menangkis itu membuat gerakan memutar dan ujung tongkat itu pun patah!

Ho Jin Hwesio terkejut dan dia cepat melompat ke belakang. Untung baginya bahwa para pengeroyok lain sudah mendesak Sie Wan Cu sehingga ketua Beng-kauw ini tidak dapat menyusulkan serangan kepadanya. Ho Jin Hwesio merasa penasaran sekali dan dia pun nekat maju lagi menggunakan tongkatnya yang sudah buntung.

Sekali ini, selagi ada kesempatan mengeroyok bersama beberapa orang tokoh lihai, maka dia harus berhasil membalaskan dendam suheng-nya. Suheng-nya, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lain, pernah bentrok dengan ketua Beng-kauw itu dan dalam perkelahian itu suheng-nya merasakan penghinaan besar. Suheng-nya tidak saja kalah, akan tetapi ketua Beng-kauw tidak mau membunuhnya, hanya mematahkan tulang kakinya hingga hwesio itu menjadi tapadaksa, jalannya terpincang pincang.

Hal ini membuat suheng-nya merasa terhina dan tersiksa sekali sehingga ingatannya lalu berubah dan kini hanya tinggal saja bertapa, tidak pernah mau mencampuri urusan dunia dan juga sikapnya berubah menjadi tidak waras! Kalau sekarang Ho Jin Hwesio dengan penuh semangat bersedia menerima ajakan Nam-kiang-pang untuk menyerbu Beng-kauw, yang mereka lakukan bersama, hal itu semata untuk membalaskan sakit hati suheng-nya, di samping untuk membasmi perkumpulan yang dianggap amat jahat dan sesat itu.

Kiang Cu Tojin, tosu tinggi kurus dari Butong-pai, juga mengandung sakit hati yang amat mendalam kepada Sie Wan Cu. Dulu seorang murid wanitanya yang masih gadis pernah bertemu dengan ketua Beng-kauw itu, merasa tertarik sekali karena Sie Wan Cu memang memiliki daya tarik yang amat kuat bagi wanita. Ketika itu usia Sie Wan Cu empat puluh tahun dan murid Butong-pai itu tergila-gila kepadanya. Dan ketua Beng-kauw ini pun tidak menolak. Mana mungkin bagi Sie Wan Cu untuk menolak rindu dendam seorang wanita? Dia melayani, merayu dan bermain cinta dengan gadis itu.

Akan tetapi ketika wanita itu minta agar dinikahi, menjadi isteri yang ke sekian, Sie Wan Cu tidak mau. Bukan dia tidak sayang kepada wanita itu, tetapi karena wanita itu adalah murid Butong-pai yang dilarang untuk menikah. Dia tidak ingin membuat Butong-pai sakit hati kepadanya. Dia pun menolak hingga gadis itu menjadi patah hati lalu membunuh diri!

Akhirnya Kiang Cu Tojin, guru wanita itu, mengetahui persoalannya. Dia pun bersumpah untuk membunuh Sie Wan Cu, maka begitu Nam-kiang-pang mengajak dia bekerja sama membasmi Beng-kauw, serta merta dia menyanggupi. Kini dengan pedangnya di tangan, dia mencari kesempatan untuk dapat memenggal pria yang sangat dibencinya itu.

Ang-sin-liong Yu Kiat lebih sakit hati lagi terhadap ketua Beng-kauw ini karena mendiang isterinya dulu pernah dibikin tergila-gila oleh Sie Wan Cu. Pendeknya, di antara lima orang itu tidak ada seorang pun.yang suka kepadanya, maka mereka mengeroyok dengan tekad keras untuk membunuhnya.

Tapi ternyata Sie Wan Cu bukan orang yang mudah ditundukkan. Lima orang pengeroyok itu rata-rata merupakan tokoh-tokoh besar dunia persilatan, dan sekarang mereka semua berusaha mati-matian untuk membunuhnya, tetapi ketua Beng-kauw itu dapat melakukan perlawanan dengan gigih sekali.

Setelah lewat pertempuran yang makan waktu lebih dari lima puluh jurus, barulah tongkat buntung Ho Jin Hwesio mampu menggebuk punggungnya dengan amat kuatnya sehingga terdengar tulang patah. Memang tulang iga ketua Beng-kauw ada yang patah, akan tetapi Sie Wan Cu malah mengeluarkan suara tawa lalu dia menyerang dengan amat cepatnya kepada hwesio itu. Terdengar teriakan mengerikan kemudian hwesio tinggi besar itu roboh terkapar dan menggelepar dengan muka berubah hangus.

Melihat ini empat orang tokoh yang lain menjadi marah dan cepat mereka menggerakkan senjata lebih ganas lagi. Namun Sie Wan.Cu yang maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya yang tingkat kepandaian masing-masing tak berselisih jauh dengannya, kini menubruk ke arah Kiang Cu Tojin.

Dengan penuh kebencian tosu Butong-pai itu menyambut dengan tusukan pedang. Akan tetapi Sie Wan Cu yang sudah nekat itu tertawa, menerima pedang dengan dadanya dan tangannya berhasil mencengkeram pundak tosu itu. Kiang Cu Tojin menggigil, mukanya berubah pucat sekali, lalu dia pun roboh terkena cengkeraman ilmu Salju Putih dan tewas seketika.

Sie Wan Cu yang dadanya sudah ditembusi pedang masih dapat rnembalik dan mengirim pukulan Matahari Merah ke arah dada Ang-sin-liong Yu Kiat, akan tetapi dari samping Pek Kong Sengjin dari Kong-thong-pai sudah menggerakkan ruyungnya menghantam tengkuk Sie Wan Cu.

"Prakk…!"

Ruyung itu hancur berkeping-keping, ada pun tubuh ketua Beng-kauw itu terpelanting. Dia bergulingan, lalu kedua tangannya bergerak dari bawah. Sinar kehitaman menyambar ke arah Pek Kong Sengjin, Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin, namun tiga orang ini cepat menghindar dengan loncatan-loncatan ke samping sehingga jarum-jarum lembut itu tidak mengenai sasaran.

Sungguh mengagumkan sekali. Biar pun dadanya telah tertembus pedang Kiang Cu Tojin, juga tulang iganya patah oleh hantaman tongkat Ho Jin Hwesio dan tengkuknya membuat ruyung Pek Kong Sengjin hancur berkeping, namun ketua Beng-kauw itu masih sempat membunuh Ho Jin Hwesio dan Kiang Cu Tojin, kemudian menyerang tiga orang lawan lain dengan dahsyat, yaitu dengan jarum-jarum yang biar pun amat halus namun mengandung racun maut dan hampir saja mencelakai tiga orang datuk itu. Dan kini dia masih sanggup untuk melompat bangun biar pun dia terhuyung lagi.

"Ha-ha-ha...! Majulah kalian… orang-orang pengecut yang menganggap diri sendiri gagah perkasa dan pendekar besar! Hayo maju!"
"Iblis jahanam!" bentak Pek Kong Sengjin.
“Setan tua, kuantar kau ke neraka!" kata Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin hampir berbarengan.

Dua orang Bu-tek Ngo-sin-liong ini maju dengan cepat sambil mengirim pukulan jarak jauh yang dahsyat ke arah ketua Beng-kauw yang sudah terluka parah itu. Sementara itu Pek Kong Sengjin hanya menonton karena dia yakin bahwa ketua Beng-kauw itu tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar dua kali ledakan keras, dan dua buah goa itu jebol, lalu dua sosok tubuh manusia menyambar keluar dan melayang seperti terbang. Itu adalah tubuh Sie Kwan Lee dan Sie Kwan Eng yang keluar dari tempat pertapaan atau latihan mereka.

Yang amat mengerikan, wajah Kwan Lee tampak seperti bara api, merah sekali hingga ke rambut-rambutnya, sedangkan wajah Kwan Eng tampak putih pucat bagaikan mayat, juga sampai ke rambut-rambutnya. Dua orang ini melayang ke arah ayah mereka yang saat itu sedang terancam pukulan maut dari Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin.

Tentu saja dua orang dari Bu-tek Ngo-sin-liong terkejut bukan main ketika ada bayangan menerkam ke arah mereka dibarengi angin dahsyat mendatangkan hawa yang satu panas seperti api yang lain dingin seperti es. Karena tidak tahu benda atau makhluk apa yang menerkam ke arah mereka, pukulan mereka terhadap Sie Wan Cu mereka urungkan dan mereka mengarahkan pukulan kepada penyerang itu. Ang-sin-liong Yu Kiat menyerang ke arah makhluk bermuka merah sedangkan sute-nya menyerang ke arah makhluk bermuka putih.

"Dessss…!"

Kedua orang datuk ini mengeluarkan teriak kaget lalu roboh terjengkang. Biar pun mereka tadi sudah mengerahkan sinkang sekuatnya dan melindungi seluruh tubuh mereka, tetap saja mereka roboh pingsan!

"Ayah...!".Kwan Lee dan Kwan Eng segera berlutut dekat ayah mereka yang tadi terkulai lagi. Orang tua itu tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha, Kwan Lee dan Kwan Eng. Kalian berhasil! Mati pun aku tidak akan penasaran karena Beng-kauw sudah ada yang melanjutkan. Bangun... bangun kembali Beng-kauw... dan kalian bantulah nona itu..." Dia menuding dan kedua orang anaknya menoleh. Mereka meiihat Yang Mei Li sedang memainkan sepasang pedangnya menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang lihai bukan main.

Ternyata tadi Mei Li tidak dapat menahan dirinya lagi melihat Seng Gun mempergunakan tangan besi membunuhi anggota Beng-kauw. Hampir semua orang yang tadinya berjaga di depan dua goa itu sudah roboh.

Dilihatnya pemuda yang seorang lagi tetap tidak pernah membunuh pengeroyoknya. Yang bertangan maut adalah Seng Gun, dan hal ini membuat dia merasa semakin tidak suka kepada pemuda yang dalam pertemuannya yang pertama kali juga sudah bertindak kejam sekali terhadap gerombolan penjahat. Dia segera melompat, lalu menggunakan sepasang pedangnya untuk menahan gerakan Seng Gun dan Kang Hin, sekaligus menangkis golok kedua orang pemuda itu.

"Ehh, Hui-kiam Sian-li...! Nah, kita berjumpa kembali, nona. Akan tetapi sekali ini engkau salah kira. Yang kau bantu ini adalah orang-orang Beng-kauw, orang-orang jahat sekali!"
"Tapi yang kusaksikan tadi engkaulah yang jahat dan kejam, bukan orang lain," kata Mei Li dengan sikap tenang dan mata menantang.

Pada saat itu orang-orang Beng-kauw yang tadinya ada lima belas sekarang tinggal enam orang saja lagi. Mereka sudah menghentikan serangan karena memang maklum bahwa mereka tidak akan menang melawan dua orang pemuda Nam-kiang-pang itu. Dan ketika Mei Li memandang, kebetulan sekali Kang Hin juga memandang kepadanya.....

Selanjutnya baca
KISAH SI PEDANG TERBANG : JILID-10
LihatTutupKomentar