Si Bangau Merah Jilid 02


Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja di dalam kamar mereka masih menyala karena mereka masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.

Mereka biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar pun andai kata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang dapat mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.

"Bagaimana pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"

"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"

Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apa pun itu."
"Tentu saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."

Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu.

Memang, jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.

"Ahhh, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh. Tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.

Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah kepada dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!

Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai kata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.

Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.

Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak menghendaki dia untuk tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!

Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan rambutnya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!

Tanpa terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Pada waktu mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.

Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.

"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subo-nya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.

Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.

"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.
“Baik, Subo,” kata Yo Han.

Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!

Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari belum terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal berada di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali adalah suasana di pagi hari.

Baginya pagi hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tak memberatkan hati mereka.

Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subo-nya, juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas dari pada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.

Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang sangat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya.

Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.

“Aku sayang suheng...,” katanya lucu.
Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”

Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya?

Dia mengerti bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis.

Adiknya ini akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!

“Ihhh, Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.
“Sian Li...” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru mengharukan sekali.

Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.

“Aku tidak menangis, sayang.”
Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.
“Hore… Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”

Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Anak sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.

Ia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.

“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.
Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul, Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian Li? Daun?
“Itu yang merah ekornya...”
“Hee? Merah ekornya? Apa...?”
“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”

Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.

“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat, aku tak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak bisa?”

Yo Han merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa mahluk lain, adikku sayang...”
“Uuuuh... Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru...”

Yo Han mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah. Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, tetapi warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor kupu biru!

Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia mau pun binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.

“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki dengan manja dan mulai menangis.

Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”

Mendengar ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.

“Kau tentu tidak mau bukan?”

Sian Li menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!

“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”

Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau pun tidak menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua permintaanku, ternyata semua permintaanku kau tolak...”

Pada saat itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.

Ia seorang wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia sudah berusia empat puluh tahun!

Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang terbuat dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.

“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu. “Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”

Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri wanita itu.

“Nah, ini burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.

Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya. Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh apa.

Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu bagai disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu, kemudian diberikan pula kepada Sian Li.

“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”

Sian Li girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.

“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.

Dia hendak menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang ke atas dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.

“Suheng, aku dapat terbang...!” teriaknya gembira.

Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya, engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”
“Aku suka! Aku senang...!”
“Sian Li, turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li...”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”

Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat cepatnya.

“Sian Li...! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”

Yo Han berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali, juga wanita yang melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.

Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.

“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu, Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata Yo Han dengan napas masih terengah-engah.

Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.

“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li dan menghilang begitu saja.”
“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya. Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru...”
“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak tahu ke arah mana dia lari...”
“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”

”Suhu dan Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.

Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo Han.

Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!

Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.

“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.

Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.

“Dia... dia tidak ada di rumah...!” katanya.

Sin Hong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”

“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?” Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”
“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan.

Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.

Setelah hari larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan suaminya hanya dapat menghiburnya.

“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”

Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira siapakah wanita berpakaian merah itu?”

Sin Hong menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw, bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka kepada anak kita.”

“Tak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk orang itu. Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh, jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu...“

Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, tetapi oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka pun sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan pertama itu.

“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”

Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai.

Tokoh jahat berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?

Tiba-tiba ia meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.
“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.
“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di luar kota Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai...”

“Betapa pun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang-I Mo-pang memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”

“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil...“
“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”
“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”

“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan semakin jauh...”
“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kunming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han tadi.”

Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur pulas.....

********************
“Tidak mau! Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.

Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”

“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah...“

Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering dan memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun tersenyum.

“Anak manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang...”

Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.

Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun!

Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.

Dugaan Kao Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I Mo-pang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.
Ketika Ang-I Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!

Demikianlah riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Ang-I Mo-pang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.

Dia pun gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.

Dan pada pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya, sekaligus juga muridnya.

Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Mendadak, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.

Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!

“Ahh, kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega.

Akan tetapi ia juga memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu? Hayo.....

Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhu-nya, dia tidak mempunyai tujuan. Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari.

Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.

Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.

Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan.

Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa jika Tuhan memang menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.

Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tiada aku yang waspada, tiada aku yang pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.

Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali kepada kodratnya.

Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia memasuki ruangan itu dan... ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!

Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai mana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”

Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.

“Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” kata-katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.

Ang-I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!

“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.

Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.

“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah berpikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”

Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejangi oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,

“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini mencari-carimu, ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan dirimu dan kalau sudah begitu, siapa yang berani menanggung keselematanmu?”

Ang-I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa pun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”

“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”

“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Ehhh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa geli.

Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi aku tidak berbohong. Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka.”

Ang-I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.

Yo Han merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.

“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”

Wanita berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang pundaknya telah dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.

“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”

Ang-I Moli yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak itu, getaran yang lembut akan tetapi mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.

Ia merasa heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!

Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat!

Walau pun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.

“Brrttt...!”

Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main!

Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!

“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan berjuluk Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

Ang-I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua di antara para pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!

Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.

Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”

Ang-I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”

Yo Han mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!

“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”

Biar pun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”

Ang-I Moli memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”

Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.

“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”

Ang-I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.

Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu bisa menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!

Tidak lama mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.

“Kita naik perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.

Tidak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.

Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.

“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli kepada Yo Han. Ia lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur.

Sian Li amat girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”

Ang-I Moli tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan dapat lolos dari tanganku!”
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han.

Dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang. Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa Sian Li pulang seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan sekarang dia telah memenuhi janji dan tanggung jawabnya.....

********************
Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang sedang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han sampai tiga hari!

“Yo Han...” Tiba-tiba Sin Hong berseru.

Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri-seri. Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.

“Sian Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.
“Ibu...! Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya merenggutnya dari pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!
“Ibu... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis.

Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.
“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira...!”

Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata, “Mari masuk dan kita bicara di dalam.”

Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.
“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.

Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.

“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”
“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.
“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”
“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi, tertidur.”

Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.

“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.

Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”

“Tetapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana engkau dapat menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.

Yo Han tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”
“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”

Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han berseru, ”Subo, jangan!”
“Hah?! Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”
“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”
“Ehhh...? Apa maksudmu?”
“Subo, bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”
“Aku tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” berkata Hong Li dengan marah.
“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”
“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.
“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah katakan jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.

“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”

Sin Hong memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya yang amat baik untukmu.”

Yo Han menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti yang telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak terlalu lama menunggu.”

Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.

Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.

“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.

“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin Hong.
“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.
“Terima kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.

Yo Han memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali. “Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.
“Suheng! Aku ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.
“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya.

Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat.

Melihat Yo Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum. “Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”

Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku ini.”

“Andai kata engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita berangkat!” kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.
“Tahan dulu...!”

Bentakan yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang-I Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinar matanya tajam menembus.

“Subo...!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.
“Diam kau!” Kao Hong Li membentak muridnya.

Matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih dengan bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.

Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak disangkanya subo dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.

“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.
“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah. “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba mencoba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!”

Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.

“Hemmm, bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada anak itu.”
“Subo, memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”

Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”

Kulit muka yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.

“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”
“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”

Hong Li langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.

“Wuuuuttt... plak! Plak!”

Tubuh Ang-I Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.

Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.

Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es!

Ang-I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sinkang, jelas dia kalah kuat.

“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia pun berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar lehermu!”

Kao Hong Li terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.

“Hentikan perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.

Begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.

Sementara itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut tetapi mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu pendekar inilah yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jeri.

Memang tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang berada di depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang-I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.

“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.
“Tunggu kau, iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.
“Subo, harap jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku...!”

Melihat ini, Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.

“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”

Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”

“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu.

Hong Li masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai meluncur menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.

Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.

Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.

“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”

Suaminya menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”

“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”
“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat.”

Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi oleh seorang tokoh sesat.

Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di dalam diri kita, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong.

Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Jika sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si-aku ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.

Si-aku ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.

Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.

Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.

Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal yang pada hakekatnya menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.

Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi menghadapi seperti apa adanya? Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.

Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-03
LihatTutupKomentar