Pedang Awan Merah Jilid 07


Pemuda yang bercaping lebar itu tidak menarik perhatian orang, walau pun pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa menggunakan ilmu silat untuk menjaga diri. Dia seorang lelaki muda berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tampan dan periang, akan tetapi pada saat itu sinar matanya muram.

Ketika memasuki rumah makan di kota Souw-ciu itu, dia melihat bahwa di situ sudah ada seorang pemuda lain yang nampak gagah berpakaian serba putih dan wajahnya tampan. Pemuda ini juga membawa sebatang pedang pada punggungnya dan usianya sekitar dua puluh lima tahun.

Mereka berdua hanya saling lirik saja, akan tetapi tidak saling menegur karena memang tidak saling mengenal. Pemuda yang bercaping lebar itu adalah Souw Kian Bu!

Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, dengan hati panas penuh cemburu Souw Kian Bu sudah meninggalkan isterinya. Putera Souw Hui San dan Yang Kui Lan ini pergi dengan hati remuk karena dia menyangka bahwa tentu dahulu isterinya menjadi kekasih suheng isterinya yang bernama Gu San Ki itu. Dia merasa telah dicurangi dan ditipu oleh isterinya!

Semenjak pergi meninggalkan isterinya, Kian Bu merasa amat kesepian dan berduka. Dia kehilangan isterinya, kehilangan kemesraan dan keramahan isterinya. Harus diakui bahwa isterinya bersikap ramah dan mesra, akan tetapi bayangan bahwa isterinya sudah bergaul dengan pria lain sebelum menikah dengannya, selalu menggerogoti dan meracuni hatinya dengan rasa cemburu.

Cemburu timbul kalau kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya supaya benda itu selalu menjadi milik kita.

Benarkah bahwa tanpa cemburu bukanlah cinta namanya? Ataukah sebaliknya, apa bila ada cemburu maka bukanlah cinta sejati? Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang timbul karena merasa miliknya diambil orang.

Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki tentu mengandung rasa cemburu. Padahal cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus, karena cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Kalau ada keraguan, ketidak percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.

Kian Bu sedang diamuk cemburu. Dan orang yang cemburu selalu membayangkan yang bukan-bukan, segala kemungkinan yang tidak-tidak, yang diduganya mungkin dilakukan oleh orang yang dicinta dicemburuinya. Kian Bu mencinta Ji Kiang Bwe, namun dia ingin memiliki isterinya secara sepenuhnya, baik sekarang mau pun masa lampau dan masa mendatang. Dia hanya mencinta bayangan, yaitu bayangan wanita yang sempurna, tidak ternoda, dan bayangan itu diharapkan akan dapat terwujud dalam bentuk tubuh isterinya.

Kian Bu tersadar dari lamunannya ketika pelayan menghampirinya dan bertanya masakan apa yang hendak dipesannya. Dia memesan arak dan masakan mi.

Pada saat itu terdengar suara keras orang menggebrak meja dan seorang yang baru saja memasuki rumah makan itu menggebrak meja kemudian mengeluarkan teriakan nyaring. “Heiii, pelayan! Cepat sediakan arak, aku sudah haus sekali!”

Bergegas pelayan mendatangi meja itu sambil membawa seguci arak. Orang itu langsung membuka tutup guci, lalu menuangkan arak dari guci begitu saja ke mulutnya, tidak mau menggunakan cawan lagi.

Souw Kian Bu segera memperhatikan. Orang itu berusia lima puluh satu tahun, tubuhnya jangkung kurus, jangkung sekali sehingga lebih tinggi satu kepala dibandingkan orang lain dan pinggangnya dililit rantai baja yang nampaknya berat. Tentu seorang yang amat kuat, pikirnya dan melihat cara dia minum arak dapat diduga bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang terkenal pula.

Kian Bu baru saja hendak makan mi-nya ketika dia melihat pemuda berpakaian putih itu menggerakkan tangannya, dan sebatang sumpit meluncur seperti anak panah cepatnya, tepat mengenal guci yang isinya sedang dituangkan ke mulut kakek jangkung itu.

“Pyarrr...!” Guci itu pecah dan isinya berhamburan membasahi pakaian si jangkung.

Tentu saja si jangkung ini marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan matanya langsung memandang ke kanan dari mana sumpit tadi menyambar gucinya. Dia bukan lain adalah Thian-kui, orang tertua dari Thian-te Siang-kui dan ketika dia melihat pemuda baju putih, dia marah sekali.

Dia segera mengenal Can Kok Han, pemuda dari Pek-eng Bu-koan yang sudah pernah bertanding dengannya, bahkan pemuda itu nyaris tewas oleh dia dan adiknya kalau saja tidak muncul Mulani yang melarang dia membunuhnya. Kini Mulani tidak ada, dan tidak ada orang yang akan melarangnya, maka tentu saja kemarahannya memuncak.

“Bocah sombong, berani engkau mengganggu mulut harimau? Tempo hari engkau masih dapat lolos dari tanganku, sekarang agaknya engkau memang sudah bosan hidup!”
“Thian-kui, manusia iblis, sekali ini justru akulah yang akan membunuhmu!” kata Kok Han, pemuda yang tidak mau merasa kalah oleh siapa pun juga itu.

Pada saat itu pula pemilik rumah makan tergopoh menghampiri pemuda baju putih itu. Dia agaknya sudah tahu siapa Thian-kui, seorang datuk yang sakti, maka dia tak berani minta kepada Thian-kui agar tidak berkelahi di tempat itu. Akan tetapi Kok Han adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian bersih dan gerak-geriknya sopan, maka kepada pemuda inilah dia bermohon.
“Taihiap, kami mohon agar taihiap tidak berkelahi di tempat kami dan merusakkan perabot rumah makan kami, juga membikin takut para tamu kami.”

Sementara itu para tamu memang sudah ketakutan dan siap meninggalkan meja masing-masing agar tidak sampai terlibat perkelahian itu.

“Thian-kui! Bila engkau memang berani, maka aku menantangmu untuk bertanding di luar rumah makan!” kata Kok Han yang lalu melompat keluar dari dalam rumah makan itu.
“Pemuda tolol, engkau sudah bosan hidup!” kata Thian-kui, lalu dengan marah sekali dia cepat menyusul keluar.

Melihat ini, Souw Kian Bu yang tadi terkejut mendengar julukan Thian-kui, diam-diam ikut pula keluar. Tentu saja dia pernah mendengar julukan Thian-te Siang-kui dan dia khawatir sekali dengan nasib pemuda tampan itu. Dia pernah mendengar bahwa sepasang iblis itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Walau pun dia belum tahu urusannya, tidak tahu mengapa kedua orang ini bermusuhan, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-kui adalah seorang datuk sesat yang jahat, tentu saja pemuda itu berada di pihak benar yang patut untuk dibantunya bila terancam bahaya.

Selain Kian Bu, banyak juga yang keluar untuk menonton perkelahian walau pun mereka itu agak takut dan menonton sambil bernyanyi.

Kok Han sudah berhadapan dengan Thian-kui yang segera berkata, “Bocah ingusan, kau sudah gila barang kali. Sudah beberapa kali engkau hampir mampus dan sekarang masih hendak mengantarkan nyawa? Sekali ini jangan harap engkau akan dapat meloloskan diri dari tanganku!”

“Thian-kui, engkau tidak perlu banyak cakap lagi. Sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua kejahatanmu!” kata pemuda itu dengan lagak gagah dan dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya ketika melompat keluar rumah makan dan ketika mencabut pedang memang meyakinkan, sehingga Kian Bu merasa agak lega karena agaknya pemuda ini memang seorang pendekar perkasa.

Thian-kui melolos rantai baja dari pinggangnya. Panjang rantai baja itu kurang lebih dua meter dan ketika dia gerakkan, terdengar suara berciutan, tanda bahwa senjata itu berat sekali dan tenaga yang menggerakkannya juga sangat besar.

Tetapi dengan lincahnya Kok Han meloncat ke belakang dan membalas dengan serangan yang dilakukan sambil meloncat laksana burung menyambar. Pedangnya menusuk ketika tubuhnya menukik.

Kian Bu merasa kagum. Pemuda ini memang boleh juga, namun dia meragukan apakah pemuda itu cukup tangguh untuk menandingi Thian-kui yang senjatanya lebih panjang dan gerakannya demikian kuat.

Setelah pertandingan berlanjut, maka tahulah Kian Bu bahwa seperti yang dikhawatirkan, pemuda itu bukanlah tandingan Thian-kui. Tenaganya jauh kalah kuat, dan hanya karena mempunyai kegesitan seperti seekor burung saja yang membuat pemuda itu masih dapat bertahan setelah mereka bertanding selama dua puluh jurus lamanya. Namun pemuda itu sudah terdesak hebat dan tinggal menanti saat robohnya saja.

Kian Bu telah bersiap-siap untuk membantu pemuda itu ketika tiba-tiba Kok Han meloncat jauh ke belakang kemudian tangan kirinya bergerak melempar benda ke dekat Thian-kui. Terdengar ledakan keras lantas asap tebal mengepul. Thian-kui mengeluarkan gerengan parau dan dia pun terhuyung lalu roboh!

Sesudah asap mulai menghilang, Kian Bu melihat Thian-kui sudah roboh terlentang, dan Kok Han menghampirinya dengan pedang di tangan, agaknya siap untuk membunuhnya. Sesungguhnya Kian Bu merasa tidak senang melihat ini. Kemenangan pemuda itu adalah kemenangan curang, apa lagi kini pemuda itu hendak membunuh musuhnya yang sudah pingsan, perbuatan yang sama sekali tidak dapat dibilang gagah.....
Akan tetapi pada saat itu pula tampak seorang yang pendek kurus mengeluarkan teriakan melengking kemudian sudah menerjang kepada Kok Han dengan sepasang goloknya. Dia adalah Tee-kui yang hampir saja terlambat menolong kakaknya.

“Bocah sombong dan curang, kau rasakan tajamnya golokku!” Tee-kui menyerang dengan dahsyat sehingga repot Kok Han harus memutar pedangnya untuk menangkis.

Kini dia tidak sempat lagi untuk menyerang dengan bahan peledak karena Tee-kui sudah mengetahui akan kelihaian senjata rahasia itu, maka tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menjauhkan diri. Sepasang goloknya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengurung Kok Han sehingga pemuda ini terdesak hebat.

Melihat keadaan itu, Kian Bu tidak dapat tinggal diam saja. Tidak bisa dia melihat pemuda baju putih itu terbunuh oleh Tee-kui yang demikian tangguh. Dia segera melompat sambil mencabut pedangnya, kemudian menyerang Tee-kui dari samping.

Mendengar suara pedang berdesing menyerangnya, Tee-kui terkejut sekali dan ketika dia menangkis dengan golok kirinya, dia merasa betapa tangan kirinya tergetar hebat, tanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga sinkang yang tangguh. Hal ini membuat dia menjadi jeri karena harus menghadapi pengeroyokan dua orang.

Maka dia segera mengeluarkan gerengan dahsyat sambil sepasang goloknya menyerang sedemikian hebatnya sehingga Kok Han dan Kian Bu terpaksa melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar golok. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tee-kui untuk meloncat ke dekat rekannya, kemudian ia memondong tubuh Thian-kui yang masih pingsan itu dan meloncat jauh untuk melarikan diri.

Kok Han memandang kepada Kian Bu. Dasar dia seorang yang congkak, apa lagi setelah dia berhasil merobohkan Thian-kui, maka dia tidak mau tahu akan kelemahan diri sendiri, tidak mau mengerti bahwa sebenarnya dia tadi sudah terancam bahaya di tangan Tee-kui. Dengan muka cemberut dia bukan berterima kasih kepada Kian Bu, malah menegur,
“Siapa minta engkau membantuku?”

Tentu saja Kian Bu mendongkol bukan main. Kalau dia tidak menyabarkan hatinya, tentu sudah diserangnya pemuda baju putih itu. Melihat sikap congkak itu, dia segera memutar tubuh hendak pergi meninggalkan pemuda itu begitu saja.

Pada saat itu terdengar seruan wanita, “Ahh, kiranya engkau pemilik bahan peledak yang mengandung racun pembius itu, Kok Han?”

Kok Han menoleh dan dia terkejut bukan kepalang melihat munculnya Mulani. “Apa... apa maksudmu, Mulani?” tanyanya dan nampak olehnya betapa cantiknya gadis Mongol itu.

“Jadi orang yang dulu meledakkan racun pembius sehingga aku dan Sia Han Lin menjadi pingsan adalah engkau? Mengaku saja, karena peledaknya sama benar dengan yang kau lepaskan untuk merobohkan Thian-kui tadi.”

Kok Han menggigit bibirnya. Dia tidak dapat mengelak lagi. “Benar, Mulani. Hatiku merasa panas melihat engkau dengan Han Lin... karena aku cinta padamu...”

“Jadi engkau... engkau yang melakukan... terhadap diriku...”

Kok Han adalah seorang yang biasanya melakukan kegagahan, menganggap diri sebagai pendekar, hanya cinta dan cemburu telah meracuninya. Kini dia merasa bahwa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Mulani.

“Terus terang saja, Mulani, aku tidak ingin engkau menjadi isteri Sia Han Lin...”

Tiba-tiba saja Mulani tersenyum manis lalu mendekati Kok Han. “Kalau begitu engkaulah suamiku yang sesungguhnya. Apakah engkau cinta benar kepadaku, Kok Han?”

Bukan main girangnya hati Kok Han. “Kalau aku tidak cinta kepadamu, lalu untuk apa aku melakukan semua itu, Mulani? Aku cinta kepadamu, aku tergila-gila pada...” Tiba-tiba saja ucapan Kok Han terhenti, matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar dan saat itu Mulani sudah melompat ke belakang.

“Mulani, kau... kau...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan melengking, “Perempuan iblis, engkau membunuh kakakku?!”

Kemudian sebuah benda meledak dekat Mulani yang tidak sempat menghindar sehingga dia terbatuk-batuk sambil terhuyung-huyung, dan seketika itu pula Bi Lan telah berkelebat menyerangnya dengan sebatang pedang. Wanita ini tak mampu menghindar lagi sehingga lambungnya tertembus pedang dan dia pun roboh mandi darah, tidak jauh dari tubuh Kok Han yang dadanya tertembus pedang yang ditusukkan Mulani.

Setelah asap membuyar, Bi Lan cepat berlutut dekat tubuh kakaknya. “Han-ko, Han-ko... engkau tidak apa-apa...?”

“Lan-moi, ahh, kenapa engkau lakukan itu? Mulani... tidak... berdosa... aku yang salah... aku telah memperkosanya selagi dia pingsan... aku... ahh...,” dia terkulai dan tewas.

Sementara itu, mendengar betapa tadi wanita itu menyebutkan nama Sia Han Lin, kakak misannya, Kian Bu juga sudah lompat mendekat dan berlutut di dekat tubuh Mulani yang sekarat.

“Nona, aku adalah anggota keluarga dari Sia Han Lin. Ada urusan apa antara engkau dan dia, dan di mana dia sekarang?”

Mulani membuka matanya, “...harap katakan kepada Han Lin, aku... aku minta maaf, dia tak bersalah, dia bukan pelakunya, pelakunya adalah Can Kok Han... ahh, dia... dia boleh bebas sekarang... katakan aku... aku cinta padanya...” dan Mulani juga terkulai, tewas.

Kian Bu dan Bi Lan saling pandang, tidak saling mengenal, tetapi Bi Lan bisa mendengar percakapan antara Kian Bu dan Mulani.

“Aku... menyesal sekali telah membunuh Mulani... melihat kakakku dibunuhnya...”

Tiba-tiba datang serombongan orang yang berpakaian seperti orang asing, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Kian Bu segera melompat bangun dan siap siaga menjaga segala kemungkinan, begitu pula Bi Lan. Akan tetapi orang-orang itu tidak menggangu mereka, hanya mengangkat jenazah Mulani lalu dengan cepat pergi dari tempat itu dan terdengar suara mereka menangis.

Walau pun menjadi saksi utama dari serangkaian peristiwa tadi, Kian Bu dapat menduga bahwa Bi Lan bukanlah orang jahat. Kalau tadi gadis ini membunuh si wanita, itu adalah karena dia melihat kakaknya terbunuh dan dia tidak dapat menyalahkannya. Dia merasa kasihan juga melihat gadis itu menangis tanpa suara. Maka dia lalu berkata,

“Nona, mari kubantu engkau mengurus jenazah kakakmu ini.”

Ketika dia mengangkat jenazah itu, si gadis tidak mencegah dan memandang kepadanya dengan tatapan berterima kasih. Tadi dara ini sempat mendengar pengakuan pemuda ini sebagai saudara misan Han Lin. Mereka berdua lalu pergi ke luar kota membawa jenazah itu.

Bi Lan menangis di depan makam yang baru itu. Makam yang sederhana sekali, di lereng sebuah bukit di luar kota Souw-ciu. Souw Kian Bu juga berada di situ, dan orang muda itu membiarkan saja Bi Lan menangisi kematian kakaknya. Sesudah tangis Bi Lan mereda, gadis itu menoleh dan agaknya baru teringat bahwa di situ ada orang lain.

“Maafkan aku. Betapa hatiku tak akan sedih melihat kakak kandungku dibunuh orang dan bagaimana kelak aku harus memberi tahukan ayah ibu?”
“Wajar saja kalau engkau bersedih, nona. Aku pun ikut bersedih menyaksikan itu semua. Akan tetapi apa artinya semua ini? Bukan aku ingin mengetahui urusan orang lain, tetapi karena di sini agaknya tersangkut saudaraku Han Lin, maka aku ingin sekali mengetahui duduk perkaranya.”

“Aku sendiri juga tidak tahu. Tadi aku melihat betapa kakakku dibunuh secara curang oleh wanita itu, tentu aku tidak dapat menerimanya dan aku menggunakan obat peledak untuk membunuhnya. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, aku hanya mendengar pengakuan kakakku tadi. Ahh, sungguh sulit untuk dipercaya bahwa dia telah memperkosa wanita itu. Sekarang tidak ada lagi yang dapat ditanya karena keduanya telah meninggal dunia, ahh, aku menyesal sekali...”
“Kurasa kita masih dapat menanyakan kepada seseorang...”
“Maksudmu, Lin-koko?”
“Ehh, nona, apakah engkau juga mengenal Sia Han Lin?”
“Mengenal? Dia adalah seorang sahabat baikku!” kata Bi Lan penuh semangat, kemudian mukanya berubah kemerahan. “Tadi aku mendengar bahwa engkau adalah saudara...”
“Maksudku, bukan aku, melainkan ibuku yang masih enci dari ibu kakak Sia Han Lin.”
“Ah, begitukah? Kalau begitu aku harus memperkenalkan diri padamu. Aku bernama Can Bi Lan dan yang meninggal ini kakakkku bernama Can Kok Han. Kami adalah anak-anak dari ketua Pek-eng Bu-koan.”

“Nona Bi Lan, aku bernama Souw Kian Bu. Tahukah engkau di mana adanya kakak Sia Han Lin sekarang?”
“Aku tidak tahu, sebab sudah beberapa pekan kami berpisah. Aku sedang hendak pulang, ketika lewat tempat ini aku melihat peristiwa tadi. Sekarang aku harus cepat pulang untuk mengabarkan kepada ayah ibuku.” Dia memandang kepada gundukan tanah dan kembali matanya menjadi basah. “Pada waktu aku bertemu dengan Lin-koko, dia sedang hendak menuju ke Souw-ciu. Karena itu ketika aku tidak menemukan jejak kakakku di utara, aku pun menuju ke Souw-ciu dengan harapan dapat bertemu dengan Lin-koko, tidak tahunya aku malah bertemu dengan kakakku. Pada waktu aku bertemu dengannya, dia melakukan perjalanan bersama Kwan Im Sianli Lie Cin Mei.”

Kian Bu melihat betapa ketika menyebut nama Kwan Im Sianli, wajah gadis itu mendadak menjadi muram dan pandang matanya membayangkan kekeruhan, tanda bahwa dia tidak senang dengan wanita itu. Tentu cemburu! Apa lagi kalau bukan cemburu? Dia pun sudah pernah mendengar nama Kwan Im Sianli yang kabarnya selain ilmu silatnya sangat tinggi dan pandai mengobati orang, juga cantik jelita dan masih belum menikah.

“Ahh, kalau begitu aku akan pergi ke Souw-ciu. Barang kali saja aku akan dapat bertemu dengan dia di sana,” kata Kian Bu.
“Baiklah, saudara Souw Kian Bu. Kalau engkau bertemu dengan Lin-ko, tolong sampaikan salamku kepada dia, dan sekali lagi aku mintakan maaf jika mendiang kakakku bersalah kepadanya. Sekarang aku akan pulang melapor kepada orang tuaku, selamat berpisah.”

Mereka lalu berpisah dan Souw Kian Bu cepat-cepat pergi memasuki kota Souw-ciu lagi. Akan tetapi kalau saja dia datang lima hari yang lalu, tentu dia dapat bertemu dengan Han Lin. Dia sudah terlambat. Sesudah selama beberapa hari menanti dan mencari-cari tanpa hasil, maka dia pun meninggalkan kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wu-han, ke rumah orang tuanya yang membuka toko kain di kota itu.

Sebaiknya dia minta pendapat atau nasehat ayah ibunya tentang urusan dengan isterinya itu agar hatinya tidak menderita seperti sekarang ini. Semenjak meninggalkan isterinya, hidupnya terasa hampa tidak ada artinya. Setiap saat yang dirasakan hanyalah kesepian, duka dan penyesalan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa pulang kepada isterinya? Bayangan Gu San Ki selalu nampak di depan matanya.

Tidak, dia tidak akan kembali kepada isterinya. Biar pun dia menderita kalau perlu sampai mati, dia tidak akan kembali kepada isterinya, seperti seorang pengemis yang mengemis cinta. Betapa pun dia mencinta isterinya, jika isterinya mencinta orang lain, untuk apa dia merendahkan diri? Biar pun terasa menyedihkan, tetapi pikiran ini memberinya semangat untuk membusungkan dada, mendatangkan harga diri dan keangkuhan, dan mungkin bisa menjadi penunjang hidupnya agar dia tidak putus asa…..
********************
Pemuda itu memang ganteng sehingga menarik perhatian orang ketika memasuki rumah makan itu. Tetapi pemuda tinggi tegap yang berpembawaan gagah itu tidak peduli dengan pandangan orang-orang, dia terus melangkah dengan tegap dan mencari meja yang masih kosong. Akan tetapi semua meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah dikelilingi tiga atau empat orang, kecuali sebuah meja di sudut yang hanya dihadapi oleh seorang wanita saja. Wanita cantik berpakaian serba hijau.

Dengan langkah tegap pemuda itu menghampiri meja ini lalu mengangkat kedua tangan di depan dada. “Mohon maaf, nona. Karena tempat ini sudah penuh sekali, kalau sekiranya nona tidak keberatan dan suka menaruh kasihan kepada seorang yang sedang kelaparan, bolehkah aku menumpang duduk di sini untuk makan?”

Wanita itu mengangkat muka memandang. Mula-mula sepasang alisnya berkerut karena menganggap pria itu tidak sopan dan terlampau lancang berani minta menumpang duduk bersamanya di satu meja, padahal sama sekali belum mengenalnya. Akan tetapi ketika melihat laki-laki yang gagah itu, yang wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekurang ajaran, bahkan sepasang mata itu memandang jujur, dia tidak menjadi marah.

“Boleh saja, ini memang tempat untuk umum, bukan?” kata wanita itu dengan dingin dan dia tidak memandang lagi.
“Terima kasih. Ternyata nona seorang yang bijaksana dan berbudi baik sekali,” kata pria itu yang lalu duduk di seberang. Seorang pelayan menghampiri dan pemuda itu berkata, “Aku memesan makanan dan minuman, dan karena kami semeja, maka pesananku sama dengan apa yang dipesan oleh nona ini.”

Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia memperhatikan atau mengambil peduli. Dan pemuda itu pun tidak berani berbicara lagi karena melihat sikap orang seolah tidak ingin diajak bicara. Dia hanya memandang dengan sopan, tidak langsung.

Wanita ini ternyata memang cantik jelita. Jika dilihat dari wajah dan tubuhnya maka wanita ini nampak baru berusia sekitar dua puluh tahun, walau pun kalau melihat sikapnya tentu sudah lebih banyak lagi. Wajahnya bulat telur dan kulit mukanya putih kemerahan.

Sepasang matanya sangat tajam dan indah seperti mata burung Hong. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul diikat dengan pita kuning. Hidungnya mancung, dan mulutnya menantang dengan bibir merah basah. Dagunya runcing, ada tahi lalat di dagu itu. Alisnya indah sekali, kecil panjang melengkung. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung sempurna. Sungguh seorang wanita cantik sekali, dan pakaiannya juga dari sutera mahal. Ketika duduk di depan wanita itu, ada bau semerbak harum datang dari wanita itu.

Diam-diam pemuda itu merasa kagum, sama sekali tidak tahu bahwa yang di hadapannya adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal sekali, yaitu Jeng-i Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si! Pendekar wanita berhati baja yang menjadi murid pendeta wanita sakti Wi Wi Siankouw.
Image result for pedang awan merah blogspot
Sementara itu, beberapa kali Leng Si memperhatikan pemuda itu dengan sudut matanya. Tinggi tegap dan gagah. Usianya paling tidak tentu sudah dua puluh lima tahun. Wajahnya jantan, hidungnya besar mancung dan dagunya berlekuk. Mata itu amat tajam, akan tetapi menyinarkan kejujuran dan pedang di punggungnya menunjukkan bahwa dia juga seorang ahli silat.

Leng Si tidak pernah mimpi bahwa dia sedang berhadapan dengan Gu San Ki, murid dari Pek Mau Siankouw bibi gurunya sendiri karena Pek Mau Siankouw adalah sumoi (adik seperguruan) Wi Wi Siankouw. Mereka memang tidak pernah saling jumpa, seperti juga guru mereka yang tidak pernah saling jumpa atau berhubungan.

Makanan yang dipesan Leng Si datang lebih dulu. Sebelum makan ia hanya mengangguk kepada San Ki. Pemuda ini pun hanya mengangguk kemudian membuang muka supaya jangan kelihatan bahwa dia memandangi orang yang sedang makan. Namun, mendengar wanita itu makan, mau tidak mau jakunnya naik turun karena beberapa kali dia menelan ludah. Perutnya sudah sangat lapar dan tenggorokannya sudah haus sekali.

Leng Si juga mengetahui hal ini, akan tetapi dia hanya melanjutkan makan sambil bibirnya mengembang ke arah senyum ditahan. Setelah makanan untuk San Ki datang, makanan yang sama, dia pun mengangguk kepada Leng Si dan mulailah dia makan dengan lahap. Melihat ini, Leng Si merasa geli.

“Lahap benar makanmu,” tegurnya.

San Ki hampir tersedak. Dia cepat minum untuk mendorong makanan yang mengganjal di tenggorokannya dan mukanya berubah kemerahan oleh teguran teman semeja yang tidak dikenalnya itu.

“Ahh, maafkan aku, nona. Sejak kemarin aku belum sempat makan.”

Mereka melanjutkan makan dan tidak bicara lagi. Akan tetapi keduanya maklum bahwa di meja sebelah, seorang berpakaian sebagai opsir pasukan bersama tiga orang prajuritnya sedang makan minum pula. Dan mereka itu seperti orang sedang berpesta saja. Makanan termahal dipesannya, dan mereka sudah banyak minum arak sehingga dari kepala yang bergoyang-goyang itu dapat diketahui bahwa mereka tentulah sudah setengah mabok.

Empat orang yang setengah mabok itu tampak berbisik-bisik, tetapi baik Leng Si mau pun San Ki yang mempunyai pendengaran terlatih dan tajam dapat menangkap perintah opsir itu kepada bawahannya supaya mengundang ‘gadis cantik berbaju hijau’ itu untuk makan bersama di mejanya. Namun mereka pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan makan minum dengan tenang.

Salah satu di antara ketiga orang prajurit itu kini bangkit berdiri, kemudian dengan langkah gontai menghampiri meja Leng Si. “Nona, kapten kami minta kepada nona untuk makan bersamanya di meja sana, dan biarlah saya yang menemani saudara ini makan minum.”

Jika menuruti wataknya, Leng Si tentu sudah mengamuk. Akan tetapi karena di mejanya duduk pemuda itu, dia menahan diri dan cawan tehnya yang masih setengah itu tiba-tiba dia siramkan kepada prajurit itu.

Meski pun hanya air teh, akan tetapi karena yang menyiramkan adalah Jeng-i Sianli yang melakukannya dengan tenaga sinkang, maka prajurit itu merasa wajahnya seperti ditusuk-tusuk jarum. Dia pun berteriak, lalu terhuyung ke belakang sambil menutupi muka dengan kedua tangannya karena matanya tidak dapat dibukanya. Pedas dan perih rasanya.

Kapten itu bangkit berdiri dengan marah sekali. “Berani engkau memukul prajuritku?”

Leng Si sudah menyambar poci tehnya, tetapi sebuah tangan yang lembut namun kuat sekali telah menangkap tangannya. Ketika dengan marah dia memandang ke depannya, pemuda itu menggeleng kepala dan berkata lirih,
“Nona, poci teh ini dapat membunuhnya. Tidak baik membunuh prajurit, apa lagi seorang kapten.”

Leng Si teringat, lalu tangannya memegang sumpit, dengan cepat disumpitnya sepotong bakso. Pada saat itu sang perwira sudah memerintahkan dua orang prajuritnya yang lain.

“Tangkap wanita itu! Tang...” belum habis dia bicara, sepotong bakso meluncur bagaikan peluru, tepat memasuki mulutnya yang sedang terbuka dan bakso itu terus menyelonong ke dalam kerongkongannya. Dua bakso lain menyambar ke arah muka dua orang prajurit. Yang seorang terkena mata kirinya sehingga mata itu menjadi hitam, sedangkan seorang lagi terkena hidungnya sehingga bocorlah hidung itu keluar darahnya.

Biar pun mereka sendiri merasa kesakitan, namun melihat atasan mereka terbatuk-batuk karena ada bakso mengganjal kerongkongan, dua orang itu menolongnya dan menepuk-nepuk punggungnya sampai akhirnya bakso itu dapat tertelan.

Tentu saja perwira itu marah bukan main. Dia lari keluar diikuti tiga orang prajuritnya dan di luar dia segera berteriak-teriak memanggil pasukannya yang terdiri dari tiga losin orang yang cepat berlari-lari menghampiri kapten mereka yang memanggil mereka.

“Tangkap perempuan setan itu! Tangkap! Cepat!”
“Nona, sebaiknya kita keluar. Tidak baik kalau ribut di sini sehingga merusakkan perabot rumah makan.” San Ki berkata lembut.

Dan sungguh aneh sekali, tidak biasanya Leng Si yang berhati baja itu mau menurut kata-kata orang. Akan tetapi sekarang, untuk kedua kalinya dia pun mengangguk lalu mereka berdua melangkah keluar dengan tenangnya.

Sampai di luar, mereka dihadapi oleh puluhan orang prajurit yang sudah mencabut golok mereka. Namun tiga losin prajurit itu tentu saja merasa ragu. Mereka disuruh mengeroyok seorang gadis yang demikian cantik?

“Tangkap perempuan setan itu!” si perwira berseru lagi sambil menundingkan telunjuknya ke arah leng Si.

Sekarang para prajurit itu tidak ragu lagi. Bagaikan sedang berlomba mereka berbondong menghampiri Leng Si dengan golok di tangan untuk menakut-nakuti. Mereka lebih senang kalau disuruh menangkap hidup-hidup, sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk memeluk dan menggerayangi tubuh yang denok itu.

Namun begitu mereka mendekat, Leng Si segera menggerakkan kaki tangannya sehingga robohlah empat orang yang berada paling depan. Semua orang menjadi kaget dan marah, dan kini mereka serentak menyerang dengan golok mereka. Leng Si mengamuk dengan tangan kosong saja karena dia memandang rendah pada pengeroyoknya.

Melihat gadis itu dikeroyok begitu banyak orang, San Ki memandang penuh perhatian dan terkejutlah dia. Tentu saja dia mengenal gerakan wanita itu. Itulah jurus kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) yang amat dikenalnya karena itu merupakan satu jurus ampuh dari perguruannya untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang yang bersenjata golok atau pedang! Karena wanita itu menggunakan jurus dari perguruannya, maka timbullah rasa akrab di hati San Ki dan dia pun cepat terjun ke dalam pertempuran, juga menggunakan jurus yang sama menghadapi para prajurit yang bergolok itu.

Gerakan mereka persis sama. Bahkan cara memutar tubuh dan menendang dengan dua kaki bergantian yang sekaligus merobohkan lima enam orang juga tidak berbeda. Leng Si juga melihat ini, maka dia pun tertegun. Jelas bahwa pria itu menggunakan ilmu silat yang sama dengan ilmu silatnya. Dia sengaja mengubah-ubah jurusnya, tetapi semua jurusnya dapat ditiru oleh pria itu dengan sempurna!

Leng Si bergerak mendekati pria itu. Para pengeroyok mulai jeri akan tetapi karena jumlah mereka sangat banyak, mereka masih mengepung dengan mengamang-amankan golok. Kesempatan selagi mereka tidak menyerang itu dipergunakan Leng Si untuk bicara.

“Sobat, engkau tentu murid bibi guru Pek Mau Siankouw, bukan?”
“Dan engkau tentu murid bibi guru Wi Wi Siankouw!”
“Benar, mari kita hajar mereka ini!”
“Akan tetapi jangan membunuh prajurit, bisa gawat!” San Ki memperingatkan.

Mereka lantas mencabut senjata masing-masing. Meski tanpa senjata pun mereka masih mampu menandingi tiga puluh lebih orang pengeroyoknya itu, akan tetapi bagaimana pun juga menghadapi banyak orang yang memegang senjata dapat berbahaya bagi mereka. Sesudah kini mereka memegang pedang, maka dengan mudah mereka dapat membabati golok para prajurit sehingga banyak golok beterbangan atau patah-patah.

Setelah mengetahui keadaan masing-masing sebagai saudara seperguruan, dua orang itu menjadi semakin gembira dan bersemangat. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, semua golok sudah dapat mereka patahkan atau terbangkan.

Mendadak sebuah kereta berhenti dekat situ kemudian terdengar suara dari dalam kereta, “Berhenti, jangan serang lagi!”

Semua prajurit menengok dan setelah melihat orang yang memberi aba-aba, mereka lalu mundur sambil menggenggam golok buntung atau bahkan sudah tidak memegang senjata lagi. Mereka justru merasa sangat lega ketika disuruh berhenti menyerang karena mereka memang sudah merasa jeri sekali terhadap dua orang itu. Para penonton yang menonton dari kejauhan juga merasa kagum sekali melihat dua orang dapat memporak-porandakan tiga losin prajurit.

Leng Si dan San Ki sudah menyimpan kembali pedang mereka. Kini mereka memandang laki-laki yang berdiri di ambang pintu keretanya itu. Seorang pembesar dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan, dijaga oleh selosin pengawal yang kelihatannya kuat dan angker. Pembesar itu bertubuh tinggi kurus, usianya sekitar lima puluhan tahun, wajahnya nampak cerah dan dia sedang tersenyum sambil memandang kagum.

Dengan sikap bersahabat pembesar itu mengangkat kedua tangan untuk memberi hormat kepada Leng Si dan San Ki! Dua orang ini tentu saja merasa heran dan mereka pun cepat balas memberi hormat. Aneh rasanya pembesar yang kelihatannya berkedudukan tinggi itu memberi hormat lebih dahulu kepada mereka.

“Taihiap dan lihiap, harap maafkan pasukan yang berlaku keras dan lancang terhadap ji-wi (kalian berdua). Sebenarnya apakah yang menyebabkan dua orang pendekar seperti ji-wi sampai ribut dengan pasukan ini?”

Karena Leng Si nampaknya segan menjawab, San Ki kemudian mewakilinya menjawab, “Bukan kesalahan kami, taijin. Ketika kami sedang makan di rumah makan, ada seorang perwira hendak memaksa adik saya untuk menemaninya makan. Adik saya menolak dan terjadilah pengeroyokan ini.”

Pembesar itu kelihatan marah sekali. Dia menoleh ke arah pasukan. “Perwira mana yang melakukan kekurang ajaran itu? Hayo cepat maju ke sini!”

Perwira yang dijejali bakso oleh Leng Si tadi, segera maju dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, diikuti oleh tiga orang prajuritnya. Mereka menghadap pembesar itu, lantas sang perwira memberi hormat diikuti tiga anak buahnya.

“Harap maafkan kami berempat, taijin. Tadinya kami hanya bermaksud main-main saja.”
“Keparat! Main-main dengan seorang pendekar wanita? Hayo kalian minta maaf kepada mereka dan siap menerima hukuman cambuk masing-masing dua puluh kali!”

Perwira itu cepat menghampiri Leng Si dan San Ki, memberi hormat dan berkata, “Harap maafkan kami, taihiap dan lihiap, kami mengaku bersalah.”

Leng Si hanya mendengus saja, sementara itu San Ki berkata, “Sudahlah, harap lain kali jangan suka menggangu orang.”

Pembesar itu lalu berkata kepada pengawalnya. “Gusur mereka dan beri cambukan dua puluh kali!”

Empat orang itu segera dibawa pergi oleh pasukan pengawal. Pembesar itu lalu berkata kepada San Ki dan Leng Si. “Harap ji-wi ketahui bahwa kami adalah Gubernur Coan dari Nan-yang. Kami amat menghargai orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan kami kagum sekali melihat kegagahan ji-wi. Oleh karena itu kami mengundang ji-wi untuk naik kereta ini dan bersama kami datang berkunjung untuk bertukar pikiran.”

Sebetulnya kedua muda-mudi itu merasa tidak senang untuk berkenalan dengan seorang pembesar tinggi, akan tetapi karena Gubernur Coan sudah mengundang mereka dengan hormat, maka mereka pun merasa tidak enak kalau menolak. Kini Leng Si yang berbicara, suaranya hormat akan tetapi tegas.

“Banyak terima kasih atas undangan taijin, tetapi kami masih ada urusan. Oleh karena itu harap paduka pulang dulu dan lain hari kami berdua akan datang menghadap.”

Gubernur Coan menghela napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Agaknya dia sudah mengenal watak yang aneh-aneh dari para pendekar.

“Baiklah, lihiap. Kunjungan ji-wi selalu kunantikan.” Dia pun memasuki keretanya kembali, lalu berjalanlah kereta itu meninggalkan Leng Si dan San Ki. Para penonton pada bubaran dan peristiwa itu menjadi bahan cerita mereka sampai berbulan-bulan.
“Sungguh pertemuan kita ini luar biasa sekali!” kata San Ki kepada Leng Si ketika mereka memasuki kembali rumah makan itu untuk bercakap-cakap tanpa gangguan.

Leng Si tersenyum memandang wajah yang jantan itu. “Gara-gara keceriwisanmu maka kita bisa bertemu kemudian bersama-sama menghadapi pengeroyokan pasukan, bahkan menemukan kenyataan bahwa kita merupakan saudara seperguruan,” kata Leng Si sambil tersenyum dan tidak nampak marah.

“Aku ceriwis? Aihh, kenapa? Karena semua meja penuh dan engkau makan seorang diri, dan aku pun sudah minta ijin kepadamu dan engkau sudah memperbolehkan dan...”
“Sudahlah. Bagaimana pun juga hal itu menguntungkan, bukan? Kalau tidak begitu maka kita tak akan saling mengenal. Bahkan gurumu yang bernama Pek Mau Siankouw itu baru kudengar namanya saja dari cerita subo. Siapa sih namamu?”
“Ahh, aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Gu San Ki, yatim piatu dan sebatang kara maka aku diangkat murid oleh subo dan dianggap seperti anak sendiri. Dan siapakah namamu, sumoi?”
“Orang kang-ouw menyebut aku Jeng-i Sianli, namaku Cu Leng Si.”

San Ki tampak terkejut. “Ahh, jadi yang disebut Jeng-i Sianli itu adalah engkau? Pantas...! Namamu terkenal sekali, sumoi, dan aku sungguh kagum kepadamu.”

“Ki-suheng, sekarang engkau tinggal di mana? Engkau datang dari mana dan hendak ke mana?”
“Aku masih tinggal bersama subo. Kini subo sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Tadinya ada sumoi Ji Kiang Bwe yang mengurus subo, akan tetapi setelah sumoi kembali kepada orang tuanya, apa lagi kini sudah menikah, maka terpaksa akulah yang menjaga dan merawat subo. Aku sedang dalam perjalanan mencari suami dari sumoi yang... pergi merantau.”
“Dan isterimu? Sudah berapa orang puteramu, suheng?”

San Ki menarik napas panjang. “Aku belum menikah, sumoi. Siapa sih yang mau menjadi isteri seorang melarat seperti aku ini? Oh ya, dan engkau sendiri, sumoi? Di mana engkau tinggal dan dengan siapa? Ke mana engkau hendak pergi?”

“Aku mempunyai tempat tinggal di lereng Tai-hang-san, tinggal seorang diri saja bersama beberapa orang pengikut dan pembantu rumah. Aku belum berkeluarga pula, suheng. Aku sedang merantau meluaskan pengalaman. Juga… aku sedang berusaha membebaskan ayahku yang ditahan oleh Kaisar.”
“Ahh… kenapa? Dan di mana ayahmu sekarang?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin dan tadinya dia adalah pejabat bagian perpustakaan istana. Karena dia berani menentang seorang thaikam penjilat yang korup, maka dia difitnah oleh thaikam itu kemudian ditangkap.”
“Hemm, kalau begitu marilah kita berdua mendatangi thaikam itu lantas memberi hajaran kepadanya, memaksa dia untuk membebaskan ayahmu!” kata San Ki penuh semangat.

Hangat rasa hati Leng Si melihat sikap San Ki yang membela itu. “Terima kasih, suheng. Akan tetapi sekarang sudah ada seseorang yang sedang pergi kepada Kaisar dan akan menyelamatkan ayahku.”

“Siapa dia?”
“Namanya Sia Han Lin dan dialah yang telah menemukan Ang-in Po-kiam. Sekarang dia hendak menyerahkan kembali pedang itu kepada Kaisar yang sudah menjanjikan hadiah besar kepada siapa saja yang menemukan pedang itu. Nah, Sia Han Lin itu kini ditemani sumoi-ku hendak menghadap Kaisar dan mintakan ampun untuk ayahku.”
“Sumoi-mu?”
“Subo mempunyai seorang puteri yang bernama Lie Cin Mei dan berjuluk Kwan Im Sianli. Dialah sumoi-ku.”
“Ahh, aku sudah mendengar tentang Kwan Im Sianli. Bukankah yang memiliki kepandaian mengobati? Ternyata dia puteri bibi guru Wi Wi Siankouw? Subo pernah bercerita bahwa bibi guru mempunyai anak perempuan, akan tetapi subo sendiri tidak tahu namanya. Jadi dia bersama... siapa tadi, Sia Han Lin, kini pergi ke kota raja untuk menyerahkan pedang yang menghebohkan dunia kang-ouw itu dan minta agar ayahmu dibebaskan?”

“Benar, suheng.”
“Ahh, aku jadi teringat sekarang. Undangan Gubernur Coan itu mungkin berguna bagimu. Bukankah seorang gubernur itu dekat dengan Kaisar dan menjadi kepercayaan atau wakil Kaisar untuk memimpin dan menguasai daerah yang luas sekali? Tidak ada buruknya bila kita mengunjungi dia dan siapa tahu dia dapat pula menolong ayahmu.”
“Sebetulnya aku tidak suka berkenalan dengan segala macam pembesar, akan tetapi jika mengingat sikapnya yang baik dan mengingat ucapanmu tadi, memang sebaiknya kalau kita pergi ke sana untuk mendengar apa yang akan dibicarakan.”

Setelah membayar makanan mereka pun meninggalkan rumah makan itu, lalu melakukan perjalanan menuju ke Nan-yang. Mereka tidak saling berjanji, tidak saling bersepakat, tapi pergi berdua begitu saja seolah hal itu memang sudah semestinya. Baru sekali ini mereka sama-sama menemukan kawan baru yang amat cocok. Mereka masih terhitung saudara seperguruan, keduanya belum menikah dan keduanya saling tertarik dan saling kagum…..

********************
Gubernur Coan menyambut dengan gembira dan juga dengan sikap menghormat. Mereka segera dipersilakan memasuki ruang tamu yang sangat luas dan dijamu dengan hidangan mewah, sedangkan semua pengawal diperintahkan keluar oleh sang gubernur. Bukan itu saja, bahkan Gubernur Coan juga memanggil isteri-isterinya beserta tiga orang puteranya untuk mendampinginya menjamu dua orang muda itu. Jelas bahwa dia amat menghormati tamunya dan menganggap mereka seperti tamu agung atau keluarga sendiri.

Sesudah perjamuan selesai dia mengajak mereka berdua untuk masuk ke ruangan dalam, kemudian sang gubernur mengajak Leng Si dan San Ki bicara bertiga saja dalam sebuah kamar baca, tidak dihadiri orang lain.

“Nah, di sini kita dapat bicara dengan santai dan bebas,” katanya kepada Leng Si dan San Ki yang merasa aneh akan sikap tuan rumah yang demikian ramah dan manisnya.
“Paduka telah mengundang kami dan menerima kami dengan baik sekali, taijin,” kata San Ki. “Sesungguhnya apakah yang hendak taijin sampaikan kepada kami atau mungkin taijin menghendaki sesuatu dari kami?”

Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha-ha, memang kami senang bergaul dengan para pendekar dan kami kagum sekali dengan kelihaian ji-wi. Sayang sekali kalau tenaga yang demikian hebat seperti ji-wi tidak dimanfaatkan untuk negara dan bangsa.”

“Hemm, benarkah penguasa dapat menghargai tenaga rakyat jelata?” kata Leng Si penuh penasaran. “Penguasa lebih suka mendengar bujukan manis dan kata-kata menjilat para pembesar korup dari pada mendengarkan nasihat pejabat yang baik. Kaisar sekarang pun tidak adil terhadap pejabatnya yang baik.” Leng Si yang teringat akan ayahnya mendadak berkata agak ketus.

Akan tetapi gubernur itu tidak marah. “Ahh, agaknya lihiap mempunyai penasaran. Kalau memang banyak terdapat penjilat dan pembesar korup, justru ini merupakan tugas orang-orang gagah seperti lihiap untuk memberantasnya! Katakanlah, lihiap, ada penasaran apa yang lihiap rasakan? Apakah karena sikap kurang ajar dari perwira itu? Dia sudah minta maaf dan dia sudah dihukum cambuk.”

“Bukan dia, taijin. Dia hanya merupakan urusan kecil yang tidak ada artinya. Akan tetapi Sribaginda Kaisar!”

Gubernur itu nampak terkejut atas keberanian wanita itu memburukkan nama Kaisar, apa lagi di depan dia. “Ada apakah, lihiap?”

“Kaisar lebih mendengarkan bujuk rayu manis para thaikam yang berhati palsu dari pada ucapan yang jujur dari pejabatnya yang setia.”
“Maksud lihiap, apakah yang telah terjadi?”
“Ayah saya adalah seorang pejabat di perpustakaan istana. Karena dia berani menentang kekuasaan thaikam penjilat yang lalim, thaikam itu lantas melemparkan fitnah kepadanya. Dan Sribaginda Kaisar malah menyuruh tangkap ayah saya.”

“Ahh, itu benar-benar membuat penasaran!” kata gubernur dan suaranya terdengar penuh semangat. “Siapakah nama ayah nona itu?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin!”
“Ahh, kiranya Cu-taijin itu adalah ayah lihiap? Saya juga pernah mendengar urusan yang penasaran itu. Sampai sekarang ayah nona menjadi tahanan di rumah Kiu Thaikam, akan tetapi jangan khawatir, semua itu mungkin hanya kesalah pahaman di pihak Kui-thaikam. Saya kenal baik Kui-thaikam, dan saya akan dapat minta kepadanya agar membebaskan ayah nona.”
“Terima kasih, taijin. Saya akan berterima kasih sekali apa bila taijin dapat mengeluarkan ayahku dari tahanan.”

“Jangan khawatir, lihiap. Ehh, ya, siapakah nama lihiap dan siapa pula nama taihiap?”
“Nama saya Cu Leng Si, taijin. Dan ini suheng-ku bernama Gu San Ki.”
“Gu-taihiap dan Cu-lihiap, urusan Cu-taijin itu serahkan saja kepada kami. Kami tanggung dalam waktu singkat ayah lihiap pasti akan dapat dibebaskan. Memang Sribaginda Kaisar terlalu lemah dan menjadi kewajiban kita untuk mengubah keadaan ini.”

Dua orang muda itu terkejut. Ucapan itu berbau pemberontakan!

“Apa yang taijin maksudkan?” tanya San Ki.
“Jika sebuah pemerintahan tidak baik dan merugikan rakyat, bukankah sudah sepatutnya kalau diubah, dirombak dan diganti? Nah, itulah yang kami maksudkan tadi. Apakah ji-wi merasa tidak setuju?”
“Tentu saja kami sangat setuju!” jawab Leng Si dengan spontan karena dara ini memang merasa jengkel dan marah karena ayahnya ditangkap dan ditahan.

Jawaban yang keras ini disambut Gubernur Coan dengan gembira, dan dia pun mengajak mereka berdua mengangkat cawan arak untuk persamaan pendapat itu.

“Bagaimana kalau untuk tujuan mulia ini ji-wi bekerja untukku? Kami membutuhkan orang-orang gagah yang patriotik, yang suka membela rakyat seperti ji-wi ini, untuk menumpas pejabat yang menindas rakyat jelata. Bagaimana pendapat ji-wi?”

Leng Si dan San Ki saling pandang. Keduanya merasa sangsi dan ragu-ragu, akan tetapi dengan cerdik Leng Si lantas berkata, “Taijin, karena urusan ini gawat dan penting sekali, maukah taijin memberikan kesempatan kepada kami berdua untuk berunding terlebih dulu sebelum memberikan jawabannya?”

Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha-ha! Tentu saja, bahkan bagus sekali. Untuk memutuskan suatu urusan penting haruslah dirundingkan semasak-masaknya. Bagaimana jika malam ini ji-wi bermalam di sini? Selama menginap di sini ji-wi dapat berunding berdua dan baru pada keesokan harinya memberi keputusan kepada kami?”

“Baik, taijin.”

Gubernur itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan pelayan supaya mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada kepala pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin.

“Nah, sampai besok pagi, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan.”
“Silakan, taijin. Sampai besok!” kata Leng Si dan San Ki.

Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain sehingga percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si lalu bercakap-cakap sambil berunding.

“Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?” tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.
“Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi.”
“Aku pun berpikir demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan.”
“Benar, kita sependapat, sumoi. Jika menurut pembicaraannya tadi, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi.”

“Biar pun ayahku ditangkap, aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, sebab aku mengerti bahwa semua ini adalah ulah Kui-thaikam. Memang Kaisar berwatak lemah, tetapi bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?”
“Hanya tinggal dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja kepada dia lalu kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sebetulnya hendak dia perbuat. Apa bila benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, maka kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan.”

Leng Si mengangguk-angguk kagum. “Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu jika kita terima saja uluran tangannya itu? Kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, siapa tahu dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan.”

“Akan tetapi kalau begitu kita akan berhutang budi kepadanya, sumoi.”
“Memang benar, tapi hutang budi tidak harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku bagaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat untuk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama, dan kita harus menolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan.”
“Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini.”
“Aku juga girang sekali, suheng.”

Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki segera teringat kepada Ji Kiang Bwe, maka dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.

Leng Si sempat melihat perubahan pandang mata pemuda itu. Tadinya pandang mata itu begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, tetapi tiba-tiba saja mata itu termenung dengan alis berkerut kemudian ditambah tarikan napas panjang, tanda bahwa hati pemuda itu sudah terganggu sesuatu.

“Ada apakah, Ki-suheng? Engkau kelihatan berduka.”
“Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi.”
“Ada urusan apakah, suheng? Apakah urusan ini merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?”
“Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa timbul kepercayaan besar di dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalah yang memusingkan hatiku.”

San Ki lalu menceritakan tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoi-nya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dalam suasana akrab, suami sumoi-nya menjadi cemburu dan kini suami sumoi-nya lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.

“Aihh, mengapa dia begitu pencemburu? Terus terang saja, suheng, apakah ada apa-apa antara engkau dengan sumoi-mu itu?”
“Sumoi, tadi telah kukatakan bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia, maka biarlah engkau mengetahui semuanya biar pun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dulu ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku sudah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena dia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, aku pun tidak berani menyatakan cintaku, hingga akhirnya dia pulang ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu tentu saja aku berada jauh darinya dan setelah berpisah selama bertahun-tahun, baru aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa sangka hal itu malah menimbulkan mala petaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu lalu pergi meninggalkannya. Aku merasa sangat bersalah, sumoi, karena itu kepergianku ini sesungguhnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi.”

Leng Si menghela napas panjang. Dia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah dia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin?

“Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk sebelah tangan dalam urusan cinta,” kata Leng Si.

San Ki segera berkata, “Walau pun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoi-ku, tetapi sesudah dia menikah dengan sendirinya tidak ada sedikit pun pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku bukan orang macam itu, Si-sumoi. Sesudah suami sumoi-ku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu.”

“Itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya sudah membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe. Suaminya itu orang macam apa? Apakah begitu pencemburu?”
“Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa.”
“Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Jika bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali.”

Pada esok harinya mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah, kemudian memerintahkan pelayan supaya menghidangkan santapan pagi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan, pembesar ini lalu bertanya.

“Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?”

Memang San Ki sudah menyerahkan kepada sumoi-nya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoi-nya itu memang lebih pandai bicara.

“Sudah, taijin. Tadi malam sudah kami bicarakan. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami sepakat bahwa pendapat taijin itu benar adanya sehingga kami bersedia untuk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?”
“Untuk sementara ini biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang amat penting, yang berhubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu harap kalian suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan.”

San Ki dan Leng Si saling lirik, lalu Leng Si berkata, “Baik, taijin kami gembira sekali bisa bekerja untuk taijin.”

Demikianlah, mulai hari itu juga dua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Pada hari itu juga, sesudah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa!

Gubernur Coan pergi dengan menyamar. Pada waktu San Ki dan Leng Si mengikutinya, ternyata mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan mereka masuk dari pintu belakang.

Penjaga pintu belakang hotel itu nampaknya sudah tahu, karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan serta dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup. Ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki.

Akan tetapi, sesudah Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di sana bersama orang-orang lain, dia menjadi terkejut sekali. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang dia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu turut hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri oleh Gubernur Coan?

Sam Mo-ong juga mengenal Jeng-i Sianli Cu Leng Si, karena itu mereka merasa tak enak sekali. Akan tetapi melihat Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, mereka pun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya.

Yang hadir di ruangan itu adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun yang bermuka merah dan gagah, kepala pasukan Lok-yang yang mengepalai pasukan kuat dan berjumlah besar. Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya.

Ternyata Sam Mo-ong datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia bukan lain adalah Kui-thaikam yang mengepalai seluruh thaikam di istana. Kui-thaikam ini yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan.

“Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan ketiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang dulu pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini adalah Pek-bin Mo-ong, sedangkan yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo. Mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan.”

Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.

“Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suheng-nya yang bernama Gu San Ki. Mereka sudah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang sekarang kacau balau karena lemahnya pemerintahan ini.”

Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong tadi, sambil memandang kepada semua orang Gu San Ki dan Leng Si segera bangkit berdiri lantas memberi hormat. Diam-diam Leng Si memperhatikan orang gendut berpakaian thaikam itu, karena sudah bisa menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap!

Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.

“Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kui-taijin?”
“Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia belaka dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil,” kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.

Dari pertanyaan gubernur Coan dan sikap panglima Kwan itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dialah yang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.

“Setelah mengenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, pertama-tama kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwan-ciangkun, juga kepada yang lain-lain.”

Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata, “Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau berbicara di depan orang-orang yang kalau bukan benar-benar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri.”

Kwan-ciangkun mengerutkan alis. “Apa yang dimaksudkan oleh Kwi-jiauw Lo-mo? Apakah tidak percaya kepada kami? Dua pengikut kami adalah dua orang panglima bawahan kami yang terpercaya!”

“Maaf, ciangkun. Tentu saja bukan kedua ciangkun itu yang saya maksudkan.”
“Ahh, agaknya Sam Mo-ong tidak percaya kepada kedua orang pengikutku yang baru ini? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka, sama saja hendak mengatakan bahwa kalian tidak percaya kepadaku!” kata Gubernur Coan dengan wajah berubah merah.
“Maafkan, taijin. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian, tetapi sebaiknya kita berhati-hati karena kebetulan sekali saya mengenal wanita yang berjuluk Jeng-i Sianli ini!”

Leng Si bangkit berdiri. “Kwi-jiauw Lo-mo, perlu apa kau mengusik dan menyebut-nyebut urusan pribadi? Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke dalam perundingan mengenai negara! Apakah aku perlu membongkar semua rahasia pribadi Sam Mo-ong yang terkenal busuk, jahat dan banyak melakukan hal-hal yang memuakkan di dunia kang-ouw? Kalau memang begitu kehendakmu, hayo kita saling membongkar rahasia pribadi. Aku hendak melihat kejahatan apa yang pernah dilakukan Jeng-i Sianli dan kejahatan apa yang pernah dilakukan Sam Mo-ong!”

Mendengar ledakan Leng Si, tentu saja Sam Mo-ong menjadi gentar. Bagaimana pun juga tadinya mereka hanya hendak berhati-hati karena mereka tidak mempercayai Jeng-i Sianli yang pernah membantu Sia Han Lin, musuh besar mereka. Dan memang mereka takkan mampu membongkar rahasia pribadi Leng Si karena Jeng-i Sianli memang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan mereka bertiga, memang mereka tidak pernah pantang melakukan apa saja.

Mendengar ucapan Leng Si yang demikian berkobar. Gubernur Coan menjadi tidak enak juga. “Sam Mo-ong, harap tidak membicarakan tentang urusan pribadi. Nona Cu Leng Si adalah orang kepercayaanku dan dia adalah tanggung jawabku, maka kalian boleh bicara secara terbuka!”

“Baiklah, kalau Coan-taijin berkata demikian. Kami pun tidak hendak menimbulkan urusan pribadi, hanya ingin bersikap hati-hati saja demi kebaikan ciangkun dan taijin sendiri. Nah, seperti yang sudah kami laporkan kepada Kui-taijin, kami datang diutus oleh raja kami Ku Ma Khan untuk mempererat hubungan kita. Raja kami telah mengirim beberapa puluh kati emas sebagai sumbangan agar gerakan yang diatur cu-wi dapat berjalan lancar. Juga raja kami telah mempersiapkan pasukan di perbatasan, agar kalau sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera maju membantu kelancaran gerakan ini. Raja kami juga menyatakan kagum dan amat menghargai usaha kalian yang hendak membersihkan pemerintahan, agar bisa menjalin hubungan dengan bangsa kami dan tidak menimbulkan perang yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata.”

Kwan-ciangkun dan Coan-taijin mengangguk-angguk. Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Ku Ma Khan memang mendatangkan kesulitan besar. Penyerbuan mereka dari utara dan barat amat mengganggu kesejahteraan pemerintahan. Biar pun kaisar diganti, akan tetapi tetap saja tidak akan ada kedamaian selama gangguan itu masih ada. Maka, kalau dapat berdamai dengan bangsa Mongol, tentu hal itu akan baik sekali. Memang usaha berdamai dengan bangsa Mongol ini sejak lama sudah dirintis oleh Kui-thaikam dan baru sekarang ini, dengan perantaraan Sam Mo-ong, hubungan langsung dapat dilakukan.

“Benar,” kata Kui-thaikam. “Seperti yang dilaporkan oleh Sam Mo-ong, bingkisan emas itu telah kami terima dan kami simpan untuk penambahan biaya persiapan gerakan kita. Dan tentang bantuan pasukan, mungkin saja kita perlukan kalau-kalau para panglima di Tiang-an dan perbatasan akan mengadakan perlawanan. Memang kami berhasil menghubungi para panglima, akan tetapi para panglima tua amat sulit dibujuk. Mereka masih tetap setia kepada Kaisar yang lemah itu.”

“Kalau para panglima di Lok-yang tidak perlu dikhawatirkan karena semua sudah sepakat untuk membantu gerakan kita,” kata Kwan-ciangkun dengan tegas.
“Juga Nan-yang dapat dikuasai dengan mudah karena pasukan di Nan-yang tidak begitu kuat. Mulai sekarang kami akan mengunjungi dan membujuk para komandan pasukan di selatan. Sesudah kami mempunyai dua orang pembantu yang dapat diandalkan ini, maka kami merasa lebih leluasa bergerak dan merekalah yang akan kami utus mengunjungi dan mengadakan kontak dengan para komandan pasukan di selatan.”

“Bagus, kalau begitu mari kita membagi tugas. Sam Mo-ong harap kembali ke utara untuk melapor kepada Ku Ma Khan mengenai pertemuan ini dan agar pasukan di perbatasan itu segera dipersiapkan dan diperkuat. Akan tetapi harap menanti datangnya utusan, jangan sembarangan bergerak kalau belum ada pemintaan dari kami.”

“Baik, taijin, akan kami sampaikan kepada raja kami,” kata Kwi-jiauw Lo-mo.
“Dan Kwan-ciangkun harap memperkuat pasukan di Lok-yang sehingga kalau kami sudah memberi isyarat, dapat melakukan gerakan menuju ke kota raja.”
“Baik, jangan khawatir, taijin, kami memang sudah mempersiapkan segalanya.”
“Dan Coan-taijin, harap kamu lebih banyak mengadakan hubungan dengan para pejabat, karena semakin banyak yang mendukung usaha kita maka gerakan ini akan lebih lancar.”
“Siap, taijin. Akan tetapi bagaimana dengan gerakan di istana?”
“Hal ini adalah tugasku. Kita sudah membagi tugas. Urusan dengan Kaisar menjadi tugas utamaku, serahkan saja kepadaku. Kalau usaha ini berhasil, berarti kalian harus membuat gerakan serentak. Nah, kita telah cukup bicara, kita akan berkumpul lagi pada pertemuan mendatang. Kalian akan menerima undangan dariku untuk menentukan tempatnya.”

Semua orang menyatakan setuju, kemudian pertemuan itu dibubarkan tanpa ada orang lain yang mengetahui bahwa di bagian dalam hotel itu baru saja diadakan pertemuan dan perundingan penting dari orang-orang yang hendak melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Thai Tsung.

Setelah mengiringkan Gubernur Coan pulang ke rumahnya sendiri, tentu saja Leng Si dan San Ki segera mengadakan perundingan sendiri.

“Wah, gawat, suheng. Seperti yang sudah kukhawatirkan, Gubernur Coan merencanakan pemberontakan bersama sekutunya. Bahkan yang menjadi pemimpin adalah Kui-thaikam yang sudah menjebloskan ayah ke dalam penjara! Apa yang harus kita lakukan sekarang, suheng?”
“Tenanglah, sumoi. Kita tidak boleh gegabah, tidak boleh tergesa-gesa, harus menunggu saat yang baik. Kalau kita sekarang tergesa-gesa, apa yang dapat kita lakukan? Melapor kepada Kaisar? Tidak ada buktinya! Bahkan kita yang dapat ditangkap Kaisar dan dituduh melakukan fitnah besar-besaran.”
“Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Sudah jelas sekali kehendak thaikam itu walau pun tidak dia jelaskan. Tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Kaisar? Tentu saja dia hendak membunuh Kaisar lalu menggantikannya dengan calon lain, mungkin seorang di antara para pangeran yang sekarang sudah diperalatnya!”
“Kurasa demikian, akan tetapi kita harus berhati-hati. Kurasa tidak ada jalan lain kecuali menghubungi pejabat atau panglima di kota raja yang masih setia terhadap Kaisar. Kalau saja kita mengenal panglima yang masih setia dan yang menguasai pasukan...”

“Ahh, aku ingat, suheng. Ayah memiliki seorang sahabat baik, yaitu Panglima Lo. Menurut ayah, sekarang yang tidak pernah korupsi dan tetap setia kepada Kaisar tidaklah banyak, namun di antara mereka yang paling menonjol adalah Panglima Lo. Karena kesetiaannya dan kejujurannya itulah maka dia selalu tergeser sehingga tidak menduduki jabatan yang penting, tidak menguasai pasukan besar. Akan tetapi kukira dialah yang paling tepat untuk dipercaya akan mampu menolong Kaisar kalau memang benar thaikam gendut itu berniat tidak baik terhadap Kaisar.”
“Baik, sumoi. Kau dengar bahwa kita akan diutus oleh Gubernur untuk menghubungi para pejabat. Bagaimana jika kita mengusulkan agar kita mengunjungi para pejabat di kota raja untuk membujuk mereka supaya ikut dalam persekutuan busuk ini? Dengan demikian kita akan mendapat kesempatan untuk mencari Lo-ciangkun.”
“Bagaimana kalau dia tidak setuju dan tidak mengirim kita ke sana?”
“Dia setuju atau tidak, dan ke mana pun dia mengirim kita, dapat saja secara diam-diam kita pergi ke kota raja mencari Lo-ciangkun. Bagaimana pun juga kita sudah mengetahui rahasia persekutuan busuk itu.”
“Baik, suheng.”

Ternyata cocok sekali dengan yang mereka inginkan. Pada esok harinya Gubernur Coan mengutus mereka mengunjungi seorang pejabat tinggi di kota raja untuk menyampaikan suratnya yang memperkenalkan mereka dan minta supaya pejabat itu mendengarkan apa yang dipesankannya kepada mereka. Kemudian gubernur itu juga memesan agar San Ki dan Leng Si membujuk pejabat tinggi bagian keuangan itu agar suka bergabung ke dalam persekutuan mereka.

Maka San Ki dan Leng Si lalu berangkat ke kota raja dengan hati gembira. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati senang karena memperoleh kesempatan untuk bergaul lebih akrab…..

********************
Selanjutnya baca
PEDANG AWAN MERAH : JILID-08
LihatTutupKomentar