Boma Gendenk - Bara Dendam Candi Kalasan
BOMA GENDENK
Karya: Bastian Tito
Episode 8
BARA DENDAM CANDI KALASAN
SATU
ITS = INDAH TANPA SENSOR
Di pinggir jalan Kolonel Sugiyono, di depan Wisma tempat para pelajar SMU Nusantara III menginap. Andi, Firman juga Rio masih berdiri memperhatikan minibus yang membawa Ronny, Vino, Sulastri, Wike, dan Laila meluncur menuju Kantor Polisi.
Firman, sambil menggosok-gosokkan dua telapak tangan berpaling ke timur jalan.
Mobil angkutan umum yang ditumpangi Boma tak kelihatan lagi.
Mobil angkutan umum yang ditumpangi Boma tak kelihatan lagi.
“Gila, sial apa kita-kita ini!” ucap si ceking Firman.
Dwita belum lama selamat, sekarang Ibu Renata diculik orang. Lalu anak gendeng itu pergi sendirian ke Candi Sewu.”
“Mustinya tadi kita ikut sama-sama boma. Kalau kejadian apa-apa sama si Bonek itu, urusan bisa tambah ruwet.” Andi menyambung kata-kata Firman.
“Yang aku heran,” Kata Rio pula. “Semua kejadian ini serba aneh,”
“Yang nyulik Ibu Renata, jangan-jangan kerjaan orang jahat yang sebelumnya nyekep Dwita di dalam stupa,” ucap Rio.
“Mungkin saja,” sahut Andi. “Gagal nyelakain Dwita, kini Ibu Renata yang jadi sasaran.”
“Dua-duanya orang yang seneng sama Boma,” menimpali Rio.
“Kalau Trini masih disini, jangan-jangan ‘tu anak yang bakal diculik,”kata Andi. “Soalnya Trini juga naksir berat sama Boma.”
“Jelas si penculik punya dendam jahat sama sohib kita itu, Andi kembali bicara.
“Kalau semua ini bukan Cuma kebetulan, berarti ucapan Bokapnya Dwita, juga ucapannya Pak Sanyoto ada benernya.“ Firman yang kini bicara.
“Maksud lu, Man?” tanya Rio.
“Anak gendeng itu ada kaitannya sama semua kejadian ini.” Jawab Firman.
“Maksud lu, Boma?” tanya Rio lagi.
“Siapa lagi,” sahut Firman. “Tapi ini dugaan gue doang.” Firman menambahkan.
“Biar cuma dugaan, kamu ngomongnya jangan kayak gitu Man. Boma Cuma ketiban apes, tau!” Andi membela Boma. “Sekarang ‘tu anak pergi sendirian. Nggak tau jalan, nggak punya duit. Baiknya kita nyusul.”
“Kita juga pada nggak tau jalan. Tungguin aja dulu teman-teman yang melapor ke Kantor Polisi.” Rio memberi saran.
Sebuah becak ditumpangi dua wanita kulit putih bergaun mini meluncur melewati ke tiga anak lelaki itu. Salah seorang dari perempuan bule ini duduk seenaknya.
“Ajie busyet ‘tu paha. Putih banget,” Ucap Andi, menatap dengan mata tak berkedip.
“Pake celana apa nggak ‘tu bule,” kata Rio.
“Hallo Miss.” Firman menegur sambil lambaikan tangan.
Salah seorang yang dihallo balas melambaikan tangan seraya berucap “Hallo jiuuga.”
Andi dan Rio tertawa geli. Firman masih memperhatikan ke arah becak yang melaju menjauh.
“Kamu masih ngeliatin aja Man. Kayaknya lu seneng banget ama bule yang dadanya gembrot. Udah lu gantiin aja tukang becaknya.”
Firman Cuma menyengir mendengar ucapan Rio itu.
Andi yang menyelutuk, “Anak ceking begini lu suruh ngenjot becak. Baru tiga meter jalan udah kendor dia!”
Andi yang menyelutuk, “Anak ceking begini lu suruh ngenjot becak. Baru tiga meter jalan udah kendor dia!”
Andi dan Rio tertawa cekikan. Si ceking Firman Cuma menyengir.
Sesaat ke tiga anak ini seolah lupa akan masalah yang tengah mereka hadapi.
Namun begitu becak berlalu di kejauhan Andi kembali keluarkan ucapan, “Sekarang kita-kita ini mau ngapain? Masuk ke kamar rasanya nggak plong. Berdiri di sini lama-lama bisa disamber kendaraan.”
Namun begitu becak berlalu di kejauhan Andi kembali keluarkan ucapan, “Sekarang kita-kita ini mau ngapain? Masuk ke kamar rasanya nggak plong. Berdiri di sini lama-lama bisa disamber kendaraan.”
“Kita duduk aja di teras sana. Nungguin Ronny sama yang lain-lain balik dari Kantor Polisi,” usul Rio lalu mendahului melangkah ke teras penginapan.
Sesaat setelah duduk diteras Andi berkata, “Terus terang aku nggak suka sama sikapnya Trini. Masa’ sih pulang begitu aja. Sekalipun dipaksa sama Bokapnya die musti setia kawan dong sama kita-kita. Pergi sama-sama, pulang juga sama-sama.”
Firman menepuk nyamuk yang hinggap dilengan kirinya.
“Gue ude ceking begini masih aja lu mau ngisep darah gue! Mampus lu!” Plaak! Nyamuk di lengan mati dalam tepukan Firman. Sambil membersihkan darah di tangannya Firman berkata. “Aku liat, waktu ngomong sama Boma sebelum pergi, matanya Trini berkaca-kaca.”
“Ala…” tukas Rio. “Kalau dia beneran suka sama Boma, mustinya dia nggak pergi begitu aja. Padahal Dwita saingannya nggak ada lagi. Dia ‘kan punya kesempatan besar. Gua rasa ‘tu cewek kurang menyimak situasi. Bener ‘kan teman-teman?”
“Menurut kamu gimana Di?” Rio bertanya pada Andi.
“Tauk! Emangnya gue pikirin” jawab Andi cuwek seenaknya.
“Kalau cewek gua model begitu, pasti gue PHK,” Rio tak peduli ceweknya Andi.
“Sok lu!” Kini Firman ceking yang menukas.
“Jangan salah paham sobat,” jawab Rio masih tak mau kalah. “PHK yang gua maksud bukannya Pemutusan Hubungan Kerja, tapi Pencet Habis Kutangnya.”
“Kalau pakai kutang, kalau nggak?” celetuk Firman.
“Berarti ITS” sahut Rio.
“Apaan tuh? Apa hubungannya onderdil cewek sama Institut Teknologi Surabaya?” Firman penasaran.
Rio tertawa geli. “Kuper lu! ITS yang gue maksud bukan Institut Teknologi Surabaya tapi Indah Tanpa Sensor.”
“Sialan lu!” maki Firman.
Rio senyum-senyum sambil mengucapkan berulang-ulang kata-kata.
“Pokoknya Sekwilda.. Pokoknya Sekwilda.”
“Nah, apaan lagi ‘tuh?” tanya Firman tambah penasaran.
“Sekitar Wilayah Dada,” jawab Rio lalu tertawa membahak.
Firman Cuma bisa nyengir.
“Lu berdua ngomongnya pada ngacok aja!” gerutu Andi.
Tidak Perduli gerutu temannya Rio lalu melantunkan nyanyian anak-anak yang sedang ngetop, tapi dengan kata-kata diplesetkan. “Diobok-obok anunya diobok-obok. Diobok-obok si anu jadi mabok.”
Tiga pelajar SMU Nusantara III itu kemudian sama-sama tertawa cekikan.
Sebuah taksi meluncur masuk ke halaman penginapan, berhenti di depan teras.
Pintu kiri belakang terbuka.
Pintu kiri belakang terbuka.
Dari ke tiga anak yang memperhatikan, Firman yang pertama kali memberi reaksi. “Eh, lu liat! Siapa yang turun.”
“Nah lu! Kok balik?” Rio heran.
“Gua kira ‘tu anak udah molor di Jakarta.” Celetuk Andi. “Liat, tampangnya pucet lu.”
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
DUA
TRINI MEMBELOT
TRINI menutup pintu taksi. Sambil menenteng sebuah kantong plastik dia melangkah ke arah tiga anak laki-laki itu. Muka pucat membayangkan keletihan.
“Rin, kok kamu balik? Sendirian?” tanya Firman.
“Jangan tanya dulu. Duit gue kurang. Tolong pinjemin aku seceng.”
Rio keluarkan sehelai ribuan lusuh dari saku celana blujinsnya.
“Tolong sekalian kasi-in sama sopir taksi,” kata Trini.
“Brengsek lu. Udah minjem, nyuruh lagi!” Rio mengomel tapi anak ini mau juga menyerahkan uang seribu perak itu pada sopir taksi yang menunggu.
Empat pelajar SMU Nusantara III itu kemudian duduk di teras Wisma.
“Aku balik, kalian heran ‘kan?” ucap Trini dengan senyum kecil menghias bibirnya yang kelihatan kering.
“Jelas heran dong.” Jawab Andi.
“Mau tau ‘kan?”
“Jelas mau tau..gimana ceritanya,” ucap Firman
“Tapi ogut lagi capek tau, mau ngelonjor dulu. Meremin mata sebentar. Rasanya gue mau pilek deh. Kalian silahkan makan dulu ini. Habisin aja.”
“Trini melemparkan kantong plastik yang dibawanya. Kantong ditangkap oleh Andi sambil bertanya. “Apaan nih?”
“Donat, aku beli di airport. Makan aja.” Jawab Trini.
“Makan gampang. Yang penting kamu cerita dulu. Kok kamu balik ke sini?” Ucap Andi.
“Pesawatnya dikansel ya? Lalu bokap kamu mana? Dwita mana? Juga bokapnya Dwita si diplomat combro itu.” Bertanya Rio.
Trini Damayanti tidak menjawab. Seperti dikatakannya tadi, kedua kakinya dilonjorkan di lantai teras. Punggung disandarkan ke kursi dan sepasang mata dipejamkan.
“Aneh, muncul-muncul kok kelakuannya jadi begini?” ucap Andi sambil memandang ke arah Rio dan Firman.
“Jangan-jangan kesambet setan airport,” kata Firman.
Andi membuka kantong plastik yang tadi dilemparkan Trini. Begitu melihat isinya langsung mengomel monyong dan membantingkan kantong itu ke ubin.
“Cewek brengsek! Lagian tisu wese! Bilangnya donat! Sialan, ane dibokisin!” (dibokisin=dibohongi).
Trini cekikikan. Perlahan-lahan anak perempuan ini buka matanya yang dipejamkan. Wajah diusap beberapa kali. Rambut dirapikan dengan jari-jari tangan. Dua kaki ditarik.
“Sorry teman-teman. Ogut capek. Bener-bener capek,” kata Trini pula.
“Rin, kamu belum nerangin. Kok kamu balik sih?” tanya Rio.
“Aku terpaksa membelot tau.”
“Keren amat istilah lu,” ucap Firman.
“Ceritain Rin, gimana kejadiannya.” Rio tidak sabar ingin tahu.
“Aku nggak mungkin pergi begitu aja. Ninggalin kalian semua disini.”
“Tapi waktu bokap lu ngajak berangkat ke airport kok nggak nolak?” tanya Firman.
“Waktu itu gua nggak bisa apa-apa. Ikut aja. Pasrah aja lagi. Tapi otak ogut jalan, tau. Nyari akal, tau” jawab Trini.
“Terus?” tanya Rio.
“Waktu di airport. Sebelum pesawat berangkat aku bilang sama bokap, mau ke toilet dulu. Tapi aku nggak ke toilet. Aku ngumpet di kios orang jual majalah. Aku liat bokapku mondar-mandir. Dia ke toilet, tanya sama petugas di sana. Tapi aku nggak ada di sana. Bingung dia. Aku liat dia nelpon pakai handphone. Mungkin nelpon ke Wisma ini, mungkin juga ke Kantor Polisi ngubungin temennya. Lalu aku dengar panggilan lewat pengeras suara. Supaya aku segera menemui bokap di pintu chenk in. Aku kasihan juga sih ngeliat bokap. Waktu ada pengumuman penumpang jurusan Jakarta dipersilahkan naik ke pesawat, aku liat bokap nemuin Satpam airport. Bokapku nulis sesuatu di sepotong kertas. Mungkin nulis namaku, atau nomor telpon. Lalu dia pergi. Kayaknya dia punya dugaan kira-kira aku kemana ‘gitu.”
“Kalau aku nggak salah pesawat berangkat jam dua. Kok kamu baru gini hari sampai disini.” Bertanya Rio.
“Aku nggak bego la yauw. Aku punya firasat bisa aja bokapku batal berangkat. Nyatanya bener. Aku liat dia masuk kantor penerbangan. Waktu pesawat udah berangkat dia masih mondar-mandir di airport. Pasti saat itu dia masih nyari-in aku. Pasti dia juga udah ngebatalin keberangkatan yang jam dua, ganti pesawat lain. Ogut bener-bener sport jantung. Kalau aku masih ngumpet di kiosnya tukang majalah, satu saat mungkin aja bokap nyelonong ke situ. Waktu dia masuk lagi ke toilet aku buru-buru keluar dari kios majalah. Cari taksi tapi nggak langsung kesini.”
“Kenapa?” tanya Andi.
“Gue ngeri kalo-kalo bokap datang nyatronin kemari.”
“Nggak, dia enggak muncul disini, ‘tuh,” menerangkan Firman.
“Lalu kamu kemana aja selama beberapa jam?” tanya Rio.
“Sampai magrib aku muter-muter dulu di Malioboro. Ngabisin waktu.”
“Beli donat, eh tissu wese!” sambung Andi yang tadi dipermainkan Trini.
Trini tertawa geli.
“Boleh juga kamu Rin,” kata Firman. “Bokap kamu ‘kan polisi. Letkol bagian Reserse lagi. Tapi kamu masih bisa ngelece-in dia. Lebih piter kamu dari Pak Polisi!”
“Tapi, dia pasti marah besar Rin,” kata Rio. “Begitu sampai dirumah, siap-siap aja terima dampratan.”
“So pasti, bo,” jawab Trini.
Seorang karyawan Wisma datang ke teras. Memberi tahu kalau tadi sore ada telpon dua kali dari jakarta, menanyakan Trini. Karena terlalu sibuk dia lupa dan baru bisa memberi tahu saat itu.
“Yang nelpon lelaki apa perempuan Mas?” tanya Andi.
“Dua-duanya perempuan. Yang pertama bilang ibunya Trini. Satunya saya lupa namanya. Tapi suaranya bukan suara orang tua.”
“Mungkin Dwita,” kata Firman. “Terima kasih, Mas.”
Rio menatap wajah Trini lalu berkata.
“Rin, bokapmu pasti marah besar. Buat ngeredam, juga agar orang tua kamu tidak pada bingung, bagusnya kamu nelpon aja ke rumah sekarang. Syukur-syukur sang bokap belom sampe. Ngomong sama nyokap kamu. Ceritain semua yang kejadian. Jujur aja. Kenapa kamu kabur. Minta maaf sama mereka. Bilang kamu masih di Jogya.”
“Gua rasa yang dibilang Rio bener juga. Di seberang sono ada Wartel.” Kata Andi sambil menunjuk ke arah jalan raya.
“Gue pikir memang musti begitu,” sahut Trini sambil memandang ke arah Wartel di seberang jalan. “Tapi barang cepeng aku udah nggak punya doku,”
Firman dan Andi berpaling pada Rio. Anak lelaki ini pencongkan mulut. “Gue lagi yang kena,” katanya sambil mengeruk kantong blujinsnya.
Ketika hendak turun dari teras Wisma, sesaat Trini hentikan langkah, bertanya. “Ngomong-ngomong yang lain pada kemana?”
“Allan sama Gita ke Malioboro. Tadinya aku sama Firman mau ikut. Tapi batal. Ceritanya mau barengan sama Boma. Allan sama Gita pergi duluan.” Menerangkan Andi.
“Lalu Bomanya kemana? Juga Ronny, Vino? Si Centil Lastri…?” tanya Trini lagi.
“Boma, ini yang jadi urusan,” kata Firman.
“Ronny, Vino sama Lastri, Wike dan Laila ke Kantor Polisi,” menyambung Rio.
“Boma? Memangnya kenapa Boma?” Tanya Trini.
“Lalu Ronny sama yang lain-lain, ngapain ke Kantor Polisi?”
“Ada kejadian besar Rin. Pokoknya bener-bener heboh!” jawab Andi
“Kejadian apa?”
“Ibu Renata diculik. Boma nguber si penculik. Sendirian. Temen-temen udah ngelarang. Tapi dia nekad naik angkutan umum. Ronny dan yang lain-lainnya ngelapor ke Kantor Polisi.”
“Apa? Ibu Renata diculik? Boma nekad?” Air muka Trini berubah. Sepasang matanya membesar. “Ini bercanda apa guyon?” tanya Trini tidak percaya.
“Nggak ada yang bercanda, nggak ada yang guyon.” Jawab Rio.
Lalu anak ini menerangkan apa yang terjadi.
Lalu anak ini menerangkan apa yang terjadi.
Untuk beberapa saat lamanya Trini terdiam mendengar cerita Rio.
“Kasihan amat Ibu Renata…” Ucap Trini perlahan. Bibirnya digigit. Matanya sesaat menatap ke arah jalan. Lalu mulutnya berucap bertanya. “Si Umar kemana?”
“Pergi dari siang,” jawab Rio.
“Jangan-jangan dia yang jadi biang kerok nyulik Ibu Renata.” Si Umar adalah nama plesetan Pak Sanyoto yang kepalanya mulai botak, Guru Olah Raga di SMU Nusantara III. (Umar= Untung masih ada rambut).
“Gila lu Rin! Pak Sanyoto memang sih naksir berat sama Ibu Renata. Tapi kalau sampai nyulik gua rasa otaknya udah di dengkul! Sinting kali!”
Firman menyambungi ucapan Rio. “Nggak mungkin Si Umar. Lastri nyaksi-in penculikan itu. Yang nyulik nggak kaya Si Umar.”
“Bisa aja para penculik suruhannya Si Umar. Dendam karena cintanya ditoIak.” Trini tetap mempertahankan dugaannya.
“Kita ke Wartel aja dulu. Mudah-mudahan temen-temen yang lapor ke PoIisi cepet balik.” kata Andi pula.
Di WarteI hanya Trini dan Rio yang masuk. Andi dan Firman menunggu di luar.
“Ada yang gua pikirin Man.” kata Andi.
“Jangan keliwat banyak mikir. Nanti ABS lu kayak Pak Sanyoto.” sahut Firman (ABS = Agak Botak Sedikit) Tapi dia ingin tahu juga apa yang dipikirkan temannya itu. “Memangnya kamu mikirin apa sih?”
“Omongannya si Trini,”
“Omongannya yang mana?”tanya Firman.
“Waktu dia bilang balik ke sini karena nggak mau ninggaIin kita-kita begitu aja. Dulunya ‘tu anak ‘kan nggak gitu deket sama kita-kita.”
“Bagus dong ada perubahan. Berarti sekarang dia memang sohib betulan.”
“Bisa jadi begitu. Tapi gua punya dugaan lain.” Kata Andi pula.
“Pasti dugaan kotor!” tuduh Firman.
“Enak aja lu. Dugaan gua begini. Si Trini balik bukan karena kita-kita. Tapi lantaran inget Boma. Dwita balik ke Jakarta. Kalau dia balik berarti nggak punva rival dia. Ada kesempatan berduaan terus sama Boma.” Andi diam, sejenak memperhatikan wajah Firman baru meneruskan. “Itu dugaan pertama. Dugaan kedua mungkin juga si Trini cemburu sama Ibu Renata. Bisa dong? Inget nggak gosip Boma macarin Ibu Renata di rumahnya waktu guru bahasa Inggris itu lagi sakit?” (Baca Episode “Muridku Machoku”)
Firman mengangguk.
“Kalau dia balik ke Jakarta berarti ngebiarian Boma digandeng Ibu Renata. Nah, apa nggak stres ‘tu anak mikirin Boma sama Ibu Renata.”
“Ajie gile,” ucap Firman. “Dugaan lu boleh juga. Tapi baiknya lu tanya-in langsung aja sama si Trini.”
“Nanti gua tanya-in. Pasti!” jawab Andi.
Ketika Trini dan Rio keluar dari wartel, andi mendekati Trini. Bukan untuk menanyakan bagaimana pembicaraan telpon dengan orang tua anak perempuan itu. Seperti yang dikatakannya tadi dia menanyakan alasan Trini kembali ke Wisma.
“Rin, aku mau tanya nih. Kamu jawab jujur-jujur aja ya.”
“Jangan tanya-tanya dulu deh. Aku barusan dimaki nyokap di telpon. Masih nyesek rasanya.” Jawab Trini Damayanti. “Untung bokap gue belum pulang. Kalau nggak bonyok gue dimaki kiri kanan.”
“Pertanyaan gue cuman gecel aja Rin. Aku sama Firman mau tau, kamu ini nggak pulang ke Jakarta bener lantaran solider sama kita-kita?”
“Habisnya gua mau solider sama siapa?” Balik bertanya Trini. “Apa enak ninggalin kamu-kamu. Pasti ada yang bilang gue enak-enakan pulang ke Jakarta. Nggak setia temen.”
“Kalau memang begitu bagus deh.” Kata si ceking Firman tapi sambil senyum-senyum tidak percaya.
Trini jadi sengit. “Emangnya ada apa sih?!” Trini lalu remas pinggang Andi hingga anak lelaki ini melintir kesakitan. “Ayo, bilang nggak?!”
“Gila! Sakit Rin. Lepasin!” teriak Andi.
“Nggak, gue mau tau dulu apa yang ada di otak lu!” Trini tidak melepaskan cekalannya di pinggang anak lelaki itu.
Tak tahan sakit Andi terpaksa menjawab. “Aku punya dugaan kamu kembali ke sini karena Boma. Kamu jelous, kamu cemburu sama Ibu Renata….”
“Edan! Ngapain gue cemburu segala.”
“Swear?” Firman menantang Trini bersumpah.
“Uh, yang begituan aja pakai sumpah segala. Enggak model la yauw. Kampungan!” Sekarang Firman yang dicubit Trini bagian perutnya. Hingga anak lelaki kurus kering ini menjerit kesakitan. Firman tarik ke atas baju kaosnya, memperhatikan perutnya yg barusan dicubit. “Gila lu Rin. Liat perut gue ampe bentol!”
Trini Cuma menyengir, menarik lengan Rio mengajak anak itu menyebrang jalan meninggalkan Andi dan Firman yang masih meringis kesakitan.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
TIGA
BOMA JADI SETAN
DI ATAS kendaraan umum Boma Tri Sumitro duduk geIisah. Dia coba menata jalan pikiran, mengingat apa yang telah terjadi dan apa yang sekarang dihadapinya. Trini pulang ke Jakarta. Dia tidak kecewa, cuma kesal. Seharusnya Trini tetap di Jogya bersama teman-teman. Tapi anak perempuan itu pasrah saja ikut kemauan ayahnya. Dwita juga begitu.
“Diplomat bego!” maki Boma dalam hati bila ingat bagaimana dia dimaki oleh Erlan Sujatmiko -ayah Dwita- di depan teman-teman, dituduh mencelakai Dwita. Lalu Ronny Celepuk juga dimaki malah hendak dipukul. Dwita sudah selamat dan kini pasti telah berada di rumahnya di Jakarta. Saat-saat diselamatkannya Dwita dari dalam stupa di Candi Borobudur merupakan satu peristiwa luar biasa aneh yang tidak bakal dilupakan Boma sampai kapanpun. Dan sebagian besar dari kejadian aneh itu hanya dia sendiri yang mampu menyaksikan sementara teman-temannya tidak melihat apa-apa. Semua itu telah berlalu. Kini ada kejadian yang tak kalah gawat dengan peristiwa disekapnya Dwita dalam stupa. Ibu Renata diculik!
Boma menowel hidung beberapa kali lalu mengusap dada dengan tangan kiri. Tangan ini kemudian diletakkan di atas bahu kanan, tak sengaja tepat di atas Batu Penyusup Batin, batu sakti yang disusupkan Sinto Gendeng (baca serial/episode sebelumnya berjudul “Muridku Machoku”) ke bahu kanan Boma dekat tulang belikat.
Dibawah redup lampu kecil yang menerangi bagian dalam kendaraan Boma perhatikan penumpang lain di sekitarnya. Di bangku di seberangnya duduk seorang lelaki berdampingan mesra dengan seorang perempuan muda, agaknya sepasang suami istri. Mungkin belum lama kawin. Di sebelah mereka terkantuk-kantuk duduk seorang kakek berkaca mata tebal, mengenakan blangkon batik yang sudah pudar. Tangan kanan si kakek merangkul bahu cucunya, seorang bocah lelaki berwajah lucu bermata belok.
Boma melirik ke kiri. Di situ duduk seorang mbakyu, bertubuh gemuk dengan wajah selalu keringatan. Di pangkuannya ada kotak kardus entah berisi apa. Di sebelah ujung, di samping si mbakyu ada seorang gadis remaja berjilbab. Boma berpaling ke depan. Di samping pengemudi duduk seorang penumpang memakai topi pet merah. Tubuhnya menebar bau wangi menusuk aneh. Boma rasa-rasa pernah mencium bau wangi ini sebelumnya.
Dari keterangan Sulastri yang menyaksikan penculikan atas diri Ibu Renata, salah satu dari dua penculik ciri-cirinya sama dengan orang bermantel yang menyekap Dwita di dalam stupa.
“Pangeran Matahari”, pasti Pangeran Matahari.” Batin Boma berucap. Tangan kirinya kembali mengusap bahu kanan. Tepat di bagian yang disusupi Batu Penyusup Batin. “Heran, apa salah Ibu Renata, kok diculik? Jangan-jangan, dia marah, dendam nggak bisa mencelakai Dwita, lalu Ibu Renata yang jadi sasaran. Tapi kenapa Ibu Renata? Bukan Sulastri, atau Gita atau cewek Iainnya? Atau aku?”
Pasangan suami istri muda yang duduk di depan Boma mendadak sama-sama merasa dingin tengkuk masing-masing. Tadi keduanya menyaksikan sosok Boma yang duduk di depan mereka terlihat jelas tapi tiba-tiba saja berubah menjadi memudar samar. Mereka seolah melihat bayangan hidup. Lalu sosok yang samar ini mendadak lenyap entah kemana! Siapa yang tidak kaget? Siapa yang tidak jadi takut?
“Mas...” Lidah sang istri seperti kelu ketika berucap. Dia pegang lengan Suaminya erat-erat. Tangan dan lengan sama-sama dingin.
“Mas, situ liat nggak?”
Yang ditanya rnengangguk kaku.
“Setan Mas. Barusan aku nyium bau wangi angker...!”
“Aku juga,” jawab sang suami.
Tidak menunggu Iebih Jama Ielaki ini berseru pada supir agar menghentikan kendaraan. Cepat-cepat dia menyodorkan ongkos tumpangan, lalu menarik lengan istrinya. Tergopoh-gopoh kedua orang itu turun dari kendaraan umum dengan muka pucat. Di tepi jalan, setelah kendaraan angkutan umum itu meluncur pergi sang istri berkata pada suaminya.
“Mas, situ inget nggak peristiwa beberapa bulan lalu? Seorang anak lelaki mati ditabrak bus. Di jalan raya sini. Jangan-jangan yang tadi itu setannya. Gentayangan....”
Sang suami tidak menyahuti ucapan istrinya. Dia hanya berdiri tegang sambil memegang lengan perempuan itu erat-erat. Mata memandang takut ke arah angkutan umum yang tadi ditumpangi.
Baru saja mini bus itu bergerak meneruskan, ganti sekarang kakek berkacamata tebal berseru memberi tahu mau turun juga. Wajahnya yang keriputan kelihatan pucat.
"Lho, Eyang kok medhun neng kene?" Bocah lelaki cucu orang tua itu bertanya heran ketika dia digendong dan dibawa turun dari kendaraan padahal masih belum sampai tujuan.
Si kakek tidak menjawab. Setelah memberikan ongkos tumpangan dia cepat-cepat menggendong cucunya ke tepi jalan.
Walau merasa heran tapi supir kendaraan umum diam saja. Ketika kendaraan mulai berjalan mbakyu gemuk keluarkan ucapan.
"Heran ada apa sama orang-orang tadi? Kok kayak kaget, takut?"
Sambil mengusap wajahnya yang keringatan dia berpaling ke kiri, pada gadis berjilbab.
"Aku juga heran mbakyu," jawab anak perempuan berjibab.
"Kayak ngeliat hantu saja."
Mbakyu gemuk goleng-goleng kepala. Menoleh ke kanan ke arah Boma. Hendak membuka mulut tapi langsung bungkam. Mata mendelik, menyusul kening mengerenyit. Anak lelaki yang tadi duduk di sebelah kanannya kini tidak kelihatan lagi, lenyap entah kemana. Jelas anak lelaki itu tadi tidak ikutan turun. Tidak percaya pada pandangan matanya perempuan gemuk ini gerakkan tangan kanan ke samping.
"Mosok sih, ada orang bisa ngilang?" pikirnya.
Dia membuat gerakan meraba.
"Heh! Ooallah!" Si Mbakyu tersentak kaget.
Gemetaran tangannya cepat ditarik. Barusan dia memegang bagian tubuh orang. Mungkin bagian paha. Tapi sosoknya tidak kelihatan!
"Maaaass! Mas supir! Stop Mas. Aku medhu neng kene ae!" (Aku turun di sini saja!)
Dari balik stagennya si mbakyu keluarkan selembar uang kertas pecahan lima ratus. Uang itu langsung dilemparkan ke arah pengemudi angkutan umum. Lalu tubuh gemuknya bergegas keluar dari dalam kendaraan sambil membawa kotak kardus.
Di tepi jalan perempuan gemuk ini melangkah terbirit-birit ke balik sebuah pohon besar. Kotak kardus dijatuhkan begitu saja. Isinya berceceran di tanah.
Ternyata kutang dan celana dalam perempuan. Tidak heran karena mbakyu ini adalah pedagang kredit yang mengkhususkan diri pada onderdil dalam kaum hawa!
Di balik pohon si mbakyu singsingkan ke atas kain panjangnya tinggi-tinggi. Lalu cepat-cepat jongkok sambil mulutnya termonyong-monyong berulang kali mengucap.
"Numpang-numpang aku nunut nguyoh. Numpang-numpang aku nunut nguyoh...." (Numpang-numpang aku mau kencing) Lalu seerrrr! Kencinglah si mbakyu dalam gelapnya malam.
Di atas kendaraan umum Boma perhatikan tangan kirinya yang saat itu masih berada di atas bahu. Selintas pikiran muncul dalam benaknya.
"Ajie gile! Jangan-jangan ini gara-gara Batu Penyusup Batin. Aku tak sengaja mengusap..."
Boma sadar lalu cepat usap Batu Penyusup Batin yang ada di bahu kanannya. Ini adalah usapan yang ke tiga. Seperti diketahui jika batu sakti di bahunya diusap satu kali, sosoknya akan terlihat samar. Diusap dua kali tubuhnya lenyap tak kelihatan. Kalau diusap sekali lagi maka tubuhnya akan terlihat kembali seperti semula.
Gadis berjilbab yang tadi memperhatikan mbakyu gemuk, alihkan pandangannya ke samping.
"Lho, 'tak kira tadi situ ikut-ikutan turun."
Dia memandang ke jalan, lalu kembali memperhatikan ke arah Boma. Ada rasa heran.
Boma tersenyum. Menowel hidung.
"Pasti tadi dia juga nggak ngeliat gua." Ucap anak lelaki ini dalam hati.
"Ada apa ya? Orang-orang tadi kok kaget-kagetan turun? Kayak ngeliat setan..." Boma keluarkan ucapan.
"Iyya, aku juga nggak ngerti," kata gadis berjilbab.
Matanya masih mengawasi Boma.
Boma tersenyum.
Selang beberapa menit gadis berjilbab turun. Sebelum berlalu, sesaat Dia masih berdiri di depan pintu kendaraan. Mata tak berkesip, memandangi Boma.
Boma menowel hidung, berharap kendaraan yang ditumpanginya segera jalan. Tapi sampai anak perempuan berjilbab pergi, kendaraan itu tidak juga bergerak. Boma menoleh ke arah pengemudi. Saat itulah si pengemudi berpaling ke arah Boma dan bertanya.
"Mas, sampeyan mau kemana? Mobilku mau balik ke kota."
Boma memandang ke arah penumpang yang duduk di samping supir. Kalau mobil memang mau balik ke Jogya, kenapa penumpang bertopi pet tidak turun?
"Kita dimana?" Boma bertanya. Anak ini mulai bingung. Dia memandang keluar kendaraan. Gelap dan sepi.
"Ini Jalan Raya Jogja-Solo. Dekat kawasan Prambanan. Mosok nggak 'tau? Situ tujuannya kemana?" Tanya supir.
"Saya bukan orang sini Mas. Saya dari Jakarta. Mau ke Candi Sewu," jawab Boma.
"Ya turun di sini. Nanti ganti kendaraan atau naik ojeg. Maaf Mas, tolong ongkosnya."
Boma tambah bingung. Dia mengeruk saku blujins sebelah kanan. Kosong. Lalu sebelah kiri. Juga kosong. Semakin bingung anak ini. Dirabanya dua kantong sebelah belakang. Hanya ada sehelai sapu tangan.
Melihat gelagat Boma, Supir angkutan umum jadi kesal.
"Punya duit apa nggak Mas?"
Boma semakin tambah bingung.
"Gila, masa 'sih aku nggak bawa duit barang cepeng," Boma memaki diri sendiri.
"Mas, duit saya ketinggalan di Wisma...."
"Sudah, nggak usah neko-neko. Kalau nggak punya duit turun saja!"
(neko-neko = macam-macam).
"Maaf Mas..."
"Maaf-maaf! Sudah turun sana cepetan!"
Tiba-tiba dalam kendaraan itu menyeruak tawa mengekeh.
"Anak muda dari Jakarta, malam-malam begini ada keperluan apa sampeyan ke Candi Sewu?"
Boma berpaling ke arah penumpang yang duduk di sebelah depan di samping supir. Dia yang barusan tertawa dan mengeluarkan ucapan. Orang ini menoleh ke arah Boma. Topi pet merah di atas kepala dibuka. Kelihatan rambut putih dikuncir ke atas. Boma Tri Sumitro mendelik. Dia Ingat bau harum yang menusuk itu. Dia pernah mencium sebelumnya. Dia juga ingat wajah tua itu. Orang aneh yang muncul di Wisma. Yang Memaksa minta Batu Penyusup Batin. Pak Broto! Di tempatnya duduk kembali orang tua itu mengumbar tawa mengekeh. Membuat bulu tengkuk Boma merinding.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
EMPAT
DIKEJAR SI MUKA BANGKAI
SAMBIL terus tertawa, orang tua itu kenakan topi petnya kembali. Lalu dia keluarkan selembar uang kertas. Uang ini dimasukkannya ke dalam kantong kemeja supir angkutan umum.
"Mas supir, sampeyan nggak usah jengkel. Biar aku yang bayar ongkos anak itu. Ini lima ribu perak. Cukup 'kan untuk berdua?"
Supir yang tadi sempat jengkel kini tertawa gembira. Lima ribu rupiah ongkos tumpangan tentu saja sangat besar dan berlebihan.
Orang tua itu membuka pintu mobil lalu turun. Dia melangkah ke samping mobil dan berdiri di hadapan pintu. Memandang menyeringai pada Boma lalu berkata.
"Ayo, turun. Ngapain kamu masih duduk di situ?"
Dalam bingung Boma akhirnya bergerak turun.
"Anak muda, kita bertemu Iagi Kau punya hutang padaku. Ingat?"
"Nanti saya ganti. Uang saya ketinggalan di Wisma," jawab Boma.
Orang tua di hadapan Boma tertawa mengekeh lalu batuk-batuk. Ada lelehan darah di sudut bibimya. Dia keluarkan sehelai sapu tangan lembab penuh noda cairan merah. Setelah menyeka lelehan darah di sudut bibir orang tua ini bertanya.
"Namamu Boma, benar?"
Boma mengangguk. Hatinya merasa tidak enak. Dia harus segera meninggalkan tempat itu walau tidak tahu mau pergi ke arah mana. Tapi seperti tahu gelagat, si orang tua ulurkan tangan kiri, memegang bahunya.
Boma kembali merasa tengkuknya merinding. Tangan yang memegang bahunya dingin sekali. Pegangan tangan si orang tua di bahunya membuat dia tidak kuasa menggerakkan tubuh ataupun menggeser kaki.
"Dengar, aku tidak minta uang ongkos tadi. Aku minta sesuatu yang lain..."
"Minta apa?" tanya Boma.
Dalam hati anak ini sudah bisa menduga apa yang diingini kakek aneh dan menakutkan di hadapannya.
"Bocah, kau telah berani menipuku. Sekarang ayo ikut aku."
Mula-mula Boma hanya menurut saja ketika tangannya ditarik. Setengah jalan dia bertanya.
"Pak Broto, kita mau kemana?"
Orang tua berbaju lecak yang tubuh serta pakaiannya menebar wangi menusuk itu menyeringai.
"Bagus, kau masih ingat namaku. Pak Broto! Ha... Ha... Ha! Kau tahu, itu cuma nama palsu. Namaku sebenarnya adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat!"
Boma hentikan langkah. Tapi ketika lengannya ditarik, kakinya terseret.
"Aku guru Pangeran Matahari. Aku murid Kunti Api. Tapi hari ini aku bersumpah tidak menyukai bangsat perempuan itu Iagi. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadapku"
Si orang tua batuk keras berulang kali. Lalu Dia keluarkan suara seperti muntah. Dari dalam mulutnya menghambur darah segar.
Boma jijik dan tambah ngeri.
Tiba-tiba orang tua itu hentikan langkah dan berbalik. Wajahnya yang pucat kelihatan tambah menyeramkan. Dua mata menatap menakutkan pada anak lelaki yang dicekalnya.
"Semua ini gara-gara kamu! Kalau tidak karena kamu aku tidak akan sengsara seperti ini! Aku tidak perlu meninggalkan alamku! Hanya untuk mendapatkan celaka sial dangkalan seperti ini! Kamu! Semua gara-gara kamu!"
"Pak Broto, memangnya saya berbuat apa sama Bapak? Saya salah apa?" tanya Boma.
Dalam hati anak ini berkata. "Barusan dia bilang kalau dia meninggalkan alamnya. Lalu makhluk apa orang tua ini sebenarnya? Manusia atau hantu?"
"Salahmu? Kau tanya apa salahmu?!" Pak Broto membentak.
"Dadaku ditendang! Mukaku diludahi!"
"Siapa yang menendang? Siapa yang meludahi?" tanya Boma.
"Bukan saya!"
"Tai kucing!" Pak Broto memaki, menyebut tai kucing segala. Rahang menggembung. Wajah seramnya menyeringai. Lalu orang ini tertawa mengekeh. Dia balikkan badan, tarik tangan kanan Boma. Di satu tempat sepi dimana terdapat banyak tebaran batu-batu besar berbentuk empat persegi orang tua ini dorongkan tangannya hingga Boma terjajar ke belakang dan jatuh terduduk di salah satu batu.
Di kejauhan sana Candi Prambanan menjulang tinggi, menghitam dalam kegelapan malam. Sayup-sayup terdengar suara raungan anjing. Boma mengusap tengkuknya yang terasa dingin lalu menowel hidung.
"Bocah jahil! Kau pandai berpura-pura. Kau tidak mengaku menipuku hah?!"
"Memangnya, memangnya saya menipu apa sama Pak Broto?"
Dari dalam saku celananya Pak Broto keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain berwarna kuning. Boma ingat kantong kuning itu adalah kantong yang disusupkan nenek sakti ke saku belakang celana blujinsnya. Nenek sakti bau pesing yang pertama kali ditemui dan menolongnya waktu malapetaka menimpa dirinya dan anak-anak SMU Nusantara III di Gunung Gede. (Baca episode/serial pertama Boma Gendenk Berjudul “Suka Suka Cinta”).
Pak Broto tarik tali pengikat kantong kuning isi kantong dikeluarkan dan diletakkan di telapak tangan kanan. Di atas telapak tangan itu kini ada sebuah benda. Hampir sebesar telur burung dara, memancarkan cahaya biru.
"Batu ini! Ingat waktu aku datang ke penginapan? Aku minta kau menyerahkan Batu Penyusup Batin! Kau menyerahkan batu ini! Ternyata ini Batu palsu Bukan batu Penyusup Batin! Kau menyembunyikan yang asli!"
Boma kaget. Terdiam sesaat. Lalu pura-pura senyum untuk menutupi keterkejutannya. Hampir dia ketelepasan bicara, hendak mengatakan bahwa kantong kain kuning berisi batu biru itu ada yang memasukkan ke dalam saku celana blujinsnya. Diwaktu bersamaan ada suara bisikan dari orang yang tidak kelihatan agar dia menyerahkan batu tersebut pada si orang tua bernama Pak Broto.
"Ayo bicara! Apa dalihmu!"
"Saya, saya mana tahu kalau batu itu palsu.... "
"Kau pandai berpura-pura! Masih bau kencur sudah berani menipuku! Coba kau rasakan dulu ini!"
Habis berkata begitu Pak Broto gerakkan tangan kirinya.
"Plaakk!"
Satu, tamparan mendarat di pipi kanan Boma. Begitu kerasnya tamparan itu hingga membuat Boma terpekik dan terpelanting dari atas batu yang didudukinya lalu terkapar di tanah. Kepala terasa seperti pecah. Pipi kanan berdenyut sakit bukan kepalang.
Dia merasa ada cairan hangat dan asin. Pasti ada luka di bibir atau bagian dalam mulutnya. Ketika anak ini hendak mencoba bangkit, Pak Broto letakkan kaki kanannya di atas dada Boma.
"Sekali aku menggerakkan kaki, tulang dadamu pasti jebol! Jantungmu pecah! Kau bakalan mampus! Kau hanya bisa selamat kalau mau menyerahkan Batu Penyusup Batin padaku!".
Terus-terusan dalam ketakutan, ketika dilanda kesakitan Boma jadi nekad. Dia ingat pada kekuatan tersembunyi yang ada di tangan kirinya. Dia bisa pergunakan tangan itu untuk menghantam mematahkan kaki kanan Pak Broto. Namun di saat yang sama suara hatinya berkata.
"Sabar Boma, sabar. Jangan hadapi kekerasan dengan kekerasan. Kau bisa celaka. Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa. Bukan manusia bukan juga setan. Makhluk jahat ini bisa membunuhmu! Pergunakan akal. Pakai siasat!"
"Saya tidak tahu, saya tidak memiliki batu itu." Teriak Boma.
Wajahnya mengerenyit sakit. Kaki kanan Pak Broto yang ada di atas dadanya seperti himpitan batu besar yang beratnya puluhan kilo. Dia sulit bernafas. Tulang dadanya serasa remuk, tulang-tulang iga seperti mau patah.
"Jangan berani menipu! Jangan mengira aku tidak tahu apa yang terjadi di atas kendaraan umum tadi. Tubuhmu lenyap! Kau bisa menghilang! Berarti batu sakti itu ada padamu! Ayo lekas serahkan padaku! Atau amblas dadamu!"
"Aduh! Tunggu!" Jerit Boma.
"Ayo! Apa yang mau kau katakan?!"
"Angkat dulu kakinya Pak. Saya tidak bisa bernafas.. Nggak bis... Bisa bicara."
Pak Broto tidak mengangkat kakinya dari atas dada Boma. Tapi kini anak lelaki itu merasa tekanan berat pada dadanya mendadak lenyap.
"Sekarang kau bisa bicara! Ayo katakan dimana batu sakti itu!"
Boma megap-megap. Dia menekankan kedua sikunya ke tanah. Berusaha berdiri.
"Aku tahu batu itu dalam salah satu bagian tubuhmu! Mungkin dalam batok kepalamu! Kalau begitu biar aku hancurkan saja kepalamu!"
Pak Broto membungkuk. Tangan kanan dikepalkan lalu dihantamkan ke kepala Boma.
"Ampun! Jangan!" Boma tutupi kepalanya dengan kedua tangan.
"Bukk!"
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
LIMA
TIPUAN BOMA TAK BERHASIL
TANAH di samping kiri kepala Boma terbongkar. Satu lobang besar terlihat di tempat itu. Boma turunkan ke dua tangannya. Menoleh ke samping dan gemetar lemas sekujur tubuhnya melihat lobang di samping kepala. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kalau tadi orang tua itu benar-benar memukul kepalanya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Boma.
Pak Broto alias si Muka Bangkai tertawa mengekeh.
"Bocah, kau rupanya takut mati juga! Ayo lekas bicara! Aku sudah tidak sabaran"
"Biar saya berdiri dulu. Saya akan bicara. Saya akan beri tahu."
Pak Broto cekal leher baju kaos Boma. Sekali disentakkan anak lelaki itu telah berdiri di hadapannya.
"Kau sudah berdiri! Ayo mana batu itu!"
"Kita kembali ke Wisma. Batu itu saya tinggalkan di sana. Di dalam tas"
Pak Broto menyeringai dan geleng-gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata.
"Saat ini aku bisa saja membunuh bocah menyebalkan ini. Secepat aku membalikkan telapak tangan. Tapi aku ingin membiarkan dia hidup. Persetan dengan tugas Kunti Api keparat itu. Persetan bahwa anak ini bakal menjadi Pendekar tahun dua ribu! Yang akan menyusahkan orang-orang rimba persilatan golongan hitam! Aku bisa balas dendam pada Kunti Api melalui anak ini!"
"Jangan menipu! Jangan membuat aku benar-benar hilang sabar!"
Sekali tangan kirinya bergerak. Jari-jari Pak Broto sudah mencengkram mencekik leher Boma hingga lidah anak ini terjulur dan mata mendelik, nafas megap-megap, tenggorokan turun naik.
"Kau mau mati sekarang atau mau bicara?!"
Boma angguk-anggukkan kepala.
"Heh! Sampeyan mau mati betulan?!" bentak Si Muka Bangkai melihat anggukan Boma.
"Ti... Tidak..." Boma cepat geleng-gelengkan kepala.
"Bat... Batu sakti itu saya simpan di sini..." ucap Boma seraya menunjuk dengan tangan kiri ke arah bawah perutnya.
Kening Pak Broto mengerenyit. Sepasang matanya bergerak berputar lalu mengarah ke bagian bawah perut Boma.
"Bocah, aku merasa kau mau menipuku kembali."
"Tidak Pak, saya tidak bohong... " kata Boma.
Pak Broto melirik lagi ke bagian bawah perut anak lelaki itu. Lalu anggukkan kepala.
"Itu memang tempat yang paling aman," kata Pak Broto sambil menyeringai.
"Kalau begitu buka celanamu. Ambil batu itu. Serahkan padaku. Tapi awas! Kalau kau dusta, biji kemaluanmu yang akan aku ambil sebagai gantinya!"
Pak Broto lepaskan cekikan di leher Boma.
Boma menelan ludah dan usap lehernya. Lalu tangannya bergerak membuka ikat pinggang celana blujins. Ketika dia hendak membuka kancing besi celana itu dia memandang pada Pak Broto.
"Ada apa? Ayo terus buka celanamu!"
"Malu Pak" jawab Boma sambil senyum-senyum.
"Batunya saya sembunyikan di samping anu... Dalam celana..."
"Malu, malu! Tai kucing! Memangnya aku perempuan?! Kita sama laki-laki. Apa yang kau malukan? Anumu jelek? Burik barangkali?!"
Boma menggigit bibir, menyengir menahan tawa.
"Tolong Pak. Berbalik dulu. Kalau batunya sudah saya pegang dan siap saya serahkan, akan saya beritahu. Baru nanti Pak Broto berbalik"
"Rasa-rasanya kau mau menipuku!" Pak Broto tidak percaya
"Kau saja yang berbalik."
"Itu pantangannya Pak. Saya nggak boleh berbalik" jawab Boma.
"Jangan macam-macam!"
"Nggak Pak, saya nggak nipu. Saya cuma malu aja" jawab Boma dengan wajah serius.
"Tipu, anak ini mau menipuku. Tapi biar saja. Aku mau lihat" membatin Si Muka Bangkai. Lalu dia berkata.
"Baik, tapi ingat! Awas!" Pak Broto mengancam. Lalu memutar tubuh membelakangi Boma.
Boma membuat gerakan seperti hendak segera membuka kancing besi celana blujins. Lalu melorotkan resleting. Tapi begitu Pak Broto membalikkan badan secepat kilat dia mengusap Batu Penyusup Batin yang ada di bahunya. Detik itu juga tubuhnya lenyap. Dalam keadaan tubuh tidak terlihat Boma lari sekencang yang bisa dilakukannya ke arah jalan raya.
Pak Broto menunggu.
"Sudah?" tanyanya.
Tak ada jawaban hatinya sudah Syak wasangka. Dia menoleh ke belakang.
"Kurang ajar!"
Makian keluar dari mulut guru Pangeran Matahari ini. Sepasang matanya berputar liar. Boma tak ada lagi di tempat itu.
"Bocah tolol! Tai kucing! Kau kira bisa lari jauh!"
Walau ujud atau sosok Boma tidak kelihatan akibat kesaktian Batu Penyusup Batin, lalu ditambah pula dengan gelapnya malam, namun Si Muka Bangkai punya kemampuan sendiri untuk mendeteksi kemana dan dimana beradanya anak itu.
Dari suara beradunya telapak kaki dengan tanah, dari suara tarikan nafas ketika Boma berlari serta ranting-ranting yang bergerak tersenggol tubuh Boma, Si Muka Bangkai tahu ke arah mana anak lelaki itu melarikan diri.
Dia berhasil mencekal pinggang celana Boma sebelah belakang sebelum anak ini mencapai jalan raya.
"Anak gendeng! Kau hanya punya satu pilihan! Perlihatkan dirimu kembali atau kubunuh kau saat ini juga!"
Boma memang tak punya pilihan lain dan tentu saja tetap ingin hidup. Dengan tubuh keluarkan keringat dingin dan tangan gemetar dia usap Batu Penyusup Batin di bahu kanan. Detik itu juga ujud tubuhnya kembali terlihat nyata.
"Pak Broto..." kata Boma dengan nafas panjang pendek.
"Kalau kau bunuh diri saya, sampai bongkok kau tak bakal mendapatkan batu sakti itu."
"Persetan, aku memang sudah bongkok! Aku tidak perduli nyawamu. Kau terus-terusan mempermainkan diriku!"
"Ampun Pak. Saya nggak mau bohong lagi. Kapok! Tapi gimana kalau kita buat perjanjian."
Pak Broto meludah ke tanah. Ludahnya masih merah bercampur darah.
"Kita buat perjanjian Pak. Waktu di Wisma Pak Broto bilang orang yang diculik dibawa ke Candi Sewu. Antarkan saya ke candi itu. Tolong saya mencari lbu Renata. Kalau guru saya itu bisa diselamatkan jangankan batu, nyawa juga saya serahkan pada Pak Broto!"
Si Muka Bangkai keluarkan suara bersiul lalu tertawa mengekeh.
"Lagakmu! Memangnya kau punya nyawa berapa? Ha... Ha... Ha! Mungkin saja kau mau menipuku lagi. Tapi aku lihat satu hal baik dalam dirimu. Kau ingin menyelamatkan seseorang. Aku tak perlu bertanya. Gurumu itu pasti cantik wajahnya. Ha... Ha... Ha...!"
Sambil terus rnengumbar tawa diam-diam si muka bangkai selusuri bagian depan tubuh Boma dengan pandangan matanya.
Orang tua ini kemudian melangkah ke belakang. Kini dia memperhatikan bagian belakang tubuh anak lelaki itu.
Walau yakin batu sakti yang dicarinya ada di tubuh Boma, namun dia tidak punya kemampuan untuk tembus pandang, untuk mengetahui di bagian tubuh mana batu tersebut berada.
Tiba-tiba Si Muka Bangkai bungkukkan tubuhnya. Di lain kejap Boma sudah berada di panggulan bahu kanan orang tua itu lalu secepat tiupan angin dia dibawa lari ke arah utara.
***
SUPIR angkutan umum yang tadi ditumpangi Boma memutar kendaraannya di jalan raya, kembali ke arah Jogjakarta. Malam itu entah mengapa tubuhnya terasa capai.
Dia memutuskan kembali pulang saja. Apa lagi barusan ada penumpang yang begitu berbaik hati, membayar ongkos lima ribu rupiah.
Mendekati Hotel Ambarukmo dia meraba kantong kiri baju lalu mengambil uang yang tadi dimasukkan orang tua bertopi pet.
Ketika tangan dikeluarkan dari kantong dan dia memperhatikan, mata supir ini jadi melotot besar, kaki kanannya langsung menginjak rem. Tidak percaya dia. Mobil berhenti mendadak.
Di sebelah belakang seorang pengemudi sedan tersentak kaget. Untung dia masih cekatan dan cepat menginjak rem hingga mobilnya berhenti dengan empat ban mengeluarkan suara berdenyit. Dua garis hitam bekas gesekan ban terlihat nyata di aspal. Pengemudi sedan turunkan kaca jendela lalu berteriak memaki habis-habisan.
Supir angkutan umum itu seperti tidak mendengar suara denyitan rem mobil di belakangnya. Juga dia seolah tidak mendengar suara orang yang memaki.
Dibelakang kemudi wajahnya tampak memucat. Mata mendelik tak berkedip memperhatikan benda di tangan kiri. Yang dipegangnya bukan lembaran uang kertas, tapi sehelai daun! Tengkuknya langsung dingin.
"Setan.... Orang tua itu pasti setan" Sang supir berucap gemetar.
Dia ingat tampang orang tua itu. Pucat seperti tidak berdarah. Terngiang kembali tawa mengekehnya. Juga seolah tercium kembali di dalam mobil itu bau minyak wanginya yang aneh menusuk.
Supir ini baru tersentak sadar ketika di belakangnya pengemudi sedan membunyikan klakson panjang-panjang dan menyalakan lampu dim berulang kali.
Cepat-cepat supir angkutan umum ini menekan pedal gas. Mini bus itu meluncur kencang seperti dikejar setan.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
ENAM
MENGANTAR NYAWA KE CANDI SEWU
MALAM membentang gelap. Rembulan di langit tak mampu menerangi bumi karena tertutup awan tebal. Sesekali angin bertiup kencang. Udara terasa dingin. Mungkin tak selang berapa lama akan turun hujan.
Dipanggul dan dibawa lari luar biasa cepatnya membuat Boma merasa ngeri. Pohon-pohon yang dilewati seolah hendak menghantam dirinya. Kalau sudah begitu anak ini pejamkan mata dan tekap kepala.
Selain itu, sengitnya aroma minyak wangi yang menempel di tubuh dan pakaian Pak Broto membuat rongga hidung Boma laksana tersekat, susah bernafas dan ada rasa mau muntah.
"Pak Broto. Bapak mau bawa saya kemana?" Boma bertanya.
"Anak geblek! Tolol amat pertanyaanmu! Kau yang membuat perjanjian! Kau yang minta diantar ke Candi Sewu!"
Boma diam saja. Hatinya merasa was-was. Lari Pak Broto semakin cepat. Sambaran angin membuat telinga Boma mengiang dingin. Anak ini kembali pejamkan mata.
Ketika dia merasa si orang tua memperlambat lari, perlahan-lahan Boma buka kedua matanya. Pandangannya langsung tertumbuk pada satu tembok batu.
Di belakang tembok ini terdapat puluhan candi kecil yang sebagian besar dalam keadaan rusak. Di belakang deretan candi kecil ada satu candi besar. Seluruh bangunan candi menghitam angker dalam kegelapan.
"Kita sudah sampai," ucap Pak Broto lalu hentikan lari dan turunkan Boma dari panggulan bahu kanan.
Untuk beberapa lama Boma berdiri agak sempoyongan. Kepalanya terasa pusing. Dia bingung melihat tembok yang runtuh, puluhan candi rusak serta beberapa candi besar dan tinggi di bagian tengah yang juga tidak dalam keadaan utuh.
"Yang mana Candi Sewu?" tanya Boma bingung.
Siapa yang tidak bingung. Candi Sewu terdiri dari sebuah candi induk dikelilingi puluhan Candi kecil, ada yang masih utuh, banyak yang sudah rusak. Candi-candi kecil itu disebut candi perwara.
Hamparan candi dikelilingi tembok batu. Ada tiga jalan masuk ke dalam kawasan candi tersebut. Sebelah barat, utara dan timur. Pada setiap pintu masuk terdapat dua patung raksasa bersenjata gada.
"Ikuti aku!" Pak Broto berkata sambil tangannya memberi isyarat.
Dengan gerakan cepat orang tua ini memasuki kawasan candi melalui pintu sebelah timur. Beberapa belas langkah menjelang candi induk Pak Broto berhenti. Kepala mendongak ke langit gelap. Sepasang telinga dipentang sedang mata dipejamkan.
"Anak geblek. Kau mendengar sesuatu?" Tiba-tiba Pak Broto bertanya. Suaranya perlahan, hampir berbisik.
Boma jadi kecut. Sambil mengusap hidung dia memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali puluhan bangunan candi dan stupa. Semua menghitam dalam gelapnya malam.
"Saya nggak mendengar apa-apa. Saya tidak melihat apa-apa." jawab Boma.
Pak Broto menyeringai.
"Aku mendengar suara tarikan nafas...."
"Mungkin itu suara tarikan nafas Ibu Renata," bisik Boma.
Pak Broto menggeleng. Kepalanya yang mendongak diturunkan. Mata yang tadi terpejam kini dibuka dan memandang tajam ke arah candi induk.
"Bukan tarikan nafas perempuan...." ucap Pak Broto.
"Ada dua orang mendekam di tempat ini. Keduanya laki-laki. Sulit aku menduga di sebelah mana mereka berada."
Sesaat Pak Broto alias Si Muka Bangkai merenung. Hatinya membatin.
"Aku kini baru bisa menduga, semua ini cuma siasat tipu daya..."
"Siasat? Tipu daya?" Boma tidak mengerti.
Dan Pak Broto tidak menjawab. Orang tua ini kembali membuka mulut, seolah bicara pada diri sendiri.
"Jangan-jangan memang mereka. Mendekam, menunggu di tempat ini. Tololnya diriku! Mengapa aku tidak bisa menduga jauh-jauh sebelumnya. Kasip... Kasip! Aku harus berlaku waspada. Siapa yang mereka incar? Aku atau anak itu? Hemmmm..."
Si orang tua berpaling, menatap wajah anak Ielaki di hadapannya.
"Boma, mereka mau menghabisimu. Mereka tidak ingin kau jadi calon Pendekar Tahun Dua Ribu."
"Saya nggak ngerti Pak. Siapa mau membunuh saya? Saya calon Pendekar Tahun Dua Ribu...?"
Ucapan Pak Broto membuat Boma jadi merinding. Tambah kecut anak ini. Dan Pak Broto tidak mau menjawab pertanyaannya tadi.
"Dengar," Pak Broto letakkan tangan kanannya di bahu Boma.
Dinginnya tangan orang tua aneh ini membuat Boma hampir tersentak.
"Sesuai perjanjian aku hanya mengantarmu ke Candi Sewu ini. Selanjutnya jika kau ingin mencari dan menyelamatkan gurumu, silahkan lakukan sendiri!"
Boma menowel hidung berulang kali. Di Iapangan luas dengan candi yang puluhan banyaknya ini, di malam gelap kemana dia akan mencari Ibu Renata. Rasa takut, bingung serta cemas bercampur jadi satu.
Boma memandang pada Pak Broto. Si orang tua yang maklum arti pandangan anak itu menyeringai lalu berkata.
"Kamu takut?" tanya Pak Broto lalu menyeringai.
"Takut sih memang ada," jawab Boma polos.
"Tapi gimanapun Ibu Renata harus saya temukan? Musti saya selamatkan?".
"Bocah nekad..."
Boma tersenyum dan menowel hidung.
"Lho, sampeyan kok masih bisa-bisanya senyum."
"Saya ingat ucapan teman-teman. Seperti yang Pak Broto barusan bilang. Katanya saya ini Bonek alias Bocah Nekad."
Pak Broto hampir semburkan tawa mengekeh tapi sadar dan cepat tutup mulutnya. Lalu berkata.
"Boma, perjanjian kita, aku hanya mengantar. Tidak lebih dari itu. Seharusnya saat ini aku sudah boleh menagih batu sakti itu. Tapi aku beri kesempatan sampai kau berhasil menemui Ibu Gurumu dan menolongnya."
Boma menowel hidung dua kali. Mendadak dia dapat akal. Mulutnya dibuka lebar-lebar, siap berteriak memanggil Ibu Renata.
Tapi Pak Broto bertindak cepat, menekap mulut Boma hingga suara teriakan tak sampai membersit keluar.
"Jangan berlaku tolol! Jangan berteriak! Pergi sendiri! Cari sendiri! Kelilingi kawasan ini. Masuki semua candi, periksa satu persatu. Kalau kau temukan gurumu lekas kembali ke sini!"
"Pak, kalau itu yang saya lakukan, sampai pagi tidak bakalan selesai. Ada puluhan candi di tempat ini. Mungkin ratusan...."
"Apa artinya jumlah dan waktu dibanding dengan keselamatan gurumu!"
Boma terdiam. Memandang berkeliling.
"Kalau nekad jangan tanggung-tanggung!" Kata Pak Broto.
"Biar aku beri saran. Masuki bangunan candi induk. Di situ ada empat ruangan batu. Mungkin Ibu Gurumu ada dalam salah satu ruangan itu. Tapi jujur saja aku kurang yakin. Aku tidak merasakan tarikan nafas perempuan di tempat ini."
"Kalau begitu percuma saya masuk ke dalam candi induk," kata Boma pula sambil memandang ke arah candi paling besar di sebelah tengah hamparan puluhan candi.
Bangunan candi paling besar ini tampak angker dikelilingi beberapa candi yang telah rusak.
"Terserah sampeyan!" kata Pak Broto pula.
"Jika kau tak mau menyelidik, berarti tugasku selesai sampai di sini. Serahkan Batu Penyusup Batin padaku! Cepat!"
Boma tarik nafas dalam dan pandangi tampang pucat si orang tua sesaat, lalu menatap ke arah candi induk. Menowel hidung dua kali. Akhirnya anak ini bergerak melangkah. Tengkuk merinding dingin. Kaki terasa berat dan dada berdebar keras.
Tiba-tiba dia mendengar suara hembusan angin di belakangnya. Seperti ada satu makhluk besar berkelebat ke udara.
Boma berpaling. Pak Broto tak ada lagi di tempatnya!
"Tak mungkin dia kabur. Dia inginkan batu sakti itu," kata Boma dalam hati.
Boma mencari-cari. Akhirnya dilihatnya orang tua itu berdiri bersidekap dada di atas reruntuhan salah satu candi perwara. Hanya saja keadaannya tidak lagi seperti tadi.
Topi pet hitam yang tadi ada di kepalanya kini tidak kelihatan lagi. Rambut putih yang sebelumnya dikuncir ke atas kini dibiarkan lepas riap-riapan sampai ke bahu. Boma jadi bergidik. Sikap si orang tua jelas tegang tapi penuh waspada. Dia tengah menghadapi bahaya besar!
Dalam keadaan seperti itu Boma berusaha menabahkan diri menguatkan hati. Peristiwa penculikan Ibu Renata bisa saja lebih dahsyat dari kejadian penyekapan atas diri Dwita dalam stupa Candi Borobudur.
Satu demi satu Boma menaiki tangga candi induk sebelah timur hingga akhirnya dia sampai di pintu kamar atau ruangan batu candi sebelah timur.
Dia mencium bau tidak enak. Udara di tempat itu terasa pengap. Boma tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu. Sekalipun ada orang atau benda lain di tempat itu dia tak akan mampu melihat saking gelapnya.
"Ibu.... Ibu Renata." Boma memanggil nama gurunya.
Anak ini kaget sendiri oleh gaung suaranya yang masuk ke dalam ruangan lalu dipantulkan kembali oleh empat dinding batu. Kakinya tersurut dua langkah. Belum habis kejut Boma tiba-tiba menggelegar suara tawa bergelak. Ada dua orang yang tertawa. Begitu tawa berhenti salah seorang dari yang tertawa tadi membentak.
"Boma Tri Sumitro! kau datang mengantar nyawa! Malam ini tamat riwayatmu. Kau tak akan pernah menjadi Pendekar Tahun Dua Ribu! Kami orang-orang golongan hitam tetap akan menguasai rimba persilatan! Ha...ha...ha!"
Gelegar suara tawa lenyap. Lalu kembali terdengar bentakan keras. Kali ini memerintah garang.
"Pangeran! Bunuh anak itu!"
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
TUJUH
IBU RENATA TIDAK ADA DI CANDI SEWU
BOMA terkesiap kaget. Benar ucapan Pak Broto. Ada orang hendak membunuhnya. Mata memandang liar berputar. Hidung diusap. Lalu anak ini mendengar suara kesiuran angin beberapa kali. Dua diantaranya mengarah ke tempat dia berada. Boma cepat merunduk sambil palangkan dua tangan di depan kepala, berjaga-jaga.
Saat itu ada tiga sosok mendekam dalam kegelapan di kawasan percandian. Tiba-tiba, muncul satu sosok lagi. Hampir serentak tiga sosok terdahulu bergerak cepat laksana setan berkelebat.
Sosok pertama yang melesat di dalam gelap adalah sosok orang bermantel hitam. Orang ini berkelebat dari reruntuhan salah satu atap candi perwara, tepat di samping kiri candi induk, melesat ke arah Boma Tri Sumitro yang berada di depan pintu timur Candi Sewu. Sementara tubuhnya melayang di udara orang ini hantamkan tangah kanan kearah Boma. Boma keluarkan seruan tertahan. Terkejut ketika melihat dari tangan orang bermantel menyambar keluar tiga larik cahaya mengerikan.
Boma ingat orang bermantel itu adalah orang yang sama dengan orang yang hendak membunuh Dwita sewaktu masih terkurung di dalam stupa Candi Borobudur. Pukulan sakti yang dilancarkannya juga sama. Boma tidak pernah melupakan tampang manusia satu ini. Orang ini juga yang dulu pernah muncul di SMU Nusantara III hendak membunuhnya! Kini dia muncul kembali dengan maksud sama. Membunuh dirinya! Pangeran Matahari! (baca Episode sebelumnya berjudul “Topan Di Borobudur”)
Tiga cahaya maut menyambar ke arah Boma Tri Sumitro. Kuning, merah dan hitam! Sebelum tiga larik sinar sampai, hamparan hawa luar biasa panas menyambar lebih dulu. Boma menjerit keras. Tangan kiri dihantamkan ke depan. Di tangan itu tersimpan satu kekuatan hebat isian nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Namun menghadapi pukulan sakti Pangeran Matahari, Boma tidak berdaya. Tubuhnya terasa seperti leleh. Anak ini menjerit sekali lagi! Lalu roboh ke lantai candi. Bersamaan dengan itu tiga cahaya maut datang menyapu!
Di saat tiga cahaya maut dengan kekuatan hawa panas ratusan derajat siap memanggang tubuh Boma Tri Sumitro, dari balik salah satu candi perwara tiba-tiba berkelebat satu bayangan tinggi hitam. Mulut berteriak nyaring.
"Oo ladalah! Kalau tadi aku tidak beser, tidak kencing dulu dibalik candi sana pasti tidak akan terlambat! Seharusnya aku kencing sambil lari! Kencing sialan! Terlambat! Terlambat! Anak Gendeng itu tak mungkin kutolong! Gusti Allah! Cuma kau yang bisa menyelamatkannya!"
Hampir bersamaan dengan menyambarnya tiga larik cahaya kuning, sekonyong-konyong dari arah belakang Boma, dari reruntuhan atap sebuah candi perwara melesat turun satu sosok berambut putih. Inilah sosok Pak Broto alias Si Muka Bangkai, murid Kunti api, guru Pangeran Matahari.
Begitu melihat Pangeran Matahari menggerakkan tangan, Si Muka Bangkai segera maklum kalau muridnya itu hendak membunuh Boma dengan pukulan Gerhana Matahari. Di rimba persilatan tanah Jawa, di alam asalnya sulit dicari tokoh persilatan yang sanggup menghadapi atau selamatkan diri dari pukulan maut itu. Apalagi hanya seorang anak lelaki seperti Boma!
"Pangeran Matahari dan Kunti Api benar-benar ingin menyingkirkan bocah itu! Aku masih punya kepentingan!" Si Muka Bangkai kertakkan rahang. Tangan kanan diputar seperti orang mengayun bola. Ketika tangan itu didorongkan ke depan, terdengar suara mendesis. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin luar biasa derasnya dan juga mengandung hawa panas menyambar ke arah candi induk. Itulah Pukulan Telapak Matahari. Biasanya pukulan tersebut dilancarkan sekaligus dengan tangan kiri kanan. Namun disaat yang sangat kepepet itu Si Muka Bangkai hanya mampu pergunakan satu tangan. Walau demikian dia yakin, dengan tingkat kesaktian dan tenaga dalam yang dimilikinya dia sanggup menangkis serangan Pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan muridnya. Rupanya Si Muka Bangkai tidak mengetahui kalau tingkat kepandaian Pangeran Matahari saat itu sudah jauh maju. Kakek bermuka mayat ini baru tersentak kaget ketika dia merasakan ada getaran di tangan kanan. Lalu tubuhnya yang masih melayang di udara seolah tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan. Dada terasa panas. Darah kental menyembur dari mulutnya.
"Celaka! Apa yang terjadi! Aku tidak mampu menyelamatkan anak itu!" teriak Si Muka Bangkai.
Matanya melotot. Dia kembali berteriak. "Aku memilih mati!" Kakek ini lipat gandakan tenaga dalam, lalu kali ini dorongkan dua tangan sekaligus!
"Wusss! Wusss!"
Di depan sana Pangeran Matahari keluarkan jeritan keras. Sesaat tubuhnya kelihatan terhuyung. Dia kerahkan tenaga coba bertahan tapi tubuhnya malah terpental.
"Jahanam Muka Bangkai! Belum mati kau rupanya! Apa yang kau Iakukan?!" Ada yang berteriak. Lalu orang ini cepat merangkul tubuh Pangeran Matahari yang terpental.
"Nenek Guru...." Pangeran Matahari keluarkan ucapan.
"Aku masih bisa melaksanakan perintahmu. Aku akan bunuh anak itu!"
"Diam! Apa kau tidak melihat perubahan di tempat ini?! Ada dua orang barusan muncul!" bentak Kunti api, orang yang barusan merangkul Pangeran Matahari.
"Siapa, Eyang?" Pangeran Matahari bertanya.
Kunti Api tidak menjawab. Setengah dilemparkan Pangeran Matahari diturunkan di tangga candi perwara di samping candi induk. Ketika nenek berambut kusut riap-riapan ini memandang ke depan, kagetlah dia. Sosok Boma Tri Sumitro tak ada lagi di lantai candi induk! Melirik ke samping, sudut mata kanan Kunti Api melihat satu bayangan berkelebat.
"Kurang ajar! Dia melarikan anak itu!" Kunti Api bercarut marah. "Muka Bangkai Murid celaka! Malam ini biar aku benar-benar membunuhmu!" Dua tangan diangkat ke atas. Sepuluh jari dipentang. Pada tangan kanan hanya dua jari yang mencuat yakni ibu jari dan jari manis. Tiga jari lain yaitu jari tengah, telunjuk dan jari kelingking tak ada lagi. Ketiga jari itu putus dibabat serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang dilancarkan Sinto Gendeng ketika terjadi perkelahian hebat di Candi Borobudur. (baca Episode sebelumnya berjudul “Bonek Candi Sewu”)
Warna hitam pada tujuh kuku jari cepat sekali berubah menjadi tujuh pancaran sinar merah. Kunti Api siap melancarkan serangan ilmu Kuku Api. Namun sebelum sempat dilakukan nenek ini tersentak kaget, nafas tertahan, kaki surut satu langkah. Dia berpaling ke kiri. Dari arah itu mendadak menghambur lengkingan suara tawa cekikikan.
"Bangsat itu! Memang dia! Pasti! Aku sudah melihat bayangannya tadi! Aku mencium bau pesing!" membatin Kunti Api dalam keterkejutannya.
"Kunti Api, pelacur muka dempul! Jari, tinggal tujuh, masih belum mau bertobat! Mantel apek hangus selengan, masih belum mampu mengganti! Heran, mengapa masih jahil hendak mencelakai orang lain?! Apa pelajaran yang aku berikan di Borobudur masih kurang?! Atau kau mau aku telanjangi lagi sampai bugil seperti tempo hari?! Hik... Hik... Hik!"
Sepasang mata Kunti Api seperti mau melompat dari rongganya. Nenek bermantel biru ini gembungkan rahang, menuding dengan telunjuk kiri ke arah nenek kurus hitam, cengengesan sambil memutar-mutar susur di dalam mulutnya yang perot. Tegak bungkuk menopang tubuh dengan sebatang tongkat kayu butut di tangan kiri sambil pantatnya disonggengkan.
"Nenek sundal tidak pernah laku laki-laki!" Kunti Api semprotkan makian pada orang di depannya yang bukan lain adalah si nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. "Kau selalu muncul menggerecoki urusan orang!"
Sinto Gendeng ketuk-ketukkan tongkat kayunya ke tanah lalu tertawa mengekeh.
"Untung cuma urusanmu yang aku gerecoki. Kalau sampai perutmu yang kugerecoki, semua isi perutmu pasti sudah berhamburan! Hik... Hik... Hik!"
Kunti Api memaki panjang pendek. Namun saat itu dia memang tidak punya keberanian menghadapi Sinto Gendeng. Serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang telah mencelakainya membuat nyalinya putus menghadapi lawan satu ini.
"Bau pesing tubuh dan pakaianmu membuat aku mau muntah! Maaf saja kalau aku tidak bisa lama-lama berada di tempat ini! Aku sarankan agar kau mandi di tujuh sumur, pakai kembang dan wewangian, lalu mandi lulur! Terus bersolek. Siapa tahu ada kakek-kakek dogol mau melamarmul Hik... Hik... hik!"
Marahnya Sinto Gendeng mendengar ejekan itu bukan alang kepalang.
"Kurobek mulutmu!" teriak guru Pendekar 212 Wiro Sableng ini.
Tongkat kayu di tangan Sinto Gendeng melesat ke arah mulut Kunti Api. Yang diserang cepat melompat mundur lalu kebutkan lengan jubah sebelah kiri.
"Wuutt! Desss!"
Sebuah benda berbentuk bola hitam sebesar buah jamblang melesat keluar dari balik lengan jubah. Begitu menyentuh udara benda ini meletus dan asap hitam tebal serta merta memekati tempat itu.
"Pengecut tengik! Apa kau kira bisa kabur seenaknya?!" Sinto Gendeng melompat ke arah kepulan asap. Tubuhnya sesaat lenyap. Ketika keluar dari kepekatan asap hitam nenek ini memaki habis-habisan. Kunti Api maupun Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu!
"Kurang ajar! Kemanapun kalian lari akan kukejar! Jangan kira aku tidak tahu kalian menuju kemana!" Sinto Gendeng berteriak marah. Lalu diam sebentar, memutar otak. Susur dalam mulut dikeluarkan. Ludah merah disemburkan. Susur dimasukkan kembali ke dalam mulut. Tampangnya yang nyaris menyerupai tengkorak karena tinggal kulit pembalut tulang tampak luar biasa angker.
Sesaat sebelum melakukan pengejaran Sinto Gendeng memperhatikan seputaran kawasan candi. Ketika yang dicarinya tidak ditemui si nenek berkata sendiri. "Orang satu itu. Kemana perginya...?" Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
"Juga aneh. Mengapa Si Muka Bangkai mau-mauan menyelamatkan anak gendeng itu? Pasti ada maunya! Eh, dia bawa kemana bocah itu?" Si nenek pencong-pencongkan mulutnya.
"Juga aneh. Mengapa Si Muka Bangkai mau-mauan menyelamatkan anak gendeng itu? Pasti ada maunya! Eh, dia bawa kemana bocah itu?" Si nenek pencong-pencongkan mulutnya.
"Jangan-jangan anak itu mau dihombre. Hik... Hik... Hik." Sinto Gendeng tertawa sendiri. Tahu pula dia bahasa prokem rupanya (dihombre = disodomi)
Sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada nenek sakti dari Gunung Gede ini berkata.
Sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada nenek sakti dari Gunung Gede ini berkata.
"Muka Bangkai, kalau sampai anak itu kau bikin celaka akan kutabas batang lehermu! Kukuliti batok kepalamu!".
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
DELAPAN
PETAKA DI CANDI KALASAN
WALAU tidak parah, tapi bentrokan pukulan sakti dengan Si Muka Bangkai membuat Pangeran Matahari merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya sebelah dalam. Buktinya kecepatan larinya saat itu jauh menurun. Dia hanya mampu berlari mengikuti Kunti Api di sebelah belakang terpaut tiga sampai lima meter.
Malam gelap, di langit rembulan masih tertutup awan tebal.
"Pangeran, percepat larimu! Jangan bikin aku tambah jengkel!" Berteriak Kunti Api.
"Nenek Guru, rasanya aku menderita luka dalam. Maaf kalau aku tidak bisa berlari cepat."
Dengan kesal terpaksa Kunti Api perlambat larinya.
Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran Matahari berkata. "Nenek Guru. Waktu di Candi Sewu saya melepas Pukulan Gerhana Matahari dengan tenaga dalam penuh untuk menghabisi anak itu. Mendadak, tidak terduga sama sekali, guru saya Si Muka Bangkai yang ada di situ, menangkis serangan maut saya dengan Pukulan Telapak Matahari. Jelas sekali tindakannya itu adalah untuk menyelamatkan anak bernama Boma yang saat itu sudah terkapar di lantai candi, dalam keadaan tak berdaya. Siap menerima kematian, dipanggang pukulan sakti yang saya lancarkan. Apa yang dilakukan guru Si Muka Bangkai bagi saya adalah satu keanehan. Keanehan pertama. Mengapa dia menolong, melindungi dan kemudian menyelamatkan anak itu? Padahal jelas, sebelumnya Nenek Guru sudah memberi tugas bahwa kita harus membunuh anak itu! Lalu ada keanehan kedua. Saya maklum Nenek Guru juga tahu kalau tingkat tenaga dalam saya saat ini sedikit lebih tinggi dari guru Si Muka Bangkai. Namun.... "
Nafas Pangeran Matahari tersedak, sesaat dia tak bisa meneruskan kata-katanya.
Kunti Api lalu menjawab. "Bagiku tidak ada yang aneh. Bukankah setelah terjadi saling hantam antara kau dan gurumu di Candi Sewu aku memberi tahu bahwa ada dua orang muncul di tempat itu secara tak terduga?"
"Saya melihat Sinto Gendeng," kata Pangeran Matahari sambil mengusap dada. "Tapi saya tahu betul, nenek keparat itu sama sekali belum sempat turun tangan melakukan sesuatu."
"Kemunculannya memang membuat urusan kita jadi kapiran! Tapi bukan dia yang punya pekerjaan. Ada orang lain, maksudku makhluk lain yang hadir di tempat itu, Dialah yang melancarkan tangkisan hebat hingga kau terpental dan menderita luka dalam."
Terkejutlah Pangeran Matahari mendengar ucapan Gurunya itu. Dia kerahkan seluruh tenaga untuk dapat menyusul karena saat itu kembali dia tertinggal beberapa meter di belakang. Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran Matahari membuka mulut bertanya.
"Nenek Guru, siapa orang yang kau maksudkan itu? Makhluk katamu? Makhluk apa? Saya tidak melihat siapa-siapa."
"Akupun tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku hanya mencium bau harum samar-samar. Lalu aku melihat sosok seorang perempuan cantik tinggi semampai. Sangat samar-samar seolah dirinya terbuat dari asap. Yang aku masih ingat di kepalanya ada sebentuk mahkota..."
"Makhluk berupa perempuan cantik itu yang menyelamatkan Boma dari serangan maut saya?"
"Dugaanku memang begitu. Karena Sinto Gendeng tidak membuat gerakan apa-apa. Gurumu Si Muka Bangkai memang melancarkan serangan Pukulan Telapak Matahari dengan dua tangan sekaligus. Tapi bukan pukulan itu yang mencelakaimu. Aku melihat makhluk berbentuk asap melenggok seperti menari, lalu menggerakkan tangannya sedikit. Tidak ada angin yang bersiur, tidak ada cahaya yang berkiblat. Tahu-tahu kau mental..."
Pangeran Matahari terengah. Diam sesaat lalu bertanya. "Nenek Guru, kau mungkin tahu siapa atau apa makhluk itu adanya?"
"Sulit kuduga. Namun ada satu kepastian. Makhluk yang aku katakan itu, dia bukan berasal dari alam kita, bukan pula dari alam sekarang."
Pangeran Matahari jadi heran namun tak berani bertanya.
"Yang juga jadi tanda tanya besar dalam benakku," Kunti Api melanjutkan. "Apa hubungan si makhluk dengan bocah itu hingga mau turun tangan menyelamatkannya?"
"Nenek Guru, harap maafkan diriku. Aku lagi-lagi gagal. Tidak dapat membunuh anak itu."
"Sekarang tugasmu tambah berat," ucap Kunti Api.
"Kau telah melihat sendiri tindakan Si Muka Bangkai. Bukan saja dia melalaikan tugas, tapi malah mengkhianati kita. Menolong anak yang seharusnya kita habisi. Berarti musuh kita bertambah satu orang. Yaitu gurumu sendiri. Dengan kata lain, selain membunuh anak bernama Boma, kau juga harus menyingkirkan Si Muka Bangkai!"
"Ah...!" Pangeran Matahari keluarkan suara terganggu karena tidak menyangka akan mendengar ucapan itu dari mulut Kunti Api. Nenek sakti berwajah setan yang dandanan tebalnya morat marit ini menginginkan kematian muridnya! Dan dia yang diperintahkan untuk membunuh sang murid. Yang merupakan gurunya sendiri!
"Nenek Guru, saya rasa saya akan cukup tegar untuk melaksanakan perintah Nenek Guru. Terus terang saja sudah sejak lama saya menaruh bara dendam terhadap guru saya Si Muka Bangkai itu...."
Tampang Kunti Api sesaat tampak berkerut. "Hemmm.... " si nenek bergumam. "Bagaimana ceritanya sampai kau mengindap bara dendam dalam dirimu terhadapnya."
"Nenek Guru ingat pertemuan dan pembicaraan kita di satu Kedai Tuak di Jakarta beberapa waktu lalu? Waktu itu guru saya Si Muka Bangkai tidak hentinya mencaci maki saya. Saya dimaki sebagai manusia tolol, bodoh. Saya masih bersabar diri. Tapi ketika saya keluar dari kedai tuak, saya sempat menguping Si Muka Bangkai berkata bahwa kelak dia akan membuat saya sengsara seumur-umur. Bagi saya kata-kata itu sama saja dengan dia ingin membunuh saya secara perlahan-lahan. Sikap dan ucapannya menimbulkan dendam dalam diri saya. Sebelum itu terjadi atas diri saya! Saya punya hak untuk membela diri. Membunuhnya terlebih dulu!"
Kunti Api menyeringai tapi tidak berkata apa-apa. Belakangan ini dia sendiri memang merasa tidak begitu suka Iagi terhadap muridnya Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat itu.
"Guru, mengapa diam saja. Katakan sesuatu...." ucap Pangeran Matahari.
"Hemmm.... Aku tidak mau ikut campur urusan kalian guru dan murid."
Si nenek coba membebaskan diri dan cuci tangan. "Tapi kita harus menyusun kekuatan. Kau, aku dan gurumu di satu pihak. Wiro Sableng, Sinto Gendeng di lain pihak. Kalau sampai Si Muka Bangkai menyeberang ke pihak Sinto Gendeng berarti kekuatan kita berkurang. Apalagi kalau makhluk aneh berupa perempuan cantik itu muncul secara tidak terduga menolong si bocah bernama Boma. Bisa celaka kita semua!"
"Yang saya tidak habis pikir, mengapa guruku Si Muka Bangkai menyelamatkan anak yang seharusnya dibunuhnya!"
"Aku menduga. Hanya ada satu jawaban. Anak itu memiliki Batu Penyusup Batin kepunyaanku. Si Muka Bangkai ingin mengambilnya. Tapi tidak tahu bagaimana caranya atau belum tahu dimana si anak menyembunyikan."
"Saya ingat," kata Pangeran Matahari pula.
"Sewaktu saya berniat, membunuh anak itu di sekolah, tubuhnya lenyap begitu saja. Dugaan Nenek Guru saya rasa ada benarnya. Anak itu memiliki Batu Penyusup Batin. Pasti Sinto Gendeng yang memberikan padanya setelah berhasil mencuri dari guru Si Muka Bangkai."
Apa kejadian yang diceritakan Pangeran Matahari itulah merupakan sebagian hal yang membuat Kunti Api merasa tidak suka dan hilang rasa percaya terhadap muridnya Si Muka Bangkai. Sang murid telah berlaku sembrono hingga batu sakti dicuri orang. Membuat urusan jadi ruwet tidak karuan. Lalu Si Muka Bangkai juga tidak berhasil membunuh Sinto Gendeng. Lalu kini dia malah menolong anak yang harus disingkirkannya.
"Nenek Guru, bagaimana kalau kita merubah siasat?" Pangeran Matahari ajukan usul.
"Siasat apa, yang mana? Apa maksudmu?!" balik bertanya Kunti Api.
"Saya punya dua usul. Pertama bagaimana kalau sesampainya di Candi Kalasan, perempuan muda yang kita culik langsung saja saya rusak kehormatannya. Setelah kubunuh mayatnya kita letakkan di halaman Wisma tempat anak-anak sekolah itu menginap. Kepalang tanggung, biar dibuat heboh sekalian! Anak lelaki bernama Boma bisa-bisa jadi gila melihat mayat guru yang disayanginya. Saat itulah kita baru membunuhnya. Kalaupun nanti masih ada orang atau makhluk yang menolong anak itu, paling tidak pikirannya sudah kita buat rusak dan dia akan sengsara seumur-umur."
Kunti Api menyeringai "Apa usulmu yang kedua?" Si nenek kemudian bertanya.
"Kita culik anak lelaki itu. Membawanya ke Candi Kalasan. Biar dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana saya menghancurkan guru yang disayanginya. Kalau dia masih hidup, anak itu akan gila sepanjang umurnya."
"Dua-dua usulmu luar biasa! Kau memang pantas disebut sebagai Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak. Dan kini aku tambahkan satu lagi Pangeran segala mesum! Hik...hik...hik." Kunti Api usap mukanya yang ditutupi dandanan celemongan lalu berkata. "Tapi aku lebih suka kau melakukan hal yang pertama. Lebih aman dan bisa lebih cepat dilaksanakan. Menculik anak itu dan membawanya ke sini bisa mudah, bisa juga salah kaprah. Aku kawatir makhluk aneh berbentuk perempuan cantik bermahkota itu masih berada di sekitarnya."
"Kalau begitu kemauan Nenek Guru, saya akan lakukan. Saya akan merusak kehormatan guru itu, lalu membunuhnya"
Kunti Api kembali menyeringai lalu tertawa mengekeh. Sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan si nenek berkata. "Aku mendadak saja merasa merinding. Sudah lama aku tidak merasakan sentuhan Ielaki. Hik...hik...hik"
Ketika melewati sederetan pohon besar tiba-tiba Kunti Api hentikan larinya. Dia memandang ke arah ujung jalan yang barusan dilewati, lalu putar kepala memperhatikan keadaan sekeliling.
"Nenek Guru, ada apakah?" tanya Pangeran Matahari.
"Aku mendengar suara sesuatu. Suara seperti orang berlari menguntit kita."
Pangeran Matahari ikuti pandangan si nenek. "Saya tidak melihat apa-apa. Mungkin hanya suara tiupan atau desau dedaunan."
Si nenek angkat bahu lalu berbalik dan lanjutkan larinya ke arah barat menuju Candi Kalasan.
***
BANGUNAN Candi Kalasan yang juga disebut Candi Kalibening keadaannya telah banyak rusak dimakan zaman. Dibawah naungan malam tanpa bintang dan rembulan masih terus ditutupi awan tebal kelabu, candi ini tampak menghitam dalam kesunyian malam.
Pintu timur Candi Kalasan dimana terdapat dua patung raksasa duduk memegang gada dan membawa ular berhubungan dengan sebuah ruang batu paling besar di dalam candi. Dalam ruangan yang gelap ini satu sosok tubuh perempuan tergeletak di Iantai candi yang dingin. Sesekali sosok ini bergerak, lalu ada desah tarikan nafas dan degup jantung memburu. Sejak tadi dia berusaha untuk berdiri, tapi tidak mampu. Dua kakinya seperti kaku, tak dapat digerakkan. Tubuh bagian atas terasa berat. Dua tangan memang bisa digerakkan namun hanya sekedar untuk menggapai dinding atau mengusap lantai candi. Setiap kali dia berusaha mengeluarkan suara, ingin berteriak, suaranya tersekat di tenggorokan. Nafasnya menyesak dan dia terpaksa menggeletak kembali dengan sekujur tubuh terasa lemas. Disaat-saat seperti itu, hanya sepasang bola matanya saja yang masih bisa bergerak, berputar kian kemari. Sesekali mata itu menatap ke arah pintu. Walau di luar sana agak terang dibanding di dalam ruangan dimana dia tergeletak, namun dia tidak bisa melihat apa-apa, selain ujung-ujung rerantingan sebatang pohon. Perempuan malang ini bukan lain adalah guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III Ibu Renata, yang diculik Pangeran Matahari dan Kunti Api di tengah jalan lalu disembunyikan di Candi tersebut.
Di dalam kamar hanya dinding gelap yang bisa dilihat. Temaram udara di luar candi sedikit sekali merambas masuk ke dalam candi, itupun hanya berupa bayangan samar di salah satu bagian lantai. Rasa takut amat sangat menyelimuti diri Ibu Renata. Dia ingat betul kejadian sore itu, ketika dia diculik, ditarik dari atas beca lalu dimasukkan ke dalam mobil. Namun belum sempat berpikir jauh tiba-tiba di ambang pintu candi sebelah timur berkelebat muncul dua sosok tubuh. Meski tidak melihat wajah namun dari bentuk rambut, tubuh serta pakaian dia segera mengenali. Dua sosok yang muncul adalah dua orang aneh yang menculik dirinya sore menjelang Magrib tadi. Dua orang ini berdiri di bawah pintu candi yang ada lekuk dan disebut Lekuk Kala Makara.
"Mereka datang.... Ya Tuhan, tolong saya. Jangan sampai saya mereka apa-apakan..." Ibu Renata mengucap, tubuh menggigil takut.
Dia merasa dingin tapi sekujur tubuhnya nyaris basah oleh keringat.
Dia merasa dingin tapi sekujur tubuhnya nyaris basah oleh keringat.
Salah seorang yang muncul di ambang pintu candi, yaitu yang mengenakan mantel hitam melangkah masuk. Langsung mendekati dan berjongkok di samping Ibu Renata.
"Ibu Guru Renata, harap maafkan kalau kami terlalu lama meninggalkan dirimu sendirian di tempat sunyi, gelap dan dingin ini. Namun percayalah sebentar lagi tempat ini akan ceria oleh desah nafasmu dan nafasku. Suasana gelap akan berubah menjadi terang oleh rasa sukacita. Ruangan yang dingin akan menjadi hangat oleh aliran darah kita berdua yang akan sama-sama memanas."
Habis berkata seperti orang menguntai syair orang yang berjongkok, yang bukan lain adalah Pangeran Matahari adanya lalu gerakan dua tangan ke leher dan kaki Ibu Renata, perempuan yang sejak tadi tergeletak tak mampu bergerak dan tak bisa bersuara. Saat itu juga Ibu Renata merasakan dua kaki menjadi ringan, dan jalan pernafasan menjadi lega. Sekali bergerak dia mampu bangkit dan duduk serta mengeluarkan ucapan.
"Demi Allah, jangan apa-apakan saya. Tolong, jangan sentuh saya..."
Pangeran Matahari tertawa lebar.
"Ketahuilah, perempuan itu dilahirkan untuk mendambakan sentuhan belaian tangan laki-laki. Perjalanan nasib mempertemukan kita berdua. Malam ini kau ditakdirkan untuk melayani diriku." Ucap Pangeran Matahari keluarkan ucapan seperti bersajak. Lalu dia ulurkan tangan membelai rambut Ibu Renata.
"Jangan! Tolong.... Demi Allah jangan sentuh saya. Jangan sakiti saya..." Ratap Ibu Renata.
Pangeran Matahari menyeringai dan ulurkan tangan meraba pipi Ibu Renata. "Ibu Guru, aku dengar kau menyayangi anak lelaki bernama Boma itu. Ini adalah satu kesalahan besar pertama. Dan bocah keparat itu kabarnya juga menyayangi dirimu. Ini kesalahan besar kedua. Malam ini kasih sayang kalian akan menjadi bencana. Di tanganku! " Tangan Pangeran Matahari turun ke bahu.
"Jangan...." Ibu Renata menjerit keras ketika tangan Pangeran Matahari yang ada di bahu meluncur ke bawah. Namun Pangeran Matahari cepat menekap mulutnya hingga jeritan itu berubah menjadi suara gumaman.
"Pangeran Matahari, jangan berlaku bodoh! Lekas tutup jalan suaranya. Suara jeritan bisa mengundang orang datang ke sini."
"Jangan kawatir. Saya akan lakukan perintahmu, Nenek Guru," Jawab Pangeran Matahari.
Yang dilakukannya bukan menutup atau menotok jalan suara Ibu Renata melainkan dia rundukkan kepala dan cepat sekali mulutnya ditutupkan ke mulut Ibu Renata, dua tangan merangkul kencang.
Yang dilakukannya bukan menutup atau menotok jalan suara Ibu Renata melainkan dia rundukkan kepala dan cepat sekali mulutnya ditutupkan ke mulut Ibu Renata, dua tangan merangkul kencang.
Ketika Ibu Renata meronta memberi perlawanan bahkan berusaha memukuli Pangeran Matahari, sang Pangeran malah seperti disurup rangsangan. Dua tangannya bergerak kian kemari berusaha menanggalkan kemeja dan celana panjang yang melekat di tubuh Ibu Renata. Di pintu candi, Kunti Api berdiri sambil senyum-senyum menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Matahari. Tiba-tiba nenek ini mendengar sesuatu. Dia delikkan mata karena seperti ada bayangan berkelebat.
"Pangeran! Lekas selesaikan pekerjaanmu! Aku merasa ada orang lain di sekitar candi ini."
Kunti Api berkata lalu pentang sepasang mata lebar-lebar, kepala setengah mendongak mendengar setiap suara dan diam-diam tenaga dalam dialirkan ke tangan kiri kanan.
Ibu Renata menjerit, berusaha menerjang, memukul, menggigit, melakukan apa saja untuk bisa menyelamatkan diri dan kehormatannya. Namun sosok tinggi besar dan kuat yang digarang nafsu keji disertai aliran darah dendam Pangeran Matahari bukanlah tandingannya. Ketika satu tamparan didaratkan Pangeran Matahari ke wajahnya, didahului jeritan keras Ibu Renata terguling ke lantai candi. Dia tidak pingsan, masih setengah sadar ketika Pangeran Matahari berusaha melucuti pakaiannya. Ibu Renata menggigil keras sewaktu Pangeran Matahari bergerak meneduhi tubuhnya. Tampangnya menyeringai, nafas memburu keras. Untuk kesekian kalinya guru yang malang ini menjerit keras.
Agaknya ini adalah jeritannya yang terakhir sebelum kekejian menghancurkan diri dan kehormatannya.
Namun Tuhan maha menentukan. Ketika kemesuman itu siap terjadi hanya dalam bilangan beberapa detik saja, tiba-tiba ada suara-suara aneh di luar Candi Kalasan.
Kunti Api tercekat. "Pangeran!" ucap si nenek sambil dua kaki digeser.
Pangeran Matahari yang juga sudah mendengar suara-suara itu ikut terkesiap, tarik badan ke belakang dan setengah berjongkok di lantai. Memasang telinga. Sementara di luar sana suara-suara aneh terdengar makin jelas.
"Seperti suara seruling... Juga suara kerincingan...." kata Kunti Api perlahan.
"Juga ada suara gendang..." menyambungi Pangeran Matahari.
"Dengar," kata Kunti Api. "Aku punya firasat tidak enak. Aku akan menyelidik keluar. Kau bersiap-siap di dalam sini. Kalau terjadi apa-apa lekas larikan perempuan itu. Bawa ke Candi Prambanan. Tunggu di sana sampai aku datang."
Pangeran Matahari mengangguk. Kunti Api secepat kilat melesat ke pintu candi. Mendekam dibawah lekuk pintu Lekuk Kala Makara. Sepasang mata mendelik besar, dan daun telinga dipentang lebar.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
SEMBILAN
DI KAMAR SUMI PRIMBON
BOMA tidak tahu berapa lama dia pingsan. Ketika sadar, dalam keadaan mata masih terpejam dia merasa sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala mendenyut sakit. Malam gelap, bangunan candi yang menghitam, terbayang di pelupuk mata Boma. Ada lagi larik cahaya menyambar kearahnya. Ada hawa panas luar biasa. Dia menjerit keras lalu terkapar di lantai batu, di depan pintu ruangan gelap.
Tangan Boma meraba. Dia tidak merasakan kerasnya batu candi. Ada hamparan empuk, lapisan lain. Lalu telinganya mendengar suara tarikan nafas. Boma maklum, dia tidak sendirian di tempat itu.
Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya. Pertama sekali dilihatnya adalah langit-langit ruangan, eternit Putih. Kepalanya dimiringkan ke kanan. Dinding. Suara orang menarik nafas kembali terdengar. Di arah kakinya. Boma bersitahan dengan dua siku lalu angkat kepala. Untuk membuat gerakan ini sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan walau hawa panas mulai berkurang. Memandang berkeliling anak ini dapatkan dirinya berada di atas sebuah tempat tidur, masih memakai sepatu kets. Dalam sebuah kamar apik diterangi lampu neon bulat.
Di ujung kakinya, di tepi tempat tidur duduk orang tua itu. Punggung dan kepala tersandar ke dinding. Lengan kemeja tangan panjang gombrong biru belang-belang yang dikenakannya kelihatan hitam hangus. Beberapa bagian lengan kemeja ini tampak robek-robek. Dua tangan si orang tua terkulai lemas di atas pangkuan. Di atas pangkuan itu pula terletak sehelai sapu tangan basah penuh noda darah. Sesekali kelihatan orang tua ini menarik nafas dalam dan Panjang. Setiap menarik nafas tampangnya yang pucat mengerenyit seperti menahan sakit. Tubuhnya terasa panas. Dua tangannya bergerak.
Brett Breeet! Kemeja dirobek lalu ditanggalkan hingga kini si orang tua terduduk setengah telanjang. Dadanya yang tipis dengan tulang-tulang iga menyembul bergerak turun naik. Boma memperhatikan tangan kiri orang tua itu. Mulai dari siku ke bawah kulit lengannya berwarna lain dibanding dengan bagian tangan di atas siku. Lalu bentuk tangan kiri itu sedikit lebih besar jika dibanding dengan tangan kanan.
"Pak Broto, kita dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.
Yang ditanya tidak bergerak, tapi mulutnya berucap.
"Pak...."
"Diam, jangan bicara! Aku tengah mengatur hawa sakti, jalan pernafasan, aliran darah, tenaga dalam. Sekujur tubuhku sakit, panas!"
"Sama, saya juga..." Boma masih menyahuti lalu diam. Boma lalu beringsut, duduk di ujung tempat tidur, mata terus memperhatikan ke arah si orang tua. Di luar terdengar suara tiang listrik dipukul orang.
"Tiang listrik dipukul dua kali. Pukul dua malam... " Pikir Boma. Hatinya tergerak hendak keluar dari kamar. Dia beringsut ke tepi tempat tidur. Belum sempat kedua sepatunya menyentuh Iantai kamar, dari ujung tempat tidur Pak Broto alias Si Muka Bangkai keluarkan suara.
"Jangan berani turun dari tempat tidur. Jangan berani keluar kamar. Apa lagi sampai meninggalkan rumah ini."
"Pak Broto kita ini dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.
Yang ditanya tak menjawab. Pak Broto membuat beberapa kali tarikan nafas, batuk-batuk Ialu menyeka lelehan darah di mulutnya dengan sapu tangan. Sesaat kemudian orang tua ini memperbaiki duduknya. Mata yang sejak tadi dipejamkan perlahan-lahan dibuka.
"Pak Broto, sudah selesai mengatur hawa sakti dan aliran darah?"
Yang ditanya masih belum menjawab. Hanya sepasang matanya yang angker dingin menatap ke arah Boma. Sesaat kemudian baru dia berucap.
"Rasa tubuhku agak mendingan sekarang."
Pak Broto lalu ulurkan tangan kanan, memegang bahu Boma. Anak ini merasa ada satu hawa aneh memasuki tubuhnya. Lalu sakit dan panas yang sejak tadi dirasakannya kini jauh berkurang.
Pak Broto lalu ulurkan tangan kanan, memegang bahu Boma. Anak ini merasa ada satu hawa aneh memasuki tubuhnya. Lalu sakit dan panas yang sejak tadi dirasakannya kini jauh berkurang.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Lumayan, rasa sakit, juga panas, mulai hilang." Jawab Boma. Dia maklum kalau Pak Broto barusan melakukan cara pengobatan aneh atas dirinya.
"Pak Broto, sebelumnya kita di candi. Sekarang kok tau-tau ada di sini...."
“Aku yang membawamu ke sini. Kau pingsan di tengah jalan…”
“Lalu kita sekarang ini dimana? Ini rumah siapa?”
Untuk kesekian kalinya Boma kembali bertanya.
"Ini rumah Sumi Primbon."
"Sumi Primbon? Siapa itu? Saudara Pak Broto?" Pak Broto menyeringai. Lalu menggeleng.
"Teman?"
"Lebih dari teman. Cemcemanku." (cemceman = kekasih gelap)
Boma terbelalak. Pak Broto menyengir. Boma usap hidungnya lalu menutup mulut menahan tawa. "Pak Broto, kok tau segala cemceman sih?"
"Aku dengar-dengar orang bilang begitu, ya aku sebut saja. Yang jelas aku senang punya cemceman seperti Sumi Primbon. Gemuk, putih. Dan gocekannya itu lho!"
"Gocekan? Gocekan apa?" tanya Boma.
"Ala, kamu masih kecil, masih ijo. Mana ngerti!" ujar Pak Broto sambil tertawa dan lambaikan tangannya.
"Jadi Pak Broto sama Sumi Primbon itu kumpul kebo?"
"Gila kamu! Sumi Primbon itu manusia, Perempuan , kok di bilang kebo!" Pak Broto pelototi Boma.
Boma tersenyum dan diam saja. Percuma menjelaskan kalau yang dijelaskan memang tidak bisa mengerti arti ungkapan kumpul kebo.
"Pak Broto, kalau ini rumahnya Sumi Primbon, lalu orangnya mana?"
"Nanti juga datang." Jawab Pak Broto.
"Nggak ada di sini?"
"Lagi kerja," menerangkan Pak Broto.
"Kerja malem? Kerja apa?" tanya Boma. Lalu anak ini menjawab sendiri. "Jadi hostess?"
"Apa itu hostes? Ora ngerti aku."
"Hostes sama dengan pramuria."
"Podo wae. Tetap nggak ngerti." Jawab Pak Broto yang rupanya mulai tahu sedikit-sedikit bahasa Jawa.
"Hostess itu artinya wanita penghibur," menerangkan Boma.
Pak Broto tertawa hampir tanpa suara.
"Terserah kau mau bilang apa. Dia memang pandai menghiburku. Dan orangnya begini." Pak Broto lalu acungkan sekaligus jempol tangan kiri dan tangan kanan.
"Oke punya?" ujar Boma.
"Oke punya. Betul!" Orang tua itu kembali tertawa.
"Sumi Primbon, cemcemanku itu dia jual makanan lesehan di Malioboro. Ini rumahnya. Untuk sementara kita aman di tempat ini."
Dalam hati Boma berkata. "Aman buat dia dan aku, tapi bagaimana dengan Ibu Renata?"
"Pak, saya ingat kejadian di Candi Sewu. Orang bernama Pangeran Matahari itu, dia hendak bunuh saya seperti waktu di Candi Borobudur. Nyatanya saya berada di sini. Dalam keadaan selamat. Saya berterima kasih Pak Broto sudah menolong saya..."
"Aku menolongmu tidak cuma-cuma. Antara kita ada perjanjian. Aku membawamu ke Candi Sewu, kau menyerahkan batu Penyusup Batin. Jangan lupakan hal itu!"
Boma hendak mengusap bahu kanannya pada letak Batu Penyusup Batin. Tapi karena si orang tua menatap ke arahnya hal itu dibatalkan dan dia pura-pura mengusap hidung.
"Kalau saya tidak dapat menyerahkan batu itu pada Bapak, Pak Broto mau membunuh saya?" "Bisa saja. Tapi terus-terang ada satu hal yang tidak kau ketahui."
"Hal apa Pak?" tanya Boma pula.
"Sebenarnya, waktu di Candi Sewu bukan aku yang menyelamatkan nyawamu. Ada orang lain yang menolong. Aku hanya tolong memboyongmu ke tempat ini."
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
SEPULUH
SIAPA SEBENARNYA YANG MENOLONG BOMA?
BOMA tercengang mendengar kata-kata Pak Broto itu.
"Aneh..." ucap Boma.
"Memang semua serba aneh. Waktu Pangeran Matahari menghantammu aku coba menangkis. Tapi aku kalah tenaga. Saat pukulan muridku itu hampir memanggangmu, tiba-tiba aku merasa ada satu gelombang kekuatan luar biasa. Dibilang angin tidak ada suara. Dikatakan pukulan sakti tidak mengeluarkan warna. Namun aku sempat melihat satu bayangan. Sangat samar-samar, tidak jelas."
"Bayangan bagaimana Pak Broto?"
"Sosok tinggi semampai seorang perempuan berkulit putih. Cantik luar biasa. Dia pakai selendang kalau tak salah warna ungu. Di kepalanya ada satu mahkota. Aku ingat, di saat yang sama aku mencium bau harum sekali..."
"Mungkin itu bau minyak wangi yang melekat di tubuh dan pakaian Bapak sendiri..." ucap Boma pula.
"Aroma minyak wangi orang yang aku cium di candi itu baunya lain. Sangat lembut tapi semerbak luar biasa. Yang aku pakai minyak wangi peletan. Biar Sumi Primbon lengket sama aku..." Jawab Pak Broto sambil senyum-senyum.
Untuk beberapa ketika Boma hanya bisa diam, mengusap tengkuk lalu menowel hidung.
"Aku sering melihat kamu menowel hidung. Aneh..."
"Kebiasaan aja, Pak."
"Jangan-jangan batu sakti itu ada dalam hidungmu." Tangan kiri Pak Broto bergerak, menyambar ke arah hidung Boma lalu memencet. Boma sampai keluar air mata menahan sakit. Masih untung tidak sampai berteriak. Begitu pencetan dilepas anak ini bersin sampai tiga kali. Pak Broto tertawa dan gelengkan kepala. "Tidak, batu sakti itu tidak ada di hidungmu... " katanya.
"Kenapa sih Bapak menginginkan batu itu?"
"Itu bukan batu sembarangan. Asal muasalnya batu itu adalah milik guruku, Eyang Kunti Api. Batu diberikan padaku, dipesan agar disampaikan pada Pangeran Matahari. Selanjutnya Pangeran Matahari harus membunuhmu. Tapi muridku itu berlaku tolol. Dia kecolongan. Batu dicuri seorang pengamen di Jakarta. Untungnya aku berlaku waspada. Batu yang kuberikan pada Pangeran Matahari bukan batu asli , tapi batu kawinan...."
"Batu kawinan? Memangnya batu bisa kawin?" tanya Boma.
"Tai kucing! Geblek! Maksudku batu yang kuberikan adalah batu yang diusap batu asli. Hingga batu palsu itu punya kekuatan yang sama, tapi hanya untuk beberapa hari." Menerangkan Pak Broto. "Aku menemui muridku. Dengan Batu Penyusup Batin yang asli tubuhnya aku usapi agar bisa lebih sakti, bisa melenyapkan diri. Tapi celakanya saat itu muncul Sinto Gendeng. Batu sakti asli dirampasnya."
"Sinto Gendeng, siapa itu Pak?"
"Tai kucing! Jangan pura-pura!" bentak Pak Broto.
"Aku mendengar kabar, dia yang menolongmu waktu terjadi bencana di Gunung Gede. Dia yang memberikan ilmu pukulan sakti. Dimasukkan ke tangan kirimu. Coba lihat tangan kirimu. Buka telapakannya. Ayo!"
Pak Broto tarik tangan kiri Boma. Anak ini terpaksa kembangkan telapak tangan. Pak Broto alias Si Muka Bangkai perhatikan telapak tangan kiri yang memang ada tanda kalinya itu. "Di alamku, ilmu pukulan yang kau miliki di tangan kiri itu tak ada artinya. Tapi di alammu, kau bisa membunuh orang, sanggup memecahkan kepala kerbau, memukul jebol tembok."
Boma terkesiap. Dia memang pernah dipesan oleh si nenek misterius untuk tidak boleh mempergunakan tangan kirinya secara sembarangan. Tapi kalau dia katakan sanggup memukul jebol tembok, anak ini jadi terheran-heran sendiri.
"Kamu tidak percaya kehebatan tangan kirimu?" Boma tak menjawab.
"Muridku Pangeran Matahari pernah kau pukul sampai patah tulang iganya waktu dia hendak membunuhmu di sekolah. Ingat?" ( Baca episode berjudul "Topan Di Borobudur" )
Boma hanya terdiam menggigit bibir lalu mengangguk. Dia memang ngeri jika ingat peristiwa itu. Namun ingatannya hanya sebagian saja tertuju pada kejadian tersebut. Dia kini lebih banyak memikirkan si nenek misterius.
"Pak Broto, jadi nenek di puncak Gunung Gede itu namanya Sinto Gendeng?"
"Kau benaran tidak tahu?"
Boma menggeleng.
"Saya pernah tanya, dia tidak pernah bilang."
"Nenek satu itu memang paling aneh. Menurutku dia sudah menganggapmu sebagai murid. Malah ada satu rencana besar untuk menjadikanmu Pendekar Tahun Dua Ribu...."
"Pendekar Tahun Dua Ribu, " ulang Boma. "Nenek itu memang pernah bilang sama saya. Waktu dia datang ke kamar saya. Di rumah. Malam-malam. Tapi saya nggak ngerti...."
"Kalau saja aku berhasil membunuhnya waktu menyerbu ke puncak Gunung Gede, urusan tidak berkepanjangan seperti ini."
"Pak Broto, silang sengketa apa sebenarnya antara Bapak dengan Sinto Gendeng sampai mau saling berbunuhan?"
Pak Broto monyongkan mulut peotnya. "Kamu pemah baca buku cerita silat?"
"Nggak hobby." Jawab Boma.
"Apa itu hobi?"
"Maksudnya nggak suka. Nggak 'gitu suka."
"Tapi tahu kalau dalam dunia persilatan itu ada golongan hitam dan golongan putih yang saling bermusuhan seumur-umur?"
Boma mengangguk.
"Aku, muridku dan guruku adalah orang-orang dari golongan hitam. Sinto Gendeng dan teman-temannya dari golongan putih. Kami bermusuhan. Musuh bebuyutan. Satu kali ada rahasia besar rencananya bocor ke tangan kami. Sinto Gendeng tengah mencari dan hendak menjadikan seorang anak laki-laki sebagai Pendekar Tahun Dua Ribu. Kalau hal itu sampai kejadian, kami orang-orang golongan hitam pasti bakal menghadapi bencana besar. Rencana itu harus digagalkan. Sinto Gendeng harus dibunuh lebih dulu. Soal si anak bisa diurus kemudian."
"Pak Broto menyerbu ke puncak Gunung Gede..."
"Benar, tapi di alamku sana namaku bukan Pak Broto. Aku dikenal dengan julukan Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. Serbuanku gagal. Malah tangan kiriku dibikin buntung sebatas siku oleh Sinto Gendeng. Dia punya ilmu kesaktian berupa dua larik sinar yang keluar dari sepasang matanya. Kata orang itu adalah ilmu yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Aku tak sanggup menghadapinya. Jangankan aku, guruku si Kunti Api juga bisa kelabakan. Tidak heran. Sinto Gendeng dedengkot dari para tokoh rimba persilatan golongan putih. Tangan kiriku dibikin buntung sebatas siku. Guruku Eyang Kunti Api kemudian membawa aku ke seorang ahli di Jakarta. Katanya dokter. Aku tidak tahu apa artinya dokter itu. Tapi dia punya kepandaian menyambung-nyambung aurat manusia, menjebol dan menjahit tubuh orang. Oleh guruku dokter itu dipaksa menyambung tanganku dengan tangan orang lain. Kau lihat sendiri. Tangan kiriku sebelah bawah tidak sama dengan yang di atas siku. Apa lagi kalau kau bandingkan dengan tangan kanan. Sebabnya tangan yang jadi sambungan ini adalah tangan gelandangan. Tanganku sendiri terbang entah kemana." Si Muka Bangkai lalu mengekeh.
Boma melongo. Setengah tak percaya.
"Yang namanya dokter itu memang pandai sekali. Tapi kalau tidak dibantu guruku, mana mungkin tangan ini bisa bersambung sempurna dalam waktu hanya satu setengah hari..." ( Baca Episode Boma Gendenk berjudul "Muridku Machoku" )
"Untung tangan Bapak yang buntung. Kalau bagian tubuh yang lain..."
"Maksudmu kalau leherku yang buntung? Tewas sudah! So pasti! Ha...ha...ha!" Si Muka Bangkai bicara keren. Seperti anak remaja saja pakai so pasti segala.
Boma ikut tertawa mendengar kata-kata Pak Broto yang terakhir. Tapi dia masih ingin mempermainkan orang tua ini.
"Bukan, maksud saya bukan leher Pak Broto tapi yang seandainya yang putus itu... " Boma memandang ke arah bawah perut si orang tua lalu goyangkan kepalanya.
Pak Broto terdiam sesaat. Menatap Boma lalu memandang ke bawah perutnya sendiri. Lalu meledaklah tawa orang tua muka pucat ini.
"Tai kucing!" maki Pak Broto. "Anak gendeng!" Tapi orang tua aneh ini tidak marah malah tertawa.
"Kalau anuku yang buntung, lalu disambung dengan apa? Siapa yang mau memberikan anunya walau dibayar mahal!"
"Mungkin anu kuda, Pak, " ucap Boma pula.
Pak Broto mendelik.
"Tai kucing!" kata Boma mendahului sebelum Si Muka Bangkai ucapkan makian itu.
Si Muka Bangkai tertawa gelak-gelak.
"Anak kurang ajar!" semprotnya.
"Pak Broto, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih. Gimanapun juga Pak Broto telah menyelamatkan saya. Semua itu membuat saya heran. Pak Broto seharusnya sudah membunuh saya sesuai perintah guru Pak Broto. Mungkin masih tertunda karena batu sakti itu belum jatuh ke tangan Pak Broto?"
Si Muka Bangkai tidak menjawab.
"Pak Broto..."
"Hemmm...?"
"Saya boleh tanya satu hal?"
"Apa?"
"Pak Broto, Pangeran Matahari, Kunti Api dan nenek bernama Sinto Gendeng itu sebenarnya makhluk apa sih? Menurut Bapak, Bapak datang dari alam lain. Tapi ujudnya seperti manusia biasa. Lalu apa Bapak ini, juga yang lain-lain itu bangsa setan, hantu atau jin...."
Si orang tua usap mukanya yang pucat seolah darah tak pernah mengalir ke wajah itu.
Mata memandang lurus menerawang. Seperti ada bayangan rasa sedih di wajah yang pucat itu. Lalu terdengar mulutnya berucap. Suaranya perlahan.
"Aku tidak mampu menjawab pertanyaanmu itu. Kau tanya soal lain saja."
Boma pandangi wajah tua berambut putih awut-awutan itu. Entah mengapa ada rasa kasihan dan juga rasa suka dalam diri anak lelaki itu pada orang tua itu. Padahal jelas orang punya niat jahat, malah sewaktu-waktu siap membunuhnya.
Si Muka Bangkai palingkan kepala. Pandangannya saling bertatapan dengan Boma. Lalu meluncur pertanyaan dari mulut orang tua ini.
"Waktu kau aku tampar, bagaimana rasanya? Sakit?"
"Lumayan, mana ada sih orang ditampar tidak sakit. Pipi saya sebelah dalam berdarah..."
Si Muka Bangkai tersenyum mendengar jawaban Boma itu. Namun dibalik senyuman itu Boma sendiri merasa ada bayangan penyesalan dalam diri orang tua berwajah seram ini. Menyesal karena telah menamparnya.
Boma alihkan pembicaraan.
"Pak Broto, saya ingat. Waktu di Wisma Bapak bilang Ibu Renata diculik dan dibawa ke Candi Sewu. Ternyata guru saya tidak ada di sana."
"Aku diperdaya. Kena dijebak!"
"Siapa yang menjebak?"
"Siapa lagi?! Murid dan guruku sendiri! Pangeran Matahari dan Eyang Kunti Api," menerangkan Pak Broto alias Si Muka Bangkai. "Kunti Api pura-pura bicara pada Pangeran Matahari. Memberi tahu bahwa gurumu diculik dan dibawa ke Candi Sewu. Karena tahu pasti aku mendengar. Salahnya aku lalu memberi tahu kamu. Tapi itu lantaran aku inginkan batu sakti. Kita lalu ke Candi Sewu. Sebenarnya dirimu yang mereka incar. Jelas!"
"Lalu.... Kalau begitu dimana Ibu Renata sekarang?"
"Hanya setan malam yang tahu dimana gurumu itu disekap Kunti Api dan Pangeran Matahari..."
"Pak Broto..." Boma mengencangkan tali sepatunya lalu turun dari tempat tidur. "Saya harus mencari Ibu Renata. Saya harus menolongnya sebelum dia diapa-apakan orang-orang jahat itu."
Pak Broto mengangkat tangan kanannya. Memberi isyarat. Lalu mendahului Boma turun dari tempat tidur, melangkah ke pintu kamar. Di luar sana, di tepi jalan ada suara mobil berhenti di depan rumah.
"Sumi Primbon kalau pulang selalu naik becak. Tidak pernah naik mobil. Hatiku tidak enak. Ada firasat tidak baik..."
"Kita berdua membuat kesalahan. Masuk ke rumah orang tanpa memberi tau, tanpa izin pemilik rumah. Malah enak-enakan tidur di kamarnya..."
Pak Broto melintangkan jari tangan kanan di depan mulut. Memberi isyarat agar Boma berhenti bicara. Di luar sana terdengar pintu depan dibuka. Lalu ada langkah kaki masuk. Pak Broto tahu persis itu adalah langkah-langkah kaki Sumi Primbon. Namun di belakang langkah-langkah itu ada langkah-langkah lain mengikuti.
"Sumi pulang," bisik Pak Broto pada Boma. Raut wajahnya yang pucat angker tidak menunjukkan rasa gembira, malah sebaliknya orang tua ini tampak khawatir. Telinga dipasang, mulut berucap perlahan. "Ada beberapa orang bersamanya. Pakai sepatu berat. Mereka di ruang tamu."
Di luar sana terdengar suara perempuan bicara. Diam sesaat lalu terdengar lagi langkah-langkah kaki menuju pintu kamar. Lalu di pintu ada suara anak kunci dimasukkan ke lobang kunci. Tidak menunggu lama, pintu kamar terbuka dan satu sosok perempuan gemuk siap melangkah masuk ke dalam kamar tapi tertahan ketika melihat dua orang yang berdiri di hadapannya.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
SEBELAS
MALIOBORO JAM 11.00 MALAM
MENJELANG toko di kawasan Malioboro mulai tutup, pedagang makanan lesehan bersiap-siap membuka dagangannya. Allan dan Gita berdiri disampingg sebuah tiang beton. Mutar-mutar sekian Iama Allan hanya membeli sebuah blangkon dan Gita sehelai kaos oblong ukuran LLL yang bagian dadanya ada tulisan sablon Jogja I love you - Maliobro I miss you.
Gita perhatikan arloji di tangan kirinya. Wajah anak perempuan bersosok gemuk ini kelihatan tidak sabaran. Matanya memandang ke ujung jalan, lalu mengawasi deretan toko-toko yang sudah tutup di seberang sana.
“Jam berapa Git?” tanya Allan.
“Sepuluh lewat lima. Heran, yang laen-laen kok belon nongol. Boma nggak dateng jangan-jangan sedih ditinggal Trini sama Dwita.”
“Bentar lagi ‘kali.”
“Si Andi sama Firman tadi katanya mau nyusul. Janji ketemu di depan toko sini. Kok belon muncul?”
“Sebentar lagi Git, tunggu aja.”
“Kamu sih sebentar terus. Apa-apa sebentar. Buktinya udah ratusan bentar nggak seekorpun yang pada dateng.” Gita merengut.
“Enak aja lu bilang orang seekor. Bahasa Indonesia kamu dapat berapa sih di rapor?” ujar Allan lalu lalu tertawa. Gita ikutan senyum. "Kayaknya kamu udah lapar? Ayo cari lesehan." Allan mengajak.
"Nanti, sebentar..." Jawab Gita.
"Nah lu, sekarang kamu yang ketularan penyakit sebentar."
Gita kepalkan tinju kanannya lalu menumbuk bahu kiri Allan. Anak lelaki ini meringis.
"Sakit ya?" tanya Gita setengah menyesal. Lalu usap-usap bahu Allan yang barusan dipukulnya.
"Lumayan." Jawab Allan.
"Sekarang enak kok. Di usap-usap. He...ee."
"Lan, kok aku kayak ada perasaan enggak enak nih." Gita berkata sambil sandarkan punggungnya ke tiang beton.
"Apa yang nggak enak? Kamu pengen kencing, ya?" tanya Allan bergurau.
"Brengsek lagi!" Gita angkat kakinya, pura-pura hendak menendang tulang kering anak lelaki itu. Karuan Allan cepat bergerak mundur.
"Yang nggak enak hati gua, bukan pengen kencing tau!".
"Kalau gitu kita cepetan aja cari lesehan. Terus balik ke Wisma."
"Langsung pulang aja Lan"
"Kamu gimana sih Git. Dari kemarin terus-terusan ngajak. Pengen makan lesehan, pengen makan lesehan. Kayak orang ngidam aja. Sekarang udah sampai di Malioboro sini mau balik ke Wisma. Aneh bin ajaib. Ajaib bin au-ah."
"Iyya deh. Jangan marah dong bos!" Gita membujuk sambil senyum-senyum.
"Huss! Jangan panggil aku bos. Itu 'kan singkatan bekas orang sinting."
Gita cekikikan.
Allan pegang lengan Gita. "Ayo kita cari lesehan yang yahud."
Kedua pelajar SMU Nusantara III itu berjalan di sepanjang depan emperan pertokoan dimana digelar berbagai macam makanan lesehan. Di satu tempat Allan hentikan langkah dan berkata. "Yang ini aja Git,"
"Kamu Lan!" Gita protes sambil matanya memperhatikan pedagang lesehan. Seorang perempuan gemuk berkulit putih, berwajah bulat. Sanggulnya besar dan rapi. Perempuan ini mengenakan kebaya lurik biru bergaris-garis kecil yang bagian atasnya dipotong rendah hingga lebih dari sebagian dadanya yang gembrot tersingkap menantang.
"Ayo, monggo. Saya Sumi Primbon mengucapkan selamat datang. Silahkan." Perempuan gemuk menyambut Allan dan Gita dengan senyum dikulum dan gerakan tangan menghormat.
"Lan," bisik Gita.
"Kayaknya kamu nyindir aku, nih. "
"Maksud kamu?"
"Masak sih sengaja nyari yang gemuk begitu. Kayak nggak ada yang laen aja. Ogut tersinggung dong!"
Allan tertawa geli.
"Gini Git, biar aku jelasin," jawab Allan setengah berbisik. "Kata nyokapku, perempuan gemuk itu kalau masak biasanya pinter-pinter, pasti enak...!"
"Iyaa!" sahut Gita. "Soalnya masakannya campur keringet!"
Allan tertawa lebar. "Ayo, gimana?"
"Ya udah."
"Monggo, den. Mumpung masih sepi. Nanti kalau sudah ramai nggak dapat duduk." Perempuan gemuk pemilik kedai lesehan kembali mempersilahkan.
Allan dan Gita duduk di hamparan tikar. Pariyem anak perempuan yang membantu di tempat makan lesehan itu segera menghidangkan dua gelas teh panas manis. Sesaat kemudian dua orang lelaki satu berambut gondrong, satunya berambut cepak pendek, sama-sama berjaket, datang dan duduk di seberang Allan dan Gita. Tak lama setelah itu ada dua anak muda bersama seorang cewek bule mampir pula di tempat itu. Hamparan tikar yang cukup lebar kini dipenuhi para tamu.
Sampai semua tamu selesai makan dan pergi, Allan dan Gita masih duduk di tempat lesehan Sumi Primbon.
"Gila, Lan," bisik Gita. "Makanku banyak banget. Ogut jangan-jangan nggak bisa bangun nih."
Allan tertawa. "Aku bilang apa. Perempuan gendut itu masakannya enak. Betul kan?"
Gita cubit lengan Allan.
"Ngaso aja dulu. Siapa tau temen-temen pada bermunculan." Allan minta tambahan teh pada anak perempuan pembantu Sumi Primbon.
"Lan, tadi kamu meratiin nggak?" Gita bertanya, suara perlahan setengah berbisik.
"Apa-an?"
"Lelaki yang rambutnya gondrong. Yang tadi makan di sini sama temennya yang berambut cepak. Yang pake jaket."
"Memangnya kenapa?"
"Aku meratiin, matanya terus-terusan ngeliatin gelang di tangan Ibu itu."
Allan memandang ke tangan kanan Sumi Primbon. Di lengan perempuan gemuk ini melingkar dua gelang emas besar. Berkilat terkena cahaya lampu pertanda masih baru.
"Kayaknya dua orang itu punya niat jahat, Lan. Jangan-jangan mau ngegarong." Bisik Gita.
"Kamu, pikirannya nggak-nggak aja."
Gita cuma runcingkan bibir lalu memperhatikan arlojinya. Allan ikut memperhatikan. "Jam sebelas kurang dikit." Ucap anak lelaki ini. "Cabut?"
Gita menjawab dengan anggukan kepala. Allan merogo kantong blujins kiri belakang, siap mengeIuarkan dompet. Saat itulah Gita mendorongkan sikunya ke pinggang anak lelaki itu. "Lan, orang yang tadi kita omongin," bisik Gita.
Betul apa yang dikatakan Gita. Dua lelaki berjaket yang tadi makan di tempat itu datang kembali. Tapi tidak cuma berdua. Di belakang mereka ada dua orang berseragam Polisi.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Sumi Primbon sambil senyum. "Atau mau nambah, mungkin mau bungkus dibawa pulang?"
Dua lelaki berjaket langsung duduk di depan Sumi Primbon. Yang berambut gondrong berkata. "Kami serse, dari Kepolisian. Ada yang mau kami tanyakan sama mbakyu Sumi. Namanya Sumi 'kan?"
"Sumi Primbon. Semua orang di Malioboro ini kenal saya," jawab perempuan gemuk, masih tertawa, belum tahu perkara apa yang bakal dihadapinya. "Situ mau tanya apa Mas? Aku ini rondho lho." Sumi Primbon masih tertawa. Namun raut wajah perempuan gemuk ini serta merta berubah ketika lelaki berjaket yang berambut cepak berkata.
"Kami mau tanya soal gelang yang dipakai mbakyu itu."
"Gelang?" Sumi Primbon naikkan lengan kanan kebaya luriknya yang dilingkari dua gelang emas masing-masing dua puluh gram. "Gelang saya, kenapa? Ada apa Mas?"
"Tidak baik bicara di sini. Gimana kalau mbakyu ikut kami ke kantor saja." Yang bicara serse berambut gondrong.
"Tapi aku, ya wong lagi jualan. Gimana toh? Ada apa sebenarnya?" Wajah dan suara Sumi Primbon kini tampak cemas.
"Mbakyu, ikut saja ke kantor. Nggak lama...."
Sumi Primbon menyeka keringat yang memercik di keningnya. Dia memandang pada dua anggota serse itu, pada gelang yang melingkar di lengan kanan lalu pada anak perempuan keponakannya, Pariyem. Lalu kembali pada dua lelaki. Di hadapannya.
"Maaf Mas, saya nggak tau ini ada urusan apa. Lagian gimana saya tau kalau Mas berdua ini betulan dari Kepolisian."
Lelaki gondrong menggoyangkan kepalanya ke arah dua orang berseragam Polisi. Sumi Primbon menyerah. Dia berkata pada keponakannya. "Pariyem, kamu tunggu di sini. Jangan pergi sebelum aku kembali."
"Saya Bu De," jawab Pariyem.
Setelah Sumi Primbon dan orang-orang itu pergi, Allan serahkan uang pada Pariyem. Sambil mengambil kembalian Allan bertanya. "Ada apa Budemu dibawa ke Kantor Polisi?"
Pariyem diam lalu menggeleng.
"Aku dengar soal gelang," bisik Gita.
"Nggak tau?" tanya Allan lagi.
"Ah, ora ngerti aku." Kata Pariyem lalu masukkan uang yang dipegangnya ke dalam sebuah tas plastik.
Sambil berjalan di sepanjang Malioboro Allan berkata. "Aku rasa anak itu tau urusan Bu De-nya. Tapi. Nggak mau ngomong..."
"Aku liat wajah anak perempuan itu pucat."
"Ibu gembrot itu lebih pucat lagi. Keringatan. Pasti ada apa-apa. Mungkin dia beli barang curian. Gelang itu..."
"Udah, nggak perlu dipikirin. Mendingan mikirin temen-temen. Brengsek! Nggak sepotongpun yang muncul!" Kata Gita Parwati lalu memegang lengan Allan, menyeberangi jalan ke arah kelompok tukang beca yang menunggu penumpang.
Di kedai lesehannya Pariyem masih berdiri memegangi uang bayaran dari Allan. Anak perempuan ini memandang ke arah perginya Sumi Primbon dan empat polisi. Dia ingat kejadian pagi kemarin. Hari itu kali pertama dia melihat Sumi Primbon mengenakan dua gelang emas baru di tangan kanan. Dia sempat ditegur Bu De nya itu karena terus-terusan memperhatikan tangannya. Lalu pagi itu pula dia membaca berita dalam sebuah koran. Disitu diberitakan tentang lenyapnya secara aneh dua gelang emas milik Sukardi, pengusaha Toko Emas Sinar Terang di Beringharjo. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Bonek Candi Sewu”)
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
DUA BELAS
BUNTUT HADIAH GELANG
UNTUK seketika Sumi Primbon menatap tertegun pada dua orang yang berada di dalam kamar tidurnya itu.
"Mas Broto, kok bisa masuk ke sini?" tanya pedagang lesehan itu heran. Dia berpaling pada Boma.
"Anak ini siapa?"
Pak Broto alias Si Muka Bangkai tidak menjawab. Dia tarik Sumi Primbon ke dalam kamar lalu menutup pintu.
"Siapa di luar sana?" tanya Pak Broto. Nada suaranya cemburu berat. "Kamu bawa lelaki ke sini ya? Awas kamu Sum, Jangan bikin aku muuarrah..."
Sumi Primbon tidak menjawab. Perempuan gemuk ini dudukkan diri di tepi tempat tidur, sesaat menutup wajah dengan dua tangan. Ketika dua tangan diturunkan kelihatan dadanya yang gembrot besar bergerak turun naik. Boma seperti kelagapan menyaksikan pemandangan itu. Wajah Sumi Primbon kemudian kelihatan seperti mau menangis.
"Mas Broto, aku punya masalah...."
"Masalah apa?"
"Gara-gara gelang yang tempo hari Mas Broto kasih saya."
"Gelang? Mana gelang itu?" Pak Broto singsingkan lengan kanan kebaya lurik Sumi Primbon. Dua gelang emas tak ada di lengan itu.
"Gelang itu di Pos Polisi. Disita, katanya sebagai barang bukti."
"Disita? Kok bisa? Polisi gila!"
"Mereka ada di luar Mas. Nungguin aku..."
"Mereka siapa?"
"Polisi. Ada empat orang. Aku dibawa ke Kantor. Katanya gelang itu barang curian. Kecuali kalau aku bisa ngunjukin surat bukti pembelian. Aku bilang gelang itu hadiah orang. Surat bukti belinya ada di rumah. Mereka mengawal aku ke sini. Mas, situ tau sendiri. Gelang itu nggak ada surat-suratnya. Mas Broto memberikan nggak ada surat-suratnya. Aku bingung Mas, jangan-jangan tuduhan Polisi itu betul. Gelang itu barang curian. Aku pernah baca berita di surat kabar...."
"Bilang aja suratnya nggak ada. Hilang, keselip dimana."
Sumi Primbon berpaling pada Boma yang barusan keluarkan ucapan.
"Betul, dia betul. Bilang saja begitu sama Polisi" kata Si Muka Bangkai pula.
"Aku nggak bisa bohong terus-terusan Mas, Aku bisa disel."
"Aku bakar Pos Polisi itu kalau mereka berani menahan kamu tanpa bukti." Ancam Pak Broto alias Si Muka Bangkai.
"Justru mereka minta bukti. Lalu bukti apa aku berikan sama Polisi. Wong gelang ini aku dapat dari Mas Broto. Atau kita keluar sama-sama menemui mereka. Bilang Mas Broto yang memberikan padaku."
Si Muka Bangkai memandang pada Boma. Anak ini gelengkan kepala.
"Mas Broto, jujur aja. Gelang itu Mas Broto beli atau...."
Si Muka Bangkai silangkan jari telunjuk di atas mulut. Di luar sana ada suara orang melangkah mendekati kamar. Lalu terdengar ketukan di pintu.
"Mbakyu Sumi, sudah ketemu suratnya?" Suara orang di luar kamar bertanya.
"Nganu, belum Pak. Nggak tau ketelingsut dimana."
"Kalau tidak ada kita kembali saja ke Kantor."
"Baik, sebentar Pak."
"Gimana sekarang?" Sumi Primbon bingung sekali. Berulang kali dia menyeka keringat yang membasahi wajahnya yang bulat putih. "Pagi ini Polisi memanggil pemilik toko emas yang katanya pernah kehilangan dua gelang emas secara misterius..."
"Apa itu misterius?" Si Muka Bangkai bertanya pada Boma.
"Aneh," jawab Boma.
Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada lalu dua tangan diturunkan kembali dan berkata. "Sudah, kamu ikut saja sama mereka. Aku mencari akal bagaimana caranya menolong kamu..."
"Mas Broto, aku musti tau. Gelang itu memang barang curian atau gimana?"
Si Muka Bangkai gelengkan kepala. Dia pegang bahu Sumi Primbon. Perempuan itu menghindar ketika pipinya hendak dicium. Boma mesem-mesem. Dalam hati berkata. "Dasar ABG, Aki-aki Baru Ganjen. Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya mau nyium."
"Ibu Sumi," ucap Boma. "Gelang di Pos Polisi. Tau disimpan dimana?"
"Eh, kenapa kau bertanya begitu?" ujar Si Muka Bangkai.
Boma angkat tangannya, memandang pada Sumi Primbon. "Ibu...?"
"Mula-mula gelang digeletaki di meja. Lalu dimasukkan dalam laci. Nggak dikunci." Sumi Primbon menerangkan.
"Pos Polisinya di jalan apa?" tanya Boma lagi.
"Dekat Malioboro sana. Ujung sebelah utara. Lupa aku nama jalannya. Pokoknya ujung terusan Malioboro arah nganu... nganu arah jalan Mangkubumi."
"Anak gendeng, kau tanya segala macam, apa yang ada di otakmu?" Si Muka Bangkai kembali bertanya. Karena Boma tidak menjawab akhirnya orang tua ini berkata pada Sumi Primbon.
"Sebelum Polisi curiga, keluar dari kamar ini. Ikut mereka ke Pos Polisi. Aku pasti menolongmu!"
"Mas Broto, pokokke kalau aku sampai susah gara-gara gelang itu hubungan kita putus. Putus!"
"Putus hubungan dengan nyamuk!" celetuk Boma menirukan iklan di televisi. Ketika perempuan gemuk itu memandang padanya dengan mata melotot dan wajah cemberut, Boma pura-pura menowel hidung.
"Aku musti ganti baju. Kebaya ini sudah basah oleh keringat. Kalian berdua keluar dulu."
"Kalau kami keluar, Polisi di luar sana pasti melihat. Sudah kami tetap di sini Saja. Kamu ganti pakaian, kami menghadap ke dinding, membelakangi kamu."
"Ya wes! Cepat balik sana."
Boma dan Si Muka Bangkai segera berpaling menghadap ke dinding. Sumi Primbon membuka lemari, mengeluarkan sehelai kebaya baru. Kebaya yang dipakai, cepat-cepat dibuka. Juga BH nya yang berukuran super besar. Entah sengaja entah tidak Boma gerakkan kepala ke belakang.
"Anak brengsek! Jangan kau berani mengintip perempuan berpakaian!" Si Muka Bangkai pelintir daun telinga Boma hingga anak ini sambil meringis menahan sakit terpaksa hadapkan kepalanya kembali ke arah dinding.
***
BEGITU Sumi Primbon keluar dari kamar, Si Muka Bangkai berpaling ke arah Boma. "Bagaimana aku harus menolong perempuan itu?!" ucapnya.
"Kok tanya sama saya sih. Tadi Pak Broto sendiri bilang sama ibu gemuk itu kalau Bapak pasti bisa menolong..."
"Tadi ya tadi! Aku cuma mau membuat agar dia tidak cemas..."
"Dia memang sudah cemas kok Pak. Saya tau. Sebetulnya Pak Broto takut diputus sama ibu gemuk itu 'kan?"
Si Muka Bangkai mencibir. "Aku bukan nyamuk! Siapa takut diputus hubungan!"
Boma menutup mulut menahan tawa.
"Jangan gitu Pak Broto. Susah nyari yang kayak ibu gemuk itu. Apalagi Pak Broto sendiri bilang gocekannya oke punya!"
"Tai kucing! Kau banyak omong! Tadi kau juga bicara sebakul! Kau tanya tempat penyimpanan gelang. Tanya letak Pos Polisi. Buat apa? Apa kau bisa mengambil gelang itu?"
"Kenapa tidak? Apa sulitnya?"
"Sombong sekali sampeyan!" tukas Si Muka Bangkai. Lalu dia terdiam. "Eh, karena kamu punya batu sakti itu ya?!" Si orang tua menyeringai. "Jelas sekarang! Kau tidak bisa mengibuli diriku! Batu Penyusup Batin itu memang ada padamu!" Si Muka Bangkai terdiam kembali. Lalu. "Kalaupun kau sanggup mengambil gelang itu, itu tidak akan menyelesaikan perkara. Malah tambah sembrawut. Sumi Primbon pasti tetap ditahan sama Polisi."
"Apa lagi kalau Pak Broto sampai membakar Pos Polisi. Apa nggak tambah edan urusannya?!"
"Sinting! Tai kucing!" Si Muka Bangkai memaki panjang pendek.
"Pak Broto, saya punya akal buat nolong ibu gemuk itu..."
"Ibu gemuk! Ibu gemuk! Kau selalu menyebutnya ibu gemuk. Dia punya nama! Sumi Primbon!"
"Ya, ya. Sorry deh Pak. Ibu gemuk itu namanya Sumi Primbon. Pak Broto, saya punya akal..."
"Akal apa? Akal bulus?"
"Saya mau tanya dulu, dua buah gelang yang Pak Broto berikan sama Sumi Primbon itu, Pak Broto dapat dimana?"
"Masakan aku dapat di jalanan! Memangnya ada yang buang-buang gelang emas di jalanan? Orang gila apa!"
"Lalu?" Boma tersenyum.
Si Muka Bangkai berjalan mandar-mandir di dalam kamar.
"Gelang itu aku curi dari sebuah toko emas." Akhirnya si orang tua mengaku memberi tahu.
"Sekarang gelang itu disimpan di laci meja. Di Pos Polisi. Kita harus tukar dengan gelang palsu, tapi bentuknya harus sama."
"Apa kau bilang?"
"Kita harus bisa mengadakan dua gelang palsu. Terbuat dari logam kuning tapi bukan emas. Dan bentuknya harus menyerupai dua gelang yang asli. Berarti kita harus mencari logam kuningan."
"Pekerjaan gila. Dari mana bisa mendapatkan logam itu?"
Boma meraba-raba saku celananya. Dia tidak menemukan apa-apa. Memang tidak punya uang.
"Kamu nyari apa?"
"Koin"
"Apa itu koin?" tanya Si Muka Bangkai.
"Duit logam...."
Si Muka Bangkai merogo saku celana panjangnya. Waktu tangannya ditarik dia mengeluarkan dua buah uang logam. Pecahan seratus perak dan lima ratus perak.
"Nah, ini dia," kata Boma seraya mengambil dua buah uang logam itu. "Tapi kalau dibuat gelang masih kurang. Kita butuh paling sedikit delapan buah. Yang lima ratusan perak."
"Gecel! Aku bisa nyolong di mana saja. Di Malioboro..."
"Pak Broto, sekarang kita atur begini. Kita sama-sama ke Malioboro. Kita pisah di sana. Saya ke Pos Polisi ngambil gelang emas. Pak Broto cari koin lima ratusan..."
"Pekerjaan enteng. Jangankan delapan koin. Seribu koin juga bisa aku dapat. Akan aku aduk seluruh Malioboro!"
"Kita harus cepat. Ingat, saya harus mencari Ibu Renata..."
"Kalau kau mau menolong Sumi Primbon, aku sumpah menolong mencari dan menyelamatkan ibu gurumu itu. Ayo kita pergi."
"Tunggu, satu lagi Pak."
"Apa?" tanya Si Muka Bangkai.
"Urusan colong menyolong ini, menipu polisi, dosanya semua Pak Broto yang tanggung."
"Dosa?" Si Muka Bangkai tertawa mengekeh. "Jauh hari aku sudah tahu kalau diriku ini bakal jadi kayu puntung neraka! Siapa takut segala dosa? Siapa takut pakai baju hitam? Apek-apek begini rambutku nggak ada ketombean!"
Boma tertawa. Dalam hati berkata.
"Tahu juga celepuk satu ini iklan rambut ketombe di televisi."
Si Muka Bangkai membuka pintu kamar. Boma keluar lebih dulu. Sebelum keluar dari kamar Si Muka Bangkai memutar tubuh, berpaling ke arah tempat tidur.
"Ada apa, Pak?" tanya Boma.
Si Muka Bangkai goleng-goleng kepala.
"Seharusnya malam ini aku bisa bersenang-senang dengan Sumi Primbon di atas ranjang ini. Sayang ada musibah. Batal aku kumpul kebo." Si Muka Bangkai lalu tepuk-tepuk kasur tempat tidur seraya berkata. "Maafkan daku ranjangku sayang, ranjangku malang. Hik... Hik... Hik."
Boma mesem-mesem dan geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan si orang tua.
***
Di luar rumah jalan sepi. Udara terasa mencucuk dingin.
"Malioboro pasti cukup jauh dari sini. Kita naik apa?" tanya Boma sambil rangkapkan dua tangan di depan dada menahan dingin.
"Lari. Biar kau aku panggul lagi."
"Kapok!" ujar Boma. "Di depan sana ada beca." Boma menunjuk.
"Siapa yang bakal ngenjot?" tanya Si Muka Bangkai.
"Pak Broto," jawab Boma.
"Enak saja!"
Gerendeng Si Muka Bangkai tapi mengikuti langkah Boma ke arah beca. Di atas beca yang mangkal di pertigaan jalan, pengemudinya setengah-setengah tidur berkelumun kain sarung. Matanya segera nyalang ketika kedua orang itu mendatangi. Sambil turunkan kain sarung dia menyapa.
"Silahken, saya antar kemana...?" Ucapan abang beca ini langsung berhenti begitu dia melihat tampang Si Muka Bangkai. "Oalla... Setan!" Ketakutan setengah mati dia cepat melompat dari atas becak. Tapi Si Muka Bangkai lebih cepat menusukkan dua jari tangan kirinya ke dada si abang becak. Langsung orang ini mendelik, kaku dan gagu.
Boma terkesima kagum.
"Ilmu totokan?"
"Yes!" jawab Si Muka Bangkai keren.
"Ayo bantu aku menggotong ke emperan sana."
"Beres Pak. Dosanya Pak Broto yang tanggung."
"Tai kucing!"
Pengemudi becak yang dalam keadaan kaku dan gagu itu dibaringkan di emperan sebuah bengkel motor. Boma naik ke atas beca.
"Sialan, jadi aku tua bangka ini yang ngenjot?! Kamu yang muda enak-enakan duduk di depan. Kualat kamu! Atau mungkin sudah merasa jadi bos. Bekas Orang Sinting! Ha... Ha... Ha!"
Boma pura-pura tidak mendengar makian dan ejekan itu. Dia duduk sambil berpangku kaki. Tiba-tiba weerrr! Sekali kakinya mengayuh, beca itu melesat kencang. Maklum Si Muka Bangkai bukan mengenjot biasa. Tapi dengan pengerahan hawa sakti tenaga dalam. Boma tersentak kaget. Angin malam menerpa keras seolah dia mengemudikan motor dengan kecepatan 100 Km perjam. Anak ini pegang kuat-kuat besi di kiri kanan beca.
"Ajie gile. Ogut dikerjain?" ucap Boma dalam hati.
Si Muka Bangkai tertawa mengekeh.
"Aku bikin kau sampai terkencing di dalam celana! Ha... Ha... Ha!"
"Wusss!"
Beca melesat deras. Boma merasa seolah roda-roda kendaraan itu tidak menempel lagi di aspal!
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
TIGA BELAS
JANGAN BERAK, JANGAN BEOL
DI PAGI buta itu, Pos Polisi yang terletak di sebelah utara Malioboro hanya ditunggui dua orang anggota Polisi. Yang satu mendengkur di kursi ruang depan, temannya duduk dekat pintu masuk sambil merokok. Seharusnya Sumi Primbon dan empat orang polisi itu akan lebih dulu sampai di Pos Polisi dari pada Boma. Tapi karena untuk satu keperluan Sumi minta diantar dulu ke tempat dagangannya di Malioboro, maka Boma yang Iebih dulu sampai di situ.
Boma menyeberangi jalan, melangkah menuju Pos Polisi. Mula-mula agak ragu. Tapi sampai dia berdiri sejarak satu meter dari hadapan polisi yang merokok, polisi ini tenang saja, terus menikmati rokoknya seolah tidak melihat kehadiran anak lelaki itu di depannya.
Boma mendekat. Dia lambai-lambaikan tangan kirinya di depan muka polisi yang merokok. Tetap saja polisi ini duduk tenang-tenang, menyedot dan menghembuskan asap rokok.
Boma tersenyum. "Berkat Batu Penyusup Batin." katanya dalam hati. Dia tinggalkan polisi yang merokok, masuk ke dalam Pos Polisi. Di ruang depan sejenak anak itu perhatikan polisi bertubuh gemuk yang duduk tidur mengeluarkan suara mendengkur.
Bangunan Pos Polisi itu hanya terdiri dari ruangan depan dan sebuah Kamar. Di ruang depan ada sebuah meja dan kursi butut. Boma melangkah ke arah pintu kamar yang tertutup. Handel pintu ditekan ke bawah lalu pintu didorong. Tapi daun pintu tidak bergerak.
"Brengsek, dikunci!"
Boma memandang berkeliling, mencari-cari. Di atas meja butut tidak ada apa-apa selain satu botol plastik berisi air putih yang tinggal setengah. Di dinding ada beberapa paku. Salah satu paku dicanteli topi pet polisi.
"Kalau kunci sampai nggak ketemu, gagal semua urusan!" kata Boma cemas. Apa boleh buat. Boma harus memeriksa saku pakaian polisi yang tidur.
Mungkin kunci kamar ada dalam salah satu kantongnya. Tapi kalau tidak ketemu berarti polisi yang diluar itu yang memegang. Boma mendekati polisi yang tidur. Dia meraba saku kemeja kiri kanan. Kosong, tidak ada apa-apa. Pindah ke kantong celana. Di salah satu kantong dia hanya menemukan sebuah bolpen.
"Jangan-jangan di kantong celana belakang. Wah susah, gimana ngerogonya?"
Hati-hati Boma putar ke kanan tubuh gemuk yang tidur dalam keadaan duduk itu. Dengkuran sang polisi mendadak berhenti. Boma yang siap memasukkan tangannya ke kantong celana untuk menarik dompet cepat-cepat membatalkan niat. Polisi itu menggeliat lalu tidur lagi. Boma tukar siasat. Badan si polisi tidak diputar, tapi kini kursi yang diduduki polisi itu yang didorong. Tidak gampang mendorong kursi yang dibebani tubuh gemuk berbobot sekitar 90 Kg itu. Celakanya ketika berhasil digeser empat kaki kursi keluarkan suara cukup keras.
Polisi yang di luar berdiri, masuk ke dalam. Diperhatikannya temannya yang tidur di kursi yang saat itu kembali mulai mendengkur.
"Heran, suara apa tadi?" Polisi ini berucap sendiri lalu ambil botol plastik di atas meja dan meneguk air di dalamnya. Setelah itu dia kembali duduk di dekat pintu Pos.
Walau kursi hanya bergeser sedikit, tapi Boma kini bisa menyusup di belakang kursi. Hati-hati, perlahan-lahan dia tarik dompet yang ada di dalam kantong kiri belakang. Berhasil. Dompet diperiksa. Kunci yang dicarinya tidak ada. Dompet itu hanya berisi beberapa kartu nama dan kertas yang dilipat-lipat.
"Nggak ada duitnya, Miskin amat. Sama dengan ogut." Boma masukkan dompet kembali ke dalam saku kiri belakang. Kini tinggal kantong celana kanan belakang yang belum diperiksa. Boma luruskan lima jari tangan kanan lalu disusupkan ke dalam kantong itu. Dalam tidurnya si polisi sempat merasa kegelian hingga tubuhnya tersentak-sentak beberapa kali. Di kantong ini Boma juga tidak menemukan kunci yang dicarinya.
"Apes! Jangan-jangan dibawa pulang sama komandan Pos. Atau Polisi yang satu itu yang nyimpan. Gimana aku memeriksanya. Kalau Pak Broto ada bisa saja dibuat kaku pakai ilmu totokannya," Boma melangkah mundar-mandir. Dia ingat Sumi Primbon yang berangkat duluan, tapi tidak ada di Pos Polisi itu.
Boma memandang ke dinding, memperhatikan paku-paku yang menancap di situ. Lalu dia perhatikan topi pet polisi yang tergantung di dinding kanan. Langkahnya mundar-mandir dihentikan. Anak ini menghampiri topi pet yang tergantung di paku lalu menariknya.
"Nah!"
Sepasang bola mata Boma berbinar.
Pada paku yang dipakai untuk menggantung topi pet itu tergantung pula sebuah kunci. Boma cepat mengambilnya lalu menyorongkan ke lobang kunci. Kunci diputar.
"Klik!"
Kunci pintu terbuka. Boma menekan handel pintu ke bawah lalu mendorong. Daun pintu bergerak. sesaat kemudian Boma sudah ada di dalam kamar. Sebuah meja terletak di sudut kanan, mepet ke dinding. Di atas meja ada mesin tik tua, kertas-kertas dan sebuah cangkir porselen bekas berisi kopi. Di sebelah kiri ada seperangkat sofa butut tanpa meja.
Sasaran Boma adalah meja kerja yang ada di tempat itu. Dia ingat keterangan Sumi Primbon. Dua gelang emas di simpan di dalam laci meja. Ternyata meja itu punya dua laci.
Perlahan-lahan Boma menarik laci sebelah kanan. Matanya melotot melihat benda yang ada di dalam laci itu. Tangannya gemetar mengangkat benda itu yang ternyata adalah sepucuk pistol. Jenis Colt 38.
"Ajie gile. Ini yang namanya beceng. Baru sekali ini ogut bisa megang," kata Boma. (beceng = pistol) Hati-hati senjata itu dimasukkan kembali ke dalam laci.
Boma beralih ke laci meja sebelah kiri. Di dalam laci ini hanya ada satu bungkusan kertas. Tak ada gelang emas. Kening Boma berkerut. Bungkusan kertas diambil. Lalu dibuka. Dua gelang emas yang masih baru berkilauan dibawah cahaya lampu. Cepat-cepat, perhiasan ini dibungkus kembali. Saking girangnya, ketika hendak keluar tak sengaja pinggul Boma menyentuh kursi yang ada di belakang meja. Kursi ini tersandar ke dinding mengeluarkan suara keras. Boma cepat betulkan letak kursi. Polisi gemuk di dalam Pos masih terus mendengkur. Tapi kawannya yang diluar sudah bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam. Otak Boma langsung jalan. Gelang emas yang dibungkus kertas cepat-cepat dimasukkan kembali ke dalam laci kiri meja. Lalu anak ini tegak mendekam di sudut kamar.
Polisi yang masuk merasa heran ketika dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Masuk ke dalam kamar dia segera memeriksa dua buah laci. Hatinya lega ketika mendapatkan pistol dan dua gelang emas masih ada di tempat itu.
Setelah polisi tadi duduk kembali di depan Pos, Boma ambil lagi dua gelang emas dari dalam laci lalu keluar dari kamar. Kunci pintu digantungkannya di paku semula, ditutup dengan topi pet dan kamar dibiarkan tetap tidak terkunci.
***
DI DEPAN Hotel Garuda, tempat janji bertemu, Boma tidak menunggu lama. Pak Broto muncul membawa sebuah kantong plastik mengeluarkan suara berkerincing. Tapi si orang tua tampak bingung, menoleh kian kemari, memandang ke halaman dalam hotel.
"Mendadak buta 'kali orang ini," membatin Boma.
"Pak Broto, saya di sini!"
Pak Broto palingkan kepala ke arah datangnya suara. Tapi masih mencari-cari. Boma ingat. "Astaga, sampai lupa!" Cepat tangan kirinya diusapkan satu kali ke bahu kanan tempat terletaknya Batu Penyusup Batin. Detik itu juga sosoknya nyata terlihat kembali.
"Anak gendeng, kau mempermainkan aku!" Pak Broto mendekat bersungut-sungut. Dia maklum kalau barusan Boma telah mempergunakan kesaktian Batu Penyusup Batin untuk menghilang dan memunculkan diri.
"Dapat koinnya?" tanya Boma.
Pak Broto ulurkan kantong plastik yang dipegang. Boma memeriksa.
"Busyet! Banyak banget. Ini sih bisa bikin gelang sebaskom!"
Pak Broto tertawa lebar. "Gelangnya dapat?" tanyanya.
"Ada di dalam kantong," jawab Boma.
"Sekarang apa yang kita lakukan?"
"Kita cari tempat yang aman. Kita, maksud saya Pak Broto harus mampu membuat tiruan dua gelang emas dengan uang Iogam ini..."
"Gila, mana mungkin! Kamu kira aku ini pandai emas apa!"
"Ssst... Pasti bisa. Di Jakarta banyak orang bikin cincin dengan koin lima ratusan...."
"Mereka punya alat."
"Pak Broto juga punya alat." Jawab Boma.
"Gila! Aku punya alat apa? Aku cuma punya pentungan pendek! Hik... Hik... Hik. Itupun tidak bisa dipakai kalau nggak nenggak Majun Arab Iebih dulu."
Boma tertawa geli.
Di satu tempat sepi di tepi kali, Boma berhenti. Setelah menoleh berkeliling untuk memastikan tempat itu aman dan tidak ada orang lain, dari saku celana Boma keluarkan dua gelang emas dalam bungkusan kertas.
"Ah..." Pak Broto keluarkan suara pendek tertahan. "Pak Broto, Bapak punya kesaktian, Bapak sanggup mengalirkan hawa panas. Ambil empat uang logam lima ratusan. Bikin leleh dengan kesaktian Bapak. Bikin tiruan gelang emas itu. Pak Broto pasti bisa"
Si Muka Bangkai terkesiap kaget.
"Gila, jangan bicara ngacok! Aku tidak pernah melakukan yang beginian! Mana mungkin!"
"Pak Broto bisa. Ayo Pak, waktu kita singkat sekali!" Si Muka Bangkai pandangi wajah Boma sesaat. Sambil geleng-geleng kepala orang tua ini keluarkan empat uang logam lima ratusan. Boma ambil bungkusan plastik hitam dari tangan kiri Pak Broto sementara Pak Broto mulai menggenggam empat uang logam ditangan kanannya. Sesaat dia merasa bimbang memandang ke arah Boma.
"Bisa Pak, Pak Broto pasti bisa!" Boma meyakinkan. "Demi Sumi Primbon Pak. Demi cemceman Bapak! Ayo!"
Mendengar disebutnya nama Sumi Primbon, seperti dapat semangat Si Muka Bangkai dongakkan kepala ke langit. Mata dipejam. Tubuh dan lengan kanannya bergetar ketika dia mulai mengalirkan tenaga dalam mengandung hawa panas sakti ke dalam genggaman tangan kanan. Boma memperhatikan dengan tidak berkedip, sesaat kemudian dari genggaman tangan itu mengepul asap berwarna kekuningan. Untuk pertama kalinya Boma melihat wajah pucat putih Pak Broto berubah kemerahan dan diperciki keringat pertanda dia tengah mengerahkan satu kekuatan tenaga dalam mengandung hawa panas luar biasa. Ketika lima jari yang menggenggam dibuka, Boma melihat empat uang logam lima ratusan lenyap. Berubah menjadi cairan leleh berwarna kuning. Luar biasa!
"Sudah leleh Pak. Sekarang cairan logam itu harus dipulung-pulung. Dibentuk menyerupai gelang ini." Boma tunjukkan satu dari dua gelang emas dan meletakkannya di telapak tangan agar bisa dilihat jelas oleh Pak Broto. Orang tua ini melakukan apa yang dikatakan Boma. Cairan uang logam yang panas, seolah tanah liat mulai dipulung-pulung membentuk gelang emas.
"Jadi!" Si Muka Bangkai berseru dan memperlihatkan hasil pekerjaannya pada Boma.
Boma memperhatikan "Kok lain, Pak?"
“Apanya yang lain?”
"Ukurannya hampir sama. Tapi bentuknya berbeda. Yang asli lebih apik..."
"Lalu, musti bagaimana? Aku robah lagi mumpung masih lembek?"
"Jangan yang itu. Yang asli yang dirobah. Pasti lebih mudah dan bisa lebih menyamai yang palsu."
"Anak gendeng! Otakmu encer juga! Itu yang justru aku mau lakukan!" Si Muka Bangkai ambil gelang emas asli yang ada di atas telapak tangan Boma. Dengan ujung jarinya gelang ini diusap-usap. Gelang Mengepulkan asap kuning. Sesaat kemudian gelang yang asli itu bentuknya telah berubah menjadi lebih sederhana, menyerupai gelang yang dibuat dari uang logam lima ratusan.
"Nah, bagaimana menurutmu?" tanya Pak Broto.
"Sudah bagus. Tapi ada yang masih kurang. Gelang emas kok warnanya butek amat. Bisa dibuat mengkilap nggak? Warnanya dibikin lebih kuning."
"Wah, pecah otakku! Gimana caranya?"
"Dikawinin Pak. Ingat Bapak pernah cerita mengusap Batu Penyusup Batin palsu dengan yang asli?"
Si Muka Bangkai terbelalak lalu tertawa mengekeh.
"Anak Gendeng! Otakmu luar biasa!" Gelang palsu dipegang di tangan kiri. Yang asli di tangan kanan. Lalu orang tua sakti ini kerahkan tenaga dalam dan mulai menggosok-gosokkan dua gelang itu satu sama lain. Untuk kesekian kalinya muncul kepulan asap kuning.
"Sudah! Lihat!"
Si Muka Bangkai angsurkan dua telapak tangan yang dikembangkan ke arah Boma.
"Hebat, yang asli dan yang palsu hampir nggak keliatan bedanya." Ucap Boma. "Sekarang tinggal bikin satu lagi Pak."
"Tunggu dulu," ucap Si Muka Bangkai.
"Ada apa?"
"Aku kebanyakan mengerahkan tenaga dalam. Nafasku sesak. Perutku jadi mulas. Aku mau buang air dulu ke kali sana."
"Ala Mak...! Tahan Pak. Tolong ditahan. Waktu kita singkat. Bikin satu gelang lagi. Yang palsu saya bawa ke Pos Polisi, yang asli Bapak ambil, serahkan pada Sumi Primbon"
"Kalau aku kebanyakan ngeden lalu berak di celana, aku nggak jamin!"
"Jamin Pak, jamin Bapak pasti nggak berak. Ayo Pak. Cepatan. Nanti keburu siang, Gelang palsu harus sudah ada di laci meja Pos Polisi sebelum polisi datang."
"Aku jamin mereka tidak akan datang lebih cepat dari kita," jawab Si Muka Bangkai sambil menyeringai.
"Kok Pak Broto tau?"
"Wong aku papasan sama mobil mereka di tengah jalan. Bannya aku gembosi. Hik... Hik... Hik..." Habis tertawa Si Muka Bangkai ambil empat buah uang logam lima ratusan dari dalam kantong plastik hitam. Lalu dongakkan kepala, pejamkan mata dan kepalkan jari-jari tangan kanan. Siap-siap membuat gelang emas tiruan yang kedua.
Boma memperhatikan. Dalam hatinya anak ini berucap terus menerus. "Jamin... Jamin. Jangan berak, jangan beol, Jangan berak, jangan beol!"
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
EMPAT BELAS
SUMI PRIMBON TERTOLONG
JAM delapan kurang lima keesokan paginya, Sukardi pemilik Toko Mas Sinar Terang di Pasar Beringharjo sampai di Pos Polisi, langsung masuk ke kamar kerja Komandan Pos. Di situ sudah ada Sumi Primbon yang datang sejak menjelang pagi. Wajah perempuan gemuk ini tampak pucat dan keletihan. Konde besar di atas kepala sudah miring ke kiri dan bibir yang selalu merah kini kelihatan kering tidak ada sentuhan lipstick. Selain Komandan Pos Serka Dulrohim Partowiluyo yang duduk di belakang meja kerja, di kamar itu juga ada dua orang anggota Serse yang malam tadi menemui Sumi Primbon di Malioboro.
Komandan Pos Polisi memberi tahu pada pemilik toko mas bahwa pemanggilannya adalah untuk dimintai keterangan. Sekaligus sebagai saksi dalam peristiwa raibnya dua gelang emas miliknya.
"Walau Pak Sukardi memang tidak melapor pada Kepolisian, kami mengetahui perkara kehilangan dua gelang emas itu melalui berita di surat kabar. Kasus sekarang menjadi bukan perkara yang bersifat delik aduan. Jadi kami harus berlaku tanggap dan memanggil Pak Sukardi. Saya harap Pak Sukardi tidak keberatan untuk menjawab beberapa pertanyaan."
"Tidak, saya tidak keberatan," jawab Sukardi.
"Tadi malam anggota kami secara tidak sengaja menemui dua gelang emas, dipakai oleh Ibu ini. Ibu Sumi Primbon pedagang lesehan di Malioboro. Kehadirannya di sini adalah untuk memberi keterangan. Tapi jika keterangan dan kesaksian Pak Kardi nanti memberatkan dirinya, maka Ibu Sumi Primbon bisa-bisa jadi tersangka dan mulai hari ini kami tahan..."
Mendengar kata-kata Serka Dulrohim itu Sumi Primbon langsung menggerung. Diantara sesenggukannya dia berkata. "Jangan, jangan saya ditahan, Pak. Saya tidak punya salah apa-apa. Saya tidak mencuri gelang emas itu. Saya dikasih. Dihadiahi seorang kenalan. Saya nggak tau dimana dia sekarang. Waktu memberikan gelang ada selembar kertas. Surat pembelian. Tapi surat itu hilang . Nggak tau keselip dimana. Saya sudah mencari di rumah, nggak ketemu. Bapak-bapak ini tau Semua..." Sumi Primbon menunjuk dengan ibu jarinya ke arah dua orang anggota Serse yang menjemputnya di Malioboro tadi malam.
"Ibu Sumi, tenang saja. Tenang. Kalau Ibu tidak bersalah tidak usah takut..."
"Saya tidak mau ditahan. Saya memang tidak salah."
Serka Dulrohim anggukkan kepala. Lalu membuka laci meja sebelah kiri, mengeluarkan bungkusan kertas berisi dua gelang emas. Perhiasan itu diperhatikannya sejenak. Agak lama. Ada sesuatu yang tidak dimengertinya tapi tak tahu apa. Dua gelang emas itu akhirnya diletakkan di atas meja, diangsurkan ke arah Sukardi.
"Coba Pak Kardi perhatikan baik-baik, apa benar ini dua gelang emas milik Pak Sukardi yang tempo hari katanya hilang secara aneh?"
Pemilik Toko Mas Sinar Terang itu mengeluarkan kaca mata, memakainya lalu memperhatikan dua gelang emas dengan sangat teliti. Perhiasan itu diusap-usap berulang kali. Hatinya meragu. Dia melirik ke arah Sumi Primbon. Perempuan gemuk ini juga tengah memperhatikan dua gelang emas itu sementara di dalam hati dia berkata. "Heran, kayaknya bukan itu gelang yang diberikan Mas Broto. Yang tadi malam diambil Polisi."
"Bagaimana Pak Kardi?" tanya Serka Dulrohim.
"Sebentar," jawab pemilik toko emas. Dari dalam saku celananya dia keluarkan sebuah benda berbentuk batu asahan kecil. Salah satu gelang emas digosokkannya ke batu asahan itu. Bekas gosokan diperhatikan dengan sangat teliti. Sukardi geleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana Pak Kardi?" tanya Serka Dulrohim kembali.
"Sebentar Pak. Saya ingin lebih memastikan. Ijinkan saya memotong salah satu dari gelang ini. Nggak usah kawatir, nanti tukang saya bisa sambung kembali."
Dari dalam kantong kemejanya Sukardi mengeluarkan sebuah benda berbentuk tang kecil.
"Kreekk!"
Salah satu dari dua gelang diputus Sukardi dengan tang itu. Ketika melihat bagian dalam kutungan gelap, Sukardi menarik nafas dalam.
"Palsu Pak," katanya. "Gelang ini palsu. Bukan emas. Bahannya logam dengan kadar kuningan tinggi campur sedikit suasa. Saya pasti ini bukan gelang jualan saya yang hilang. Bentuk dan buatannya kasar. Saya punya jauh halus, jauh bagus dari ini. Ini buatan kampungan."
Serka Dulrohim terdiam. Sumi Primbon tercengang. Serse berambut gondrong mengambil gelang yang baru diputus lalu dicium-cium. "Memang bau tembaga," katanya.
"Bagaimana gelang satunya?" tanya Serse berambut cepak.
"Nggak usah saya periksa. Melihat saja sudah tau gelang itu juga palsu," jawab Sukardi.
"Bu Sumi," tiba-tiba Serka Dulrohim menyapa perempuan gemuk pedagang lesehan di Malioboro itu. "Apa benar ini gelang yang dihadiahi kenalan Ibu?"
Sumi tak segera menjawab karena masih diselimuti rasa heran. Jelas-jelas itu bukan dua gelang yang pernah diberikan Mas Broto padanya. Walau dua gelang itu terbuat dari emas asli, tapi mengapa kini bentuknya jadi begitu buruk.
"Anu Pak, gelang itu. Tadi malam..."
Hampir terlepas ucapan Sumi Primbon bahwa dua gelang emas itu tidak sama dengan yang pernah diberikan Mas Broto, dan yang disita Polisi tadi malam. Tiba-tiba di telinga kiri Sumi Primbon ada suara orang berbisik.
"Bu Sumi, bilang aja itu memang gelang yang diberikan Pak Broto. Jangan sampai salah bicara."
"Anu bagaimana Bu Sumi?" tanya Serka Dulrohim.
"Maksud saya benar sekali. Dua gelang itu perhiasan yang dihadiahi kenalan saya. Tadi malam orang Bapak mengambilnya dari saya."
"Siapa nama kenalan Ibu Sumi itu?"
"Mas Broto."
"Orangnya kerja dimana?"
"Saya kurang tau Pak."
"Mosok sih dihadiahi gelang kerjanya Bu Sumi nggak tau."
"Bilang saja kerja di kapal." Kembali ada bisikan di telinga Sumi Primbon.
"Nganu Pak. Kalau nggak salah Mas Broto kerja di kapal."
"Hmmm, begitu? Alamatnya tau?" tanya Serka Dulrohim lagi.
"Di Jakarta, bilang di Jakarta. Tapi jelasnya nggak tau." Lagi-lagi ada bisikan menuntun Sumi Primbon.
"Di Jakarta Pak. Tapi jelasnya saya nggak paham."
Serka Dulrohim ambil dua gelang emas lalu dibungkus kembali dengan kertas putih yang sudah Iusuh.
"Baiklah Pak Sukardi. Dari pertemuan ini jelas dua gelang emas ini selain palsu, juga bukan sebagai milik jualan Pak Sukardi yang lenyap. Jadi akan saya kembalikan ke Ibu Sumi Primbon. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan Pak Kardi. Seandainya ada perkembangan baru mungkin kami akan memanggil Pak Kardi kembali."
"Saya selalu siap Pak," jawab si pedagang emas lalu menyalami Kepala Pos Polisi itu dan anak buahnya. Sebelum meninggalkan ruang dia berkata pada Sumi Primbon kalau gelang yang tadi dipotong mau disambung kembali silahkan datang ke tokonya. Sumi Primbon mengangguk dan ucapkan terimakasih.
Setelah Sukardi pergi Serka Dulrohim menyerahkan bungkusan dua gelang pada Sumi Primbon.
"Bu Sumi, gelang saya serahkan kembali. Rupanya kenalan Ibu itu mendustai Ibu. Memberi gelang emas nyatanya palsu. Dari tembaga yang dipoles."
"Sebelumnya saya nggak tau Iho Pak kalau itu emas palsu. Kalau cuma tembaga buat apa saya ambil."
"Bu Sumi, gelang itu harus diambil. Jangan ditinggal." Terdengar lagi bisikan di telinga Sumi Primbon.
"Jadi gelang palsu ini mau ditinggal?" Serka Dulrohim bertanya.
"Begini Pak, walau gelang-gelang itu palsu, hanya tembaga, tapi karena hadiah orang biar saya ambil lagi. Anggap saja kenang-kenangan pahit. Yang jelas saya nggak bakal lagi mau kenal dan mau ketemu dengan Mas Broto penipu itu."
"Kalau begitu silahkan diambil..."
Sumi Primbon mengambil kedua gelang lalu melingkarkan di lengan kanannya. "Saya boleh pergi sekarang? Saya nggak ditahan?"
"Tidak, Ibu Sumi tidak ditahan. Ibu Sumi tidak punya salah apa-apa. Malah telah jadi korban penipuan orang."
"Saya mohon diri,"
Sumi Primbon bangkit berdiri, membungkuk dalam hingga dadanya yang besar putih membuyut seperti mau melompat. Mata Serka Dulrohim yang kurang tidur tadi malam serta merta terpentang lebar.
"Saya mohon diri. Terima kasih Pak, semuanya..."
"Kapan-kapan kami boleh mampir di Malioboro?" tanya Serse yang kepalanya cepak.
"Ditunggu Pak. Makan sepuasnya gratis."
"Yang lainnya ada yang gratis nggak?" tanya Serse berambut gondrong jahil.
"Tinggal nyebutkan apa maunya, pasti gratis," jawab Sumi Primbon sambil merapikan konde besarnya lalu tertawa genit.
***
SEWAKTU Sumi Primbon kembali ke rumahnya, Pak Broto lagi-lagi sudah berada di dalam kamar. Langsung perempuan gemuk ini menyemprot.
"Udah jelek, nipu lagi!"
"Eh, siapa yang kamu maksud jelek dan nipu?" tanya Pak Broto.
"Siapa lagi? Pura-pura! Kamu! Gelang emas yang kamu kasih itu dua-duanya palsu. Bukan emas tapi tembaga!"
"Tunggu, jangan salah sangka Sum. Semua ini memang sudah diatur agar rahasia tidak terbuka."
"Rahasia? Memangnya ada rahasia apa? Sudah, aku nggak suka kamu lama-lama di sini. Pergi, jangan berani balik. Jangan berani datang ke Malioboro! Hampir aku jadi narapidana! Masuk bui! Gara-gara kamu! Tua bangka jelek! Bau!"
"Owallah Sum.... Sumi. Dengar dulu, aku mau kasih keterangan. Tapi aku mau tanya, anak itu mana? Tidak sama-sama kamu?"
"Anak yang mana?! Siapa?!"
"Anak yang malam tadi datang ke sini bersamaku. Boma..."
"Aku nggak tau!"
"Pak Broto, saya ada di sini," satu suara terdengar lalu sosok Boma muncul di dalam kamar. Tangan kirinya menenteng kantong plastik hitam berisi uang logam lima ratusan.
"Oo dia?" ucap Sumi Primbon sambil pencongkan mulut. "Sekarang sudah ketemu. Ayo pergi sana. Dua-duanya!"
"Sum, anak ini yang nolong kamu. Kalau tidak kamu sudah jeblos masuk bui!"
"Nggak percaya aku! Nggak ada yang nolongi aku. Kau sendiri enak-enakan di sini!"
"Bu Sumi, Pak Broto nggak bohong. Kami berdua mengatur siasat. Pak Broto kerja lain, saya nemani Ibu. Saya yang ngebisiki Ibu waktu di Pos Polisi."
"Apa?!" Sumi Primbon kaget. Dia ingat bisikan yang beberapa kali masuk ke telinganya waktu ditanyai Serka Dulrohim.
"Nggak ngerti aku. Kau bilang ngebisiki, tapi aku nggak ngeliat kamu di kantor Polisi di sana."
"Boma, ceritakan saja sama dia. Mulai dari kau mengambil dua gelang emas dari laci meja di Pos Polisi. Aku mencari uang logam, lalu kita membuat gelang tiruan.."
"Ah, baiknya biar Pak Broto saja yang cerita. Saya mau pergi. Saya musti mencari Ibu Renata."
"Kau mau mencari kemana?"
Boma menggeleng. "Saya memang nggak tau. Tapi kalau cuma diam saja, mana mungkin bisa."
Boma letakkan kantong plastik berisi uang logam di tepi tempat tidur. Lalu dari dalam saku celananya dia keluarkan dua gelang emas asli milik Sumi Primbon yang bentuknya sudah berubah. Gelang itu diletakkannya di samping kantong plastik.
"Ini gelang milik Ibu. Benar-benar emas. Cuma bentuknya sudah dirobah, disamakan dengan yang palsu. Kalau ibu pakai lagi, tidak ada yang curiga..."
"Bocah edan! Jadi itu maksudmu menyuruh aku agar merubah gelang asli lalu menyamakan gelang palsu dengan yang asli itu! Otakmu cerdik sekali."
Boma tersenyum. "Pak Broto, Ibu Sumi, saya mohon diri..."
"Tunggu dulu, aku mau tahu cerita jelasnya," ucap Sumi Primbon. Tapi Boma sudah keluar dari kamar.
"Anak gendeng! Jangan pergi sendirian! Orang mengincar nyawamu! Biar kutemani!"
Pak Broto alias Si Muka Bangkai mengejar keluar. Tapi Boma tak kelihatan lagi.
"Anak itu, pasti dia menggunakan kesaktian batu itu. Ah, kemana aku harus mencarinya."
"Mas Broto," suara Sumi Primbon terdengar di samping. "Mungkin tadi aku kesusu marah. Aku beneran nggak tau kalau Mas Broto sama anak itu telah menolongku. Aku... Mas, biar seger apa nggak mandi dulu?"
Si Muka Bangkai tersenyum.
"Maunya sih begitu. Mandi basah mandi kering. Hik... Hik! Tapi aku sudah janji sama anak itu. Malah sumpah! Kalau dia menolongmu dari tangan Polisi aku akan menolong menyelamatkan ibu gurunya yang diculik! Aku harus pergi Sum. Nanti aku balik...."
"Aku kangen lho Mas," ucap Sumi Primbon perlahan dan lirih.
Hati Mas Broto tergetar juga. Tapi dia tidak mau mengingkari janji dan sumpah.
"Nanti malam aku datang. Aku harus nyari Majun Arab dulu. Nggak dapat Majun Arab aku nggak kembali. Percuma...." Sumi Primbon masih berusaha menahan tapi sang Mas Broto sudah keburu pergi.
"Nanti malam aku datang. Aku harus nyari Majun Arab dulu. Nggak dapat Majun Arab aku nggak kembali. Percuma...." Sumi Primbon masih berusaha menahan tapi sang Mas Broto sudah keburu pergi.
***
KETIKA Allan dan Gita sampai ke Wisma di Jalan Kolonel Sugiyono pada jam 12.05 malam, Wisma berada dalam keadaan sepi. Tidak seorangpun teman-teman mereka ada di situ. Seorang karyawan Wisma yang kemudian ditemui memberi tahu berita yang sangat mengejutkan kedua pelajar SMU Nusantara III. Ibu Renata diculik, sekarang entah berada di mana. Boma pergi tidak tahu kemana, mungkin mengejar ke Candi Sewu.
"Tuh, Lan. Betul nggak?" kata Gita sambil memegang lengan Allan. Tubuhnya mendadak terasa lemas. "Aku bilang apa waktu di Malioboro. Perasaanku nggak enak. Pantes si Andi sama si Firman ditungguin nggak muncul-muncul!"
"Anak-anak yang lain?" tanya Allan.
"Tadi ada anak-anak diantar sama mobil Wisma ke Kantor Polisi untuk melapor. Mereka kembali setengah jam lalu. Langsung berangkat ke Candi Sewu, diantar empat orang petugas Kepolisian." Menerangkan karyawan Wisma. Lalu menambahkan. "Tak lama setelah anak-anak dan Polisi berangkat ke Candi Sewu, Pak Sanyoto datang. Saya beri tau apa yang terjadi. Pak Sanyoto langsung pergi lagi. Katanya juga mau ke Candi Sewu."
"Ah. Kalau si Umar itu sih gak gue pikirin," kata Gita lalu anak perempuan ini tekapkan dua tangan ke wajahnya yang gemuk berminyak beberapa saat. Tanpa menurunkan tangan dia berucap suaranya seperti mau menangis. "Kok musibah enggak habis-habisnya sih? Lan, kita... Kita mau ngapain sekarang?"
"Maunya sih nyusul ke Candi Sewu. Tapi aku nggak tau jalan."
Gita turunkan tangannya, memandang pada karyawan Wisma. Lelaki ini maklum arti pandangan Gita, "Maaf mbak. Saya nggak bisa nolong. Saya tugas sendirian malam ini."
"Gini aja Git," kata Allan. "Kita cari kendaraan apa aja. Taksi kek, omprengan kek. Yang penting kita musti nyusul ke Candi Sewu. Aku kasihan sekali sama Ibu Renata..."
Ketika kedua anak itu hendak beranjak pergi, karyawan Wisma cepat berkata. "Candi Sewu jauh dari sini. Saya sarankan sebaiknya tunggu di Wisma. Jauh malam begini sulit cari kendaraan ke sana."
Allan dan Gita dalam bingungnya tidak bisa menjawab. Tidak tahu mau berbuat apa lagi. Tapi cuma sesaat. Ketika Gita menarik tangan Allan, anak ini ikut melangkah ke luar Wisma. Di halaman Wisma di depan teras Allan melihat sebuah sepeda motor Honda Astrea diparkir. Kelihatannya masih baru.
"Itu motor siapa?" tanya Allan pada karyawan Wisma.
Mula-mula karyawan ini tak mau menjawab. Tapi akhirnya memberi tahu kalau motor itu miliknya.
"Saya pinjam."
"Bensinnya nggak ada," menerangkan si karyawan. Mungkin dia hanya bohong karena tak mau memberi pinjam.
"Saya beliin!" jawab Allan. Mukanya yang jerawatan kini kelihatan sangar.
"Katanya nggak tau jalan."
"Nanya-nanya pasti ketemu. Segimana sih besarnya Jogja ini!" sahut Allan yang jadi kesal karena orang yang dimintai tolong selalu mencari dalih.
Segan-seganan akhirnya karyawan Wisma mengeluarkan kunci motor dari saku celananya. Waktu menyerahkan kunci orang ini berkata. "Hati-hati. Kreditnya belum lunas."
Duduk di belakang Allan, sebelum motor meluncur keluar dari pintu depan Wisma, Gita sempat bertanya. "Lan, seinget aku kamu nggak punya SIM."
"Ada, SIM delman," jawab Allan sambil nyengir lalu membedal gas Honda Astrea.
Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Allan dan Gita keluar dari pintu gerbang Wisma di Jalan Kolonel Sugiyono itu.
***
BASTIAN TITO
BARA DENDAM CANDI KALASAN
LIMA BELAS
DUA MAKHLUK MEMBEKAL BARA DENDAM
MULUT termonyong-monyong meniup harmonika. Tangan kiri menggoyang rebana yang ada kerincingan, ditimpal tangan kanan sesekali menepuk gendang kecil yang digantung di bawah perut, kakek berambut pirang kaku melangkah meliuk-liuk sambil pantat diogel-ogel. Di sebelah depan perutnya, sebuah anting menyantel di pusarnya yang bodong. Di belakang punggung tergantung sebuah payung kertas. Kalau hal ini terjadi siang hari dan di tempat ramai pasti banyak orang akan mengikuti langkah si kakek.
Saat itu malam hari, sunyi dan dingin. Langit pekat menghitam. Kegelapan menyelimut dimana-mana. Si kakek aneh terus saja berjalan meliuk-Iiuk sambil meniup harmonika, menggoyang rebana, menabuh gendang.
Di satu kelokan jalan, dekat kerimbunan semak belukar si kakek hentikan langkah lalu duduk menjelepok di tanah.
"Capek ah... istirahat dulu ah...." ucapnya.
Dia meraba saku jaket blujins sebelah kanan. Dari dalam saku jaket itu dikeluarkannya sebuah pisang rebus yang sudah medel. Kulit pisang dikupas lalu makanlah si kakek dengan mulut mengeluarkan suara berciplak keras.
Habis pisang dimakan, kakek ini julurkan kaki, usap perut beberapa kali. "Lumayan, buat ganjalan sampai menjelang pagi. Mudah-mudahan saja besok pagi ada rejeki makanan besar menanti." Lalu dia menguap lebar-lebar, menggeliat dan pejamkan mata seperti orang mau tidur namun di lain saat mulutnya kembali keluarkan suara.
"Perjalanan masih cukup jauh. Makhluk yang menguntit diriku sejak tadi, apakah kamu mau unjukkan diri atau mau terus saja sembunyi?"
Si kakek bicara sambil matanya memandang berkeliling.
Setelah menunggu beberapa ketika tak ada jawaban si kakek kembali berkata. "Ah, tak ada jawaban. Tidak apa. Mungkin malu unjukkan diri karena tampangnya jelek. Bopeng barang kali! Hik... Hik... Hik! Mungkin juga yang menguntit bukan manusia tapi setan yang tidak punya wajah! Hik... Hik... Hik!"
Tiba-tiba sesiur angin bertiup. Bau harum semerbak menebar di tempat itu hingga si kakek kembang-kempis cuping hidungnya menghirup-hirup.
"Bau harum. Tapi bukan harumnya menyan. Berarti bukan setan kuburan yang lagi gentayangan," kata si kakek perlahan. Lalu dengan suara lebih keras dia berkata. "Mustahil ada malaikat atau bidadari turun ke bumi malam-malam begini, di tempat seperti ini. Jangan-jangan gendoruwo yang kesasar kebelet kencing, sembunyi di balik belukar. Tapi mengapa tidak ada bunyi suara besernya? Awas, kalau sampai aku sempat mengintip baru tahu rasa! Tapi! Ah tidak, jangan! Nanti mataku bisa bintitan! Hik... Hik... Hik!"
Si kakek tiup harmonikanya satu kali, goyang rebana dan pukul gendang lalu bangkit berdiri. "Kalau tidak mau unjukkan diri ya sudah. Tapi jangan harap bakal bisa menguntit diriku lagi!"
Dua kaki si kakek bergeser di tanah. Dalam gelap tampak debu tanah beterbangan. Agaknya kakek aneh ini tengah keluarkan satu ilmu yang bisa membuat dirinya serta merta lenyap dari tempat itu dan tak mungkin dikuntit lagi. Namun sebelum dia benar-benar berkelebat pergi, tiba-tiba terdengar satu suara.
"Aku sejak tadi ada di sini. Apa matamu buta tidak melihat?"
"Glek!"
Si kakek telan ludah terkejut. Cepat berpaling ke kiri. Astaga!
Di sisi kiri si kakek saat itu berdiri seorang gadis berwajah luar biasa cantik. Rambut pirang sepinggang, pakaian biru tipis dan tubuh menebar bau harum mewangi. Si kakek terperangah, tersurut mundur beberapa langkah lalu blukk! Jatuh duduk di tanah.
"Mulutku tadi mungkin terlalu lancang. Namun apakah saat ini jangan-jangan aku tengah berhadapan dengan makhluk yang namanya bidadari." Si kakek keluarkan ucapan sambil dua telapak tangan dirapatkan satu sama lain.
Gadis yang berdiri, di hadapan si kakek cuma tersenyum. Senyuman ini membuat dua lesung pipit muncul di pipi kiri kanan, menambah kecantikan wajahnya.
"Ah... " si kakek tambah blingsatan dan oleng-goleng kepala. Dia tiup harmonikanya keras-keras, goyangkan rebana lalu pukul gendang. "Tuhan Maha Besar. Saat ini aku diberikan kenikmatan luar biasa. Dipertemukan dengan seorang bidadari."
"Orang tua, aku bukan bidadari. Aku manusia biasa sama seperti dirimu."
"Aih, suaramu merdu sekali!" si kakek geleng-geleng kepala. "Aku tua bangka keriput, rada-rada bau apek. Kau gadis muda belia cantik luar biasa bertubuh harum. Mana mungkin kau bilang kita sama? Hik... Hik... Hik."
"Kek, terus terang aku ini lagi kesasar. Tidak tahu jalan. Mungkin kau bisa menolong..."
"Ah, begitu...? Tapi kau mengikuti diriku..."
"Betul, aku mengikuti sejak kau meninggalkan Candi Mendut. Aku tak tahu mau kemana. Waktu aku lihat dirimu di tengah jalan langsung saja aku mengikuti..."
"Kenapa mengikuti diriku. Kenapa tidak tanya orang lain? Kau bilang kesasar. Kemana tujuanmu. Lalu siapa dirimu sebenarnya? Apa kau punya nama?"
Si gadis tersenyum. "Pertanyaanmu banyak amat. Aku belum mau menjawab kalau kau tidak memberi tahu siapa dirimu lebih dulu, juga kemana tujuanmu."
Si gadis tersenyum. "Pertanyaanmu banyak amat. Aku belum mau menjawab kalau kau tidak memberi tahu siapa dirimu lebih dulu, juga kemana tujuanmu."
"Kemana tujuanku itu adalah satu rahasia besar. Tapi kalau mau tahu siapa diriku, aku bersedia mengatakan. Namaku Labodong. Orang-orang menjulukiku Si Pelawak Sinting. Pekerjaanku mengamen. Nah, ceritakan siapa dirimu."
"Maaf, siapa diriku aku tidak akan mengatakan apa-apa. Aku datang dari alam lain...."
"Heh!" si kakek bersurut satu langkah.
"Maksudmu... Maksudmu kau ini setan, sebangsa jin, hantu pelayangan atau...."
"Terserah kau mau menganggap diriku ini apa. Ujudku begini. Inilah aku adanya."
"Rambutmu pirang, rambutku juga pirang. Sama..." kata si kakek pula.
"Rambutku pirang asli. Rambutmu dicat, kaku. Pasti susah disisir."
Si kakek tertawa mengekeh. Saat mulutnya terbuka lebar kelihatan barisan giginya berwarna putih perak karena dilapisi kertas timah pembungkus rokok.
"Kek, aku juga tahu, kau adalah makhluk dari alam lain. Malah terpaut ribuan tahun dari alamku...."
Si kakek terkejut. Gagap dia bertanya.
"Ba... Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ada tanda yang mungkin kau sendiri tidak menyadari."
"Tanda? Tanda apa...?"
"Raba bagian belakang telinga kananmu. Disitu ada satu benjolan kecil berwarna merah...."
Labodong alias Si Pelawak Sinting pengamen dari Candi Mendut lakukan apa yang dikatakan si gadis. Dan jadi terkejut!
"Eh, kau benar! Aku sendiri tidak tahu kalau ada tanda seperti ini. Gadis cantik, aku minta, katakan siapa dirimu sebenarnya."
Si gadis menggeleng. "Aku cuma bisa memberi tahu. Kehadiranku jauh sampai ke sini adalah mencari seseorang."
"Mencari seseorang?"
Si gadis mengangguk.
"Lelaki atau perempuan?" tanya kakek Pelawak Sinting.
"Lelaki."
"Hemmm...." Pelawak Sinting bergumam sambil matanya memandang lekat-lekat ke wajah sang dara.
"Hai! Tunggu!" Kata si kakek setengah berteriak.
"Ada apa?"
"Jangan-jangan kau adalah nenek sakti Sinto Gendeng yang sengaja menyamar mencariku!"
Disebutnya nama Sinto Gendeng membuat si gadis terkejut. Wajahnya yang cantik berubah.
"Bagaimana kau tahu nama itu. Kau kenal dengan Sinto Gendeng?"
"Kenal belum, bertemupun belum. Tapi aku ditakdirkan berjodoh dengan dirinya. Aku akan kawin dengan nenek itu!"
Si gadis terdiam, lagi-lagi kaget. Lalu tertawa lebar.
"Aku bukan Sinto Gendeng. Aku tidak dalam penyamaran. Ujud asliku adalah seperti yang kau saksikan saat ini."
"Kalau kau tidak ada hati terhadapku lalu mengapa kau menguntit diriku sejak dari Candi Mendut? Gadis cantik, dengar. Aku bersedia memutuskan rencana perkawinanku dengan Sinto Gendeng asal kau mau menjadi penggantinya."
Sang dara tertawa panjang lalu berkata. "Kau adalah orang pertama dari alam lain yang aku ketahui keberadaannya, Seperti kataku tadi, aku muncul di alam ini karena mencari seseorang."
Sang dara tertawa panjang lalu berkata. "Kau adalah orang pertama dari alam lain yang aku ketahui keberadaannya, Seperti kataku tadi, aku muncul di alam ini karena mencari seseorang."
"Katamu orang itu laki-laki. Dia itu, musuh atau seorang sahabat?"
"Dia musuh besarku."
"Berarti kemunculanmu membawa dendam luar biasa besar?"
Si gadis anggukkan kepala.
"Katakan siapa orang yang kau cari itu."
"Dia dikenal dengan julukan Pangeran Matahari."
"Astaga naga!"
"Kau kaget. Berarti kau tahu orang itu. Katakan Kek, dimana dia?!"
"Beberapa waktu lalu dia nyaris mau membunuh diriku." Menerangkan Labodong alias Si Pelawak Sinting.
"Berarti kita berada di pihak yang sama."
"Aku juga punya bara dendam kesumat terhadap bangsat satu itu."
"Apa yang dilakukannya terhadapmu?" tanya si gadis.
"Dia, membunuh adik kandungku," jawab Labodong. (Baca Episode pertama berjudul “Topan Di Borobudur”). "Saat ini aku dalam perjalanan...." Pelawak Sinting buru-buru hentikan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan bicara.
"Kau sepertinya tidak percaya pada diriku...." Si gadis tampak agak kecewa.
"Gadis cantik, walau katamu kita berada di pihak yang sama, sama-sama membekal dendam terhadap Pangeran Matahari, tapi nyawa bangsat itu adalah milikku. Dia harus mampus di tanganku!"
"Soal membunuh Pangeran Matahari, aku atau kau, kepastiannya adalah siapa yang lebih cepat di antara kita."
"Kalau begitu aku tidak akan sudi memberi tahu keberadaan bangsat itu padamu. Aku tidak mau kedahuluan olehmu."
"Terserah saja. Itu hakmu," jawab si gadis.
Si Pelawak Sinting diam sesaat lalu berkata.
"Sebelum kita berpisah, apa kau mau menjelaskan, dendam kesumat apa yang ada antaramu dengan Pangeran Matahari?"
"Pangeran bejat itu membunuh Pandan Arum, saudara kembarku." (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode)
"Oallah...." ucap Si Pelawak Sinting. "Ternyata dendammu tidak kalah hebatnya dengan dendamku."
"Karena itulah aku minta bantuanmu. Kalau kita bisa sama-sama mencari Pangeran Matahari dan membalaskan bara dendam kesumat sakit hati kita..."
Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Soal nyawa Pangeran Matahari tetap adalah urusanku sendiri. Kau jangan ikut campur. Kita berpisah di sini."
Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Soal nyawa Pangeran Matahari tetap adalah urusanku sendiri. Kau jangan ikut campur. Kita berpisah di sini."
Pelawak Sinting hendak putar tubuh tapi batal karena sang dara berseru.
"Tunggu!"
"Ada apa?" tanya si kakek.
"Kalau Pangeran Matahari mampu membunuh adikmu, kurasa tak terlalu susah baginya untuk menghabisi dirimu. Kecuali kau memiliki ilmu kesaktian jauh diatas adikmu itu."
Pelawak Sinting terdiam sesaat. Akhirnya kakek ini berkata. "Jangan kau menakut-nakuti diriku dengan ucapan itu!"
"Kek, jika kau tidak mau bersahabat denganku dan membagi keterangan, aku terpaksa akan menguntit dirimu kemanapun kau pergi."
"Aku tidak takut ancamanmu. Silahkan saja kalau kau mampu!"
Habis berkata begitu Si Pelawak Sinting tiup harmonika, pukul gendang dan kencringkan rebana. Dua kaki digeser. Debu tanah beterbangan ke udara. Saat itu juga tubuhnya lenyap dari pemandangan. Setelah lari cukup lama dan cukup jauh si kakek berpaling ke belakang. Dia tidak melihat bayangan si gadis. Merasa telah meninggalkan sang penguntit kakek ini perlambat larinya. Namun ketika dia palingkan kepala kembali ke depan, kagetnya bukan alang kepalang. Gadis cantik jelita berambut pirang berpakaian biru tipis itu tampak tegak berdiri sekitar sepuluh langkah di depan sana, bertolak pinggang sambil tersenyum.
"Ooladalah. Ilmu kesaktian apa yang dimiliki gadis ini. Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di depanku?" Si Pelawak Sinting hentikan lari.
Si gadis bergerak mendekati. Sampai di hadapan si kakek dia keluarkan ucapan. "Bagaimana? Apakah kita bisa bersahabat dan membagi beban bara dendam kesumat sakit hati kita?"
"Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Katakan siapa namamu."
"Namaku Pandan Wangi."
"Aku tahu, orang berkepandaian tinggi sepertimu, di alammu selalu punya gelar atau julukan. Kau punya?"
"Mereka memanggilku dengan julukan Bidadari Angin Timur. Kurasa itu terlalu berlebihan..."
"Tidak...." jawab si kakek sambil leletkan lidah. "Mereka tidak berlebihan. Wajahmu secantik bidadari. Kecepatanmu melebihi tiupan angin. Bidadari Angin Timur. Itu julukan yang sangat pantas bagimu."
"Kalau begitu kita bersahabat?" tanya sang dara pula sambil tersenyum.
"Mulai saat ini!" jawab si kakek lalu angkat telapak tangannya.
Pandan Wangi alias Bidadari Angin Timur juga angkat tangannya. Dua telapak tangan yang saling dikembangkan lalu diadu satu sama lain. Tos!
Setelah saling beradu telapak tangan si kakek letakkan telapak tangan kanannya ke hidung.
"Hemmm... Harum..." katanya sambil bola mata dibolak-balik.
Si gadis tersenyum dan berkata.
"Kakek sahabatku, aku punya satu permintaan. Kau boleh mengatakan siapa namaku pada siapa saja. Tapi jangan sekali-kali memberi tahu nama julukanku. Apakah aku bisa mempercayaimu?"
"Beres!" jawab Si Pelawak Sinting.
"Kita pergi sekarang."
"Kemana?"
"Candi Kalasan. Musuh besar kita, Pangeran Matahari ada di tempat itu!" jawab Pelawak Sinting. Lalu melesat.
"Candi Kalasan" mengulang Bidadari Angin Timur.
Sekali dia berkelebat, saat itu juga dia sudah berada di samping si kakek yang sebelumnya telah mendahului di sebelah depan sejauh enam meter.
"Luar biasa!" kata Si Pelawak Sinting dalam hati sambil melirik ke samping. "Aku berdoa, mudah-mudahan dia memang Sinto Gendeng calon istriku yang sedang menyamar!"
***
Terselamatkankah Ibu Renata dari perbuatan keji dan mesum Pangeran Matahari? Dapatkah Boma mempertahankan Batu Penyusup Batin yang diinginkan Si Muka Bangkai? Atau anak ini harus menerima kematian di tangan Kunti Api dan Pangeran Matahari? Siapa sebenarnya perempuan cantik bermahkota bersosok samar yang menolong Boma? Kemunculan Bidadari Angin Timur apakah akan merupakan pertolongan bagi Ibu Renata dan Boma ataukah menambah kacaunya keadaan?
Semua akan anda dapat jawabannya dalam Episode berikut yang segera terbit :
"PURNAMA DI PRAMBANAN"