Si Bangau Merah Jilid 14


Selain mendapatkan hadiah emas permata yang sangat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.

Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenali tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.

Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini sangat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu bila ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.

Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di daerah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup luas dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih.

Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan semakin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biar pun daerah itu masih cukup tinggi, namun hawanya terasa panas sekali.

Mengerikan bila melihat ke sekeliling, sedemikian sunyinya. Jangankan manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu adalah merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan.

Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk. Oleh karena cahaya matahari menyengat kulit dengan sangat hebatnya, Sian Li mengajak suheng-nya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu untuk makan roti dan minum air bekal mereka.

Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tiang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.

“Lihat, ada tulisan di sini,” kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana mereka duduk.

Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka kemudian meneliti tulisan itu dan membacanya.

Andai kata aku seorang raja,
aku rela menukar kerajaanku
untuk segelas air jernih!

Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu ia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Alangkah berharganya segelas air jernih pada saat sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga dari pada sebuah kerajaan!

Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Alangkah nikmatnya, betapa pentingnya, alangkah berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya.

Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Maka berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.

Akan tetapi sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya, mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan.

Nafsu memang tidak mengenal puas, tidak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala sesuatu yang tidak ada, yang masih belum terjangkau oleh tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan dari pada apa saja yang sudah kita miliki.

Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah, sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar pada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak!

Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar sekuat tenaga, sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggota tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup.

Bukan demi menuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah!

Manusia hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walau pun Tuhan sudah menyediakan sinar mataharinya, tanahnya, airnya, benihnya, udaranya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benihnya, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk, dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan.

Sian Li tertawa. Dia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isyarat kepada suheng-nya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoi-nya tertawa, lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.

“Ehh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?”

Ia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoi-nya!

Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya. “Tulisan inilah yang membuat aku tertawa,” katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.

“Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku sangat mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”
“Bukan karena lucu, Suheng, tapi karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat seperti ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku masih jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?”
“Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andai kata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya.”

Sian Li mengangguk. “Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.”

Sian Lun mengangguk. “Manusia selalu dipermainkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau saja menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!”

Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, mendadak mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang.

Sian Li yang berada di depan menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun pun menahan kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan melewati mereka.

Rombongan itu terdiri dari tujuh orang lelaki yang berwajah bengis dan menyeramkan. Pada saat mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun cepat-cepat berkata kepada sumoi-nya, “Sumoi, mari kita kejar mereka!”

Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, dia pun terpaksa melakukan pengejaran.

“Suheng, tahan dulu...!” Serunya ketika ia dapat menyusul suheng-nya.

Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.

“Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?” tanyanya.
“Aihh, bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?”
“Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apa lagi kini kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, engkau harus ingat pula bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melainkan daerah Tibet.”

Mendengar ucapan sumoi-nya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, kemudian berkata, “Betapa pun juga, karena kita juga melakukan perjalanan yang searah dengan mereka tadi, tidak ada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya kita bisa mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?”

Gadis itu mengangguk. “Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan walau pun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apa lagi karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka.

Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun. Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng rumah dari lereng. Cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu.

Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian hendak melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu.
Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cangpo atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun Namce.

Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ. Selain ini, dusun Namce juga menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu.

Meski pun hanya berupa rumah-rumah sederhana, akan tetapi di dusun Namce terdapat beberapa rumah penginapan dan rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini telah membuat dusun itu menjadi makin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce.

Bahkan orang-orang yang datang dari Lhasa, ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Namce, maka banyak yang menggunakan perahu dari Lhasa ke Namce, kemudian dari dusun pelabuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra.

Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih. Tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tak begitu ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan.

Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian baru, Sian Li lalu mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu. Hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah pedagang.

Andai kata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walau pun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Namun, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos mau pun berkembang, maka tentu saja ia nampak amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang.

Sian Li mengajak suheng-nya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi. Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap. Kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah. Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk.

Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu.

Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan. Sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar.

Sian Lun duduk berhadapan dengan Sian Li sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu. Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoi-nya masuk ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, semuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biar pun sumoi-nya sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang.

Orang itu makan sambil menundukkan muka. Ia hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia dan sumoi-nya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi.

Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka!

Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung. Apa lagi dia tahu bahwa dia dan suheng-nya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka.

Ia memberi isyarat kepada suheng-nya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan lainnya sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Heiiii, kalian berdua, tunggu dulu!”

Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha telah berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.

“Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?” kata Badhu yang berperut gendut.

Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu bibirnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ tengah memandang ke arah mereka.

“Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami sedang kembali ke timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!”

Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.

Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia membentak, “Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!”

Sian Li tersenyum. “Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kau sangkal, bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula di Tibet ini?”

Badhu menjadi semakin marah. “Perempuan sombong! Kau lihat saja pembalasan kami atas semua penghinaanmu!”

Setelah berkata demikian, Badhu memberi isyarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!

Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan menimbulkan kekacauan saja dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu. Sian Li mencegah suheng-nya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran.

Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang terlihat kuat dan bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa meninggalkan kesan.

“Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!” Sian Lun menegur sumoi-nya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.
“Suheng, lupakah engkau bahwa sekarang kita bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini adalah tempat mereka dan jika terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih beruntung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak mereka.”

“Ahh, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Lagi pula sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita.”
“Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberi tahu bahwa kita tak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap kali menghadapi lawan. Kita harus memakai kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, sekarang kita tidur saja karena besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan.”

Walau pun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang tadi sudah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoi-nya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li sangat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk dan mereka pun memasuki kamar masing-masing.

Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam, keadaan bertambah sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang. Mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam, tentu tidak akan ada tamu datang lagi.....

********************
Lima bayangan hitam menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu.

Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.

Mereka sudah maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga orang tokoh Hek-I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang mempunyai ilmu tinggi. Ketiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu.

Mereka memang sudah membuat persiapan serta sudah mengatur rencana pembagian tugas. Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan sekarang mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka.

Badhu beserta seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!

Setelah memberi isyarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li. Dengan dibantu seorang pendeta jubah hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui celah di bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa.

Sementara itu, Sagha beserta dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencongkel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar lagi.

“Kamarnya kosong...!” kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main.

Jika kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.

“Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?” Mereka tertawa, walau pun suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbulkan kegaduhan.
“Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,” katanya lagi dengan girang.

Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.

Biar pun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila, sehingga biar tubuh mereka beristirahat, akan tetapi kewaspadaan mereka selalu menjaga keselamatan mereka.

Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biar pun tidak menimbulkan suara gaduh, cukup untuk dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika dia mengintai dari jendela kamarnya, dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang.

Ia memang sudah siap siaga, maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, dia sudah membuka jendela samping dan meloncat ke luar, terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng.

Hampir saja dia bertubrukan dengan suheng-nya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.

“Ada dua orang menghampiri kamarku, Suheng,” katanya lirih.
“Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku,” kata pula Sian Lun.

Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar!

Mendengar ini wajah Sian Li lantas menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoi-nya yang telah membuatnya tergila-gila semenjak sumoi-nya remaja!

Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suheng-nya sambil berseru, “Jahanam bermulut busuk!”

Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama di dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.

“Gawat! Lari...!” teriak Badhu yang memimpin gerakan itu.

Mereka pun telah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?” Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.
“Hati-hati, Suheng!” teriak Sian Li yang juga ikut mengejar.

Dia merasa khawatir karena dari apa yang dia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apa lagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya.

Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja, mereka telah dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.

Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran dari pada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka.

Meski demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu sangat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang terlatih.

Sian Li masih mampu mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini mengamuk dengan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau Merah!

Biar pun sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaian Sian Li adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajari dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru pada kakek dan neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau.

Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah jika dibandingkan sumoi-nya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main. Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apa lagi ada dua orang seperti itu, masih ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya.

Mendadak terjadilah keanehan! Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan?

Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah, “Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali bila dikejar. Mari kita kembali ke kamar!” katanya.
“Tetapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang ketakutan?”

Sian Li menggelengkan kepalanya, “Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita.”

Mereka kemudian kembali ke rumah penginapan dimana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.

“Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,” kata Sian Lun.
“Mereka menggunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan,” sambung Sian Li.

Sian Li lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun. Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap.

Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, lalu dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan lantas merasa lega. Para tamu pun berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar.....

Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, dan juga keharuan. Bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih.

“Benarkah dia? Ahhh, tidak mungkin. Kenapa dia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah dia Sian Li...? Tapi pakaian merah itu... ahhh, benarkah dia Tan Sian Li...?”

Dengan wajah penuh keraguan dia masih berdiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali.

Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya.....

********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah pergi meninggalkan rumah penginapan. Mereka menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang berasal dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah mereka mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu.

Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu Cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur.

Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia lebih kurang lima puluh tahun. Kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari.

Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah maupun pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini dari pada pemilik perahu lain, walau pun harus membayar lebih mahal.

Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh serta seimbang, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan bentuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing-tebing bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar.

Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali.

Apa lagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka laksana diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan. Romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah sumoi-nya yang tertimpa sinar bulan, lain dari pada biasanya.

Ketika mendadak suheng-nya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li merasakan suatu perubahan pada suheng-nya yang membuatnya menatap wajah suheng-nya. Diam-diam ia terkejut.

Suheng-nya memandang kepadanya dengan aneh! Sinar mata suheng-nya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya lantas berdebar aneh, karena sepasang mata itu tak pernah berkedip.

“Heiii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?” teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.
“Kenapa, Sumoi?” kata Sian Lun.

Suara itu pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.

“Suheng, mengapa engkau memandangku seperti itu?” tegurnya.

Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu sudah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya yang tebal.

Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu, Sian Lun masih belum tersadar dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang.

“Engkau... engkau begitu cantik jelita...“

Dalam keadaan biasa, pujian dari suheng-nya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli. Akan tetapi sekarang, sinar mata suheng-nya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu. Namun dia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang, gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk tertawa.

Sian Li membayangkan dirinya dan suheng-nya yang sudah berlatih bersama, bermain bersama sejak dia berusia dua belas tahun, ketika dia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suheng-nya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!

“Hi-hi-hik, heh-heh... kau lucu, suheng! Mengapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum.”

Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!

“Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!”

Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang telah jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum, tertawa, merengut atau menangis dan marah-marah, tetap saja cantik jelita!

Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum pun dianggap mengejek dan menyebalkan!

“Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul semenjak aku kecil. Kita biasa berlatih bersama, bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikanlah kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!” berkata Sian Li dan untuk menyadarkan suheng-nya, Sian Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncangnya agak keras.

Sian Lun baru menyadari ketidak wajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh, “Maaf, Sumoi. Ahhh, maafkan sikapku tadi... akan tetapi... aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu ketika disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu... ahhh, engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku... aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku. Aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu...”

Sepasang mata indah itu terbelalak. Pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, kemudian merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.

“Byuurrr...!”

Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tidak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau terkejut ketika tubuhnya didorong sumoi-nya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.

“Peganglah ini!” kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu.

Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru menyesali perbuatannya. Melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dan menolongnya naik.

Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat suheng-nya yang basah kuyup dan nampak bersedih.

“Maafkan aku, Sumoi,” kata Sian Lun lirih.

Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal. “Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh saja. Aku tak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suheng-ku, kuanggap seperti kakakku sendiri, dan aku... aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena marah.”

Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar pun didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka untuk menerima cintanya. Namun yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoi-nya tadi. Sumoi-nya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering.

Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi dia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini dia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tidak pernah terbayangkan memandang suheng-nya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau dia harus menjadi isteri suheng-nya!

Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang hebat. Dia terkejut dan cepat menengok.

“Heiiii...!” teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba meloncat dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah dia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat dia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun.

Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tak boleh disamakan dengan tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain sangat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sinkang, karena gerakan itu adalah salah satu jurus ilmu tendangan sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong!

Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tak sempat mengelak, hanya mampu menggerakkan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.

“Dukkk! Plakkk!”

Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali. Air muncrat lebih tinggi dari pada ketika Sian Lun tercebur tadi!

Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi. Mereka membawa golok dan sudah menerjang Sian Li dari belakang.

Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya meloncat dan dicabut pada saat tubuhnya berjungkir balik.

Sinar pedang itu meluncur deras dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi dengan kecepatan laksana kilat. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah yang melayang turun dengan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk!

Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.

“Trang-trang-trang...!”

Oleh karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbanting jatuh. Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih terbiasa di atas perahu yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju!

Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api berpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok milik para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.

“Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat...!” Sian Li marah sekali dan sambil berteriak memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat sehingga membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak.

Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah.

Dia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya. Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air!

Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai tenggelam. Maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya dia tertawan. Kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang!

Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampai tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi, ketika Sian Lun melihat betapa sumoi-nya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga marah.

“Lepaskan dia!” bentaknya.

Tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudah meninggalkan tiga orang pengepungnya, dan langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li! Pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun.

Pemuda ini nekat. Dia harus bisa menyelamatkan sumoi-nya. Gerakan pedangnya amat hebat karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang telah dipelajarinya dari subo-nya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga yang mengamuk, dan suara desing pedangnya bagaikan auman naga.

Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencaran. Kesempatan itu lalu digunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoi-nya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.

“Awas, Suheng...!” teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri!

Sian Lun membalik sambil memutar pedangnya, sedang Sian Li menerjang orang yang tadi merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, lantas dilanjutkan tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil pada saat orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali.

Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok yang menyerangnya sehingga sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis dengan putaran pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.

“Suheng, kau terluka?” teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suheng-nya.
“Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!” bentak Sian Lun yang sudah marah sekali, lalu dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat.

Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu Pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng!

Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong, yang sudah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Karena itu, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka segera merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang, kemudian melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.

“Jahanam, kalian hendak lari ke mana?” Sian Lun melompat dan langsung melakukan pengejaran.
“Suheng, jangan kejar!” Sian Li berseru, akan tetapi suheng-nya sudah berlari cepat dan tidak mau berhenti.
“Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!” kembali Sian Li berteriak.

Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati amat khawatir. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya berupa sinar suram muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suheng-nya. Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan dia tidak tahu harus mengejar ke mana.

Dengan hati-hati dia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka. Namun usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun dia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur.

Setelah cuaca tak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjutkan pencariannya. Dia merasa khawatir sekali.

Tiba-tiba ia mendengar teriakan suheng-nya. “Sumoi, pergilah jauh-jauh, jangan ke sini!”

Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li menjadi terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka seruan suheng-nya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suheng-nya tentu berada dalam keadaan bahaya, dan suheng-nya tidak menghendaki dia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia mendekat!

Akan tetapi, bagaimana mungkin dia membiarkan saja suheng-nya terancam bahaya? Bagaimana mungkin ia justru pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah dia tahu bahwa suheng-nya dalam bahaya? Tidak, dia bahkan harus menolong suheng-nya.

Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suheng-nya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suheng-nya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Sekarang ia harus menolong suheng-nya, meski pun ia akan menghadapi bahaya apa pun!

Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati akan tetapi cepat sekali, Sian Li mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi. Suheng-nya hanya mengeluarkan kalimat itu saja kemudian keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah, mengkhawatirkan suheng-nya.

Ia tidak berani memanggil, karena jika ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia ingin menolong suheng-nya, maka ia harus dapat mendekati tempat suheng-nya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan lebih dulu sebelum turun tangan.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suheng-nya sudah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suheng-nya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang sangat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!

Tidak nampak orang lain di sana! Jika menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suheng-nya dan membebaskannya dari ikatan tali itu. Akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak.

Mustahil kalau suheng-nya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa ada penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah-olah tak ada orang lain kecuali suheng-nya. Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan!

Ia lalu membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suheng-nya, tentu mereka akan menghujankan anak panah atau senjata rahasia. Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya.

Jika mereka ingin membunuhnya, kenapa suheng-nya yang telah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup. Jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suheng-nya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suheng-nya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu?

Sian Li mendapatkan perasaan yang aneh sekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang sedang dipancing dengan umpan! Suheng-nya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau.

Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus bisa menolong suheng-nya! Ia akan bertindak berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang diinjaknya!

Dengan pedang terhunus di tangan kanan, serta sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia kemudian melangkah keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati dia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum dia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah. Tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjaknya, matanya pun waspada meneliti keadaan sekelilingnya sehingga kalau ada ancaman datang dari sekitarnya, ia tidak akan mudah dibokong.

Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon. Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang!

Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter! Lubang itu ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah. Tepat seperti yang diduganya!

Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencongkel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia melompat keluar lagi.

Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suheng-nya tanpa ada rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah satu-satunya perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suheng-nya.

“Suheng...!” Ia mengguncang pundak suheng-nya.

Akan tetapi suheng-nya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dahulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suheng-nya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan mengurut pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang.

Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suheng-nya. Ia harus merangkul suheng-nya supaya tubuh itu tidak sampai terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suheng-nya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun!

Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat lagi menghindarkan diri dari serangan jala.

Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suheng-nya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja dia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga dia menganggap sudah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah. Dan ke tiga, terutama sekali karena dia sedang merangkul suheng-nya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.

Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suheng-nya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi.

Dengan mudah orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum dia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda. Mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.....

********************
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walau pun di kaki bukit tadi terdapat dusun yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao.

Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoi-nya sudah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoi-nya tidak akan mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekali pun, asal sumoi-nya selamat, dia ikut girang.

“Suheng...!”

Sian Lun menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka!

Melihat wajah suheng-nya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum! “Suheng, kita belum mati!” katanya dan ucapan ini membesarkan hati Sian Lun.

Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Jika mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri.

Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri.

Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek-I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!

Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, yang dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh dan dikunci dari luar.

Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.

Sian Li berpikir. Dia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggota Lama Jubah Hitam yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suheng-nya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama.

Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu sedang melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini didengarnya dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suheng-nya?

“Sumoi, apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari lamunannya.

Ia mengangkat muka memandang dan suheng-nya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suheng-nya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tak mungkin diputuskan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

“Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”
“Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”
“Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan.”
“Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan.”

Melihat pandang mata suheng-nya yang penuh kasih dan keharuan itu, Sian Li menarik napas panjang. “Sudahlah, tidak perlu kau sebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela.”

Mendadak Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan, lalu membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu melalui jeruji di pintu besi. Sian Lun menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai itu!

Ingin Sian Lun memaki, akan tetapi ia takut jika dianggap ceroboh lagi oleh sumoi-nya. Karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoi-nya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama yang bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena ia telah pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama ini amat lihai.

“Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!” kata Cu Ki Bok sambil tersenyum.

Kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya riang dan sangat ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.

“Hemmm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang orang gagah, mari kita bertanding sampai salah seorang di antara kita menggeletak menjadi mayat, bukan dengan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!” Sian Li memaki-maki.

Yang dimaki-maki tersenyum saja. “Jika saja Suhu tak memiliki rencana lain denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona, dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku.”

Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya. “Huh, tidak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu? Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa diri, lebih suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!”

“Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk asli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu. Aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan berani memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!” Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Sian Li saling pandang dengan suheng-nya. Ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran. Mereka sudah sering kali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu.

Bahkan Suma Ceng Liong juga mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya kenapa sampai sekarang, tidak pernah ada keturunan keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa!

Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah mereka? Benarkah pendapat pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.

“Sumoi, jangan dengarkan dia,” terdengar Sian Lun berkata. “Pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, lalu menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin sebutan patriot itu hanya sebagai kedok saja.”

Sian Li memejamkan matanya. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan mengenai Hek-I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan.

Mula-mula Lulung Lama adalah seorang pendeta Lama Jubah Merah yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi kemudian dia melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi tokoh. 

Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk kelompok sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam. Baru dari warna jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Lulung Lama segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya.

Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu kemudian bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!

“Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimana pun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek-I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, sungguh kita berada dalam bahaya.”

Tempat tahanan mereka tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggota Hek-I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur mereka mendapat makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.

Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat sekali. Sejauh ini ia dan suheng-nya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi ia mendapat kesempatan untuk mandi dan bertukar pakaian.

Ia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal oleh empat orang dengan todongan golok. Belenggu kedua tangannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi dan lain-lain.

Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai. Jika ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andai kata ia mampu melarikan diri, suheng-nya masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.

“Suheng, jangan membuat ulah,” pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.

Dan ia girang melihat suheng-nya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus mendapat kesempatan yang lebih baik lagi agar keduanya dapat meloloskan diri.

Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sinkang, ia mendengar percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.

“Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Mengapa mereka tidak dibunuh saja agar tidak merepotkan?” terdengar seorang di antara mereka bicara.
“Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?” kata yang lain.
“Hemmm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!” omel suara pertama.
“Aihh, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!” tegur suara ke tiga.
“Kita senasib dan sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan membuka mulut? Coba, siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?” kata orang pertama.
“Sudahlah, kalian tidak usah ribut-ribut,” berkata suara ke empat. “Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan amat baik oleh Thai-losu. Lagi pula, agaknya Thai-losu hendak menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.”

Mereka berempat kemudian berbisik-bisik sambil tertawa.

Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan dia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita!

Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek-I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suheng-nya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya?

Ia melirik ke arah suheng-nya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suheng-nya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!

Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suheng-nya dengan hati-hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suheng-nya coba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu. Dia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.

Mendadak keempat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang, “Siapa itu...?”

Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya mau pun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam.

Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun. Orang itu mengenakan caping lebar menutupi mukanya. Sian Li masih dapat mendengar orang itu berbisik lirih kepada Sian Lun.

“Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”

Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu dan menyorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu lalu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi,

“Cepat bebaskan sumoi-mu dan kalian lari dari sini!”

Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata sudah dibuka dan juga kamar tahanan Sian Li telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoi-nya. Dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu.

Dapat dibayangkan betapa gembira dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggota Hek-I Lama!

Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan itu. Sambil memegang pedang masing-masing mereka mencari-cari dengan mata mereka. Namun penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.....

Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan tetapi, mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung!

Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.

Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring.

“Tawanan lolos! Tawanan lolos!”
“Itu mereka di taman...!”
“Kepung...!”

Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang melakukan pengejaran yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang.

“Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”

Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok, kemudian meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum.

Penolong mereka yang bercaping itu, hanya seorang diri tanpa senjata, sudah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan lincah bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi tiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!

“Mari cepat, Sumoi!” kata suheng-nya.

Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suheng-nya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tidak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!

Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa sangat lelah dan mereka berhenti di luar sebuah dusun untuk melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya sedang meninggalkan dusun dan membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.

“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...” kata Sian Li terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.
“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula Sian Lun, masih tertegun.
“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”

Sian Lun menggeleng kepala. “Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apa lagi caping lebar itu telah menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita...”

“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan bagi kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak sempat melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”

“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo sering kali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar itu tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita sudah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”

“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang sangat berharga dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”

Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak dari saku bajunya. “Ini masih ada beberapa potong perak di dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenai pakaian... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti...”

Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.

Sambil membeli makanan sederhana di kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka sudah meninggalkan pantai Sungai Yalu Cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Perjalanan melalui darat ke timur sangat sukar karena harus melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa digunakan rombongan pedagang masih belasan li jauhnya dari situ.

Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu Cangpo. Mendengar ini, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, lalu mempergunakan perahu menuju ke timur.

“Aihh, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”
“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”

Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun lebih menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, “Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).”

Anak itu menyerahkan sebuah buntalan. Melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang sekali. Itu adalah buntalan pakaiannya yang telah dirampas oleh orang-orang Hek-I Lama!

“Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”

Anak itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan hanya menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi.”

Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, “Aku akan mencari dia!”

“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”

Sian Li dapat memaklumi kebenaran ucapan suheng-nya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin mereka mampu mengejarnya.

“Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”
“Tentu ada sebabnya dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau ia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya bila kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu, sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”

Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoi-nya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!

Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepian Sungai Yalu Cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.

Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak lagi mendapat gangguan, dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapatkan petunjuk baru bahwa dari pada naik perahu, lebih cepat jika mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai.

Mereka menuruti petunjuk ini. Memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Pada waktu mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suheng-nya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.

Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat, Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka biarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan bekal makanan dan air bersih. Sambil makan mereka berbincang membicarakan pengalaman mereka.

"Suheng, ingatkah Suheng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"
"Ya, kenapa?"
"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata lalu melarikan diri secara aneh, karena kita sama sekali tidak melukai mereka."
"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"
"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"
"Ehhh, benarkah? Siapa dia?"
"Tentu orang bercaping itu juga!"

Sian Lun menatap wajah sumoi-nya, lalu mengangguk-angguk. "Mungkin dugaanmu itu benar sekali, Sumoi, akan tetapi tak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."

Sian Li menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."

Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan. Menurut petunjuk di dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat pada belokan Sungai Yalu Cangpo yang menikung ke selatan. Dan dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.....

********************
Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepian Sungai Yalu Cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai.

Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapat dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Tiada hentinya hiruk pikuk suara orang yang memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.

Pada saat memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak adik seperguruan itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah para pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai.

Mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka langsung merasa bagai bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri!

Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Bila kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apa lagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apa pun.

Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu. Maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena tujuh orang pedagang itu membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.

Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan sering menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal aturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, malah hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apa lagi pada waktu mereka hendak mengambil semua gulungan sutera yang paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, kemudian mengatakan bahwa mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"

"Hemmm, memang sekarang keadaan mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran. Ada perampok, dan ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak. Katanya ada pula pasukan keamanan sendiri yang malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.
"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan kalian diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.

Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak mau menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggota rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku, muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hemm, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"

"Acun, ceritakan, bagaimana dengan sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan di kamar masing-masing Sian Lun dan Sian Li ikut mendengarkan penuh perhatian.
"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itulah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar, bahkan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini. Semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."

"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
"Mampus apanya? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap itu tak pernah melukai orang, apa lagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar dan mempunyai kesaktian seperti itu, pasti sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.
"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.
"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami yang dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."

Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya segera keluar dari dalam kamar, saling pandang, lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.

Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu.

Sian Li cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata, "Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan merasa tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."

Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh pedagang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia juga datang dari daerah Shantung seperti kami?"

Karena datang dari propinsi yang sama, walau pun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.

Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara yang demikian cantiknya, dengan bersemangat segera dia menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya yang berkelebatan secepat kilat dan ia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."

"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li, dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.
"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.
"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.
"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Taihiap itu!" berkata pula orang ke tiga.

Semenjak jaman dulu sampai sekarang, wanita memang mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua mau pun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apa lagi yang muda dan cantik jelita.

Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak!

Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun terlihat dibuat-buat dan tidak wajar.

Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, tentang Sin-ciang Taihiap, mereka memiliki pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tak pernah dapat dikenal wajahnya. Kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, ia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apa lagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah ia membunuh penjahat, bahkan melukai secara parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasehat.

"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun pula. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasehat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"

"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan, sekali pun dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakit yang membuatnya menjadi jahat setelah mereka itu bertemu dengan Sin-ciang Taihiap dan mendapat nasehat dari pendekar aneh itu."
"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li.

Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.

"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar mengenai kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Maka ketika melakukan perjalanan lewat di daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauwsu (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasanya ketika bertemu dengan gerombolan perampok, kami pun telah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran, dan meski jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Taihiap!"

"Dan dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya.
"Pendekar itu tidak bercaping, namun karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya yang panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."
"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasehat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu lagi, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan sudah tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasehat dari pendekar sakti itu?"

"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.
"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapa pun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Taihiap."

Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apa lagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Taihiap itu?"

Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar yang aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia.

Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Taihiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini mau pun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.

Setelah mendengar dari para pedagang itu semua cerita yang kadang seperti dongeng saja tentang Sin-ciang Taihiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan, Sian Li ingin mendengar dari mereka mengenai orang-orang yang pernah ditentangnya selama ini.

"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek-I Lama?"

Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.

"Kenapa, Paman?" Karena terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula.

Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suheng-nya segera membaca tulisan itu.

‘Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali.’

Demikian bunyi tulisan itu, membuat Sian Li saling pandang dengan suheng-nya.

Sian Li mendekati lelaki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu lalu berbisik, "Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"

Orang itu menggelengkan kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat yang paling besar di daerah ini pun tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."

Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur.

Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya dia mengenang pendekar yang amat mengagumkan hatinya itu. Kini dia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong, bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai. Karena itu mereka berpesan agar dia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-15
LihatTutupKomentar